Anda di halaman 1dari 15

Lokalitas Dalam Arsitektur

‘Dinamika Lokalitas Paham Arsitektur


Dalam Perkembangan Globalisasi’

oleh :

Dr. Bachtiar Fauzy, Ir., MT.

Program Studi Arsitektur


Fakultas Teknik
Universitas Katolik Parahyangan
Bandung

Bandung, 14 Februari 2018


Dinamika Lokalitas Paham Arsitektur
Dalam Perkembangan Globalisasi
Oleh :
Dr. Bachtiar Fauzy, Ir., MT.

Kata kunci : Dinamika, Lokalitas, Paham Arsitektur, Globalisasi


(Pra-Modern, Modern, Post-Modern dan Vernakular)

Abstrak
Dalam perkembangan globalisasi telah terjadi dinamika lokalitas paham Arsitektur.
Arsitektur global dalam perkembangannya selalu disertai dengan adanya dinamika konteks
lokal dalam proses perwujudan arsitekturnya. Perkembangan arsitektur global merupakan
wujud dari sebuah proses perjalanan sejarah yang diekspresikan melalui berbagai macam
paham, seperti : pra-modern, modern, post-modern dan vernakular. Arsitektur sebagai buah
karya manusia selalu dihadapkan dengan permasalahan konkrit, baik menyangkut unsur fisik
(obyek material) maupun sosial budaya kemasyarakatan (obyek formal). Dalam skala ruang
dan waktu, proses perwujudan bentukan arsitektur melalui obyek formal dan material dapat
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dan saling menunjang.
Perhatian dan pemikiran secara mendalam dari seluruh potensi lokal yang ada dapat
ditumbuh-kembangkan menjadi orientasi dalam membuat arsitektur sebagai buah karya
lingkungan binaan. Berbagai macam ragam potensi yang ada dapat menjadi media dalam
mewujudkan karya arsitektur yang memiliki karakteristik tersendiri yang berbasiskan unsur
lokal yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan komunitasnya.
Perbedaan mendasar filosofi arsitektur barat dan timur berdasarkan pengalaman dan
perkembangan filsafat ilmu, filsafat agama dan filsafat alam masing-masing wilayah.
Dalam kasus era modern dan post-modern meski ditemukan berbagai macam gaya arsitektur
yang muncul, namun memiliki landasan ideologis yang sama. Sehingga kemunculan berbagai
gaya ini merupakan wujud dari persinggungan dengan telaah antropologi budaya, hal ini
merupakan perubahan pada wujud kerangka kebudayaan Koentjaraningrat.

Lokalitas dan Globalitas Dalam Arsitektur


Arsitektur lokal yang berakar dari kebutuhan manusia dengan budaya tertentu di
kondisi iklim tertentu dituntut untuk dapat mengikuti kebutuhan manusia yang berubah-ubah
seiring dengan berkembangnya jaman. Pada pelaksanaannya, ada aspek-aspek yang
ditanggalkan atau digabungkan dengan budaya baru, membentuk suatu langgam baru yang
disesuaikan dengan keadaan fisik (iklim ) dan non-fisik (politik, sosial, budaya) wilayah
tersebut.
Arsitektur adalah sebuah hasil karya seni dan ekspresi manusia yang dapat mewadahi
seluruh kegiatan manusia. Substansi yang terkandung dalam bentukan tersebut tidak hanya
dibatasi pada lingkup fungsi saja, melainkan dapat memberikan ekspresi serta dalam
perwujudan fisiknya memiliki karaktenstik dan nilai simbolik. Pernyataan ini dapat
memberikan sumbangan pandangan bahwa tujuan arsitektur adalah merupakan karya
arsitektur yang dapat :
(1) berfungsi melakukan hal-hal yang diharapkan dengan baik,
(2) berbicara dan mengatakan pada hal-hal yang diharapkan dengan baik serta,
(3) menampilkan kehadirannya dengan baik dan menyenangkan.
Sedangkan Vitruvius secara singkat memberikan pernyataan bahwa dalam arsitektur
bangunan harus dibangun sesuai dengan tujuannya, seperti yang tertulis didalam bukunya,
yakni : ’utilitas, firmitas dan venustas’ yang secara keseluruhan merupakan rangkaian karya
seni arsitektur.
Salah satu gaya yang menyebar sangat luas dan hampir merata di seluruh dunia adalah
gaya ’international style’ yang dinyatakan dengan tampilan bangunan berujud geometris
murni, terutama kotak kaca-aluminium-dengan konstruksi baja atau beton yang dibangun
berdasarkan ukuran standar modul industri konstruksi. Gaya arsitektur ini dilandasi pada
orientasi terhadap upaya percepatan proses pembangunan yang merupakan simbol ’kemajuan’
bagi zaman tersebut.
Paham arsitektur bergaya ’internasional’ muncul sekaligus sebagai reaksi terhadap
gaya agung dan tinggi yang lekat dengan citra borjuasi. Sangat jelas penolakan terhadap citra
historis, terhadap penggunaan elemen yang membutuhkan rancangan dan keahlian tangan
khusus, untuk klien khusus yang berorientasi mahal secara ekonomis dan tidak mungkin
dijangkau masyarakat kebanyakan. Arsitektur direduksi menjadi susunan elemen hasil
industri yang standar, massal. Secara mendasar paham yang berkembang pada era modern
memunculkan beberapa diktum seperti : ‘ornament is crime’ (Adolf Loos), ‘less is more’
(Mies Van de Rohe). Wujud arsitektur tersebut merupakan simplifikasi dari ‘form follows
function’ (Louis Sullivan) ke dalam fungsionalisme yang berhasil diuwujudkan dalam
bentukan arsitektur hingga saat ini.

Kerangka Proses Pembentukan Dinamika Lokalitas

Arsitektur
Filosofi Budaya GlobalPaham Filosofi Budaya
Barat Ars. Post- Timur
Modern
Paham Paham Paham
Ars. Pra- Ars. Ars.
Modern Modern Vernakular

Konsep dan Identitas Arsitektur : Struktur,


Sistem Konsep, Sistem, Struktur Pola dan
dan Pola Makna
Dinamika Lokalitas Paham Arsitektur
Dalam Perkembangan Globalisasi

Aspek Non Fisik Aspek Fisik (Wujud, Pola


(Ekspresi Simbolik) dan Tatanan)
Makna Simbol Bentuk Ragam Tatanan
dan Hias/Or dan
Ruang nament Orientasi
asi
Religi dan Kebudayaan Dalam Paham Arsitektur (Pra-Modern)
Akar dari arsitektur barat adalah arsitektur klasik yunani, hal ini ditandai dengan
hadirnya kuil parthenon yang menjadi icon darai jamannya. Ekspresi bentuk yang ada
dipengaruhi oleh kepercayaan yang dianut oleh masyarakatnya dengan terlihat kuil-kuil yang
berbeda untuk menyem,bah dewa-dewa yang berbeda. Selain mencitrakan kesan megah,
secara visual bentuk ekspresi bangunan dengan tiang-tiang tingginya berkaitan dengan
kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Yunani yang sangat sensitif terhadap alam.
Tanda-tanda yang ada dialam merupakan perlambang kehadiran dewa-dewa. Oleh karena
itu mereka selalu berusaha dekat dengan alam, dengan kuil-kuil yang dibuat seolah terbuka
(deretan kolom memberikan kesan terbuka, tidak masif).
Arsitektur pra-Yunani kuno sangat terkait dengan kondisi bangsa Yunani yang kaya
dengan mitologi dan seni. Hal ini nampak dari fungsi dan bentuk bangunan utama sebagai
bagian dari ritual pemujaan. Ideologi kebudayaan masyarakat pra-Yunani kuno tersebut
menjadi dasar terbentuknya konsep nilai ke-estetika-an pada saat itu terfokus pada terciptanya
bangunan-bangunan megah dan besar sebagai upaya mendekatkan manusia terhadap mitos
dewa-dewi alam semesta.
Pada perkembangannya Arsitektur Yunani kuno mulai meninggalkan tahapan mitologi
dan menuju tahap filsafat ilmu. Pada masa ini ilmu ukur menjadi penting dalam menentukan
bentuk dan proporsi bangunan. Rumus matematis berperan penting dalam menentukan nilai
estetika sebuah bangunan. Keindahan pada era ini tersirat dalam penggunaan proporsi golden
section dan pemanfaatan efek distorsi mata untuk menciptakan kemegahan dan keindahan
bangunan-bangunan utamanya.
Abad pertengahan ditandai oleh menguatnya pengaruh agama dalam masyarakat.
Arsitektur gothic berkembang sebagai simbol cahaya dan pencerahan terhadap manusia.
Wahyu Tuhan melalui ajaran gereja merupakan landasan ideologis mutlak. Manusia dan
kehidupan duniawi cenderung terbelenggu sehingga semua ilmu diarahkan untuk kepentingan
pengembangan gereja. Filsafat arsitektur berkembang seputar permasalahan manusia sebagai
makhluk yang mengabdi kepada Tuhan, wujud arsitektur gotik merupakan representasi dari
sebuah keindahan permainan cahaya dalam bangunan.
Arsitektur pada era pra-modern merupakan arsitektur yang tumbuh karena pengaruh
oleh kondisi geografis suatu wilayah. Iklim suatu wilayah mempengaruhi pembentukan
norma, adat, serta budaya. Potensi bahan setempat akan memberikan kondisi pada
pengembangan arsitektur alam, arsitektur rakyat atau ’folk architecture’. Arsitektur rakyat
yang dirancang oleh dan untuk masyarakat, mengandung muatan ‘local genius’ dan nilai jati
diri yang mampu menampilkan rona asli, berbeda dan bervariasi di tiap-tiap wilayah.
Arsitektur ini sangat dekat dengan budaya lokal yang umumnya tumbuh dari masyarakat
kecil.

Gambar 1., Parthenon Gambar 2., Detail Parthenon


Gambar 3., Pantheon Gambar 4., Ornamentasi interior
pantheon di Roma

Pada abad pencerahan bentuk arsitektur merupakan bentuk dari modernitas yang secara
rasional dan universal merupakan emansipasi dari sejarah. Gottfried Semper menyatakan
bahwa keindahan arsitektur merupakan wujud dari bentuk kontemporer.

Gambar 5., Peradaban Inca, Gambar 6., Kuil Maya,


Macchu Pichu Tikal

Prinsip dasar arsitektur China merupakan wujud dari unsur detail yang terekspresi
melalui bentuk dekoratif. Nilai-nilai lokal terekspresi melalui unsur dekoratif, disamping
pada gubahan wujud atapnya.

Gambar 7., Istana Himeji Gambar 8., Shoso-in, Rumah tradisional Jepang

Gambar 9., Kuil Angkor Wat, Gambar 10., Taj Mahal

Arsitektur tradisional Iran/Persia merupakan wujud bentuk kombinasi dari intensitas


dan kesederhanaan bentuk, dengan beberapa ornamentasi yang terekspresi dalam bentukan
arsitekturnya.
Gambar 11., Persepolis Gambar 12., Ornamentasi di Persepolis

Gambar 13., Kharagan, Gambar 14., Masjid Khosaran Gambar 15., Khucheh memberikan
perlindungan dari debu

’Universal Style’ Dalam Paham Arsitektur (Modern)


Secara umum zaman modern sendiri merupakan masa di mana seluruh cabang ilmu
berkembang dengan sangat pesat. Penemuan mesin dalam era revolusi industri dan penemuan
material baru menimbulkan berbagai perubahan dalam masyarakat yang sangat cepat.
Sehingga perkembangan keilmuan arsitektur memunculkan berbagai macam gaya dan
langgam serta aliran dalam dunia arsitektur sendiri. Minimalisme, fungsionalisme,
industrialisme, konstruktifisme dan rasionalisme merupakan gambaran konkrit tentang adanya
berbagai gaya arsitektur yang muncul hingga era modern saat ini. Meski terdapat berbagai
macam gaya arsitektur, kondisi kebudayaan masyarakatnya yang terbentuk tetap dalam
koridor ideologi yang cenderung humanis, monoton dan rasionalis akibat perkembangan ilmu
tersebut.
Bangunan eksibisi Crystal Palace adalah awal masuknya modernisasi ke dunia
arsitektur Eropa. Dengan menggunakan material besi cetak dan kaca merupakan bangunan
asli di Hyde Park, London, merupakan bangunan eksibisi yang dibangun tahun 1851, sebagai
bangunan ruang pamer sebagai teknologi akhir yang dikembangkan semasa revolusi industri.
Gaya modern sebagai sesuatu yang di kendalikan oleh teknologi dan pengembangan produk
dan dengan munculnya bahan-bahan yang dipakai dalam membangun gaya arsitektur modern
seperti material besi, baja, kaca dan beton menambahkan pengetahuan bahwa gaya modern
adalah sebuah penemuan baru dalam era Revolusi Industri.

Gambar 16., Crystal Palace Gambar 17., Interior Crystal Palace

Gagasan modernisme dalam arsitektur dan tumbuh sejak akhir abad ke-19 di Eropa
barat yang diakibatkan oleh berbagai kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pada masa ini revolusi industri berkembang pesat. Arsitektur klasik yang kaya ornamen
simbolis, menggunakan material lokal, serta memiliki konfigurasi bentuk dan ruang yang
disesuaikan dengan budaya setempat dianggap tidak efisien dalam rangka penyesuaian
dengan perkembangan jaman. Paham rasionalisme di era modern menuntut konfigurasi
bangunan yang sesuai dengan fungsinya.
Dari kegiatan ini terjadi ledakan tuntutan tipologi bangunan yang sebelumnya tidak
pernah ada, menciptakan ‘International Style’. Paham arsitektur modern bertentangan dengan
paham-paham arsitektur klasik, antara lain adalah :
- Lebih mementingkan bentuk-bentuk yang fungsional dan rasional,
- Ornamen-ormanen sudah tidak ada sama sekali, unsur-unsur estetika/ornamen yang
ada hanya berupa garis-garis atau bentuk-bentuk geometris saja,
- Arsitektur hanya berbicara tentang suatu produk yang akan digunakan oleh manusia
bukan lagi suatu seni.
Satu gaya Internasional atau tanpa gaya (seragam), merupakan suatu arsitektur yang dapat menembus
budaya dan geografis. Semakin sederhana merupakan suatu nilai tambah terhadap arsitektur
tersebut. Arsitektur modern tidak memiliki suatu ciri individu dari arsitek, sehingga tidak
dapat dibedakan antara arsitek yang satu dengan lainnya (seragam). Penekanan perancangan
hanya ditekankan pada space, maka desain menjadi polos, simple, bidang-bidang kaca lebar.
Di sini identitas lokal diminimalisir dan bahkan sama sekali dihilangkan. Ekspresi bangunan
di satu belahan dunia dengan yang lainnya, sehingga ada kesulitan dalam upaya identifikasi
’origin’ sebuah bangunan.
Mencermati perkembangan arsitektur dari waktu ke waktu selalu mengalami
perubahan yang sangat cepat. Baik dalam ungkapan maupun pada rumusan-rumusan yang
dicetuskan dalam konsep-konsep tersebut selalu memberikan teori-teori serta style-style
barunya, yang tentu saja menjadi landasan bagi arsitektur modern, meskipun masih ada
pengaruh dari arsitektur masa lampau. Setiap arsitektur yang menonjol waktu itu biasanya
selalu mengembangkan aliran baru dan memberi batasan teori atau rumusannya yang bertahan
sesuai dengan kemantapannya.
Perkembangan arsitektur yang terjadi pada awal abad ke 20 mengakibatkan munculnya
sebuah aliran-aliran baru dalam ber-arsitektur, antara lain : ‘De Stijl’ di Belanda, ‘Purism’ di
Perancis, ‘Constructivism’ di Rusia dan Hungaria, ‘Expressionism dan Utopianism’ di Jerman
dan sebagainya. Aliran-aliran tersebut telah memunculkan gaya-gaya arsitektur yang mencoba
mengembangkan suatu pola fungsionalisme arsitektur sesuai dengan perkembangan ilmu, dan
secara tidak langsung menyinggung arsitektur.
Mies van der Rohe dengan semboyan ‘Less is More’ telah mengungkapkan sebuah
konsep tentang ruang yang kontinyu, yang dibatasi oleh dinding-dinding kaca (Barcelona
Pavilion) dengan ciri utama selalu menggunakan bahan baja dan kaca dalam penyelesaian
bangunannya. Walter Gropius yang datang dari Bauhaus juga memberikan warna dalam
pergerakan arsitektur, bahkan dalam pendidikan arsitektur, yakni : The New Architecture and
the Bauhaus. Penyelesaian arsitektur sangat bermacam-macam dalam mendapatkan hasil
akhirnya, meskipun semua kan selalu berpangkal pada ruang dan massa.
Pada kenyataannya ada unsur kedalaman yang merupakan faktor penting sebagai
dimensi ke tiga. Konsep tersebut diturunkan Frank Lloyd Wright pada ‘organic architecture’
yang plastis. Le Corbusier mengatakan bahwa rencana denah adalah merupakan titik tolak
dari arsitektur bersama-sama dengan massa.
Selain tuntutan dunia industri terhadap masalah-masalah desain yang lebih fleksibel
dan bisa diproduksi secara massal, juga didorong revolusi desain dari kemunculan tren Gaya
Art-Deco di Paris, Prancis, dan kelompok De-Stijl di Rotterdam, Belanda, pada periode yang
sama. Bauhaus lebih mengutamakan kepada penciptaan prinsip-prinsip dasar desain modern
sedangkan Art-Deco lebih kepada hasil penerapannya. Sehingga dalam perkembangannya
sulit dipisahkan pengaruh Bauhaus terhadap desain bergaya Art-Deco, terutama dibidang seni
lukis, desain furnitur, desain tekstil dan fashion.
Revolusi desain oleh Bauhaus berintikan penolakan secara formal terhadap sejarah seni
yang disebut anti-historism pada masyarakat yang sangat konservatif. Ecole des Beaux Arts
mengutamakan pendidikan sejarah seni, hal inilah yang memberi pengaruh sangat besar
terhadap perkembangan desain dan industri di dunia sampai saat ini.
Falling Water karya Frank Lloyd Wright adalah usaha aplikasi paham modern ke
konteks bangunan, menciptakan aliran ’Organic Architecture’. Karya ini selesai dibangun
tahun 1937.

Gambar 18., The Falling Water, Gambar 19., Cappel du Ronchamp Gambar 20., Villa Savoye,
Frank Lloyd Wright Le Corbusier Le Corbusier

Pelopor dalam paham arsitektur modern adalah : Adolf Loos, Alvar Aalto, Frank Lloyd
Wright, I. M. Pei, Le Corbusier, Louis Kahn, Louis Sullivan, Ludwig Mies van der Rohe,
Oscar Niemeyer, Otto Wagner, Peter and Alison Smithson, Philip Johnson, Ralph
Tubbs,Walter Gropius.

Peran Lokal Dalam Perkembangan Modernitas (Post-Modern)


Pada era perkembangan arsitektur post-modern secara garis besar berusaha untuk
melepas dari batasan-batasan ketat yang ada pada era modern. Dekonstruksi, simbiosisme,
eklektisisme, feminisme dan hibridisme merupakan salah satu bagian dari paham yang
berkembang dan memberi gagasan pada kebebasan dan kemajemukan. Meskipun demikian
post modernism diwarnai oleh berbagai nama gaya maupun aliran, tetapi ternyata semua tetap
merujuk pada kebebasan manusia untuk mengeksplorasi nilai nilai lokal dan memberikan
makna yang lebih majemuk. Paham post-modern ini merupakan wujud dari filsafat
strukturalisme hingga post-strukturalisme yang menjadi landasan ideologis nilai-nilai budaya
masyarakatnya.
Charles Jenks menyatakan salah satu alasan yang mendasar timbulnya post-modernisme
adalah adanya kecenderungan untuk kembali kepada nilai-nilai tradisional atau daerah yang
akan memunculkan sebuah identitas lokal. Peran nilai-nilai lokal menjadi sangat dominan,
beberapa contoh konkrit yang terekspresi dalam wujud bentukan arsitekturnya dengan usaha
mencampurkan langgam tradisional dengan non-tradisional, modern dengan non-modern,
nilai lama dengan baru. Arsitektur post-modern memiliki langgam ’hybrid’ atau sering
disebut dengan ’double coding’ seperti perpaduan antara ‘populis’ dengan ‘elitis’ dan
’romantic’ dengan ’modernist’.
Dalam perkembangan paham arsitektur post-modern terdapat beberapa aliran arsitektur
yang dibedakan berdasar konsep perancangan dan konteks lokalnya (lingkungan), antara lain :
- Historicism (pemakaian elemen-elemen klasik pada bangunan yang digabungkan dengan
pola-pola modern).
- Straight Revivalism (pembangkitan kembali langgam neo-klasik ke dalam bangunan yang
bersifat monumental dengan irama komposisi yang berulang dan simetris).
- Neo-vernacularism (menghidupkan kembali suasana atau elemen tradisional dengan
membuat bentuk dan pola-pola bangunan lokal).
- Contextualism (memperhatikan lingkungan dalam penempatan bangunan sehingga
didapatkan komposisi lingkungan yang serasi)
- Metaphor dan Metaphysical (mengekspresikan secara eksplisit dan implisit ungkapan
metafora dan metafisika/spiritual ke dalam bentuk bangunan).
- Post-Modern Space (memperhatikan pembentukan ruang dengan mengkomposisikan
komponen bangunan itu sendiri).

Gambar 21., Melbourne Station Centre,


Kolaborasi klasik dan modern

Dalam mengembangkan peran local, maka arsitektur post-modern ini berupaya untuk
‘mengkawinkan’ dua code/langgam/style. Misalnya, antara yang klasik dan modern, antara
maskulin (bangunan dengan struktur lebih dominan) dan feminin (kecantikan eksterior
dominan ), antara western dengan timur, yang kuno dengan yang baru dan lain sebagainya.
Teknologi yang ada di dalam arsitektur post-modern merupakan hasil pengembangan
dari teknologi arsitektur modern. Terutama pada teknologi bahan bangunan dimana bahan–
bahan yang muncul atau ditemukan pada masa arsitektur modern digunakan oleh arsitektur
post modern. Tapi dengan ciri tampilan yang lain, dengan dibawa ke dalam titik ekstrim dari
karakter bahan.
Bentuk dasar pada arsitektur modern adalah bentuk–bentuk geometri (platonic solid),
bentukan ini digunakan juga pada arsitektur post-modern, hanya saja pada arsitektur post-
modern bentuk-bentuk yang ada diberi tambahan unsur estetis, sehingga akan memunculkan
karakteristik pada bentukan arsitekturnya. Misalnya pada arsitektur purna modern dengan
menambahkan langgam–langgam lama yang telah ditransformasikan dan ditempelkan ke
arsitektur modern sehingga menjadi suatu kesatuan (arsitektur yang mempunyai nilai estetik).
Lain halnya dengan arsitektur purna modern, arsitektur neo modern memberikan tambahan
berupa bentuk–bentuk yang biomorphik sehingga bentuk dasar tanpa memberikan tempelan
langgam–langgam lama, sehingga dapat menimbulkan keindahan pada arsitektur tersebut.

Vernakularisme Dalam Arsitektur Tradisional dan Modern


Menurut Turan dalam buku Vernacular Architecture, arsitektur vernakular adalah
arsitektur yang tumbuh dan berkembang dari arsitektur rakyat yang lahir dari masyarakat
etnik dan berjangkar pada tradisi etnik, serta dibangun oleh tukang berdasarkan pengalaman
(trial and error), menggunakan teknik dan material lokal serta merupakan jawaban atas setting
lingkungan tempat bangunan tersebut berada dan selalu membuka untuk terjadinya
transformasi. Lebih lanjut dalam buku yang sama, Turan telah mencoba mengklasifikasikan
arsitektur vernakular kedalam beberapa tinjauan, yaitu sebagai : produk, proses, filosofis dan
ilmu pengetahuan.
Dalam pandangan budaya lokal di berbagai daerah / tempat, rumah tidak hanya
berfungsi sebagai tempat tinggal dengan segala macam perlengkapannya. Namun lebih dari
itu, merupakan tempat terjadinya hubungan yang sacral antara penghuni dengan
lingkungannya. Rumah merupakan pandangan gagasan kolektif masyarakat yang merupakan
gagasan budaya lokal yang identik dengan 'makro atau mikro kosmos’, sejalan dengan
konteksnya (Kusnaka Adimihardja, 2008).
Romo Manguwijaya dalam buku Wastu Citra juga memberikan pendapat yang hampir
senada mengenai definisi dari arsitektur vernakular adalah pengejawentahan yang jujur dari
tata cara kehidupan masyarakat dan merupakan cerminan sejarah dari suatu tempat.
Arsitektur vernakular merupakan transformasi dari situasi kultur homogen ke situasi yang
lebih heterogen dan berusaha sebisa mungkin menghadirkan citra, bayang-bayang realitas
arsitektur tradisional. Rasa hormat pada tradisi ’agung’ dan ’tinggi’ biasanya cukup nyata
pada arsitektur vernakular. Citra yang disajikan lebih banyak bersandar pada referensi
arsitektur “rakyat” daripada terhadap bangunan keagamaan, bangunan milik bangsawan-
penguasa dan sejenisnya. Referensi pada arsitektur “rakyat” yang secara fungsional sudah
beradaptasi, jitu, teruji terhadap alam tempatnya berada, biasanya lebih memiliki kepekaan
baik secara teknis, sosial, dan kultural.
Dalam pemahaman tentang arsitektur yang diangkat dari budaya setempat berdasarkan
unsur lokalnya, kita dapat menamakannnya sebagai arsitektur dialek (vernacular), arsitektur
tanpa nama (anonymus), arsitektur pedesaan (rural), arsitektur asli (indigenous), arsitektur
alamiah (spontaneous) atau apapun, tapi yang jelas ia adalah arsitektur lokal, setempat, sangat
khas, yang dibangun berdasarkan tradisi budaya masyarakat yang bersangkutan. Arsitektur
kerakyatan (‘arsitektur vernakular’) merupakan representasi dari wujud formal dan material
yang dibentuk melalui kolaborasi antara komunitas masyarakat sebagai pelaku dalam
membuat lingkungan binaan dengan konteks lokal sebagai unsur yang diberdayakan sebagai
media untuk mewujudkan lingkungan binaan tersebut.
Arsitektur vernakular yang berkembang berdasarkan komunitas masyarakat diangkat
dari unsur tradisional maupun modern, hal ini menunjukkan bahwa komunitas masyarakat
tradisional tumbuh dan berkembang berdasarkan tradisi lokal (arsitektur tradisional jawa,
sunda, dan lain sebagainya).
Komunitas masyarakat tradisional (kampong) merupakan salah satu contoh konkrit
yang dapat dijadikan model dalam membangun hunian, mereka memiliki pranata yang
dikembangkan dalam proses mendirikan bangunan melalui kegiatan ‘gotong royong’ sebagai
wujud kebersamaan mereka. Tempat dan alam merupakan potensi yang dapat digali sebagai
sumber inspirasi, sebagaimana bentuk arsitektur yang digali melalui beberapa cara, seperti
usaha mengadopsi teknologi konstruksi, material dan lain sebagainya, sehingga keragaman
bentuk arsitektur dapat diperkaya dan diperdalam terhadap nilai-nilai yang dianut.
Arsitektur-arsitektur lokal pada dasarnya berkaitan erat dengan hunian atau tempat
tinggal beserta bangunan-bangunan dan struktur pelengkapnya (seperti : lumbung, tempat
pemujaan, bangunan-bangunan tambahan, dll). Bangunan-bangunan hunian yang didirikan
berdasarkan kearifan lokal menurut konsep-konsep, nilai-nilai dan norma-norma yang
diwariskan nenek moyang mereka. Perwujudan bentuk sebagai hasil budidaya manusia /
masyarakat dapat dianggap tidak berbeda jauh dari perwujudan bentuk hasil tradisi yang sama
pada masa-masa lampau walaupun perubahan-perubahan kecil maupun besar bisa saja terjadi
pada masa silam.
Mencermati arsitektur lokal saat ini, dianggap oleh para anggota masyarakat setempat
sebagai bangunan yang struktur dan bentuknya adalah sesuai dengan tradisi budaya mereka
dan dianggap sebagai perwujudan. Arsitektur lokal yang dimaksud dapat disebut sebagai
arsitektur tradisional karena pernyataan bentuknya sesuai dengan kaidah-kaidah yang diakui
bersama atau masih dianut oleh sebagian besar anggota masyarakat sebagai tradisi turun
temurun (Adhi Mursid, 2007).
Kearifan lokal yang terwujud dalam fenomena perkembangan budaya, merupakan
sikap yang dianut dalam rangka membuat lingkungan binaan menjadi bagian dari kehidupan
komunitas masyarakatnya, sikap inilah yang menjadi cetusan pemikiran Y.B. Mangunwijaya,
seperti yang tertera dibawah ini :
Citra Arsitektur tidak terlepas dari potensi-potensi alam, sifat manusia yang ada di
sekitarnya, menunjukkan keselarasan dengan alam sekelilingnya. Arsitektur yang
baik, yang indah tidak terlepas dari ekspresi dan realisasi diri, bukan hanya
penonjolan aspek fisik saja.
Oleh karena itu arsitektur, yang berasal dari kata architectoon / ahli bangunan yang
utama, lebih tepat disebut vasthu / wastu [norma, tolok ukur dari hidup susila,
pegangan normatif semesta, konkretisasi dari yang mutlak], karena wastu lebih
bersifat menyeluruh / komprehensif, meliputi tata bumi [dhara], tata gedung [harsya],
tata lalu lintas [yana] dan hal-hal mendetail seperti perabot rumah dll., berupa
informasi tetapi mengutamakan pula hal-hal yang bersifat transendens, transformasi,
pengubahan radikal ke-ada-an manusia.

Oleh sebab itu citra merupakan bagian yang sangat penting dalam berarsitektur.
Citra menunjuk pada sesuatu yang transendens, yang memberi makna. Arti, makna,
kesejatian, citra mencakup estetika, kenalaran ekologis, karena mendambakan
sesuatu yang laras, suatu kosmos yang teratur dan harmonis (Y.B. Mangunwijaya,
Wastu Citra, 1988 : 326-337).
Mangunwijaya dalam bukunya ‘Wastu Citra’ (1988) berpendapat bahwa : pemikiran
menyeluruh dan kontekstual, paduan seimbang logika, intuisi dan kreativitas serta muatan
sosial budaya merupakan suatu sikap kearifan budaya lokal yang mampu menjadi solusi
desain yang ‘membumi’, ramah lingkungan dan lebih bersifat ‘abadi’.
Pemikiran Mangunwijaya tersebut terwujudkan dalam karya-karyanya, seperti : area ziarah
umat Katolik di Sendang Sono, Muntilan - Yogyakarta.

Gambar 22, Sendang Sono Gambar 23, Sendang Sono Gambar 24, Sendang Sono

Dalam membangun sebuah karya arsitekturnya, beliau selalu melibatkan masyarakat


setempat (partisipatoris). Proses pelibatan tersebut dimaksudkan untuk memberikan
kesempatan dan peluang bagi masyarakat setempat agar mereka dapat meningkatkan nilai
ekonominya, disamping itu pula dapat memberikan dan meningkatkan ketrampilan dalam
proses membangun. Pemahaman tentang bentuk arsitektur tidak terlepas dengan unsur
kejujuran fungsi, bahan dan struktur yang menentukan estetika bentuk bangunan dan
kawasan, dengan menerapkan unsur inilah dapat menunjukkan ekspresi yang menyatu dengan
alam (konsistensi perwujudan konsep guna dan citra).
Pandangan ini merupakan bentuk dan wujud dari sebuah sikap yang diangkat dari
konteks lokal dan sangat berperan dalam memberikan kontribusi dalam mewarnai wujud
karya arsitektur yang memiliki ciri, karakteristik dan identitas lokal. Dalam beberapa tahun
terakhir dia semakin sadar untuk mencari metode dengan mengartikulasikan lokalitas.
Sementara ini, dia maknai dari ruangnya, makna ruang memperkuat untuk komunitas.
Dalam arti arsitektur tidak seharusnya memisah dari kesatuan ekosistem. Jadi ada kontinuitas
dengan sekitarnya. Secara lebih spesifik, arti lokalitas adalah dengan menjaga teknik
membangun dan pengolahan material lokal, tapi dengan cara baru serta dengan menggunakan
technologi yang sederhana akan memunculkan keunikan tersendiri.
Salah satu arsitek, Eko Prawoto yang dianggap sebagai murid Y.B. Mangunwijaya
selama lebih dari 20 tahun berpendapat bahwa aspek tektonika merupakan wujud dari
kepekaan dalam membuat sambungan melalui keteknikannya, dengan mempertemukan
bahan, dan mengartikulasikan sambungan, bagaimana memahami kodrat dan bakat dari
bahan, kreativitasnya, juga pada keberanian untuk berbeda, dan mencari dari dalam.
Pendekatan ini lebih kepada bagaimana melihat persoalan dari persoalan itu sendiri, tidak
risau dengan sekitar, tidak tentang kulit tapi dari spirit. Menurutnya pada akhirnya arsitektur
harus dapat memerdekakan manusia.
Kita kenal karya yang sangat banyak mempengaruhi alam arsitektur mutakhir kita.
Beberapa nama yang pernah, masih, dan sedang berpengaruh, seperti almarhum Friederich
Silaban dengan karya yang sangat memperhatikan kondisi klimatologis negeri tropis, sangat
teknis dan kokoh. Kantor Pusat Bank Indonesia Jakarta, kompleks Masjid Istiqlal, dan gedung
di Taman Makam Pahlawan Kalibata adalah peninggalan karya yang masih bisa diapresiasi
dengan baik sampai saat ini. Sujudi dengan bangunan monumental Gedung MPR/ DPR, dan
gedung kantor berpenampilan tipis-ringan-tajam, seperti : Gedung ASEAN, kompleks
Departemen Pertanian Pasar Minggu, Jakarta.

Simpulan dan Manfaat


Perkembangan arsitektur dari waktu ke waktu selalu mengalami perubahan, baik
dalam ungkapan maupun pada rumusan-rumusan yang dicetuskan dalam konsep-konsep.
selalu memberikan teori-teori serta style-style barunya, yang tentu saja menjadi landasan
bagi arsitektur modern, meskipun dalam perjalanannya masih menerapkan pengaruh dari
arsitektur masa lampau. Arsitektur sebagai perwujudannya dari sebuah ide memang selalu
dihubungkan dengan ekspresi, yang menekankan aspek fungsi dan komposisi ritmik dari
suatu massa. Perkembangan arsitektur hingga saat ini didominasi oleh bentuk-bentuk
yang sangat beragam, dari bentuk yang mengangkat paham arsitektur pra-modern, modern,
post-modern maupun vernakular.
Ditinjau dari paham-paham yang dikembangkan, arsitektur pra-modern memiliki
nilai-nilai local yang diangkat dalam pandangan religi dan kebudayaan. Sedangkan pada era
modern, karena sifat universalismenya, maka nilai-nilai lokal yang ditampilkan lebih
kepada pemanfaatan teknologi dan azas fungsionalismenya. Sebagai gambaran, faktor yang
sangat menunjang perkembangan arsitektur modern pada tahun 1950 an adalah dengan
adanya ‘mass production’, material bangunan sangat menunjang dalam proses membangun,
dengan produksi massal bahan bangunan oleh pabrik maka terjadi proses percepatan dalam
membangun, dalam waktu relatif singkat sebuah bangunan dapat diwujudkan.
Mies van der Rohe dengan semboyannya ‘less is more’ mengungkapkan, salah satu
konsep ruang yang mengalir dibatasi oleh dinding-dinding kaca (Barcelona Pavilion),
sedangkan ciri utamanya adalah selalu menggunakan bahan baja dan kaca dalam
penyelesaian bangunannya. Menurut Lao Tzu, bangunan pada dasarnya tidak hanya
terdiri dari dinding dan atap saja melainkan merupakan sosok ruang sebagai tempat
kehidupan manusia, arsitektur sebagai ruang. Post-modern mengangkat nilai-nilai lokal,
sehingga tercipta identitas, ciri dan karakteristik yang spesifik. Pada paham yang ditinjau
dalam arsitektur vernakular memang terbentuk melalui sebuah komunitas, seperti halnya
sebuah kampung tradisional, disamping dapat pula diwujudkan melalui sebuah komunitas
modern.
Pemahaman tentang kesamaan niali-nilai budaya di antara kelompok-kelompok
etnik menjadi sangat penting dalam rangka mewujudkan multikulturalisme.
Sikap toleransi dan saling menghormati antara kelompok etnik yang satu dengan yang
lain merupakan dasar yang sangat penting untuk mewujudkan gagasan tersebut. Nilai-
nilai dasar yang bersumber kepada agama serta kearifan lokal merupakan benteng untuk
memperkuat jati diri dalam menghadapi arus budaya global yang cenderung bersifat
sekuler dan materialistis.
Globalisasi telah menimbulkan pergulatan antara nilai-nilai budaya lokal dan
global menjadi semakin tinggi intensitasnya. Sistem nilai budaya lokal yang selama ini
digunakan sebagai acuan oleh masyarakat tidak jarang mengalami perubahan karena
pengaruh nilai-nilai budaya global, terutama dengan adanya kemajuan teknologi yang
semakin mempercepat proses perubahan tersebut.

Dari kajian diatas dapat disimpulkan bahwa dalam proses mewujudkan karya
arsitektur sebagai buah karya lingkungan binaan dapat digali dari seluruh potensi yang ada
melalui dinamika konteks lokal sebagai sumber inspirasinya. Pandangan inilah yang dapat
mewujudkan bentukan arsitektur berdasarkan seluruh potensi yang ada dalam komunitas
kemasyarakatan. Budaya, alam dan tempat merupakan salah satu yang dapat ditumbuh-
kembangkan sebagai unsur yang dapat memberikan kontribusi nyata dalam perwujudan
lingkungan binaan.

Sebagai seorang arsitek tentunya harus dapat mengambil hikmah dan yang lebih
penting lagi memiliki visi, misi yang diangkat dari seluruh potensi lokal yang ada, ini
merupakan bentuk kontribusi konkrit dalam memahami arsitektur melalui kajian kritis
terhadap seluruh aspek yang ada, baik arsitektur sebagai obyek formal maupun obyek
material. Konteks lokal menjadi bagian yang tidak terlepaskan dalam seluruh pemikiran
berarsitektur dalam mewujudkan hasil karya yang ‘menyatu dan membumi’.
Proses pemikiran arsitektural sangat tergantung pada konteks permasalahan yang
dihadapi. Proses ini menjadi bagian yang integral dan komprehensif dalam memunculkan ide
dasar. Perwujudan arsitektur sebagai obyek material maupun obyek formal dapat dilihat dari
wujud fisik bentukan arsitekturnya yang memiliki citra arsitektur yang spesifik.
Secara filosofis proses pemikiran arsitektural menjadi titik berangkat dalam memahami lebih
dalam tentang arsitektur sebagai hasil karya lingkungan binaan.
Pengetahuan dan pengalaman lokalitas dalam paham arsitektur akan sangat banyak
membantu dalam kegiatan ber-arsitektur, yakni : kegiatan membuat, mengalami dan
memahami (Purnama, 1998) melalui kegiatan karya rancang. Filosofi dan konsep yang
melandasi dalam proses membentuk karya arsitektur dengan tetap mempertimbangkan seluruh
potensi yang ada, baik alam maupun sosial budaya dapat digali dan diangkat dari unsur
setempat (lokal). Dalam pembahasan tentang dinamika konteks lokal dalam perkembangan
paham arsitektur ada beberapa gambaran yang dapat diimplementasikan dalam :
● Berbagai ragam bentuk arsitektural yang dapat digali dari unsur alam, baik manusia
maupun lingkungannya.
● Potensi lingkungan fisik dapat menjadi aspek dalam menggali nilai simbolik dan
makna tertentu.
● Sejarah dapat menjadi unsur dalam memberikan nilai dan makna yang terbentuk
secara alamiah.
● Nilai lokal yang diangkat dalam mewujudkan bentukan-bentukan arsitektur baru dapat
membentuk suatu lingkungan binaan yang memiliki citra dan nuansa yang beragam.
● Nilai-nilai lokal merupakan manifestasi dalam mengungkapkan gambaran konkrit
tentang bentukan arsitektur yang lebih dinamis.
● Dinamika paham arsitektur dapat mendorong kreativitas dalam mewujudkan berbagai
macam ragam arsitektur yang dapat memberikan sumbangan positif dalam bentuk
karya yang apresiatif dan komunikatif.

Daftar Pustaka
Adimihardja, Kusnaka (2008), ’Dinamika Budaya Lokal’, Indra Prahasta + LBPB.
Altman, I., M. Chemers (1980), ’Culture and Environment’, Brooks/Cole Publishing
Company, Monterey, California.
Anthony C. Antoniades (1992), ‘Poetics of Architecture’ : Theory of Design. Van Nostrand
Reinhold, New York.
Broadbent, Geoffrey (1980), ’Design in Architecture’, John Willey & Sons, Chichester.
Broadbent, Geoffrey; Bunt, Richard; Jencks, Charles [1980], ’Sign, Symbol and Architecture’,
John Willey & Sons, Chichester.
Brolin, Brent C. (1980), ”Architecture in Context : fitting new buildings with old”, Van
Nostrand Reinhold Co, New York.
Budihardjo, Eko (1997), ’Arsitektur Sebagai Warisan Budaya’, Penerbit Djambatan, Jakarta.
Ching, Francis D.K., Mark M. Jarzombek, Vikramaditya Prakash (2007), ”A Global History
of Architecture”, John Wiley & Sons, Inc., Canada.
Egenter, N. (1992), ’Architectural Anthropology, Research Series’, 1, Structura Mundi,
Lausanne, 19-87, 145-171.
E-cource.usu.ac.id/content/teknik2/sejarah/textbook.pdf.
Fazio, Michael, Marian Moffett, Lawrence Wodehouse (2008), ’A World History of
Architecture’, Laurence King Publising, London.
Hoed, Benny H. (2008), ’Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya’, Fakultas Ilmu Pengetahuan
Budaya , Universitas Indonesia, Depok.
Jencks, Charles (1996), ’The Architecture of the Jumping Universe’, Academy Group Ltd.,
London.
Jencks, Charles (1997), ‘The Language of Post Modern Architecture’, Rizzoli, New York.
Kurokawa, Kisho (1991), ’Intercultural Architecture, A Philosophy of Symbiosis’, Academy
Group Ltd. And Kisho Kurokawa, London.
Mangunwijaya, Y.B. (1988), ’Wastu Citra’, P.T. Gramedia, Jakarta.
Portoghesi, Paolo (1983), ‘Postmodern’, Rizzoli International Publications, Inc, New York
Rapoport, Amos (1969), ’House Form and Culture’, Prentice Hall International Inc., London.
Salura, Purnama (1998), ’Ber-Arsitektur’, Bandung.

Anda mungkin juga menyukai