Anda di halaman 1dari 152

BUKU AJAR

PERLINDUNGAN
DAN PENGAMANAN HUTAN

OLEH:
Mappatoba Sila dan Sitti Nuraeni

LABORATORIUM PERLINDUNGAN DAN SERANGGA HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2009
KATA PENGANTAR

Dalam rangka melaksanakan sistem pembelajaran berbasis Student Centre


Learning (SCL), maka pengadaan bahan ajar dalam bentuk buku ajar akan sangat
membantu pelaksanaan kelancaran proses pebelajaran. Pengadaan buku ajar ini bukan
berarti menjadikan sebagai satu-satunya sumber buku wajib yang harus dibaca oleh
mahasiswa, namun buku ajar ini diharapkan menjadi acuan untuk dapat memperoleh
atau mengakses materi-materi yang berkaitan dengan mata kuliah tersebut.

Perlindungan dan Pengamanan Hutan (PPH) merupakan mata kuliah wajib yang
disajikan berdasarkan kurikulum yang berlaku. Berdasarkan hal tersebut maka
disusunlah buku ajar ini sebagai acuan untuk mempelajari lebih jauh tentang PPH.
Dalam cakupan materi tentang PPH dalam buku ini masih sangat terbatas, sehingga
masih membutuhkan sumber referensi lain yang mengkaji setiap sub pokok bahasan.

Atas terselesaikannya buku ajar ini, tim penyusun berharap dapat memberikan
manfaat bagi pihak membutuhkan dan dapat memberikan kontribusi bagi
pengembangan dan khasanah ilmu pengetahuan. Buku ajar ini masih terbuka untuk
dikoreksi sehingga setiap saat dapat dilakukan perbaikan-perbaikan atau revisi
disesuaikan dengan perkembangan di masyarakat.

Makassar, September 2009

Ketua Penyusun,

DAFTAR ISI
Halaman
Kata Pengantar .. i
Daftar Isi ii
Daftar Tabel ... iii
Daftar Gambar .. iv
Bab I. Pendahuluan ... 2
Bab II. Landasan Hukum Perlindungan dan Pengamanan Hutan 14
Bab III. Faktor-faktor Abiotik Penyebab Kerusakan Hutan . 23
Bab IV. Penanggulangan/Pencegahan Kerusakan Hutan Oleh Faktor
Abiotik .
38
Bab V. Faktor-faktor Biotik Penyebab Kerusakan Hutan . 42
Bab VI. Pencegahan dan Pengendalian Terhadap Faktor Biotik
Penyebab Kerusakan Hutan .
75
Bab VII. Faktor-faktor Sosial Penyebab Kerusakan Hutan 93
Bab VIII. Pencegahan dan Penanggulangan Kerusakan Hutan Karena
Faktor-faktor Sosial
134
Daftar Pustaka 146

ii

DAFTAR TABEL

No. Teks Halaman


1. Elemen-elemen utama untuk pertumbuhan tanaman . 30
2. Gejala Defisiensi dan Peranan Elemen Mineral Utama Pada Tumbuhan . 32
3. Lima genera utama bakteri patogen tanaman yang
menimbulkan gejala khas
61
4. Perbedaan virus patogen serangga . 68

iii

DAFTAR GAMBAR

No. Teks Halaman


1. Pengaruh Faktor Lingkungan (X) terhadap proses pertumbuhan pohon (Y).. 23
2. Partikel virus yang terdiri dari RNA atau DNA yang terbungkus oleh
glycoprotein dan perbandingan ukuran virus berbentuk batang dengan
57
bulat..
3. Gejala enasi pada daun murbei (Morus spp) akibat serangan virus. 59
4. Perbandingan ukuran sel hewan, Partikel virus dengan bakteri...... 60
5. Contoh Nematoda Pratylenchus sp.. 70

iv

Pokok Bahasan : Pendahuluan

Sub Pokok Bahasan : Pentingnya dan Ruang lingkup Perlindungan


Hutan serta Klasifikasi Perusak Hutan

: Selesai Mengikuti Perkuliahan ini Mahasiswa/i


Tujuan Instruksional Umum dapat memahami pengertian dan Ruang Lingkup
Perlindungan dan pengamanan hutan.

: Selesai Mempelajari Bab I, Mahasiswa/i mampu:


1) Menjelaskan arti penting perlindungan dan
Tujuan Instruksional Khusus pengamanan hutan
2) Menguraikan cakupan ruang lingkup
perlindungan dan pengamanan hutan.

1
BAB I
PENDAHULUAN

A. PERLINDUNGAN DAN PENGAMANAN HUTAN

Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1985 tentang


perlindungan hutan, dinyatakan bahwa tujuan perlindungan hutan adalah untuk menjaga
kelestarian hutan agar dapat memenuhi fungsinya. Untuk itu dilakukan segala usaha,
kegiatan, tindakan untuk mencegah dan membatasi kerusakan-kerusakan hutan dan hasil
hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam,
hama dan penyakit, serta untuk mempertahankan dan menjaga hak-hak negara atas hutan
dan hasil hutan.
Upaya perlindungan dan pengamanan hutan adalah bukan semata-mata tanggung
jawab dan tugas pemerintah, tetapi juga merupakan tanggung jawab dan tugas seluruh
warga masyarakat. Meskipun demikian, tanggung jawab dan tugas ini masih cukup berat
untuk kita emban bersama apalagi kegiatan perlindungan hutan ini tidak hanya
mencakup kawasan konservasi saja, tetapi juga mencakup kawasan hutan produksi,
hutan lindung dan kawasan hutan lainnya. Dengan semua keterbatasan yang ada, upaya
perlindungan dan pengamanan hutan harus tetap dilaksanakan untuk mencapai tujuan
yang diinginkan bersama.
Dilain pihak, masalah perlindungan dan pengamanan hutan adalah masalah yang
cukup kompleks serta dinamis. Dengan adanya perkembangan di berbagai bidang dan
perubahan dinamika di lapangan, maka terjadi pula perkembangan permasalahan
perlindungan dan pengamanan hutan, mulai dari perladangan berpindah dan perladangan
liar yang dilakukan oleh warga masyarakat yang sederhana, sampai pencurian kayu dan
penyelundupan satwa yang dilakukan atau didalangi oleh bandit berdasi.
Dalam melaksanakan upaya perlindungan dan pengamanan hutan ini, ada 3 (tiga)
aspek pendekatan yang harus diperhatikan, yaitu aspek teknis, aspek yuridis dan aspek
fisik, serta dilakukan secara fisik, preventif dan repressif. Sampai saat ini kegiatan

2
perlindungan dan pengamanan hutan, kebanyakan orang hanya membayangkan aspek
teknis dan yuridisnya saja, sedangkan aspek fisiknya kadang-kadang sama sekali
dilupakan. Agar supaya upaya perlindungan dan pengamanan hutan dapat berhasil dan
berdaya guna, seharusnya ketiga aspek pendekatan tersebut di atas dikembangkan
bersama-sama.
Salah satu kebijaksanaan Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian
Alam dalam rangka mencapai tujuan dan sasaran pembangunan bidang Perlindungan
Hutan dan Pelestarian Alam adalah: Menciptakan keadaan yang relatif bebas dari
segala bentuk gangguan dan hambatan terhadap hutan dan kehutanan. Berdasarkan
pada prinsip di atas dan kebijaksanaan Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan
Pelestarian Alam maka dijabarkan kebijaksanaan dalam upaya perlindungan dan
pengamanan hutan. Kebijaksanaan tersebut adalah: Melaksanakan upaya perlindungan
dan pengamanan hutan yang diperankan oleh aparat Kehutanan dengan tenaga
pengamanan hutan (Jagawana dan PPNS) sebagai inti, bersama-sama masyarakat (yang
terpilih dan terlatih, antara lain Satpam HPH, Hansip/Wanra) dengan bersandar pada
instansi atau aparat keamanan setempat. Dewasa ini, usaha perlindungandan
pengamanan hutan di lapangan didukung oleh kekuatan Jagawana sebanyak 7.719 orang
Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) sebanyak 1.079 orang, serta SATPAM HPH
sebanyak 720 orang. Apabila dibandingkan dengan luas kawasan hutan dan masalah
(hambatan, tantangan, gangguan dan ancaman) yang dihadapi, jumlah yang ada ini
masih belum cukup. Sarana dan prasarana perlindungan dan pengamanan hutan juga
masih harus dikembangkan/ditingkatkan, karena yang ada sekarang memang belum
memadai.

1. PERLINDUNGAN DAN PENGAMANAN TERHADAP KAWASAN HUTAN

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1985 yang merupakan


penjabaran Bab V dari Undang-Undang No. 5 Tahun 1967, pada dasarnya upaya
perlindungan hutan dibagi menjadi dua upaya pokok, yaitu perlindungan dan
pengamanan terhadap kawasan hutan serta upaya perlindungan dan pengamanan
terhadap hasil hutan.

3
Upaya perlindungan dan pengamanan kawasan hutan merupakan kegiatan untuk
menjaga dan mempertahankan keberadaan kawasan hutan serta hak-hak negara atas
kawasan hutan, mencegah dan membatasi kerusakan kawasan hutan. Upaya ini diawali
dengan dilakukannya penataan batas terhadap areal hutan yang telah ditunjuk oleh
Menteri Kehutanan sesuai dengan fungsinya, untuk dikukuhkan menjadi kawasan hutan.
Upaya ini merupakan kegiatan perlindungan/pengamanan teknis dan yuridis.
Kegiatan perlindungan dan pengamanan selanjutnya diarahkan untuk menjaga
serta mempertahankan kawasan hutan tersebut, antara lain dengan:
- Mencegah dan/atau menindak orang yang memotong, memindahkan, merusak atau
menghilangkan tanda batas kawasan hutan.
- Mencegah dan/atau menanggulangi (termasuk di dalamnya menindak) orang
yangmengerjakan atau menduduki kawasan hutan tanpa izin Menteri Kehutanan.
Termasuk dalam kegiatan ini antara lain pencegahan dan penanggulangan
perambahan hutan, perladangan berpindah/liar, pemukiman liar dan penambangan liar
(oleh masyarakat).
- Mengawasi, mencegah dan menanggulangi terjadinya tumpang tindih peruntukan
(penggunaan kawasan hutan di luar fungsi yang telah ditetapkan oleh Menteri
Kehutanan). Yang menjadi perhatian dalam kegiatan ini antara lain adanya tumpang
tindih dengan kegiatan transmigrasi, pertambangan, pertanian (perkebunan,
perikanan, dll) dan pengusahaan hutan (HPH).
- Mencegah dan menanggulangi kebakaran hutan.
Dalam hubungannya dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990, upaya
perlindungan terhadap kawasan hutan ini dapat dikaitkan terutama dengan pasal 14 s/d
pasal 19, pasal 29 s/d pasal 35, pasal 39, pasal 40 dan pasal 41.

2. PERLINDUNGAN DAN PENGAMANAN


TERHADAP HASIL HUTAN

Upaya perlindungan dan pengamanan terhadap hasil hutan adalah kegiatan


dalam rangka mencegah dan membatasi kerusakan hasil hutan serta menjaga hak-hak
negara atas hasil hutan. Yang dimaksud dengan hasil hutan adalah hasil-hasil yang
diperoleh dari hutan yang berupa:

4
- Hasil-hasil nabati seperti kayu perkakas, kayu industri, kayu bakar, bambu, rotan,
rumput-rumputan, dan lain-lain bagian dari tumbuh-tumbuhan atau yang
dihasilkan oleh tumbuh-tumbuhan di dalam hutan, termasuk hasil yang berupa
minyak.
- Hasil hewan seperti satwa buru, satwa elok dan lain-lain hewan serta bagian-
bagiannya atau yang dihasilkannya.
Upaya perlindungan dan pengamanan terhadap hasil hutan mencakup kegiatan
baik di dalam maupun di luar kawasan hutan. Kegiatan perlindungan dan pengamanan
hasil hutan di dalam kawasan hutan antara lain meliputi Kegiatan untuk mencegah dan
menanggulangi:
- Penebangan liar serta pencurian kayu.
- Perburuan liar
- Penggembalaan liar
- Hama dan Penyakit Hutan/hasil hutan
- Pencurian hasil hutan non-kayu (seperti rotan, bambu, buah, getah, damar,
madu, terumbu karang, dll)
- Kebakaran hutan.
Kegiatan perlindungan dan pengamanan hasil hutan di luar kawasan hutan
mencakup antara lain kegiatan: Pengawasan pelaksanaan Tata Usaha Kayu dan
Pengawasan Lalu Lintas/perdagangan tumbuhan dan satwa liar. Dalam hubungannya
dengan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990, kegiatan perlindungan dan pengamanan
hasil hutan ini dapat dikaitkan khususnya dengan pasal 11 s/d pasal 13, pasal 20 s/d
pasal 25, pasal 36, pasal 39 dan pasal 40.

3. RENCANA PENGEMBANGAN PERLINDUNGAN DAN


PENGAMANAN HUTAN

Dalam pengembangannya, upaya perlindungan dan pengamanan hutan diarahkan


untuk mandiri. Tercapainya kegiatan perlindungan dan pengamanan hutan secara
mandiri ini diharapkan akan dapat dicapai melalui:
- Pemenuhan tenaga Jagawana sebanyak 17.500 orang (650 orang/provinsi): PPNS
sebanyak 4.000 orang dan Satpam HPH sebanyak 12.500 orang).

5
- Pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana perlindungan dan pengamanan hutan di
27 Provinsi, yang meliputi sarana komukasi operasional, sarana transportasi,
bangunan, seragam, perlengkapan dan peralatan Jagawana.
- Pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana pengendalian kebakaran hutan di 10
(sepuluh) provinsi yang rawan kebakaran hutan.
- Pembangunan sarana dan prasarana karantina Kehutanan di 27 Provinsi.
- Terbinanya hutan lindung di 27 Provinsi.
- Terkendalinya hama dan penyakit di 15 Provinsi (dikaitkan dengan pengembangan
HTI).
- Terbinanya Taman Buru (setiap provinsi minimal satu taman buru) dan kegiatan
wisata buru di 10 Provinsi.

B. RUANG LINGKUP ILMU PERLINDUNGAN HUTAN

Perlindungan hutan adalah merupakan bagian dari kegiatan silvikultur yang


bertujuan untuk menyelamatkan hutan dari musuh-musuhnya. Perlindungan hutan
merupakan bagian dari kegiatan silvikultur yang sangat penting dan harus diberikan
perhatian khusus sesuai dengan subyeknya.
Ilmu Perlindungan Hutan dapat dipelajari secara terpisah dari bagian silvikultur
lainnya, dengan demikian ilmu ini akan tetap terasa pentingnya dan tidak pernah akan
dilupakan. Sasaran umum daripada perlindungan hutan adalah menanamkan kesadaran
kepada setiap petugas kehutanan akan pentingnya hubungan ilmu perlindungan hutan
dengan cabang lain dari ilmu silviculture pada khususnya serta cabang-cabang ilmu
kehutanan pada umumnya yang dalam hubungan ini kita kenal baik sebagai forest
management.
Penyebab kerusakan hutan demikian banyak macamnya dan beberapa
diantaranya sangat merusak sehingga mustahil kita dapat memperoleh hasil tanaman
yang menguntungkan tanpa memberikan perlindungan yang cukup. Hal ini berlaku pula
pada tanaman pertanian sehingga dapat dikatakan bahwa perlindungan adalah
merupakan dasar utama baik untuk tanaman kehutanan maupun untuk tanaman
pertanian. Namun demikian pada kenyataannya didaerah-daerah hutan yang baru saja

6
pada tingkat awal pembangunannya, perlindungan ini masih kurang diperhatikan.
Dengan habisnya hutan alam, maka dimulailah hutan-hutan tanaman. Dalam proses
pertumbuhan hutan tanaman, timbul berbagai macam masalah dimana diantara masalah
ini yang dianggap sangat penting adalah melindungi tanaman dari musuh-musuhnya
yang selalu mengancam pada setiap saat.
Di Amerika pada mulanya, perlindungan hutan dipusatkan pada tanaman tua atau
vegetasi yang mempunyai nilai penting yang masih terdapat di dalam hutan alam.
Tetapi pada akhir-akhir ini perlindungan terutama ditekankan pada hutan-hutan
tanaman. Pengalaman di Amerika menunjukkan bahwa metode perlindungan yang
dianggap murah dan efektif serta aman, adalah penterapan sistem forest management
dan sistem silvikultur untuk jangka panjang.
Problema perlindungan tidak boleh dianggap sederhana karena tidak begitu
mudah menemukan perusak-perusaknya dalam waktu singkat. Tidak ada suatu sistem
perlindungan yang dapat dianggap memuaskan. Dalam perencanaan forest management
diusahakan agar sumber-sumber serangan dan perusak yang potensial agar dapat dikenal
secara baik dan dievaluasi sebelum menimbulkan kerugian. Dengan management yang
baik, begitu timbul gejala-gejala kerusakan maka pada saat itu pula dilakukan tindakan
(penekanan populasi) untuk menghindari kerugian yang besar. Kadang-kadang aktifitas
sesuatu penyebab kerusakan secara langsung menyebabkan berkembangnya sumber
perusak lain. Seorang ahli kehutanan harus dapat mengindentifisir setiap sumber-sumber
perusak dan dapat merencanakan sistim perlindungannya untuk menghindari atau
mengurangi bahaya dari sumber perusak tersebut.
Tindakan silvikultur dalam pengelolaan hutan dapat menimbulkan bahaya
kerusakan yang besar atau sebaliknya. Kerusakan hutan sesungguhnya dapat dibuat
menjadi minim dengan jalan melaksanakan sistem silvikultur secara intensif. Sebagai
contoh, sistem transportasi yang baik dengan jalan-jalan hutan yang cukup banyak,
sehingga memudahkan penjelajahan pada seluruh areal hutan. Hal ini memberi
kemungkinan untuk menyelamatkan pohon-pohon yang terserang perusak. Oleh sebab
itu kerusakan yang timbul dapat diperkecil. Selanjutnya dengan manajemen yang
intensif dimana biasanya hutan dibagi ke dalam kelas-kelas kerja yang baik, sehingga
pengawasan dan penelitian dapat dilakukan secara mudah untuk segera mengetahui

7
sumber dan awal dari setiap serangan. Sebaliknya manajemen hutan biasanya
menghendaki tegakan hutan sejenis yang lebih peka terhadap serangan perusak
dibandingkan dengan hutan alam. Sebagaimana kita ketahui hutan tanaman sejenis akan
memerlukan waktu yang sangat panjang untuk sampai pada komposisi yang stabil.
Dalam perjalanan yang panjang ini dapat menyebabkan berkembangnya perusak dalam
jumlah yang cukup besar. Tegakan murni (hutan sejenis) biasanya lebih diinginkan
karena dengan manajemen yang baik dapat diharapkan volume yang produktif dan lebih
menguntungkan dibanding dengan tegakan campuran. Hasil-hasil penelitian Bugner di
Switzerland menunjukkan bahwa antara tegakan murni dengan tegakan campuran
hampir sama saja pertumbuhan volumenya. Untuk kepentingan perlindungan hutan,
Bugner menyarankan tegakan campuran karena lebih efektif, sangat mudah
regenerasinya dan aman dari pada serangan perusak. Adalah benar bahwa tegakan
murni yang seumur mempunyai resiko yang sangat besar, karena merupakan suatu
lingkungan yang sangat disenangi oleh musuh-musuhnya dengan demikian kerugian
yang besar dapat terjadi dengan mudah. Suatu pendapat dalam hal pembangunan atau
penanaman hutan produksi kiranya dapat mengikuti saran-saran berikut:
1. Tanamlah bermacam-macam spesies dalam suatu areal tegakan.
2. Tanamlah pohon-pohon yang tidak seumur dalam suatu areal tegakan hutan atau
buatlah tegakan-tegakan seumur dalan areal yang kecil kemudian tegakan ini
dihubungkan dengan tegakan lain yang berbeda umurnya.
3. Jika tegakan murni yang ditanam, buatlah masing-masing tegakan dalam ukuran
yang lebih kecil.
Suatu tegakan yang tidak seumur yang terdiri dari semua tingkatan umur mulai
dari seedling sampai pada pohon masak-tebang yang ditanam secara bercampur baur
akan lebih resisten terhadap kerusakan. Tetapi tipe hutan ini kurang dikembangkan
karena pengaturan umurnya sangat sulit. Suatu yang dianggap lebih aman adalah
tegakan seumur yang diselang seling dengan tegakan sejenis yang berlainan umurnya.
Luas masing-masing tegakan diatur sedemikian rupa yakni terdiri dari beberapa acres (1
acres = 0,40469 ha).
Hutan murni akan memberi jaminan keuntungan yang lebih besar daripada hutan
campuran, disamping itu pengaturan pengelolaannya jauh lebih mudah. Apabila tegakan

8
murni ini terdiri dari spesies-spesies yang sesuai dan diatur dengan kemampuan
manajemen yang sempurna, maka dapat diharapkan hasil pertumbuhan yang sukses.
Pada tegakan hutan campuran sebaiknya dipilih beberapa jenis yang resisten terhadap
serangan perusak di samping jenis-jenis komersial yang tidak resisten. Tidak mustahil
bahwa jenis-jenis yang dianggap resisten akan berubah menjadi tidak resisten sehingga
kerugian besar dapat terjadi. Sebagai seorang rimbawan, maka kesemua faktor tersebut
perlu dipertimbangkan masak-masak di dalam rencana pembangunan hutan buatan.

C. KLASSIFIKASI PERUSAK HUTAN

Faktor-faktor yang menyebabkan gangguan-gangguan hutan dapat dibagi dua


bagian yaitu faktor-faktor fisik dan biologis. Faktor-faktor fisik meliputi hal-hal seperti
angin, air, kekeringan, petir, vulkanisme dan sebagainya. Faktor-faktor biologis meliputi
pengaruh yang disebabkan oleh jasad-jasad hidup yaitu manusia, binatang, tumbuh-
tumbuhan.
Disamping kedua faktor tersebut di atas, faktor-faktor manusia, ternak, api
(kebakaran), air (banjir) dan hal lain yang dipengaruhi oleh masyarakat, seringkali
dibicarakan tersendiri merupakan faktor-faktor social, sebagaimana dijelaskan pada
Skema Faktor-faktor Penyebab Kerusakan Hutan.
Kemungkinan pada beberapa tempat, kerugian sebagai akibat binatang ternak
jauh lebih besar dibandingkan dengan kerugian yang disebabkan oleh sumber-sumber
perusak lainnya. Pada daerah-daerah yang terisolir kerusakan hutan oleh binatang-
binatang liar dianggap sangat penting karena dapat menimbulkan kerugian yang besar.
Selanjutnya kerusakan hutan yang disebabkan oleh atmosfir dapat terjadi secara
terus-menerus, bahkan sangat sulit sekali meramalkannya dibandingkan dengan perusak-
perusak lainnya. Akibat suhu yang tinggi, suhu rendah, kekeringan, air dan atmosfer
lainnya demikian umum sekali dan tidak dapat diramalkan sebelumnya. Tidak
diragukan bahwa total kerugian dalam beberapa tahun yang diakibatkan oleh atmosfir
ini akan lebih besar daripada perusak-perusak lainnya, disamping itu cuaca yang tidak
normal adalah merupakan perangsang timbulnya serangan-serangan dari jenis perusak

9
lainnya seperti cendawan dan serangga. Juga karena cuaca dapat timbul kebakaran
hutan, sebab tanpa udara yang sesuai api tidak akan menyala.

Skema : I Faktor- faktor Fisik: api


angin
air
vulkanis
petir dan lain-lain.

II Faktor-faktor Biologis: Manusia


ternak
binatangmenyusui lainnya hama
burung-burung
serangga

Tumbuh-tumbuhan
tingkat tinggi penyakit
Jamur
Bakteri, dan lain-lain

III Faktor-faktor Sosial: Kebakaran hutan, Peladangan,


Penggembalaan, penebangan liar dan
Pencurian kayu

Uraian-uraian di atas yang menjelaskan secara singkat berbagai sumber perusak,


menunjukkan bahwa secara sendiri-sendiri tiap tipe perusak di atas dapat dianggap
penting karena masing-masing mempunyai potensi untuk membinasakan hutan. Dengan
kenyataan tersebut maka setiap rimbawan harus menyadari bahwa untuk perlindungan
yang baik maka perlu diperhatikan keseimbangan alamnya.
Perlindungan hutan dalam usahanya menekan populasi perusak, memerlukan
keahlian secara khusus. Seorang akhli dibidang ini harus mengetahui cara-cara
klassifikasi serta gambaran dari setiap penyebab kerusakan sehingga dengan demikian ia
dapat memilih metode pemberantasan yang sesuai. Tidak seorangpun rimbawan yang
dapat menjadi akhli pada semua bidang perlindungan, tetapi hanya dapat menjadi
spesialisasi pada salah satu cabang saja.
Seorang rimbawan, walaupun bukan spesialis perlindungan tetapi harus
mengetahui problema-problema perlindungan yang dianggap penting, harus memiliki
kecakapan untuk mengatasi penyebab kerusakan, harus mengerti prinsip-prinsip

10
pengaturan pemberantasan musuh-musuh hutan apabila dia temukan dilapangan dan
pada akhirnya harus dapat mengorganisir dan melaksanakan tindakan pemberantasan
yang diperlukan. Untuk membantu mengetahui tekhnik-tekhnik secara detail mengenai
setiap penyebab kerusakan dia dapat mengundang seorang spesialis ke lapangan.
Seorang spesialisasi dalam ilmu perlindungan hutan harus selalu menyadari dirinya
bahwa apa yang dilakukan tidak lain adalah dengan tujuan membantu kesuksesan
program forest management yang lebih baik.

11
TUGAS
Setiap peserta mata kuliah ditugaskan untuk membuat Klipping tentang artikel yang
berkenaan dengan perlindungan dan pengamanan hutan.

12
Pokok Bahasan : Landasan Hukum dari Perlindungan dan
Pengamanan hutan

Sub Pokok Bahasan : Komitmen Pemerintah Menghadapi


Permasalahan Perlindungan dan Pengamanan
Hutan

Tujuan Instruksional Umum : Selesai Mengikuti Perkuliahan ini Mahasiswa/i


dapat memahami Kebijakan Pemerintah dalam
Menghadapi Perlindungan dan Pengamanan
Hutan.

Tujuan Instruksional Khusus : Selesai Mempelajari Bab II, Mahasiswa/i Mampu


Menjelaskan Peraturan-Perundangan Terkait
dengan Perlindungan dan Pengamanan Hutan.

13
BAB II
LANDASAN HUKUM PERLINDUNGAN DAN
PENGAMANAN HUTAN

A. PENDAHULUAN

Pada Bab II ini akan diuraikan hal-hal yang terkait dengan kebijakan pemeintah baik
pemerintah pusat maupun daerah mengenai segala permasalahan-permasalahan yang
dapat mengancam eksistensi hutan. Kebijakan akan diuraikan berdasarkan peraturan
yang telah dikeluarkan oleh pemerintah dengan urutan: Undang-Undang, Peraturan
Pemerintah, Keputusan/Instruksi Presiden, Surat Keputusan Menteri, Surat Keputusan
Dirjen, Peraturan Daerah dan Surat Keputusan Gubernur.

B. KOMITMEN PEMERINTAH MENGHADAPI


PERMASALAHAN PERLINDUNGAN DAN PENGAMANAN
HUTAN

1. PERAMBAHAN DALAM KAWASAN HUTAN.

Perambahan Kawasan Hutan berkaitan dengan pasal 15 Undang-Undang No. 5


Tahun 1967 dan pasal 4, 5, 6, 7 dan 8, Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 tahun 1985.
Permasalahan Perambahan kawasan hutan diperkirakan meningkat disebabkan oleh:
a. Semakin meningkatnya jumlah penduduk di satu pihak dan semakin
sempitnya lahan untuk pemukiman serta lahan untuk usaha (pertanian, dll.)
di lain pihak, sehingga kawasan hutan menjadi salah satu pelarian untuk
mengatasi lapar lahan .
b. Semakin banyaknya jalan masuk (meningkatnya aksesibilitas) ke kawasan
hutan karena kegiatan pembangunan, terutama kegiatan pembangunan
kehutanan (misalnya kegiatan HPH).
Kesulitan dalam merumuskan kebijaksanaan untuk menanggulangi masalah
perambahan antara lain bahwa sampai saat ini belum ada data/informasi yang rinci

14
tentang perambahan dalam kawasan hutan. Di samping itu, kasus-kasus perambahan
hutan seringkali mempunyai kekhasan yang berbeda antara daerah satu dengan daerah
yang lain, sehingga penanganannya pun harus berbeda.

2. KEBAKARAN HUTAN

Penanggulangan kebakaran hutan berkaitan dengan pasal 15 ayat 2 (a) Undang-


undang No. 5 Tahun 1967, dan pasal 10 ayat 1, 2 dan 3, Peraturan Pemerintah No.28
Tahun 1985. Berdasarkan data yang diperoleh dari pemantauan selama ini diketahui
bahwa kebakaran hutan itu terjadi setiap tahun meliputi luas 50.000 ha.
Masalah yang dihadapi berkaitan dengan penanggulangan kebakaran hutan
adalah:
a.Belum diketahui secara menyeluruh daerah rawan kebakaran hutan, yang meliputi
lokasi dan waktu rawan kebakaran hutan.
b. Sarana dan prasarana penanggulangan kebakaran hutan baik untuk kebutuhan regu
di darat maupun dari udara belum memadai.
c. Kegiatan yang berhubungan dengan deteksi dini untuk pendugaan kebakaran
hutan yang berhubungan dengan keadaan cuaca belum ada.
d. Latihan pemadam kebakaran hutan, baik dari darat maupun dari udara belum
dilakukan, dilain pihak tenaga pemadam kebakaran hutan yang terlatih belum ada.
e. Perangkat lunak sebagai pendukung yang berupa petunjuk teknis dan petunjuk
pelaksanaannya belum lengkap.
f. Peran serta masyarakat dalam usaha pengendalian kebakaran hutan belum tampak
nyata.

3. PENGGEMBALAAN LIAR

Peraturan yang melandasi upaya penanggulangan kegiatan penggembalaan liar


dalam kawasan hutan adalah Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 1985 Bab IV pasal 11.
Sampai saat ini kegiatan penggembalaan liar dengan jenis satwa kerbau, kambing,
banyak dilakukan oleh masyarakat sekitar kawasan hutan dengan cara dilepas ke dalam

15
kawasan. Sedangkan upaya penanggulangan penggembalaan liar ini masih belum bisa
diterapkan di lapangan mengingat tradisi ini sudah membudaya sejak lama di
lingkungan masyarakat sekitar kawasan hutan dan juga merupakan adat istiadat.

4. HAMA DAN PENYAKIT HUTAN

Landasan hukum dalam upaya penanggulangan hama dan penyakit hutan adalah
Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 1985 Bab IV ayat 12. Hama dan Penyakit Hutan saat
ini mulai mendapat perhatian yang serius mengingat adanya kegiatan Pembangunan
Hutan Tanaman Industri dengan jenis tanaman yang seragam dan mempunyai sifat yang
sama.
Dengan sifat-sifat hutan demikian akan memudahkan timbulnya hama dan
penyakit hutan yang akan menyerang tanaman dalam kawasan tersebut. Sampai saat ini
kegiatan penanggulangan hama dan penyakit hutan masih belum berkembang karena
beberapa hal, yaitu:

a. Belum banyak diketahui jenis-jenis hama dan penyakit, khususnya yang akan
menyerang pohon dalam Hutan Tanaman Industri dan jenis-jenis pohon hutan
lainnya.
b. Petugas khusus yang terlatih untuk menangani pengendalian (pencegahan dan
penanggulangan) hama dan penyakit terutama di hutan monokultur (HTI) belum ada.
c. Perangkat lunak yang menunjang untuk pengendalian hama dan penyakit belum ada.

5. TERTIB PEREDARAN HASIL HUTAN

Upaya yang berkaitan dengan tertib peredaran hasil hutan dasar hukumnya
adalah pasal 1 (ayat 2), 2, 13, 20, 21, 23, 36 dan 37 Undang-Undang No.5 tahun 1990.
Sampai saat ini masih sering terjadi penebangan liar, pengangkutan dan perdagangan
kayu illegal. Selain itu masih sering terjadi pula penyelundupan hasil hutan non kayu
khususnya flora dan fauna liar, baik jenis yang tidak dilindungi maupun yang dilindungi.
Di samping itu di dalam negeri sendiri masih banyak terjadi penangkapan/pengambilan,
pengangkutan, perdagangan dan pemilikan flora/fauna liar secara tidak sah.

16
Hal-hal lain tersebut di atas disebabkan antara lain:
a. Perangkat lunak dan sistem pengamanan/pengawasan, terutama perangkat lunak
yang mengatur peredaran hasil hutan non kayu (termasuk pengawasan) yang
dinilai masih lemah.
b. Sistem kuota pemanfaatan jenis satwa/tumbuhan liar tidak atau belum didasarkan
atas hasil sensus populasi jenis satwa/tumbuhan liar yang dimanfaatkan.
c. Sering terjadinya penyelundupan, perdagangan illegal (penangkapan,
pengumpulan dan pengangkutan yang tidak didukung dengan dokumen sah) dan
pemburuan liar satwa/tumbuhan liar.
d. Belum memadainya dukungan atau peran serta masyarakat terhadap persepsi
tentang pendayagunaan satwa dan tumbuhan liar serta kesadaran terhadap
peraturan perundangan atau hukum yang berkaitan dengan pendayagunaan jenis
satwa dan tumbuhan liar ini.
e. Belum memadainya kerjasama dan penggalangan persepsi yang sama antar
instansi atau sektor terhadap gangguan satwa liar.
f. Pengawasan dalam peredaran satwa dan tumbuhan liar masih kurang memadai
karena masih kurangnya piranti lunak.

6. KARANTINA KEHUTANAN

Dasar hukum dari pada kegiatan Karantina Kehutanan yang dilaksanakan di


lapangan, namun sampai saat ini di beberapa tempat kehadiran petugas untuk
melaksanakan kegiatan karantina kehutanan belum diakui. Hal ini disebabkan karena di
beberapa tempat strategis, seperti Bandar Udara dan Pelabuhan Laut sudah ada petugas
karantina pertanian, padahal fungsinya berbeda. Karantina Pertanian
bertugas/bertanggung jawab dalam hal pengawasan hama dan penyakit tanaman dan
hewan, sedang karantina kehutanan lebih dititikberatkan pada pengawasan legalitas
peredaran flora dan fauna liar.
Masalah yang dihadapi dalam pengembangan Karantina Kehutanan antara lain:
a. Struktur Organisasi Karantina Kehutanan belum tersusun secara lengkap. Di
tingkat pusat, urusan karantina kehutanan diemban oleh Seksi (eselon IV),

17
sedangkan di daerah belum ada unit organisasi yang secara khusus menangani
urusan karantina kehutanan.
b. Di daerah belum tersedia sarana penampungan satwa dan tumbuhan liar hasil
sitaan, temuan dan penyerahan dari masyarakat.
Pola Karantina Kehutanan saat ini masih dalam proses pembahasan.

7. TENAGA DAN SARANA PENGAMANAN HUTAN

Tenaga dan sarana pengamanan hutan dasar hukumnya adalah pasal 18 Undang-
undang No. 5 tahun 1967 dan pasal 16, 17 Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 1985.
Jumlah tenaga pengamanan hutan yang sekarang tercatat adalah :
- Jagawana : 7.719 orang (termasuk Jagawana Perum Perhutani)
- PPNS Kehutanan : 1.079 orang
- Satpam HPH : 720 orang
Tenaga Jagawana sampai saat ini dirasakan belum mampu melaksanakan tugas dan
fungsinya karena:
a. Secara umum persepsi dan interpretasi tentang pembinaan dan penggunaan Jagawana
belum sama dengan mengacu pada ketentuan-ketentuan yang ada (Undang-Undang
No. 5 tahun 1967 tentang Pokok-pokok Kehutanan; Undang-Undang No.8 Tahun
1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, Peraturan Pemerintah No.28 Tahun 1985
tentang perlindungan Hutan dan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 116/Kpts
II/1989 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kehutanan).
b. Belum ada formasi yang tetap yang didasarkan pada kebutuhan organisasi
dihubungkan dengan tugas-tugas yang dihadapi di lapangan, luas wilayah dan tingkat
gangguan hutan.
c. Kesejahteraan Jagawana masih belum mendapat perhatian sepenuhnya.
d. Dukungan tugas dapat dikatakan tidak ada, namun dilain pihak tuntutan keberhasilan
pelaksanaan tugas selalu didesak.
e. Pengorganisasian belum diarahkan kepada pencapaian tujuan.
f. Pendidikan bagi Jagawana belum ada standar dan rekruitmen belum ada pola yang
konsepsional serta terarah.

18
g. Konsep Pola Pembinaan dan Penggunaan Jagawana belum mendapatkan tanggapan
dan saran seperti apa yang diharapkan.
h. Kualitas dan kuantitas Jagawana yang belum dapat dikatakan memadai untuk
mendukung tugas dan kewajibannya. Di samping itu, sikap dan perhatian, baik intern
maupun instansi di luar Kehutanan tidak menguntungkan terselenggaranya tugas
Jagawana.
Dalam pelaksanaan tugas dan kewajiban PPNS juga masih dihadapi beberapa
permasalahan, antara lain:
a. Memerlukan waktu bagi Jagawana untuk menjadi PPNS, dilain pihak jumlah
PPNS masih jauh dari memadai.
b. Penunjukan PPNS belum menjawab syarat-syarat kepegawaian , yaitu the right
person on the right place. Selain itu, pegawai kehutanan yang menyandang
jabatan PPNS belum relevan dengan tugas-tugas rutinnya. Dengan kata lain,
rekruitmen atau pengangkatan PPNS belum terseleksi dan terarah.
c. Pemeliharaan PPNS belum mendapat perhatian. Hal ini masih diperberat dengan
kenyataan bahwa pengangkatan dan perpanjangan jabatan PPNS tergantung dari
instansi lain (POLRI, Kejaksaan dan Kehakiman).
d. Pembinaan terhadap PPNS, khususnya dari atasan langsung di daerah, masih
sangat kurang bahkan di beberapa daerah tidak ada.

8. PENEBANGAN LIAR ATAU PENCURIAN KAYU

Praktik penebangan liar atau pencurian kayu yang lebih populer dikenal dengan
istilah illegal logging saat ini telah menjadi perhatian pemerintah RI. Meskipun
pemerintah telah menargetkan praktik ini dapat diatasi pada tahun 2006 lalu namun
masih saja ditemukan adanya peredaran kayu yang diperdagangkan atau akan
diselundupkan ke luar yang tanpa disertai dokumen legal yang mengindikasikan praktik
ini masih dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Illegal logging
merupakan suatu bentuk kejahatan lingkungan yang juga menyebabkan kerugiaan
negara. Data dari Depatemen Kehutanan tahun 2004 menyebutkan bahwa kerusakan
hutan di Indonesia yang diakibatkan praktik illegal logging telah mencapai 38 juta ha
per tahun dan negara telah kehilangan Rp.8,3 milyar per hari.

19
Komitmen kuat pemerintah untuk memberantas praktik illegal logging adalah
dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden No. 4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan
Penebangan Kayu Secara Illegal di Kawasan Hutan dan Peredarannya di Seluruh
Wilayah Republik Indonesia. Melalui Inpres tersebut, Menko Polhukam mendapat
amanah untuk mengkoordinasikan pejabat-pejabat institusi yang berkompoten serta
memfasilitasi kerja sama antar sektor, termasuk dengan Gubernur, Bupati maupun
Walikota dalam upaya pemberantasan penebangan dan perdagangan kayu secara illegal
dan atau melanggar hukum.
Secara hierarki dan sesuai substansinya, Inpres No. 4 Tahun 2005 memberi
implikasi UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi sebuah peraturan
perundang-undangan yang bersifat lex specialis di bidang kehutanan. Hal itu tercemin
dari diktum kedua poin 9 dan (10) butir (a), yang berisi pencabutan dan revisi peraturan
Daerah/keputusan Gubernur/Keputusan Bupati/Keputusan Walikota yang bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan. Termasuk diktum kedua
poin 7 (tujuh) yang mengintruksikan Mendagri melakukan evaluasi terhadap Perda yang
berkaitan dengan bidang kehutanan dan mempercepat penyampian rekomendasi
pencabutan Perda yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di bidang
kehutanan. Secara langsung maupun tidak, hal ini sesuai dengan revisi UU No. 22
Tahun 1999 dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang berisi
penyempurnaan desentralisasi. Termasuk desentralisasi sector kehutanan.
Departemen Kehutanan meningkatkan kemampuan aparatnya di lapangan
dengan membentuk Satuan Polhut Reaksi Cepat (SPORC) dan Penyidik Pegawai Negeri
Sipil (PPNS) untuk mendampingi OHL I tahun 2006.

20
TUGAS
Masing-masing kelompok Membuat sistematika Undang-undang dan Peraturan yang
berkenaan hukum perlindungan dan pengamanan hutan.

21
Pokok Bahasan : Faktor-faktor Abiotik Penyebab Kerusakan
Hutan.

Sub Pokok Bahasan : Faktor Fisik, Pengelolaan Tanah, kimia dan


Mekanis Penyebab Kerusakan Hutan.

Tujuan Instruksional Umum : Selesai Mengikuti Perkuliahan ini Mahasiswa/i


dapat Memahami Beberapa Faktor-faktor
Abiotik Penyebab Kerusakan Hutan.

Tujuan Instruksional Khusus : Selesai Mempelajari Bab III, Mahasiswa/i


Mampu Menjelaskan dan Menguraikan Beberapa
Faktor-faktor Abiotik Penyebab Kerusakan
Hutan.

22
BAB III
FAKTOR-FAKTOR ABIOTIK PENYEBAB KERUSAKAN
HUTAN

A. KERUSAKAN HUTAN KARENA FAKTOR FISIK


(Non Infectious Diseases)

Kerusakan yang disebabkan karena faktor fisik dalam literatur disebut


Physiological Diseases atau Atmospheric Agencies. Nama lainnya adalah Nonparasitic
Diseases dan Noninfectious Diseases. Noninfectious Diseases ini merupakan penyakit
tanaman yang tidak disebabkan oleh patogen atau makhluk hidup. Sebagian besar
penyebabnya adalah faktor cuaca.
Tanaman akan tumbuh secara sempurna apabila semua faktor lingkungan berada
dalam keseimbangan. Tidak satupun faktor yang tidak ditemukan dan tersedianya tidak
melebihi atau kurang dari jumlah yang dibutuhkan oleh tanaman. Gambar 1 akan
menunjukkan suatu batas faktor lingkungan memungkinkan proses pertumbuhan tanaman
berjalan secara sempurna misalnya kecepatan pertumbuhan, fotosintesa dan sebagainya.
Y

Zone Toleransi untuk


tetap hidup

Y max
Zona zona
kematian kematian
pada pada
gangguan gangguan
lingkungan lingkungan
yang minimum maksimum

X max

Gambar 1. Pengaruh Faktor Lingkungan (X) terhadap proses pertumbuhan pohon (Y)
Apabila faktor lingkungan berada di atas atau di bawah titik x maximum, maka
proses pertumbuhan (Y) akan menurun terus sampai terhenti pada batas lethal zone. Zona

23
yang terdapat di antara dua lethal zona disebut zone of tolerance untuk suatu faktor
yang sama dapat berbeda pada tanaman yang berbeda pula. Dengan demikian reaksi
tanaman terhadap temperatur ekstrim akan sangat bervariasi. Temperatur rendah akan
merusak tanaman dalam musim salju dimana kerusakan seperti ini tidak akan dijumpai di
daerah tropik. Kerusakan tanaman yang disebabkan oleh temperatur tinggi adalah berupa
pengaruh perbedaan dalam sistem enzim, penumpukan protein, pecahnya sel-sel
membran dan terlepasnya gas-gas beracun di dalam proses metabolisme. Sebagai akibat
dari semua kejadian di atas menyebabkan matinya sel-sel tanaman dan selanjutnya
jaringan-jaringan tanaman menjadi kering. Seedling sering-sering memperlihatkan gejala
batang rotset (stem girdle), karena radiasi panas dari tanah dapat menghanguskan
jaringan-jaringan pada batang muda. Jika batang muda tersebut sampai pada zone
pembengkakan maka disebut sebagai heatcancer. Kombinasi antara temperatur tinggi,
kelembaban rendah dan angin sering-sering menyebabkan daun dan daging buah menjadi
hangus seperti kalau disiram air panas. Gejala lainnya yang paling utama adalah
perubahan warna daun menjadi hijau pucat, bercak-bercak berwarna coklat dan bahkan
kering sama sekali.
1. TEMPERATUR
Pengaruh temperatur yang tinggi dapat dikurangi dengan menanam pohon lebih
rapat atau mendapatkan air yang cukup, menggunakan tanaman penutup tanah, menutupi
serasah pada permukaan tanah dan memberikan naungan. Dalam keadaan temperatur
tinggi tanaman sebaiknya diberikan fungisida karena jaringan-jaringan tanaman sangat
peka terhadap parasit. Temperatur 65C atau 150F cukup untuk merusak jaringan-
jaringan sel yang lembut atau lemah sehingga dapat menyebabkan matinya tanaman
terutama sekali tanaman muda (seedling). Secara singkat, gejala dan akibat yang dapat
ditimbulkan oleh temperatur tinggi adalah:
1. Kematian pada seedling
2. Mencegah terjadinya regenerasi.
3. Luka-luka pada bagian pohon yang mempunyai jaringan lemah.

24
4. Terjadi luka pada bagian tanaman muda di dekat permukaan tanah. Gejala ini
sering disangka damping off, bedanya kalau damping off luka akan menjalar ke
atas dan ke bawah sedang luka karena temperatur tinggi tidak menjalar.
5. Gugurnya daun sebelum waktunya, sering disebut sebagai Heat defoliator
atau Premature defoliator.
6. Daun-daun tertutup oleh lapisan gula. Hal ini terjadi karena temperatur yang
tinggi menyebabkan pohon banyak mengeluarkan cairan dari ujung-ujung daun
(exudation) dan sewaktu air dari cairan menguap maka yang tinggal pada daun
adalah lapisan gula, sehingga sering gejalanya disebut sebagai Sugar
exudation.
7. Luka tersebut pada kulit pohon yang halus, disebabkan keadaan yang sangat
panas dan kekeringan atau dapat pula terjadi pada pohon sisa dari suatu
penebangan atau penjarangan. Gejalanya sering disebut sebagai Sunscald.

2. A I R
Proses pertumbuhan tanaman dan hubungan hasil panen dengan nilai jual
produksinya sering berhubungan erat dengan tersedianya air tanah yang cukup. Tumbuh-
tumbuhan memerlukan air untuk proses biosintetik, hydration protoplasma dan
mengangkut larutan-larutan yang terdapat dalam jaringan pembuluh. Tekanan air dalam
jaringan dapat mempengaruhi pembelahan dan perpanjangan sel. Oleh sebab itu
berkurangnya air tanah akan cenderung memperlihatkan gejala penyakit tanaman berupa
terhambatnya pertumbuhan, perubahan warna daun, daun-daun menjadi kerdil,
perkembangan buah sangat lambat, akhirnya tanaman layu dan mati.
Tanaman tahunan biasanya lebih tahan kekurangan air dibanding dengan tanaman
musiman. Untuk tanaman musiman gejala yang terjadi biasanya berupa daun hangus,
daun berguguran mulai dari pucuk menuju kebawah, pengguguran keseluruhan daun dan
layu. Air tanah yang terlalu banyak menyebabkan drainase jelek sehingga konsentrasi
oxygen didalam tanah menurun sampai dibawah level kebutuhan minimal bagi
pertumbuhan akar. Sel-sel membran akan berubah. Sebagai akibatnya, akar mati dan

25
tumbuhan segera layu karena air tidak dapat diabsorbsi sungguhpun tersedianya cukup
banyak. Air yang berlebihan yang mengakibatkan persediaan oxygen terbatas akan
menghasilkan perubahan komposisi mikroflora. Beberapa microorganisme ini dapat
menghasilkan zat fitotoxik disamping fakultatif saprofit lainnya akan aktif menyerang
dan mematikan akar.
3. GAS-GAS DI UDARA
Gas-gas yang diperlukan untuk pertumbuhan pohon-pohon dan yang dapat
menimbulkan hal kritis hanyalah oxygen. Pengaruh kekurangan oxygen yang disebabkan
oleh air tanah telah dibicarakan di atas. Pusat-pusat jaringan pada daging buah dan sayur-
sayuran dapat menderita defisiensi oxygen jika disimpan dengan temperatur tinggi.
Proses diffusi yang memerlukan oxygen tidak mampu lagi membantu terjadinya respirasi
normal dan akan terjadi reaksi enzym yang tidak normal. Sebagai suatu contoh adalah
penyakit Black heart pada kentang.
4. C A H A Y A
Gejala penyakit yang disebabkan oleh pengaruh cahaya kadang-kadang sangat
sukar dipisahkan dari penyakit yang disebabkan oleh faktor lingkungan lainnya.
Intensitas cahaya yang berlebih-lebihan menyebabkan reaksi photochemical menjadi
tidak normal karena tidak aktifnya beberapa enzym dan oksidasi klorofil. Pengaruh
tersebut hanya dapat dikatakan apabila oxygen terdapat dalam jumlah yang cukup.
Dengan demikian proses foto-oksidasi dapat menyebabkan daun berwarna pucat dan
kadang-kadang daun mati. Peranan cahaya ultra violet dalam proses foto-oksidasi belum
banyak diketahui. Tetapi ultra violet telah dipergunakan dalam penyinaran kacang-
kacangan yang ditanam dalam pot di daerah altituted tinggi.
Penyinaran yang tidak cukup akan menghambat formasi kloropfil dan
merangsang photomorphogenetic, proses mana menyebabkan tumbuhan menjadi pucat.
Tumbuhan seperti ini mempunyai batang yang panjang, pertumbuhan daun sangat kerdil,
daun berwarna hijau kekuning-kuningan dan sangat peka terhadap serangan perusak.

5. A N G I N

26
Angin sebagai faktor cuaca lainnya dapat memberikan pengaruh baik dan buruk
terhadap hutan. Pengaruh yang baik misalnya dalam hal penyerbukan dan penyebaran
biji. Disini hanya akan dibahas mengenai pengaruh yang merugikan pohon-pohon hutan
baik yang langsung maupun yang tidak langsung. Pengaruh angin yangmerugikan dapat
dibagi menjadi:
a. Pengaruh terhadap tanah hutan
Pengaruh angin terhadap tanah hutan dapat menyebabkan terjadinya erosi angin
dan menyebabkan tanah menjadi kering. Erosi angin terjadi karena perpindahan tanah
dari tempatnya karena tiupan angin. Biasanya butir-butir tanah yang halus sewaktu tanah
sedang kering akan mudah untuk ditiup angin. Tertiupnya butiran-butiran tanah yang
terus menerus akan menyebabkan tanah menjadi kurus atau tidak subur lagi. Sering pula
serasah hutan juga tertiup sehingga tanah menjadi terbuka dan ditempat lain terdapat
timbunan dari serasah yang tebal.
b. Pengaruh terhadap cuaca hutan
Angin kuat yang meniup di hutan dapat mengganggu atau menyebabkan
terjadinya gangguan terhadap penguapan, transpirasi, temperatur, kelembaban,
carbondioxida, dan lain-lainnya. Akibatnya cuaca dari hutan akan dapat berubah menjadi
cuaca yang tak menguntungkan bagi hutan. Sering terjadi karena adanya angin cuaca di
hutan menjadi dingin atau menjadi panas.
c. Pengaruh terhadap fisiologi pohon
Akibat fisiologi pohon karena tiupan angin dapat berbentuk:
- Bentuk dari tajuk yang tak normal
- Merubah sistem dari perakarannya
- Berkurangnya tinggi dari pohon
Perubahan-perubahan fisiologi pohon tersebut adalah merupakan usaha dari
pohon untuk mempertahankan diri agar tetap hidup dalam menghadapi angin. Gejala-
gejala ini tampak jelas pada pohon-pohon yang tumbuh di pinggir hutan karena
merupakan pohon yang langsung menahan tiupan angin. Makin ke dalam hutan akibat
dari angin akan makin berkurang.

27
d. Kerusakan mekanis pada pohon
Kerusakan mekanis yang disebabkan oleh angin dapat berbentuk:
- Ranting-ranting patah
- Daun-daun berguguran
- Akar-akar mudah patah
- Batang-batang pohon patah
- Pohon-pohon terbongkar dengan akarnya
Kerugian besar biasanya terjadi bila ada angin taupan, sehingga banyak pohon
akan tumbang dan patah. Angin yang kecil saja tidak akan menimbulkan kerusakan
mekanis. Kerusakan mekanis terjadi bila angin mempunyai kecepatan + 45 km per jam
ke atas.
e. Penyemprotan garam pada hutan
Hutan yang menderita penyemprotan garam adalah yang berada di pantai. Angin
yang keras dengan kecepatan +150 km per jam akan mampu meniup butir-butir air laut
sampai sejauh 45-70 km. Hutan yang tersiram air garam daunnya akan menjadi kuning
kemerah-merahan. Dalam keadaan yang merana ini sering hama dan penyakit akan
datang menyerang hingga dapat mempercepat kematiannya. Hutan yang menderita hebat
akan tampak seperti terbakar.
Mencegah sama sekali timbulnya kerusakan hutan akibat angin sangatlah sulit,
tetapi mengurangi besarnya kerusakan dapatlah dilakukan dengan jalan mengusahakan
agar pinggir hutan terutama yang berbatasan dengan tanah terbuka, ditutupi vegetasi
secara rapat dan vertikal dengan daun-daunnya yang lebat, sehingga angin tidak dapat
masuk ke dalam hutan. Usaha untuk membuat pohon-pohon hutan tahan terhadap angin
dapat dilakukan dengan pengaturan penjarangan. Mempercepat penjarangan yang keras
dan secara bertahap membiasakan pohon untuk menghadapi angin (karena perubahan
fisiologi pohon) akan dapat membuat hutan lebih tahan dalam menghadapi angin. Tebang
pilih terutama yang berbentuk jalur-jalur banyak memberikan keuntungan dalam
menghadapi angin. Mengingat pohon-pohon tua akan lebih menderita daripada yang
muda di dalam menghadapi angin, maka sering daur tebang hutan dipendekkan.

28
Untuk mencegah terjadinya erosi tanah oleh angin, jalan yang baik adalah selalu
mengusahakan agar tanah selalu tertutup oleh humus, serasah dan tanaman bawah.
Apabila terdapat tanah yang terbuka terutama banyak mengandung pasir, untuk
menghindari terjadinya erosi angin sebelum tanaman hutan dapat menutup, dapat
diusahakan dengan menanami jenis rumputan-rumputan atau semak-semak yang cepat
dapat menutup tanah. Menutup tanah dengan batang-batang rumput kering yang diberi
pemberat dapat pula dilakukan selama bibit-bibit pohon hutan masih kecil.

B. PENGELOLAAN TANAH YANG KURANG BAIK


Tumbuh-tumbuhan tidak dapat berperanan sebagaimana mestinya apabila
beberapa faktor fisik dan kimia yang terdapat di dalam tanah menghambat sistem
perakaran untuk menyerap air, unsur hara dan oxygen. Faktor fisik tanah yang sangat
penting adalah mengenai tekstur dan strukturnya. Faktor ini sangat mempengaruhi daya
tampung air dan hara, peredaran udara, temperatur dan pertumbuhan akar.
Faktor kimia meliputi sumber-sumber mineral, kapasitas pertukaran kolloid tanah
dan reaksi tanah. Pembicaraan lebih lanjut tentang faktor-faktor diatas adalah diluar
bidang ilmu perlindungan hutan. Tetapi kita harus menyadari bahwa banyak interaksi
antara tanah yang dapat menyebabkan kebutuhan utama tumbuh-tumbuhan melampaui
batas toleran. Dengan demikian akan timbul gejala penyakit tanaman sebagai akibat
defisiensi karena tersedianya kebutuhan secara berlebihan atau tidak adanya
keseimbangan antara faktor-faktor yang diperlukan.

1. PENYAKIT KARENA DEFISIENSI BAHAN MAKANAN ATAU HARA


Analisa mineral hara yang terdapat di dalam tanah menunjukkan perbedaan yang
sangat nyata dalam hal konsentrasinya. Hal ini menunjukkan bahwa tanaman mempunyai
kemampuan untuk menyeleksi absorbsi hara yang tersedia di dalam tanah. Lebih 60 jenis
elemen telah diketemukan di dalam jaringan berbagai tanaman. Diantara ini hanya 16
yang dianggap sangat penting untuk pertumbuhan dari kebanyakan tanaman.
Ada tiga kriteria untuk menentukan apakah sesuatu elemen sangat dibutuhkan
oleh tanaman atau tidak yakni:

29
a. Sesuatu tanaman tidak dapat menyempurnakan pertumbuhan vegetatifnya atau fase
reproduksi tidak dapat berkembang apabila kekurangan element tersebut.
b. Gejala defisiensi sesuatu elemen hanya dapat dinormalkan kembali dengan
memberikan element tersebut kepada tanaman.
c. Elemen ini secara langsung merupakan hara yang dibutuhkan oleh tanaman.

Tabel 1. Elemen-elemen utama untuk pertumbuhan tanaman


Elemen Simbol Bentuk yang dimanfaatkan Konsentrasi dalam
tanaman jaringan (%)

MACRONUTRIENTS:

1. Carbon C CO2 45
2. Oxygen O O2,H20 45
3. Hydrogen H H2O 6
4. Nitrogen N NO3-,NH4+ 1.5
5. Phosphorus P H2PO4-, HPO4= 0.2
6. Potassium K K+ 1.0
7. Calcium Ca Ca++ 0.5
8. Magnesium Mg Mg++ 0.2
9. Sulphur S SO4= 0.1

MICRONUTRIENTS:

1. Chlorine Cl Cl- 0.01


2. Boron B BO3=, B4O7= 0.002
3. Iron Fe Fe+++, Fe++ 0.01
4. Manganese Mn Mn++ 0.005
5. Zinc Zn Zn++ 0.002
6. Copper Cu Cu++, Cu+ 0.0006
7. Molybdenum Mo MoO4= 0.00001

Defisiensi hara dapat terjadi apabila tersedianya dalam tanah sangat kurang atau
terdapatnya dalam bentuk yang tidak dapat diserap oleh tanaman. Defisiensi dapat
disebabkan karena proses pencucian, antagonisme bahan-bahan kimia, aktifitas mikroba,
peredaran udara dan kemasaman tanah (pH). Jika satu atau lebih element hara kurang,
maka tanaman-tanaman sering memperlihatkan gejala sebagai berikut:
a. Tidak berkembangnya anakan (seedling) atau seedling akan mati seluruhnya.
b. Tanaman kerdil

30
c. Memperpanjang waktu pemetikan produksi
d. Gejala perubahan warna pada daun atau batang
e. Penurunan produksi tanaman terutama sekali kwalitasnya.
Untuk mengetahui penyakit defisiensi harus dimulai dengan mengetahui peranan
fisiologis tanaman dan tipe-tipe gejala defisiensi yang disebabkan oleh setiap unsur hara.
Hal ini dapat ditunjukkan dalam tabel agar supaya mudah mengevaluasi jenis kerusakan,
dan selanjutnya menentukan sistem pemupukan yang akan dianjurkan. Penyakit tanaman
sebagai akibat defisiensi hara dapat dicegah antara lain dengan:
a. Usaha pemupukan
b. Merubah pH tanah
c. Tindakan pengelolaan tanah yang baik
d. Sistem pengaturan atau pergiliran tanaman

2. PENYAKIT YANG DISEBABKAN KELEBIHAN HARA

Apabila konsentrasi elemen-elemen hara terdapat dalam jumlah yang berlebihan


baik secara alam maupun sebagai akibat penggunaan pupuk akan menyebabkan
timbulnya gejala fitotoxik. Keadaan ini terutama timbul karena konsentrasi micronutrient
tinggi seperti: boron, copper, manganese dan lain-lain, yang mana sering-sering
disebabkan karena berubahnya pH tanah. Dengan berlebihnya salah satu mikro-nutrient
dapat mempengaruhi unsur hara lainnya, misalnya besi tidak dapat diserap oleh tanaman
apabila copper terdapat dalam jumlah yang berlebihan. Demikian pula halnya dengan
penggunaan kapur yang berlebihan dapat membuat tanah menjadi basah (alkali),
sehingga unsur lainnya seperti manganese tidak dapat diserap oleh tanaman. Tanah yang
bergaram tidak hanya kelebihan sodium tetapi juga sangat jelek strukturnya sehingga
dapat menghambat pertumbuhan akar.

Tabel 2. Gejala Defisiensi dan Peranan Elemen Mineral Utama Pada Tumbuhan

ELEMEN PERANAN ELEMEN TIPE GEJALA DEFISIENSI

1 2 3
Nitrogen Merupakan unsur pokok dari enzime, Pucuk menjadi kerdil, daun menjadi jarang,

31
protein, cellular dan juga bagi lignin berwarna hijau pucat sampai kuning. Daun
paling bawah berguguran.
Phosporus Merupakan unsur pokok dari sejumlah Pucuk menjadi kerdil, daun-daun berwarna
zat-zat yang diperlukan dalam biru kehijauan, kadang-kadang disertai
fotosintesa, respirasi dan lain-lain. Juga warna keunguan. Matinya daun mulai dari
merupakan unsur pokok protein dan sel- dalam (pangkal cabang) menuju keluar
sel membran. (ujung cabang). Membatasi pertumbuhan
akar.
Sulphur Merupakan unsur pokok dari protein dan Mengurangi pertumbuhan ,bagian atas
enzim pucuk kelihatan sangat pucat
Potassium Tidak ditemukan dalam susunan Pucuk menjadi kerdil, Daun kecil-kecil
organik, secara umum peranannya berwarna putih atau terdapat bercak-bercak
adalah dalam keseimbangan ion-ion, coklat yang sudah mati yang secara
hidrasi dan permiabilitas membran perlahan meluas kepinggir daun
menyebabkan pinggiran seperti habis
terbakar.
Calcium Merupakan bagian utama dalam Matinya titik tumbuh pada bagian ujung.
pembelahan sel dan perpanjangan sel Pertumbuhan pucuk kearah lateral
berlebihan dimana menyebabkan titik-titik
tumbuh segera mati. Pinggiran daun
mengerut tidak beraturan, pertumbuhan
sangat merana.
Magnesium Merupakan bagian unsur pokok dari Daun-daun bawah berwarna pucat, tulang-
klorophyl dalam bentuk ion-ion bebas, tulang daun tetap hijau sedang daging daun
mengaktifkan respirasi enzim. berwarna kuning pucat. Selanjutnya daun
bagian bawah mati.
Iron Tanpa Iron chlorophyl tidak dapat Paling utana bagi daun-daun muda.
berfotosintesa. Merupakan komponen Defisiensi yang keras menyebabkan daun
utama dari metal protein enzimes, berwarna putih.
cythochromes dan leghaemoglobin.
Manganese Mengaktifkan respirasi enzim terutama Gejalanya bermacam-macam pada jenis
sintesa chlorophyl dan reaksi padi-padian. Pada daun terdapat belang-
photochemical dari fotosintesa. belang warna kelabu dan coklat atau
diselang selingi antara garis-garis kelabu.
Pada tanaman yang berdaun lebar, biasanya
warna daun berbelang-belang.
Zinc Merupakan komponen dari beberapa Pada jenis padi-padian pertumbuhan tipis
enzym, merangsang aktifitas enzim daun-daun tua kelihatan agak ungu atau
terutama metabolisme karbohidrat dan merah tua kemudian mati. Pada tanaman
sintesa protein dan auxin. berdaun lebar ciri-cirinya adalah rossette
dan daun kecil.
Copper Enzym yang mengandung Copper Pertumbuhan kerdil, mengeringnya ujung-
sangat penting dalam berbagai macam ujung daun muda dan daun menjadi layu
reaksi oksidasi dalam sel sungguhpun kelembaban tetap tinggi.

1 2 3
Molybdenum Pembantu utama dalam proses reduksi Daun berbintik-bintik dan mati, menekan
nitrate.Komponen dari bermacam- perkembangan helai daun sebagai contoh
macam metallo enzime. Sangat penting whiptail pada cauliflowers, mencegah
dalam fixaxi nitrogen oleh nodul - nodul nodule mengikat nitrogen pada legumes
pada legumes. sehingga terjadi defisiensi nitrogen.

32
Boron Bentuk kegiatan yang jelas belum Batang mempunyai tebal yang tidak normal,
diketahui titik tumbuh mati. Pada legum membatasi
pertumbuhan nodule.
Chlorine transport elektron dalam reaksi cahaya Layu, daun berwarna coklat tua, daun mati.
pada photosynthesis. Sedikit sekali Jelas sekali menghambat pertumbuhan akar.
diketahui tentang peranan element ini.
Cobalt Tidak begitu penting untuk fixasi Secara hebat membatasi pertumbuhan
nitrogen pada legumes. legumes yang mana sangat bergantung
pada ikatan nitrogen secara simbiotik.

C. KERUSAKAN YANG DISEBABKAN OLEH ZAT KIMIA DAN


MEKANIS
Ekosistem hutan tanaman pada umumnya sangat tidak stabil, karenanya itu
memerlukan kecakapan para rimbawan untuk memperoleh produksi yang
menguntungkan. Untuk produksi yang tinggi, sering-sering diperlukan penambahan hara
kedalam tanah melalui sistem pemupukan, selain penggunaan bermacam-macam biosida
untuk mengendalikan hama dan penyakit tanaman. Dengan konsentrasi tinggi
kebanyakan biosida (fungisida, insektisida dan lain-lain) akan bersifat racun. Jika
tanaman tidak mati terbunuh oleh bahan-bahan kimia ini, maka bagian tanaman yang
sudah dirusak oleh bahan kimia tadi akan lebih mudah diserang oleh hama dan penyakit.
Bermacam-macam penggunaan bahan kimia dibidang kehutanan dapat menimbulkan
polusi pada tanah yang mempengaruhi proses siklus hara dan selanjutnya akan
menyebabkan timbulnya penyakit defisiensi hara.
Sejumlah besar bahan kimia yang beracun terhadap tanaman telah ditemukan
sebagai polusi udara disekitar areal-areal industri. Bahan-bahan kimia ini antara lain:
ethylene, nitrogen dioxide, peroxyacyl nitrates, ozone, photochemical smog, hydrogen
flouride dan sulphur dioxide. Semua zat-zat ini, jika konsentrasinya cukup dapat
menyebabkan gejala penyakit pada daun. Tetapi beberapa diantara zat ini dapat juga
beracun terhadap jamur sehingga jenis-jenis jamur tersebut tidak akan ditemukan di
daerah polusi.
Jarang sekali ada pohon di hutan yang dapat bebas sama sekali dari kerusakan
mekanis sampai mencapai masak tebang. Kerusakan mekanis pada pohon biasanya

33
berbentuk suatu luka terbuka pada kulit atau kayu, walaupun ada pula kerusakan mekanis
sampai menyebabkan matinya pohon yaitu karena disambar petir, sekalipun demikian
tidak dapat dijumpai adanya luka yang terbuka.
Kerusakan mekanis pada pohon dapat terjadi karena sebab sebagai berikut:
a. Tumbangnya suatu pohon.
Tumbangnya suatu pohon yang disebabkan karena: pohonnya mati, Penebangan
hutan, Penjarangan hutan. Hal ini akan dapat menyebabkan tumbuhnya luka pada kulit
dan kayu pohon, patahnya cabang-cabang dan pucuk. Luka-luka pada pohon merupakan
tempat infeksi dari hama dan penyakit pohon, hingga akan dapat makin memperbesar
kerusakan. Penebangan hutan dengan menggunakan mesin-mesin sering menimbulkan
banyak luka-luka pada pohon-pohon yang tinggal.
b. Kebakaran hutan
Kebakaran hutan tipe ground-fire, dimana api hanya membakar serasah dan lapisan
atas dari tanah dapat menimbulkan luka terbuka pada pangkal-pangkal batang.
c. Es atau salju
Hujan es atau salju yang disertai dengan angin akan dapat menyebabkan daun-daun
rontok, luka-luka pada kulit, kambium atau pucuk pohon menjadi patah. Selain luka,
pohon sering pula mengeluarkan cairan yang tidak normal (resin) atau tumbuhnya suatu
jaringan dalam kayu yang tak normal.
d. P e t i r
Tidak ada jenis pohon yang dapat kebal terhadap petir. Sambaran petir tidak selalu
membunuh pohon, kadang-kadang hanya melukai pohon pada kulit atau bagian kayunya,
tetapi dapat pula menyebabkan matinya pohon baik dengan menimbulkan luka-luka atau
tanpa adanya luka. Kematian pohon akibat petir sebenarnya tidak begitu berarti, paling
banyak hanya berbentuk segerombol pohon yang mati, biasanya hanya beberapa pohon
saja yang mati. Kerugian yang berarti akibat petir terjadi apabila petir tersebut
menimbulkan kebakaran hutan.
Kerusakan mekanis akibat suatu aktifitas manusia (penebangan) akan dapat
dihindari atau dikurangi dengan memperbaikli teknik-teknik dari penebangan, tetapi

34
kerusakan mekanis yang disebabkan oleh alam (es dan petir) sulit dihindarkan, biasanya
akan diusahakan mencari jenis pohon yang lebih tahan terhadap pengaruh-pengaruh alam
tersebut. Akibat karena kebakaran hutan akan diuraikan dalam bab tersendiri.

TUGAS:

Setiap peserta mata kuliah membuat ringkasan tentang faktor-faktor penyebab kerusakan
karena penyebab abiotik.

35
36
Pokok Bahasan : Penanggulangan dan Pencegahan Kerusakan
Hutan karena Faktor Abiotik.

Sub Pokok Bahasan : Penanggulangan dan Pencegahan Kerusakan


Hutan karena Faktor Abiotik.

Tujuan Instruksional Umum : Selesai Mengikuti Perkuliahan ini Mahasiswa/i


dapat Memahami Beberapa Penanggulangan dan
Pencegahan Kerusakan Hutan karena Faktor
Abiotik.

Tujuan Instruksional Khusus : Selesai Mempelajari Bab IV, Mahasiswa/i


Mampu Menjelaskan dan Menguraikan Beberapa
Penanggulangan dan Pencegahan Kerusakan
Hutan karena Faktor Abiotik.

37
BAB IV
PENANGGULANGAN/PENCEGAHAN KERUSAKAN
HUTAN OLEH FAKTOR ABIOTIK

Penanggulangan atau pencegahan kerusakan hutan akibat faktor abiotik atau


karena faktor alam adalah tidak semua dapat dikendalikan. Gelala kerusakan karena
faktor abiotik dapat diindikasikan jika gejala yang nampak secara menyeluruh pada
luasan dengan jenis pohon yang sama contonya pada persemaian yang kekurangan unsur
hara tertentu atau kekurangan air. Sedangkan bila gajala akibat serangan pathogen
biasanya hanya ditemukan satu, dua atau sebagian saja yang menampakkan gejala.
Ada beberapa faktor abiotik penyebab kerusakan hutan yang dapat dikendalikan,
yaitu antara lain:
1. Akibat Suhu dan penyinaran Tinggi
a. membuat naungan pada persemaian berupa atap, sarlon atau pohon-pohon
pelindung. Pada pertanaman cukup ditanam pohon-pohon pelindung.
b. memperlakukan semai di persemaian dengan sedikit demi sedikit mendapatkan sinar
matahari penuh, agar kalau dipindahkan sudah tahan terhadap sinar matahari
penuh.
2. Curah Hujan
Kerusakan semai dari curah hujan di persemaian adalah sama dengan
perlindungan terhadap penyinaran yang tinggi, yaitu dengan menggunakan pelindung
sarlon karena dapat memecahkan butir-butir air hujan menjadi lebih kecil sehingga tidak
membahayakan semai. Hindari pemupukan semai dengan N (nitrogen), karena dinding
sel semai yang tidak dipupuk dengan N lebih tebal dan kaya akan lignin.
3. Angin
Untuk mencegah kerusakan hutan akibat angin dapat dilakukan dengan cara
menanam jenis-jenis pohon dengan system campuran, menanam pohon dengan jarak
yang rapat pada pinggir hutan yang berbatasan dengan tanah terbuka. Melakukan

38
penjarangan atau pemangkasan di dalam hutan (bukan di pinggir), sehingga dapat
menghasilkan pohon-pohon yang kekar.
4. Polusi Udara
Kerusakan hutan akibat polusi udara ialah dengan membersihkan uap pabrik gas-
gas beracun atau paling sedikit menurunkan konsentrasinya sampai di bawah konsentrasi
yang membahayakan, misalnya dengan membuat saringan, melarutkan, memanaskan atau
menetralisir limbah berbahaya.
5. Api
Pencegahan merupakan upayayang dilakukan pada fase sebelum kejadian
berlangsung. Kegiatan pencegahan kebakaran hutan dapat dilakukan meliputi membuat
peta kerawanan kebakaran, memantau gejala rawan kebakaran, penyiapan regu pemadam,
membangun menara pengawas, membuat jalur sekat bakar, penyuluhan dan membentuk
organisasi pemadam kebakaran hutan dan lahan. Sedangkan untuk pemadaman atau
mengendalikan kebakaran hutan dan lahan akan dibahas pada bab lain.

39
TUGAS:
Setiap Kelompok Mencari satu contoh artikel tentang kasus kerusakan karena faktor
abiotik dan cara penanggulangannya.

40
Pokok Bahasan : Faktor-faktor Biotik Penyebab Kerusakan Hutan.

: Faktor Manusia, Binatang, Serangga dan


Sub Pokok Bahasan Penyakit Penyebab Kerusakan Hutan serta
Problem Penyakit Hutan.

: Selesai Mengikuti Perkuliahan ini Mahasiswa/i


Tujuan Instruksional Umum dapat Memahami Beberapa Faktor-faktor Biotik
Penyebab Kerusakan Hutan.

: Selesai Mempelajari Bab V, Mahasiswa/i


Mampu Menjelaskan dan Menguraikan Beberapa
Tujuan Instruksional Khusus Faktor-faktor Biotik Penyebab Kerusakan Hutan.

41
BAB V
FAKTOR-FAKTOR BIOTIK PENYEBAB KERUSAKAN
HUTAN

A. KERUSAKAN HUTAN KARENA FAKTOR MANUSIA

Manusia adalah merupakan salah satu sumber utama kerusakan hutan baik yang
dilakukan secara langsung maupun secara tidak langsung yakni sebagai akibat-akibat
daripada kegiatan manusia.
a) Kebakaran hutan di Amerika Serikat sebagian besar disebabkan karena kelalaian
manusia. Antara tahun 1942-1946 paling sedikit 85 % kebakaran hutan di AS
disebabkan oleh kelalaian manusia. Karenanya itu manusia perlu diberi pengertian
tentang bahayanya menyalakan api dikawasan hutan pada musim-musim tertentu
dan yang lebih utama lagi adalah memberikan pengertian kepada mereka mengenai
pentingnya perlindungan terhadap hutan.
b) Manusia juga dapat merupakan penyebab utama terjadinya serangan hama dan
penyakit yang sangat berbahaya terhadap tanaman yakni dengan jalan mengimpor
jenis tanaman dari daerah luar yang mengandung bibit hama dan penyakit.
c) Binatang-binatang ternak kadang-kadang dilepas orang dan dibiarkan merumput di
dalam hutan. Penggembalaan seperti ini kadang-kadang memberikan pengaruh yang
sangat jelek terhadap hutan. Bahkan kerusakan hutan oleh binatang-binatang liar,
juga kemungkinannya disebabkan oleh manusia karena adanya usaha manusia untuk
melindungi binatang-binatang liar atau karena pertimbangan faktor perusak yang
tidak dapat dipengaruhi oleh manusia adalah faktor iklim. Kerusakan hutan karena
pengaruh atmosfer adalah diluar jangkauan manusia.
d) Manusia juga merupakan penyebab utama kerusakan hutan karena adanya gas-gas
beracun yang keluar dari cerobong-cerobong asap dan pabrik-pabrik.

42
e) Jalanan-jalanan umum yang tersebar di dalam hutan memungkinkan orang-orang
yang lewat akan mencari hasil-hasil hutan, hal ini sering menyebabkan kerusakan
hutan.
f) Kerusakan kecil lainnya seperti pemadatan tanah, perusakan humus dibawah hutan
dan pengurangan kerapatan pohon dapat juga terjadi karena seringnya manusia
masuk kedalam hutan. Kerusakan hutan seperti ini kebanyakan terjadi pada areal-
areal hutan yang berdekatan dengan pemukiman manusia, dimana hutan seolah-olah
dianggap sebagai taman. Pada hutan-hutan rekreasi yang banyak dikunjungi
manusia, sudah dianggap wajar apabila terjadi kerusakan berupa, pemadatan tanah,
rusaknya akar-akar pohon dan kerusakan-kerusakan mekanis pada batang-batang
pohon. Pada keadaan tertentu eksploitasi juga dapat menyebabkan kerusakan hutan.
Penebangan pohon-pohon yang sudah tua tidak dianggap merusak tetapi biasanya
tekhnik penebangannya kadangkala menyebabkan kerusakan hutan. Sebagai akibat
eksploitasi dari sekian banyak kerusakan yang mungkin terjadi, diantaranya yang
sangat penting adalah kegagalan manusia untuk membangun hutan tanaman kembali
dengan jenis-jenis yang menguntungkan, sesudah semua pohon-pohon tua ditebang.
Eksploitasi yang serampangan dapat membinasakan pohon-pohon muda yang berarti
akan merusak perlindungan tanah sehingga mudah terjadi erosi dan longsor.
g) Karena kurangnya pengetahuan manajemen dari staf pengelola hutan. Sering terjadi
seorang pimpinan pengelola hutan sama sekali tidak mempunyai pengetahuan
tentang berbagai macam perusak yang senantiasa mengancam hutan sepanjang
waktu, tidak memiliki kemampuan manajemen bahkan kurang sekali mengetahui
tentang hutan. Kurangnya pengetahuan seorang manajer kehutanan secara lambat
atau cepat pasti akan mendatangkan bencana, karenanya itu hal-hal seperti ini di
dalam perencanaan hutan harus dihindari

43
B. KERUSAKAN HUTAN KARENA FAKTOR BIOLOGIS.
(Infectious Diseases)

1. KERUSAKAN YANG DISEBABKAN OLEH BINATANG


VERTEBRATA SELAIN BINATANG TERNAK
Margasatwa merupakan salah satu sumber alam yang dapat memberikan hasil
keuntungan disamping nilai ilmiah dan nilai lain yang sangat penting, tetapi dalam buku
ini ditinjau dari sudut Perlindungan Hutan dan bukan dari sudut manajemen
Margasatwa. Uraian disinipun ditujukan pada hutan untuk produksi kayu, tidak termasuk
hutan-hutan yang memang khusus dipergunakan untuk perlindungan margasatwa,
rekreasi, berburu dan lain-lainnya.
Dalam keadaan jumlah yang normal, margasatwa relatif sangat kecil bila
dibandingkan kerusakan yang ditimbulkan oleh: serangga, jamur, kebakaran hutan dan
penggembalaan ternak di hutan.
Kerusakan dapat terjadi pada:
Daun-daun dari pohon
Pucuk dan tunas pohon
Kulit pohon
Batang pohon
Pesemaian dan anakan pohon
Biji dan buah
Kerusakan tak langsung akibat luka pohon yang ditimbulkan (infeksi hama dan
penyakit)
Di beberapa negara ada yang memiliki jenis binatang yang dapat menumbangkan
pohon dengan menggerek batang-batang pohon sampai putus. Margasatwa dan pohon-
pohon di hutan hidup bersama merupakan suatu masyarakat dimana masing-masing
mempunyai hubungan yang erat. Tindakan manusia pada salah satu diantaranya akan
mempengaruhi yang lainnya. Misalnya aktivitas manusia dalam penebangan atau suatu

44
pemeliharaan akan mempengaruhi kehidupan dan jumlah atau populasi margasatwa, yang
berarti pula dapat berubah menjadi kerusakan hutan yang disebabkan oleh margasatwa.
Tiap-tiap daerah atau negara mempunyai bermacam-macam jenis margasatwa
yang berbeda. Di Indonesia pada umumnya kerusakan hutan ditimbulkan oleh rusa,
bajing, tikus, babi, kelinci, dan burung.
1) Rusa: kerusakan yang ditimbulkan mirip dengan kerusakan yang disebabkan
penggembalaan dari kambing dan biri-biri, walaupun makanan tidak sama. Kira-
kira 60 % dari makanan rusa juga disukai oleh kambing dan biri-biri. Rusa juga
sangat merugikan pada tanaman-tanaman muda dan anakan-anakan
2) Bajing: kerusakan yang ditimbulkan bajing ialah pada biji, buah, pucuk, tunas,
dan kulit pohon. Binatang ini hidup dipohon bagian atas, bajing dapat berguna
didalam penyebaran biji, karena sering membawa buah ketempat yang agak jauh
dari pohonnya dan menyembunyikan di tanah berarti biji buahpun akan dapat
tumbuh.
3) Tikus: binatang ini juga merusak biji-biji dan mengerat kulit dari anakan dan
tanaman muda sampai mati. Bagian yang dirusak biasanya yang dekat dengan
tanah terutama yang berada didalam tutupan serasah. Beberapa daerah
mempunyai jenis tikus yang hidup dipohon bagian atas. Tikus-tikus menyukai
hutan yang mempunyai tanaman penutup tanah dan serasah yang lebat. Biji dalam
persemaian atau tempat-tempat perkecambahan sering mendapat gangguan dari
tikus.
4) Babi: sering merusak biji, buah, akar-akar pohon, anakan dan tanaman-tanaman
muda. Sistim penanaman tumpangsari terutama yang menggunakan ketela rambat
(ubi jalar) dan ketela pohon (ubi kayu) sering memanggil datangnya babi hutan.
5) Kelinci: kerusakan akan terjadi pada pucuk dan tunas, tanaman muda, cabang-
cabang kecil, batang dan kulit pohon. Sering mengerat pohon sampai
menimbulkan kematian.
6) Burung: burung-burung sebenarnya lebih banyak menimbulkan akibat yang
menguntungkan daripada yang merugikan. Akibat yang menguntungkan misalnya

45
di dalam hal menyebarkan biji pohon, memakan serangga-serangga yang
merugikan hutan dan memakan binatang lainnya seperti bajing, tikus, dan kelinci
yang juga banyak menimbulkan kerusakan pada hutan. Kerusakan yang
ditimbulkan burung adalah karena makan biji, buah, pucuk pohon. Beberapa jenis
burung sering melubangi pohon untuk tempat tinggal, atau mematuk-matuk pohon
untuk mencari makanannya. Pencegahan dan pemberantasan yang dapat
dilakukan ialah dengan mengatur habitat burung, terutama makanannya sehingga
populasi burung tersebut dapat dijaga agar tidak terlalu banyak atau terlalu
sedikit. Usaha ini mencakup:
- Membuat perangkap atau jerat
- Memberi umpan yang diberi racun
- Mengatur predator atau binatang yang memakan burung hama
- Mengadakan pemburuan
Semua tindakan tersebut harus diatur baik-baik dan segera dihentikan bila
populasi burung menjadi normal kembali. Khusus untuk burung-burung biasanya jarang
diusahakan mengurangi jumlahnya, tetapi hanya melindungi bagian yang dirusak
misalnya biji dan tanaman muda. Pembuatan pagar-pagar penghalang merupakan cara
perlindungan yang baik tetapi biayanya sangat mahal.

2. SERANGGA

Serangga adalah merupakan faktor biologis yang paling banyak menyebabkan


kerusakan pada hutan, sehingga di dalam pengertian hama hutan yang paling banyak
dibicarakan adalah serangga. Dengan demikian ilmu hama hutan sering pula disebut
sebagai ilmu serangga hutan (Forest Entomology). Forest Entomology adalah merupakan
cabang dari ilmu biologi yang secara khusus mempelajari pengaruh serangga terhadap
hutan dan hasil hutan. Pandangan utama dari seorang ahli serangga hutan terutama
ditekankan pada pertimbangan ekonomis, yakni mencegah kerusakan hutan dan hasil
hutan dari serangan serangga. Dalam ilmu ini akan dipelajari antara lain sifat-sifat
keadaan lingkungan dan reaksi fisik dari serangga hutan, sebab dengan demikian aktifitas

46
serangga dapat dikendalikan. Tetapi disamping itu juga harus mengerti tentang hutan
misalnya sejarah dan kebutuhan setiap individu spesies pohon, reaksinya terhadap
lingkungan dan sifat-sifat yang membuat hutan tersebut peka atau resisten terhadap
serangga perusak. Dengan demikian maka seorang ahli serangga hutan sebaiknya
memiliki pengetahuan tentang serangga dan hutan.
Diantara serangga, ada yang secara langsung merusak hutan dan hasil hutan, tetapi
ada juga yang hanya bersifat predator dan parasit terhadap serangga perusak. Disamping
itu ada pula jenis serangga yang tidak termasuk parasit dan predator tetapi mempunyai
peranan yang sangat penting di dalam hutan. Sebagai contoh yakni adanya jenis-jenis
serangga yang hidup pada pohon atau di bawah hutan yang sangat membantu proses
pelapukan sisa-sisa kayu yang ada dalam hutan. Jenis serangga ini mempunyai peranan
yang sangat penting dalam hutan, tetapi kurang memperoleh perhatian sehingga kurang
sekali diketahui aktifitasnya.

a. Peranan Serangga Dalam Hutan


Setiap fase pertumbuhan kayu, mulai dari biji sampai pada produksi terakhir selalu
terancam problema serangga secara terus-menerus. Bahkan sebelum biji dipungut sudah
ada kemungkinan diserang oleh serangga perusak tertentu, terutama sekali dari golongan
ngengat, kumbang dan tawon. Serangan ini kadang-kadang berlangsung terus sampai
pada tempat-tempat penyimpanan biji. Persemaian sering dirusak oleh serangga perusak
daun atau oleh serangga perusak akar. Pohon-pohon pada tingkat sapling kadang-kadang
diserang oleh serangga perusak daun, penggerek batang, pengisap cairan, tetapi biasanya
pohon-pohon ini lebih tahan terhadap serangan. Periode pertumbuhan pohon yang
dianggap paling resisten terhadap serangan serangga yakni antara tingkat seedling sampai
pada masak tebang. Penggerek kulit dan serangga perusak daun biasanya berkembang
cepat pada pohon-pohon yang sudah melewati umur masak tebang. Pada akhirnya pohon-
pohon yang sudah mati atau ditebang segera akan menjadi sasaran oleh serangga-
serangga perusak. Demikian banyaknya jenis-jenis serangga yang merusak pohon-pohon
dan hasil-hasil hutan lainnya, sehingga sangat sulit bagi seorang pengelola hutan untuk
dapat menghindari problema serangga ini. Bahkan sampai pada penjual kayu selalu

47
direpotkan oleh adanya serangga perusak. Juga pada pabrik-pabrik kayu, pulp dan
industri kertas problema serangga selalu ditemukan secara terus menerus.

b. Timbulnya Serangan Hama pada Hutan


Persoalan hama dan penyakit bukanlah melulu persoalan Entomologi atau
Mikologi, tetapi merupakan persoalan yang cukup kompleks yang menyangkut semua
faktor-faktor yang ikut membentuk masyarakat hutan. Semua faktor baik faktor organik
maupun faktor non organik, mempunyai kedudukan yang sama dan harus mendapat
perlakuan yang sama pula. Dalam hutan alam dimana kedudukan biologis masih terdapat
seluruh faktor yang membentuk masyarakat hutan baik faktor organik maupun yang
bukan organik berada dalam kekuatan yang seimbang. Diantara semua faktor tersebut
setiap saat terjadi persaingan dalam usaha untuk menjadi faktor yang dominan dan
dengan adanya persaingan maka timbul seleksi alami. Misalnya pohon sebagai faktor
organik mengalami seleksi alami yang terus menerus sehingga akan menghasilkan jenis
pohon-pohon yang kuat dan cocok untuk daerah lingkungan tertentu, seleksi alami
dimulai dari biji dimana biji yang berasal dari pohon yang cukup tua dan sehat akan
tumbuh menjadi pohon yang baik. Keseimbangan semua faktor dalam masyarakat hutan
alam dan terjadinya seleksi alami secara terus menerus, menyebabkan hutan resisten
terhadap serangan hama dan penyakit. Apabila hutan alam dikonversi menjadi hutan
industri maka timbullah problema hama hutan. Hutan industri apapun juga alasannya,
merupakan suatu kegiatan hasil manusia sebagai faktor ekologi yang dominan konversi
hutan alam menjadi hutan industri menyebabkan timbulnya kegoncangan-kegoncangan
dalam keseimbangan biologis. Setiap perubahan yang dilaksanakan dalam suatu
lingkungan dan setiap usaha untuk mempengaruhi lingkungan memerlukan perubahan-
perubahan atau usaha-usaha lebih lanjut untuk menciptakan timbulnya keseimbangan
baru dalam hutan. Sebelum keseimbangan baru dapat dicapai biasanya terjadi kerusakan-
kerusakan atau kerugian-kerugian yang sebagai akibat daripada peluapan populasi suatu
jenis serangga tertentu. Misalnya pada keadaan lingkungan yang memungkinkan dimana
parasit dan predator tidak ada atau minim sekali, suatu jenis serangga dapat beranak
dalam jumlah yang besar sebagai akibatnya akan merusak kayu dalam jumlah yang besar

48
pula, sehingga menimbulkan kerugian yang secara ekonomis berarti. Pada tingkat
kerugian yang ekonomis inilah yang disebut terjadinya serangan hama.

c. Sistematik dan Morfologi Serangga


Sebelum mempelajari problematika hama, perlu diketahui sistematik dan tanda-
tanda serangga agar jenis-jenisnya dapat dikenal. Serangga (Insekta atau Hexapoda)
tergolong dalam Phylum Arthropoda (Arthror = buku-buku, podos = kaki), kelas
Hexapoda (Hexa = enam), tanda-tanda utama daripada kelas serangga ialah: kaki 6
buah, (3 pasang), tubuh beruas-ruas, mata majemuk (faset), tubuh terdiri atas kepala,
dada (thoraks) dan badan (abdomen): toraks 3 ruas masing-masing ruas berkaki sepasang,
serangga dewasa (imago) umumnya bersayap, dua pasang pada ruas-ruas kedua dan
ketiga dari dada. Ordo-ordo yang penting ialah: Orthoptera, Isoptera, Hemiptera,
Coleoptera, Lepidoptera.

Orthoptera, bangsa belalang, walang kayu, jengkerik. Sayap-sayapnya lurus, tipe mulut
menggigit dan mengunyah. Berkembang biak dari telur menjadi nimfa
(serangga muda) kemudian menjadi imago (serangga dewasa).
Isoptera, bangsa rayap. Kedua pasang sayapnya sama besar dengan textur yang sama
pula, (Iso = sama). Metamorfose hemimetabola. Termasuk serangga sosial
yang hidup dalam koloni dengan pembagian tugas-tugas yang sempurna. Tipe
mulut menggigit dan mengunyah.
Hemiptera, bangsa kepik-kepik, kutu-kutu daun dan lain-lain. Sebagian sayap depannya
menebal (hemi = separuh), sayap belakang seperti selaput. Tipe mulut
menusuk dan mengisap. Metamorfose hemimetabola.
Hymenoptera, bangsa lebah, kerawai dan semut. Bersayap seperti selaput (Hymeno =
dewa perkawinan), tipe mulut menggigit dan mengunyah. Metamorfose
sempurna (holometabola) yaitu perkembangannya berturut-turut dari telur,
ulat (larva), pupa (kepompong) dan imago (dewasa).

49
Coleoptera, bangsa kumbang-kumbang. Sayap depan mengeras (Coleos = seludang),
menutupi sayap belakang yang tipis. Tipe mulut menggigit dan mengunyah.
Metamorfose sempurna (holometabola).
Lepidoptera, bangsa kupu-kupu dan ngengat. Sayap berlapis sisik-sisik halus seperti
tepung, (Lepidos = sisik). Metamorfose sempurna.
Diptera, bangsa lalat, sayap terdiri dari satu pasang. Metamorfose sempurna.

Disamping sifat-sifat morfologi seperti di atas perlu diketahui beberapa


pengetahuan biologi. Berbeda dengan binatang bertulang belakang (Vertebrata), serangga
tidak mempunyai tulang belakang. Sebagai penunjang badan terdapat rangka luar yang
berupa kulit dari bahan chitin. Oleh karena chitin ini bersifat tidak fleksibel ia seringkali
harus diganti apabila badan serangga bertambah besar. Hal inilah yang disebut ekdisis
(pergantian kulit), yang biasanya terdapat pada stadium larva dan nimfa.
Tubuh serangga dapat dibagi atas tiga bagian besar yaitu: Kepala (caput), dada
(thorax) dan badan belakang (abdomen). Pada kepala terdapat sepasang antena, sepasang
mata majemuk (faset), sebuah mata tunggal dan alat-alat mulut. Dada terdiri dari tiga
ruas, pada tiap-tiap ruas terdapat sepasang kaki. Serangga dewasa (imago) biasanya
bersayap sepasang, masing-masing terdapat pada ruas thorax kedua dan ketiga. Pada tiap-
tiap sisi ruas daripada thorax dan abdomen terdapat sebuah lubang napas yang disebut
spirakel (stigma).

f. Bentuk Kerusakan Yang Disebabkan Oleh Serangga


Bentuk kerusakan yang dapat ditimbulkan oleh suatu hama pada pohon atau
tegakan hutan dapat dibagi sebagai berikut:

1. Kerusakan langsung
a) Mematikan pohon
b) Merusak sebagian dari pohon
c) Menurunkan kualitas hasil-hasil hutan
d) Menurunkan pertumbuhan pohon/tegakan
e) Merusak biji dan buah
2. Kerusakan tak langsung

50
a) Merubah suksesi atau komposisi tegakan
b) Menurunkan umur tegakan
c) Menimbulkan kebakaran
d) Mengurangi nilai keindahan (estetis)
e) Membawa penyakit
Semua bagian dari pohon yaitu dari akar, batang, daun sampai buah dan bijinya
dapat diserang hama. Semua tingkat umur pohon / tegakan dari mulai biji disemai,
kecambah, tanaman persemaian sampai pohon sudah tua atau masak tebang selalu ada
kemungkinan untuk dapat dirusak oleh hama. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka
hama hutan dapat dibagi sebagai berikut:
1. Hama buah dan biji.
Caryborus spp Jenis-jenis Caryborus (Fam. Bruchidae ordo Coleoptera)
merupakan hama biji dari jenis-jenis leguminosa. Caryborus ganagra menyerang biji
Bauhinia malabrica dan klampis (Acacia tomentosa) dan jenis-jenis Cassia. Larvanya
kecil, melengkung berwarna putih kekuning-kuningan mencapai panjang 8 mm.
Kumbang (imago) panjang 6-5 mm, kelabu kecoklat-coklatan. Telur-telur diletakkan
pada buah yang masih muda. Segera setelah telur menetas, larva menggerek masuk
kedalam polong. Pupa terbentuk didalam polong kemudian imagonya menggerek keluar.
Ctonomerus lagerstroemiae sejenis kumbang belalai (Fam. Curculionidae, ordo
Coleoptera) menyerang wungu (Lagestroemia speciosa). Alcides hopeae, A. crassus dan
A. shorea merupakan hama buah-buah meranti (Dipterocarpaceae), termasuk juga
kumbang Curculionidae. Dichocrocis punctiferalis (Fam. Pyralidae ordo Lepideptera),
ulat-ulatnya menyerang bunga dan buah jarak (Ricinus communis), Ploso (Butea
monosperma), jati dan lain-lain. Ulat mencapai panjang 15 mm, kuning coklat kemerah-
merahan pada bagian punggung. Kupu-kupunya kecil, lebar, bentangan sayap 1 - 2
cm. Tirathaba ruptilinea (Fam. Pyralidae) menyerang buah jarak, durian dan sawo.
Catoremna albicostalis (Fam. Pyralidae) menyerang buah-buah Dipterocarpaceae.

2. Hama-hama persemaian

51
Semut-semut (Fam. Formicidae, ordo Hymenoptera), sering kali melarikan biji
yang disemai. Gangguan oleh semut dapat dicegah dengan membuat selokan sekeliling
persemaian (bila tersedia air) atau dengan mengadakan penyemprotan dengan dieldrin
dan lain-lain.
Jenis-jenis belalang (Fam. Achrididae dan Locustidae) biasa memakan daun-daun
dari tanaman muda. Hama belalang sukar diberantas karena mereka berpindah-pindah
tempat. Pemberantasan yang efektif dilakukan pada persemaian ialah dengan jalan
mekanis (menangkap). Gangsir (Gryllus sp dan Brachyrypes) dan anjing tanah
(Grylloptalpa africana dan Hirsuta) hidup dalam lubang-lubang dalam tanah, pada
malam hari keluar dan menyerang tanaman muda dipersemaian. Bagian yang diserang
adalah leher akar Agrotis spp (Fam. Noctuidae, ordo Lepidoptera) adalah jenis-jenis ulat
tanah yang sangat merugikan. Mereka menyerang pada malam hari dengan jalan
menggerek leher akar yang menyebabkan kematian tanaman muda. Pemberantasan ialah
dengan jalan mekanis (menangkap kupu-kupunya dengan lampu pada malam hari) dan
membuat selokan-selokan isolasi.
3. Hama-hama batang dari tanaman muda
Xyloborus fernicatus (Fam. Scolytidae, ordo Coleoptera) adalah jenis-jenis
kumbang-kumbang kecil yang menggerek dalam batang kesambi, sonokeling. Panjang
kumbang + 2 mm. Jenis-jenis Xyloborus mula-mula menggerek dari kulit. Xyloborus
morsattius, menyerang mahoni, kayu ulin (Eusidoroxylon zwagerii), jati, kemelandingan,
dan kesambi. Panjang kumbang +1 mm. Monohammus rusticator (Fam. Corambycidae,
ordo Coleoptera) merupakan hama penggerek jati (boktor). Panjang lubang gorok
mencapai 20 cm dan masuk ke dalam sampai empulur. Kumbang (imago) terbang keluar
melalui lubang yang lebarnya 1 cm. Panjang kumbang 2 cm, berwarna kelabu.
4. Hama-hama pengisap
Sebagian besar hama-hama pengisap (mengisap daun dan kulit batang-batang
muda) adalah serangga-serangga dari ordo Hemiptera, famili Corlidae, Tingidae,
Capsidae, Pontatomidae. Serangga-serangga ini mengisap cairan daun dan batang dan
menyebabkan pohon menjadi kerdil dan kadang-kadang pula terjadi kelainan-kelainan

52
dalam pertumbuhan. Kepik-kepik yang penting ialah Anoplocnemis phasiana pada jenis-
jenis Leguminosa (Cassia spp, Albizzia spp dan Tessarotoma yavanica pada kosambi.
Jenis-jenis kutu daun Cocoidae dan Alcurodidae sangat mengganggu tanaman-tanaman
muda, karena menyebabkan pertumbuhan yang lambat, tumbuh lengkung,
pembengkakan-pembengkakan pada pucuk dan lain-lain. Jenis-jenis kutu banyak yang
hidupnya polifago (berinang banyak).
5. Hama Daun
Hyploea puera (Fam. noctuidae, ordo Lepidoptera) hama daun jati menyerang
mulai pada permulaan musim hujan. Larva-larva muda mula-mula hanya memakan daun-
daun muda. Lambat laun ke larva makan daun tua juga sehingga menyebabkan
kegundulan. Penyerangan yang berarti terjadi pada bulan-bulan pertama dan kedua dari
musim hujan. Pupa (kepompong) terbentuk pada bulan Desember. Pupa-pupa ini berada
di tanah diantara daun-daun dan serasah. Pada bulan Oktober berikutnya kupu-kupu
keluar dan menyebarkan infeksi. Ulat pada instar terakhir + 35 mm, bagian punggung
berwarna ungu tua, di bawah berwarna hijau. Hama ini juga menyerang laban (Vitex
pubescens) Pyrausta machoeralis (Fam. Pyralidae) merupakan hama daun dari jenis
Verbenacoae, termasuk jati. Valanga nigricarnis dan Patangga siccinata adalah jenis-
jenis belalang dari famili Acrididae, ordo Orthoptera yang sangat mengganggu daun
bermacam-macam tanaman kehutanan dan pertanian.
Attacus atlas (Fam. Saturniidae, ordo Lepidoptera) ialah jenis kupu-kupu atlas
yang ulatnya seringkali menggundulkan pohon-pohon dadap, rasamala, dan tanaman-
tanaman lain.
Eurema blanda dan Eurema hecabe (Fam. Pieridae, ordo Lepidoptera)
mengganggu tanaman Albizia falcata terutama tanaman muda di persemaian karena dapat
menyebabkan gangguan tumbuh sebagai akibat habisnya daun. Kupu-kupunya berwarna
kuning, terbang aktif pada siang hari.
Catopsila crocale (Fam. Pieridae, ordo Lepidoptera) yaitu kupu-kupu putih yang
ulatnya dapat menggunduli tanaman-tanaman Cassia spp (Fistula dan Siamea).

53
Psychidae, ordo Lepidoptera adalah keluarga ulat-ulat kantong. Pohon-pohon
hutan yang sering diganggu oleh Psychidae ialah Pinus merkusii, segawe dan lain-lain.
Milionia basalis (Fam. Geomtridae), sejenis ulat jengkal yang merupakan hama Pinus
merkusii. Panjang ulatnya 4 cm, warna hitam dengan garis-garis kuning, kepompong
terbentuk dalam tanah dan terbungkus dalam kokon. Sangat mengganggu persemaian
Pinus. Hypsipyla robusta (Fam. Pyralidae, ordo Lepidoptera) merupakan hama pucuk
dan daun dari jenis-jenis mahoni Swietenia mahagoni dan Swietenia macrophylla sangat
berbahaya (mahoni daun kecil), karena intensitas penyerangannya pada jenis ini lebih
besar. Ulatnya berwarna-warni, coklat sampai ungu dan hitam pada instar terakhir
menjadi biru kehijauan, panjang 2-3 cm. Lebar kupu-kupu (bentangan sayap) 2 cm.
6. Hama Cabang
Zeuzera cafeae (Fam. Cossidae, ordo Lepidoptera) adalah penggerek cabang yang
sangat folifaga (berinang banyak), pada jati, laban, kesambi, cemara (Casuarina spp),
damar (Agathis spp) kayu sandal (Santalun album) dan lain-lain. Disebut juga penggerek
cabang berwarna merah, karena larvanya berwarna merah. Serangganya menyebabkan
lubang-lubang gerek pada batang, kematian/kerusakan cabang dan kematian tanaman
muda. Ulatnya berwarna kemerah-merahan, panjang 3 - 5 cm. Kupu-kupu bersayap putih
dengan bintik-bintik hitam yang berkilap logam.
7. Hama-hama Batang
Duemnitus ceramicus (Fam. Cissidae, ordo Lepidoptera) oleng-oleng
menyebabkan lubang-lubang gerek selebar 1-1 cm. Panjangnya .20-30 cm,
melengkung, dinding lubang berwarna hitam, kadang-kadang dengan lapisan kapur.
Kerusakan-kerusakan ini terdapat pada hutan-hutan jati di seluruh Jawa dan tanda
kerusakan tersebut dapat dilihat pada kayu-kayu di TPK. Kupu-kupu: panjang 4-8 cm,
bentangan sayap 8-16 cm, berwarna kecoklatan. Larva: panjang 8 cm, lebar 1,5 cm.
Telur-telur diletakkan pada celah-celah kulit. Pohon-pohon muda yang terserang kadang-
kadang menimbulkan gejala-gejala pembengkakan pada batang. Pada pohon tua, tanda-
tanda serangan sukar diamati karena seranggaini tidak mengeluarkan ekskeremen di luar
batang. Adanya lubang-lubang gerek ini sangat menentukan kualitas batang.

54
Neotermes tectonae, (Fam. Kalotermitidae, ordo Isoptera), inger-inger rangas jati.
Tanda seranggannya ialah adanya bengkak-bengkak (gembol) pada batang. Gembol-
gembol ini dapat terbentuk pada ketinggian 2-20 m dari tanah, merupakan sarang rangas
(rayap) jati. Di dalam sarang tersebut terdapat lubang-lubang yang bentuknya tidak
teratur pada umumnya memanjang batang (longitudinal). Sebuah sarang berisi koloni
Neotermes yang terdiri dari individu-individu pekerja, prajurit dan reproduktif
pengembang biakan raja/ratu, yang jumlahnya berpuluh sampai beratus ribu ekor.
Pembengkakan batang terjadi sebagai reaksi kambium, karena rangsangan yang
disebabkan oleh serangan. Dapat pula disebabkan sebagai akibat gangguan aliran air dan
garam-garam dari akar ke atas. Akibat gangguan dari pada serangan inger-inger
pertumbuhan pohon menjadi kerdil dan dalam keadaan serangan hebat mengakibatkan
kematian pucuk.
Sulung (laron) : panjang 8-10 mm, coklat hitam
Pekerja : putih, tak bersayap
Prajurit : 10-12 mm panjangnya
Kepala coklat tua dengan rahang-rahang yang kuat.
Infeksi pertama terjadi pada bekas-bekas patahan cabang, dan luka-luka pada
batang. Pencegahan serangan: menghindari kerusuhan-kerusuhan pada waktu
penjarangan menebang pohon-pohon yang telah diserang (bergembol).
Xylaborus destruens (Fam. Scolitidae, ordo Coleoptera), penggerek batang jati.
Kumbang-kumbang kecil (bubuk) menyebabkan lubang-lubang kecil (pinpholes) selebar
1-2 mm. Hama ini juga disebut kumbang-kumbang ambrosia karena mereka membawa
spora-spora jamur ambrosia untuk dipelihara sebagai makanannya. Jamur-jamur
ambrosia yang hidup dalam liang gerek Xylaborus merupakan makanan larva-larvanya.
Serangan Xylaborus biasanya berhubungan dengan pemeliharaan tegakan. Apabila
terdapat banyak tumbuhan liar, penjarangan yang terlambat dan lain-lain, hal yang
menyebabkan gangguan tumbuh maka serangan Xylaborus sangat mudah terjadi. Zeuzera
indica, merupakan penggerek (Fam. Cossidae) yang menyerang kayu-kayu pasang

55
(Quercus spp), Magnoliaceae, Lauraceae. Rupa ulatnya hampir sama dengan Zeuzera
Coffeae, hanya sedikit lebih besar.
Platypus solidus (Fam. Platypodidae, Ordo Coleoptera) sejenis kumbang
ambrosia, menggerek batang Acasia decurrens. Xystrocera festiva (Fam. Cerambycidae,
ordo Coleoptera), menyerang tanaman Albizzia falcata di Jawa. Larva menggerek ke atas
ke dalam batang, panjang larva mencapai 5 cm. Tanda-tanda serangan terlihat pada
batang oleh jatuhnya bagian-bagian dari kulit, lubang-lubang gerek yang berbentuk oval.
Pada permulaan serangan terdapat bagian-bagian yang berwarna hitam pada kulit dan
serbuk-serbuk gerek yang dikeluarkan melalui lubang-lubang kecil.
8. Hama Akar
Phassus damar (Fam. Hepialidae, ordo Lepidoptera), uter-uter. Ulatnya sangat
polifage antara lain pada jati, rasamala. Panjang ulat: 6-7 cm, lebar bentangan sayap 7-
9 cm berwarna coklat kelabu.

3. PENYAKIT HUTAN
Gangguan-gangguan yang disebabkan oleh jasad-jasad mikroba atau patogen
(virus, bakteri, mycoplasma, spiroplasma, rickettsia, jamur, nematode dan
benalu/tumbuhan tingkat tinggi), terhadap tegakan/hutan digolongkan kepada penyakit
(patologi) hutan. Gejala-gejala suatu penyakit dibedakan dalam tiga tipe, nekrotik,
atropik, dan hipertropik.
Nekrotik adalah simtom kematian dari bagian tanaman yang terserang. Atropik
ialah simtom-simtom gangguan pertumbuhan berupa kerdil, penyusutan dan lain-lain
degenerasi yang diakibatkan oleh pembelahan abnormal dari sel. Hipertropik ialah
simtom-simtom pertumbuhan lebih (overgrowth) karena pembelahan sel yang berlebihan,
misalnya terjadinya gembol, tumor, witches brooms (sapu setan) dan lain-lain.
a. Virus
virus ada yang menyebutkan sebagai peralihan dari benda mati ke hidup. Virus
bukanlah merupakan sel. Virus adalah partikel yang kecil berbentuk benang, tongkat atau
bulat, memiliki asam inti ribonucleic acid (RNA) atau deoxyribonucleic acid (DNA),

56
tidak mengadakan respirasi dan metabolisme. Asam inti tersebut terbungkus oleh
glycoprotein dan dapat mengkristal yang disebut capsid (Gambar 4). Partikel-partikel
virus memasuki sel tumbuhan melalui luka-luka kecil atau secara tidak sengaja
dimasukkan oleh serangga vektor dan kemudian menempati ruang sel. Virus termasuk
parasit obligat yang memerlukan sel-sel hidup untuk melangsungkan kehidupan dan
perkembangbiakannya. Di dalam sel-sel hidup, kehadiran partikel-partikel virus
RNA/DNA mengakibatkan sel tumbuhan memproduksi lebih banyak RNA/DNA, bersatu
dengan virus dan terbentuk virus RNA/DNA baru. Kemudian virus baru ini mengadakan
perpaduan dengan protein yang secara otomatis menyelimutinya dan dengan demikian
tubuh virus menjadi lengkap.

Gambar 2. Partikel virus yang terdiri dari RNA atau DNA yang terbungkus oleh
glycoprotein dan perbandingan ukuran virus berbentuk batang dengan bulat
(Cummings, 2002).

57
Dengan adanya kegiatan duplikasi diri dari virus di dalam sel inang, maka
metabolism tumbuhan terganggu, akibatnya tumbuhan kekurangan makanan dan energi.
Tetapi virus tidak menyebabkan kematian pada inangnya. Virus memerlukan perantara
untuk pindah dari satu inang ke inang lainnya, yaitu melalui perkembangbiakan
vegetative (stek, okulasi atau cangkok), vector (serangga, penggigit dan penghisap
seperti kutu tanaman (Aphids), lalat putih (white fly), kumbang dan tungau (mite),
nematode, jamur, benih atau serbuk sari tumbuhan.
Gejala akibat serangan virus dapat dibagi atas tiga gejala umum yaitu:
1. Gejala dari luar.
1.1. Kemunduran pertumbuhan; pertumbuhan sel-sel terhambat yang menyebabkan
kehilangan hasil dan sering disebut infeksi laten.
1.2. Deviasi warna; terutama pada daun-daun seperti penyakit mosaik yang
menyebabkan daun menguning biasanya bersudut tdak teratur dengan batas-
batas yang tajam; bercak dengan batas-batas bulat sering disebut juga bernoda
sedang perubahan warna dengan batas difus disebut belang; daun yang
terinfeksi secara sistemik pada tanaman berkayu memperlihatkan pola yang
sangat indah, pola bergaris/bercincin; perubahan warna pada tulang daun atau
klorosis, putih/kuning sedang helai/lamina daun tetap hijau disebut vein
clearing. Sebaliknya helai/lamina daun menguning/putih dan tulang daun tetap
hijau disebut vein banding. Perubahan warna bunga tulip akan meningkatkan
harga jualnya.
1.3. Kekurangan air; karena menyerang jaringan pengangkutan air dan transpirasi
yang tinggi sehingga menyebabkan kelayuan pohon.
1.4. Nekrosis; merupakan gejala matinya sel-sel setempat dengan cepat yang
biasanya disertai perubahan warna menghitam atau coklat.
1.5. Malformasi; terjadinya perubahan bentuk atau cacat pada tumbuhan atau organ
tertentu tumbuhan seperti stunt (kerdil), daun menggulung, daun keriting,
rosset (jarak antara duduk daun atau buku yang memendek karena gangguan
hormonal), daun yang biasa pinggirnya bergerigi menjadi licin. Pertumbuhan

58
daun yang kecil-kecil atau pertulangan daun yang pertumbuhannya terhambat
sehingga daun mengerut yang disebut enasi. Pembengkakan pada akar atau
batang disebut tumor. Pada buah sering terjadi perubahan ukuran, warna, rasa,
tekstur atau biji terbentuk lebih banyak.

Gambar 3. Gejala enasi pada daun


murbei (Morus spp)
akibat serangan virus

2. Gejala dari dalam. Ada kalanya dari luar bukan suatu gejala yang spesifik.
2.1. Kerusakan atau modifikasi sel-sel atau jaringan pada tanaman inang,
contohnya modifikasi sel-sel kloroplas menjadi kecil dan pucat.
2.2. Pembentukan benda-benda asing dalam sel tumbuhan. Benda-benda asing
tersebut disebut inclusion bodie (IB) yang terdapat dalam sitoplasma sel
tumbuhan. IB ada yang berbentuk heksagonal (kristal) atau tidak berbentuk
(amorf),
3. Gejala perubahan-perubahan metabolisme dari inang tetepi tidak selalu nampak
dari luar. Contohnya menyerang sistem respirasi tumbuhan dengan mengganggu
siklus kerbs atau menyerang siklus pentosa sehingga tumbuhan mengeluarkan
senyawa-senyawa tertentu (racun).

b. Bakteri

59
Bakteri termasuk dalam Kingdom Prokaryotik (dinding inti selnya belum jelas
atau hanya berupa membran) dan Kelas Schizomycetes.

Gambar 4. Perbandingan ukuran sel hewan, Partikel virus dengan bakteri. (Cummings,
2002).

Ciri-ciri bakteri patogen tumbuhan adalah sebagai berikut:


1. Hampir semuanya berbentuk batang (rod) kecuali streptomyces (filamen).
2. Ukurannya; panjang 0,6-3,5 m, diameternya 0,3-1,0 m pada kultur segar.
3. Umumnya gram negatif kecuali clavibacter dan streptomyces.
4. Umumnya berspora.
5. Mempunyai flagella kecuali clavibacter dan streptomyces.
6. Memperbanyak diri dengan membelah senya, kecuali streptomyces dengan tunas.
7. Selnya hyalin atau putih kekuningan.
8. Pada media padat, sel bakteri memperbanyak diri membentuk koloni. Pada setiap
koloni tersebut dibedakan berdasarkan ukuran, bentuk dan warna.

Tabel 3. Lima genera utama bakteri patogen tanaman yang menimbulkan gejala khas.

60
No. Genera Gejala Contoh
1. Clavibacter Gumosis, layu atau spot C. michiganensis subsp
insidiosus penyebab
layu
2. Erwinia Layu pembuluh, nekrosa, spot E. amylovora penyebab
pada daun atau busuk lunak busuk lunan
3. Pseudomonas Leaf spot, blight, wilt atau spot P. solanacearum layu
pada murbei, jati,
cemara, cemara laut dan
pinus.
P.syringae pv. mori
blight pada daun murbei
4. Xanthomonas Leaf spot, wilt atau kanker batang X. campestris pv oryzae,
X. c. malvacearum
penyebab bercak daun
5. Agrobacterium Gall atau hair root formation A. tumefasciens
penyebab crown gall
puru bermahkota

Contoh-contoh penyakit yang disebabkan oleh bakteri


Hanya sedikit sekali dari kira-kira 200 jenis bakteri yang dapat menyebabkan
sakit pada tumbuhan. Berikut ini adalah beberapa penyakit disebabkan oleh patogen
bakteri.
Mati pucuk (shoot blight, die back): jaringan-jaringan yang banyak mengandung air dan
masih baru tumbuh pada pucuk pohon atau cabang sangat cocok bagi tempat masuknya
bakteri. Enzim pectolytic menghancurkan dinding sel yang belum berkayu, sehingga
pucuk pohon dapat mati. Tanaman yang terserang menunjukkan gejala mati pucuk seperti
terbakar (fire blight) dan mati pucuk yang kemudian menjalar ke bagian bawah secara
perlahan (die back). Penyebabnya adalah Erwinia amylovora.
Layu (wilt): disebabkan oleh Pseudomonas solanacearum E.F.Smith pada murbei, jati,
cemara, cemara laut dan pinus. Bakteri menyerang pembuluh pengangkut xilem yang
mengakibatkan penyumbatan dan penumpukan racun pada pembuluh tersebut. Sel-sel
tylose juga rusak sehingga pengangkutan air ke arah atas terganggu, akhirnya daun layu,
mengerut dan semai mengalami kematian. Bakteri ini ditularkan lewat tanah.

61
Kanker Batang (stem cancer): merupakan gejala nekrosis (kematian sel-sel) pada
kambium batang atau cabang yang dibatasi oleh terbentuknya kallus. Kanker batang
dapat diikuti dengan kematian pucuk. Penyebabnya adalah Xanthomonas pruni atau
Pseudomonas syringae. Selain bakteri, kanker batang dapat pula disebabkan oleh jamur
atau virus.
Bengkak Batang (gall, tumor): gejala ini dapat disebabkan oleh Agrobacterium
tumefasciens yang menyebabkan sel-sel batang mengalami pertumbuhan yang berlebihan
(hipertrofi), baik ukuran maupun jumlahnya. Bakteri ini hidup di tanah dan dapat masuk
melalui luka di akar atau pangkal batang. Bakteri melepaskan plasmid (partikel-partikel
DNA di dalam inti sel yang berperan dalam perkembangbiakan) dan kemudian terjadilah
tumor (gall) pada tempat-tempat tertentu. Sedangkan A. radiobacter strain 84 dapat
memproduksi molekul-molekul bacteriocin yang disebut Agrocin 84 yang dapat
mencegah terjadinya tumor. Gejala ini dapat terjadi pada gembol Tectona grandis,
eucalyptus deglupta, E. propinqua dan pada Pinus helepensis disebabkan oleh
Corynebacterium sp.
Busuk Akar (root rot): Agrobacterium rhizogenes dapat menjadi penyebabnya. Bakteri
ini masik melalui luka akar atau bulu-bulu akar yang merusak sel-sel akar dan berakibat
kematian.
Busuk kayu atau batang (wood decay): disebabkan oleh Erwinia nimipressuralis atau
Corynobacterium humiferan. Bakteri aktif pada jaringan berkayu hingga menyebabkan
pengumpulan air dan gas methan yang menyebabkan busuk. Pada jaringan busuk ini akan
mengeluarkan air beserta gas methan melalui permukaan kulit batang atau pengboran
oleh serangga.
Busuk basah (Soft rot): busuk basah berhubungan erat dengan bagian tumbuhan yang
lemah dan berdaging seperti buah, umbi atau bunga. Busuk disertai dengan bau busuk
atau berlendir dan biasanya disebabkan oleh Erwinia carotovora.

c. Cendawan atau Jamur.

62
Jamur bagi masyarakat hutan memiliki bnyak peranan penting, baik yang
merugikan maupun yang menguntungkan. Yang merugikan termasuk jamur parasit dan
tidak merugikan termasuk saprofit.
Jamur Saprofit
Jamur ini berperan penting dalam menghancurkan atau pembusukan bahan-bahan
organic, terutama yang mengandung sellulosa dan lignin. Hifa jamur secara aktif sel-sel
bahan-bahan organik di seluruh permukaan tanah, sedangkan bakteri secara pasif hanya
menghancurkan bahan organic di satu tempat yang terbatas.
Jamur parasit
Berbeda dengan jamur saprofit, sasaran jamur parasit adalah sel-sel tumbuhan yang
masih hidup, sedangkan saprofit adalah sel-sel tumbhan yang sudah mati. Meskipun
jamur parasit lebih sedikit jumlah jenisnya tetapi di dalam masyarakt hutan jamur parasit
dapat merugikan atau merusak hutan.
Jamur sebagai makanan bagi mahkluk lain
Jamur berguna untuk makanan bagi manusia dan binatang, terutama invertebrate.
Manusia mengenalnya sebagai makanan yang lezat. Orang-orang Viking zaman
memakan jamur Amanita sebelum berangkat perang karena jamur ini menimbulkan
pengaruh halusinasi (Khayalan) yang mempertinggi keberanian terhadap musuh. Tetapi
beberapa jenis Amanita lainnya ada yang mengandung racun.
Jamur sebagai simbion dari organisme lain
Di dalam masyarakat hutan, beberapa jenis jamur hidup bersimbiosis dengan ganggang
dan disebut lichen. Lichen dapat dilihat pada permukaan kulit pohon seperti panu,
berwarna putih sampai abu-abu. Beberapa pakar berpendapat, bahwa lichen dapat
mengurangi polusi udara.
Bentuk simbion yang lain adalah mikoriza. Jamur yang menginfeksi akar tumbuhan
menyebabkan perubahan morfologi akar. Akar yang bermikoriza dapat menyerap bahan
makanan dan air untuk inangnya yang lebih banyak, sehingga pertumbuhan inangnya
lebih baik dibandingkan dengan yang tidak bersimbiosis.

63
Jamur merupakan kelompok mikroorganisme (domain) eukaryotik dalam kerajaan
Fungi. Dalam klasifikasinya telah direvisi kembali oleh Alexopoulus dkk (1996) adalah
sebagai berikut:
Domain Eukarya
Kingdom Fungi
Phylum -mycota
Class -mycetes
Order -ales
Family -aceae
Genus
Species
Beberapa kelompok yang sebelumnya masuk dalam satu kerajaan atau Filum sekarang
telah terpisah dalam tiga kerajaan sebagai berikut:
Kerajaan Fungi
Filum Chytridiomycota
Filum Zygomycota
Filum Ascomycota
Filum Basiodimycota
Kerajaan Stramenofila
Filum Oomycota
Filum Hyphochytryomycota
Filum Labyrinthulomycota
Kerajaan Protista
Filum Plasmodiophoromycota
Filum Dictyosteliomycota
Filum Myxomycota
Karakteristik dari jamur adalah sebagai domain eukaryotik adalah organisme yang
dinding inti selnya sudah jelas ada, organisme non vaskular, menghasilkan spora. Spora
dihasilkan melalui seksual (kawin) ataupun aseksual tergantung pada kondisi atau

64
spesiesnya. Sporanya umumnya tidak bermotil kecuali pada Chytridiomycota. Tubuh
vegetatif ada yang uniselluler atau multiselluler berupa hyfa. Dinding selnya mirip
struktur tumbuhan tetapi yang berbeda adalah komposisinya, yaitu pada jamur umumnya
dari khitin sedangkan tumbuhan terdiri atas sellulosa dan lignin. Jamur tidak
menghasilkan klorofil sehingga bersifat heterotropik (tidak dapat menghasilkan makanan
sendiri) tetapi hanya menghasilkan exoenzym. Jamur menyimpan makanan berupa
glikogen (mirip binatang sedang tumbuhan dalam bentuk pati.
Beberapa contoh penyakit penting tumbuhan yang disebabkan oleh jamur
1. Di persemaian
Lodoh (damping off)
Jenis jamur saprofit yang menyerang benih baik pada penyimpanan maupun segera
setelah ditabur, terutama benih-benih yang berkulit tipis. Serangan jamur dapat
mengakibatkan benih tidak bisa berkecambah karena sel-sel embrio rusak dan persediaan
makanan diserap oleh jamur.
Damping off ialah penyakit yang sering terjadi di persemaian yang disebabkan oleh
jamur yang bersifat parasit fakultatif (jamur yang biasanya hidup sebagai saprofit, tetapi
dapat menjadi parasit kalau mendapatkan inangnya yang sesuai). Karena cepat sekali
meluas, maka kerusakan yang ditimbulkan sangat besar, terutama jika bibit masih muda
yang berada dalam kotak perkecambahan, yang mana batangnya belum membentuk zat
kayu.
Gejala damping off adalah busuk pada batang atau akar pada tanaman muda, berkulit
halus dan berair (succulent). Ada tiga macam gejala yang ditimbulkan:
a. Lodoh dini (pre-emergen damping off): serangan jamur pada benih atau
kecambah yang masih berada di dalam tanah, benih atau kecambah tersebut mati
dan busuk.
b. Lodoh batang (post-emergen damping off): serangan jamur pada bibit yang telah
muncul ke atas permukaan tanah. Pangkal batang pada bibit membusuk dan bibit
rebah karena batang bibit belum membentuk parenkim.

65
c. Lodoh akar (root rot): serangan jamur pada akar bibit yang batangnya telah
membentuk parenkim yang kuat sehingga bibit tidak rebah, tetapi karena akarnya
membusuk.
Jamur penyebab lodoh umumnya dari kelas Deuteromycetes: Botrytis cinerea, Diplodia
pinea, Cylindrocladium scoparium, Fusarium spp, Pestalozzia funerea, Rizoctonia
solani, Scelerotium spp atau Colletotrichum acutatum. Sedang yang berasal dari kelas
Pycomycetes adalah Phythophthora spp atau Pythium spp.
Penyakit Tepung (Powdery mildew)
Sejumlah jenis jamur dari famili Erysiphaceae dapat menyebabkan penyakit tepung pada
sebagian besar pohon kehutanan terutama yang berdaun lebar. Gejala penyakit ini adalah
daun-daun muda atau pucuk dapat terserang berat pada permukaan bawah atau atas akan
tertutup oleh lapisan berwarna putih atau hitam (tergantung jenis jamurnya) yang terdiri
dari miselium dan konidia. Daun yang terserang mengeriting, berwarna pucat dan
kemudian rontok. Bibit yang terserang pertumbuhannya terhambat (kerdil). Tetapi pada
bibit sapihan yang telah dewasa sampai tingkat pohon tahan terhadap serangan jamur
tepung. Penularannya terjadi oleh konidia yang terbawa oleh angin. Pada musim hujan
serangan jamur tepung dapat lebih berat. Patogen penyebab penyakit tepung ini adalah
Oidium sp.

2. Di Pertanaman
Penyakit pada daun
Embun Jelaga (black mildew)
Embun jelaga dapat ditemukan pada akasia dan sungkai (Peronema canescens)
disebabkan oleh Meliola spp. Gejala umum serangan patogen ini adalah penutupan
permukaan daun oleh jamur yang berwarna hitam seperti beludru. Serangan lebih lanjut
dapat menyebabkan seluruh permukaan daun dan ranting tanaman tertutup. Jika serangan
cukup berat proses fotosintesis akan terganggu sehingga pertumbuhan akan terhambat.
Serangan yang terjadi jika pada saat pohon berbunga dapat mengakibatkan buah yang
terbentuk hanya sedikit atau buah akan rontok.

66
Bercak Daun (leaf spot)
Penyakit ini banyak ditemukan pada akasia yang disebabkan oleh Cercospora sp,
Pestalotipsis sp atau Colletotricum sp. Serangan yang cukup berat akan mengakibatkan
daun mengering. Pada tanaman sengon disebabkan oleh Pleiochaeta sp atau
Gloeosporium sp.
Karat (Rust)
Penyakit karat pada akasia (Acacia spp) disebabkan oleh Atelocauda digitata;
sedangkan pada damar (Agathis spp) oleh Aecidium fragiforme. Karat pada kayu damar
sangat mirip dengan gejala penyakit karat pada akasia. Mula-mula pada daun yang masih
muda timbul bercak bulat yang berwarna kuning yang pusatnya menjadi berwarna coklat
dan menebal. Akhirnya pada daun terjadi dsatu bintil (gall) atau kadang-kadang lebih.
Bintil berwarna coklat garis tengahny dapat mencapai 1 cm, bahkan mungkin lebih.
Lebih lanjut pada gejala tersebut, jamur akan menghasilkan piknium dengan piknispora.
Sedang pada permukaan bawah akan menghasilkan aecium dengan aesiospora.
Hawar Daun (Leaf Bligt)
Penyakit ini dapat menyerang Eucalyptus yang disebabkan oleh Cylidrocladium
multiseptatum, sedang pada tusam oleh Cladiospora sp.
Penyakit pada batang
Jamur Upas
Penyakit ini disebut juga penyakit pink (pink disease) karena gejalanya sekilas
berwarna merah muda yang disebabkan oleh Corticium salmonicolor. Selain menyerang
akasia, dapat juga menyerang jati, karet, nangka, jambu atau damar. Gejala penyakit ini
adalah nekrosis pada kulit pohon, tumbuh kallus pada tepi nekrosis sehingga membentuk
kanker, kulit pohon pecah-pecah dan mengelupas kadang-kadang terjadi resinosis
(keluarnya getah berlebihan). Bila serangan mengelilingi lingkar batang maka akan
tumbuh tunas-tunas baru yang disebut epicormic branches diikuti dengan kematian tajuk
di bagian atas yang kena infeksi. Bila kanker yang terbentuk agak besar dan terbuka,
maka kayu di bagian tersebut agak repuh, sehingga mudah patah oleh angin. Di dalam
siklus hidupnya, C. salmonocolor mengalami empat stadia, yaitu stadium sarang laba-

67
laba (cobweb), bintil steril (sterile pustule), sempura (perfect/sexual corticium) dan tak
sempurna (imperfect/asexual/necator).

Penyakit Mati Kulit Hitam (black cancer)


Mati kulit menghitam disebabkan pada tanaman akasia oleh Phytophthora
palmivora. Gejala penyakit ini adalah keluarnya cairan berwarna hitam dari kulit pohon.
Bila kulit batang yang terserang tersebut dikupas maka akan nampak kayunya yang
berwarna lebih gelap. Kulit kayu yang terserang mengeluarkan bau yang khas.
Lapuk Batang Pohon
Lapuk Kayu Teras (LKT) seringkali diartikan sebagai pembusukan yang terjadi
pada pohon yang masih hidup terutama pada bagian batang dan tidak termasukyang
terjadi pada pangkal batang atau akar. Adapun busuk pada kayu gubal pada umumnya
terjadi pada pohon yang sudah mati atau sudah ditebang. Pada tanaman akasia LKT
disebabkan oleh Phellinus noxius, Rigidoporus hypobrumeus dan Tinctoporellus
epimiltinus.
Penyakit pada Akar.
Busuk akar pertama kali dilaporkan dalam tahun 1908 menyerang tanaman jati,
tetapi jamur penyebabnya pada waktu itu belum dideterminasi. Dalam tahun 1959 sekitar
50 persen tanaman P. merkusii yang berumur 3 tahun di daerah Jember, Propinsi Jawa
Timur telah mati disebabkan penyakit busuk akar. Penyakit ini disebabkan oleh Fomes
noxius. Dalam tahun 1975 tanaman P. merkusii lainnya yang juga berumur 3 tahun di
daerah Surakarta, Propvinsi Jawa Tengah telah dilaporkan diserang penyakit busuk akar
(root rot). Bentuk badan buah yang ditemukan leher akar dari tanaman yang sakit
menyerupai Poria sp.
Penyakit akar yang disebabkan oleh Leptoporus lignosus (klot). Terdapat pada
bermacam-macam jenis dan daun lebar (hardwood) seperti Tectona grandis, Altingia
exelsa Norona, dan Michelia velutina B1. Bermacam-macam jenis pohon hutan juga
dapat diserang oleh Armilaria mellea Vahl. A. mellea, adalah cendawan penyebab busuk
akar pada berjenis-jenis tanaman kehutanan. Cendawan ini disebut juga cendawan

68
madu (Honey mushroom) tersebar di seluruh dunia. Biasanya menyerang pohon-pohon
yang lemah. Daun menjadi kuning, kemudian rontok, mula-mula cabang dan pucuk yang
mati. Pada pohon-pohon yang terserang biasanya terddapat basidiocarp (kepingan
cendawan) berbentuk kipas pada kulit kayu atau pada kayu yang lapuk dan terdapat
rhizomorph (jaringan miselium) berwarna hitam diantara kayu dan kulit dipermukaan
akar atau di atas tanah.

d. Nematoda
Nematoda adalah sejenis binatang yang sangat kecil, berbentuk silindris seperti
cacing, hidup secara saprofit di dalam air atau tanah atau secara parasit pada tumbuhan
atau binatang (Gambar 7). Nematoda dipelajari dalam ilmu penyakit hutan karena gejala
yang ditimbulkan adalah sama dengan penyakit yang disesbabkan oleh serangan patogen.
Tipe Nematoda:
Nematoda saprofit, ukurannya kecil, mempunyai lubang mulut untuk memakan
bahan-bahan organik dan menelannya ke dalam perutnya.
Nematoda parasit, pada binatang besar, ukurannya bervariasi, mempunyai alat
penghisap (stylet) untuk mengisap caira sel di dalam tubuh inangnya.
Nematoda predator pada binatang-binatang kecil yang tidak bertulang belakang di
dalam tanah, mempunyai mulut yang bergerigi.
Nematoda parasit pada tumbuhan, panjangnya antara 0,5-2,5 mm, mulutnya tajam
berbentuk ujung tombak dan mempunyai alat mulut pengisap.
Ada dua macam alat pengisap pada nematoda parasit tumbuhan, yaitu stomatostylet
dan odontostylet yang dimiliki oleh nematoda lebih besar.
Berdasarkan cara makannya, nematoda parasit dibagi atas dua kelompok, yaitu:
Nematoda ektoparasit adalah nematoda yang melukai dinding sel, mengisap
makanan atau cairan sel dengan styletnya dan hidup berpindah-pindah dari
inang satu ke inang lainnya.

69
Nematoda endoparasit adalah nematoda yang tetap tinggal di dalam inangnya
di bagian tumbuhan tempat pertama kali masuk, mengisap makanan dan
akan pindah ke bagian (sel) lainnya kalau bagian (sel) pertama mati

Gambar 5. Contoh Nematoda Pratylenchus sp (Cummings, 2002).

Cara nematoda menyerang tumbuhan


Stylet digunakan untuk menusuk dinding sel tumbuhan, cairan ludahnya
disemprotkan ke dalam ruang sel dan cairan sel diisap masuk ke dalam perut melalui
stylet. Nematoda biasanya menyerang akar dan umbi-umbian, sehingga tumbuhan dapat
terganggu pertumbuhannya. Serangan itu menyebabkan luka-luka pada tempat serangan
dan menjadi tempat masuknya jamur atau bakteri. Nematoda dapat juga menjadi vektor
virus. Penyakit noda cincing (ring spot) pada daun aspen disebabkan oleh virus yang
ditularkan melalui namatoda Xiphinema americanum. Ada nematoda parasit yang
memparasiter jamur mikoriza pada akar, yaitu Hyplolaimus galeutus sehingga

70
mengakibatkan menurunnya pertahanan tumbuhan terhadap patogen dan penyerapan air
serta makanan dari dalam tanah.
Gejala Serangan Namatoda
Serangan nematoda mengakibatkan pertumbuhan tanaman terhambat, daun-daun
menguning, ukuran daun tidak normal, gugur daun sebelum waktunya, mudah layu dalam
musim kering, percabangan akar berlebihan seperti akar serabut, kerusakan (luka-luka)
pada akar dan pembengkakan tempat serangan.
Contoh penyakit yang disebabkan olh nematoda:
Nematoda bengkak akar (root knot nematode)
Ada 100 jenis pepohonan konifer dan berdaun lebar merupakan inang nematoda
Meloidogyne spp yang menyebabkan bengkak akar. Akar-akar yang diserang dinding
selnya rusak dan inti sel yang masih tinggal membelah diri menjadi sel-sel yang lebih
besar ukurannya dari sebelumnya sehingga akar membengkak. Meloidogyne spp
merupakan nematoda endoparasit yang menetap dimana ia pertama kali masuk dalam
akar. Telurnya bersifat partenogenesis dan diletakkan dimana ia berada.
Nematoda belati (dagger nematode)
Nematoda belati dari spesies Xiphinema spp adalah nematoda yang sangat besar, minimal
10 kali lebih besar daripada nematoda jenis lainnya, tipe mulutnya adalah odontostylet
dengan lubang cukup besanyang memungkinkan virus dapat masuk sewaktu dia sedang
mengisap cairan tumbuhan. Stomatostylet yang dimiliki oleh nematoda jenis lain tidak
cukup untuk masuknya virus. Nematoda belati adalah nematoda ektoparasit yang kalau
dalam jumlah kecil saja dapat menyebabkan kerusakan berat pada akar.
Nematoda penyebab akar pendek (stubby root nematode)
Nematoda ektoparasit ini menyerang banyak jenis tanaman pertanian dan jenis-jenis
pinus. Serangan pada akar mengakibatkan akar menjadi gemuk dan memendek, semai
tidak dapat berkembang dengan baik, daun-daun mengecil sehingga pertumbuhan bagian
atas terhambat (kerdil), penyebabnya adalah Tricodorus christei.
Nematoda luka (lession nematode)

71
Pratylencus sp merupakan nematoda pennyebab luka dan termasuk endoparasit.
Pratylencus sp dapat berpindah-pindah sehingga yang diakibatkan lebih banyak.
Nematoda pemakan kayu Pinus (pine wood nematode)
Bursaphelenchus lignicolus merupakan nematoda pemakan kayu pinus yang ditemukan
di Amerika dan Jepang terutama pada pinus merah (Pinus densiflora) dan pinus hitam (P.
thunbergii). Nematoda ini menyerang pucuk pinus. Vektornya adalah adalah sejenis
kumbang Monochamus alternatus dari famili Cerambycidae yang melukai kulit pohon
sehingga nematoda dapat masuk. Ribuan nematoda dapat ditemukan pada tubuh
kumbang ini baik di dalam maupun di luar tubuhnya. Nematoda dapat cepat menyebar
melalui pembuluh resin pohon Pinus dan sambil menyerang sel-sel epitel disekitarnya.
Gejala yang dapat terlihat adalah berkurangnya produksi getah dan diikuti menguningnya
daun-daun, layu dan akhirnya pohon mati. Pinus putih (P. albicaulis) dan P. banksiana
sangat resisten terhadap nematoda ini.

72
TUGAS:
Masing-masing Kelompok Kerja mengumpulkan gambar gejala kerusakan pohon karena
faktor biotik kemudian mendeskripsikan dan mengelompokkan gejala kerusakan pohon
tersebut.

73
Pokok Bahasan : Pencegahan dan Pengendalian terhadap Faktor
Biotik Penyebab Kerusakan Hutan

Sub Pokok Bahasan : Pentingnya Pencegahan daripada Pemberantasan,


Pencegahan dan Pengendalian Organisme
Perusak Hutan (OPH)

Tujuan Instruksional Umum : Selesai Mengikuti Perkuliahan ini Mahasiswa/i


dapat memahami cara pencegahan dan
Pengendalian kerusakan hutan karena faktor
biotik

Tujuan Instruksional Khusus : Selesai Mempelajari Bab VI, Mahasiswa/i


mampu: Menjelaskan arti cara pencegahan dan
Pengendalian kerusakan hutan karena faktor
biotik

74
BAB VI
PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN TERHADAP
FAKTOR BIOTIK PENYEBAB KERUSAKAN
HUTAN

PENCEGAHAN LEBIH PENTING DARIPADA PENGENDALIAN


Prinsip yang sangat penting dalam kegiatan perlindungan hutan adalah
pencegahan awal perkembangan penyebab kerusakan jauh lebih efektif daripada
memusnahkan perusak setelah menyerang. Dalam tahun-tahun terakhir ini anggapan
bahwa pencegahan adalah merupakan sistem yang lebih penting dalam perlindungan
hutan telah diterima secara meluas. Tetapi hal ini masih tetap diragukan apakah perluasan
ide ini melalui sistem silvikultur dan forest management dalam jangka waktu panjang
dianggap sudah cukup menguntungkan. Pencegahan melalui aplikasi manajemen dan
silvikultur memang memerlukan waktu yang panjang, tetapi akhirnya jaminan hasilnya
akan lebih abadi dan lebih murah dibanding dengan metode pemberantasan secara
langsung.

Perlindungan bertujuan untuk menjamin keamanan produksi secara terus


menerus. Hal ini dapat dilakukan dengan menanam hutan sedemikian rupa sehingga
perkembangan perusak secara serius dapat dicegah secara alami, yakni melalui sistem
forest management. Pada kenyataannya istilah Pencegahan telah digunakan dalam
pengertian lebih luas, dimana ditekankan bahwa pencegahan adalah sangat penting sekali
karena merupakan sistem perlindungan yang lebih murah dan efektif. Pencegahan
kadang-kadang juga diinterpretasi sebagai suatu usaha untuk menghalang-halangi satu
diantara banyak penyebab kerusakan dari peledakan populasinya sehingga mereka tidak
dapat menimbulkan kerusakan yang serius.
Sebagai tambahan, pencegahan dapat diartikan sebagai suatu usaha, melalui
program jangka panjang secara terus menerus dan dengan manajemen yang teliti dari
suatu hutan, yang berkaitan satu dengan lainnya. Hal ini akan membuat hutan resisten

75
dari berbagai macam perusak. Pada akhirnya seorang petugas kehutanan, dengan
pengertiannya tentang pentingnya prinsip ini, ditambah dengan pengalaman yang cukup
serta keterampilannya dalam hal sifat-sifat hutan yang diinginkan, akan menjadi lebih
potensial dalam hal pencegahan dan pemberantasan penyebab kerusakan hutan.

METODE PENCEGAHAN

1. DENGAN CARA PERATURAN DAN UNDANG-UNDANG


Cara ini bertujuan untuk menciptakan hutan yang sehat dan resisten terhadap
serangan perusak biotik serta mencegah penyebarannya dengan cara:
a. Pengadaan benih atau bibit yang sehat, yang mana benih atau bibit itu berasal dari
pohon-pohon yang sudah diketahui asa usullnya, tempat tumbuh dan daerahnya.
b. Mewajibkan pengelola/pemilik hutan untuk menjaga, mengawasi, memonitoring
adanya organisme perusak hutan (OPH) dan segera mengendalikannya.
c. Mencegah masuknya bahan-bahan tanaman ke suatu daerah, yaitu dengan memeriksa
apakah bahan-bahan tersebut bebas dari organisme perusak hutan. Cara ini dikenal
dengan karantina. Dapat juga dengan melarang masuknya suatu jenis tanaman
tertentu karena dikuatirkan tanaman tersebut akan terserang OPH di tempat tumbuh
yang tidak cocok (asing) walaupun di habitat aslinya bebas dari serangan.

2. DENGAN CARA SILVIKULTUR


Cara ini bertujuan untuk menciptakan hutan yang sehat dan meningkatkan
resistensi pohon terhadap serangan OPH, yaitu dengan cara:
a. Pemilihan jenis, provenan dan varietas yang dapat menyesuaikan diri dengan
habitatnya yang baru. Tanaman harus bisa tumbuh secara optimal sampai akhir
daur sesuai dengan sifat pertumbuhan yang dimiliki oleh jenis pohon tersebut.
Benih dari jenis, provenanatau varietas yang dipilih harus diketahui tempat
asalnya, habitatnya dan pohon induknya (pohon plus), dengan demikian maka
penanaman bibit-bibit yang eksot itu disesuaikan dengan habitat induknya.

76
Menanam di tempat yang salah berakibat merananya pohon dan dapat menjadi
rentan terhadap serangan OPH.
b. Budidaya pohn resisten, yaitu memilih pohon yang tahan terhadap serangan
OPH di antara jenis, provenan, varietas, klon dan pohon. Dengan mengadakan
persilangan dapat juga diperoleh keturunan yang resisten. Memilih pohon yang
resisten dapat juga dilakukan di suatu pertanaman yang terserang OPH. Pada
akhir daur dipilih pohon-pohon plus dan bebas dari OPH. Cara demikian disebut
seleksi alami. Pohon yang bebas serangan itu kemungkinan besar resisten. Dari
pohon ini diperbanyak dengan cangkokan, sambungan atau stek yang kemudian
ditanam di kebun benih berupa klon. Klon yang relatif jauh dari pertanaman untuk
menghindari persilangan secara alami. Di dalam kebun-kebun benih ini klon-klon
tersebut diinokulasi OPH yang dianggap sangat merugikan. Dari hasil inokulassi
ini dapat diketahui pohon-pohon yang resisten. Percobaan juga dapat dilakukan
pada tempat tumbuh yang berbeda misalnya di puncak atau di lembah, di tanah
subur atau kurus untuk mengetahui tingkat resistensi pohon pada habitat yang
berbeda. Kalau tidak memungkinkan untuk mencari lokasi kebun benih yang jauh
maka dapat dibuat persilangan tertutup pada waktu pohon sedang berbunga.
c. Penjarangan dan pemangkasan. Perlakuan ini dapat mengubah iklim mikro di
bawah tajuk seperti suhu, kelembaban dan penyinaran. Dengan perubahan
tersebut dimaksudkan agar keadaan tempat tumbuhnya tidak sesuai lagi bagi
kehidupan OPH. Dengan penjarangan dan pemangkasan akan meningkatkan
kekerasan pohon. Contoh intensitas serangan jamur karat Dothistroma pini pada
daun Pinus radiata di New Zealand berkurang setelah dilakukan penjarangan dan
pemangkasan.
d. Pengaturan jarak tanam. Biasanya pengauran jarak tanam disesuaikan dengan
tujuan perusahaan, jenis pohon dan cara pemeliharaannya, Misalnya jarak tanam
yang rapat untuk memperoleh jumlah kayu yang sebanyak-banyaknya dengan
tidak memperhitungkan kualitasnya ditujukan untuk perusahaan pulp, sedang
jarak tanam yang lebih renggang ditujukan untuk usaha pertukangan. Tetapi
banyak jenis pohon yang sudah menunjukkan pertumbuhan yang kurang baik

77
kalau sejak awal ditanam denganjarak yang lebar (misalnya 3 x 3 m atau lebih),
yaitu tumbuhnya cabang-cabang yang besar, pohon mengganda dan sebagainya.
Oleh karena itu penanaman pertama harus dilakukan denga jarak rapat (2x2 m
atau kurang). Kemudian setelah umur tertentu diadakan penjarangan, karena pada
jarak yang rapat kondisi iklim mikro dan kondisi pohonnya yang kurang kekar
lebih disukai oleh OPH. Contoh serangan Corticium salmonicolor pada Acacia
mangium di PT ITCi yang berjarak tanam 2x2 m > 3x3 m > 4x4 m. .
e. Tanaman campuran. Hutan tanaman biasanya terdiri atas satu jenis pohon
(monokultur) yang mempunyai kepekaan tinggi terhadap OPH. Oleh karena itu
disarankan untuk mencampur jenis tanaman. Tetapi hal ini menimbulkan beberaa
masalah, antara lain:
1) Kecepatan tumbuh yang berbeda-beda pada masing-masing jenis,
sehingga bila ada jenis yang lebih lambat pertumbuhannya maka jenis ini
akan tertekan dan merana atau mati.
2) Dengan adanya perbedaan kecepatan tumbuh maka pemeliharaanya
seperti penjarangan dan pemangkasa tidak dapat dilakukan secara
bersamaan
3) Pemungutan hasil kayunya juga sulit dlakukan kalau memakai sistem
tebang pilih
4) Masing-masing jenis yang ditanam harus sudah benar-benar diketahui
OPHnya sehingga penanaman di lapangan dipilih jenis-jenis yang berbeda
OPHnya. Hal ini sulit dilakukan mengingat banyak OPH yang mempunyai
banyak inang (kosmopolit).

3. DENGAN CARA PEMILIHAN DAN PERLAKUAN TEMPAT TUMBUH


a. Perbaikan tempat tumbuh
b. Pemupukan. Kandungan nutrisi di dalam tanaman berperan penting dalam ketahanan
terhadap OPH. Pemupukan dengan N, P dan K dapat meningkatkan resistensi
terhadap suatu jenis pohon namun ada pula yang sebaliknya justru menurunkan

78
resistensi. Pada dasarnya pemupukan bertujuan untuk menambah kesuburan tanah,
sehingga tanaman menjadi kuat dan kekar yang diharapkan dapat bertahan dari
serangan OPH.
c. Pengolahan tanah. Dapat dilakukan dengan menggemburkan tanah yang padat
seperti pada bekas jalan hutan (jalan sarad atau jalan kayu di hutan). Tanah yang
demikian humusnya telah hilang sehingga perlu diolah, diberi humus, dipupuk dan
disiram. Lahan-lahan yang sering tergenang air pada waktu hujan perlu dibuatkan
saluran air. Pembukaan hutan mengakibatkan infiltrasi air ke dalam tanah berkurang,
sehingga lebih banyak mengalir di permukaan (run off) dan dapat mengakibatkan
kebanjiran atau tergenangnya air di tempat-tempat yang rendah.
d. Pemilihan tempat tumbuh yang baik. Hal ini menyangkut tentang keadaan tanah,
iklim, ketinggian tempat dan kelerengan. Sebelum suatu lahan ditanami, perlu
diketahui data mengenai kandungan nutrisi, mineral, air, zat kapur, pH dan informasi
lainnya yang berguna. Dengan adanya informasi tentang keadaan lahan tersebut,
maka pemilihan jenis tanaman yang akan ditanam dapat disesuaikan, sehingga bisa
mendapatkan hasil yang optimal. Contoh percobaan tanaman jati (Tectona grandis) di
PT ITCI yang gagal karena tanahnya mempunyai kandungan zat kapur yang rendah.
e. Kebersihan tempat tumbuh. Metode tebang habis dengan pembakaran adalah cara
lama yang sekarang tidak dilakukan lagi pada program HTI, karena asapnya
mencemari udara, musnahnya flora dan fauna yang langka, erosi tanah dsb.
Sebenarnya cara lama tersebut efektif untuk menghilangkan segala bentuk organisme
pengganggu. Tetapi kalau sisa-sisa kayu yang tidak habis terbakar masih menumpuk
di permukaan tanah, maka akan mengundang serangga dan jamur untuk dipakai
sebagai inang sementara. Setelah lahan ditanami dengan tanaman pokok yang
mungkin saja sesuai dengan makanannya, maka tanaman ini akan terancam serangan.
Kayu-kayu besar yang masih basah juga merupakan pelindung organisme perusak
pada waktu dilakukan pembakaran. Oleh karena itu lahan tanam harus bersih dari
tonggak-tonggak dan sisa-sisa kayu. Di lahan yang tidak dibakar, ancaman OPH
sangat sulit dihindari karena hutan merupakan gudang OPH. Oleh karena itu perlu
metode lain untuk pencegahannya.

79
4. DENGAN PARA PERLINDUNGAN TERHADAP PREDATOR

Cara ini adalah melindungi predator seperti burung, kelelawar, semut, laba-laba,
dsb. Perlindungan terhadap predator hendaknya dilakukan dengan penuh kesadaran. Di
antara predator yang paling banyak mendapat ancaman (terutama manusia) adalah
burung. Perlindungan terhadap burung hendaknya jangan terbatas pada jenis-jenis yang
langka dan dilindungi oleh undang-undang saja. Banyak jenis burung yang sesungguhnya
berguna sebagi predator haman tidak dimasukkan di dalam daftar yang dilindungi.
Hendaknya penjualan senapan angin dan bentuk-bentuk senapan berburu lainnya
ditiadakan, pemilikannya dibatasi kepada pihak-pihak yang berwenang saja, terutama
ditujukan untuk mengendalikan jumlah populasi satwa predator burung pemakan hama
sehingga menjadi seminimal mungkin tetapi tidak sampai punah. Contoh elang, alap-
alap, musang, kucing hutan, ular dsb.

5. DENGAN CARA FISIK MEKANIK


a. Pemagaran. Cara ini ditujukan terhadap binatang liar seperti rusa, babi, sapi hutan,
banteng, dsb. Pagar terbuat dari kawat berduri yang direntangkan dengan kayu ulin
adalah yang paling baik, tetapi biayanya mahal untuk hutan yangrelatif luas, kecuali
untuk persemaian. Selain itu, kerusakan di hutan yang disebabkan oleh binatang besar
relative kecil, karena banyak makanan alternative selain tanaman pokok, sepert jenis-
jenis semak, rumput-rumputan dsb. Yang paling penting untuk dipagari adalah kebun
benih dan tanaman-tanaman percobaan yang biasanya relatif tidak luas. Babi biasanya
membongkar tanah untuk mencari makanannya yang juga dapat membongkar akar
tanaman muda. Binatang menyusui lainnya memakan daun dan pucuk-pucuk muda,
menggosok-gosokkan kepalanya di pohon sehingga kulit pohon terkelupas.
Pemagaran dapat juga dilakukan terhadap setiap pohon yang biasanya hanya
dilakukan terhadap pohon-pohon di taman atau di pinggir jalan sebagai hutan kota.
b. Penutupan bedeng semai. Untuk mencegah kerusakan bibit tanaman dari curah
hujan dan cahaya yang terlalu kuat di persemaian, maka dapat dipakai sarlon. Untuk

80
menghindari bibit dari gangguan unggas padat dipakai jaring (net) yang ditutupkan
atau dipagarkan mengelilingi bedeng semai/bibit.
c. Pemanasan media. Cara ini dipakai pada media tabur dan sapihan, yaitu dengan cara
menggongseng media selama minimal 2 jam atau menjemur di bawah sinar matahari
selama beberapa hari agar supaya mikroorganisme perusak yang ada di dalamnya
mati.
d. Penutupan luka. Untuk mencegah masuknya hama dn patogen di tempat luka bekas
pemangkasan maka luka tersebut harus ditutup dengan mengoleskan cat atau ter.
Pemotongan hendaknya dilakukan di pangkal cabang untuk menghindari pembusukan
sisa pangkasan, kecuali pada pohon-pohon yang bisa bertunas lagi pada tempat
pmangkasan tersebut. Sisa Cabang yang mati atau busuk bisa menjadi tempat
masuknya hama dan patogen ke dalam kayu.
e. Pengejutan. Cara ini berupa suara (alrm) dan cahaya (lampu) yang dapat menakutkan
biantang liar terutama untuk menjaga kebun benih, persemaian atau areal percobaan.
Suara dan cahaya dapat diperoleh dari alat yang dioperasikan dengan baterai atau
listrik seperti pendeteksi gerak (motion detector).

6. DENGAN CARA KIMIA

Penggunaan bahan kimia yang berupa pestisida dapat bertujuan untuk melindungi
atau mencegah serangan hama dan patogen dengan cara menggunakannya pada benih,
semai, bahan vegetative dan pohon yang masih sehat. Perlindungan dari bahan kimia
kepada bahan-bahan tanaman terhadap hama dan patogen hanya bersifat sementara
karena efektivitasnya akan berkurang karena faktor cuaca.

81
METODE PENGENDALIAN

Pengendalian berarti perlakuan secara langsung terhadap OPH yang sedang


menyerang pohon dengan maksud agar serangannya berhenti. Sebelum pengendalian
dilakukan, perlu diketahui terlebih dahulu diagnosa dan prognosanya.
Diagnosa adalah pengenalan (identifikasi) suatu penyakit yang berdasarkan atas
gejala (symptom) yang ditunjukkan oleh pohon, misalnya layu daun, perubahan warna
kulit pohon atau kayu, matinya jaringan pada bagian tertentu pohon, perubahan bentuk
daun atau tajuk pohon, luka atau keluarnya getah dsb. Diusahakan pula untuk
menemukan tanda (sign), misalnya tubuh buah jamur (fruit body), miselium, spora atau
serangga hama. Dari sini dapat diteruskan kepada pengenalan jenis dengan
membandingkan dengan literature atau koleksi di laboratorium. Dengan mengetahui jenis
penyebabnya, maka metode pengendalian dapat dilakukan dengan tepat. Misalnya bila
diketahui penyakitnya adalah penyakit karat daun, maka pengendaliannya tidak hanya
ditujukan pada daun yang sakit yang terlihat pada saat itu saja melainkan juga pada
pohon-pohon atau semak-semak yang menjadi inang sementara yang ada di sekitarnya.
Prognosa adalah prakiraan kapan timbulnya, sifat patogen, tingkat serangan dan
bagaimana cara mengatasinya. Timbulnya suatu hama atau penyakit dipengaruhi oleh
iklim, umur pohon, jenis pohon dsb. Misalnya Corticium salmonicolor aktif pada musim
hujan pada semua jenis pohon yang menjadi inangnya yang berumur 2 tahun ke atas,
maka pengendalian yang tepat dilakukan pada musim panas, dimana pada waktu itu
jamur dalam keadaan istirahat dengan stadium vegetatifnya.
Keputusan untuk mengendalikan suatu OPH ditentukan oleh tingkat serangan dan
sifat OPHnya sendiri. Walaupun tingkat serangannya rendah dan kelihatan tidak
membahyakan, tetapi kalau penyebabnya dapat menular melalui spora yang disebarkan
oleh angin, maka pengendalian perlu segera dilakukan. Tetapi perlu dipertimbangkan
pula mengenai biaya yang akan dikeluarkan, apakah masih efisien atau tidak. Efisien
kalau metode pengendalian yang dilakukan dapat menekan serangan patogen secara
efektif.

82
1. DENGAN CARA FISIK MEKANIK
a. Penangkapan dan eradikasi. Penangkapan ditujukan terhadap serangga atau
binatang liar yang sedang merusak hutan. Penangkapan dapat dilakukan dengan
menggunakan alat seperti jaring, jerat atau jebakan. Untuk menjebak kumbang
penggerek Pissodes spp dipergunakan pohon-pohon yang sakit atau patah atau yang
telah rebah, karena serangga ini meletakkan telurnya pada pohon tersebut dengan
terlebih dahulu m enggerek kulitnya. Untuk menjebak serangga yang keluar pada
malam hari dapat digunakan lampu, sedang untuk binatang liar digunakan jerat.
Serangga yang tertangkap dapat langsung dibunuh. Metode mematikan serangga
dapat pula dilakukan dengan cara membakar pohon yang terserang tanpa menangkap
terlebih dahulu serangganya.
b. Pencabutan dan penebangan. Cara ini ditujukan terhadap bibit tanaman yang sakit
di persemaian atau terhadap gulma dipersemaian maupun di pertanaman. Kalau bibit
sakit disebabkan oleh patogen lodoh (damping off) dan berada dalam pot, maka harus
diambil dengan potnya kemudian tanahnya disterilkan kembali dan bibit yang sakit
dibakar. Pohon-pohon yang tidak bernilai komersil dan pohon-pohon pokok yang
terserang OPH ditebang kemudian dibakar. Terhadap rayap dan jamur penyerang
akar, pembakaran dilakukan pada pangkal pohon dan sekitarnya. Jenis-jenis pohon
perdu atau semak-semak dapat juga menjadi inang sementara bagi jenis-jenis jamur
karat seperti Cronartium ribicola (penyebab karat pada batang Pinus spp) mempunyai
inang sementara pada perdu jenis Ribes.

2. DENGAN CARA KIMIA


Bahan kimia pestisida yang dipakai untuk mengendalikan OPH dapat terdiri atas
bahan aktif, perekat dan perata. Bahan aktif adalah bahan yang berpengaruh negatif
langsung pada OPH. Bahan perekat adalah bahan yang membuat bahan aktif melekat
kalau menyentuh suatu benda sehingga tahan terhadap air, angin, suhu, kelembaban dan
cahaya. Biasanya bahan perekat yang dipakai adalah gelatin, dextrin, getah-getahan dsb.

83
Bahan perata adalah bahan yang dapat melarutkan bahan aktif dan bahan perekat dengan
merat bila dicampur dengan air sehingga tidak terjadi penggumpalan dan pengendapan.
Cara kerja bahan aktif adalah:
a. Pembasmi, pembunuh, yaitu bahan tersebut bekerja bila termakan atau terhisap ke
dalam tubuh. Bahan kimia dapat bekerja aktif kalau masuk ke dalam tubuh lewat
mulut (peroral), lewat kulit (perkutan) atau lewat hidung. Ada pestisida yang bersifat
kontak, yaitu akan berpengaruh kalau mengenai langsung OPH. Pestisida sistemik,
yaitu pestisida yang dapat terserap ke seluruh tubuh tanaman lewat daun, batang atau
akar, sehingga OPH yang memakan atau mengifeksi tanaman tersebut akan mati.
Contoh herbisida, insektisida, fungisida, nematisida dsb.
b. Penolak (repellent), pencegahan dan pengejutan. Repellent adalah pestisida yang
berpengaruh di syaraf perasa seperti di hidung dan lidah. Dipakai pada binatang besar
yang bila tercium atau termakan akan membuat mereka mengurungkan niatnya untuk
memakan. Biasanya terbuat dari bahan teer, minyak, lemak atau lilin. Secara
tradisional dapat dibuat campuran kapur, kotoran sapi, atau binatang sejenisnya,
darah bintang dan pernis atau kapur 40 kg, minyak tanah 6 liter, adhesit 600 g dan air
100 liter. Bahan penolak hanya bersifat menolak atau mengejutkan binatang tetapi
tidak membunuh.
c. Pemikat, penarik dan pemancing (attraktant) adalah bahan kimia yang karena
aromanya dapat menarik hama untuk datang dan memudahkan untuk membunuhnya.
Contoh penggerek batang Xyloterus leneatus dan X. domesticus dapat dipancing
dengan bau alkohol hasil fermentasi dari timbunan kayu atau dari getah pada daun
jarum yang mengandung -pine. Selain itu ada bahan pemikat yang mempunyai
aroma lawan jenis yang disebut pheromone, misalnya typolur, disparlur dan multilur.
d. Penghambat (barier) adalah bahan kimia yang dapat menghambat
perkembangbiakan OPH tanpa langsung membunuhnya, melainkan berangsur-angsur
populasinya menurun atau punah karena tidak terjadi kelahiran baru atau karena
kegiatannya untuk menyerang terhenti. Contoh: antibiotika yang dipakai untuk
manusia dapat menghambat pertumbuhan bakteri Pseudomonas dan Erwinia, jamur
Phytium ultimum, Botrytis cinerea, Ceratocystis ulmi, Cronartium ribicola dan

84
Armillaria mellea. Ekstrak biji Azadirachta indica mengandung azadirachtin yang
dapat dipergunakan untuk menurunkan aktivitas makan ulat Lymantria dispar
sehingga mengakibatkan kematiannya karena kelaparan. Bahan derivat urine
diflubenzuron dengan nama perdagangannya dimilin telah terbukti dapat menghambat
pembentukan khitin, sehingga pembentukan kulit tidak sempurna pada larva
lepidoptera pemakan daun, larva arthropoda dan nematoda sehingga menyebabkan
kematian. Pada serangga dewasa, dimilin yang masuk ke dalam tubuhnya dapat
mengganggu sistem perkembangbiakan dan mengakibatkan kemandulan,
kemunduran produksi telur dan pengurangan penetasan telur, karena telur artrhopoda
yang kena dimilin akan mati. Dimilin tidak berbahaya terhadap tanaman, lebah
binatang besar dan manusia. Khusus untuk bahan yang disebut chemosterilant adalah
bahan kimia yang kalau tersentuh atau termakan oleh serangga akan menghambat
perkembangbiakannya. Telur kumbang penggerek Ips typographus yang
diletakkannya di pohon yang disemprot chemosterilant 26 % tidak ada yang menetas,
sedangkan yang tidak diperlakukan (kontrol) 95 % telurnya menetas.

3. DENGAN CARA BIOLOGIS (BIOPESTISIDA / BIOLOGICAL CONTROL)

Pengendalian biologis adalah pengendalian dengan menggunakan organisme


hidup yang bersifat antagonis (membinasakan lawan). Keuntungan dari metode ini
adalah tidak ada efek negatifnya terhadap lingkungan (ramah lingkungan), namun
kelemahannya antara lain adalah:
a. Resistensi organisme yang akan dikendalikan kadang-kadang lebih tinggi daripada
organisme antagonisnya.
b. Cuaca mempengaruhi kehidupan organisme antagonis sehingga efektivitasnya
tergantung pada keadaan cuaca.
c. Pengembangbiakannya memerlukan biaya yang lebih tingg daripada membuat
pestisida.
d. Kesulitan dalam pemeliharaan dan penyimpanan.

85
Ada beberapa cara untuk pengendalian dengan cara biologis, yaitu:
1) Penggunaan mikroorganisme
2) Penggunaan serangga
3) Sterilisasi OPH.

1) Penggunaan mikroorganisme
Virus
Virus dapat menyebabkan sakit pada serangga hama yang terdiri atas empat tipe yang
berbeda dalam bentuk kapsul, virion dan bahan genetiknya.
Tabel 4. Perbedaan virus patogen serangga

Tipe Virus Morfologi Virion Bahan Inti Jumlah virion per kapsul
(bentuk)

Granulat Tongkat DNA 1 (maks. 2)


Polyhedron inti tongkat DNA Di bawah 100
Entomopox Persegi empat DNA Di atas 100
Polyhedron Cytoplasma bulat RNA Di atas 100

Virus polyhedron inti yang berbentuk tongkat atau balok sering ditemukan pada larva
Lymantria monacha (hama Pinus spp dan Picea abies) dan ordo Lepidoptera lainnya
yang mati. Keuntungan penggunaan virus adalah dapat digunakan secara selektif
terhadap hama tertentu. Sedangkan kekurangannya adalah hanya dapat
dikembangbiakkan pada organism hidup; masa inkubasi sejak aplikasi sampai timbulnya
gejala adalah relative lama, minimal 6 10 hari sehingga hama masih berkesempatan
kerusakan yang lebih banyak.
Pengendalian hama pemakan daun Pinus spp Neodiprion sertifer dengan virus
Borellinavirus diprionis Shd. dengan cara menyemprotkan daun dengan air yang
mengandung partikel virus tersebut sebelum telur menetas dan 3 minggu kemudian
menghasilkan semua larva mati 100 %.

86
Bakteri
Bakteri terkenal sangat efektif digunakan dalam pengendalian OPH, seperti
Bacillus thuringiensis dalam mengendalikan serangga hama. B. thuringiensis dapat
diperoleh di pasaran dengan nama Thuricide HP dan Dipel (buatan USA), Bactospeine
(buatan Prancis), Entobacterin dan Dendrobazillin (buatan Rusia).
Keuntungan penggunaan bakteri sama dengan penggunaan virus, yaitu lebih selektif
terhadap hama tertentu. Bakteri mudah didapatkan dan biakkan pada media buatan.
Kekurangannya adalah membutuhkan peralatan dan teknik tertentu untuk pembiakannya
di laboratorium sehingga biaya awal relatih mahal, penggunaan di lapangan tergantung
cuaca dan keefektivannya tergantung pada kepekaan hama.
Jenis bakteri lain yang dapat digunakan untuk pencegahan penyakit pada
persemian terutama penyakit damping off adalah bakteri antagonis. Pseudomonas
fluorescens dan P. putida dapat mencegah penyakit layu oleh patogen bakteri P.
solanacearum dan jamur Fusarium sp. Bakteri antagonis ini kelebihannya adalah
pertumbuhannya yang lebih cepat daripada patogen dan menghasilkan antibiotik
(pyoverdine sebagai siderophore) sehingga dapat menekan pertumbuhan patogen.
Siderophore merupakan persenyawaan biosintesis yang diproduksi dalam kondisi Fe
yang terbatas dengan antivitas spesifik yang tinggi dan berperan membantu transportasi
Fe3+ dalam sel mikroba. Anktivitas antagonis ini mampu mengkoloni akar tanaman dan
menggunakan eksudat akar untuk sintesis metabolisme dan menginduksi ketahanan
sistemik tanaman.
Jamur
Peniophora gigantea merupakan salah satu jenis jamur antagonis terhadap Fomes
(Heterobasidion) annosus (patogen busuk merah pada akar). Trichoderma viride juga
antagonis namun tidak seefektif dengan P. gigantea. Jamur patogen serangga juga
banyak dikenal seperti Beauveria bassiana, B. tanella, Metarrhizium anisopilae,
Paecilomyces farinosus dan Verticilium sp. Bila konidia (ektospora) jatuh pada serangga
maka konidia tersebut berkecambah dan menginfeksi serangga tersebut. Hifa tumbuh

87
menjadi banyak, mengeluarkan racun dan sel-sel tubuh serangga menjadi rudak dan
akhirnya mati.
Untuk mengendalikan nematoda digunakan jamur Verticilium spaerosporum dan
Paecilomyces coccospora (keduanya endoparasit). Sedangkan yang ektoparasit dengan
cara menjerat nematoda dengan hifanya adalah Arthrobotrys, Dactylaria dan
Monocrosporium.
Nematoda
Beberapa nematode yang dikenal sebagai parasit fakultatif atau obligat yang dapat
membunuh inangnya.
Neoaplectana carpocapsae (Steinernematidae) yang dikenal dengan DD-136. Pada tahun
1950an banyak dipaki untuk mengendalikan hama serangga. Nematoda ini sangat mudah
dikembangkan dalam tubuh serangga atau larva seperti Galleria mellonelia atau media
buatan. Nematoda ini tahan di dalam air sehingga dalam pemakaiannya bisa dimasukkan
dalam air dan disemprotkan ke tanaman yang terserang hama. Nematoda memerlukan
tempat yang basah untuk hidupnya sehingga yang paling tepat jika diaplikasikan ke
dalam tanah. Konsentrasi disarankan 104-106 per meter persegi.
Deladeum siridicola (Neotylenchidae) parasit pada Sirex noctilio (hama Pinus spp) yang
membuat serangga betina steril. Nematod ini pada waktu belum mendapatkan inangnya
memakan suatu jamur yang tumbuh pada batang pohon. Oleh karena itu nematoda ini
dapat diperbanyak dengan pemberian jamur tersebut.
Romanomermis culicivorax (Mermithidae) parasit pada larva nyamuk yang
memungkinkan dapat diuji pada serangga hama lain.

2) Penggunaan Serangga
Pengendalian biologis dengan menggunakan serangga baik serangga
parasit/parasitoid atau predator.
Serangga parasit
Trichogramma spp dapat dipergunakan pada serangga hama karena inangnya banyak dan
perkembangbiakannya cepat. Serangga lainnya adalah Erdoesina alboannulata (parasit
pada pupa Panolis flammea dan ordo lepidoptera lainnya), Dahlbominus fuscipennis

88
(parasit pupa Diprion pini dan hama daun jarum). Platygaster manto Walk (parasit larva
Agevillea abietis (hama daun Abies alba)) dan serangga penggerek batang Helicomyia
saliciperda; Misocyclops pini Kieff (parasit hama penggerek Pinus spp Thecodiplosis
brachyntera dan Carcelia gnava parasit pada hama Quercus spp Malacosoma neustria L.
Serangga Predator
Untuk mengendalikan pupa Lymantria dispar dapat digunakan serangga predator
Calosoma sycophanta. Aphidecta obliterata memangsa kutu Liosomaphis abietina.
Aphidoletes aphidimyza dan Shyrpus corollae (keduanya Diptera) memangsa kutu-kutu
tanaman demikian pula Coccinella sp (Coleoptera) juga memangsa kutu-kutu (Aphidae).
Beberapa jenis semut juga merupakan predator utama bagi beberapa hama.

3) Sterilisasi OPH,
Metode ini dimaksudkan untuk membuat hama menjadi steril dan tidak dapat
menghasilkan keturunan tanpa mengurangi aktivitas hidupnya seperti makan, terbang,
kopulasi dsb.
Ada dua cara untuk membuat serangga hama menjadi steril:
Dengan penyinaran. Sinar radioaktif, sinar gamma dari isotop Cobalt (60Co) dan
Caesium (137Cs) antara 2-4 kr (kilorontgen) dan sinar Rongtgen dosis tinggi dapat
menyebabkan serangga hama menjadi steril. Bila serangga-serangga (baik jantan
maupun betina) yang steril tersebut berkopulasi dengan serangga yang normal
(tidak steril/fertil), maka akan menghasilkan keturunan yang sebagian steril dan
sebagian fertil dengan perbandingan lebih banyak yang steril daripada yang
normal. Keadaan steril ini disebabkan karena pembelahan chromosom pada sel-
sel kelamin mengalami kegagalan.
Dengan bahan kimia (chemosterilant). Tujuannya sama seperti dengan
penyinaran. Ada tiga kelompok chemosterilant yang telah lama dikenal, yaitu:
- Ethylenimin (Azaridin), contoh: Tepa, Thiotepa, Metepa, Aphotate dsb yang
dapat membuat serangga jantan dan betina menjadi steril.

89
- Antimetabolit, contoh: Purine dan Pyrimidine yang akan lebih efektif
membuat serangga betina menjadi steril daripada kalau dipergunakan pada
jantan.
- Substansi lain, contoh: Phosphoramide, Triazine, Azadirachtin (ekstrak dari
kulit ohon Azadirachta indica). Azadirachtin berpengaruh tidak saja pada sel-
sel kelamin malainkan juga pada sel-sel tubuh.

90
Tugas:
Setiap kelompok membuat makalah tentang contoh kasus pengendalian hama atau
patogen penyebab kerusakan hutan untuk dipersentasekan/didiskusikan bersama.

91
Pokok Bahasan : Faktor-faktor Sosial Penyebab Kerusakan Hutan.

: Faktor Kebakaran, Perladangan, Pengembalaan


Sub Pokok Bahasan Ternak dan Pencurian Hasil Hutan Penyebab
Kerusakan Hutan.

Tujuan Instruksional Umum : Selesai Mengikuti Perkuliahan ini Mahasiswa/i


dapat Memahami Beberapa Faktor-faktor Sosial
Penyebab Kerusakan Hutan.

Tujuan Instruksional Khusus : Selesai Mempelajari Bab VII, Mahasiswa/i


Mampu Menjelaskan dan Menguraikan Beberapa
Faktor-faktor Sosial Penyebab Kerusakan Hutan.

BAB VII

92
FAKTOR-FAKTOR SOSIAL PENYEBAB
KERUSAKAN HUTAN

A. KEBAKARAN HUTAN
Kebakaran hutan adalah merupakan sumber kerusakan utama pada hutan produksi,
tetapi pada keadaan-keadaan tertentu kebakaran hutan juga memberi manfaat. Perbedaan
antara pentingnya kerusakan dan manfaat dari suatu kebakaran hutan sangat luas dan
seringkali dibesar-besarkan. Di bawah ini secara khusus akan dibicarakan pengaruh
kebakaran hutan dan kerusakan yang ditimbulkannya sedangkan manfaat kebakaran hutan
juga akan dibicarakan pada judul tersendiri.

1. TINGKAT KERUGIAN PERTAHUN SEBAGAI AKIBAT KEBAKARAN


Suatu studi tentang dokumen statistik dan laporan pada setiap tahun yang
dilakukan oleh bagian perlindungan hutan di Dinas Kehutanan Amerika Serikat
menunjukkan bahwa diantara tahun 1942-1946, jumlah luas areal hutan yang terbakar di
Amerika Serikat kecuali Alaska adalah sekitar 169,355 acres. Seluas 74,423 acres
kebakaran terjadi pada areal yang dilindungi atau diawasi oleh organisasi pemadam
kebakaran. Sisanya kurang lebih 95,000 acres pertahun mengalami kebakaran di daerah
yang tidak dilindungi. Sepintas lalu, nampaknya bahwa pengelolaan kebakaran hutan
dinegara ini tidak efektif, kita hanya melihat bahwa jumlah areal yang terbakar pada
daerah yang dilindungi luasnya hanya 25 % lebih kecil dibanding dengan daerah yang
tidak dilindungi. Tetapi apabila kita menyadari bahwa luas daerah yang dilindungi selama
lima tahun mendekati 498,000,000 acres, sedangkan areal yang tidak dilindungi hanya
sekitar 129,000,000 acres.
Dari laporan tahunan didapatkan bahwa sekitar 42,000,000 acres luas hutan
terbakar setiap tahunnya, dimana hanya sekitar 14 % dari kebakaran ini terjadi di atas
areal yang dilindungi, sedangkan sisanya 86 % terjadi pada areal yang tidak dilindungi.

93
Melihat dari jumlah areal hutan secara keseluruhan maka dapat disimpulkan bahwa hanya
sekitar 0,7 % kebakaran terjadi pada areal yang dilindungi dan sebanyak 15 % pada areal
yang tidak dilindungi setiap tahunnya. Dengan data ini akan memberi keyakinan bahwa
dengan usaha perlindungan, hutan dapat diselamatkan dari bencana kebakaran.
Usaha perlindungan hutan terhadap bahaya kebakaran di Amerika Serikat dimulai
sejak 73 tahun yang lalu yakni sejak dibentuknya organisasi pengendalian kebakaran pada
tahun 1910. Hasil pencatatan yang dilakukan oleh Dinas Kehutanan Amerika Serikat
tentang tingkat kerusakan hutan sebagai akibat kebakaran setiap tahunnya adalah
mendekati $ 35,000,000 yang mana sekitar $ 90,000 terjadi pada daerah-daerah yang
dilindungi dan sisanya terjadi pada daerah hutan yang dilindungi. Besarnya jumlah
tersebut hanya meliputi jenis-jenis kerusakan yang mudah dihitung seperti pohon,
permudaan, makanan ternak dan nilai perbaikan tegakan yang habis terbakar. Juga perlu
diketahui bahwa nilai areal yang dilindungi disini ditaksir sebesar $ 3.00 peracre, sedang
nilai areal yang tidak dilindungi hanya berkisar $ 1.3 peracre. Jumlah kerugian yang
digambarkan diatas tidak termasuk semua bentuk kerugian yang sifatnya tidak langsung
tetapi kemungkinan akibatnya jauh lebih berbahaya seperti misalnya akibat kebakaran
terhadap kerusakan lingkungan hidup sehingga menimbulkan bahaya erosi dan banjir.
Kerugian tidak langsung sebagai akibat kebakaran hutan ini sangat sulit diperhitungkan
tetapi biasanya dalam jangka waktu panjang nilai kerusakannya melebihi dari kerusakan
langsung.
Sekitar 75 % areal hutan yang tidak dilindungi di Amerika Serikat terletak pada
bagian selatan, sehingga didaerah ini dianggap sangat perlu untuk membentuk satu
organisasi perlindungan terhadap bahaya kebakaran. Dewasa ini di Amerika Serikat
nampak adanya kecenderungan, menurunnya kerusakan hutan akibat kebakaran. Hal ini
terutama disebabkan karena adanya usaha perlindungan kebakaran hutan yang dilakukan
secara terus menerus yang mana selalu berusaha menjadikan areal yang belum terlindungi
menjadi areal yang dilindungi dari bahaya kebakaran dan juga selalu berusaha untuk
meningkatkan metode pengendalian api yang dilaksanakan pada areal yang sudah
dilindungi.

94
Sebagai contoh yang dapat dibandingkan di Amerika Serikat yaitu antara 1933 -
1936 dan 1942-1946 dimana data yang diperoleh menunjukkan adanya penurunan bahaya
kebakaran baik luasnya maupun jumlah nilai kerusakannya. Pengurangan ini terutama
disebabkan karena areal-areal yang tadinya tidak dilindungi dirubah statusnya menjadi
areal yang dilindungi.
Suatu hal penting yang perlu diingat bahwa salah satu pengaruh tidak langsung
dari kebakaran hutan adalah kemungkinan timbulnya hama dan penyakit. Luka-luka yang
terjadi serta lemahnya kondisi pohon sebagai akibat kebakaran hutan akan mempermudah
serangga menyerang dan berkembang biak secara cepat sehingga menimbulkan kerusakan
pohon yang lebih besar. Selanjutnya salah satu alasan mengapa kebakaran hutan dianggap
perusak kedua dibanding perusak serangga, hal ini terutama karena sudah dikuasainya
program pencegahan awal dari kebakaran dan dikuasainya program pencegahan awal dari
kebakaran dan juga teknik pengendalian bilamana kebakaran terjadi. Seandainya belum
dimiliki organisasi pencegahan dan pengendalian kebakaran yang baik, maka tentunya
kerusakan hutan akibat kebakaran pasti akan jauh lebih besar dibandingkan faktor-faktor
perusak lainnya. Api dapat timbul secara tiba-tiba, tidak terduga serta dalam waktu yang
relatif singkat, tetapi dia dapat dikendalikan secara efektif dibandingkan dengan perusak
lainnya.

2. KLASSIFIKASI KERUSAKAN SEBAGAI AKIBAT KEBAKARAN HUTAN


Kerusakan sebagai akibat kebakaran hutan secara garis besarnya dapat
diklassifikasikan sebagai berikut ini, dimana nomor 1 - 4 mempunyai hubungan langsung
dengan metode silvikultur yang diterapkan setiap tahun.

1. Kerusakan Pohon - pohon yang Bernilai Penting


Kerusakan ini bisa bervariasi dari bentuk luka bakar yang kecil pada bagian bawah
pohon sampai pada hangusnya seluruh pohon, tetapi yang terakhir ini jarang terjadi
kecuali bila kebakarannya keras sekali, yang umum terjadi adalah pohon-pohon yagn
terbakar hanya sampai mati saja. Kematian pohon disebabkan karena matinya kambium

95
atau lapisan-lapisan hidup lainnya yang terdapat antara kulit dan kayu. Temperatur sekitar
54C sudah cukup mematikan kambium (Baker, 1929), tetapi suatu studi lain yang lebih
detail oleh Lorenz (1939) menunjukkan bahwa lethal temperatur terletak antara 65C dan
69C. Bilamana kambium sekeliling batang mati, maka pohon-pohon kelihatannya seperti
diteres dan kemudian mati. Kambium yang sudah mati ditandai dengan warnanya yang
agak hitam sedangkan warna kambium pada keadaan marginal adalah bercahaya. Tidak
mutlak bahwa kulit harus terbakar hangus, bahkan dengan sedikit tanda terbakar pada
kulit kayu yang tipis sudah cukup mematikan pohonnya. Panas yang menghanguskan kulit
bagian luar kadang-kadang sudah cukup untuk mematikan kambium.
Selama awal musim pertumbuhan yakni sewaktu pembelahan sel kambium sangat
aktif dimana saat ini kambium menjadi sangat peka terhadap kenaikan temperatur
dibandingkan bilamana kambium dalam keadaan dorman (istirahat). Kebakaran yang
timbul pada awal musim pertumbuhan menyebabkan kematian pohon yang lebih banyak
serta areal tegakan yang lebih luas. Daya tahan terhadap kebakaran dari masing-masing
pohon sangat berbeda. Perbedaan ini terutama disebabkan karena sifat-sifat dan tingkat
ketebalan kulit pohonnya. Pohon dengan kulit bergabus tebal lebih mudah dilindungi dari
bahaya kebakaran dibandingkan dengan pohon yang berkulit tipis dan kurang bergabus.
Kulit pohon kemungkinannya lunak, berlapis dan mudah menyala. Disamping itu ada juga
kulit pohon yang keras, sukar menyala sehingga jarang terbakar. Pada jenis-jenis pohon
tertentu pengupasan kulit pelindung nampaknya kurang berpengaruh kecuali pada fase
pertumbuhan terakhir. Struktur anatomi daripada kulit tidak hanya berbeda antara jenis
tetapi juga berbeda antara jenis itu sendiri yang mana ikut berpengaruh pada daya
tahannya terhadap kenaikan temperatur. Sebagai contoh, formasi sekondary dari fellogen
dan perkembangan lapisan kulit luar yang sudah mati menyebabkan beberapa jenis pohon
akan menjadi lebih tahan panas dibandingkan dengan lainnya.
Kadar air, sifatnya sebagai pengatur panas dan sifat kepekaannya dimana semua
ini juga dipengaruhi oleh struktur anatomi kayu akan sangat bervariasi pada setiap jenis
pohon. Penelitian yang dilakukan oleh Stickel dengan menggunakan kayu balsam fir,
beeck, dan hemlock telah menemukan bahwa kulit balsam fir lebih tahan terhadap panas

96
dibandingkan dengan kulit beeck dimana kedua pohon ini mempunyai tebal kulit yang
sama. Pohon hemlock yang bagian mati pada kulit luarnya lebih tebal daripada pohon
balsam, juga daya tahannya terhadap panas lebih baik dibandingkan dengan pohon
balsam.
Pohon tua pada semua jenis akan lebih tahan kebakaran daripada pohon muda, hal
ini terutama disebabkan karena semakin tua umur pohon semakin tebal kulitnya dan
semakin banyak lapisan gabusnya. Hasil penelitian Holfmann pada Douglas-fir
menunjukkan bahwa kambium pada pohon yang berumur 15 tahun dengan tebal kulit 1/4
inci akan mati selama 11 menit dengan temperatur 900F. Sebagai pembanding
didapatkan bahwa pada pohon tua dengan kulit setebal 4 inci menunjukkan tidak adanya
kerusakan selama 4 jam pemanasan, dengan temperatur 900F. Pohon-pohon yang
mengeluarkan getah / damar pada bagian luar kulitnya, umumnya sangat mudah terbakar.
Demikian pula pohon-pohon yang banyak mengeluarkan getah sebagai akibat serangan
serangga akan sangat mudah terbakar.
Pada pohon yang tidak mati terbakar, sangat sulit menentukan sejauh mana bagian-
bagian yang kambiumnya mati karena panas, kecuali kalau kulitnya dapat dikupas.
Problema praktis ini sangat penting untuk menentukan pohon-pohon mana yang harus
ditebang sesudah kebakaran terjadi. Biasanya minimal diperlukan satu musim
pertumbuhan untuk dapat menentukan apakah suatu pohon sudah parah sebagai akibat
kebakaran atau belum. Banyak sekali penelitian yang telah dilakukan untuk melihat
hubungan antara tanda-tanda kerusakan luar akibat api dan kematian kambium yang ada
dibawah kulit. Salah satu bentuk penelitian ini adalah dengan menggambar bagian-bagian
pohon yang berubah warnanya karena kebakaran, kemudian bagian ini disesed kulitnya
lalu mencatat kerusakan-kerusakan yang ada pada bagian dalam kulit. Rata-rata hasil ini
menunjukkan bahwa ada hubungan antara bagian kulit luar yang warnanya dirusak oleh
api dengan lukanya kambium yang terletak dibawah kulit. Studi seperti ini diperlukan
pada semua jenis pohon yang bernilai penting.
Penelitian lain yang pernah dilakukan adalah mempelajari tegakan hutan yang
pernah terbakar selama 10 tahun dimana yang diperhatikan adalah sifat-sifat dan juga

97
bertambahnya kerusakan yang terdapat pada bekas luka-luka bakar. Pada umumnya kayu
daun jarum lebih peka terhadap kebakaran dibandingkan dengan kayu daun lebar, namun
ditentukan bahwa ada juga jenis-jenis daun jarum yang tahan terhadap api dan ada pula
jenis-jenis daun lebar yang sangat mudah terbakar. Apabila panas api mencapai bagian
akar pohon maka kerusakan besar lebih mudah terjadi karena akar mempunyai kulit lebih
tipis dibandingkan dengan bagian pohon yang ada diatas permukaan tanah. Pohon-pohon
yang berakar dangkal akan lebih menderita dibandingkan dengan pohon-pohon yang
berakar dalam.
Pohon-pohon yang menderita sebagai akibat kebakaran akan menjadi lebih peka
terhadap serangan hama dan penyakit. Sebab itu dianjurkan pada jenis-jenis kayu yang
bernilai ekonomis agar segera ditebang sesudah terbakar.

2. Kerusakan Pada Pertumbuhan Tanaman Muda Termasuk Bibit Permudaan


Pohon-pohon yang ada dibawah tegakan tua, utamanya permudaan yang kulitnya tipis
serta tajuknya lekat dari permukaan tanah akan lebih mudah dimatikan api daripada
pohon-pohon yang tinggi besar. Bahkan dengan api yang kecil sudah cukup untuk
mematikan anakan pohon yang ada.
Api secara bersamaan akan membinasakan baik pohon muda maupun pohon tua,
namun yang paling menderita adalah tentunya pohon muda. Sedikit saja kerusakan pada
pohon muda akan membuat pohon merana sehingga pertumbuhannya lemah dan mudah
dihinggapi hama atau penyakit. Kadang-kadang kerusakan seperti ini akan berkembang
cepat sekali dan menyebabkan kebakaran terjadi.

3. Kerusakan Pada Tanah


Sebagai akibat kebakaran hutan maka sifat fisik tanah akan lebih banyak dirusak
daripada sifat kimianya. Kerusakan fisik tanah terjadi karena pengurangan kadar humus.
Bahan-bahan organik diatas tanah selain humus biasanya sulit dimakan api. Heyward
dengan hasil penelitiannya mengatakan bahwa panas yang dihasilkan oleh kebakaran pada

98
pinus jenis tertentu tidak mampu menghabiskan bahan-bahan organik yang terletak dekat
diatas permukaan tanah (1/4 inci).
Kebakaran yang keras akan mematikan semua pohon, menyebabkan terbukanya
tajuk, menghanguskan ranting dan humus yang ada dipermukaan tanah sehingga tanah
akan menjadi terbuka dari panas terik matahari dan hembusan angin. Tanah seperti ini
akan cepat sekali mengalami kerusakan fisik.
Dilain pihak kebakaran dapat memperbaiki sifat kimia daripada tanah tetapi
manfaat ini sangat kecil apabila dibandingkan dengan kerusakan fisik yang
ditimbulkannya. Kebakaran ringan yang mampu menghanguskan serasah tetapi tidak
sampai mematikan tegakan pohon dianggap tidak merusak tanah, bahkan kadang-kadang
kejadian seperti ini dianggap menguntungkan.
Tanah-tanah yang kekurangan humus dan terbuka dari lapisan penutup adalah
merupakan sasaran utama bahaya erosi. Erosi ini akan mengangkut lapisan atas tanah
yang merupakan lapisan tersubur. Pada tingkat erosi yang besar semua lapisan permukaan
lapisan tanah akan hanyut sehingga hanya tertinggal bagian-bagian subsoil yang terbuka
atau bahkan mungkin hanya tinggal bahan-bahan induk yang berupa batu cadas.
Kebakaran hutan adalah merupakan salah satu penyebab terjadinya erosi secara kontinyu.
Hendricks dan Johnson mengatakan bahwa di daerah Hemirlugan di Arizona didapatkan
bahwa kebakaran hutan pada tanah dengan kemiringan 43 % akan menghanyutkan tanah
sebesar 32 ton per acre dan 165 ton per acre pada kemiringan 78 %.

4. Menurunkan Kemampuan Produksi Hutan


Kebakaran hutan dapat menyebabkan turunnya kemampuan hutan untuk
berproduksi, dimana hal ini dapat dibedakan atas:
a) Kerusakan karena penggantian jenis-jenis vegetasi yang berharga oleh jenis-
jenis vegetasi yang kurang berharga.
Kebakaran hutan dapat menyebabkan berubahnya komposisi vegetasi dari suatu
tegakan hutan. Banyak diantara jenis-jenis pohon berharga yang lebih peka terhadap
kebakaran dibanding dengan jenis-jenis yang kurang berharga. Dalam hal ini
kemungkinan terjadi bahwa semua jenis-jenis pohon yang sensitif terhadap api akan habis

99
terbakar sedangkan yang kurang sensitif akan tetap bertahan hidup sehingga seluruh areal
tegakan hanya didominasi oleh jenis-jenis pohon resisten yang kurang berharga.
Sebagai contoh, dengan terbakarnya suatu tipe hutan maka tegakan hutan ini akan
berubah tipenya dari tipe semula. Perubahan tipe hutan karena kebakaran ini tidak
selamanya berarti merugikan seperti halnya dengan seringnya terbakar suatu areal semak
maka kemungkinannya semak tersebut akan digantikan oleh jenis pohon yang tahan api
dan mempunyai nilai ekonomi penting. Pengalaman lainnya menunjukkan bahwa
penebangan tegakan murni untuk jenis pinus tertentu (white pine) dilakukan dengan
membakar tegakan hutan campuran sehingga yang tertinggal dalam tegakan hanya satu
jenis yakni white pine.
b) Kerugian karena berkurangnya tegakan pohon.
Kadang-kadang sesudah kebakaran terjadi, sangat sulit didapatkan anakan baru di
dalam tegakan hutan. Pada kebanyakan peristiwa kebakaran, sungguhpun tidak mematikan
pohon-pohon yang ada dalam tegakan tetapi sekurang-kurangnya dia merubah kerapatan
tajuk pohon mengurangi jumlah vegetasi yang ada dibawah pohon dimana kesemua ini
akan menyebabkan berkurangnya kerapatan tegakan yang sangat diperlukan untuk
produksi kuantitas dan kualitas pohon yang maksimum.
c) Kerugian karena penebangan terpaksa yang dilakukan sebelum pohon-pohon
masak tebang.
Apabila pohon ditebang sebelum mencapai daur rotasinya sungguhpun kayu
tersebut dapat dijual namun tetap ada resikonya yakni kuantitas dan kualitas masih sangat
rendah dibanding bila pohon sudah masak tebang. Kemampuan berproduksi daripada
hutan dengan adanya kebakaran akan menjadi sangat menurun.

5. Kerugian Karena Rusaknya Nilai Rekreasi Hutan


Areal hutan yang mengalami kebakaran, tentunya tidak lagi merupakan tempat
yang menarik untuk dikunjungi oleh para wisatawan, utamanya pada areal yang baru saja
terbakar. Masuknya pendapatan pada hutan rekreasi akan sangat menurun sebagai akibat
daripada kebakaran tersebut.

6. Merusak Kehidupan Satwa Liar.

100
Kebakaran baik langsung ataupun secara tidak langsung akan menyebabkan
kebinasaan pada banyak jenis burung, binatang-binatang lain dan ikan yang ada didalam
hutan. Pengaruh tidak langsung daripada kebakaran hutan terhadap satwa liar dapat
berupa, merusak makanan mereka serta lingkungan dimana mereka hidup.

7. Merusak Makanan Ternak


Api akan segera menghanguskan rumput-rumput kering dan juga tumbuh -
tumbuhan lainnya yang dapat dijadikan makanan ternak. Api dapat mematikan akar-akar
vegetasi yang tumbuh rapat dengan demikian akan menyebabkan berkurangnya kerapatan
makanan ternak dan juga akan menggantikannya dengan vegetasi yang tidak dikehendaki
sebagai makanan ternak. Kerusakan makanan ternak yang serius sebagai akibat kebakaran
dapat dibiarkan denagn membiarkan ternak masuk kedalam hutan untuk mengurangi
tumpukan bahan organik yang mudah terbakar.
Kebakaran ringan pada vegetasi kering biasanya dianggap menguntungkan karena
pada vegetasi kering tersebut sesudah terbakar ringan akan muncul tunas-tunas muda yang
dijadikan makanan ternak yang baik

8. Kebakaran Dapat Mengurangi Fungsi Lindung Daripada Hutan


Hutan yang tumuh baik akan merupakan tempat perlindungan dari banyak hal
kepentingan manusia. Bilamana hutan terbakar maka fungsi lindung ini akan menjadi
berkurang atau bahkan hilang sama sekali. Salah satu contoh fungsi lindung ini adalah
bahwa pada lantai hutan ditemukan banyak sekali tumpukan serasah yang berfungsi
sebagai penutup permukaan tanah. Fungsi lindung hutan lainnya adalah untuk mencegah
terjadinya tanah longsor dan erosi.

9. Merusak Fungsi Lain Daripada Hutan


Currie dalam penelitiannya menyatakan bahwa desa-desa yang berbatasan dengan
hutan kebanyakan ikut terbakar sewaktu kebakaran hutan terjadi. Selain itu, juga
bangunan-bangunan, ternak atau barang-barang berharga lainnya yang terdapat didalam
atau disekitar hutan semuanya berada dalam keadaan bahaya bilamana terjadi kebakaran
hutan.

101
10. Merusak Lingkungan Hidup Manusia
Hampir setiap tahun di Amerika Serikat terjadi kerusakan lingkungan hidup
sebagai akibat dari kebakaran hutan. Menurut Plummer bahwa kerugian terbesar sebagai
akibat kebakaran hutan di Amerika Serikat yaitu terjadi pada bulan Oktober 1871 di
Wiscousin dengan menewaskan manusia sebanyak 1.500.000 jiwa

3. MANFAAT KEBAKARAN HUTAN


Akibat yang menguntungkan daripada kebakaran hutan secara garis besar dapat
diuraikan seperti uraian berikut. Pada prinsipnya, agar kebakaran hutan itu benar-benar
memberikan manfaat yang diperlukan maka harus diketahui secara pasti tentang keadaan
bagaimana api dapat dipercayakan untuk menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan atau
maksud-maksud tertentu disamping itu juga harus diketahui jenis kebakaran bagaimana
yang dapat memberi manfaat.

1. Api atau kebakaran dapat dipergunakan untuk membantu permudaan alami dari
jenis-jenis yang dikehendaki

Hal ini dapat dilakukan dengan membakar tumpukan serasah yang tebal pada
lantai hutan sehingga mineral-mineral tanah menjadi terbuka dimana hal ini merupakan
persyaratan persemaian dari jenis-jenis pohon tertentu, tetapi perlu diingat bahwa tidak
semua jenis pohon menghendaki keadaan seperti ini untuk perkecambahan. Kebakaran
juga dapat mematikan pohon-pohon yang tumbuh terdahulu yang dianggap kurang baik
sehingga dapat memberi kesempatan pohon-pohon yang baik untuk tumbuh kemudian
yakni sesudah kebakaran terjadi. Pada permudaan jenis pinus tertentu (longleaf pine)
apabila diantaranya terdapat permudaan tanaman lain, maka biasanya dilakukan
pembakaran yang dapat mematikan permudaan lain, tetapi tidak mematikan permudaan
pinus tersebut. Hasil pengamatan selama 32 tahun dalam kegiatan pengendalian kebakaran
yang dilakukan oleh bruce menunjukkan bahwa dengan menggunakan api pembangunan
persediaan bibit longleaf pine sangat menguntungkan sebab semua jenis permudaan
lainnya yang tidak tahan api akan mati seperti: lobolly, shortleaf pines dan jenis-jenis

102
kayu berdaun lebar lainnya. Pembakaran yang dilakukan pada bekas tebangan juga dapat
merangsang terbentuknya permudaan secara alami.

2. Kebakaran sebelum penanaman


Api dapat menghanguskan sampah-sampah dan semak-semak di atas tanah
sehingga pelaksanaan penanaman akan menjadi mudah dan murah serta memberi peluang
meningkatnya persentase tumbuh tanaman karena persaingan antara gulma dengan
tanaman pokok menjadi kurang.

3. Pengaruh kebakaran terhadap sifat fisik dan sifat kimia tanah.


Kebakaran hutan akan meninggalkan tumpukan-tumpukan humus diatas tanah
dimana hal ini akan memperbaiki sifat fisik tanah berupa meningkatnya suhu tanah dan
membaiknya pertukaran udara di dalam tanah yang mana kesemua ini dapat merangsang
pertumbuhan tegakan. Tetapi bilamana tumpukan humus ini tidak terjadi pada kebakaran
hutan, maka akibatnya akan jauh lebih jelek daripada manfaat terhadap sifat fisik tanah.
Api juga punya kecenderungan untuk mempertinggi aktifitas bakteri di dalam
tanah dengan demikian berarti merangsang produksi nitrat didalam tanah. Sebagai akibat
kebakaran hutan juga akan memperbaiki sifat kimia tanah. Beberapa hasil penelitian
menunjukkan bahwa sesudah kebakaran maka kandungan Calcium dalam tanah bertambah
banyak, bahkan bahan organiknya juga sedikit bertambah disamping itu kadar kemasaman
tanah semakin menurun. Peningkatan kadar Calcium dan penurunan tingkat kemasaman
terjadi disebabkan karena banyaknya abu sesudah kebakaran. Kemungkinan kadar
potassium, magnesium dan phosphorus juga akan bertambah sedikit setelah kebakaran.
Pada tanah-tanah yagn mengalami kebakaran kemungkinan akan didominasi oleh
tanaman kacang-kacangan (leguminous) dimana tanaman ini akan menambah kadar
nitrogen secara langsung dari udara. Kebakaran terkendali akan sangat bermanfaat
terhadap kehidupan satwa liar. Sebagai contoh, untuk meningkatkan populasi sejenis elang
liar di Stoddard pada tahun 1935 maka disarankan melakukan pembakaran untuk
memperbaiki dan memelihara lapangan penggembalaan.

4. Penyediaan rumput untuk ternak dapat diperbaiki dengan cara membakarnya.

103
Pembakaran yang berencana pada tegakan pinus tertentu (longleaf) selama musim
dingin akan menyediakan lapangan perumputan ternak lebih baik dibandingkan dengan
areal yang tidak dibakar.

5. Api dapat membantu pengendalian penyakit hutan


Sebagai contoh pada anakan pinus (longleaf pine) akan tumbuh baik dan lebih
cepat apabila selalu diadakan pembakaran kecil-kecilan setiap tiga tahun sekali. Hal ini
terutama terjadi karena api mengurangi aktifitas penyakit bintik coklat yang selalu
menyerang daun-daun pinus (longleaf pine).

6. Kebakaran yang disenangi dapat mengurangi bahaya kebakaran besar.


Ini biasanya dilakukan dengan membakar lapisan serasah pada sebagian atau
seluruh areal tegakan hutan yang akan dilindungi. Areal yang akan dibakar harus diatur
sedemikian rupa dengan menggunakan sistem sekat bakar untuk menghindari terjadinya
kebakaran yang tidak dikehendaki. Pembakaran yang diatur telah lama dikembangkan di
Florida dengan maksud untuk mencegah terjadinya kebakaran besar pada tegakan hutan
pinus (longleaf-slash pine) setelah tanam tersebut mencapai tinggi 180 cm dan khusus
pada anakan longleaf pine dilakukan setelah anakan berumur satu tahun.
Pengendalian penggunaan api secara sempurna akan memberikan banyak sekali
keuntungan antara lain :
1) Menyediakan bedengan semai yang baik untuk permudaan.
2) Memurnikan anakan-anakan pohon yang tahan api dari serobotan tanaman lain.
Wahlenberg mengatakan bahwa keahlian di dalam menggunakan api untuk semua
maksud/tujuan akan memperkecil biaya manajemen kehutanan utamanya pada tegakan
pinus (longleaf pine) yang resisten terhadap api.

7. Api juga dapat digunakan untuk membunuh kumbang-kumbang penggerek kulit


pohon pada tegakan yang sudah rusak.
Kegunaan dan metode kebakaran telah dikenal sejak tahun 1943 di florida untuk
mengelola seluas 3.000 acres hutan nasional yang meliputi aktifitas antara lain :

104
mengendalikan penyakit hutan, melindungi satwa liar, memperbaiki keadaan tempat
penggembalaan ternak, mematikan pohon-pohon yang tidak diinginkan dan
mempersiapkan areal yang akan ditanami atau areal yang dipersiapkan untuk permudaan
alami.

4. MANUSIA SEBAGAI SUMBER UTAMA KERUSAKAN HUTAN


Sebelum membicarakan faktor-faktor penyebab kerusakan lainnya, baiklah terlebih
dahulu kita melihat peranan manusia yang sehubungan dengan kerusakan hutan. Manusia
itu sendiri adalah merupakan sumber utama kerusakan hutan. Kerusakan hutan oleh
manusia dapat terjadi secara langsung, tetapi dapat juga terjadi secara tidak langsung
yakni sebagai akibat adanya kegiatan-kegiatan manusia. Manusia juga mempunyai
sumbangan yang amat besar didalam berkembangnya faktor-faktor perusak lainnya,
sumbangan ini dapat terjadi secara langsung dan juga secara tidak langsung.
Selama periode tahun 1942-1946, paling sedikit 85 % kebakaran hutan di Amerika
Serikat disebabkan oleh manusia. Kebanyakan awal kebakaran hutan disebabkan karena
keteledoran manusia yang berada di dalam atau disekitar hutan. Pendidikan yang
diberikan kepada manusia tidak hanya memperbaiki sikap kelalaian mereka dan mencegah
keisengan mereka untuk menyalakan api, tetapi juga memberi pengertian agar mereka
menyadari pentingnya usaha perlindungan hutan.
Manusia secara langsung bertanggungjawab akan berkembangnya sesuatu hama
tanaman melalui import jenis-jenis tanaman berharga dari luar negeri. Sebagai contoh
dalam hal ini adalah gypsymoth dan chesnut bligh dimana kedua perusak ini dikenal
sebagai perusak import di Amerika Serikat. Hanya melalui pengawasan dan dengan
adanya peraturan-peraturan import barang-barang dari luar negeri yang dianggap
merupakan cara efektif untuk mencegah terjadinya kerusakan ini. Binatang-binatang
ternak yang sering dilepaskan berkeliaran dan merumput di dalam hutan oleh penduduk
juga banyak menimbulkan kerusakan hutan. Kerusakan yang disebabkan oleh binatang ini,
sesungguhnya adalah merupakan kerusakan yang tidak disadari oleh penduduk (manusia).

105
Kemungkinan kebanyakan kerusakan berat pada hutan yang disebabkan oleh
binatan -binatang liar juga adalah disebabkan oleh manusia sebagai akibat aktifitas mereka
di dalam usaha melindungi binatang-binatang liar tersebut atau sebagai campur tangan
mereka di dalam usaha mengelola lingkungan hidup. Kejadian ini biasanya terjadi karena
peledakan populasi sesuatu jenis binatang liar sedangkan makanannya tidak ikut
bertambah, sehingga hutanlah yang akan menjadi sasaran oleh binatang-binatang liar
tersebut.
Hanya faktor iklim yang tidak dapat dipengaruhi langsung oleh manusia, misalnya
kerusakan hutan karena faktor cuaca (temperatur, kelembabab dan sebagainya). Namun
demikian pengaruh cuaca ini terhadap hutan dapat menjadi lebih berbahaya atau
diperkecil tingkat kerusakannya melalui tindakan-tindakan manusia sepanjang hidup
mereka. Manusia merupakan penyebab utama kerusakan hutan yang diakibatkan oleh
asap-asap beracun yang keluar dari pabrik-pabrik. Untunglah bahwa pada dewasa ini asap-
asap beracun yang dikeluarkan oleh pabrik-pabrik sudah dapat dinetralisasi.
Hutan juga sering dirusak oleh orang-orang yang lewat dihutan atau oleh orang-
orang yang bermaksud mencuri hasil hutan. Kadang-kadang hutan banyak sekali dilewati
orang dimana hal ini dapat dilihat dari banyaknya jejak mereka. Untuk menghindari
kerusakan seperti ini maka yang paling utama adalah mengadakan pengawasan yang baik
dan membuat batas-batas hutan secara jelas. Juga kecekatan para petugas untuk segera
mengetahui adanya orang yang lewat dibawah hutan, akan memperkecil kerugian sebagai
akibat dari tipe kerusakan ini.
Hutan dapat pula rusak dengan diambilnya serasah-serasah secara periodik atau
tahunan untuk keperluan pemupukan atau mulching tanaman, untuk alas kandang dan
untuk keperluan-keperluan lainnya. Pengambilan serasah hutan secara terus menerus akan
menyebabkan kurangnya pertumbuhan pohon persatuan luas dan berkurangnya
pertumbuhan ini bisa mencapai 30 %. Tetapi tipe kerusakan ini masih digolongkan kepada
tipe perusak yang kurang penting.
Tipe kerusakan hutan lainnya yang juga dianggap kurang penting adalah
pemadatan permukaan tanah oleh manusia, perusakan limbah hutan dan berkurangnya

106
kerapatan hutan sebagai akibat dari banyaknya dan seringnya manusia berkunjung ke
hutan. Kerusakan seperti ini kebanyakan terjadi pada daerah-daerah yang berdekatan
dengan lokasi perkemahan atau disekitar taman-taman nasional. Pada hutan rekreasi
permukaan tanahnya akan menjadi padat bersamaan dengan rusaknya akar-akar pohon dan
juga batang akan mengalami kerusakan mekanis, tetapi semua ini dianggap saja wajar
pada hutan rekreasi. Seorang peneliti yang bernama Lutz mengatakan bahwa antara hutan
rekreasi dengan hutan lindung mutlak terdapat perbedaan yang sangat nyata antara
penurunan sifat fisik tanah dimana pada hutan rekreasi sifat fisik tanah jauh lebih jelek
sehingga lebih sering perlu diolah atau diberi pupuk.
Kegiatan eksploitasi yang dilakukan oleh manusia dapat merupakan penyebab
rusaknya hutan. Penebangan pohon-pohon tua itu sendiri tidak merusak hutan, tetapi
teknik-teknik penebangan yang dikerjakan itulah yang menyebabkan kerusakan hutan.
Yang paling umum diantara ini adalah kegagalan untuk mendapatkan pohon-pohon yang
berkualitas tinggi sesudah pohon tua ditebang. Kerusakan lain yang disebabkan oleh
kegiatan eksploitasi adalah matinya pohon-pohon muda dan anakan yang akan
memberikan efek terhadap permukaan tanah yang ada dibawahnya. Akibat eksploitasi
yang dilakukan oleh manusia, dapat menimbulkan kerusakan hutan yang luasnya ribuan
hektar. Pencegahan kerusakan hutan dengan tipe ini tergantung pada peningkatan
pendidikan para pekerja hutan agar mereka dapat memilih metode eksploitasi yang
sifatnya kurang merusak.
Kesalahan lain yang dapat diperbuat oleh manusia adalah dengan memperbanyak
jenis tanaman pada daerah lingkungan yang tidak sesuai atau pada keadaan waktu dan
tempat yang tidak menunjang. Kejadian ini umumnya terjadi pada metode tebang habis
yang kemudian dilanjutkan dengan penanaman hutan didaerah terbuka (bekas tebangan
habis). Tetapi dengan ilmu perlindungan maka metode penghutanan kembali pada daerah-
daerah bekas tebangan dapat dijaga keamanannya melalui suatu sistem pengelolaan yang
tepat, antara lain membangun bentuk tegakan yang ideal. Keteledoran manusia didalam
hal memilih benih untuk hutan tanaman, kemungkinannya dapat merupakan sumber
kerusakan hutan yang serius. Personalia dari semua tingkat organisasi kehutanan, juga

107
dapat merupakan sumber kerusakan hutan. Pelaksanaan teknik silvikulture secara intensif,
tidak akan mungkin dapat dikerjakan oleh tenaga-tenaga terdidik dan terlatih.
Kemungkinan besar kerusakan hutan yang terjadi pada proses penebangan dan penyaradan
juga terjadi karena para pekerja perlu diberi pendidikan khusus agar mereka dapat
memperkecil kemungkinan kerusakan hutan selama mereka bekerja.
Kerusakan serius juga dapat terjadi pada waktu manusia mengangkut hasil hutan
sesudah panen. Dalam proses pengangkutan produksi ini, biasanya pohon-pohon yang
dilalui akan terkupas kulitnya sehingga mudah sekali diserang oleh hama dan penyakit.
Hal ini akan menjadi sangat berbahaya bila terjadi pada tegakan muda dibandingkan
dengan tegakan tua yang memang sudah waktunya untuk ditebang. Maksud utama
daripada bab ini adalah untuk memberikan pengertian kepada para pembaca betapa besar
peranan manusia yang merupakan objek daripada Ilmu Perlindungan Hutan. Manusia
secara langsung atau tidak langsung akan berperan di dalam terjadinya kerusakan hutan.

108
B. PERLADANGAN

Istilah perladangan meliputi varietas yang sangat luas dari bentuk-bentuk


pertanian yang masih primitif. Perladangan meliputi areal yang sangat luas di atas bumi
ini, terutama di daerah tropik basah, dimana di daerah ini diketemukan di negara-
negara yang sedang berkembang. Perladangan dapat didefinisikan sebagai suatu teknik
pertanian dengan cara dan peralatan yang masih primitif, tanpa adanya penanaman
modal dan dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri dan
keluarganya. Pada umumnya dilakukan di atas tanah yang cepat sekali kehilangan
kesuburannya, sehingga memaksa peladang melakukan pertanian berpindah-pindah
untuk menyambung kebutuhan mereka. Areal yang diperlukan untuk menjamin
persediaan bahan makanan untuk keluarga mereka bergantung pada bero alamiah untuk
mengisi kembali kesuburan tanah atau untuk menghilangkan penyerbuan rumput-
rumputan. Makin panjang waktu bero alamiah makin luas areal yang mesti tersedia
bagi petani dengan demikian terjadilah pemborosan dalam hal penggunaan tanah.
FAO (Food Agriculture Organisation) melihat peladang ini sebagai suatu
bencana International yang perlu segera mendapat perhatian. Hal ini terbukti dengan
diterbitkannya buku Lagriculture nomade pada tahun 1956 oleh G.Tondeur yang
membicarakan masalah perladangan di Congo dan Afrika Barat, kemudian tahun 1957
diterbitkan buku yang kedua, Hanunoo agriculture di daerah Philipina oleh H.C.
Conklin. FAO memberikan perhatian besar terhadap persoalan ini dan telah mengambil
inisiatif untuk menggalakkan studi tentang obyek ini melalui cabang Kehutanan dan
Industri Kehutanannya. Sidang FAO yang diselenggarakan pada bulan Nopember 1957,
yang merupakan pertemuan bersama antara komite teknologi dibidang pertanian dan
kehutanan mengakui kepentingan problem perladangan ini dan meminta organisasi
untuk meneruskan dan mengintensifkan usaha-usaha untuk menyelesaikannya. Suatu
resolusi yang diterima oleh Kongres Kehutanan Dunia di Madrid pada tahun 1966
menganjurkannya didirikannya suatu komisi khusus untuk mempelajari semua aspek
dari problema perladangan pada tiap-tiap negara yang masih banyak melakukan

109
perladangan. Komisi ini hendaknya terdiri dari banyak disiplin ilmu seperti: ahli
ekologi, ahli tanah, ahli pertanian, ahli peternakan, ahli kehutanan, ahli ekonomi, ahli
ilmu sosial, guru-guru, ahli hukum dan sebagainya.
Tujuan FAO mengatasi perladangan adalah untuk mempropagandakan metode-
metode pertanian modern yang diharapkan dapat memperbaiki kualitas produksi yang
berguna dan hasil-hasil hewan yang dapat diperoleh dari tanah-tanah yang tersedia.
Keperluan utama di daerah tropik basah adalah intensifikasi pertanian dan penambahan
hasil per satuan luas. Peralihan dari pertanian tradisional ke pertanian yang telah
berkembang dengan baik seringkali amat sukar untuk dicapai, dan penggunaan metode-
metode yang intensif didalam keadaan ini seringkali berakhir dengan kegagalan.
Kegagalan seringkali tidak hanya disebabkan oleh faktor tekhnis dan ekonomis, tapi
penghambat yang paling utama biasanya adalah faktor sosial, khususnya yang
menyangkut masalah perladangan. Perladangan ini erat hubungannya dengan rhytme
musim-musim yang ada dan telah menciptakan suatu pandangan hidup yang khusus.
Dalam usaha merobah pandangan hidup suatu golongan masyarakat diperlukan
perubahan psychologi dan pendidikan dan untuk itu mungkin diperlukan waktu
bertahun-tahun.
Teknik-teknik perladangan sama saja dimana-mana yakni penebangan dan
pembakaran vegetasi berkayu diikuti penanaman selama satu, dua, atau tiga tahun,
kemudian tanah ditinggalkan dan kembali menjadi hutan atau tutupan belukar selama
periode yang panjang. selain kesamaan ini, perladangan mempunyai perbedaan-
perbedaan dalam hal type dan kehidupan daripada peladangnya sendiri. Kemudian para
peladang sangat berbeda dari satu tempat ketempat lain. Perladangan tidal selalu
mengarah ke kehidupan nomadik. Tetapi telah dilaporkan bahwa di Asia Tenggara
terdapat suku-suku yang suka berkelana dan pemburu yang benar-benar nomadik yang
juga menjalankan perladangan dengan metode-metode yang nampaknya amat merusak.
Hal yang sama diketemukan pada banyak suku penggembala di kehidupan
peladangnya, maka perladangan ini dapat dibagi atas dua macam yakni :
- Perladangan tradisional

110
- Perladangan karena keadaan yang memaksa.

1. PERLADANGAN TRADISIONAL
Peladang terdiri dari anggota suatu suku atau masyarakat yang senantiasa
terikat oleh kebiasaan dan adat yang tumbuh sejak lama yang tidak teringat lagi sejak
kapan. Suku-suku ini selalu melakukan perladangan dengan teknik-teknik yang
bercampur aduk dengan masalah kepercayaan, pelaksanaan ibadah keagamaan, susunan
keluarga dan kelembagaan suku. Batas-batas tanah dengan aktifitas pertanian
dilakukan sedikit jelas karena selalu mengingat hak-hak dari masyarakat petani yang
juga melakukan aktifitas pertanian dilakukan sedikit jelas karena selalu mengingat hak-
hak dari masyarakat petani yang juga melakukan aktifitas yang sama. Pemilihan tanah
yang akan dibersihkan setiap tahun untuk ditanami didasarkan pada pengamatan
keadaan dan perkembangan tanah yang kadang-kadang dapat diterima baik oleh ahli-
ahli.
Pemilihan waktu untuk bermacam-macam aktifitas pertanian ditentukan
tidak saja oleh adat dan urutan musim, tetapi juga oleh indikasi khusus dari alam seperti
berbunganya tumbuh-tumbuhan liar, keluarnya serangga-serangga khusus dan lain-lain.
Biarpun pada umumnya tanah yang ditanami ditujukan untuk padi-padian yang
merupakan bahan makanan pokok mereka (padi di Timur Jauh, Jagung di Amerika
Latin). Tanaman utamanya hampir selalu dicampur dengan tanaman bahan makanan
lain. Petani type ini mempunyai suatu kontrol tertentu terhadap waktu bero berhutan
yang terjadi setelah jangka pertanaman selesai. Adalah tidak lazim bagi mereka,
kembali ke tempat yang sama dalam jangka waktu yang cukup panjang sampai 20
tahun. Pada dasarnya mereka mematuhi jangka waktu bero berhutan yang terjadi
menurut kebiasaan untuk menjamin regenerasi kesuburan tanahnya. Dengan demikian
siklus perladangan yang kedua dan seterusnya tidak lagi menyangkut hutan perawan
yang ada pada permulaan siklus pertama.
Membersihkan hutan sekunder yang sedang tumbuh biasanya memerlukan
pekerjaan dan mendatangkan kesusahan yang jauh lebih sedikit daripada membersihkan

111
hutan perawan. Apabila beberapa jalur hutan rawan tertinggal didalam jarak yang
tercapai oleh masyarakat setempat, hutan ini hanya akan ditebang apabila diperlukan,
misalnya apabila penduduk dari masyarakat yang bersangkutan telah bertambah banyak
selama siklus terdahulu. Pencegahan-pencegahan juga dilakukan untuk memperkecil
kerusakan-kerusakan yang mungkin ditimbulkan oleh erosi selama jangka pertanaman
dengan membuat anggelan secara Countour, pagar dari ranting-ranting dan sebagainya.
Areal-areal yang dibersihkan merupakan ladang-ladang sempit tersebar diantara
jalur-jalur hutan primer atau sekunder, merupakan pola terkoyak-terkoyak dan
merupakan karakteristik dari perladangan di daerah tropik. Pola ini menguntungkan
Stabilitas Tanah, karena dengan mematuhi aturan-aturan tradisional maka kesuburan
tanah dapat dipertahankan. Tetapi tidaklah berarti bahwa kesuburan tidak berkurang
setelah sejumlah siklus berlalu. Nampaknya mungkin saja, kesuburan tanah akan
berkurang selama waktu berlangsungnya siklus yang kedua dan berikutnya, karena
tanahnya telah kehilangan penutup yang sama.
Bertentangan dengan harapan peladang type ini, hasil-hasil yang diperolehnya
dapat saja mempunyai banyak resiko. Misalnya memperkirakan keadaan musim yang
tidak teratur, adanya hewan-hewan perusak: burung-burung, kera, gajah, parasit dan
serangga perusak lainnya. Petani hanya dapat berhasil apabila mereka mempunyai
banyak waktu untuk menjaga tanamannya. Tetapi mereka pada umumnya adalah
masyarakat yang mempunyai pengetahuan bagaimana memilih varietas tanaman agar
diperoleh hasil yang baik dan bagaimana memperkecil resiko dari tidak menentunya
iklim atau menjaga terhadap efek-efek penyakit atau serangga-serangga hama.
Karena itu, secara umum dapat dikatakan bahwa type perladangan ini hidup
didalam keadaan stabil didalam keseimbangan lingkungan ekologinya. Sudah barang
tentu kecelakaan-kecelakaan dapat saja terjadi, tetapi kenyataan tetap dapat menjamin
kehidupan sehari-hari pada peladangnya. Pada waktu-waktu tertentu diperoleh
kelebihan produksi untuk dipertukarkan dengan kebutuhan lain.

2. PERLADANGAN KARENA KEADAAN YANG MEMAKSA

112
Tipe peladangan ini banyak didapati di Amerika Latin, terutama di Venezuela,
juga terdapat dibeberapa negara bagian tertentu di Timur Jauh dan kemungkinannya
juga di Afrika. Petani yang termasuk tipe ini tidak terikat pada suatu masyarakat
terbatas, anggota-anggotanya tidak terikat oleh peraturan tradisional dalam pelaksanaan
perladangannya.
Mereka mendirikan rumah dalam suatu perkampungan atau masyarakat, dan
bagi mereka mudah sekali berpindah dari suatu kampung ke kampung lainnya. Mereka
adalah petani yang tidak memiliki tanah atau tidak cukup tanah untuk melakukan
pertanian menetap, lagipula tidak mempunyai sumber peralatan yang cukup. Mereka
sering merupakan kolonis yang sebenarnya, yang berusaha menemukan tanah baru
yang dapt dibuatnya menjadi ladang pertanian.
Tanah-tanah ini hampir selalu diambil dari hutan, karena selain tanahnya suur
juga dianggap tidak ada pemiliknya. Kalaupun ada pemiliknya mereka cukup
memberikan ganti rugi yang kecil sebagai sewa atau bagi hasil. Dapat dikatakan
perladangan tipe ini adalah akibat langsung dari haus tanah. Cara pengolahan tanahnya
sama saja dengan cara tradisional yaitu menebang dan membakar sebagian dari hutan.
Pada akhir beberapa tahun saja, pendatang baru ini akan menyadari, bahwa panenan
yang dihasilkannya menurun sekali yang disebabkan karena hilangnya kesuburan tanah
atau karena tanahnya telah dikuasai rumput-rumputan. apabila kesuburan tanahnya
benar-benar telah habis, mereka akan meninggalkannya dan mencari tanah hutan yang
lain. Petani tipe ini tidak saja memboroskan tanah, tetapi mereka juga sangt
merusaknya. Di beberapa areal, api dinyalakan tanpa persiapan pencegahan sama
sekali dan bidang-bidang hutan yang luas dengan demikian telah terbakar tanpa guna,
juga erosi tidak diperhatikan. Tanah yang telah ditinggalkan kadang-kadang
keseimbangan antara ekologi dan vegetasi alamnya sudah tidak dapat lagi ditumbuhkan
kembali. Pada lereng-lereng yang curam erosi ynag ditimbulkan oleh angin dan air
berlangsung secara bebas, ditambah api yang semakin melebar diatas bidang-bidang
yang luas.

113
Golongan petani ini lebih peka terhadap pengaruh luar dari pada petani
tradisional. Petani tipe kedua ini merupakan hasil dari lingkungan ekonomi dan sosial
yang berlaku didalam masyarakat setempat dan nasional dimana mereka hidup. Di
daerah-daerah tropik dari Amerika Latin, kelompok-kelompok pendatang spontan dapat
dijumpai sepanjang jalan-jalan baru di daerah-daerah berhutan dan segera mulai
melanjutkan praktek perladangan.
Tanah-tanah pertaniannya sering terdapat di tanah datar yang lebih baik dan
tanaman yang diusahakan di sini terutama dimaksudkan untuk dijual di pasar setempat.
Sedangkan tanah untuk berladang disediakan untuk tanaman padi-padian atau hasil
bahan makanan untuk dipakai sendiri di dalam keluarga. Kadang-kadang petani ini
hanya petani sambilan saja. Sebagai contoh di Philipina, banyak bertempat tinggal di
kota-kota kecil dimana mereka itu sedikit banyak telah mempunyai pekerjaan yang
tetap dan mereka menambah penghasilan dengan melakukan perladangan di tempat-
tempat yang kosong didekat tempat tinggal mereka.

3. MASALAH PERLADANGAN DI INDONESIA


Hasil inventarisasi Direktorat Jenderal Kehutanan mengatakan bahwa pada
akhir PELITA I tercatat 7.198.148 ha tanah kosong di seluruh Indonesia yang belum
direboisasikan. Dalam PELITA II target reboisasi direncanakan rata-rata 77.308 ha
pertahun. Dengan target ini dapat diperkirakan untuk mereboisasi seluruh tanah kosong
yang ada, diperlukan waktu kurang lebih 93 tahun. Penyebab utama dari kerusakan
hutan ini adalah perladangan liar yang diikuti dengan pembakaran tanpa kontrol.
Ternyata penambahan tanah kosong yang disebabkan oleh pembakaran dan
perladangan liar diperkirakan rata-rata 250.000 ha setiap tahunnya. Kalau biaya
reboisasi diperhitungkan Rp 12.000,- per ha (PELITA I), maka jumlah kerugian tiap
tahun = 250.000 x Rp.1.200,- = Rp. 3.000.000.000,-. Perladangan tidak hanya
merupakan bentuk pertanian yang menimbulkan kerugian materi yang cukup besar,
tetapi juga menyangkut aspek sosial yang sangat luas, sehingga dianggap sangat perlu
untuk segera dihentikan.

114
Sebagian orang beranggapan bahwa perladangan berpindah-pindah yang banyak
dijumpai di Indonesia, merupakan kebiasaan yang sudah menjadi adat, sudah menjadi
way of life dari penduduk yang bersangkutan. Pandangan ini didasarkan pada
pengamatan mereka, bahwa perladangan berpindah-pindah itu telah dilakukan oleh
orang berabad-abad lamanya tanpa sesuatu perubahan yang berarti. Cara-caranya sudah
terkait dan diisi dengan adat-adat yang bersifat magik, ritual menjadi satu dengan orang
dan masyarakatnya. Pandangan ini berlaku kuat diantara ahli-ahli luar negeri, diantara
orang-orang yang datang dari masyarakat yang sudah berkembang kebudayaannya.
Pandangan seperti ini sangat mematikan usaha-usaha pengembangan yang masih
berpindah-pindah. Soedarwono, Dosen Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada
dengan mengadakan pengamatan dibanyak tempat seperti di Sumatera, Lampung,
Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan dan
banyak lagi tempat lainnya sangat membantah pandangan di atas. Menurut beliau,
penyebab adanya perladangan berpindah di Indonesia bukan karena adatnya sudah
begitu. Perladangan berpidah, sesuatu bentuk pertanian adalah resultante dari pengaruh
alam lingkungan yang memaksa manusia bertindak menyesuaikan diri. Sebagian besar
dari daerah perladangan berpindah-pindah secara fisik memang sukar untuk dibuat
sawah. Lapangannya bergelombang, tanahnya sukar untuk menahan air dan daerah
penghasil bahan makanan yang bukan perladangan terletak jauh dari jangkauan.
Alam lingkungan sedikit banyak membatasi perkembangan budaya manusia
sehingga segala kehidupan sehari-harinya berjalan dengan tidak banyak perubahan.
Kadang-kadang mereka sering bersikap menolak atau lama sekali baru mau menerima
pandangan-pandangan baru yang belum memberi bukti kemanfaatannya. Sikap seperti
ini bagi peladang adalah wajar, tidak perlu disebut sesuatu adat, sikap hidup, way of
life, karena sikap seperti itu sedikit banyak dianut pula oleh orang-orang yang sudah
maju.
Manusia adalah makhluk berbudaya dan tanggap terhadap perubahan yang
terjadi atau yang diciptakannya sendiri. Perkebunan karet yang sangat luas di Sumatera
justru disebabkan karena adanya kebiasaan pada rakyat untuk membuat ladang

115
berpindah-pindah. Perkebunan karet dari perusahaan perkebunan besar di Delhi-
Serdang dan di Malaya dan Pasaran hasilnya yang menarik telah mendorong peladang
berpindah-pinah untuk merubah bekas-bekas ladangnya menjadi kebun-kebun karet.
Orang-orang menanam biji karet dengan mudah di biadng-bidang ladang yang segera
akan ditinggalkan tanpa memerlukan pemeliharaan kemudian. Penanaman dengan cara
ini, terus menerus dilakukan pada bidang-bidang ladang yang akan ditinggalkan pada
bidang-bidang ladang yang akan ditinggalkan, sehingga kebun karet rakyat yang luas
terjadi. Syarat penanaman dan pemeliharaan kebun karetnya, sama sekali sesuai (serasi)
dengan pengetahuan teknologi bercocok tanam dan waktu yang terbatas dari pada
petani perladangan.

4. BEBERAPA TYPE MASYARAKAT PELADANG DI INDONESIA

a) Orang-Orang Sakai

Peladang berpindah-pindah di Indonesia dilakukan oleh suku-suku yang


berbeda-beda cara hidupnya. Orang-orang Sakai di Riau mengikuti peladangan yang
berpindah-pindah bersama dengan rumah-rumahnya. Rumah-rumah orang Sakai masih
sangat sederhana, dibuat dari kayu-kayu dan daun-daunan yang dapat dibuat dari bahan
setempat. Mereka berkelompok tidak banyak dan selalu membuat ladang baru dari
hutan rawan secara beramai-ramai (bersama-sama), terpisah jauh dari bekas ladang
yang ditinggalkan. Api membantu membersihkan serasah dan tebangan pohon-pohon
tidak sampai menjalar kebekas ladang yang telah ditinggalkan. Bekas ladang-ladang
yang ditinggalkan karena itu sempat ditumbuhi dengan hutan kembali. Rotasi
peladangan orang-orang Sakai tidak meninggalkan padang-padang rumput / alang-
alang / paku-pakuan.
Orang-orang Sakai di Malaysia Barat mungkin tidak merasa leluasa bergerak
seperti orang-orang Sakai di Sumatera. Mereka juga berpindah-pinah bersama-sama
dengan rumahnya yang sederhana sekali, tetapi didalam lingkungan yang terbatas,
sehingga rotasi peladangan boleh jadi lebih pendek. Bekas-bekas ladang yang

116
ditinggalkannya sebagai belukar-belukar berserakan nampak jelas diatas peta potret
udara. Beberapa tempat ada yang menjadi padang-padang rumput/alang-alang/paku-
pakuan.

b) Orang-Orang Dayak
Peladang yang dilakukan oleh orang-orang Dayak yang sudah hidup
berkampung lain lagi bentuknya. Seperti dapat dipelajari dari susunan rumah
panjangnya, rumah-rumah lainnya yang terkenal, pembukaan hutan untuk perladangan
dilakukan secara perorangan perkeluarga atau berdua atau bertiga (keluarga) menjauhi
rumah-rumah induknya.
Rumah-rumah panjang dibuat oleh masing-masing keluarga dan setiap bagian
dari rumah panjang yang dibuat oleh masing-masing keluarga disebut lamin, setiap
pintu terpisah, dengan ukuran tinggi dan lebar yang disesuaikan dengan ukuran tinggi
dan lebar lamin-lamin yang sudah didirikan lebih dahulu. Rumah panjang orang-orang
Dayak pedalaman Kalimantan Timur itu tidak lain dari pada rumah-rumah keluarga
masing-masing yang didirikan berjajar bersambungan. Masing-masing rumah keluarga
dibuat lengkap dengan tiang-tiangnya sendiri, didirikan berdekatan dengan tiang-tiang
rumah tetangganya, hanya dinding pemisah diantara dua rumah disesuaikan dengan
keluarga.Rumah panjang tersebut diatas untuk masing-masing laminnya terdiri dari
ruang muka yang tidak diberi batas dinding dari ruangan muka lamin tetangganya,
bersama-sama merupakan ruangan banjar yang memanjang sama panjangnya dengan
jumlah panjang semua lamin yang menyusunnya, nampak seperti lapangan beratap
dimuka masing-masing lamin. Lamin yang sebenarnya tempat tinggal masing-masing
keluarga, berdinding pemisah dari lamin tetangganya, berpintu dua, yang satu keluar
keruang umum dimukanya, yang satu lagi menuju kebelakang kedalam ruangan dapur
yang dibuat dibelakangnnya.
Dengan demikian masyarakat Dayak sudah tersusun dari individu-individu
(keluarga), yang sudah harus mengurus diri sendiri didalam mengurus segala keperluan
pribadinya. Kampung yang mengurus kepentingan bersama seperti keamanan dan

117
sebagainya. Dan rupanya rumah yang dibuat amat berdekatan dengan satu atap itu
memang disusun untuk kepentingan keamanan.
Anggota lamin membuka hutan sendiri-sendiri atau berdua atau bertiga
(keluarga). Yang disebut terakhir ini khususnya/biasa terjadi bila ladang-ladang yang
dibuat itu terletak jauh kedalam hutan daratan, atau ditepi sungai yang tidak amat jauh
dari kampung. Ladang-ladang yang dibuat ditepi sungai yang lebih jauh dari kampung,
biasanya dibuat terpisah untuk masing-masing keluarganya, tetapi semua ladang dibuat
sendiri-sendiri untuk masing-masing tempatnya. Ladang-ladang yang dibuat berdua
atau bertiga berdampingan jauh didalam hutan daratan dimaksudkan agar ada tetangga
teman bekerja. Sedangkan untuk ladang-ladang yang tidak terlalu jauh dari kampung
dimaksudkan kecuali untuk kepentingan yang sama seperti yang dikatakan dimuka,
juga agar dapat dilakukan bergantian jaga atau pulang diantara mereka.
Selama musim berladang, sebagian besar dari waktu keluarga, dihabiskan di
ladang khususnya di ladang-ladang yang jauh dari kampung. Bila panen telah lewat,
mereka kembali tinggal dilamin masing-masing. Karena itu yang disebut kampung pada
masyarakat Dayak tidak sama dengan kampung atau desa di Jawa. Kampung didalam
masyarakat Dayak terdiri dari rumah lamin, rumah panjang, dan rumah-rumah ladang
yang tersebar banyak didalam daerah perladangannya. Rumah-rumah ladang
berpindah-pindah mengikuti perpindahan ladang-ladangnya.
Sedikit perdagangan sudah terdapat dalam masyarakat peladangan suku-suku
Dayak yang dilukiskan diatas. Barang-barang yang dijual biasanya hasil-hasil hutan
seperti: rotan, damar, madu, bauh tengkawang, hasil bumi sedikit-sedikit seperti: padi,
jagung, pisang, durian, dan lain-lain yang diambil oleh pedagang-pedagang jauh yang
datang mengunjungi kampung-kampung dan membawa barang-barang dagangan
buatan luar daerah seperti: tekstil, sabun, susu kaleng, garam, dan lain-lain.
Kampung-kampung dayak kebanyakan tidak menjauhi jalanan-jalanan air
(sungai-sungai) dan bekas-bekas ladang ditepi sungai biasanya memperlihatkan tanda-
tanda rotasi peladangan yang berlaku setempat. Dari tinggi rendahnya belukar atau

118
hutan-hutan sekunder yang nampak dapat diketahui telah beberapa lama tempat-tempat
yang bersangkutan pernah di ladang.
Dipandang dari dinamika mekanisme hubungan antara kampung induk, rumah
panjang dengan rumah-rumah ladang yang terus bergerak berpindah-pindah itu,
dapatlah dimengerti tentang adanya berita bahwa kampung Dayak di pedalaman itu
belum stabil tempatnya, masih suka berpindah-pindah juga.
Rumah-rumah ladang dapat dipandang sebagai pelopor yang selalu mencari
tempat-tempat yang subur untuk menjamin kehidupan kampungnya. Maka tidak
mustahil, bahwa perkampungan Dayak yang masih dalam keadaan yang dilukiskan di
atas itu, kampung induk beserta rumah-rumah ladangnya, diukur dalam jangka waktu
yang panjang selalu didalam keadaan yang bergerak. Kampung Dayak dapat
berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah yang lain. Di daerah yang subur, kampung
akan menetap lebih lama atau kelebihan penduduknya akan memisah. Tidak mustahil
dalam jangka waktu ratusan tahun, gerak pindahan kampung yang dimaksud berbalik
kearah tempat-tempat atau daerah-daerah yang pernah diduduki sebelumnya dari Barat
ke Timur dan dari Timur ke Barat kembali dari utara ke Selatan dan dari Selatan ke
Utara kembali bila sesuatu arah angin seperti itu dipakai. Gerak pindah seluruh
kampung ini dapat disebut rotasi besar untuk dibedakan dari rotasi peladangan setempat
yang lebih pendek itu.

c) Kampung yang Menetap


Kampung yang menetap biasanya dimulai di daerah-daerah yang subur, yang
mapu menghasilkan bahan makanan yang cukup secara terus menerus untuk seluruh
kampung. Mungkin kebun kelapa atau sawah atau mungkin kedua-duanya atau pusat
hubungan dengan lain daerah akan merupakan sauh yang kuat bagi kampung untuk
menetap di suatu daerah. Di dalam kampung yang menetap setelah terbentuk organisasi
masyarakat yang lebih maju. Keperluan hidup yang dapat dipenuhi bertambah aneka

119
ragamnya. Sekolah bagi anak-anak, pendidikan agama, pasar dan perdagangan segala
barang dapat ditumbuhkan.
Kemudahan hidup di dalam kampung yang menetap membuat orang tidak suka
pergi berladang terlalu jauh. Sawah berpindah-pindah cepat dibuat menjadi sawah
menetap dan ladang-ladang berpindah-pindah yang masih terpaksa dilakukan dibuat
tidak terlalu jauh dari kampung. Akibatnya rotasi perladangan berpindah-pindah
menjadi lebih pendek. Bekas-bekas ladang tidak sempat menjadi hutan kembali. Api
penolong membersihkan ladang baru menjalar sampai bekas-bekas ladang yang
ditinggalkan, terjadilah padang-padang rumput/alang-alang/paku-paku yang terkenal
itu.

d) Kampung dengan Persawahan dan Perladangan


Kampung yang menetap segera akan merubah pesawahan yang berpindah-
pindah menjadi persawahan yang menetap. Bila persawahan menjadi menetap dan hasil
tidak mencukupi keperluan hidup seluruh kampung, perladangan tanah kering
berpindah-pindah masih dilakukan dan akibatnya telah dikemukakan sebelumnya yaitu
padang-padang rumput/alang-alang/paku-pakuan menurut tempatnya. Hal ini dapat
dijumpai di Tapanuli, di Kalimantan Selatan dan di Tanah Toraja.
Kampung-kampung di Tapanuli yang aslinya disebut hutan dibuat di atas
sebidang tanah yang tidak luas, cukup untuk didirikan beberapa rumah keluarga yang
terpisah satu dari yang lain oleh halaman kosong yang tidak lebar. Bila ada dua baris
rumah-rumah keluarga yang dibuat, bidang yang memisahkan dua baris rumah-rumah
keluarga itu terdapat sedikit lebih lebar dari tanah kosong pemisah masing-masing
keluarga tersebut di muka. Seluruh kampung tidak bertanaman kecuali beberapa pohon
enau dimana ijuknya untuk pengganti atap rumah-rumahnya. Hutan berbatas pagar
hidup bambu berduri.
Nampak dari susunan rumah-rumah dan seluruh kampung di tapanuli itu lebih
dipolakan untuk kepentingan penjagaan keamanan dari pada untuk memenuhi
keperluan hidup sehari-harinya. Mungkin memang keamanan dulu dianggap lebih

120
penting dari sumber bahan makanan yang dapat diusahakan di luar hutan, tetapi
mungkin pula disebabkan karena daerahnya tidak banyak yang subur, sehingga tidak
dapat terbentuk masyarakat perkampungan yang besar.
Di daerah Simalungan, Pematang Siantar, yang didiami oleh sekelompok suku
Batak yang juga tanahnya lebih subur dari daerah Prapat, Balige, bentuk
perkampungannya tersusun seperti desa-desa di Jawa. Kampung-kampung di
Kalimantan Selatan sebagian besar dibangun di tepi-tepi sungai, tempat-tempat yang
subur tanahnya. Kemudian penduduk harus berladang berpindah-pindah di sekitarnya
mengakibatkan terjadinya padang alang-alang/ rumput yang amat luas, nampak jelas
bila orang melihat dari atas.
Kampung-kampung di Tanah Toraja tidak ubahnya seperti desa-desa di Jawa.
Daerahnya yang berbukit-bukit berat membuat daerah-daerah kampung menjadi
sempit-sempit. Perladangan berpindah-pindah sebagai akibat dari pertambahan
penduduknya membuat gunung-gunung di Tanah Toraja sebagian besar menjadi
gundul. Keadaan daerah Tanah Toraja memberi gambaran seperti keadaan di daerah
Tapanuli dengan perbedaan tebaran tanah yang subur di Toraja terdapat sedikit lebih
banyak, tanahnya tidak amat sarang seperti kebanyakan tanah-tanah di Tapanuli
(tengah).

e) Kampung dengan Banyak Persawahan


Kampung-kampung yang didukung oleh daerah persawahan yang luas seperti
desa-desa di Jawa. Kampung terbentuk dari pekarangan di tengah-tengah daerah
persawahan yang luas yang membuat masyarakat lekas membuat organisasi negeri atau
negara. Sawah-sawah yang membentang luas memaksa orang melengkapi kebun
halamannya dengan tanaman-tanaman yang dapat memberi hasil selain padi. Pohon-
pohon buah beraneka ragam memberikan buah-buahan bermusim atau tidak, kayu-
kayuan untuk bahan bangunan rumah dan sebagainya.

121
Pekarangan yang lengkap berisi segala jenis segala jenis tanaman yang
bermanfaat seperti kelapa, durian, langsat, nangka, manggis, rambutan, mangga, jambu,
ceremai, belimbing, sawo, petai, kedondong, kapuk, jeruk, pisang, pepaya, bambu, ubi,
talas, garut, tanaman obat-obatan dan masih banyak lagi yang lain. Kampung yang
terdiri dari pekarangan seperti desa-desa di Jawa itu terdapat di daerah persawahan
Aceh, di daerah persawahan Deli-Serdang, di daerah persawahan Pematang Siantar, di
daerah persawahan Padang Sidempuan, di daerah persawahan Sumatera Selatan, di
daerah persawahan Lampung, di Bali, di Lombok dan lain-lain.
Di beberapa daerah di Malaysia Barat pohon-pohon buah-buahan ada yang
ditanam di tanah-tanah khusus di luar halaman rumah, dan disebut dusun. Di daerah
Sulawesi Selatan, ditempat-tempat yang berdekatan dengan kaki gunung, di tempat-
tempat yang mendirikan rumah-rumah di dalam kampung berjajar berdekatan, tidak
membuat pekarangan yang luas, menanam pohon-pohon kemiri dan pohon-pohon jati
di luar pekarangannya, dimana bentuk kebun dan hutan khusus. Terlepas dari jenisnya
dapat disamakan dengan dusun-dusun di Malaysia Barat.
Di dalam sejarah telah terbukti persawahan yang luas mendukung terjadinya
kerajaan dan kesultanan di Nusantara ini. Dan negara yang kuat telah sempat
dimodernisir telah mampu untuk mengatur penggunaan tanah di negerinya, seperti di
Jawa dan di negeri-negeri di Malaysia Barat. Di Jawa dan Malaysia Barat orang sudah
tidak bebas membuka hutan tanpa izin dan di dalam pengeluaran izin itu pemerintah
mengatur sebaik-baiknya mengingat kepentingan umum rakyat seluruhnya. Di Jawa
dan di Malaysia Barat sudah tidak ada lagi peladangan berpindah-pindah yang berarti.
Di Malaysia Barat tinggal dilakukan oleh orang-orang Sakai yang sedikit dan tanahnya
kurang subur, masih ada sisa-sisa peladangan berpindah-pindah sedikit..
Daerah persawahan mampu menerima intensifikasi yang berupa irigasi,
pergantian tanaman, rabuk, pemberantasan hama dan penyakit. Karena itu di dalam
sejarah perkembangannya persawahan mampu menampung penambahan jumlah
penduduk sampai pada batas tertentu. Tanah pertanian (persawahan) di Jawa pada

122
tahun 1970-an mampu menampung jumlah penduduk yang dua kali lipat dari penduduk
tahun 1930-an dengan luas sawah yang sama.

C. PENGGEMBALAAN TERNAK DI HUTAN

Peternakan merupakan suatu usaha yang sangat penting bagi masyarakat petani
disamping masyarakat yang hidupnya memang mengkhususkan diri didalam
peternakan. Indonesisa adalah suatu negara yang dikenal sebagai negara agraris, maka
masalah ternak menduduki tempat yang penting dalam kehidupan masyarakat. Provinsi
Nusa Tenggara Timur merupakan bagian dari Indonesia yang memiliki iklim dan
padang rumput yang cocok untuk ternak-teranak, hingga peternakan akan tepat untuk
dijadikan sumber hidup yang utama bagi masyarakatnya.
Pemerintahpun menganjurkan masyarakat lebih giat dalam peternakan dalam
rangka menaikkan nilai gizi didalam kadar protein, tetapi di Pulau Jawa terjadi
kontradiksi antara kenaikan dalam usaha peternakan dengan tempat-tempat pangonan
atau penggembalaan yang makin sempit. Satu per satu tanah penggembalaan diolah
untuk usaha pertanian, bahkan lapangan sepak bola pun banyak yang diubah menjadi
sawah atau ladang. Jalan keluar yang paling mudah bagi masyarakat untuk
mempertahankan ternak ialah menggembalakan ternaknya ke hutan. Apalagi memang
kebiasaan masyarakat dalam memelihara ternaknya sejak dahulu dengan cara
melepaskan ditempat penggembalaan, walaupun sistim kandangpun sudah dikenal pula.
Masalah di luar Jawa terutama daerah Nusa Tenggara Timur yang mempunyai
ternak sangat banyak agak berbeda. Penggembalaan ternak kedalam hutan merupakan
cara beternak yang telah dilakukan sejak dahulu. Bahkan ada suatu adat yang
menyatakan bahwa ternak berdaulat, artinya bila ternak rakyat masuk kehutan, sawah
atau ke ladang dan merusak isisnya maka yang salah bukan ternaknya tetapi hutan,
sawah dan ladangnya yang harus dipagari.

123
Ternak di Indonesia yang sering digembalakan ke hutan adalah kambing/biri-
biri, kerbau, sapi dan kuda. Di Jawa pada umumnya kambing dan biri-biri menduduki
jumlah yang terbanyak, kemudian menyusul kerbau dan sapi. Di Nusa Tenggara Timur
ternak sapi menduduki jumlah terbanyak kemudian disusul kambing/biri-biri. Jumlah
dari macam ternak tiap daerah tergnatung pada kegemaran dan keperluan dari pemilik-
pemiliknya.

1. AKIBAT DARI PENGGEMBALAAN TERNAK DI HUTAN


Kerusakan akibat penggembalaan ternak di hutan dapat sampai menyebabkan
hutan mati seluruh pohonnya, bahkan dapat sampai menimbulkan suatu erosi tanah
pula. Derajat kerusakan yang diderita hutan tergantung dari jenis serta jumlah
ternaknya dan jenis dari pohon hutannya. Jenis daun lebar akan lebih disukai dari pada
yang berdaun jarum, tetapi yang berdaun lebar lebih cepat menyembuhkan diri dari
pada yang berdaun ajrum. Spesies yang berbeda dapat memberikan reaksi yang
berbeda pula terhadap penggembalaan.
Akibat dari penggembalaan ternak di hutan dapat dibagi menjadi :
a. Akibat yang merugikan :
- Terhadap tanah hutan
- Terhadap tanaman muda
- Terhadap tanaman yang sudah melewati masa muda.
b. Akibat yang menguntungkan :
- Terhadap persiapan dari penanaman
- Terhadap kebakaran hutan

Akibat Yang Merugikan


a) Akibat Terhadap Tanah Hutan
Ternak kambing dan biri-biri merupakan ternak yang paling merusak tanah.
Langkah-langkahnya yang pendek-pendek menghasilkan jejak-jejak yang lebih banyak
dari pada kerbau dan sapi. Dengan kukunya yang tajam akan lebih merusak tanah.

124
Penggembalaan yang berlebihan (over grazing) menyebabkan banyak tanah-
tanah yang terbuka, karena rumput dan tanaman lain yang melindungi dan memegang
tanah telah dimakan ternak. Injakan kaki ternak menyebabkan tanah terkait sehingga
bila jatuh hujan akan mudah terbawa air. Tanahpun akan menjadi padat dan pori-pori
tanah dapat tertutup, air hujan akan mengalir dipermukaan tanah. Akibat dari semua itu
akan dapat menimbulkan suatu erosi tanah, terutama tanah-tanah yang miring akan
lebih cepat terjadi erosi. Tanah-tanah yang miring dan hutan-hutan yang berfungsi
untuk melindungi tata air atau sumber air merupakan daerah yang harus dihindarkan
dari penggembalaan ternak.
b) Akibat Terhadap Tanaman Muda
Tanaman muda yang dimaksudkan adalah tanaman yang tajuknya masih dapat
dicapai oleh ternak (reproduction stage). Tanaman muda sangat peka terhadap
penggembalaan. Karena tajuknya yang masih rendah dan batangnya masih lemah maka
bila dimasuki ternak akan dapat berakibat:
- Daun/tajuknya dirusak sampai gundul
- Batangnya dapat melengkung atau patah
- Seluruh tanaman dapat tercabut
- Kulit batang sering dimakan dan terkupas
- Akar tanaman dapat muncul dari tanah dan luka-luka terkena injakan
Tanaman muda yang dimasuki ternak maka apabila tanamannya tidak mati
maka tumbuhnya akan jelek. Hutan yang peremajaannya didasarkan pada peremajaan
alam, maka apabila dimasuki ternak peremajaan alamnya akan dapat selalu dirusak
ternak, sehingga tidak akan terjadi penggantian dari pohon-pohon yang tua secara
alami. Mengingat beratnya akibat dari penggembalaan pada tanaman muda haruslah
dicegah dan dilarang keras.
c) Akibat Terhadap Tanaman Yang Sudah Melewati Masa Muda
Tajuk dari tanaman yang telah melewati masa muadnya sudah tak tercapai lagi
oleh ternak hingga penggundulan adun dan patahnya batang sudah terhindar.
Kerusakan langsung yang masih dapat ditimbulkan adalah:

125
- Akar pohon terangkat dan menderita luka-luka karena injakan kaki ternak.
- Kulit pohon dan batang terdapat luka-luka karena kebiasaan dari ternak yang
menggosok-gosokkan badannya pada batang pohon
Akibat tak langsung yang merugikan pohon yang sudah melampaui masa muda
ialah:
- Padatnya tanah, sehingga udara dan air tak dapat masuk ke tanah
- Erosi tanah yang ditimbulkan menyebabkan menurunnya kesuburan tanah
- Berkurangnya tanaman penutup tanah dan serasah
Akibat langsung dan tak langsung yang merugikan dari penggembalaan pada
pohon yang sudah lewat masa muda menyebabkan pertumbuhan pohon yang tak sehat
dari pohon merupakan makanan yang digemari atau mudah kena infeksi dari hama dan
penyakit. Tegakan yang telah menderita penggembalaan bertahun-tahun akan dapat
menyebabkan pohon-pohon mati semuanya. Tegakan yang telah melewati masa
mudanya yang digunakan untuk penggembalaan akan tampak menjadi rawan dan
riapnyapun dapat berkurang.

Akibat yang Menguntungkan


a. Akibat terhadap persiapan dari penanaman
Di dalam mempersiapkan lapangan yang ditanami sering terpaksa harus
memberihkan tanah terlebih dahulu dari rumput, semak-semak dan tanaman rendah
lainnya. Apabila tanaman yang harus dibersihkan tumbuh lebat maka pembersihannya
akan berat dan memakan biaya. Penggembalaan ternak pada tanah yang akan ditanami
akan menyebabkan berkurangnya rumput semak dan tanaman rendah lainnya hingga
usaha menyiapkan tanah untuk tanaman menjadi ringan.
Terbukanya tanah karena injakan dari ternak akan memudahkan pula biji-biji
alam mencapai tanah dan menyebabkan timbulnya banyak peremajaan alam. Apabila

126
tidak terjadi overgrazing maka pengaruh pada peremajaan alam akan terinjak-injak lagi
atau dimakannya.
b. Akibat terhadap kebakaran hutan
Masuknya ternak ke dalam hutan akan mengurangi bahan bakar yang berada di
dalam hutan, sehingga bahaya kebakaran hutan pun dapat berkurang. Serasah, tanaman
bawah dan semak-semak apabila dalam keadaan kering merupakan bahan bakar yang
berbahaya, dengan masuknya ternak ke dalam hutan sebagian dari bahan bakar akan
dimakan oleh ternak-ternak. Pohon-pohon yang telah mati yang masih berdiri dan
cabang-cabang pohon belum jatuh ke tanah akan ditabrak oleh ternak-ternak dan jatuh
ke tanah. Apabila pohon dan cabang kering telah jatuh ke tanah akan cepat membusuk
dan hancur hingga kayu kering yang merupakan bahan bakar pun dapat dihilangkan
atau dikurangi. Beberapa sarjana telah menganjurkan penggembalaan pada hutan-hutan
yang sering mengalami kebakaran agar kebakaran hutan dapat dicegah.

127
D. PENCURIAN HASIL HUTAN

Mengingat kerugian yang ditimbulkan akibat pencurian hasil hutan untuk


Indonesia cukup besar dibanding perusak-perusak yang telah dibahas dalam bab
sebelumnya, maka penulis mencoba membahas secara umum. Tulisan-tulisan dan
penelitian mengenai pencurian di Indonesia pun hampir tidak pernah dijumpai.

1. HASIL HUTAN YANG DICURI


Tiap-tiap daerah hutan menderita kerugian macam hasil hutan yang berbeda-
beda. Tergantung pada keadaan hutannya (jenis-jenis pohonnya) dan latar belakang
dari sipencuri.
Hasil hutan yang sering dicuri ialah :
- Kayu
- Daun
- Getah
- Arang
- Kulit Kayu
- Hasil hutan ikutan lainnya (rotan, tanaman obat-obatan dan lain-lain).
Kayu yang dicuri dapat berbentuk kayu pertukangan dalam bentuk kayu bulat
atau setengah jadi (kayu persegi) dan kayu bakar. Kayu yang diambil dari hutan dapat
dengan menebang pohon lebih dahulu atau mengambil dari tumpukan kayu.

2. LATAR BELAKANG PENCURIAN


Tiap-tiap daerah mempunyai latar belakang yang berbeda-beda. Apabila
dilakukan perbandingan antara negara yang telah maju seperti Amerika Serikat dan
negara-negara Eropah dengan negara-negara di Asia yang sedang berkembang seperti
Indonesia, ternyata di negara yang makin maju masalah pencurian hutan makin hilang
bahkan di negara-negara Eropah dan Amerika sudah tidak pernah dibicarakan lagi
dalam perlindungan hutan.

128
Perbedaan yang nyata antara negara-negara yang sudah maju dan negara-
negara yang berkembang dalam hubungan dengan pencurian hasil hutan pada
pokoknya terletak pada:
Ekonomi masyarakat: Penghasilan per kapita per tahun masyarakat di negara yang
maju cukup tinggi.
Hasil pencurian: Di negara yang maju hasil pencurian akan tidak banyak berarti bila
dibandingkan dengan penghasilannya, apabila dibandingkan dengan sangsi hukuman
yang berat. Jadi hasil pencurian tidak setimpal dengan bahaya dan tenaga yang
dikeluarkan. Hal-hal tersebut sangat berbeda keadaannya misalnya dengan di
Indonesia. Hasil pencurian di Indonesia. Hasil pencurian di Indonesia dapat berlipat-
lipat dibandingkan bila kerja biasa.
Bidang pekerjaan: yang tersedia dengan upah yang cukup berarti untuk hidup di
negara yang sedang maju cukup tersedia, hal ini berbeda dengan negara yang sedang
berkembang.
Penerangan: yang intensif mengenai fungsi hutan di negara yang maju jelas lebih
lama dilakukan dan dengan alat-alat dan program kerja yang lebih baik.

Istilah pencurian hasil hutan untuk beberapa daerah terutama luar Jawa dimana
hukum adat masih diikuti sebenarnya tidak diterima, karena masyarakat merasa bahwa
mengambil hasil hutan merupakan haknya yang telah berlangsung secara turun
menurun. Latar belakang dari pencurian hasil hutan di Indonesia adalah karena:
- Sosial ekonomi: dalam arti penghasilan dari masyarakat masih rendah. Upah masih
relatif sangat rendah.
- Terbatasnya lapangan pekerjaan yang tersedia. Sulitnya mencari tambahan
penghasilan dari pekerjaan lain di samping pekerjaan pokoknya atau sulit untuk
pindah pekerjaan lain dengan upah yang lebih baik.
- Kebutuhan masyarakat akan hasil hutan tak dapat dipenuhi karena tak terbeli atau
jumlahnya di pasaran terbatas.
- Pekerjaan mencuri relatif masih memberikan hasil yang besar dengan pekerjaan
yang relatif ringan dan ancaman hukuman yang ringan pula, dibanding dengan
pekerjaan yang syah.

129
- Adanya penampung (tukang tadah) hasil pencurian misalnya adanya industri kecil
yang menampung hasil pencurian atau orang yang ingin mencari untung dari
masalah pencurian akan merangsang pencurian.
- Petugas/penjaga kehutanan yang harus diperbaiki dalam sosial ekonomi, peralatan,
pos-pos dan tenaganya.
- Masalah mental, kebiasaan dan sebab-sebab khusus lainnya.

3. MASALAH KHUSUS BEBERAPA DAERAH DI INDONESIA


Tiap daerah mempunyai bentuk pencurian hasil hutan yang berbeda, hingga
pemecahannya pun harus didasarkan pada sifat-sifat khusus tiap daerah. Di daerah jati
hasil hutan yang dicuri berbentuk kayu, pertukangan, kayu bakar, daun dan arang. Di
daerah pinus di samping kayunya, getah pinus sering pula dicuri. Di luar Jawa
disamping mencuri dengan menebang pohon, sering mengambil dari tumpukan kayu
di hutan. Buruh-buruh penebang dari perusahaan yang mempunyai ijin I.P.H. sering
keluar dari arealnya.
Hasil hutan yang dicuri ada yang digunakan untuk mencukupi keperluannya
sendiri, tetapi ada pula yang dijual. Jumlah pencuri dapat terdiri hanya seorang tetapi
ada yang bergerombol dan terorganisir dengan baik. Masyarakat yang mengambil hasil
hutan tanpa ijin biasanya tidak datang dari tempat jauh, tetapi berasal dari desa-desa
sekitar hutan. Keadaan hutan yang tersebar dan dikelilingi desa dan dekat jalan besar
merupakan hutan yang mudah dicuri hasilnya. Sebenarnya masih ada bentuk semacam
pencurian hasil hutan yang banyak merusak hutan pula yaitu dalam bentuk
penyerobotan tanah hutan, tetapi tidak dibahas dalam ilmu perlindungan hasil hutan.

130
TUGAS:

Membuat makalah untuk persentase per kelompok tentang masalah sosial yang
menyangkut faktor penyebab kerusakan hutan.

131
Pokok Bahasan : Pencegahan dan Penanggulangan terhadap Faktor
sosial Penyebab Kerusakan Hutan

Sub Pokok Bahasan : Pencegahan dan Penanggulangan perladagan,


pengembalaan dan pencurian hasil hutan

: Selesai Mengikuti Perkuliahan ini Mahasiswa/i


Tujuan Instruksional Umum dapat memahami cara pencegahan dan
Penanggulangan terhadap Faktor sosial
Penyebab Kerusakan Hutan

: Selesai Mempelajari Bab VIII, Mahasiswa/i


Tujuan Instruksional Khusus mampu: Menjelaskan cara pencegahan dan
Penanggulangan terhadap Faktor sosial
Penyebab Kerusakan Hutan

132
BAB VIII
PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN
KERUSAKAN HUTAN KARENA FAKTOR SOSIAL

Upaya pencegahan dan penanggulangan kerusakan hutan telah dilaksanakan


pemerintah sejak tingkat kerusakannya telah membahayakan kehidupan manusia dan
mahluk hidup lain bersama alam lingkungannya. Namun pelaksanaannya belum
dilakukan secara terencana dengan baik sehingga permasalahannya tidak pernah
terpecahkan. Hasil yang dicapai belum sebanding dengan biaya yang dikeluarkan oleh
pemerintah.
Ada beberapa rekomendasi yang dapat dilakukan untuk pencegahan dan
penanggulangan kerusakan hutan, yaitu:
1. Membangun suatu komitmen bersama antara pemerintah dengan masyarakat untuk
memerangi sektor kehutanan. Untuk menumbuhkan komitmen bersama perlu
dilakukan koordinasi antara departemen terkait dan pemerintah daerah yang
mempunyai kepentingan yang besar terhadap kelestarian hutan, sehingga segala
permasalahan I sektor ini dapat dipecahkan bersama.
2. Penegakan hukum terhadap kejahatan di sektor kehutanan harus dilaksanakan
dengan tegas dan tuntas. Memperhatikan kerusakan hutan Indonesia bukan lagi
menjadi permasalahan atau beban negara Indonesia semata, namun sudah menjadi
permasalahan internasional. Untuk itu perlu kejasama internasional terutama
negara-negara yang banyak terlibat langsung seperti dalam hal penyelundupan
kayu illegal. Oknum penegak hukum harus meningkatkan profesionalismenya
dalam menyelesaikan segala bentuk kejahatan di sektor ini dan bukan sebaliknya
menjadi backing bagi cukong kayu.
3. Memutuskan mata rantai proses terjadinya illegal logging dan pencurian hasil
hutan.
4. Melaksanakan rehabilitasi hutan yang dapat dipertanggungjawabkan.

133
5. Melakukan audit lingkungan. Untuk mengetahui besarnya kerugian yang
diakibatkan oleh kegiatan manisia merusak hutan, maka audit lingkungan sudah
saatnya harus dilakukan. Hasil audit lingkungan diharapkan dapat digunakan
antara lain untuk:
a. Dapat menjadi bahan penilaian kinerja keberhasilan tugas pelayanan dan
pembngunan dari pemerintah dalam periode kekuasaannya.
b. Mengetahui kerugian kerusakan hutan yang dihitung dalam bentuk penerimaan
negara, kerusakan flora dan fauna yang musnah di dalamnya.
c. Bahan perencanaan pemulihan kerusakan sumber daya alam hutan, tanah dan
air bersama lingkungannya dan rekomendasi untuk pengambilan lengkah-
langkah penenggulangan kerusakannya.

A. USAHA-USAHA UNTUK MENCEGAH PERLADANGAN

1. POLA-POLA RESETTLEMENT
Sudah jelas sebab-sebab yang mendorong diadakannya usaha resettlement
adalah pemborosan penggunaan tanah oleh perladangan berpindah-pindah dan karena
itu pola resettlemen yang dicari adalah yang dapat memberi jawaban sampai berapa
jauh pola tersebut dapat menahan atau meniadakan sama sekali perladangan
berpindah-pindah itu.
Berikut ini disajikan satu pemikiran yang pernah diadakan untuk mengatur
peladangan berpindah-pindah di Lampung yang disebut Ladang blok dan beberapa
pola resettlement yang bertujuan meningkatkan hidup rakyat tani. Dari pola-pola
resettlement yang disajikan dibawah ini diharapkan dapat diambil beberapa garis
pokok pemikiran resettlement yang sekiranya sesuai dengan keadaan di Kalimantan
Timur.
a. Ladang blok
Sesuatu pola untuk menghilangkan akibat buruk dari perladangan berpindah-
pindah pernah diajukan orang sebelum perang dunia ke II di Sumatera, di Lampung
dengan harapan dapat membatasi dan membimbing serta mengarahkan peladang
berpindah agar tidak meninggalkan padang alang-alang, dengan jalan mengatur

134
peladangan yang dimaksud di dalam satu blok, terbagi ke dalam sejumlah bagian
sesuai dengan jumlah tahun di dalam rotasi yang ditetapkan, yaitu rotasi yang dapat
menjamin pembelukaran yang cukup pada bekas-bekas ladang yang ditinggalkan.
Diluar blok ini orang dilarang berladang.
Pemikiran tersebut telah pernah diterima oleh pemerintahan yang
bersangkutan, tetapi belum pernah terwujud dilapangan. Kesukaran-kesukaran di
dalam pelaksanaannya dapat disebutkan sebagai berikut:
a) Pembuatan blok pekerjaan
b) Penjagaan pelaksanaan pembersihan (dengan api) lapangan yang akan diladang
dan pentaatan rotasi yang ditetapkan.
Lapangan yang tersedia sudah banyak bertumbuhan alang-alang, bertumbuhan
belukar yang terpencar-pencar. Kalau dimulai pada tanah-tanah yang disebut pertama
tentu banyak orang yang tidak suka, bila dibuat pada tempat-tempat yang ditumbuhi
belukar tidak teratur tempatnya dan berjauhan serta tidak cukup untuk satu blok yang
bulat/penuh.
Penjagaan pembersihan lapangan yang biasanya dilakukan pertolongan
menggunakan api praktis tidak dapat dilakukan. Api penolong membersihkan bakal
ladang tetap menjalar ketempat-tempat di luarnya, mematikan belukar-belukar yang
sudah hidup atau yang masih akan hidup.

2. POLA TRANSMIGRASI

Pola yang dipakai di dalam melaksanakan transmigrasi, khususnya yang


menyangkut penempatannya di daerah baru dapat diajukan sebagai sesuatu pola yang
dapat dipelajari untuk keperluan resettlement. Transmigrasi yang boleh dikatakan
berhasil adalah transmigrasi di Lampung Selatan, di daerah Metro dan sekitarnya, dan
di daerah pasang surut yang dipersiapkan oleh pemerintah secara menyeluruh, mulai
dari penelitian tanah dan sumber airnya, pembangunan saluran induk irigasi, jalan-
jalan dan sebagainya. Transmigrasi di lain tempat ada yang berhasil, ada pula yang
tidak.

135
Sukses dan kegagalan transmigrasi kiranya dapat disimpulkan secara singkat sebagai
berikut :
a. Transmigrasi sukses bila disediakan prasarana yang berwujud fasilitas irigasi,
jalan-jalan dan tersediannya tanah untuk dibuat sawah.
b. Transmigrasi gagal bila syarat-syarat tersebut diatas tidak ada.
Pola produksi petani-petani Indonesia adalah untuk memenuhi keperluan hidup
sehari-hari, subsistance farming, dan bahan makanan pokok di Indonesia adalah beras.
Karena itu petani baru merasa tentram kalau dapat menjamin tersedianya bahan pokok
itu. Dan karena tanah yang dapat menjamin penghasilan beras secara terus menerus
ditempat yang tidak perlu berpindah-pindah adalah sawah, maka adanya tanaman
persawahan merupakan persyaratan yang pertama-tama untuk berhasilnya sesuatu
transmigrasi dan adanya pengairan merupakan penunjang yang diperlukan.
Kelebihan hasil dari pertanian harus dapat dijual ke lain daerah, agar para
petani dengan uang yang diperoleh dari penjualan iu dapat dipakai untuk membeli
barang-barang keperluan hidup yang tidak dapat dihasilkan sendiri. Untuk ini
diperlukan jalan-jalan. Daerah transmigrasi yang memiliki daerah persawahan, tetapi
tanpa jalan, akan menemui kesukaran untuk mendapatkan barang-barang keperluan
hidup yang perlu didatangkan dari lain daerah. Kelebihan hasil akan tertumpuk tidak
terpakai. Daerah transmigrasi yang menyediakan jalan tetapi tidak ada tanah ditempat
itu yang dapat dibuat sawah, akan lekas ditinggalkan orang, penduduknya akan
mencari pekerjaan dilain bidang kalau ada.

3. SETTLEMENT SCHEME DI MALAYSIA

Di Malaysia di kenal settlement scheme, yaitu sesuatu rancangan penempatan


penduduk, mungkin juga ada faedahnya dipelajari untuk keperluan tulisan ini.
Settlement scheme di Malaysia bertujuan untuk menaikkan taraf hidup rakyat (tani),
jadi mirip dengan salah satu tujuan Transmigrasi di Indonesia. Perbedaan diantara
tindakan dua pemerintah itu terletak di dalam pola pelaksanaannya. Tranmigrasi
Indonesia di dalam pelaksanaannya tidak merubah pola berproduksi untuk
menghasilkan keperluan sehari-hari dari petani-petani yang ditransmigrasikan. Di

136
dalam pelaksanaannya boleh dikatakan seperti memindahkan penduduk dan pola
berproduksinya kelain tempat. Ada juga yang dikenal dengan pola bedol desa, yaitu
memindahkan seluruh desa, berarti memindahkan serta organisasi sosial dan pola
berproduksinya (tetapi sayang infrastrukturnya tidak dapat ikut dipindahkan).
Di dalam settlement scheme Malaysia diciptakan cara kerja yang baru sama
sekali daripada yang telah ada di kampung. Subsistem farming diubah ke dalam
commercial farming, terorganisir didalam bentuk usaha bersama, untuk permulaanya
sama sekali dipimpin oleh satu Federal Land Development Authority (F.L.D.A),
sesuatu lembaga yang berwenang guna kemajuan tanah-tanah yang dibentuk oleh
pemerintah.
Di dalam settlement scheme Malaysia nampak adanya usaha untuk merombak
pola kehidupan petani dengan jalan memadukan kemampuan tanah yang ada, kapasitas
organisasi dari sebagian warga negaranya, rakyat tani, penduduk terdidik yang (akan)
menganggur, karena terbatasnya tanah dan lapangan kerja yang ada dan minat rakyat
banyak untuk maju.
Tanah yang belum diduduki, yang belum berpenduduk, adalah tanah-tanah
yang kering yang masih tertutup oleh hutan lebat seperti tanah-tanah di Kalimantan
Timur, kesuburannya kiranya juga tidak jauh beda. Kemampuan di dalam usaha dan
berdagang dari sebagian warga negara Malaysia memang ada, sehingga penyelesaian
hasil settlement scheme yang dibuat di dalam perdagangannya tidak aka banyak
menemui kesulitan. Kebanyakan petani di Malaysia tidak berbeda dari petani
Indonesia di dalam pola berproduksi dan di dalam kemampuannya. Pola
berproduksinya juga untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan
kemampuannya juga dibatasi oleh kemampuan kerja tenaga keluarga dengan alat-alat
sederhana seperti cangkul, luku dan kerbau. Kelebihan tenaga diantara petani sudah
terasa, khususnya diantara anak-anaknya yang sudah disekolahkan, kelebihan tenaga
ini perlu dicarikan penyalurannya. Pola settlement scheme tersebut diatas di dalam
pelaksanaannya masih dicarikan bentuknya. Di Malaysia Barat dicoba tiga cara, yaitu
dengan tenaga keluarga tani yang didatangkan, dengan tenaga pemuda yang belum

137
berkeluarga dan ketiga sama sekali dilakukan dengan tenaga buruh yang dibayar
seperti buruh biasa.
Pelaksana yang terdiri dari keluarga-keluarga yang dilengkapi dengan macam-
macam fasilitas secara cuma-cuma sampai umur tanaman (kelapa sawit) setahun dan
bimbingan oleh alat-alat pelaksana pemerintah yang terdiri dari pemuda yang belum
berkeluarga mungkin lebih murah. Pola pelaksanaan yang ketiga bentuknya hampir
seperti kontrak kerja yang dilakukan oleh pengontrak asing kepada pemerintah sukar
untuk dihubungkan dengan arti dari settlement scheme.
Malaysia Timur, negara bagian yang sedikit penduduknya dan mempunyai
cukup biaya (dari hasil hutan seperti Kalimantan Timur) membuat settlement scheme
yang lebih berhasil, terutama di daerah Tawao, khususnya yang memakai keluarga-
keluarga yang pernah kerja diperkebunan-perkebunan. Settlement scheme di Malaysia
dibuat tidak langsung ditujukan untuk menghilangkan peladangan berpindah-pindah.
Di Malaysia Barat peladangan berpindah-pindah memang bukan merupakan hal yang
serius untuk dihadapi, orang-orang peladangan berpindah-pindah di Malaysia Timur
tidak secara khusus diselesaikan melalui settlement scheme yang dibuat.

4. POLA RESETTLEMENT YANG DICARI ( KALIMANTAN TIMUR )

Setelah membaca latar belakang peladangan berpindah-pindah dan pola-pola


resettlement di atas, tersedialah bahan-bahan untuk dipilih bagi Kalimantan Timur.
Pemilihannya harus jatuh pada :
1. Pola desa dengan sawah sebagai sumber ekonomi yang utama.
2. Pola perkebunan dengan persawahan sebagai penjamin bahan makanan.
3. Pola perkebunan dan peternakan dengan suplay bahan makanan dari luar daerah.
Ketiga pola diatas dapat dilaksanakan untuk daerah setempat, tetapi untuk
keseluruhannyaa dan mengingat latar belakang peladangan berpindah yang telah
dijelaskan sebelumnya, prioritas dan pentahapan perlu diadakan. Kalimantan Timur
masih mempunyai cukup cadangan tanah-tanah yang dapat dirombak menjadi daerah
pertanian persawahan menetap. Daerah-daerah yang ditumbuhi nipah di muara-muara
sungai yang sudah cukup tinggi tanahnya dapat dirombak menjadi daerah persawahan

138
menetap. Dengan perencanaan dan penyediaan prasarana drainase dan jalan-jalan yang
diperlukan, daerah luas agar menjadi penampung orang-orang yang sekarang
melakukan peladangan berpindah, pekerjaan yang harus dilarang pada waktunya nanti.
Daerah-daerah pertumbuhan nipah di Samarinda-Handil II agaknya sesuai untuk
daerah persawahan yang dimaksud. Tanahnya cukup tinggi dan tidak jauh dari pusat
pemukiman penduduk.
Hampir setiap sungai mempunyai daerah muara yang ditumbuhi nipah atau
hutan rendah yang cukup tinggi tanahnya seperti daerah Samarinda Handil II itu. Bagi
setiap daerah semacam itu dapat dibuat rencana sejenis bagi penampungan darah hulu
masing-masing. Secara keseluruhan daerah berbukit rendah di Kalimantan Timur tidak
memiliki daerah yang cukup luas untuk dijadikan persawahan menetap. Daerah-daerah
rendah diantara bukit- bukit yang ada tidak cukup luas untuk memberi hidup sesuatu
kampung dari persawahan. Daerah bekas peladangan berpindah sambil menunggu
pembuatan jalan-jalan, dengan menggunakan jalan-jalan pengusahaan hutan yang
telah dibuat diatasnya sebagai poros, peladangan berpindah dipimpin untuk beralih
dari usaha tanaman bahan makanan menjadi usaha perkebunan. Cara peralihannya
dapat dipimpin sebagai berikut:
Dimulai dari kanan kiri jalan yang telah ada, orang boleh membuat ladang
seperti yang biasa mereka lakukan. Pada tahun pertama atau kedua dari peladangan
yang dilakukan, pohon-pohonan/tanaman keras perkebunan ditanam, seperti yang
telah dilakukan oleh peladangan-peladangan yang akan ditinggalkannya. Ladang yang
akan dibuat berikutnya dibuat dibelakang ladang pertama dan pohon-pohon
perkebunan juga ditanam diatasnya dengan cara yang sama seperti yang telah
dilakukan pada ladang pertama. Waktu menunggu tanaman pada bidang ladang kedua
dipakai untuk memelihara tanaman keras pada bidang ladang pertama, pembersihan
dan penanaman tanaman penutup hijau dan sebagainya. Demikian seterusnya sampai
tahun ke 6 atau ke 7, tergantung umur tanaman keras yang ditanam pada bidang yang
pertama untuk berbuah. Setelah itu berangsur-angsur akan diperoleh hasil perkebunan
yang telah dibuat sambil lalu, pada tahun ke-11 atau ke-12 akan memiliki kebun
tanaman keras seluas 5 Ha yang sudah menghasilkan.

139
Ladang-ladang yang dibuat secara terpimpin seperti disebutkan diatas akan
merupakan jalur kebun seluas 6 atau 7kali luas ladang yang biasa disebut, kira-kira
seluas 5 sampai 6 Ha, yang dapat disebut satu kesatuan kebun keluarga, karena telah
dibuat oleh tenaga satu keluarga petani. Tiap kesatuan kebun keluarga dilengkapi
dengan jalan utama dan lorong pencegah menjalarnya api di sisi-sisi yang lain. Petani
peladang berpindah-pindah sampai sekarang ini setiap tahun harus puas dengan hasil
yang diperoleh dari kerjanya pada tahun yang bersangkutan. Tidak ada sesuatu yang
dapat tersimpan. Dengan jalan merombak peladangan secara terpimpin tersebut diatas,
seakan-akan petani diberi kesempatan menyimpan sebagian dari tenaganya kedalam
bentuk menanam tanaman keras diatas ladang yang biasa mereka buat, sesuatu jumlah
pekerjaan yang tidak terlalu banyak setiap tahunnya dapat berubah menjadi kebun
tanaman keras yang akan dapat berubah menjadi sumber kehidupan yang lebih baik.
Ancar-ancar luas kebun tanaman keras 5 Ha, untuk tiap keluarganya itu
didasarkan pada pengalaman kemampuan keluarga tani di sabah yang diberi batasan
4 Ha pemeliharaan kebun kelapa sawit terdiri dari pembersihan tanah sekitar pohon,
pembersihan pelepah daun, membantu mempersiapkan penyerbukan bunga,
pemeliharaan saluran-saluran drainase lapangan, pemungutan buah.
Jenis tanaman keras yang baik dianjurkan didalam pembimbingan peralihan
peladangan berpindah keperkebunan di Kalimantan Timur bukan kelapa sawit yang
memerlukan pekerja-pekerja terlatih, melainkan jenis-jenis yang sudah dikenal oleh
masyarakat setempat, yang tidak sukar pemeliharaannya, yang sudah terang
pasarannya. Kelapa dan kopi seperti di Handil II itu dapat dianjurkan sebagai jenis-
jenis tanaman keras yang sudah dikenal orang tentang cara penanamannya, mudah
pemeliharaannya dan sudah terang pula pasarannya.
Tanaman-tanaman baru untuk daerah seperti cengkeh, mete, atau pisang secara
besar-besaran dapat dianjurkan untuk dipersiapkan. Jenis-jenis tanaman ini
mempunyai hari depan yang baik, tetapi rakyat setempat belum mempunyai
pengalaman, sungguhpun dibeberapa tempat di Kalimantan Timur sudah menunjukkan
adanya harapan-harapan yang cukup.

140
B. PENANGGULANGAN PENGGEMBALAAN
TERNAK DI HUTAN

Pemberantasan penggembalaan di hutan ditekankan pada pencegahannya


dengan memberikan jalan keluar. Pada dasarnya pemberantasan penggembalaan ternak
di hutan dibagi menjadi:
- Mencegah sama sekali masuknya ternak ke dalam hutan
- Pengaturan penggembalaan di hutan
Dua usaha tersebut tentu saja harus disertai undang-undang dan peraturan-
peraturan dengan sangsinya yang cukup berat.
1. Mencegah sama sekali masuknya ternak ke dalam hutan. Larangan masuknya
ternak ke suatu hutan tidak selalu berlaku untuk setiap waktu. Ada larangan
masuknya ternak ke dalam hutan hanya sewaktu tanaman masih muda, apabila
tajuk pohon sudah tak dapat dicapai ternak maka penggembalaan ke dalam
hutan diperbolehkan lagi. Larangan masuknya ternak ke suatu hutan setiap
waktu biasanya berlaku untuk hutan lindung, terutama hutan yang berfungsi
sebagai perlindungan tata air dan erosi. Hutan dengan tujuan untuk
menghasilkan kayu pertukangan yang memerlukan kualitas kayu yang baik juga
perlu dijauhkan dari penggembalaan. Kesadaran harus selalu diusahakan untuk
ditanam pada pemilik ternak mengenali akibat kerugian yang dapat diderita baik
pada fihak kehutanan maupun pada masyarakat umum, terutama akan bahaya
rusaknya tata air dan timbulnya erosi tanah.
2. Pengaturan Penggembalaan di hutan. Khusus untuk daerah yang masyarakatnya
tidak mempunyai tempat penggembalaan maka dapat diharuskan untuk
memelihara ternaknya di dalam kandang, kemudian disediakan tempat-tempat
untuk mengambil rumput. Masyarakat pemilik ternak yang tak suka
memelihara dengan sistem kandang dapatlah disediakan hutan-hutan tertentu
yang boleh dipakai untuk penggembalaan. Hutan yang ditunjuk untuk
penggembalaan haruslah mempunyai tanah yang datar, sedang jenis pohon yang
ditanam produksinya tidak memerlukan kualitas kayu yang baik, misalnya hutan
yang ditanami akasia untuk keperluan kayu bakar. Untuk mencegah

141
overgrazing maka jumlah dan jenis ternak yang digembala harus diatur. Musim
penggembalan pun kalau perlu harus diatur. Musim penggembalaan pun kalau
perlu harus diatur. Misalnya dari seluruh hutan yang boleh dipakai untuk
penggembalaan dibagi empat petak, tiap petak hanya boleh digunakan untuk
penggembalaan selama 3 bulan, sehingga rumput di dalam hutan
penggembalaan sempat untuk tumbuh dengan baik lagi. Penyebaran dari ternak
sering kurang diperhatikan akibatnya ternak-ternak menggerombol disuatu
tempat sehingga tempat tersebut menderita overgrazing. Penggunaan pagar
dapat pula membantu pengaturan penggembalaan di hutan tetapi biaya
pembuatan pagar sangatlah mahal. Petugas kehutanan yang mengadakan
pengawasan mengenai penggembalaan sangatlah baik apabila dapat bekerja
sama dan mempunyai hubungan baik dengan para Pamong Desa, Kepolisian,
jawatan Pertanian dan Jawatan Peternakan.

Beberapa Pertimbangan Mengenai Hutan Penggembalaan

Sudah dibicarakan sebelumnya bahwa masyarakat Indonesia di dalam


memelihara ternaknya memerlukan tempat penggembalaan dan banyak yang
menggunakan hutan sebagai tempat penggembalaan. Musim penggembalaan
berlangsung sewaktu pengolahan tanah pertanian selesai, sehingga tenaga dari ternak
sudah tidak diperlukan lagi. Beberapa waktu setelah panen ternak-ternak biasanya
dilepaskan di sawah atau ladang, disamping itu ternak digunakan pula untuk
mengangkut hasil-hasil pertanian ke pasar, pada saat habis panenpun biasanya
penggembalaan di hutan akan berkurang.
Untuk mengetahui sejauh mana ternak masuk ke dalam hutan dan untuk
mengetahui pula jumlah ternak yang masuk ke hutan dapat dilihat dari kotorannya.
Penggembalaan di hutan terdapat akibat yang menguntungkan dari pada yang
merugikan maka timbul gagasan untuk mengetahui apakah mungkin mencampur usaha
pemeliharaan dan ternak bersama-sama dengan hasil yang lebih baik dari pada
dipisah-pisah. Pertimbangan untuk mencampur ini sulit dilakukan karena
penghitungan dari jumlah keuntungan dan kerugian ditimbulkan sangat sulit. Beberapa

142
sarjana telah mengadakan penelitian dan mengambil kesimpulan bahwa areal yang
telah ditunjuk untuk usaha dalam kehutanan akan lebih menguntungkan (nilai uang)
bila dijadikan hutan dari pada untuk peternakan, tetapi hasil penelitian ini masih relatif
tergantung keadaan dari areal hutannya.
Mengijinkan masyarakat melepaskan ternaknya di hutan, memang tindakan
yang sangat menolong masyarakat pemilik ternak pada saat itu, tetapi dalam jangka
pnjang akan dapat merugikan bahkan membahayakan masyarakat luas dan negara
karena akan dapat menimbulkan erosi tanah sehingga tanah akan menjadi kurus dan
hutan-hutan menjadi rawan.

C. PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN PENCURIAN


HASIL HUTAN

Pencegahan dan pemberantasan haruskah disesuaikan dengan latar belakang


pencurian dengan keadaan setempat. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan
di atas terdapat masalah yang sulit diatasi secara sendiri-sendiri dan secara tepat.
Misalnya dalam hal menaikkan taraf hidup masyarakat, haruslah diatasi secara
nasional. Begitu pula hal-hal lainnya terdapat hubungan yang erat dengan keadaan
nasional. Walaupun masih banyak usaha-usaha yang dapat dikerjakan di dalam
mengurangi jumlah pencurian, misalnya dengan:
1) memberikan lapangan pekerjaan masyarakat di sekitar hutan, misalnya dengan
mengikutsertakan dalam aktivitas kehutanan.
2) menyediakan hasil hutan yang diperlukan untuk kehidupan masyarakat.
3) pos-pos penjagaan, keadaan ekonomi yang baik, alat-alat dan tenaga yang
cukup untuk penjaga keamanan hutan.
4) proses peradilan yang cepat dengan sanksi hukuman yang sepadan (membuat
pencuri jera).
5) menindak para pengusaha H.P.H. atau panglong yang mengadakan pencurian
hasil hutan dengan sanksi berat.
6) Usaha-usaha lainnya yang disesuaikan dengan latar belakang dan keadaan
setempat.

143
Tugas:
Setiap mahasiswa membuat ringkasan dari bab ini.

144
DAFTAR PUSTAKA

Alam Suz, 1996. Hukum Lingkungan Konservasi hutan. Rineka Cipta. Jakarta.

Anderson, R.F., 1960. Forest and Shade Tree Entomology. John Wiley & Sons, Inc.,
New York. London. Sydney.

Anonimous, 1974. Plant Pathologists (Pocket Book). Commonwealth Mycological


Institute Key Surrey England.

Anonim, 1991. Biodiversity Action Plan for Indonesia.

Anonim, 1991. Pemasyarakatan Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam dan


Ekosistemnya. Departemen Kehutanan RI.

Anonim, 1993. Perencanaan Kehutanan dalam Pelita Vi. Departemen Kehutanan RI.
Jakarta.

APHI, 1996. Kriteria dan Indikator Penilaian Pengelolaan Hutan Alam Produksi
secara Lestari pada Tingkat Unit Manajemen Komisi Pembinaan HPH-APHI.
Jakarta.

Boer, C. 1995. Perlindungan Terhadap Kebakaran Hutan. Fakultas Kehutanan


Universitas Mulawarman, Samarinda.

Borror, D.J., C.A Tripelhorn and N.E. Jhonson, 1992. An Introduction To The Study
Of Insects. Sixth Edition. The Ohio State University. 1083 Hal.

Davis, K.P. et.al., 1959. Forest . Fire Control and Use. McGraw. Hill Book Company
Inc. New York. Toronto. London

Departemen Kehutanan. 1985. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 28


Tahun 985. Proyek Pengamanan Hutan (APBD). Dinas Kehutanan
DATI I Sulawesi Selatan 1984-1985.

Evans, H.E. 1984. Insect Biology A Text Book of Entomology. Addison Wesley
Publishing Inc. 338 Hal.

Lawrence, J.F. and E.B. Britton. 1994. The Australian Beetles. Melbourne University
Press. 192 Hal.

ort Course in Plant Protection. The Causal Agents ) Australian asian Universities Co-
Operation Scheme University of Hasanuddin.

145
Graham, S.H., 1952. Forest entomology. McGraw. Hill Book Company, Inc. New
York . Toronto .London.

Groombrige, Brian. 1992. Global Biodiversity. Status of the Earths Living


Resources Chapman & Hall New York, London, Tokyo. 585p.

Hawley, Ralph, C. & Paul W. Stickel. 1948. Forest Protection. John Wiley & Sons,
Inc. New York.

Jeffrey A. ME. Noely, 1992. Ekonomi dan Keanekaragaman Hayati Yayasan Obor
Indonesia. Jakarta. 263p.

Jhon, Kathy. MK, Grahamc and Jim T. Pengelolaan Kawasan Konservasi di Daerah
Tropika. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. 328 hal.

Suratmo, F. Gunarwan. 1976. Ilmu Perlindungan Hutan. Lembaga Kerja Sama


Fakultas Kehutanan IPB.

Salim Emil, 1989. Sumber Daya Manusia dalam Perspektif. Analisis CSIS.T.XVIII
No. 3. Jakarta : pp:191-205.

Tarumingken, Rudi C. 1973. Perlindungan Hutan. Bagian Pendidikan sekretariat


Jenderal Kehutanan.

Walhi, 1995. Strategi Keanekaragaman Hayati Global. Gramedia Pustaka Utama.


Jakarta.

Lawrence, J.F. and E.B. Britton. 1994. The Australian Beetles. Melbourne University
Press. 192 Hal.

Mardji, Dj. 1995. Perlindungan Hutan di Daerah Tropis. Fakultas Kehutanan


Universitas Mulawarman, Samarinda.

Pasaribu, L dan R. Kurniawan. Nd. Penegakan hukum terhadap Pelaku Ilegal


Logging. Tropika Indonesia. Hal 35-37.

Pers Dephut. 2006. Penertiban Kaban untuk Selamatkan Hutan. Surili


Vol.41/No.4/Desember 2006. Hal 29-40.

Purbawaseso,B. 2002. Pengendalian Kebakaran hutan. Suatu pengantar. PT Rineka


Cipta, Jakarta.

Rustam, D. 2003. Suatu Kajian tentang Strategi Penanggulangan Kerusakan Hutan.


MKI Edisi II. Hal 6-9.

146
Siaran Pers KKI-Warsi. 2004. Illegal Logging Kejahatan Terhadap Kekayaan Negara.
Copyright1999-2004, Jambi

Sila, M., 1993. Panduan Konservasi dan Pengembangan Kupu-kupu. Pelatihan


Konservasi dan Pengembangan Keanekaragaman Kupu-kupu dan Konsep
Pelestariannya di Taman Wisata Gua Pattunuang Asue, Ujung Pandang.

Sitorus, T. 2006. Pola Perlindungan Hutan pada Tingkat Hulu. Surili Vol.
41/No.4/Desember 2006. Hal 14-17.

Syam, A. 2006. Kuliah Umum : Kebijakan Pengembangan Kehutanan di Sul-Sel.


Rangkaian Peringatan Hari Bumi dan Peresmian Komunitas
Hijau di Hutan Pendidikan Unhas, Maros.

Teguh. 2000. Laporan Utama. Masyarakat kita kurang peduli bahaya kebakaran. MKI
Edisi 3/XIII/1999-2000. Hal 4-7.

Widyastuti,SM., Sumardi, Harjono. 2005. Patologi Hutan. Gadjah Mada University


Perss, Yogyakarta.

147

Anda mungkin juga menyukai