oleh :
Abstrak
Dalam perkembangan globalisasi telah terjadi dinamika lokalitas paham Arsitektur.
Arsitektur global dalam perkembangannya selalu disertai dengan adanya dinamika konteks
lokal dalam proses perwujudan arsitekturnya. Perkembangan arsitektur global merupakan
wujud dari sebuah proses perjalanan sejarah yang diekspresikan melalui berbagai macam
paham, seperti : pra-modern, modern, post-modern dan vernakular. Arsitektur sebagai buah
karya manusia selalu dihadapkan dengan permasalahan konkrit, baik menyangkut unsur fisik
(obyek material) maupun sosial budaya kemasyarakatan (obyek formal). Dalam skala ruang
dan waktu, proses perwujudan bentukan arsitektur melalui obyek formal dan material dapat
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dan saling menunjang.
Perhatian dan pemikiran secara mendalam dari seluruh potensi lokal yang ada dapat
ditumbuh-kembangkan menjadi orientasi dalam membuat arsitektur sebagai buah karya
lingkungan binaan. Berbagai macam ragam potensi yang ada dapat menjadi media dalam
mewujudkan karya arsitektur yang memiliki karakteristik tersendiri yang berbasiskan unsur
lokal yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan komunitasnya.
Perbedaan mendasar filosofi arsitektur barat dan timur berdasarkan pengalaman dan
perkembangan filsafat ilmu, filsafat agama dan filsafat alam masing-masing wilayah.
Dalam kasus era modern dan post-modern meski ditemukan berbagai macam gaya arsitektur
yang muncul, namun memiliki landasan ideologis yang sama. Sehingga kemunculan berbagai
gaya ini merupakan wujud dari persinggungan dengan telaah antropologi budaya, hal ini
merupakan perubahan pada wujud kerangka kebudayaan Koentjaraningrat.
Arsitektur
Filosofi Budaya GlobalPaham Filosofi Budaya
Barat Ars. Post- Timur
Modern
Paham Paham Paham
Ars. Pra- Ars. Ars.
Modern Modern Vernakular
Pada abad pencerahan bentuk arsitektur merupakan bentuk dari modernitas yang secara
rasional dan universal merupakan emansipasi dari sejarah. Gottfried Semper menyatakan
bahwa keindahan arsitektur merupakan wujud dari bentuk kontemporer.
Prinsip dasar arsitektur China merupakan wujud dari unsur detail yang terekspresi
melalui bentuk dekoratif. Nilai-nilai lokal terekspresi melalui unsur dekoratif, disamping
pada gubahan wujud atapnya.
Gambar 7., Istana Himeji Gambar 8., Shoso-in, Rumah tradisional Jepang
Gambar 13., Kharagan, Gambar 14., Masjid Khosaran Gambar 15., Khucheh memberikan
perlindungan dari debu
Gagasan modernisme dalam arsitektur dan tumbuh sejak akhir abad ke-19 di Eropa
barat yang diakibatkan oleh berbagai kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pada masa ini revolusi industri berkembang pesat. Arsitektur klasik yang kaya ornamen
simbolis, menggunakan material lokal, serta memiliki konfigurasi bentuk dan ruang yang
disesuaikan dengan budaya setempat dianggap tidak efisien dalam rangka penyesuaian
dengan perkembangan jaman. Paham rasionalisme di era modern menuntut konfigurasi
bangunan yang sesuai dengan fungsinya.
Dari kegiatan ini terjadi ledakan tuntutan tipologi bangunan yang sebelumnya tidak
pernah ada, menciptakan ‘International Style’. Paham arsitektur modern bertentangan dengan
paham-paham arsitektur klasik, antara lain adalah :
- Lebih mementingkan bentuk-bentuk yang fungsional dan rasional,
- Ornamen-ormanen sudah tidak ada sama sekali, unsur-unsur estetika/ornamen yang
ada hanya berupa garis-garis atau bentuk-bentuk geometris saja,
- Arsitektur hanya berbicara tentang suatu produk yang akan digunakan oleh manusia
bukan lagi suatu seni.
Satu gaya Internasional atau tanpa gaya (seragam), merupakan suatu arsitektur yang dapat menembus
budaya dan geografis. Semakin sederhana merupakan suatu nilai tambah terhadap arsitektur
tersebut. Arsitektur modern tidak memiliki suatu ciri individu dari arsitek, sehingga tidak
dapat dibedakan antara arsitek yang satu dengan lainnya (seragam). Penekanan perancangan
hanya ditekankan pada space, maka desain menjadi polos, simple, bidang-bidang kaca lebar.
Di sini identitas lokal diminimalisir dan bahkan sama sekali dihilangkan. Ekspresi bangunan
di satu belahan dunia dengan yang lainnya, sehingga ada kesulitan dalam upaya identifikasi
’origin’ sebuah bangunan.
Mencermati perkembangan arsitektur dari waktu ke waktu selalu mengalami
perubahan yang sangat cepat. Baik dalam ungkapan maupun pada rumusan-rumusan yang
dicetuskan dalam konsep-konsep tersebut selalu memberikan teori-teori serta style-style
barunya, yang tentu saja menjadi landasan bagi arsitektur modern, meskipun masih ada
pengaruh dari arsitektur masa lampau. Setiap arsitektur yang menonjol waktu itu biasanya
selalu mengembangkan aliran baru dan memberi batasan teori atau rumusannya yang bertahan
sesuai dengan kemantapannya.
Perkembangan arsitektur yang terjadi pada awal abad ke 20 mengakibatkan munculnya
sebuah aliran-aliran baru dalam ber-arsitektur, antara lain : ‘De Stijl’ di Belanda, ‘Purism’ di
Perancis, ‘Constructivism’ di Rusia dan Hungaria, ‘Expressionism dan Utopianism’ di Jerman
dan sebagainya. Aliran-aliran tersebut telah memunculkan gaya-gaya arsitektur yang mencoba
mengembangkan suatu pola fungsionalisme arsitektur sesuai dengan perkembangan ilmu, dan
secara tidak langsung menyinggung arsitektur.
Mies van der Rohe dengan semboyan ‘Less is More’ telah mengungkapkan sebuah
konsep tentang ruang yang kontinyu, yang dibatasi oleh dinding-dinding kaca (Barcelona
Pavilion) dengan ciri utama selalu menggunakan bahan baja dan kaca dalam penyelesaian
bangunannya. Walter Gropius yang datang dari Bauhaus juga memberikan warna dalam
pergerakan arsitektur, bahkan dalam pendidikan arsitektur, yakni : The New Architecture and
the Bauhaus. Penyelesaian arsitektur sangat bermacam-macam dalam mendapatkan hasil
akhirnya, meskipun semua kan selalu berpangkal pada ruang dan massa.
Pada kenyataannya ada unsur kedalaman yang merupakan faktor penting sebagai
dimensi ke tiga. Konsep tersebut diturunkan Frank Lloyd Wright pada ‘organic architecture’
yang plastis. Le Corbusier mengatakan bahwa rencana denah adalah merupakan titik tolak
dari arsitektur bersama-sama dengan massa.
Selain tuntutan dunia industri terhadap masalah-masalah desain yang lebih fleksibel
dan bisa diproduksi secara massal, juga didorong revolusi desain dari kemunculan tren Gaya
Art-Deco di Paris, Prancis, dan kelompok De-Stijl di Rotterdam, Belanda, pada periode yang
sama. Bauhaus lebih mengutamakan kepada penciptaan prinsip-prinsip dasar desain modern
sedangkan Art-Deco lebih kepada hasil penerapannya. Sehingga dalam perkembangannya
sulit dipisahkan pengaruh Bauhaus terhadap desain bergaya Art-Deco, terutama dibidang seni
lukis, desain furnitur, desain tekstil dan fashion.
Revolusi desain oleh Bauhaus berintikan penolakan secara formal terhadap sejarah seni
yang disebut anti-historism pada masyarakat yang sangat konservatif. Ecole des Beaux Arts
mengutamakan pendidikan sejarah seni, hal inilah yang memberi pengaruh sangat besar
terhadap perkembangan desain dan industri di dunia sampai saat ini.
Falling Water karya Frank Lloyd Wright adalah usaha aplikasi paham modern ke
konteks bangunan, menciptakan aliran ’Organic Architecture’. Karya ini selesai dibangun
tahun 1937.
Gambar 18., The Falling Water, Gambar 19., Cappel du Ronchamp Gambar 20., Villa Savoye,
Frank Lloyd Wright Le Corbusier Le Corbusier
Pelopor dalam paham arsitektur modern adalah : Adolf Loos, Alvar Aalto, Frank Lloyd
Wright, I. M. Pei, Le Corbusier, Louis Kahn, Louis Sullivan, Ludwig Mies van der Rohe,
Oscar Niemeyer, Otto Wagner, Peter and Alison Smithson, Philip Johnson, Ralph
Tubbs,Walter Gropius.
Dalam mengembangkan peran local, maka arsitektur post-modern ini berupaya untuk
‘mengkawinkan’ dua code/langgam/style. Misalnya, antara yang klasik dan modern, antara
maskulin (bangunan dengan struktur lebih dominan) dan feminin (kecantikan eksterior
dominan ), antara western dengan timur, yang kuno dengan yang baru dan lain sebagainya.
Teknologi yang ada di dalam arsitektur post-modern merupakan hasil pengembangan
dari teknologi arsitektur modern. Terutama pada teknologi bahan bangunan dimana bahan–
bahan yang muncul atau ditemukan pada masa arsitektur modern digunakan oleh arsitektur
post modern. Tapi dengan ciri tampilan yang lain, dengan dibawa ke dalam titik ekstrim dari
karakter bahan.
Bentuk dasar pada arsitektur modern adalah bentuk–bentuk geometri (platonic solid),
bentukan ini digunakan juga pada arsitektur post-modern, hanya saja pada arsitektur post-
modern bentuk-bentuk yang ada diberi tambahan unsur estetis, sehingga akan memunculkan
karakteristik pada bentukan arsitekturnya. Misalnya pada arsitektur purna modern dengan
menambahkan langgam–langgam lama yang telah ditransformasikan dan ditempelkan ke
arsitektur modern sehingga menjadi suatu kesatuan (arsitektur yang mempunyai nilai estetik).
Lain halnya dengan arsitektur purna modern, arsitektur neo modern memberikan tambahan
berupa bentuk–bentuk yang biomorphik sehingga bentuk dasar tanpa memberikan tempelan
langgam–langgam lama, sehingga dapat menimbulkan keindahan pada arsitektur tersebut.
Oleh sebab itu citra merupakan bagian yang sangat penting dalam berarsitektur.
Citra menunjuk pada sesuatu yang transendens, yang memberi makna. Arti, makna,
kesejatian, citra mencakup estetika, kenalaran ekologis, karena mendambakan
sesuatu yang laras, suatu kosmos yang teratur dan harmonis (Y.B. Mangunwijaya,
Wastu Citra, 1988 : 326-337).
Mangunwijaya dalam bukunya ‘Wastu Citra’ (1988) berpendapat bahwa : pemikiran
menyeluruh dan kontekstual, paduan seimbang logika, intuisi dan kreativitas serta muatan
sosial budaya merupakan suatu sikap kearifan budaya lokal yang mampu menjadi solusi
desain yang ‘membumi’, ramah lingkungan dan lebih bersifat ‘abadi’.
Pemikiran Mangunwijaya tersebut terwujudkan dalam karya-karyanya, seperti : area ziarah
umat Katolik di Sendang Sono, Muntilan - Yogyakarta.
Gambar 22, Sendang Sono Gambar 23, Sendang Sono Gambar 24, Sendang Sono
Dari kajian diatas dapat disimpulkan bahwa dalam proses mewujudkan karya
arsitektur sebagai buah karya lingkungan binaan dapat digali dari seluruh potensi yang ada
melalui dinamika konteks lokal sebagai sumber inspirasinya. Pandangan inilah yang dapat
mewujudkan bentukan arsitektur berdasarkan seluruh potensi yang ada dalam komunitas
kemasyarakatan. Budaya, alam dan tempat merupakan salah satu yang dapat ditumbuh-
kembangkan sebagai unsur yang dapat memberikan kontribusi nyata dalam perwujudan
lingkungan binaan.
Sebagai seorang arsitek tentunya harus dapat mengambil hikmah dan yang lebih
penting lagi memiliki visi, misi yang diangkat dari seluruh potensi lokal yang ada, ini
merupakan bentuk kontribusi konkrit dalam memahami arsitektur melalui kajian kritis
terhadap seluruh aspek yang ada, baik arsitektur sebagai obyek formal maupun obyek
material. Konteks lokal menjadi bagian yang tidak terlepaskan dalam seluruh pemikiran
berarsitektur dalam mewujudkan hasil karya yang ‘menyatu dan membumi’.
Proses pemikiran arsitektural sangat tergantung pada konteks permasalahan yang
dihadapi. Proses ini menjadi bagian yang integral dan komprehensif dalam memunculkan ide
dasar. Perwujudan arsitektur sebagai obyek material maupun obyek formal dapat dilihat dari
wujud fisik bentukan arsitekturnya yang memiliki citra arsitektur yang spesifik.
Secara filosofis proses pemikiran arsitektural menjadi titik berangkat dalam memahami lebih
dalam tentang arsitektur sebagai hasil karya lingkungan binaan.
Pengetahuan dan pengalaman lokalitas dalam paham arsitektur akan sangat banyak
membantu dalam kegiatan ber-arsitektur, yakni : kegiatan membuat, mengalami dan
memahami (Purnama, 1998) melalui kegiatan karya rancang. Filosofi dan konsep yang
melandasi dalam proses membentuk karya arsitektur dengan tetap mempertimbangkan seluruh
potensi yang ada, baik alam maupun sosial budaya dapat digali dan diangkat dari unsur
setempat (lokal). Dalam pembahasan tentang dinamika konteks lokal dalam perkembangan
paham arsitektur ada beberapa gambaran yang dapat diimplementasikan dalam :
● Berbagai ragam bentuk arsitektural yang dapat digali dari unsur alam, baik manusia
maupun lingkungannya.
● Potensi lingkungan fisik dapat menjadi aspek dalam menggali nilai simbolik dan
makna tertentu.
● Sejarah dapat menjadi unsur dalam memberikan nilai dan makna yang terbentuk
secara alamiah.
● Nilai lokal yang diangkat dalam mewujudkan bentukan-bentukan arsitektur baru dapat
membentuk suatu lingkungan binaan yang memiliki citra dan nuansa yang beragam.
● Nilai-nilai lokal merupakan manifestasi dalam mengungkapkan gambaran konkrit
tentang bentukan arsitektur yang lebih dinamis.
● Dinamika paham arsitektur dapat mendorong kreativitas dalam mewujudkan berbagai
macam ragam arsitektur yang dapat memberikan sumbangan positif dalam bentuk
karya yang apresiatif dan komunikatif.
Daftar Pustaka
Adimihardja, Kusnaka (2008), ’Dinamika Budaya Lokal’, Indra Prahasta + LBPB.
Altman, I., M. Chemers (1980), ’Culture and Environment’, Brooks/Cole Publishing
Company, Monterey, California.
Anthony C. Antoniades (1992), ‘Poetics of Architecture’ : Theory of Design. Van Nostrand
Reinhold, New York.
Broadbent, Geoffrey (1980), ’Design in Architecture’, John Willey & Sons, Chichester.
Broadbent, Geoffrey; Bunt, Richard; Jencks, Charles [1980], ’Sign, Symbol and Architecture’,
John Willey & Sons, Chichester.
Brolin, Brent C. (1980), ”Architecture in Context : fitting new buildings with old”, Van
Nostrand Reinhold Co, New York.
Budihardjo, Eko (1997), ’Arsitektur Sebagai Warisan Budaya’, Penerbit Djambatan, Jakarta.
Ching, Francis D.K., Mark M. Jarzombek, Vikramaditya Prakash (2007), ”A Global History
of Architecture”, John Wiley & Sons, Inc., Canada.
Egenter, N. (1992), ’Architectural Anthropology, Research Series’, 1, Structura Mundi,
Lausanne, 19-87, 145-171.
E-cource.usu.ac.id/content/teknik2/sejarah/textbook.pdf.
Fazio, Michael, Marian Moffett, Lawrence Wodehouse (2008), ’A World History of
Architecture’, Laurence King Publising, London.
Hoed, Benny H. (2008), ’Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya’, Fakultas Ilmu Pengetahuan
Budaya , Universitas Indonesia, Depok.
Jencks, Charles (1996), ’The Architecture of the Jumping Universe’, Academy Group Ltd.,
London.
Jencks, Charles (1997), ‘The Language of Post Modern Architecture’, Rizzoli, New York.
Kurokawa, Kisho (1991), ’Intercultural Architecture, A Philosophy of Symbiosis’, Academy
Group Ltd. And Kisho Kurokawa, London.
Mangunwijaya, Y.B. (1988), ’Wastu Citra’, P.T. Gramedia, Jakarta.
Portoghesi, Paolo (1983), ‘Postmodern’, Rizzoli International Publications, Inc, New York
Rapoport, Amos (1969), ’House Form and Culture’, Prentice Hall International Inc., London.
Salura, Purnama (1998), ’Ber-Arsitektur’, Bandung.