Anda di halaman 1dari 69

GLOBALISASI, LIBERALISASI DAN

DAYA SAING SEKTOR PERtANIAN


 Pengertian paling mendasar dari proses globalisasi adalah
perluasan dan pendalaman integrasi pasar barang, jasa dan
keuangan antar negara-negara di dunia.
 Dalam dasawarsa terakhir ini proses globalisasi dan integrasi
telah mengalami akselerasi karena dorongan universal untuk
liberalisasi dan perubahan teknologi pada berbagai bidang,
sehingga pada akhirnya berpengaruh terhadap akselerasi
internasional produksi dan distribusi.
 Berbagai indikator yang sering digunakan sebagai ukuran
globalisasi adalah rasio perdagangan luar negeri terhadap
pendapatan nasional, rasio antara penanam modal asing terhadap
pendapatan nasional dan trend pertumbuhan arus modal.
 Semua indikator tersebut secara agregat mengukur
tingkat keterlibatan antar negara dalam kurun waktu ini
telah meningkat sebesar tiga kali lipat dari periode
sebeiumnya dan dua kali lebih cepat dari era
perdaganagn emas pada tahun 1960-an.
 Sedangkan rasio PMA/PDB meningkat dua kali lebih
besar dari era sebeiumnya, se dangkan jumla PMA
yang masuk ke negaranegara berkembang meningka
sekitar 30 % dari era sebeiumnya. Bahkan di era
selanjutnya diperkirakan proses integrasi intemasional
terus akan mengalami akselerasi yang lebih besar
dengan adanya perkenibangan keterbukaan informasi
dan koniunikasi yang lebih besar.
 Tingkat integrasi serta variasi pertumbuhan ekonomi di
antara negara berkembang akan bervariasi, tergantung
dengan kondisi serta kebijakan masing-masing negara
dalam mengantisipasi dan menghadapi proses
globalisasi."
 Oleh karena itu untuk dapat mengambil keuntungan
dari adanya proses globalisasi tersebut, maka setiap
negara harus mampu mengambil kebijakan yang tepat
di berbagai bidang.
FAKTOR-FAKTOR PENDUKUNG GLOBALISASI
 Faktor utama yang mendukung adanya proses globalisasi adalah
adanya kebutuhan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan barang
dan jasa yang semakin besar dan tak mampu disediakan sendiri
oleh masing-masing negara tersebut.
 Kemudian dengan adanya keterbukaan informasi dan komunikasi
anatar anggota masyarakat di seluruh dunia, maka halangan dan
keterbatasan yang menghambat hubungan masing-masing negara
menjadi semakin hilang.
 Tuntutan masyarakat terhadap penguranagan hambatan
perdagangan yang sering dilakukan oleh pemerintah pada masing-
masing negara juga merupakan faktor yang cukup penting. Proses
ini, yang kemudian populer dengan istilah liberalisasi mencakup
sektor perdagangan dan keuangan.
 Pada umunya proses ini dimulai dengan penurunan hambatan
tradisional, yaitu hambatan dalam bentuk tarif dan nontarif di
pasar barang.
 Pada akhirnya proses liberalisasi juga terjadi dalam konteks
unilateral. regional dan multilateral serta mencakup
pengurangan hambatan lintas negara (cross border barriers) dan
juga termasuk sektor Jasa-Jasa, proses fasilitas lain (non cross
border barriers), aturan main intemasional dan bahkan
membebaskan arus faktor produksi (Pangestu dan Setiati, 1997)
 Dorongan liberalisasi universal pada gilirannya didorong oleh
berbagai kebijakan yahg dilakukan oleh berbagai negara, baik
negara maju maupun negara berkembang serta perkembangan
hubungan antar negara yang terjadi secara simultan.
 Dorongan tersebut adalah,
Pertama, liberalisasi yang disebabkan oleh proses penyesuaian
dan restrukturisasi oleh Negara Sedang Berkembang (NSB)
sebagai respons terhadap memburuknya keadaan lingkungan
internasional.
Kedua, aturan dan perjanjian multilateral yang berkembang
dibawah naungan GATT (General Agreement on Trade and
Tariff) dan WTO (World Trade Organization).
Ketiga, kerjasama regional seperti APEC ( Asia Pacific
Economic Cooperation) dan AFTA( Asean Free Trade Area).
Kerjasama ekonomi regional tersebut. mencakup negara-
negara yang berada di dalam satu kawasan dan
pelaksanaannya telah meningkat dengan tajam sejak tahun
1980-an.
 Dalam upaya meningkatkan kemandirian dalam era
persaingan yang semakin "terbuka", kita berada dalam
lingkungan strategik yang baru.
 Salah satu lingkungan. strategik baru yang akan
mempengaruhi strategi dan kebijaksanaan yang akan kita
ambil adalah proses yang sedang kita Jalani yaitu globalisasi
dan liberalisasi perdagangan.
 Proses liberalisasi perdagangan, yang merupakan suatu proses
untuk mempermudah perdagangan barang dan Jasa dengan
(mengurangi atau menghilangkan hambatan perdagangan
seperti hambatan tarif dan hambatan non tariff seperti :
larangan impor, import quota, importir tunggal dsb, mau tidak
mau harus dihadapi dan diantisipasi.
 Persetujuan GATT, sebagai salah satu aspek proses liberalisasi
perda gangan diadakan untuk membentuk kerangka kerja dan
acuan yang transparan yang dapat dipakai menurunkan
hambatan - hambatan perdagangan.
 Adapun prinsip-prinsip yang dianut dalam perdaganan bebas
meliputi Non-Discriminations, Reciprocity, Transparency,
Tariff Reduction.
 Salah satu komponen penting dalam kesepakatan Uru guay
Round dalam proses perundingan perdagangan multiteral
adalah dimasukkannya sektor pertanian dalam GATT.
 Sebagai negara agraris, kita perlu mendalami apa yang diatur
dalam kesepakatan tersebut, untuk kita ambil manfaat dan
peluangnya, dengan kita refleksikan kedalam kebijak sanaan yang
akan kita ambil.
Akselerasi Globalisasi
 Poses liberalisasi akan berlangsung terus dalam dekade yang akan
datang dan merupakan perubahan fundamental yang akan bergulir
terus, sehingga akan terjadi persaingan yang ketat antar NSB,
maupun negara maju dalam akses modal, teknologi dan pasar.
 Perlu juga disadari bahwa proses reformasi akan mencakup lebih
dari penurunan hambatan tradisional seperti tarif dan tata niaga
impor di pasar barang yang biasanya diketahui umum (seperti
lisensi dan kuota).
 Pembukaan akses pasar dan investasi serta pembebasan arus
tenaga profesional, juga akan mulai dialami dengan perjanjian
untuk liberalisasi sektor jasa-jasa.
 Persiapan NSB harus dilakukan untuk menciptakan perangkat
hukum dan implementasi peraturan-peraturan yang konsisten
dengan norma intemasional di berbagai bidang seperti
perlindungan hak atas kepemilikan intelektual, prosedur bea
cukai dan anti dumping, penentuan standar-standar barang
dan jasa, dan penyelesaian sengketa dagang.
 Juga perlu disadari bahwa banyak hal yang dahulu dapat
dilakukan sekarang telah dianggap melanggar norma
internasioanl, seperti syarat kandungan lokal dan subsidi
ekspor serta kebijakan pembebasan pajak pada produk
tertentu.
 Proses penyesuaian yang harus harus dilakukan oleh NSB
yang akan terjadi dalam masa transisi yang akan dialami
dalam jangka menengah dapat menimbulkan tekanan-tekanan
untuk mempertahankan perlindungan untuk sektor-sektor
tertentu ataupun kelompok masyarakat tertentu.
 Politik ekonomi perdagangan dan investasi intemasional akan
menciptakan keadaan yang tampaknya ambivalen dan perlu
kecenderungan proteksi dan penghambatan transaksi internasioanl
yang lain, baik oleh negara maju atau NSB, melalui tindakan
sepihak dan cara lain untuk melakukan proteksi (misalnya
antidumping, standar. mengkaitkan aspek non-ekonomi seperti
hak-hak buruh kepada akses pasar dan Iain-lain) patut diwaspadai.

 Menjamin iklim intemasional yang terbuka dan berdasarkan


aturan main yang jelas merupakan kepentingan semua, terutama
karena pertumbuhan NSB seperti Indonesia sangat tergantung
kepada akses pasar dunia yang terbuka.
 Namun karena proses Liberalisasi dan perubahan akan bergulir
terus, maka sangat penting bagi negara-negara yang menjalankan
Liberalisasi, khususnya NSB untuk melakukan antisipasi yang
tepat dengan berbagai perangkat kebijakan ekonomi maupun non
ekonomi yang dapat diterima secara internasional.
 Kemajuan teknologi akan berkembang untuk mendorong
proses globalisasi produksi barang maupun jasa.
 Pada akhirnya kunci keberhasilan untuk bersaing terletak
pada kemampuan dan kapabilitas teknologi serta
kemampuan melakukan adaptasi serta inovasi yang-
dilakukan oleh masing-masing negara.
 Untuk dapat bersaing secara global, perusahaan senantiasa
memerlukan pembaruan dan perbaikan teknologi yang
digunakan, fleksibilitas supaya mudah melakukan
perubahan, perancangan produk yang lebih sesuai dengan
pembeli (seperti customized vs mass production), dan
keterkaitan atau jaringan supplier yang luas.
 Secara bertahap, produksi massal dari produk standar,
pembagian antara produk yang ketat, dan pemusatan
produksi di satu lokasi akan berkurang.
 Pola keterkaitan yang strategis juga sangat penting
untuk mem pertahankan daya saing dimana aliansi
strategi dapat berlangsung antara pesaing, melalui
perusahaan patungan, keterkaitan dengan kontraktor,
lisensi; perjanjian teknologi atau tekrtis, penyediaan
jasa, pemasaran dan Iain-lain.
 Perusahaan global memantau semua negara untuk
memperoleh kombinasi penggunaan sumber daya alam.
tenaga kerja dan modal yang paling unggul dalam
penelitian dan pengembangan, pro duksi dan
pemasaran (lihat juga Pangestu, 1997).
Kemajuan Teknologi di Bidang Produksi dan Perdagangan
 Seperti yang telah diketahui secara umum, teknologi yang menyebabkan
penurunan biaya transportasi dan komunikasi telah mengurangi jarak antar
negara karena penurunan biaya transaksi barang-barang, jasa-jasa, uang, orang
dan informasi antar negara.
 Perkembangan teknologi transportasi dan komunikasi pada gilirannya telah
mendorong proses intemasionalisasi pro duksi barang dan jasa, serta
pemasaran dan penyalurannya.
 Pada dasamya yang terjadi adalah •peningkatan spesialisasi dan pem bagian
proses produksi antara negara berdasarkan produk. tipe produk, dan tahap
proses produksi.
 Proses pembagian tahap produksi antara negara merupakan salah satu dasar
keberhasilan negara-negara Asia Timur dimana relokasi industri telah terjadi
secara bertahap.
 Perubahan teknologi perancangan dan produksi juga telah menyebabkan siklus
produksi menjadi lebih pendek dan memungkinkan lebih banyak produk dibuat
(product differentiation).
 Perkembangan teknologi informasi dan manajemen telah juga memperbaiki
pengendalian mulu, pengurangan pembuangan {wastage) yang terjadi dalam
proses pro duksi. dan mengurangi keperluan untuk penyediaan stok yang
tinggi.
 Peningkatan efisiensi dan kecepatan teknologi informasi
misalnya sangat mendukung just in time management
daripada pengadaan dan stok karena memungkinkan dan
melancarkan hubungan antara perancang, supplier,
produsen dan pengecer.
 Teknologi komunikasi dan teknologi informasi juga sangat
berperan dalam meningkatkan integrasi sektor finansial.
Sebagian besar transaksi finansial dapat dilakukan seketika
24 Jam sehari dan baik sekali untuk mengendalikan arus
modal masiik dan keluar secara pesat (pangestu. 1997).
 Dengan demikian kestabilan keadaan makroekonomi dan
konsistensi kebijaksanaan dalam rangka menciptakan
ikiim investasi yang pasti dan transparan menjadi
benambah penting dalam era globalisasi informasi dan
arus modal.
 Seperti dijelaskan oleh Pangestu (1997), sejak awal I990-an telah
terjadi ledakan dan pertumbuhan pesat arus dana ke NSB, terutama
dari swasta.
 Pola utamayang dialami adalah bahwa disatu pihak pertum buhan
bantuan luar negeri dari negera donor rendah dan nilai bantuan yang
diberikan relatif konstan.
 Di lain pihak telah terjadi ledakan modal swasta yang ditujukan ke
NSB terutama yang dianggap layak.
 Ciri-ciri modal swasta tersebut adalah berubahnya Jenis arus modal
swasta dari pinjaman menjadi ekuitas ; berubahnya sumber modal dari
sektor perbankan ke sektor nonbank (portofolio, PMA) ; dan bahwa
sebagian besar peningkatan dana tersebut ditujukan ke ''emerging'
yaitu "economies creditworthy ".
 Beberapa faktor pendorong dari ledakan modal swasta ke NSB adalah
turunya tingkat suku bunga AS di awal 1990-an : perubahan sikap
institusional di negara maju terhadap emerging markets ; proses
privatisasi, liberalisasi dan reformasi yang dilakukan di NSB pada saat
yang bersamaan.
 Untuk Jangka menengah ke depan, arus modal swasta diperkirakan
akan terus meningkat, terutama ke negara-negara yang credit worthy.
 Dengan demikian, sangatlah penting untuk negara yang menginginkan
arus modal tersebut untuk menjalankan kebijaksanaan makro yang
stabil dan konsisten, pengembangan sektor finansial yang efisien dan
stabil. transparansi informasi, kepastian hukum dan seterusnya.
 Ketersediaan bantuan luar negeri akan tidak banyak meningkat,
sementara yang memerlukan bertambah banyak, khususnya negara-
negara Asia yang dilanda krisis ekonomi pada tahun-tahun terakhir ini.
 Proses privatisasi, termasuk untuk prasarana flsik. Juga berarti
bantuan luar negeri akan dipusatkan untuk hal-hal tertentu seperti
mengatasi kemiskinan, lingkungan hidup dan pendldikan.
 Potensi pertumbuhan ekonomi NSB yang lebih pesat dari negara maJu
menjadi pasar yang poiensial bagi pemasaran produk maupun alokasi
sumber daya lainnya.
 Hal tersebut berarti pengaruh pertumbuhan NSB dapat mempengaruhi
negara maJu, sehingga akan ada peningkatan keterkaitan diantara
keduanya.
PARADIGMA PEMBANGUNAN
 Studi-studi yang dilakukan tentang perbandingan pertumbuhan dan
pembangunan NSB berkesimpulan bahwa ada beberapa faktor
penting yang menyebabkan keberhasiiari pertumbuhan tinggi
(misalnya di kawasan Asia Timur). Misalnya menurut Sachs dan
Warner (1995), ada beberapa faktor yang dapat menjelaskan
pertumbuhan tinggi yang di alami suatu negara (lihat Pangestu,
1997):
o 1. Kebijaksanaan Ekonomi yang Tepat, yang terdiri dari:

a. Kebijaksanaan orientasi/promosi ekspor atau keadaan yang


menuju perdagangan bebas untuk eksportir sangat penting.
Perekonomian yang terbuka seperti yang tercermin dari akses
kepada input, akses kepada modal dan promosi PMA, dan
tidak ada hambatan untuk devisa, serta prasarana yang
mendukung dan fasilitas pendanaan mengalami kinerja
pertumbuhan ekonomi yang lebih baik dari ekonomi yang
menganut kebijaksanaan tertutup;
b). Tingkat tabungan masyarakat dan pemerintah yang tinggi
(dicerminkan oleh anggaran belahja yang surplus dan tidak
memberiakukan program Jaminan sosial yang menyeiuruh
seperti negara-negara maju);
c). Prasarana hukum dan transparensi : birokrasi yang efektif,
transparensi, mengindahkan hak milik pribadi (private property
rights), lembaga hukum dan Iain-lain mempengaruhi lokasi dan
pertumbuhan investasi;
d). Investasi dalam SDM ;
e). Pemantauan kepada pesaing dan fleksibilitas untuk terus
menarik in vestor.
2. Kondisi Awal
Fenomena conditional convergence : yaitu kalau suatu
perekonomian mulai dengan tingkat pembangunan ekonomi yang
rendah, negara tersebut akan mengalami pertumbuhan tinggi
karena akumulasi modal, teknologi dan Iain-Iain yang pesat.
Dengan pendalaman struktur, pertumbuhan akan dengan- sendirinya
menurun karena proses akumulasi tidak akan terjadi sepesat pada
awal proses pembangunan. Misalnya di Jepang pada saat ini
pertumbuhan rata-rata sudah menurun dan lebih mendekati
pertumbuhan yang dialami Eropa dan AS. Menurut Sachs dan
Warner (1995), perbandingan pertumbuhan antara negara
menunjukkan bahwa untuk setiap kenaikan dua kali lipat dari
pendapatan per kapita setelah tingkat tertentu (kira-kira $ 3.000 -
5.000/kapita), pertumbuhan akan turun 1,25 persen.
Masalah yang sangat penting dari paradigma pembangunan ke
depan dengan peningkatan liberalisasi adalah peninjauan ulang dari
peran pemerintah dalam pem bangunan. Peran pemerintah beralih
dari regulator dan pelaku langsung, menjadi bagaimana menciptakan
iklim usaha yang kondusif (penurunan ekonomi biaya tinggi,
transparensi, persaingan sehat dan Iain-Iain) dan melakukan
investasi prasarana yang mendukung swasta seperti transportasi,
komunikasi dan peningkatan kualitas SDM.
Liberalisasi akan menimbulkan kebijaksanaan pemerintah
akan berkurang. Oleh karena itu kebijaksanaan yang
dilakukan pemerintah harus konsisten dan jelas arahnya.
Faktor lainnya adalah suatu visi pembangunan untuk
didasari perencanaan dan strategi yang dinamis dan
dirancang untuk jangka menengah dengan pencapaian
target yang jelas dan realistik. Kebijakan perencanaan harus
didasarkan pada konsep coorporate plan. Setiap tahap
pembangunan harus didasarkan pada cost dan returnnya.
Tidak kalah pentingnya untuk memikirkan tahap-tahap
pembangunan yang harus dijalankan dalam kurun waktu
tertentu, dan tahap-tahap yang dijalankan. Perencanaan
tersebut harus jelas dan transparan sehingga semua lapisan
masyarakat dapat melakukan kontrol terhadap perilaku
pemerintah dnegan berbagai macam birokrasinya.
PERKEMBANGAN KONTRIBUSI SEKTOR FERTANIAN
TERHADAP PEREKONOMIAN NASIONAL
Seperti dijelaskan oleh Saragih (1997), data perkembangan
PDB terus menunjukkan penurunan pangsa sektor pertanian
dari sekitar 40 persen pada tahun 1969 menjadi 17,6 persen
pada tahun 1993 dan menurut analisis Bank Dunia, tinggal
10,5 persen pada tahun 2005.
Apakah hal ini wajar0wajar saja karena semua negara yang
sebelumnya berbasis pertanian juga mengalami perubahan
struktural yang sama ? Selanjutnya, menurut analisis. Bank
Dunia tersebut, PDB per kapita tahun 1994 mencapai US $
919 yang akan meningkat menjadi US S 2.250.pada tahun
2005. Tidak Jelas bagaimana perbandingan PDB per tenaga
kerja menurut sektor yang tentunya bisa menjelaskan arti
yang lebih mendalam dari perubahan struktural.
Apakah merosotnya pangsa sektor pertanian disertai
rendahnya produktivitas sektor pertanian tersebut sesuatu yang
pantas menjadi keprihatinan, atau bahkan sudah menjadi beban
pembangunan ? Sebelum menetapkan paradigma baru
pembangunan, masalah ini perlu dituntaskan terlebih dahulu
sebab pada dasamya paradigma baru dibutuhkan Jika melalui
berbagai kebijaksanaan dan pelaksanaan pembangunan yang
telah ditempuh sejumlah harapan-harapan secara serius tidak
tercapai atau telah terjadi berbagai distorsi ke arah yang
kurang menguntungkan. Untuk itu akan dibahas dulu konsep
"agribisnis" sebagai cara baru melihat sektor pertanian.
Kemudian dengan konsep itu dikaji peranan agribisnis
(agribusiness network) bisa saJa terjadi suatu, struktur
kelembagaan pasar yang kurang menguntungkan bahkan anti
pertumbuhan dan anti pemerataan seperti monopoli,
monopsoni dan semacamnya .
Kontribusi subsektor lapangan usaha tanaman bahan
makanan dan kehutanan telah menurun dari masing-masing
60,8 dan 10,9 persen dalam NTB sektor pertanian pada tahun
1985 menjadi masing-masing 53,2 dan 10,2 persen pada
tahun 1995. Sementara itu kontribusi subsektor lapangan
usaha tanaman perkebunan, petemakan, dan perikanan telah
meningkat dari masing-masing 11,6 persen ; 8,9 persen ; dan
7,8 persen menjadi 16,1 persen, 10,9 persen, dan 9,5 persen.
Seperti halnya yang dijelaskan Anwar, (1997), Jika dilihat
dari segi permintaan, terutama kalau kita memperhatikan (1)
komposisi dan tingkat konsumsi per kapita berbagai barang
yang tercakup dalam subsektor lapangan usaha bahan
makanan dan petemakan ; (2) elastisitas permintaan terhadap
kenaikan pendapatan untuk berbagai Jenis barang tersebut;
(3) laju pertumbuhan Jumlah penduduk dan pendapatan
per kapita di Indonesia selama periode 1985- 1995, maka
diperkirakan penurunan kontri busi subsektor lapangan
usaha tanaman bahan makanan terlalu cepat, sedangkan
peningkatan kontribusi subsektor lapangan usaha
petemakan terlalu lambat. Perkiraan ini lebih dlperkuat
dengan melihat menumnnya kontribusi subsektor lapangan
usah tanaman bahan makanan dan petemakan terhadap
PDB dari masing-masing 14,7 dan 2,1 persen pada tahun
1985 menjadi 8,6 dan 1,8 persen tahun 1995.
LIBERALISASl SEKTOR PERTANIAN
 Dalam proses globalisasi dan liberalisasi perdagangan internasional,
yang meliputi berbagai macam aspek dan berbagai macam sektor, juga
tidak terkecuali sektor pertanian.
 Liberalisasi di bidang pertanian ditunjukkan dengan adanya berbagai
macam perjanjian yang bertujuan mengatur proses perdaganagn hasil-
hasil pertanian anatar negara.
 Persetujuan ini sebenarnya timbul sebagai akibat perbedaan kondisi
awal pembangunan sektor pertanian antara negara maju dan negara
berkembang.
 Elemen pokok kesepakatan di bidang pertanian meliputi :
1. Country Schedule
Masing-masing negara menyusun komitmen-nya mengenai rencana dan
sasaran yang akan dicapai sampai dengan akhir periode implementasi
(2001 untuk negara maju dan 2004 untuk NSB) yang terdiri atas'
kesepakatan tentang Non tariff Barriers (NSB), Penurunan tariff dan
Akses Pasar Penurunan Aggregate Measure of Support (AMS)
2. Akses Pasar
Kesepakatan tentang pengaturan kebijakan tarif (tariffication dan
penurunan tarif O meliputi 15 % dalam waktu 6 tahun untuk negara
maju, 10 % dalam waktu 10 tahun untuk NSB, LDC dikecualikan ,
Ada ketentuan "Special safeguards' Komitmen tentang akses pasar
diatur dengan memberi hak dan kemudahan untuk memasuki pasar
negara lain. Apabila nilai import-nyasangat kecil, harus membuka
pintu impor. Suatu minimum akses sebesar 3 %, dari konsumsi
dalam negeri dan ditingkatkan menjadi 5 % pada tahun 2001 bagi
negara negara maju dan tahun 2004 bagi NSB
3. Kesepakatan Aggregate Measure of Support (AMS)
Kepakatan untuk menurunkan secara 'progresif besarnya AMS
diatur dengan ketenluan tenatng (1) Pengelompokan macam-macam
dukungan terhadap pertanian, (2) Yang penting yang masuk "green
box poiicies" dikecualikan dari komitmen penurunan AMS, (3)
Persya'ratan "de minimis" untuk bisa
dikecualikan dari komitmen.
4. Kesepakatan Tentang Subsidi Ekspor
Kesepakatan untuk menurunkan subsidi ekspor untuk 22 macam komoditi
per tanian merupakan kesepakatan yang diharapkan daapat membantu
persiapan negara-negara sedang berkembang. Ke sepakatan tersebut
meiiputi penurunan 21 % dalam volume dan 36 % dalam nilai selama 6
tahun bagi negara maju dan 14 % dalam volume dan 24 % dalam nilai
selama 10 tahun bagi NSB
5. Perjanjian Sanitary Phyto Sanitary (SPS)
Untuk melindungi dan meningkatkan kesehatan manusia, hewan dan
kondisi tanaman setiap negara anggota serta sebagai acuan bagi masing-
masing negara dalam menetapkan persyaratan SPS kearah suatu
harmonisasi sistem yang diharapkan akan memperlancar perdagangan,
maka masing-masing negara menetapkan ketentuan SPS yang berlaku bagi
negaranya dengan mengacu pada ketentuan (1) Codex Allimentarious
Aommission (CAC), (2) Interna tional Office of Epizootic (ICE) untuk
ternak, (3) International plant Protection Convention (IPPC). Kesepakatan
ter sebut dilandasi oleh prinsip dan kajian ilmiah {scientific justification)
tanpa menimbulkan hambatan terselubung bagi perdagangan
BEBERAPA ISU (ISSUES) PENTING PEMBANGUNAN
SEKTOR PERTANIAN DAN AGRIBISNIS DI INDONESIA
 Ada beberapa isu penting yang harus dipecahkan dalam
pembangunan sektor agribisnis (lihat juga Saragih, 1997).
 Pertama isu yang menjadi sangat kritis sebenarnya adalah
sikap bisnis sebagian besar petani yang selama ini terbiasa
dengan bisnis gurem dan informal.
 Dalam kebiasaan yang hidup subsisten dan oleh pengaruh
ekstemal yang terlalu sulit untuk ditembus. walaupun tetap
berpikir rasional, mereka hidup dalam ruang pengambilan
keputusan (decision space) yang sempit. Menjaga mutu
barang, menepati Janji waktu penyampaian barang dan
transaksi, serta mempertahankan posisi tawar baik melalui
organisasi pengusaha tani maupun bentuk organisasi
ekonomi lainnya cenderung dianggap mahal.
 Kedua menyangkut sifai-sifat agribisnis berbagai komoditas
pertanian yang berbeda satu sama lain seperti telah dicontohkan di
muka.
 Beberapa komoditas bisa diusahakan dalam skala besar atau estate
sedangkan beberapa lainnya harus selalu dalam skala kecil.
Beberapa indikator tersebut adalah kepadat-karyaan (labour
intensive), kemudah-busukan (perishability), kondisi khusus
agrofisik lingkungan tropis. dan sebagainya.
 Hal ini akan berkaltan pula dengan pengendalian atau manajemen
pasokan ke pasar. Salah satu implikasinya adalah perlunya
organisasi pengusaha tani yang di negara-negara yang maju
pertaniannya, kemampuan berorganisasi petaninya sudah sangat
handal.
 Ketiga menyangkut penguasaan teknologi pada tingkat on farm dan
offfarm agribusiness, serta teknologi informasi. Kesulitan dalam
pengendalian mutu komoditas pertanian serta manajemen pasokan
ke pasar sebenamya disebabkan oleh rendahnya tingkat teknologi
yang dikuasai oleh pelaku-pelaku agribisnis.
Dalam kaitan ini pula. seperti dikemukakan oleh Crawford
(1991), dalam tahap-tahap perkembangan ekonomi, pada
waktunya akan tercapai tahap ekonomi yang berbasis ilmu
pengeiahuan dan atau informasi {konowledge/infonnation
economy) ; setelah melalui tahap industriaiisasi {industrial
economy). Nuansa agribisnis juga akan berubah yang efisiensi
dalam on farm dan off-farm agribusiness serta produktivitas
sumber daya manusianya akan sangat dipengaruhi oleh
kemampuan dalam teknologi dari para pelaku agribisnis.
Keempai. dalam konsep agribisnis yang periama kali diperkenalkan
di Asia Tenggara oleh Driion Jr. (1971) ada yang disebut sebagai
agribusiness coordinators (koordinator agribisnis) yang meliputi
pejabat pemerintah, para pakar dan mahasiswa, menajer-manajer,
serta para peneliti dan pengembang. Peran para koordinator
agribisnis ini akan sangat menentukan dalam upaya merubah sikap
berbisnis, penguasaan teknologi dan informasi yang sangat
diperlukan dalam pembangunan agribisnis.
Kelima, adalah yang menyangkut kelembagaan dan
kebijaksanaan terkait.. Harus ada kepemikan yang memberi
kesempatan kepada petani kecil dan usaha rumah tangga
untuk melibatkan diri dan menguasai sebagian dari
kegiatan agribisnis hulu dan hilir agar produktivitas mereka
bisa secara nyata meningkat. Pendekatan kebijakan
pemerintah sebaiknya adalah bukan kesejahteraan (income
approach) tetapi pendekatan peningkatan produksi (produc
tion approach) dengan berbagi macam peubahan proses
produksi dan perluasan akses pasar.
Keenam adalah rendahnya term of trade dari prduk-produk
hasil pertanian tersebut. Ini bisa diatasi dengan adanya
perubahan hasil-hasii produk pertanian yang dapat
dipasarkan di luar negeri dengan cara peningkatan kualitas
fisik maupun daya tahan produk.
Ketujuh, adalah reendahnya komitmen bagi pemerintah untuk
menggerakkan sektor pertanian dan agribisnis dalam rangka
menumbuhkan pembangunan eko nomi nasional. Hal ini
disebabkan oleh rendahnya multilpier effect yang ditimbulkan
oleh sektor ini relatifrendah.
PENGEMBANGAN AGRIBISNIS SEBAGAI PARADGIMA
BARU
 Untuk mengembangkan sektor agribisnis perlu adanya
kebijakan yang baru sehingga dapat menunjang pembangunan
di sektor tersebut, sehingga keunggulan yang dimiliki dapat
lebih bermanfaat.
 Berbagai keunggulan agribisnis/agroindustri seperti disebut di
muka jelas bisa dijadikan dasar untuk menetapkan
pengembangan agroindustri, paling tidak, sebagai suatu
andalan {a leading sector) dalam era 'industriaiisasi pada abad
ke-21 mendatang (Saragih, 1997) yaitu:
1. Broad-base industry yang lebih banyak mengandalkan
footlose industiy dan substitusi impor yang dalam
kenyataannya selama ini banyak sekali membebani
neraca pembayaran luar negeri kita kerena komponen
impor yang sangat tinggi. Kebijaksanaan industriaiisasi
seperti ini Juga telah terbukti tidak banyak menolong
dalam memperluas kesempatan kerja di luar sektor per
tanian dan pedesaan. Alih teknologi dari footlose
industry tersebut, seperti otomotif, selama 25 tahun juga
ternyata tidak menghasilkan seperti yang diharapkan.
Bagaimanapun juga, negara asal teknologi dalam
footlose industry tersebut "tidak akan melepas seluruh
teknologinya dan tetap berusaha mendapatkan rente
{economic rent) dari teknologi yang diciptakan tersebut;
2. Hi-tech industry, yang dengan kapasitas sumber daya
manusia kita yang ada dewasa ini, ternyata sangat
terbatas kemampuannya untuk diterapkan. Harapan-
harapan untuk menguasai low and intermediate
technology ternyata masih jauh dari yang diharapkan
bahkan diperlukan dukungan sektor lain untuk
pembiayaannya.
3. Perluasan akses pasar ke berbagai negara yang depat
ditembus. Ini bisa dilakukan oleh pemrintah jlka ada
komitmen yang tinggi lentang pengembangan sektor
agribisnis. Dengan adanya otononi daerah, sehingga
keleluasaan pemerintah daerah dalam mengambil
kebijakan makin besar harus digunakan untuk membuka
peluang yang selebar-lebarnya bagi pengembangan
agribisnis.
DAYA SAING (COMPETITIVENESS)
 Kunci dalam meningkatkan daya saing adalah :
produktivitas, efisiensi, mutu barang dan transportasi.
 Kalau kita tarik kebelakang, dibalik keempat faktor
tersebut, semuanya akan dipengaruhi oleh kegiatan proses
produksi sejak dari hulu sampai dengan produk akhir,
termasuk didalamnya cara-cara pengorganisasian produksi
dan sturktur pasar.
 Di atas semua itu faktor-faktor upah dan produktivitas
tenaga kerja, kondisi prasarana dan kondisi lingkungan
usaha merupakan faktor-faktor diluar badan usaha yang
sangat besar pengaruhnya pada daya saing usaha.
 Pada dasarnya dalam kenyataan yang bersaing bukannya
pemerintah akan tetapi perusahaan-perusahaan yang
menghasilkan barang-barang dan jasa-jasa.
 Oleh karena itu salah satu komponen penting untuk
meraih daya saing yang kuat adalah "good management
practice" yarig harus menjadi pegangan utama pelaku-
pelaku business.
 Salah satu komponen penting adalah kegiatan R&D
dan inovasi. Peranan pemerintah dalam hal ini adalah
menciptakan "suasana" yang kondusif bagi dunia usaha
untuk melaksanakan peranannya dengan baik.
 Untuk meningkatkan daya saing dihadapkan pada
keharusan untuk memilih sektor dan komoditi andalan
yang ingin kita kembangkan.
 Demikian pula produk-produk. yang spesifik serta
memiliki segmen pasar yang unik seperti hasil-hasil
kerajinan merupakan andalan ke depan.
 Produk-produk pertanian dan olahannya merupakan
komoditi yang memnberikan harapan. Namun pada waktu
sekarang, dampak dari kesepakatan Uruguay Round/
WTO belum dapat dirasakan secara penuh, karena periode
pelaksanaan komitmen belum sampai pada batas waktu,
yaitu tahun 2001 untuk negara-negara maju dan tahun
2004 untuk negara-negara beikembang.
 Diharapkan penghapusan Non Tariif Barries (NTB),
penurunan tariff, perbaikan akses pasar dan pengurangan
Aggegate Measures of Support (AMS) serta penurunan
subsidi ekspor akan memperbaiki daya saing produk-
produk pertanian kita.
 Pada sisi lain kita menghadapai tantangan dari segi
persyaratan standart kualitas, utamanya SPS dan persyaratan
ISO yang masih harus kita penuhi. Dalam pada itu, dalam
suasana glo balisasi ekonomi, untuk memilih sektor/
komoditi andalan, tidak hanya ketentuanketentuan
GATT/WTO saja harus diperhatikan dan dimanfaatkan.
Strategi dan tingkah laku FDl (Foeign Direct Investment) dan
MNC (Multinational Corporations) harus kita perhatikan dan
selanjutnya kita manfaatkan.
 Strategi MNC misalnya untuk menempatkan produksi di
beberapa negara atas landasan dimana yang paling murah,
harus kita songsong dengan balk . Ada trend "economies of
scale" digantikan oleh "economies of network" (Djisman S.
Simanjutak). Tidak ada salahnya, kita mengkonsentrasikan
pada pengembangan industri komponen, menjadi pemasok
yang unggul dalam konteks global.
FAKTOR-FAKTOR PENENTU DAYA SAING
 Ada beberapa faktor yang mempengaruhi daya saing
sebuah produk, maupun daya saing suatu daerah dalam
pengembangan perekonomiannya.
 Beberapa studi seperti Kuncoro (1997) menunjukkan bahwa
unit usaha memilih suatu daerah dan jenis usaha yang memiliki
sarana dan prasarana serta faktor lain agar prduknya dapat
memliki daya saing tinggi. Faktor-faktor tersebut adalah :
1. Prasarana Fisik
Pengalaman dan pengamaian rill menunjukkan bahwa
tersedianya prasarana dalam bentuk penyediaan tenaga
listrikyang tidak terputus-putus merupakan faktor penting
mengapa seorang investor memilih suatu daerah. Studi Bank
Dunia secara tidak langsung Juga mengkonfirmasikan hal ini
dengan menunjukkan bahwa variabel yang menentukan
perbedaan pendapatan antar daerah adalah infrastruktur.
2. Keanekaragaman Lingkungan Usaha
Faktor penting yang membuat suatu unit usaha memilih suatu daerah adalah
telah adanya kegiatan industri tersebut di masa lalu. Adanya lingkungan
industri yang sejenis akan menurunkan ketidakpastian terutama mengenai
informasi pasar, penyediaan input danarah inovasi. Hal lain yang penting
disini adalah kematangan lingkungan industri. Suatu lokasi yang
didominasi olehperusahaan-perusahaan yang. telah berkecimpung lama
dalam bidang usaha tersebut merupakan pertanda kematangan daerah
tersebut.-
3. Iklim Usaha
Secara empiris agak sukar untuk menangkap iklim usaha dari suatu daerah.
Dengan menggunakan suatu indeks yang disusun dari biaya-biaya yang
tidak berhubungan langsung dengan produksi dapat. ditunjukkan bahwa
unit-unit usaha di sektor manufaktur pada tahun 1990-an mulai dipengaruhi
oleh perbedaan iklim usaha antar daerah seperti yang terjadi jika model ini
diaplikasikan pada kasus. antaranegara. Dengan makin luasnya
desentralisasi perijinan ke daerah, maka perbedaan pungutan yang
dilakukan oleh birokrasi daerah mulai mempengaruhi pola pemilihan
lokasi.
4. Akses
Berlainan dengan negara-negara lain seperti Eropa, Jepang dan
USA dimana faktor akses ke pusat-pusat bisnis tidak begitu
mempengaruhi pola lokasi investasi, di Indonesia pengaruh
akses ini sangat kuat. Kedekatan dengan lokasi institusi
pemberi ijin tampaknya masih menjadi pertimbangan utama
pemilihan lokasi.
5. Inovasi Teknologi Dengan adanya penguasaan teknologi baru,
maka akan dapat meningkatkan kualitas output dan
peningkatan produkstifitas input. Inovasi teknologi dapat
dilakukan dengan adanya komitment inves tasi pada
pengembangan research and development.
6. Peningkatan Kualitas SDM Peningkatan kualitas SDM
merupakan kebijakan yang tak dapat ditunda, karena hanya
dengan kualitas SDM yang handal, maka proses produksi akan
berjalan baik.
KEBIJAKAN PERDAGANGAN
INTERNASIONAL KOMODITAS
PERTANIAN INDONESIA
PERKEMBANGAN PERDAGANGAN KOMODITAS
PERTANIAN INDONESIA
 Komoditas pertanian Indonesia yang diperdagangkan di
pasar internasional, dapat dibedakan atas komoditas
substitusi impor dan komoditas promosi ekspor.
 Dalam bagian ini akan dibahas status perdagangan kedua
kelompok komoditas itu.
 Komoditas Substitusi Impor
Dalam perjanjian WTO bidang pertanian disebutkan bahwa
subsidi domestik masih memungkinkan untuk diberikan. setelah
pemerintah mencabut subsidi pupuk sejak 1 Desember 1998.
Beras
 Laju pertumbuhan produksi beras selama 1995-2002 hanya 0,1 persen,
sementara impor dan ketersediaan meningkat masing-masing sebesar
226,8 persen dan 0,8 persen.
 Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia sangat tergantung kepada beras
impor, sementara upaya peningkatan produksi beras belum berjalan
secara optimal.
 Kenyataan ini dicirikan oleh rata-rata produksi beras selama 5 tahun
terakhir, yang hanya mampu memenuhi sekitar 90 persen dari total
perkiraan konsumsi di dalam negeri.
 Dengan demikian, kebijaksanaan untuk terus meningkatkan produksi
beras dalam rangka mencapai ketahanan pangan nasional masih tetap
relevan.
 Rendahnya pertumbuhan produksi beras di dalam negeri terkait dengan
berbagai faktor, antara lain:
(1) Terjadi penurunan tingkat rendemen padi, akibat penerapan teknologi
yang tidak sesuai dengan anjuran, serta penggunaan mesin-mesin tua
oleh sebagian besar RMU (Rice Milling Unit) di Indonesia.
(2) Berkurangnya insentif dan rendahnya harga gabah saat
panen raya, telah mendorong petani untuk melakukan
pilihan terhadap komoditas yang akan diusahakan. Hal ini
terlihat dari fluktuasi luas panen padi di Jawa dan Luar
Jawa;
(3) Peningkatan harga pupuk dan pestisida, serta upah tenaga
kerja pasca krisis ekonomi, telah menyebabkan petani
menurunkan tingkat intensifikasi yang diterapkan.
Akibatnya, produktivitas usahatani padi cenderung untuk
terus menurun; dan
(4) Berbagai program yang digulirkan pemerintah, seperti
Raskin (beras untuk masyarakat miskin), ternyata telah
merusak mekanisme pasar beras di dalam negeri. Dalam
kondisi demikian, upaya peningkatan produksi beras melalui
peningkatan harga dasar dan penerapan tarif impor tidak
akan mencapai sasarannya.
Jagung
Pesatnya perkembangan usaha peternakan ayam ras di Indonesia
merupakan faktor utama yang mendorong pesatnya laju
permintaan jagung di pasar domestik, sehingga volume impor
terus mengalami peningkatan. Selama 1995-2002 rata-rata
konsumsi jagung nasional hanya mampu dipenuhi sekitar 92
persen dari produksi domestik (Tabel 3). Total ketersediaan
selama kurun waktu tersebut meningkat 2,3 persen per tahun, dan
angka ini sedikit di bawah laju kenaikan produksi. Selain sebagai
negara pengimpor, Indonesia juga melakukan ekspor jagung.
Selama 1995-2002 laju impor jagung meningkat sebesar
22,3persen, sementara laju ekspor sejak tahun 1998 menunjukkan
kecenderungan yang menurun. Dalam upaya peningkatan
produksi jagung, pemerintah saat ini mengalami dilema. Pada
satu sisi peningkatan produksi berjalan lamban, sehingga sejak
tahun 1998 telah terjadi kenaikan impor jagung sebanyak dua kali
lipat dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Kenaikan impor ini sangat dibutuhkan, karena laju
konsumsi untuk pabrik pakan ternyata lebih besar dari
peningkatan produksi di dalam negeri. Namun pada sisi
lain pemerintah memerlukan pertimbangan khusus apabila
akan mengurangi impor melalui tarifikasi, karena upaya
ini justru akan mematikan usaha peternakan di Indonesia.
Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat
produktivitas jagung di Indonesia masih rendah,
sementara harga jagung C&F asal Cina hampir setara
dengan harga jagung di tingkat perdagangan besar.
Dengan latar belakang demikian, maka upaya peningkatan
produksi jagung dapat ditempuh melalui perbaikan
teknologi produksi di tingkat petani.
Kedelai
Produksi kedelai di dalam negeri saat ini hanya mampu
memenuhi sekitar 32 persen konsumsi domestik, sedangkan
sisanya harus diperoleh melalui impor. Permintaan impor
meningkat per tahun. Peningkatan volume impor yang tajam
atau meningkat hampir 300 persen dibandingkan impor tahun
sebelumnya. Sebaliknya, produksi kedelai di dalam negeri
selama kurun waktu yang sama. Impor kedelai diperkirakan
akan makin besar pada tahun-tahun mendatang, karena
adanya kemudahan tataniaga impor, berupa dihapusnya
monopoli Bulog sebagai importir tunggal serta
dibebaskannya bea masuk dan pajak pertambahan nilai (PPN)
kedelai. Disamping itu, negara eksportir kedelai terbesar
dunia, seperti Amerika Serikat, juga menyediakan subsidi
ekspor, sehingga merangsang importir kedelai di Indonesia
untuk memanfaatkan fasilitas itu.
Dari segi ketersediaan, produksi kedelai di dalam negeri hanya
mampu menyediakan sekitar 32 persen dari kebutuhan domestik.
Dengan kebutuhan domestik yang besar dan penguatan nilai tukar
rupiah, maka harga kedelai impor jauh lebih rendah dibandingkan
dengan harga kedelai di dalam negeri. Untuk itu upaya
peningkatan produksi perlu diimbangi dengan penerapan tarif
impor, sehingga petani mendapat management fee yang layak
dari usahatani kedelai.
Gula
Konsumsi gula di Indonesia diperkirakan akan terus meningkat,
sebagai akibat dari peningkatan jumlah penduduk, peningkatan
pendapatan masyarakat, serta pertumbuhan industri makanan dan
minuman. Peningkatan ketersediaan yang kecil ini terjadi akibat
kenaikan harga gula, sehingga konsumsi per kapita secara drastis.
Namun terjadinya deregulasi industri gula telah menyebabkan
terjadinya penurunan produksi, sehingga impor gula mengalami
peningkatan setiap tahun
Ironisnya, di saat kebutuhan konsumsi meningkat, produksi
gula di dalam negeri menurun sangat tajam. Penurunan
produksi terus berlanjut. Keragaan seperti itu, laju
pertumbuhan produksi menurun, sementara ketersediaan gula
untuk kebutuhan konsumsi meningkat. Impor gula mengalami
kecenderungan yang menurun, diduga terkait dengan
penerapan tarif impor gula yang mulai berlaku sejak tanggal 1
Januari 2000.
Daging Sapi
Permintaan daging sapi di Indonesia saat ini terus meningkat,
seiring dengan kenaikan pendapatan masyarakat dan
perubahan selera ke arah daging yang bermutu. Produksi
daging sapi di Indonesia meningkat per tahun, sementara
impor meningkat. Peningkatan impor yang tinggi ini sebagian
besar ditujukan untuk daging berkualitas yang tidak dapat
dipenuhi melalui produksi di dalam negeri.
Susu
Industri susu nasional saat ini menggunakan sekitar 75 persen
bahan baku susu olahan yang berasal dari impor. Tingginya
penggunaan susu impor ini terkait dengan rendahnya laju
produksi susu sapi di Indonesia, sehingga kebutuhan impor
menunjukkan peningkatan yang tajam. Produksi susu di
Indonesia hanya meningkat dengan laju 3,1 persen, sementara
impor susu meningkat dengan laju 15,7 persen. Kenaikan impor
susu tertinggi terjadi peningkatan hampir dua kali lipat
dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Untuk melindungi
peternak sapi perah di dalam negeri, pemerintah sampai saat ini
masih menerapkan tarif impor terhadap susu dan produk susu.
Besaran tarif yang diterapkan adalah 40 persen untuk condensed
milk, 30 persen untuk wholemilk powder dan butter, 20 persen
untuk cheese, 15 persen untuk skimmilk powder, dan 5 persen
untuk AMF. Dengan tingkat tarif seperti itu, produksi susu di
dalam negeri diharapkan dapat terus meningkat.
Komoditas Promosi Ekspor
Karet
Produksi dan ekspor karet alam dunia sampai saat ini masih
didominasi oleh tiga negara, yaitu Thailand, Indonesia dan Malaysia
dengan proporsi masing-masing sebesar 33 persen, 25 persen dan 13
persen dari total produksi dunia (Dradjat dan Nancy, 2000a; Wahyudi
et al., 2001). Sampai tahun 1990 Malaysia masih merupakan produsen
karet alam terbesar dunia yang disusul dengan Thailand dan Indonesia.
Thailand mengambil alih posisi tersebut yang diikuti oleh Indonesia
dan Malaysia (Tabel 8), setelah Malaysia yang secara tradisional
merupakan produsen karet alam melakukan konversi ke tanaman yang
lebih prospektif, utamanya kelapa sawit. Sejak tahun 1999 muncul
negara pesaing baru, yaitu Vietnam. Selama 1997-2002 laju ekspor
karet negara ini mencapai lebih dari 21,1 persen, di mana volume dan
nilai ekspor karet tahun 2002 mencapai lebih dari 448 ribu ton dan US
$ 229 juta. Laju ekspor karet alam dari Vietnam yang tinggi ini telah
menyebabkan terjadinya kelebihan pasokan di pasar dunia, sehingga
harga karet alam di pasar dunia cenderung untuk terus menurun.
besar ditujukan untuk industri ban dan komponen-
komponennya (72 persen), dengan negara importir utama
adalah Amerika Serikat (25 persen), Jepang (14 persen),
China (9 persen), Korea Selatan (6 persen) dan Jerman (5
persen) (Wahyudi et al., 2001a). Dalam tahun 1997 stok
karet alam dunia diperkirakan mencapai lebih dari dua juta
ton, di mana sekitar 35 persen dikuasai oleh negaranegara
konsumen (Dradjat dan Nancy, 2000a).
Ada tujuh negara yang menjadi tujuan utama ekspor smoke
sheet Indonesia, yaitu Amerika Serikat, China, Jepang,
Federasi Rusia, Jerman, Singapura dan Belgia. Volume dan
nilai ekspor smoke sheet Indonesia selama 1995-2002
menunjukkan penurunan dengan laju 1,6 persen dan 8,3
persen. Dalam tahun 1995 nilai ekspor komoditas ini
mencapai US $ 93,6 juta, tetapi tahun 2002 menurun menjadi
US $ 31,9 juta (Tabel 9).
Ekspor SIR (Standar Indonesia Rubber) 10 Indonesia
sebagian besar ditujukan ke tujuh negara, yaitu Amerika
Serikat, Luxemburg, China, Belgia, Brazil, Jerman dan
Singapura. Selama 1995-2002 volume dan nilai ekspor SIR
10 menunjukkan penurunan dengan laju 3,5 persen dan 10,7
persen. Dalam tahun 1995 nilai ekspor sheet mencapai US $
119,7 juta, dan tahun 2002 menurun drastis menjadi US $
42,9 juta.
Ekspor SIR 20 Indonesia sebagian besar ditujukan ke tujuh
negara, yaitu Amerika Serikat, Jepang, China, Singapura,
Korea Selatan, Jerman dan Kanada. Selama 1995-2002 nilai
ekspor SIR 20 menunjukkan penurunan dengan laju 6,4
persen, sementara volume ekspor meningkat dengan laju 3,3
persen. Dalam tahun 1995 nilai ekspor SIR 20 Indonesia
sebesar US $ 1.595,5 juta, dan angka ini menurun menjadi
US $ 879,3 juta pada tahun 2002.
Dari ulasan di atas terlihat bahwa selama 1995-2002 harga ekspor
karet alam Indonesia di pasar dunia mengalami penurunan. Penurunan
ini terjadi akibat kelebihan pasokan, pada tingkat permintaan dunia
yang relatif stabil. Namun tingkat harga ini diperkirakan akan kembali
meningkat, setelah mengalami shock pada bulan September 1999
(Dradjat dan Nancy, 2000b). Meskipun demikian, penurunan harga ini
telah mendorong produsen karet alam dunia untuk melakukan
kesepakatan pengendalian produksi (Wahyudi et al., 2001).
Kopi
Perdagangan kopi di pasar dunia saat ini dikuasai oleh kopi Arabika
dengan pangsa pasar lebih dari 75 persen, sedangkan sisanya diisi oleh
kopi Robusta. Akibatnya, jika terjadi perubahan volume perdagangan
kopi Arabika akan berdampak langsung terhadap permintaan kopi
Robusta. Kopi Arabika merupakan jenis kopi yang dihasilkan oleh
negara-negara di Amerika Latin, terutama Brazil dan Kolumbia.
Sedangkan kopi Robusta banyak dihasilkan oleh negara-negara yang
berada di daerah tropis di kawasan Asia Pasifik dan Afrika, seperti
Indonesia dan Vietnam.
Sebagai produsen utama kopi dunia, volume ekspor kopi Brazil
selama 1997-2002 meningkat dengan laju 14,4 persen, dengan
volume ekspor tertinggi dicapai pada tahun 2002 sebesar lebih
dari 1,5 juta ton (Tabel 10). Dalam periode yang sama volume
ekspor kopi India meningkat dengan laju 4,8 persen, sementara
Thailand menurun dengan laju 8,5 persen. Dalam periode 1997-
2002 juga terlihat bahwa nilai ekspor kopi menunjukkan
penurunan di tengah peningkatan volume ekspor kopi Brazil dan
India.
Hal ini menunjukkan bahwa harga kopi di pasar dunia
menunjukkan kecenderungan yang menurun. Importir utama
kopi dunia masih diduduki oleh Amerika Serikat yang diikuti
oleh Jerman, Perancis, Jepang dan Italia. Selain sebagai
konsumen utama kopi dunia, Amerika Serikat juga melakukan
ekspor kopi olahan. Secara keseluruhan konsumsi kopi dunia
mengalami peningkatan yang cukup stabil, dengan laju sebesar
1,9 persen/tahun (Herman dan Wardhani, 2000).
Kopi Arabika dan kopi Robusta memiliki hubungan yang bersifat
komplementer, karena industri pengolahan kopi menjadikan kopi
Robusta sebagai pencampur bagi kopi Arabika (Wahyudi et al.,
2001). Saat ini ekspor kopi Indonesia terdiri atas kopi Arabika, kopi
Robusta dan kopi lainnya. Volume dan nilai ekspor kopi Arabika
selama 1995-2002 mengalami kenaikan dengan laju 20,3 persen dan
14,3 persen. Dalam tahun 1995 nilai ekspor kopi Arabika mencapai
US $ 51,8 juta, tetapi tahun 1996 menurun drastis menjadi US $ 28,3
juta. Dalam tahun-tahun berikutnya nilai ekspor kopi Arabika terus
meningkat dan mencapai US $ 76,9 juta pada tahun 2002 (Tabel 11).
Volume ekspor kopi Robusta selama 1995-2002 menunjukkan
kenaikan dengan laju 8,9 persen, sementara nilai ekspor
menunjukkan penurunan sebesar 12,6 persen. Nilai ekspor kopi jenis
ini pada tahun 1995 mencapai US $ 501,3 juta, dan meningkat
menjadi US$ 512,7 juta pada tahun 1998. Setelah itu nilai ekspor ini
terus menurun, di mana pada tahun 2002 hanya sebesar US$ 135,2
juta. Untuk kopi jenis lainnya terlihat terjadinya kenaikan volume
dan nilai ekspor, masing-masing sebesar 26,5 persen dan 9,2 persen.
Coklat Produksi dan perdagangan coklat dunia saat ini
dikuasai oleh tiga negara, yaitu Pantai Gading Afrika, Ghana
dan Indonesia. Pada tahun 2000 Pantai Gading Afrika
menguasai pasar ekspor dengan pangsa sekitar 43 persen,
sedangkan Ghana dan Indonesia masing-masing sebesar 15
persen dan 14 persen (Herman, 2000; Wahyudi et al., 2001).
Negara eksportir coklat dunia lainnya dengan volume dan
nilai ekspor yang lebih kecil adalah Brazil, Malaysia dan
India (Tabel 12). Volume dan nilai ekspor coklat dari Brazil
selama 1997-2002 meningkat dengan laju 2,8 persen dan
17,0 persen. Demikian pula untuk Malaysia yang
menunjukkan kenaikan dengan laju 5,1 persen untuk volume
ekspor dan 9,1 persen untuk nilai ekspor. Besarnya laju
kenaikan nilai ekspor dibandingkan dengan volume ekspor
ini menunjukkan bahwa harga coklat di pasar dunia
menunjukkan kecenderungan yang meningkat.
Importir utama coklat dunia adalah Amerika Serikat, Belanda,
Jerman, Inggris dan Perancis. Negara-negara tersebut selama ini
juga merupakan pengolah coklat utama dunia, sehingga bersifat
disinsentif terhadap negara produsen coklat. Hal ini terlihat dari
penerapan tarif yang tinggi bagi produk olahan berbahan dasar
coklat, yang menyebabkan industri hilir negara-negara produsen
coklat tidak berkembang (Wahyudi et al., 2001).
Ekspor biji coklat Indonesia terutama ditujukan ke Amerika
Serikat, yang disusul dengan Singapura dan Malaysia (Herman,
2000). Volume dan nilai ekspor biji coklat Indonesia selama
1995-2002 mengalami kenaikan dengan laju 11,2 persen dan
17,6 persen. Dalam tahun 1995 nilai ekspor biji coklat Indonesia
sebesar US $ 224,5 juta, dan angka ini meningkat menjadi US $
382,5 juta pada tahun 1998. Pada tahun 2002 nilai ekspor ini
meningkat lagi menjadi US $ 521,3 juta (Tabel 13).
Volume dan nilai ekspor coklat bubuk Indonesia selama 1995-2002
menunjukkan peningkatan masing-masing sebesar 23,5 persen dan
49,7 persen. Nilai ekspor coklat bubuk pada tahun 1995 sebesar
US $ 5,5 juta, dan angka ini terus meningkat dan mencapai US $
49,3 juta pada tahun 2002. Sementara itu volume ekspor coklat
olahan menujukkan kenaikan dengan laju 14,7 persen, sedangkan
nilai ekspor juga meningkat sebesar 12,1 persen. Nilai ekspor
coklat olahan pada tahun 1995 sebesar US $ 62,7 juta, dan angka
ini meningkat menjadi US $ 96,1 juta pada tahun 1998. Setelah itu
nilai ekspor coklat olahan ini terus menurun, tetapi dalam tahun
2002 meningkat lagi menjadi US $ 103,2 juta.
Lebih besarnya laju volume ekspor coklat olahan asal Indonesia
dibandingkan nilai ekspor mencerminkan terjadinya penurunan
harga. Penurunan harga coklat olahan ini disebabkan oleh
terjadinya kelebihan pasokan di pasar dunia, serta penerapan tarif
impor oleh Amerika Serikat, Uni Eropa dan Jepang berturut-turut
sebesar 18 persen, 17 persen dan 16 persen (Gibson et al., 2001).
Crude Palm Oil (CPO)
Produksi CPO dunia sampai saat ini menunjukkan peningkatan. Dalam
tahun 1995 produksi CPO dunia diperkirakan sekitar 15,2 juta ton.
Tingkat produksi ini terus meningkat, dan tahun 2000 mencapai lebih
dari 18,5 juta ton (Buana dan Fadjar, 2000). Saat ini produksi dan
perdagangan CPO dunia dikuasai oleh dua negara, yaitu Malaysia dan
Indonesia. Pangsa ekspor yang dikuasai oleh kedua negara tersebut pada
tahun 2000 masing-masing sebesar 66 persen dan 22 persen (Wahyudi et
al., 2001).
Negara produsen CPO lain di kawasan ASEAN adalah Thailand dan
Vietnam. Volume dan nilai ekspor CPO Thailand selama 1997-2002
meningkat dengan laju 65,1 persen dan 32,6 persen, sedangkan Malaysia
hanya meningkat dengan laju 7,4 persen dan 0,2 persen (Tabel 14).
Sementara itu, volume dan nilai ekspor CPO Vietnam meningkat dengan
laju 4,2 persen. Peningkatan ekspor CPO dari Thailand perlu diamati,
karena pada tahun 2001 mencapai 180 ribu ton, meskipun tahun 2002
kembali menurun menjadi sekitar 82 ribu ton. Secara keseluruhan,
selama 1995-2000 volume ekspor CPO dunia meningkat dengan laju 2,2
persen (Buana dan Fadjar, 2000).
Ekspor CPO dunia mendapat saingan dari minyak nabati lain,
utamanya minyak kedelai. Dalam tahun 1997 pangsa ekspor
CPO sebesar 35 persen dari ekspor minyak nabati dunia,
sedangkan minyak kedelai sebesar 23 persen (Wahyudi et al.,
2001). Pangsa ekspor CPO ini terus meningkat, di mana pada
tahun 2000 mencapai 41 persen dari total ekspor minyak nabati
dunia. Untuk melindungi produksi minyak nabati domestiknya,
Amerika Serikat dan Jepang menerapkan tarif impor sebesar 17
persen dan 72 persen (Gibson et al., 2001).
Ekspor CPO Indonesia sebagian besar didominasi oleh minyak
kelapa sawit dan minyak biji kelapa sawit. Ekspor minyak
kelapa sawit (CPO) Indonesia terutama ditujukan ke Belanda,
India, Jerman, Italia dan China. Selama 1995-2002 volume
ekspor CPO Indonesia meningkat sebesar 35,8 persen, sementara
nilai ekspor meningkat dengan laju 23,0 persen. Dalam tahun
1995 nilai ekspor CPO sebesar US $ 590,5 juta, dan angka ini
meningkat menjadi US $ 892,0 juta pada tahun 2002 (Tabel 15).
Minyak biji kelapa sawit merupakan salah satu komoditas ekspor yang mulai
dikembangkan sejak tahun 1988. Ekspor komoditas ini bersama produk
sawit lainnya terutama ditujukan ke Belanda, Amerika Serikat, Brazil,
Spanyol dan Italia. Selama 1995-2002 volume dan nilai ekspor minyak sawit
lainnya meningkat masing-masing dengan laju 61,4 persen dan 46,9 persen.
Nilai ekspor komoditas ini meningkat dari US $ 156,9 juta pada tahun 1995
menjadi US $ 1.200,4 juta pada tahun 2002.
Lada
Produksi dan perdagangan lada dunia saat ini dikuasai oleh tujuh negara,
yaitu India, Indonesia, Brazil, Vietnam, Malaysia, Thailand dan China.
Dalam tahun 1995 pangsa produksi lada India mencapai 30,2 persen,
Indonesia 18,1 persen, Brazil dan Vietnam 12,1 persen, Malaysia 10,9
persen, Thailand 6,2 persen dan China sebesar 6,0 persen (Departemen
Perindustrian dan Perdagangan, 1995). Volume dan nilai ekspor lada dari
China dan Thailand selama 1997-2002 menunjukkan peningkatan. Volume
dan nilai ekspor lada dari China meningkat dengan laju 46,0 persen dan 30,0
persen, sementara Thailand juga meningkat dengan laju 4,5 persen dan 0,2
persen (Tabel 16). Sedangkan untuk India terlihat bahwa volume dan nilai
ekspor menurun masing-masing dengan laju 7,0 persen dan 17,6 persen.
Ekspor lada Indonesia dalam bentuk lada putih, lada hitam dan lada
bubuk sebagian besar ditujukan ke Singapura, Amerika Serikat,
Jerman, Jepang dan Belanda (Damanik, 2001). Selama 1995-2002
volume dan nilai ekspor lada hitam Indonesia mengalami kenaikan
masing-masing sebesar 16,5 persen dan 11,8 persen. Dalam tahun
1995 nilai ekspor lada hitam Indonesia mencapai US $ 47,9 juta,
dan angka ini meningkat menjadi hampir US $ 96,0 juta pada tahun
2000. Namun pada tahun 2002 nilai ekspor ini menurun drastis
menjadi US $ 29,2 juta . Volume ekspor lada putih Indonesia
selama 1995-2002 mengalami kenaikan sebesar 18,8 persen,
sementara nilai ekspor juga meningkat sebesar 11,7 persen. Dalam
tahun 1995 nilai ekspor lada putih mencapai US $ 52,5 juta, dan
angka ini meningkat menjadi US $ 137,4 juta pada tahun 1999.
Nilai ekspor tersebut selanjutnya menurun lagi dan mencapai US $
59,0 juta pada tahun 2002. Untuk nilai ekspor komoditas lada
lainnya juga terlihat kecenderungan yang meningkat, meskipun
pada tahun 2002 hanya mencapai US $ 1,1 juta.
KEBIJAKAN PERDAGANGAN KOMODITAS
PERTANIAN MASA MENDATANG
Kebijakan perdagangan komoditas pertanian Indonesia
dapat dibedakan atas peran komoditas itu dalam
perdagangan internasional, yaitu:
(1) Melakukan proteksi terhadap komoditas substitusi
impor, khususnya komoditas-komoditas yang banyak
diusahakan oleh petani. Komoditas yang dijadikan
pilihan untuk mendapat proteksi adalah beras, jagung,
kedelai dan gula;
(2) (2) Melakukan promosi terhadap komoditas-komoditas
promosi ekspor, khususnya komoditas-komoditas
perkebunan yang banyak diusahakan oleh petani.
Komoditas yang dijadikan pilihan untuk mendapat
promosi adalah karet, kopi, coklat, CPO dan lada.
Untuk operasionalisasi kebijakan yang harus diemban pemerintah,
perlu diperhatikan tiga pilar yang merupakan elemen kebijakan yang
terdapat dalam perjanjian perdagangan komoditas pertanian (AoA).
Ketiga pilar itu adalah: (1) Akses pasar; (2) Subsidi domestik; dan (3)
Subsidi ekspor. Ketiga pilar itu terkait yang satu dengan yang
lainnya, sehingga tidaklah tepat apabila melihat perjanjian itu dari
aspek akses pasar saja, dengan melupakan pilar yang lainnya. Subsidi
ekspor komoditas pertanian yang dilakukan oleh suatu negara,
misalnya, akan berdampak luas terhadap pasar ekspornya, sehingga
berpengaruh buruk terhadap daya saing ekspor negara lain yang tidak
memberikan subsidi ekspor. Demikian pula subsidi domestik yang
diberikan oleh suatu negara terhadap petaninya, dapat menimbulkan
persaingan yang tidak sehat, karena petani di negara itu mampu
menghasilkan produk dengan biaya yang lebih rendah. Dalam
konteks ini, perhatian yang selama ini diberikan oleh pemerintah
terhadap akses pasar untuk komoditas beras, jagung, kedelai dan
gula, hendaknya dapat diperluas dengan memanfaatkan pilar-pilar
lainnya serta mencakup berbagai komoditas promosi ekspor.
Untuk itu, kebijakan perdagangan komoditas pertanian
dalam jangka menengah dan jangka panjang, harus
didasarkan atas sasaran sebagai berikut: 1. Memberikan
proteksi terhadap komoditas beras, agar 95 persen dari
kebutuhan nasional dapat dipenuhi dari produksi beras di
dalam negeri; 2. Memberikan proteksi terhadap komoditas
jagung, kedelai dan gula, agar 80 persen dari kebutuhan
nasional dapat dipenuhi dari produksi jagung, kedelai dan
gula di dalam negeri; 3. Meningkatkan ekspor CPO
dengan laju 10 persen/tahun, sementara untuk komoditas
karet, kopi, coklat dan lada dapat meningkat dengan laju 5
persen/tahun; 4. Menyediakan subsidi domestik dalam
bentuk subsidi pupuk dan bunga kredit, sehingga para
petani dapat meningkatkan kualitas dan produktivitas
produk yang dihasilkan.
Satu catatan yang harus diperhatikan dalam kebijakan
perdagangan di Sektor Pertanian adalah adanya keberpihakan
pemerintah ke pada petani produsen. Contoh klasik dari ketidak-
berpihakan pemerintah terhadap petani produsen, terlihat dari
penerapan pajak ekspor produk-produk minyak sawit dengan
suatu skema yang menetapkan harga patokan kena pajak. Untuk
CPO ditetapkan harga patokan sebesar US $ 435/ton, dan apabila
harga fob di atas itu, maka selisihnya akan dikenakan pajak
ekspor dengan tingkatan yang berbeda. Penerapan kebijakan ini
ternyata tidak saja merugikan petani kelapa sawit dan produsen
CPO, tetapi juga memberikan efek yang negatif terhadap
penerimaan pemerintah (Marks et al., 1998). Fenomena ini
sesuai dengan ungkapan Kravis (1970) yang menyatakan bahwa
ekspor Sektor Pertanian tidak pernah memperoleh insentif yang
memadai untuk berkembang, sehingga petani produsen tetap
menghadapi berbagai kesulitan di tengah peningkatan
permintaan pangan dunia.
Untuk mencapai sasaran perdagangan komoditas pertanian seperti diuraikan
di atas, maka diperlukan kebijakan program sebagai berikut: 1. Program
peningkatan kualitas dan daya saing komoditas beras, jagung, kedelai dan
gula melalui peningkatan efisiensi pada kegiatan produksi, pasca panen dan
pengolahan hasil; 2. Program Penelitian dan Pengembangan Padi, Jagung
dan Kedelai yang diarahkan untuk menciptakan dan mengembangkan
varietas yang sesuai dengan permintaan di pasar domestik dan pasar dunia.
Untuk itu, orientasi penelitian pemuliaan dan bioteknologi tanaman pangan
harus diubah, dari menghasilkan varietas yang berdaya hasil tinggi menjadi
varietas dengan kualitas yang sesuai dengan permintaan. 3. Program
Pengembangan Industri Pertanian, khususnya komoditas perkebunan, yang
berorientasi pada pengembangan produk-produk yang sesuai dengan
permintaan di pasar dunia. Cepatnya perubahan permintaan di pasar dunia
harus dapat diantisipasi, sehingga produk ekspor yang dihasilkan dapat
dijual dengan harga yang lebih tinggi. 4. Sementara itu, Atase Perdagangan
dan Atase Pertanian yang ada dapat dimanfaatkan sebagai “intelijen” yang
memberikan informasi terhadap setiap perubahan perilaku konsumen di
negara-negara tujuan ekspor. Dengan demikian, industri pertanian di dalam
negeri dapat melakukan penyesuaian terhadap perubahan permintaan di
pasar dunia.

Anda mungkin juga menyukai