Pengertian paling mendasar dari proses globalisasi adalah perluasan dan pendalaman integrasi pasar barang, jasa dan keuangan antar negara-negara di dunia. Dalam dasawarsa terakhir ini proses globalisasi dan integrasi telah mengalami akselerasi karena dorongan universal untuk liberalisasi dan perubahan teknologi pada berbagai bidang, sehingga pada akhirnya berpengaruh terhadap akselerasi internasional produksi dan distribusi. Berbagai indikator yang sering digunakan sebagai ukuran globalisasi adalah rasio perdagangan luar negeri terhadap pendapatan nasional, rasio antara penanam modal asing terhadap pendapatan nasional dan trend pertumbuhan arus modal. Semua indikator tersebut secara agregat mengukur tingkat keterlibatan antar negara dalam kurun waktu ini telah meningkat sebesar tiga kali lipat dari periode sebeiumnya dan dua kali lebih cepat dari era perdaganagn emas pada tahun 1960-an. Sedangkan rasio PMA/PDB meningkat dua kali lebih besar dari era sebeiumnya, se dangkan jumla PMA yang masuk ke negaranegara berkembang meningka sekitar 30 % dari era sebeiumnya. Bahkan di era selanjutnya diperkirakan proses integrasi intemasional terus akan mengalami akselerasi yang lebih besar dengan adanya perkenibangan keterbukaan informasi dan koniunikasi yang lebih besar. Tingkat integrasi serta variasi pertumbuhan ekonomi di antara negara berkembang akan bervariasi, tergantung dengan kondisi serta kebijakan masing-masing negara dalam mengantisipasi dan menghadapi proses globalisasi." Oleh karena itu untuk dapat mengambil keuntungan dari adanya proses globalisasi tersebut, maka setiap negara harus mampu mengambil kebijakan yang tepat di berbagai bidang. FAKTOR-FAKTOR PENDUKUNG GLOBALISASI Faktor utama yang mendukung adanya proses globalisasi adalah adanya kebutuhan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan barang dan jasa yang semakin besar dan tak mampu disediakan sendiri oleh masing-masing negara tersebut. Kemudian dengan adanya keterbukaan informasi dan komunikasi anatar anggota masyarakat di seluruh dunia, maka halangan dan keterbatasan yang menghambat hubungan masing-masing negara menjadi semakin hilang. Tuntutan masyarakat terhadap penguranagan hambatan perdagangan yang sering dilakukan oleh pemerintah pada masing- masing negara juga merupakan faktor yang cukup penting. Proses ini, yang kemudian populer dengan istilah liberalisasi mencakup sektor perdagangan dan keuangan. Pada umunya proses ini dimulai dengan penurunan hambatan tradisional, yaitu hambatan dalam bentuk tarif dan nontarif di pasar barang. Pada akhirnya proses liberalisasi juga terjadi dalam konteks unilateral. regional dan multilateral serta mencakup pengurangan hambatan lintas negara (cross border barriers) dan juga termasuk sektor Jasa-Jasa, proses fasilitas lain (non cross border barriers), aturan main intemasional dan bahkan membebaskan arus faktor produksi (Pangestu dan Setiati, 1997) Dorongan liberalisasi universal pada gilirannya didorong oleh berbagai kebijakan yahg dilakukan oleh berbagai negara, baik negara maju maupun negara berkembang serta perkembangan hubungan antar negara yang terjadi secara simultan. Dorongan tersebut adalah, Pertama, liberalisasi yang disebabkan oleh proses penyesuaian dan restrukturisasi oleh Negara Sedang Berkembang (NSB) sebagai respons terhadap memburuknya keadaan lingkungan internasional. Kedua, aturan dan perjanjian multilateral yang berkembang dibawah naungan GATT (General Agreement on Trade and Tariff) dan WTO (World Trade Organization). Ketiga, kerjasama regional seperti APEC ( Asia Pacific Economic Cooperation) dan AFTA( Asean Free Trade Area). Kerjasama ekonomi regional tersebut. mencakup negara- negara yang berada di dalam satu kawasan dan pelaksanaannya telah meningkat dengan tajam sejak tahun 1980-an. Dalam upaya meningkatkan kemandirian dalam era persaingan yang semakin "terbuka", kita berada dalam lingkungan strategik yang baru. Salah satu lingkungan. strategik baru yang akan mempengaruhi strategi dan kebijaksanaan yang akan kita ambil adalah proses yang sedang kita Jalani yaitu globalisasi dan liberalisasi perdagangan. Proses liberalisasi perdagangan, yang merupakan suatu proses untuk mempermudah perdagangan barang dan Jasa dengan (mengurangi atau menghilangkan hambatan perdagangan seperti hambatan tarif dan hambatan non tariff seperti : larangan impor, import quota, importir tunggal dsb, mau tidak mau harus dihadapi dan diantisipasi. Persetujuan GATT, sebagai salah satu aspek proses liberalisasi perda gangan diadakan untuk membentuk kerangka kerja dan acuan yang transparan yang dapat dipakai menurunkan hambatan - hambatan perdagangan. Adapun prinsip-prinsip yang dianut dalam perdaganan bebas meliputi Non-Discriminations, Reciprocity, Transparency, Tariff Reduction. Salah satu komponen penting dalam kesepakatan Uru guay Round dalam proses perundingan perdagangan multiteral adalah dimasukkannya sektor pertanian dalam GATT. Sebagai negara agraris, kita perlu mendalami apa yang diatur dalam kesepakatan tersebut, untuk kita ambil manfaat dan peluangnya, dengan kita refleksikan kedalam kebijak sanaan yang akan kita ambil. Akselerasi Globalisasi Poses liberalisasi akan berlangsung terus dalam dekade yang akan datang dan merupakan perubahan fundamental yang akan bergulir terus, sehingga akan terjadi persaingan yang ketat antar NSB, maupun negara maju dalam akses modal, teknologi dan pasar. Perlu juga disadari bahwa proses reformasi akan mencakup lebih dari penurunan hambatan tradisional seperti tarif dan tata niaga impor di pasar barang yang biasanya diketahui umum (seperti lisensi dan kuota). Pembukaan akses pasar dan investasi serta pembebasan arus tenaga profesional, juga akan mulai dialami dengan perjanjian untuk liberalisasi sektor jasa-jasa. Persiapan NSB harus dilakukan untuk menciptakan perangkat hukum dan implementasi peraturan-peraturan yang konsisten dengan norma intemasional di berbagai bidang seperti perlindungan hak atas kepemilikan intelektual, prosedur bea cukai dan anti dumping, penentuan standar-standar barang dan jasa, dan penyelesaian sengketa dagang. Juga perlu disadari bahwa banyak hal yang dahulu dapat dilakukan sekarang telah dianggap melanggar norma internasioanl, seperti syarat kandungan lokal dan subsidi ekspor serta kebijakan pembebasan pajak pada produk tertentu. Proses penyesuaian yang harus harus dilakukan oleh NSB yang akan terjadi dalam masa transisi yang akan dialami dalam jangka menengah dapat menimbulkan tekanan-tekanan untuk mempertahankan perlindungan untuk sektor-sektor tertentu ataupun kelompok masyarakat tertentu. Politik ekonomi perdagangan dan investasi intemasional akan menciptakan keadaan yang tampaknya ambivalen dan perlu kecenderungan proteksi dan penghambatan transaksi internasioanl yang lain, baik oleh negara maju atau NSB, melalui tindakan sepihak dan cara lain untuk melakukan proteksi (misalnya antidumping, standar. mengkaitkan aspek non-ekonomi seperti hak-hak buruh kepada akses pasar dan Iain-lain) patut diwaspadai.
Menjamin iklim intemasional yang terbuka dan berdasarkan
aturan main yang jelas merupakan kepentingan semua, terutama karena pertumbuhan NSB seperti Indonesia sangat tergantung kepada akses pasar dunia yang terbuka. Namun karena proses Liberalisasi dan perubahan akan bergulir terus, maka sangat penting bagi negara-negara yang menjalankan Liberalisasi, khususnya NSB untuk melakukan antisipasi yang tepat dengan berbagai perangkat kebijakan ekonomi maupun non ekonomi yang dapat diterima secara internasional. Kemajuan teknologi akan berkembang untuk mendorong proses globalisasi produksi barang maupun jasa. Pada akhirnya kunci keberhasilan untuk bersaing terletak pada kemampuan dan kapabilitas teknologi serta kemampuan melakukan adaptasi serta inovasi yang- dilakukan oleh masing-masing negara. Untuk dapat bersaing secara global, perusahaan senantiasa memerlukan pembaruan dan perbaikan teknologi yang digunakan, fleksibilitas supaya mudah melakukan perubahan, perancangan produk yang lebih sesuai dengan pembeli (seperti customized vs mass production), dan keterkaitan atau jaringan supplier yang luas. Secara bertahap, produksi massal dari produk standar, pembagian antara produk yang ketat, dan pemusatan produksi di satu lokasi akan berkurang. Pola keterkaitan yang strategis juga sangat penting untuk mem pertahankan daya saing dimana aliansi strategi dapat berlangsung antara pesaing, melalui perusahaan patungan, keterkaitan dengan kontraktor, lisensi; perjanjian teknologi atau tekrtis, penyediaan jasa, pemasaran dan Iain-lain. Perusahaan global memantau semua negara untuk memperoleh kombinasi penggunaan sumber daya alam. tenaga kerja dan modal yang paling unggul dalam penelitian dan pengembangan, pro duksi dan pemasaran (lihat juga Pangestu, 1997). Kemajuan Teknologi di Bidang Produksi dan Perdagangan Seperti yang telah diketahui secara umum, teknologi yang menyebabkan penurunan biaya transportasi dan komunikasi telah mengurangi jarak antar negara karena penurunan biaya transaksi barang-barang, jasa-jasa, uang, orang dan informasi antar negara. Perkembangan teknologi transportasi dan komunikasi pada gilirannya telah mendorong proses intemasionalisasi pro duksi barang dan jasa, serta pemasaran dan penyalurannya. Pada dasamya yang terjadi adalah •peningkatan spesialisasi dan pem bagian proses produksi antara negara berdasarkan produk. tipe produk, dan tahap proses produksi. Proses pembagian tahap produksi antara negara merupakan salah satu dasar keberhasilan negara-negara Asia Timur dimana relokasi industri telah terjadi secara bertahap. Perubahan teknologi perancangan dan produksi juga telah menyebabkan siklus produksi menjadi lebih pendek dan memungkinkan lebih banyak produk dibuat (product differentiation). Perkembangan teknologi informasi dan manajemen telah juga memperbaiki pengendalian mulu, pengurangan pembuangan {wastage) yang terjadi dalam proses pro duksi. dan mengurangi keperluan untuk penyediaan stok yang tinggi. Peningkatan efisiensi dan kecepatan teknologi informasi misalnya sangat mendukung just in time management daripada pengadaan dan stok karena memungkinkan dan melancarkan hubungan antara perancang, supplier, produsen dan pengecer. Teknologi komunikasi dan teknologi informasi juga sangat berperan dalam meningkatkan integrasi sektor finansial. Sebagian besar transaksi finansial dapat dilakukan seketika 24 Jam sehari dan baik sekali untuk mengendalikan arus modal masiik dan keluar secara pesat (pangestu. 1997). Dengan demikian kestabilan keadaan makroekonomi dan konsistensi kebijaksanaan dalam rangka menciptakan ikiim investasi yang pasti dan transparan menjadi benambah penting dalam era globalisasi informasi dan arus modal. Seperti dijelaskan oleh Pangestu (1997), sejak awal I990-an telah terjadi ledakan dan pertumbuhan pesat arus dana ke NSB, terutama dari swasta. Pola utamayang dialami adalah bahwa disatu pihak pertum buhan bantuan luar negeri dari negera donor rendah dan nilai bantuan yang diberikan relatif konstan. Di lain pihak telah terjadi ledakan modal swasta yang ditujukan ke NSB terutama yang dianggap layak. Ciri-ciri modal swasta tersebut adalah berubahnya Jenis arus modal swasta dari pinjaman menjadi ekuitas ; berubahnya sumber modal dari sektor perbankan ke sektor nonbank (portofolio, PMA) ; dan bahwa sebagian besar peningkatan dana tersebut ditujukan ke ''emerging' yaitu "economies creditworthy ". Beberapa faktor pendorong dari ledakan modal swasta ke NSB adalah turunya tingkat suku bunga AS di awal 1990-an : perubahan sikap institusional di negara maju terhadap emerging markets ; proses privatisasi, liberalisasi dan reformasi yang dilakukan di NSB pada saat yang bersamaan. Untuk Jangka menengah ke depan, arus modal swasta diperkirakan akan terus meningkat, terutama ke negara-negara yang credit worthy. Dengan demikian, sangatlah penting untuk negara yang menginginkan arus modal tersebut untuk menjalankan kebijaksanaan makro yang stabil dan konsisten, pengembangan sektor finansial yang efisien dan stabil. transparansi informasi, kepastian hukum dan seterusnya. Ketersediaan bantuan luar negeri akan tidak banyak meningkat, sementara yang memerlukan bertambah banyak, khususnya negara- negara Asia yang dilanda krisis ekonomi pada tahun-tahun terakhir ini. Proses privatisasi, termasuk untuk prasarana flsik. Juga berarti bantuan luar negeri akan dipusatkan untuk hal-hal tertentu seperti mengatasi kemiskinan, lingkungan hidup dan pendldikan. Potensi pertumbuhan ekonomi NSB yang lebih pesat dari negara maJu menjadi pasar yang poiensial bagi pemasaran produk maupun alokasi sumber daya lainnya. Hal tersebut berarti pengaruh pertumbuhan NSB dapat mempengaruhi negara maJu, sehingga akan ada peningkatan keterkaitan diantara keduanya. PARADIGMA PEMBANGUNAN Studi-studi yang dilakukan tentang perbandingan pertumbuhan dan pembangunan NSB berkesimpulan bahwa ada beberapa faktor penting yang menyebabkan keberhasiiari pertumbuhan tinggi (misalnya di kawasan Asia Timur). Misalnya menurut Sachs dan Warner (1995), ada beberapa faktor yang dapat menjelaskan pertumbuhan tinggi yang di alami suatu negara (lihat Pangestu, 1997): o 1. Kebijaksanaan Ekonomi yang Tepat, yang terdiri dari:
a. Kebijaksanaan orientasi/promosi ekspor atau keadaan yang
menuju perdagangan bebas untuk eksportir sangat penting. Perekonomian yang terbuka seperti yang tercermin dari akses kepada input, akses kepada modal dan promosi PMA, dan tidak ada hambatan untuk devisa, serta prasarana yang mendukung dan fasilitas pendanaan mengalami kinerja pertumbuhan ekonomi yang lebih baik dari ekonomi yang menganut kebijaksanaan tertutup; b). Tingkat tabungan masyarakat dan pemerintah yang tinggi (dicerminkan oleh anggaran belahja yang surplus dan tidak memberiakukan program Jaminan sosial yang menyeiuruh seperti negara-negara maju); c). Prasarana hukum dan transparensi : birokrasi yang efektif, transparensi, mengindahkan hak milik pribadi (private property rights), lembaga hukum dan Iain-lain mempengaruhi lokasi dan pertumbuhan investasi; d). Investasi dalam SDM ; e). Pemantauan kepada pesaing dan fleksibilitas untuk terus menarik in vestor. 2. Kondisi Awal Fenomena conditional convergence : yaitu kalau suatu perekonomian mulai dengan tingkat pembangunan ekonomi yang rendah, negara tersebut akan mengalami pertumbuhan tinggi karena akumulasi modal, teknologi dan Iain-Iain yang pesat. Dengan pendalaman struktur, pertumbuhan akan dengan- sendirinya menurun karena proses akumulasi tidak akan terjadi sepesat pada awal proses pembangunan. Misalnya di Jepang pada saat ini pertumbuhan rata-rata sudah menurun dan lebih mendekati pertumbuhan yang dialami Eropa dan AS. Menurut Sachs dan Warner (1995), perbandingan pertumbuhan antara negara menunjukkan bahwa untuk setiap kenaikan dua kali lipat dari pendapatan per kapita setelah tingkat tertentu (kira-kira $ 3.000 - 5.000/kapita), pertumbuhan akan turun 1,25 persen. Masalah yang sangat penting dari paradigma pembangunan ke depan dengan peningkatan liberalisasi adalah peninjauan ulang dari peran pemerintah dalam pem bangunan. Peran pemerintah beralih dari regulator dan pelaku langsung, menjadi bagaimana menciptakan iklim usaha yang kondusif (penurunan ekonomi biaya tinggi, transparensi, persaingan sehat dan Iain-Iain) dan melakukan investasi prasarana yang mendukung swasta seperti transportasi, komunikasi dan peningkatan kualitas SDM. Liberalisasi akan menimbulkan kebijaksanaan pemerintah akan berkurang. Oleh karena itu kebijaksanaan yang dilakukan pemerintah harus konsisten dan jelas arahnya. Faktor lainnya adalah suatu visi pembangunan untuk didasari perencanaan dan strategi yang dinamis dan dirancang untuk jangka menengah dengan pencapaian target yang jelas dan realistik. Kebijakan perencanaan harus didasarkan pada konsep coorporate plan. Setiap tahap pembangunan harus didasarkan pada cost dan returnnya. Tidak kalah pentingnya untuk memikirkan tahap-tahap pembangunan yang harus dijalankan dalam kurun waktu tertentu, dan tahap-tahap yang dijalankan. Perencanaan tersebut harus jelas dan transparan sehingga semua lapisan masyarakat dapat melakukan kontrol terhadap perilaku pemerintah dnegan berbagai macam birokrasinya. PERKEMBANGAN KONTRIBUSI SEKTOR FERTANIAN TERHADAP PEREKONOMIAN NASIONAL Seperti dijelaskan oleh Saragih (1997), data perkembangan PDB terus menunjukkan penurunan pangsa sektor pertanian dari sekitar 40 persen pada tahun 1969 menjadi 17,6 persen pada tahun 1993 dan menurut analisis Bank Dunia, tinggal 10,5 persen pada tahun 2005. Apakah hal ini wajar0wajar saja karena semua negara yang sebelumnya berbasis pertanian juga mengalami perubahan struktural yang sama ? Selanjutnya, menurut analisis. Bank Dunia tersebut, PDB per kapita tahun 1994 mencapai US $ 919 yang akan meningkat menjadi US S 2.250.pada tahun 2005. Tidak Jelas bagaimana perbandingan PDB per tenaga kerja menurut sektor yang tentunya bisa menjelaskan arti yang lebih mendalam dari perubahan struktural. Apakah merosotnya pangsa sektor pertanian disertai rendahnya produktivitas sektor pertanian tersebut sesuatu yang pantas menjadi keprihatinan, atau bahkan sudah menjadi beban pembangunan ? Sebelum menetapkan paradigma baru pembangunan, masalah ini perlu dituntaskan terlebih dahulu sebab pada dasamya paradigma baru dibutuhkan Jika melalui berbagai kebijaksanaan dan pelaksanaan pembangunan yang telah ditempuh sejumlah harapan-harapan secara serius tidak tercapai atau telah terjadi berbagai distorsi ke arah yang kurang menguntungkan. Untuk itu akan dibahas dulu konsep "agribisnis" sebagai cara baru melihat sektor pertanian. Kemudian dengan konsep itu dikaji peranan agribisnis (agribusiness network) bisa saJa terjadi suatu, struktur kelembagaan pasar yang kurang menguntungkan bahkan anti pertumbuhan dan anti pemerataan seperti monopoli, monopsoni dan semacamnya . Kontribusi subsektor lapangan usaha tanaman bahan makanan dan kehutanan telah menurun dari masing-masing 60,8 dan 10,9 persen dalam NTB sektor pertanian pada tahun 1985 menjadi masing-masing 53,2 dan 10,2 persen pada tahun 1995. Sementara itu kontribusi subsektor lapangan usaha tanaman perkebunan, petemakan, dan perikanan telah meningkat dari masing-masing 11,6 persen ; 8,9 persen ; dan 7,8 persen menjadi 16,1 persen, 10,9 persen, dan 9,5 persen. Seperti halnya yang dijelaskan Anwar, (1997), Jika dilihat dari segi permintaan, terutama kalau kita memperhatikan (1) komposisi dan tingkat konsumsi per kapita berbagai barang yang tercakup dalam subsektor lapangan usaha bahan makanan dan petemakan ; (2) elastisitas permintaan terhadap kenaikan pendapatan untuk berbagai Jenis barang tersebut; (3) laju pertumbuhan Jumlah penduduk dan pendapatan per kapita di Indonesia selama periode 1985- 1995, maka diperkirakan penurunan kontri busi subsektor lapangan usaha tanaman bahan makanan terlalu cepat, sedangkan peningkatan kontribusi subsektor lapangan usaha petemakan terlalu lambat. Perkiraan ini lebih dlperkuat dengan melihat menumnnya kontribusi subsektor lapangan usah tanaman bahan makanan dan petemakan terhadap PDB dari masing-masing 14,7 dan 2,1 persen pada tahun 1985 menjadi 8,6 dan 1,8 persen tahun 1995. LIBERALISASl SEKTOR PERTANIAN Dalam proses globalisasi dan liberalisasi perdagangan internasional, yang meliputi berbagai macam aspek dan berbagai macam sektor, juga tidak terkecuali sektor pertanian. Liberalisasi di bidang pertanian ditunjukkan dengan adanya berbagai macam perjanjian yang bertujuan mengatur proses perdaganagn hasil- hasil pertanian anatar negara. Persetujuan ini sebenarnya timbul sebagai akibat perbedaan kondisi awal pembangunan sektor pertanian antara negara maju dan negara berkembang. Elemen pokok kesepakatan di bidang pertanian meliputi : 1. Country Schedule Masing-masing negara menyusun komitmen-nya mengenai rencana dan sasaran yang akan dicapai sampai dengan akhir periode implementasi (2001 untuk negara maju dan 2004 untuk NSB) yang terdiri atas' kesepakatan tentang Non tariff Barriers (NSB), Penurunan tariff dan Akses Pasar Penurunan Aggregate Measure of Support (AMS) 2. Akses Pasar Kesepakatan tentang pengaturan kebijakan tarif (tariffication dan penurunan tarif O meliputi 15 % dalam waktu 6 tahun untuk negara maju, 10 % dalam waktu 10 tahun untuk NSB, LDC dikecualikan , Ada ketentuan "Special safeguards' Komitmen tentang akses pasar diatur dengan memberi hak dan kemudahan untuk memasuki pasar negara lain. Apabila nilai import-nyasangat kecil, harus membuka pintu impor. Suatu minimum akses sebesar 3 %, dari konsumsi dalam negeri dan ditingkatkan menjadi 5 % pada tahun 2001 bagi negara negara maju dan tahun 2004 bagi NSB 3. Kesepakatan Aggregate Measure of Support (AMS) Kepakatan untuk menurunkan secara 'progresif besarnya AMS diatur dengan ketenluan tenatng (1) Pengelompokan macam-macam dukungan terhadap pertanian, (2) Yang penting yang masuk "green box poiicies" dikecualikan dari komitmen penurunan AMS, (3) Persya'ratan "de minimis" untuk bisa dikecualikan dari komitmen. 4. Kesepakatan Tentang Subsidi Ekspor Kesepakatan untuk menurunkan subsidi ekspor untuk 22 macam komoditi per tanian merupakan kesepakatan yang diharapkan daapat membantu persiapan negara-negara sedang berkembang. Ke sepakatan tersebut meiiputi penurunan 21 % dalam volume dan 36 % dalam nilai selama 6 tahun bagi negara maju dan 14 % dalam volume dan 24 % dalam nilai selama 10 tahun bagi NSB 5. Perjanjian Sanitary Phyto Sanitary (SPS) Untuk melindungi dan meningkatkan kesehatan manusia, hewan dan kondisi tanaman setiap negara anggota serta sebagai acuan bagi masing- masing negara dalam menetapkan persyaratan SPS kearah suatu harmonisasi sistem yang diharapkan akan memperlancar perdagangan, maka masing-masing negara menetapkan ketentuan SPS yang berlaku bagi negaranya dengan mengacu pada ketentuan (1) Codex Allimentarious Aommission (CAC), (2) Interna tional Office of Epizootic (ICE) untuk ternak, (3) International plant Protection Convention (IPPC). Kesepakatan ter sebut dilandasi oleh prinsip dan kajian ilmiah {scientific justification) tanpa menimbulkan hambatan terselubung bagi perdagangan BEBERAPA ISU (ISSUES) PENTING PEMBANGUNAN SEKTOR PERTANIAN DAN AGRIBISNIS DI INDONESIA Ada beberapa isu penting yang harus dipecahkan dalam pembangunan sektor agribisnis (lihat juga Saragih, 1997). Pertama isu yang menjadi sangat kritis sebenarnya adalah sikap bisnis sebagian besar petani yang selama ini terbiasa dengan bisnis gurem dan informal. Dalam kebiasaan yang hidup subsisten dan oleh pengaruh ekstemal yang terlalu sulit untuk ditembus. walaupun tetap berpikir rasional, mereka hidup dalam ruang pengambilan keputusan (decision space) yang sempit. Menjaga mutu barang, menepati Janji waktu penyampaian barang dan transaksi, serta mempertahankan posisi tawar baik melalui organisasi pengusaha tani maupun bentuk organisasi ekonomi lainnya cenderung dianggap mahal. Kedua menyangkut sifai-sifat agribisnis berbagai komoditas pertanian yang berbeda satu sama lain seperti telah dicontohkan di muka. Beberapa komoditas bisa diusahakan dalam skala besar atau estate sedangkan beberapa lainnya harus selalu dalam skala kecil. Beberapa indikator tersebut adalah kepadat-karyaan (labour intensive), kemudah-busukan (perishability), kondisi khusus agrofisik lingkungan tropis. dan sebagainya. Hal ini akan berkaltan pula dengan pengendalian atau manajemen pasokan ke pasar. Salah satu implikasinya adalah perlunya organisasi pengusaha tani yang di negara-negara yang maju pertaniannya, kemampuan berorganisasi petaninya sudah sangat handal. Ketiga menyangkut penguasaan teknologi pada tingkat on farm dan offfarm agribusiness, serta teknologi informasi. Kesulitan dalam pengendalian mutu komoditas pertanian serta manajemen pasokan ke pasar sebenamya disebabkan oleh rendahnya tingkat teknologi yang dikuasai oleh pelaku-pelaku agribisnis. Dalam kaitan ini pula. seperti dikemukakan oleh Crawford (1991), dalam tahap-tahap perkembangan ekonomi, pada waktunya akan tercapai tahap ekonomi yang berbasis ilmu pengeiahuan dan atau informasi {konowledge/infonnation economy) ; setelah melalui tahap industriaiisasi {industrial economy). Nuansa agribisnis juga akan berubah yang efisiensi dalam on farm dan off-farm agribusiness serta produktivitas sumber daya manusianya akan sangat dipengaruhi oleh kemampuan dalam teknologi dari para pelaku agribisnis. Keempai. dalam konsep agribisnis yang periama kali diperkenalkan di Asia Tenggara oleh Driion Jr. (1971) ada yang disebut sebagai agribusiness coordinators (koordinator agribisnis) yang meliputi pejabat pemerintah, para pakar dan mahasiswa, menajer-manajer, serta para peneliti dan pengembang. Peran para koordinator agribisnis ini akan sangat menentukan dalam upaya merubah sikap berbisnis, penguasaan teknologi dan informasi yang sangat diperlukan dalam pembangunan agribisnis. Kelima, adalah yang menyangkut kelembagaan dan kebijaksanaan terkait.. Harus ada kepemikan yang memberi kesempatan kepada petani kecil dan usaha rumah tangga untuk melibatkan diri dan menguasai sebagian dari kegiatan agribisnis hulu dan hilir agar produktivitas mereka bisa secara nyata meningkat. Pendekatan kebijakan pemerintah sebaiknya adalah bukan kesejahteraan (income approach) tetapi pendekatan peningkatan produksi (produc tion approach) dengan berbagi macam peubahan proses produksi dan perluasan akses pasar. Keenam adalah rendahnya term of trade dari prduk-produk hasil pertanian tersebut. Ini bisa diatasi dengan adanya perubahan hasil-hasii produk pertanian yang dapat dipasarkan di luar negeri dengan cara peningkatan kualitas fisik maupun daya tahan produk. Ketujuh, adalah reendahnya komitmen bagi pemerintah untuk menggerakkan sektor pertanian dan agribisnis dalam rangka menumbuhkan pembangunan eko nomi nasional. Hal ini disebabkan oleh rendahnya multilpier effect yang ditimbulkan oleh sektor ini relatifrendah. PENGEMBANGAN AGRIBISNIS SEBAGAI PARADGIMA BARU Untuk mengembangkan sektor agribisnis perlu adanya kebijakan yang baru sehingga dapat menunjang pembangunan di sektor tersebut, sehingga keunggulan yang dimiliki dapat lebih bermanfaat. Berbagai keunggulan agribisnis/agroindustri seperti disebut di muka jelas bisa dijadikan dasar untuk menetapkan pengembangan agroindustri, paling tidak, sebagai suatu andalan {a leading sector) dalam era 'industriaiisasi pada abad ke-21 mendatang (Saragih, 1997) yaitu: 1. Broad-base industry yang lebih banyak mengandalkan footlose industiy dan substitusi impor yang dalam kenyataannya selama ini banyak sekali membebani neraca pembayaran luar negeri kita kerena komponen impor yang sangat tinggi. Kebijaksanaan industriaiisasi seperti ini Juga telah terbukti tidak banyak menolong dalam memperluas kesempatan kerja di luar sektor per tanian dan pedesaan. Alih teknologi dari footlose industry tersebut, seperti otomotif, selama 25 tahun juga ternyata tidak menghasilkan seperti yang diharapkan. Bagaimanapun juga, negara asal teknologi dalam footlose industry tersebut "tidak akan melepas seluruh teknologinya dan tetap berusaha mendapatkan rente {economic rent) dari teknologi yang diciptakan tersebut; 2. Hi-tech industry, yang dengan kapasitas sumber daya manusia kita yang ada dewasa ini, ternyata sangat terbatas kemampuannya untuk diterapkan. Harapan- harapan untuk menguasai low and intermediate technology ternyata masih jauh dari yang diharapkan bahkan diperlukan dukungan sektor lain untuk pembiayaannya. 3. Perluasan akses pasar ke berbagai negara yang depat ditembus. Ini bisa dilakukan oleh pemrintah jlka ada komitmen yang tinggi lentang pengembangan sektor agribisnis. Dengan adanya otononi daerah, sehingga keleluasaan pemerintah daerah dalam mengambil kebijakan makin besar harus digunakan untuk membuka peluang yang selebar-lebarnya bagi pengembangan agribisnis. DAYA SAING (COMPETITIVENESS) Kunci dalam meningkatkan daya saing adalah : produktivitas, efisiensi, mutu barang dan transportasi. Kalau kita tarik kebelakang, dibalik keempat faktor tersebut, semuanya akan dipengaruhi oleh kegiatan proses produksi sejak dari hulu sampai dengan produk akhir, termasuk didalamnya cara-cara pengorganisasian produksi dan sturktur pasar. Di atas semua itu faktor-faktor upah dan produktivitas tenaga kerja, kondisi prasarana dan kondisi lingkungan usaha merupakan faktor-faktor diluar badan usaha yang sangat besar pengaruhnya pada daya saing usaha. Pada dasarnya dalam kenyataan yang bersaing bukannya pemerintah akan tetapi perusahaan-perusahaan yang menghasilkan barang-barang dan jasa-jasa. Oleh karena itu salah satu komponen penting untuk meraih daya saing yang kuat adalah "good management practice" yarig harus menjadi pegangan utama pelaku- pelaku business. Salah satu komponen penting adalah kegiatan R&D dan inovasi. Peranan pemerintah dalam hal ini adalah menciptakan "suasana" yang kondusif bagi dunia usaha untuk melaksanakan peranannya dengan baik. Untuk meningkatkan daya saing dihadapkan pada keharusan untuk memilih sektor dan komoditi andalan yang ingin kita kembangkan. Demikian pula produk-produk. yang spesifik serta memiliki segmen pasar yang unik seperti hasil-hasil kerajinan merupakan andalan ke depan. Produk-produk pertanian dan olahannya merupakan komoditi yang memnberikan harapan. Namun pada waktu sekarang, dampak dari kesepakatan Uruguay Round/ WTO belum dapat dirasakan secara penuh, karena periode pelaksanaan komitmen belum sampai pada batas waktu, yaitu tahun 2001 untuk negara-negara maju dan tahun 2004 untuk negara-negara beikembang. Diharapkan penghapusan Non Tariif Barries (NTB), penurunan tariff, perbaikan akses pasar dan pengurangan Aggegate Measures of Support (AMS) serta penurunan subsidi ekspor akan memperbaiki daya saing produk- produk pertanian kita. Pada sisi lain kita menghadapai tantangan dari segi persyaratan standart kualitas, utamanya SPS dan persyaratan ISO yang masih harus kita penuhi. Dalam pada itu, dalam suasana glo balisasi ekonomi, untuk memilih sektor/ komoditi andalan, tidak hanya ketentuanketentuan GATT/WTO saja harus diperhatikan dan dimanfaatkan. Strategi dan tingkah laku FDl (Foeign Direct Investment) dan MNC (Multinational Corporations) harus kita perhatikan dan selanjutnya kita manfaatkan. Strategi MNC misalnya untuk menempatkan produksi di beberapa negara atas landasan dimana yang paling murah, harus kita songsong dengan balk . Ada trend "economies of scale" digantikan oleh "economies of network" (Djisman S. Simanjutak). Tidak ada salahnya, kita mengkonsentrasikan pada pengembangan industri komponen, menjadi pemasok yang unggul dalam konteks global. FAKTOR-FAKTOR PENENTU DAYA SAING Ada beberapa faktor yang mempengaruhi daya saing sebuah produk, maupun daya saing suatu daerah dalam pengembangan perekonomiannya. Beberapa studi seperti Kuncoro (1997) menunjukkan bahwa unit usaha memilih suatu daerah dan jenis usaha yang memiliki sarana dan prasarana serta faktor lain agar prduknya dapat memliki daya saing tinggi. Faktor-faktor tersebut adalah : 1. Prasarana Fisik Pengalaman dan pengamaian rill menunjukkan bahwa tersedianya prasarana dalam bentuk penyediaan tenaga listrikyang tidak terputus-putus merupakan faktor penting mengapa seorang investor memilih suatu daerah. Studi Bank Dunia secara tidak langsung Juga mengkonfirmasikan hal ini dengan menunjukkan bahwa variabel yang menentukan perbedaan pendapatan antar daerah adalah infrastruktur. 2. Keanekaragaman Lingkungan Usaha Faktor penting yang membuat suatu unit usaha memilih suatu daerah adalah telah adanya kegiatan industri tersebut di masa lalu. Adanya lingkungan industri yang sejenis akan menurunkan ketidakpastian terutama mengenai informasi pasar, penyediaan input danarah inovasi. Hal lain yang penting disini adalah kematangan lingkungan industri. Suatu lokasi yang didominasi olehperusahaan-perusahaan yang. telah berkecimpung lama dalam bidang usaha tersebut merupakan pertanda kematangan daerah tersebut.- 3. Iklim Usaha Secara empiris agak sukar untuk menangkap iklim usaha dari suatu daerah. Dengan menggunakan suatu indeks yang disusun dari biaya-biaya yang tidak berhubungan langsung dengan produksi dapat. ditunjukkan bahwa unit-unit usaha di sektor manufaktur pada tahun 1990-an mulai dipengaruhi oleh perbedaan iklim usaha antar daerah seperti yang terjadi jika model ini diaplikasikan pada kasus. antaranegara. Dengan makin luasnya desentralisasi perijinan ke daerah, maka perbedaan pungutan yang dilakukan oleh birokrasi daerah mulai mempengaruhi pola pemilihan lokasi. 4. Akses Berlainan dengan negara-negara lain seperti Eropa, Jepang dan USA dimana faktor akses ke pusat-pusat bisnis tidak begitu mempengaruhi pola lokasi investasi, di Indonesia pengaruh akses ini sangat kuat. Kedekatan dengan lokasi institusi pemberi ijin tampaknya masih menjadi pertimbangan utama pemilihan lokasi. 5. Inovasi Teknologi Dengan adanya penguasaan teknologi baru, maka akan dapat meningkatkan kualitas output dan peningkatan produkstifitas input. Inovasi teknologi dapat dilakukan dengan adanya komitment inves tasi pada pengembangan research and development. 6. Peningkatan Kualitas SDM Peningkatan kualitas SDM merupakan kebijakan yang tak dapat ditunda, karena hanya dengan kualitas SDM yang handal, maka proses produksi akan berjalan baik. KEBIJAKAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL KOMODITAS PERTANIAN INDONESIA PERKEMBANGAN PERDAGANGAN KOMODITAS PERTANIAN INDONESIA Komoditas pertanian Indonesia yang diperdagangkan di pasar internasional, dapat dibedakan atas komoditas substitusi impor dan komoditas promosi ekspor. Dalam bagian ini akan dibahas status perdagangan kedua kelompok komoditas itu. Komoditas Substitusi Impor Dalam perjanjian WTO bidang pertanian disebutkan bahwa subsidi domestik masih memungkinkan untuk diberikan. setelah pemerintah mencabut subsidi pupuk sejak 1 Desember 1998. Beras Laju pertumbuhan produksi beras selama 1995-2002 hanya 0,1 persen, sementara impor dan ketersediaan meningkat masing-masing sebesar 226,8 persen dan 0,8 persen. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia sangat tergantung kepada beras impor, sementara upaya peningkatan produksi beras belum berjalan secara optimal. Kenyataan ini dicirikan oleh rata-rata produksi beras selama 5 tahun terakhir, yang hanya mampu memenuhi sekitar 90 persen dari total perkiraan konsumsi di dalam negeri. Dengan demikian, kebijaksanaan untuk terus meningkatkan produksi beras dalam rangka mencapai ketahanan pangan nasional masih tetap relevan. Rendahnya pertumbuhan produksi beras di dalam negeri terkait dengan berbagai faktor, antara lain: (1) Terjadi penurunan tingkat rendemen padi, akibat penerapan teknologi yang tidak sesuai dengan anjuran, serta penggunaan mesin-mesin tua oleh sebagian besar RMU (Rice Milling Unit) di Indonesia. (2) Berkurangnya insentif dan rendahnya harga gabah saat panen raya, telah mendorong petani untuk melakukan pilihan terhadap komoditas yang akan diusahakan. Hal ini terlihat dari fluktuasi luas panen padi di Jawa dan Luar Jawa; (3) Peningkatan harga pupuk dan pestisida, serta upah tenaga kerja pasca krisis ekonomi, telah menyebabkan petani menurunkan tingkat intensifikasi yang diterapkan. Akibatnya, produktivitas usahatani padi cenderung untuk terus menurun; dan (4) Berbagai program yang digulirkan pemerintah, seperti Raskin (beras untuk masyarakat miskin), ternyata telah merusak mekanisme pasar beras di dalam negeri. Dalam kondisi demikian, upaya peningkatan produksi beras melalui peningkatan harga dasar dan penerapan tarif impor tidak akan mencapai sasarannya. Jagung Pesatnya perkembangan usaha peternakan ayam ras di Indonesia merupakan faktor utama yang mendorong pesatnya laju permintaan jagung di pasar domestik, sehingga volume impor terus mengalami peningkatan. Selama 1995-2002 rata-rata konsumsi jagung nasional hanya mampu dipenuhi sekitar 92 persen dari produksi domestik (Tabel 3). Total ketersediaan selama kurun waktu tersebut meningkat 2,3 persen per tahun, dan angka ini sedikit di bawah laju kenaikan produksi. Selain sebagai negara pengimpor, Indonesia juga melakukan ekspor jagung. Selama 1995-2002 laju impor jagung meningkat sebesar 22,3persen, sementara laju ekspor sejak tahun 1998 menunjukkan kecenderungan yang menurun. Dalam upaya peningkatan produksi jagung, pemerintah saat ini mengalami dilema. Pada satu sisi peningkatan produksi berjalan lamban, sehingga sejak tahun 1998 telah terjadi kenaikan impor jagung sebanyak dua kali lipat dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Kenaikan impor ini sangat dibutuhkan, karena laju konsumsi untuk pabrik pakan ternyata lebih besar dari peningkatan produksi di dalam negeri. Namun pada sisi lain pemerintah memerlukan pertimbangan khusus apabila akan mengurangi impor melalui tarifikasi, karena upaya ini justru akan mematikan usaha peternakan di Indonesia. Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat produktivitas jagung di Indonesia masih rendah, sementara harga jagung C&F asal Cina hampir setara dengan harga jagung di tingkat perdagangan besar. Dengan latar belakang demikian, maka upaya peningkatan produksi jagung dapat ditempuh melalui perbaikan teknologi produksi di tingkat petani. Kedelai Produksi kedelai di dalam negeri saat ini hanya mampu memenuhi sekitar 32 persen konsumsi domestik, sedangkan sisanya harus diperoleh melalui impor. Permintaan impor meningkat per tahun. Peningkatan volume impor yang tajam atau meningkat hampir 300 persen dibandingkan impor tahun sebelumnya. Sebaliknya, produksi kedelai di dalam negeri selama kurun waktu yang sama. Impor kedelai diperkirakan akan makin besar pada tahun-tahun mendatang, karena adanya kemudahan tataniaga impor, berupa dihapusnya monopoli Bulog sebagai importir tunggal serta dibebaskannya bea masuk dan pajak pertambahan nilai (PPN) kedelai. Disamping itu, negara eksportir kedelai terbesar dunia, seperti Amerika Serikat, juga menyediakan subsidi ekspor, sehingga merangsang importir kedelai di Indonesia untuk memanfaatkan fasilitas itu. Dari segi ketersediaan, produksi kedelai di dalam negeri hanya mampu menyediakan sekitar 32 persen dari kebutuhan domestik. Dengan kebutuhan domestik yang besar dan penguatan nilai tukar rupiah, maka harga kedelai impor jauh lebih rendah dibandingkan dengan harga kedelai di dalam negeri. Untuk itu upaya peningkatan produksi perlu diimbangi dengan penerapan tarif impor, sehingga petani mendapat management fee yang layak dari usahatani kedelai. Gula Konsumsi gula di Indonesia diperkirakan akan terus meningkat, sebagai akibat dari peningkatan jumlah penduduk, peningkatan pendapatan masyarakat, serta pertumbuhan industri makanan dan minuman. Peningkatan ketersediaan yang kecil ini terjadi akibat kenaikan harga gula, sehingga konsumsi per kapita secara drastis. Namun terjadinya deregulasi industri gula telah menyebabkan terjadinya penurunan produksi, sehingga impor gula mengalami peningkatan setiap tahun Ironisnya, di saat kebutuhan konsumsi meningkat, produksi gula di dalam negeri menurun sangat tajam. Penurunan produksi terus berlanjut. Keragaan seperti itu, laju pertumbuhan produksi menurun, sementara ketersediaan gula untuk kebutuhan konsumsi meningkat. Impor gula mengalami kecenderungan yang menurun, diduga terkait dengan penerapan tarif impor gula yang mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 2000. Daging Sapi Permintaan daging sapi di Indonesia saat ini terus meningkat, seiring dengan kenaikan pendapatan masyarakat dan perubahan selera ke arah daging yang bermutu. Produksi daging sapi di Indonesia meningkat per tahun, sementara impor meningkat. Peningkatan impor yang tinggi ini sebagian besar ditujukan untuk daging berkualitas yang tidak dapat dipenuhi melalui produksi di dalam negeri. Susu Industri susu nasional saat ini menggunakan sekitar 75 persen bahan baku susu olahan yang berasal dari impor. Tingginya penggunaan susu impor ini terkait dengan rendahnya laju produksi susu sapi di Indonesia, sehingga kebutuhan impor menunjukkan peningkatan yang tajam. Produksi susu di Indonesia hanya meningkat dengan laju 3,1 persen, sementara impor susu meningkat dengan laju 15,7 persen. Kenaikan impor susu tertinggi terjadi peningkatan hampir dua kali lipat dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Untuk melindungi peternak sapi perah di dalam negeri, pemerintah sampai saat ini masih menerapkan tarif impor terhadap susu dan produk susu. Besaran tarif yang diterapkan adalah 40 persen untuk condensed milk, 30 persen untuk wholemilk powder dan butter, 20 persen untuk cheese, 15 persen untuk skimmilk powder, dan 5 persen untuk AMF. Dengan tingkat tarif seperti itu, produksi susu di dalam negeri diharapkan dapat terus meningkat. Komoditas Promosi Ekspor Karet Produksi dan ekspor karet alam dunia sampai saat ini masih didominasi oleh tiga negara, yaitu Thailand, Indonesia dan Malaysia dengan proporsi masing-masing sebesar 33 persen, 25 persen dan 13 persen dari total produksi dunia (Dradjat dan Nancy, 2000a; Wahyudi et al., 2001). Sampai tahun 1990 Malaysia masih merupakan produsen karet alam terbesar dunia yang disusul dengan Thailand dan Indonesia. Thailand mengambil alih posisi tersebut yang diikuti oleh Indonesia dan Malaysia (Tabel 8), setelah Malaysia yang secara tradisional merupakan produsen karet alam melakukan konversi ke tanaman yang lebih prospektif, utamanya kelapa sawit. Sejak tahun 1999 muncul negara pesaing baru, yaitu Vietnam. Selama 1997-2002 laju ekspor karet negara ini mencapai lebih dari 21,1 persen, di mana volume dan nilai ekspor karet tahun 2002 mencapai lebih dari 448 ribu ton dan US $ 229 juta. Laju ekspor karet alam dari Vietnam yang tinggi ini telah menyebabkan terjadinya kelebihan pasokan di pasar dunia, sehingga harga karet alam di pasar dunia cenderung untuk terus menurun. besar ditujukan untuk industri ban dan komponen- komponennya (72 persen), dengan negara importir utama adalah Amerika Serikat (25 persen), Jepang (14 persen), China (9 persen), Korea Selatan (6 persen) dan Jerman (5 persen) (Wahyudi et al., 2001a). Dalam tahun 1997 stok karet alam dunia diperkirakan mencapai lebih dari dua juta ton, di mana sekitar 35 persen dikuasai oleh negaranegara konsumen (Dradjat dan Nancy, 2000a). Ada tujuh negara yang menjadi tujuan utama ekspor smoke sheet Indonesia, yaitu Amerika Serikat, China, Jepang, Federasi Rusia, Jerman, Singapura dan Belgia. Volume dan nilai ekspor smoke sheet Indonesia selama 1995-2002 menunjukkan penurunan dengan laju 1,6 persen dan 8,3 persen. Dalam tahun 1995 nilai ekspor komoditas ini mencapai US $ 93,6 juta, tetapi tahun 2002 menurun menjadi US $ 31,9 juta (Tabel 9). Ekspor SIR (Standar Indonesia Rubber) 10 Indonesia sebagian besar ditujukan ke tujuh negara, yaitu Amerika Serikat, Luxemburg, China, Belgia, Brazil, Jerman dan Singapura. Selama 1995-2002 volume dan nilai ekspor SIR 10 menunjukkan penurunan dengan laju 3,5 persen dan 10,7 persen. Dalam tahun 1995 nilai ekspor sheet mencapai US $ 119,7 juta, dan tahun 2002 menurun drastis menjadi US $ 42,9 juta. Ekspor SIR 20 Indonesia sebagian besar ditujukan ke tujuh negara, yaitu Amerika Serikat, Jepang, China, Singapura, Korea Selatan, Jerman dan Kanada. Selama 1995-2002 nilai ekspor SIR 20 menunjukkan penurunan dengan laju 6,4 persen, sementara volume ekspor meningkat dengan laju 3,3 persen. Dalam tahun 1995 nilai ekspor SIR 20 Indonesia sebesar US $ 1.595,5 juta, dan angka ini menurun menjadi US $ 879,3 juta pada tahun 2002. Dari ulasan di atas terlihat bahwa selama 1995-2002 harga ekspor karet alam Indonesia di pasar dunia mengalami penurunan. Penurunan ini terjadi akibat kelebihan pasokan, pada tingkat permintaan dunia yang relatif stabil. Namun tingkat harga ini diperkirakan akan kembali meningkat, setelah mengalami shock pada bulan September 1999 (Dradjat dan Nancy, 2000b). Meskipun demikian, penurunan harga ini telah mendorong produsen karet alam dunia untuk melakukan kesepakatan pengendalian produksi (Wahyudi et al., 2001). Kopi Perdagangan kopi di pasar dunia saat ini dikuasai oleh kopi Arabika dengan pangsa pasar lebih dari 75 persen, sedangkan sisanya diisi oleh kopi Robusta. Akibatnya, jika terjadi perubahan volume perdagangan kopi Arabika akan berdampak langsung terhadap permintaan kopi Robusta. Kopi Arabika merupakan jenis kopi yang dihasilkan oleh negara-negara di Amerika Latin, terutama Brazil dan Kolumbia. Sedangkan kopi Robusta banyak dihasilkan oleh negara-negara yang berada di daerah tropis di kawasan Asia Pasifik dan Afrika, seperti Indonesia dan Vietnam. Sebagai produsen utama kopi dunia, volume ekspor kopi Brazil selama 1997-2002 meningkat dengan laju 14,4 persen, dengan volume ekspor tertinggi dicapai pada tahun 2002 sebesar lebih dari 1,5 juta ton (Tabel 10). Dalam periode yang sama volume ekspor kopi India meningkat dengan laju 4,8 persen, sementara Thailand menurun dengan laju 8,5 persen. Dalam periode 1997- 2002 juga terlihat bahwa nilai ekspor kopi menunjukkan penurunan di tengah peningkatan volume ekspor kopi Brazil dan India. Hal ini menunjukkan bahwa harga kopi di pasar dunia menunjukkan kecenderungan yang menurun. Importir utama kopi dunia masih diduduki oleh Amerika Serikat yang diikuti oleh Jerman, Perancis, Jepang dan Italia. Selain sebagai konsumen utama kopi dunia, Amerika Serikat juga melakukan ekspor kopi olahan. Secara keseluruhan konsumsi kopi dunia mengalami peningkatan yang cukup stabil, dengan laju sebesar 1,9 persen/tahun (Herman dan Wardhani, 2000). Kopi Arabika dan kopi Robusta memiliki hubungan yang bersifat komplementer, karena industri pengolahan kopi menjadikan kopi Robusta sebagai pencampur bagi kopi Arabika (Wahyudi et al., 2001). Saat ini ekspor kopi Indonesia terdiri atas kopi Arabika, kopi Robusta dan kopi lainnya. Volume dan nilai ekspor kopi Arabika selama 1995-2002 mengalami kenaikan dengan laju 20,3 persen dan 14,3 persen. Dalam tahun 1995 nilai ekspor kopi Arabika mencapai US $ 51,8 juta, tetapi tahun 1996 menurun drastis menjadi US $ 28,3 juta. Dalam tahun-tahun berikutnya nilai ekspor kopi Arabika terus meningkat dan mencapai US $ 76,9 juta pada tahun 2002 (Tabel 11). Volume ekspor kopi Robusta selama 1995-2002 menunjukkan kenaikan dengan laju 8,9 persen, sementara nilai ekspor menunjukkan penurunan sebesar 12,6 persen. Nilai ekspor kopi jenis ini pada tahun 1995 mencapai US $ 501,3 juta, dan meningkat menjadi US$ 512,7 juta pada tahun 1998. Setelah itu nilai ekspor ini terus menurun, di mana pada tahun 2002 hanya sebesar US$ 135,2 juta. Untuk kopi jenis lainnya terlihat terjadinya kenaikan volume dan nilai ekspor, masing-masing sebesar 26,5 persen dan 9,2 persen. Coklat Produksi dan perdagangan coklat dunia saat ini dikuasai oleh tiga negara, yaitu Pantai Gading Afrika, Ghana dan Indonesia. Pada tahun 2000 Pantai Gading Afrika menguasai pasar ekspor dengan pangsa sekitar 43 persen, sedangkan Ghana dan Indonesia masing-masing sebesar 15 persen dan 14 persen (Herman, 2000; Wahyudi et al., 2001). Negara eksportir coklat dunia lainnya dengan volume dan nilai ekspor yang lebih kecil adalah Brazil, Malaysia dan India (Tabel 12). Volume dan nilai ekspor coklat dari Brazil selama 1997-2002 meningkat dengan laju 2,8 persen dan 17,0 persen. Demikian pula untuk Malaysia yang menunjukkan kenaikan dengan laju 5,1 persen untuk volume ekspor dan 9,1 persen untuk nilai ekspor. Besarnya laju kenaikan nilai ekspor dibandingkan dengan volume ekspor ini menunjukkan bahwa harga coklat di pasar dunia menunjukkan kecenderungan yang meningkat. Importir utama coklat dunia adalah Amerika Serikat, Belanda, Jerman, Inggris dan Perancis. Negara-negara tersebut selama ini juga merupakan pengolah coklat utama dunia, sehingga bersifat disinsentif terhadap negara produsen coklat. Hal ini terlihat dari penerapan tarif yang tinggi bagi produk olahan berbahan dasar coklat, yang menyebabkan industri hilir negara-negara produsen coklat tidak berkembang (Wahyudi et al., 2001). Ekspor biji coklat Indonesia terutama ditujukan ke Amerika Serikat, yang disusul dengan Singapura dan Malaysia (Herman, 2000). Volume dan nilai ekspor biji coklat Indonesia selama 1995-2002 mengalami kenaikan dengan laju 11,2 persen dan 17,6 persen. Dalam tahun 1995 nilai ekspor biji coklat Indonesia sebesar US $ 224,5 juta, dan angka ini meningkat menjadi US $ 382,5 juta pada tahun 1998. Pada tahun 2002 nilai ekspor ini meningkat lagi menjadi US $ 521,3 juta (Tabel 13). Volume dan nilai ekspor coklat bubuk Indonesia selama 1995-2002 menunjukkan peningkatan masing-masing sebesar 23,5 persen dan 49,7 persen. Nilai ekspor coklat bubuk pada tahun 1995 sebesar US $ 5,5 juta, dan angka ini terus meningkat dan mencapai US $ 49,3 juta pada tahun 2002. Sementara itu volume ekspor coklat olahan menujukkan kenaikan dengan laju 14,7 persen, sedangkan nilai ekspor juga meningkat sebesar 12,1 persen. Nilai ekspor coklat olahan pada tahun 1995 sebesar US $ 62,7 juta, dan angka ini meningkat menjadi US $ 96,1 juta pada tahun 1998. Setelah itu nilai ekspor coklat olahan ini terus menurun, tetapi dalam tahun 2002 meningkat lagi menjadi US $ 103,2 juta. Lebih besarnya laju volume ekspor coklat olahan asal Indonesia dibandingkan nilai ekspor mencerminkan terjadinya penurunan harga. Penurunan harga coklat olahan ini disebabkan oleh terjadinya kelebihan pasokan di pasar dunia, serta penerapan tarif impor oleh Amerika Serikat, Uni Eropa dan Jepang berturut-turut sebesar 18 persen, 17 persen dan 16 persen (Gibson et al., 2001). Crude Palm Oil (CPO) Produksi CPO dunia sampai saat ini menunjukkan peningkatan. Dalam tahun 1995 produksi CPO dunia diperkirakan sekitar 15,2 juta ton. Tingkat produksi ini terus meningkat, dan tahun 2000 mencapai lebih dari 18,5 juta ton (Buana dan Fadjar, 2000). Saat ini produksi dan perdagangan CPO dunia dikuasai oleh dua negara, yaitu Malaysia dan Indonesia. Pangsa ekspor yang dikuasai oleh kedua negara tersebut pada tahun 2000 masing-masing sebesar 66 persen dan 22 persen (Wahyudi et al., 2001). Negara produsen CPO lain di kawasan ASEAN adalah Thailand dan Vietnam. Volume dan nilai ekspor CPO Thailand selama 1997-2002 meningkat dengan laju 65,1 persen dan 32,6 persen, sedangkan Malaysia hanya meningkat dengan laju 7,4 persen dan 0,2 persen (Tabel 14). Sementara itu, volume dan nilai ekspor CPO Vietnam meningkat dengan laju 4,2 persen. Peningkatan ekspor CPO dari Thailand perlu diamati, karena pada tahun 2001 mencapai 180 ribu ton, meskipun tahun 2002 kembali menurun menjadi sekitar 82 ribu ton. Secara keseluruhan, selama 1995-2000 volume ekspor CPO dunia meningkat dengan laju 2,2 persen (Buana dan Fadjar, 2000). Ekspor CPO dunia mendapat saingan dari minyak nabati lain, utamanya minyak kedelai. Dalam tahun 1997 pangsa ekspor CPO sebesar 35 persen dari ekspor minyak nabati dunia, sedangkan minyak kedelai sebesar 23 persen (Wahyudi et al., 2001). Pangsa ekspor CPO ini terus meningkat, di mana pada tahun 2000 mencapai 41 persen dari total ekspor minyak nabati dunia. Untuk melindungi produksi minyak nabati domestiknya, Amerika Serikat dan Jepang menerapkan tarif impor sebesar 17 persen dan 72 persen (Gibson et al., 2001). Ekspor CPO Indonesia sebagian besar didominasi oleh minyak kelapa sawit dan minyak biji kelapa sawit. Ekspor minyak kelapa sawit (CPO) Indonesia terutama ditujukan ke Belanda, India, Jerman, Italia dan China. Selama 1995-2002 volume ekspor CPO Indonesia meningkat sebesar 35,8 persen, sementara nilai ekspor meningkat dengan laju 23,0 persen. Dalam tahun 1995 nilai ekspor CPO sebesar US $ 590,5 juta, dan angka ini meningkat menjadi US $ 892,0 juta pada tahun 2002 (Tabel 15). Minyak biji kelapa sawit merupakan salah satu komoditas ekspor yang mulai dikembangkan sejak tahun 1988. Ekspor komoditas ini bersama produk sawit lainnya terutama ditujukan ke Belanda, Amerika Serikat, Brazil, Spanyol dan Italia. Selama 1995-2002 volume dan nilai ekspor minyak sawit lainnya meningkat masing-masing dengan laju 61,4 persen dan 46,9 persen. Nilai ekspor komoditas ini meningkat dari US $ 156,9 juta pada tahun 1995 menjadi US $ 1.200,4 juta pada tahun 2002. Lada Produksi dan perdagangan lada dunia saat ini dikuasai oleh tujuh negara, yaitu India, Indonesia, Brazil, Vietnam, Malaysia, Thailand dan China. Dalam tahun 1995 pangsa produksi lada India mencapai 30,2 persen, Indonesia 18,1 persen, Brazil dan Vietnam 12,1 persen, Malaysia 10,9 persen, Thailand 6,2 persen dan China sebesar 6,0 persen (Departemen Perindustrian dan Perdagangan, 1995). Volume dan nilai ekspor lada dari China dan Thailand selama 1997-2002 menunjukkan peningkatan. Volume dan nilai ekspor lada dari China meningkat dengan laju 46,0 persen dan 30,0 persen, sementara Thailand juga meningkat dengan laju 4,5 persen dan 0,2 persen (Tabel 16). Sedangkan untuk India terlihat bahwa volume dan nilai ekspor menurun masing-masing dengan laju 7,0 persen dan 17,6 persen. Ekspor lada Indonesia dalam bentuk lada putih, lada hitam dan lada bubuk sebagian besar ditujukan ke Singapura, Amerika Serikat, Jerman, Jepang dan Belanda (Damanik, 2001). Selama 1995-2002 volume dan nilai ekspor lada hitam Indonesia mengalami kenaikan masing-masing sebesar 16,5 persen dan 11,8 persen. Dalam tahun 1995 nilai ekspor lada hitam Indonesia mencapai US $ 47,9 juta, dan angka ini meningkat menjadi hampir US $ 96,0 juta pada tahun 2000. Namun pada tahun 2002 nilai ekspor ini menurun drastis menjadi US $ 29,2 juta . Volume ekspor lada putih Indonesia selama 1995-2002 mengalami kenaikan sebesar 18,8 persen, sementara nilai ekspor juga meningkat sebesar 11,7 persen. Dalam tahun 1995 nilai ekspor lada putih mencapai US $ 52,5 juta, dan angka ini meningkat menjadi US $ 137,4 juta pada tahun 1999. Nilai ekspor tersebut selanjutnya menurun lagi dan mencapai US $ 59,0 juta pada tahun 2002. Untuk nilai ekspor komoditas lada lainnya juga terlihat kecenderungan yang meningkat, meskipun pada tahun 2002 hanya mencapai US $ 1,1 juta. KEBIJAKAN PERDAGANGAN KOMODITAS PERTANIAN MASA MENDATANG Kebijakan perdagangan komoditas pertanian Indonesia dapat dibedakan atas peran komoditas itu dalam perdagangan internasional, yaitu: (1) Melakukan proteksi terhadap komoditas substitusi impor, khususnya komoditas-komoditas yang banyak diusahakan oleh petani. Komoditas yang dijadikan pilihan untuk mendapat proteksi adalah beras, jagung, kedelai dan gula; (2) (2) Melakukan promosi terhadap komoditas-komoditas promosi ekspor, khususnya komoditas-komoditas perkebunan yang banyak diusahakan oleh petani. Komoditas yang dijadikan pilihan untuk mendapat promosi adalah karet, kopi, coklat, CPO dan lada. Untuk operasionalisasi kebijakan yang harus diemban pemerintah, perlu diperhatikan tiga pilar yang merupakan elemen kebijakan yang terdapat dalam perjanjian perdagangan komoditas pertanian (AoA). Ketiga pilar itu adalah: (1) Akses pasar; (2) Subsidi domestik; dan (3) Subsidi ekspor. Ketiga pilar itu terkait yang satu dengan yang lainnya, sehingga tidaklah tepat apabila melihat perjanjian itu dari aspek akses pasar saja, dengan melupakan pilar yang lainnya. Subsidi ekspor komoditas pertanian yang dilakukan oleh suatu negara, misalnya, akan berdampak luas terhadap pasar ekspornya, sehingga berpengaruh buruk terhadap daya saing ekspor negara lain yang tidak memberikan subsidi ekspor. Demikian pula subsidi domestik yang diberikan oleh suatu negara terhadap petaninya, dapat menimbulkan persaingan yang tidak sehat, karena petani di negara itu mampu menghasilkan produk dengan biaya yang lebih rendah. Dalam konteks ini, perhatian yang selama ini diberikan oleh pemerintah terhadap akses pasar untuk komoditas beras, jagung, kedelai dan gula, hendaknya dapat diperluas dengan memanfaatkan pilar-pilar lainnya serta mencakup berbagai komoditas promosi ekspor. Untuk itu, kebijakan perdagangan komoditas pertanian dalam jangka menengah dan jangka panjang, harus didasarkan atas sasaran sebagai berikut: 1. Memberikan proteksi terhadap komoditas beras, agar 95 persen dari kebutuhan nasional dapat dipenuhi dari produksi beras di dalam negeri; 2. Memberikan proteksi terhadap komoditas jagung, kedelai dan gula, agar 80 persen dari kebutuhan nasional dapat dipenuhi dari produksi jagung, kedelai dan gula di dalam negeri; 3. Meningkatkan ekspor CPO dengan laju 10 persen/tahun, sementara untuk komoditas karet, kopi, coklat dan lada dapat meningkat dengan laju 5 persen/tahun; 4. Menyediakan subsidi domestik dalam bentuk subsidi pupuk dan bunga kredit, sehingga para petani dapat meningkatkan kualitas dan produktivitas produk yang dihasilkan. Satu catatan yang harus diperhatikan dalam kebijakan perdagangan di Sektor Pertanian adalah adanya keberpihakan pemerintah ke pada petani produsen. Contoh klasik dari ketidak- berpihakan pemerintah terhadap petani produsen, terlihat dari penerapan pajak ekspor produk-produk minyak sawit dengan suatu skema yang menetapkan harga patokan kena pajak. Untuk CPO ditetapkan harga patokan sebesar US $ 435/ton, dan apabila harga fob di atas itu, maka selisihnya akan dikenakan pajak ekspor dengan tingkatan yang berbeda. Penerapan kebijakan ini ternyata tidak saja merugikan petani kelapa sawit dan produsen CPO, tetapi juga memberikan efek yang negatif terhadap penerimaan pemerintah (Marks et al., 1998). Fenomena ini sesuai dengan ungkapan Kravis (1970) yang menyatakan bahwa ekspor Sektor Pertanian tidak pernah memperoleh insentif yang memadai untuk berkembang, sehingga petani produsen tetap menghadapi berbagai kesulitan di tengah peningkatan permintaan pangan dunia. Untuk mencapai sasaran perdagangan komoditas pertanian seperti diuraikan di atas, maka diperlukan kebijakan program sebagai berikut: 1. Program peningkatan kualitas dan daya saing komoditas beras, jagung, kedelai dan gula melalui peningkatan efisiensi pada kegiatan produksi, pasca panen dan pengolahan hasil; 2. Program Penelitian dan Pengembangan Padi, Jagung dan Kedelai yang diarahkan untuk menciptakan dan mengembangkan varietas yang sesuai dengan permintaan di pasar domestik dan pasar dunia. Untuk itu, orientasi penelitian pemuliaan dan bioteknologi tanaman pangan harus diubah, dari menghasilkan varietas yang berdaya hasil tinggi menjadi varietas dengan kualitas yang sesuai dengan permintaan. 3. Program Pengembangan Industri Pertanian, khususnya komoditas perkebunan, yang berorientasi pada pengembangan produk-produk yang sesuai dengan permintaan di pasar dunia. Cepatnya perubahan permintaan di pasar dunia harus dapat diantisipasi, sehingga produk ekspor yang dihasilkan dapat dijual dengan harga yang lebih tinggi. 4. Sementara itu, Atase Perdagangan dan Atase Pertanian yang ada dapat dimanfaatkan sebagai “intelijen” yang memberikan informasi terhadap setiap perubahan perilaku konsumen di negara-negara tujuan ekspor. Dengan demikian, industri pertanian di dalam negeri dapat melakukan penyesuaian terhadap perubahan permintaan di pasar dunia.
Ekonomi makro menjadi sederhana, berinvestasi dengan menafsirkan pasar keuangan: Cara membaca dan memahami pasar keuangan agar dapat berinvestasi secara sadar berkat data yang disediakan oleh ekonomi makro