Anda di halaman 1dari 6

Saat iniglobalisasi dan desentralisasi merupakan dua isu utama yang memengaruhi tatanan

sistem perdagangan, baik dalam kegiatan produksi, pemasaran, distribusi, dan lain-lain.

Era globalisasi menuntut setiap pelaku ekonomi untuk meningkatkan kemampuan bersaing,
baik dalam memproduksi, memasarkan, maupun menerobos pasar yang batas-batasnya
semakin tidak jelas, serta dalam suatu kerangka persaingan yang sangat kompetitif.

Demikian pula era otonomi daerah harus selaras dengan kecenderungan era globalisasi.
Otonomi daerah tidak boleh paradoks dengan kecenderungan globalisasi, apabila sistem
ekonomi Indonesia ingin selamat dari terpaan globalisasi ekonomi dunia.

Dalam perjalanannya, penerapan otonomi daerah belum seiring dengan semangat yang
terkandung dalam UU No 22/1999. Hal ini tercermin dengan belum optimalnya kinerja
pemerintah daerah karena munculnya perda-perda berupa pajak dan retribusi yang
menimbulkan biaya tinggi sehingga mengurangi daya saing.

Implementasi kebijakan otonomi daerah dalam rangka menjawab tuntutan local dan desakan
kecenderungan arus global, perlu dicermati mengingat kondisi masa transisi yang labil dan
potensi konflik horizontal dapat menjadi kerusuhan massal dan perpecahan bangsa.
Masa transisi yang labil memerlukan rekonsiliasi elit yang diikuti dengan pemulihan ekonomi
dan politik sampai tingkat local. Kekhawatiran tersebut mengingat selama ini kita tidak terbiasa
berbeda pendapat dan beragumen secara baik, yang sering kita alami adalah realitas perbedaan
pendapatan dan arogansi kekuasaan.

Oleh karena itu, tujuan dan fokus dari kebijakan perdagangan adalah bagaimana membangun
daya saing berkelanjutan dari produk-produk Indonesia di pasar internasional yang dilandasi
oleh kompetensi inti yang didukung oleh seluruh potensi yang dimiliki bangsa Indonesia secara
tersinergi baik sektoral maupun dengan seluruh kabupatenkota.

Pada era perdagangan bebas ini, kebijakan perdagangan lebih difokuskan pada penurunan tarif
bea masuk dan penghapusan nontarif. Kebijakan perdagangan ini dimulai dengan
diberlakukannya AFTA pada 2002 yang dicetuskan pada 1992 serta deklarasi pimpinan APEC
pada 1994. Kebijakan tersebut tertuang dalam paket-paket deregulasi yang berisikan penurunan
tarif impor dan penghapusan hambatan nontarif.

Kebijakan perdagangan pada masa krisis, banyak dipengaruhi oleh kesepakatan dengan Dana
Moneter Internasional (IMF) atau disebut letter of intent (LoI), yang membawa arah pada
mekanisme pasar yang diharapkan mampu membawa perdagangan lebih efisien dalam rangka
pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat.

Dengan terus membaiknya kondisi perekonomian secara makro kebijakan perdagangan


difokuskan kepada Kebijakan Exit Program Pasca LoI IMF, dan kebijakan penguasaan pasar
yang adil.

Kecenderungan bisnis global membawa beberapa hal baru seperti keterkaitan secara global,
liberalisasi perdagangan dan blok perdagangan, transnasionalisasi informasi, perkembangan
teknologi yang cepat, meningkatnya kesadaran akan nilai-nilai universal, serta munculnya isu
baru di bidang perdagangan.

Adapun, kemunculan hal-hal di atas, dapat menjadi peluang sepanjang mampu menyesuaikan
diri, namun bagi yang tidak siap akan sebaliknya yaitu menjadi ancaman.

Sayangnya, di saat Indonesia harus dihadapkan pada suasana persaingan yang semakin keras
sebagai dampak globalisasi tersebut, ternyata peringkat daya saing Indonesia di pasar
internasional terus merosot sebagaimana yang dinyatakan oleh World Economic Forum (WEF).

Permasalahan yang dihadapi dalam perkembangan sektor perdagangan di Indonesia semakin


rumit karena di saat daya saing merosot dan investasi sangat rendah ternyata banyak produk
impor masuk secara ilegal yang membanjiri pasar dalam negeri, sehingga posisi produk dalam
negeri semakin terjepit.
Tidak heran, Menperindag melakukan serangkaian tata niaga seperti gula, beras dan garam
sebagai upaya untuk menghadapi serbuan produk dari asing yang berujung pada kerugian
petani. Apesnya lagi, Deperindag dan aparat Bea Cukai kemudian harus kebobolan ratusan ribu
ton gula ilegal yang merembes lewat jaringan organisasi yang cukup kuat.

Keadaan semakin dipersulit akibat sistem distribusi yang belum efisien yang ditandai dengan
tingginya rasio biaya logistik terhadap nilai tambah, kurang mampunya para eksportir untuk
menembus negara tujuan ekspor secara langsung, rendahnya kemampuan para eksportir dalam
melakukan market intelligence, promosi, kerja sama (aliansi) dengan mitra internasional, serta
bermunculannya standar teknis perdagangan (technical barrier to trade) dan ketentuan
mengenai kesehatan, keamanan, keselamatan. Kesemua itu menambah beban serta
mempersulit produk-produk Indonesia untuk melakukan penetrasi ke pasar internasional.

Untuk dapat melaksanakan hal-hal tersebut di atas, maka strategi pengembangan perdagangan
akan dilakukan dengan pendekatan terintegrasi dan efisien, melalui pengelolaan permintaan
(demand management), serta pemanfaatan secara optimal pengelolaan sumber daya produktif
(resource management).

Strategi ini akan didukung oleh pengelolaan jaringan (networking management) yang efisien
dan efektif, pengembangan instrumen perdagangan untuk menciptakan iklim usaha yang
kondusif, serta pembangunan infrastruktur fisik maupun nonfisik yang menunjang.
Dalam rangka mengimplementasikan strategi yang dimaksud, sasaran pembangunan sektor
perdagangan dalam negeri untuk jangka menengah adalah membangun sistem distribusi
nasional yang efisien dan efektif dengan pendekatan supply chain (komoditi strategis),
pengamanan pasar dalam negeri, pemberdayaan produksi dalam negeri, peningkatan peran
kelembagaan, dan peningkatan sarana serta instrumen perdagangan.

Untuk jangka panjang yang akan dilakukan yaitu meningkatkan perdagangan jasa di dalam
negeri yang bersaing di pasar internasional, serta membangun merek dagang nasional yang
dapat menerobos pasar internasional.

Sektor Industri di tangan Deperindag cenderung mengutamakan industri berbasis lokal seperti
perkapalan, otomotif, serta agrobisnis.Untuk mendukung produk industri berbasis agro, pokok-
pokok rencana aksi jangka menengah yang akan dilakukan adalah memfasilitasi dunia usaha
untuk melakukan promosi ekspor, mendapatkan pendanaan melalui skema resi gudang dengan
agunan komoditas, memberikan kepastian kualitas, kuantitas dan harga dengan menggunakan
sarana pasar lelang komoditas agro.

Sedangkan untuk industri alat angkut, pokok-pokok rencana aksi yang akan dilakukan yaitu
mengembangkan bursa komponen buatan dalam negeri dan kerja sama dengan luar negeri
dalam penetrasi pasar.

Selain itu, untuk mendukung pemasaran produk kelautan prioritas, maka pokok-pokok rencana
aksi yang akan dilakukan dalam jangka menengah adalah menyediakan fasilitasi sarana
distribusi, cold storage, cool box dan pabrik es mini, pengawasan standar impor; dan promosi
produksi olahan.
Untuk mencapai target peningkatan perdagangan dalam negeri, pokok-pokok rencana jangka
menengah adalah membangun sistem distribusi yang efisien dan efektif; menyempurnakan
perangkat peraturan dan mendorong pelaku usaha/asosiasi untuk membentuk lembaga
sertifikasi dan akreditasi tenaga jasa profesi; membangun proyek percontohan sistem distribusi
yang efisien dan efektif dengan pendekatan supply chain.

Di samping itu diperlukan pembentukan kelembagaan perlindungan konsumen; menyusun


sistem pengawasan barang beredar dan jasa; melakukan kampanye, promosi, dan sosialisasi
penggunaan produksi dalam negeri.

Upaya lainnya, membangun sarana perdagangan yang dapat mempromosikan hasil produksi
wilayah perbatasan; membangun basis-basis produksi sesuai dengan potensi daerah dan
kebutuhan negara tetangga; penataan kembali peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan pelaksanaan UU-Metrologi Legal; membentuk kelembagaan pengelola sentra dana
berjangka dan penasihat; serta membangun pasar lelang regional

Anda mungkin juga menyukai