Anda di halaman 1dari 23

Nama : Shabrina Fitriyani Putri (20200210100150)

Kelas : PLKH NON LITIGASI D


Tugas : Resume

Resume Buku Bismar Nasution

BAB 1

REFORMASI HUKUM

DALAM RANGKA ERA GLOBALISASI EKONOMI

Arus globalisasi ekonomi yang menimbulkan hubungan interdependensi dan integrasi


dalam bidang finansial, produksi dan perdagangan telah membawa dampak pada pengelolaan
ekonomi Indonesia. Dampak ini lebih terasa lagi setelah arus globalisasi ekonomi semakin
dikembangkannya prinsip liberalisasi perdagangan (trade liberalization) yang telah diupayakan
secara bersama-sama, oleh negara-negara di dunia dalam bentuk kerjasama ekonomi regional,
seperti North American Free Trade (NAFTA), Single European Market (SEM), European Free
Trade Agreement (EFTA), Australian-New Zealand Closer Economic Relation and Trade
Agreement (ANCERTA), ASEAN Free Trade Area (AFTA), Asia Pacific Economic Cooperation
(APEC) dan World Trade Organization (WTO). Bagi Indonesia yang perekonomian bersifat
terbuka akan terpengaruh dengan prinsip perekonomian global dan prinsip liberalisasi
perdagangan tersebut. Karena perekonomian Indonesia akan berhadapan dengan perekonomian
negara lain/perekonomian mitra dagang Indonesia seperti ekspor-impor; investasi, baik yang
bersifat investasi langsung maupun tidak langsung; serta pinjam-meminjam. Pengaruh
perekonomian ini menjadi tantangan bagi perumusan kebijaksanaan nasional, dunia ekonomi dan
pelaku ekonomi.

Memasuki era 2003 Indonesia harus sudah mantap persiapannya untuk menghadapi
pengaruh yang timbul terhadap perekonomian/perdagangan Indonesia dalam semua aspek.
termasuk di dalamnya aspek hukum, khususnya hukum ekonomi yang merupakan pranata hukum
yang berisikan kebijaksanaan untuk mengarahkan kegiatan ekonomi ke suatu arah tertentu.
Pendekatan Reformasi Hukum Ekonomi

Aksi yang harus dilakukan sekarang dalam konteks menyongsong era 2003 adalah
melakukan pembaharuan produk-produk hukum ekonomi yang efektif untuk mengantisipasi
perjanjian-perjanjian WTO. Berarti harus dilaksanakan pembangunan hukum (law making) yang
bisa diartikan sebagai suatu usaha untuk memperbaharui hukum positif sendiri, sehingga sesuai
dengan kebutuhan untuk melayani masyarakat pada tingkat perkembangan mutakhir, sesuatu
yang biasa disebut sebagai modernisasi hukum. Dalam pembaharuan hukum ini perlu dibuat
pendekatan dengan pengkajian hukum yang bertujuan mencapai jaminan dan kepastian hukum
bagi perdagangan global. Pada tahun 1970 pengkajian hukum dan kaitannya dengan
pembangunan hanya mengkaji bagaimana hukum dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Salah
satu fokus kajiannya adalah bagaimana peranan hukum sebagai alat perubahan sosial (law is tool
of social engineering) dari masyarakat tradisional menuju masyarakat modern. Dua puluh tahun
kemudian, tepatnya tahun 1990 kajian hukum rekayasa sosial di atas telah bergeser sejalan
dengan terjadinya arus era globalisasi yang ditandai dengan era perdagangan bebas (free trade)
kepada kajian hukum dari lingkup domestik ke masalah-masalah kajian global.

Masalah hukum dalam era globalisasi sejalan dengan batasan dari perdagangan bebas itu
sendiri. Ini biasa diartikan sebagai suatu pertukaran dari komoditi-komoditi antara negara-negara
independen tanpa halangan-halangan hukum yang dimaksudkan untuk membatasi perdagangan
tersebut, seperti tarif protektif, kuota, kontrol komoditi, kontrol terhadap pertukaran barang,
prosedur bea cukai yang sulit, atau monopoli pemerintah atau monopoli lainnya. Jalannya
pengkajian hukum yang mengalami pergeseran fokus kajian sebagaimana peranan hukum dalam
pembangunan tahun 1970 dan tahun 1990 di atas, tidak harus dipisahkan pengertiannya. Karena
sasaran yang dituju adalah sama-sama tercapainya jaminan dan kepastian hukum.

Dalam konteks pembaharuan hukum dalam memasuki era 2003 jaminan dan kepastian
hukum diatas sangat penting. Karena itu kebijaksanaan pembaharuan hukum Indonesia dalam era
2003 hendaknya berorientasi kepada jaminan dan kepastian hukum. Di samping itu, yang harus
menjadi perhatian dalam pembaharuan hukum ini, adalah sarana yang dapat mempelancar
jalannya perekonomian. Menurut studi yang dilakukan Burg’s mengenai hukum dan
pembangunan terdapat 5 (lima) unsur yang harus dikembangkan supaya tidak menghambat
ekonomi, yaitu stabilitas (stability), prediksi (preditability), keadilan (fairness), pendidikan
(education), dan pengembangan khusus dari sarjana hukum (the special development abilities of
the lawyer). Selanjutnya Burg’s mengemukakan bahwa unsur pertama dan kedua di atas
merupakan persyaratan supaya sistem ekonomi berfungsi. Disini stabilitas berfungsi untuk
mengakomodasi dan menghindari kepentingan-kepentingan yang saling bersaing. Sedangkan
prediksi merupakan kebutuhan untuk bisa memprediksi ketentuan-ketentuan yang berhubungan
dengan ekonomi suatu negara.

BAB II
PENGARUH GLOBALISASI EKONOMI
PADA HUKUM INDONESIA

Globalisasi ekonomi yang juga semakin dikembangkan oleh prinsip liberalisasi


perdagangan (trade liberalization) atau perdagangan bebas (free trade) lainnya, telah membawa
pengaruh pada hukum setiap negara yang terlibat dalam globalisasi ekonomi dan perdagangan
bebas tersebut. Oleh karena arus globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas itu sulit untuk
ditolak dan harus diikuti. Sebab globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas tersebut
berkembang melalui perundingan dan perjanjian internasional. Implikasi globalisasi ekonomi itu
terhadap hukum tidak dapat dihindarkan.Sebab globalisasi hukum mengikuti globalisasi ekonomi
tersebut, dalam artisubstansi berbagai undang-undang dan perjanjian-perjanjian menyebar
melewati batas-batas negara (cross-border). Tepatlah pandangan Lawrence M. Friedman, yang
mengatakan hukum itu tidak bersifat otonom, tetapi sebaliknya hukum bersifat terbuka setiap
waktu terhadap pengaruh luar. Dapat dipahami bahwa globalisasi ekonomi dan perdagangan
bebas telah menimbulkan akibat yang besar sekali pada bidang hukum. Negara-negara di dunia
yang terlibat dengan globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas itu, baik negaramaju maupun
sedang berkembang bahkan negara yang terbelakang harus membuat standarisasi hukum dalam
kegiatan ekonominya
Investasi dan Perdagangan Bebas Global

Prinsip liberalisasi perdagangan yang telah diupayakan secara bersama- sama oleh
negara-negara di dunia telah menimbulkan interdependensi dan integrasi perdagangan di antara
bangsa-bangsa di dunia, termasuk perdagangan diIndonesia. Prinsip perdagangan bebas telah
ditetapkan melalui kesepakatan dalam Agreement Establishing the World Trade Organization
(Perjanjian WTO) dan ASEAN Free Trade Area (AFTA) yang disepakati oleh negara-negara
anggota ASEAN.

WTO mulai beroperasi sebagai organisasi internasional pada 1 Januari 1995. WTO
dikenal sebagai pendukung vital untuk memperkuat kerjasama ekonomi dunia dan juga disebut
sebagai salah satu organisasi internasional terpenting dibidang perekonomian internasional,
disamping organisasi internasional lainnya. Hal ini dapat diamati dari pendapat Peter D.
Sutherland, mantan Direktur Jenderal GATT yang disampaikan pada World Economic Forum,
“Money, Finance and Trade have all to be treated in an integrated way. The resources that can
bemobilized by the World Bank in support of the development of essential infrastructure and
enterprice are vital, especially to give a lead to promising private sector initiatives. The IMF’s
role of guiding macro-economic and monetary policy is crucial one. And the new WTO will-over
and above all its other specific tasks – privide amuch-needed means of gauging the
appropriateness and effectiveness of micro-economic policies through their impact on trade and
consistency with multilateral rules”.Fungsi WTO sebagai pengganti GATT menetapkan aturan
perdagangan internasional, dimana tujuan utamanya adalah meliberalisasikan perdagangan
internasional dan menjadikan perdagangan bebas sebagai landasan perdagangan internasional
untuk mencapai pertumbuhan ekonomi, pembangunan dan kesejahteraan umat manusia.

perkembangan kerjasama ekonomi regional sebagaimana dibuat ASEAN, yang menjadi


AFTA pada tanggal 1 Januari 2003, seperti ditetapkan dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT)
IV ASEAN bulan Januari 1992 di Singapura, juga bertujuan menerapkan konsep untuk
meningkatkan volume perdagangan bagi negara-negara anggota (trade creation) ASEAN. Hal ini
menuntut Indonesia harus siap mengatur kegiatan perdagangannya diharmonisasikan dengan
ketentuan AFTA tersebut. Oleh karena berlakunya atau diterapkannya AFTA, baik sebagian
maupun secara penuh akan membawa pengaruh pada perkembangan ekonomi dan hukum
Indonesia di masa mendatang. Sebab penetapan AFTA sebagai suatu sistem perdagangan bebas
di kawasan Asia Tenggara tersebut akan menimbulkan hubungan interdependensi dan integrasi
dalam bidang perdagangan serta akan membawa dampak perdagangan atau ekonomi di
Indonesia, dimana lalu lintas perdagangan akan bebas tanpa hambatan tarif bea masuk maupun
non tarif. Artinya, barang-barang hasil produksi negara-negara ASEAN akan sangat bebas masuk
pada setiap negara anggota ASEAN. Konsep AFTA melalui Common Effective Preferential
Tariff (CEPT), yaitu penurunan tarif beberapa komoditi tertentu secara bersamaan sampai
mencapai tingkat 0-5%, dimana penurunan tarif tersebut dilakukan secara bertahap, yaitu sampai
mencapai kondisi perdagangan bebas untuk seluruh komoditi setelah 15 tahun. Namun, tahap
pertama penurunan tarif itu berlaku mulai 1 Januari 2003 pada 15 komoditi

Pembaharuan Hukum

Prinsip globalisasi ekonomi dan prinsip perdagangan bebas tersebut melalui WTO dan
AFTA akan membuat perekonomian Indonesia berhadapan dengan perekonomian negara lain
atau perekonomian mitra dagang Indonesia seperti ekspor-impor, investasi, baik yang bersifat
investasi langsung maupun tidak langsung (portfolio investment), serta pinjam-meminjam.
Pengaruh WTO dan AFTA tersebut menjadi tantangan bagi perumusan hukum atau
kebijaksanaan nasional, dunia ekonomi dan pelaku ekonomi. Dalam pembaharuan hukum ini
perlu dibuat pendekatan dengan pengkajian hukum yang bertujuan mencapai jaminan dan
kepastian hukum bagi kegiatan investasi dan perdagangan secara global. Dalam konteks
pembaharuan hukum dalam memasuki WTO dan AFTA, upaya untuk memberikan jaminan dan
kepastian hukum di Indonesia semakin penting untuk dikaji. Oleh karena itu, kebijaksanaan
pembaharuan hukum Indonesia dalam era WTO dan AFTA hendaknya berorientasi kepada
jaminan dan kepastian hukum sesuai dengan yang diinginkan dalam ketentuan-ketentuan WTO
dan AFTA. Unsur-unsur hukum dalam pembangunan ekonomi tepat untuk diterapkan dalam
pembaharuan hukum investasi dan perdagangan dalam menyongsong berlakunya ketentuan
WTO dan AFTA. Selanjutnya program legislasi nasional dimasa mendatang harus memberikan
prioritas pada hukum yang berkaitan dengan kerangka ketentuan WTO dan konsep AFTA melaui
CEPT, dimana hukum investasi dan perdagangan yang berlaku selama ini harus menjadi semakin
terbuka, supaya arus investasi dapat berkembang dan sekaligus semakin mengurangi hambatan-
hambatan dalam bentuk tarif maupun non tarif. Negara yang dapat memanfaatkan WTO dan
AFTA tersebut secara luas akan meningkatkan arus investasinya dan perdagangannya. Oleh
karena itu pembaharuan hukum investasi dan perdagangan dalam bentuk peraturan perundang-
undangan harus mengakomodasikan ketentuan WTO dan konsep AFTA melalui CEPT berikut
semua naskah persetujuannya yang dijadikan acuan bagi pelaksanaan kegiatan investasi bagi
anggota-anggota negara ASEAN. Dengan demikian kita perlu Undang-Undang Investasi yang
baru menggantikan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri serta berbagai
structural adjusment policies berupa paket-paket deregulas yang berlaku selama ini dibidang
Penanaman Modal Asing.

Penutup
Indonesia harus sudah mantap persiapannya untuk menghadapi pengaruh yang timbul terhadap
perekonomian atau perdagangan Indonesia dalam semua aspek akibat globalisasi ekonomi,
termasuk kesiapan dalam aspek hukum, khususnya hukum investasi dan perdagangan.
Selanjutnya, hukum investasi atau perdagangan yang diperbaharui itu harus dapat berjalan
efektif. Efektifnya hukum tersebut harus dapat disajikan secara operasional. Dalam konteks itu,
perlu pula peningkatan kualitas sumber daya manusia pada biro hukum berbagai departemen
maupun pemerintah, baik pusat, propinsi, kota maupun kabupaten untuk memahami ketentuan
WTO dan AFTA melalui CEPT.

BAB III

IMPLIKASI AFTA TERHADAP KEGIATAN INVESTASI DAN HUKUM INVESTASI


INDONESIA

Berkembangnya kerjasama ekonomi regional yang dibuat ASEAN, yang menjadi Konferensi
Tingkat Tinggi IV ASEAN bulan Januari 1992 di Singapura, menuntut Indonesia harus siap
mengatur kegiatan investasi dan hukum investasi yang diharmonisasikan dengan ketentuan
AFTA,karena diterapkan AFTA,baik sebagian maupun secara penuh akan membawa pengaruh
pada perkembangan investasi dan hukum investasi di masa mendatang. Sebab penetapan AFTA
sebagai suatu sistem perdagangan bebas di kawasan Asia Tenggara tersebut akan menimbulkan
hubungan interdependensi dan integrasi dalam bidang investasi serta akan membawa dampak
pengelolaan investasi atau ekonomi di Indonesia, dimana lalu lintas perdagangan akan bebas
tanpa hambatan tarif bea masuk maupun non tarif. Disinilah diperlukan pembaharuan hukum
investasi sebagai perangkat aturan untuk memberikan antisipasi kegiatan investasi di Indonesia
era AFTA 2003. Dengan ini berarti hukum investasi harus diperbaharui sesuai dengan «ritme»
tuntutan AFTA, guna menampung ketentuan-ketentuan AFTA. Termasuk di dalamnya aspek
hukum, khususnya hukum investasi yang merupakan pranata hukum yang berisikan
kebijaksanaan untuk mengarahkan kegiatan investasi ke suatu arah ketentuan AFTA.

Pendekatan Pembaharuan Hukum Investasi

Aksi yang harus dilakukan sekarang dalam konteks menyongsong era AFTA 2003 adalah
melakukan pembaharuan produk-produk hukum investasi yang efektif untuk mengantisipasi
AFTA. Namun, perlu menjadi pemahaman bahwa jalannya pengkajian hukum yang mengalami
pergeseran fokus kajian sebagaimana peranan hukum dalam pembangunan antara tahun 1970 dan
tahun 1990 di muka tidak harus dipisahkan pengertiannya. Karena sasaran yang dituju adalah
sama-sama tercapainya jaminan dan kepastian hukum. Di samping itu, yang harus menjadi
perhatian dalam pembaharuan hukum itu, adalah sarana yang dapat mempelancar jalannya
perekonomian,untuk pembaharuan hukum investasi dalam rangka menuju berlakunya AFTA,
maka proses yang harus dilakukan adalah membuat hukum investasi yang sesuai dengan
persyaratan di atas, agar jalannya hukum investasi itu tidak terhambat.. Adapun kerangka CEPT
adalah sebagai berikut:

1. Ketentuan umum

1) Semua negara anggota ASEAN ikut serta dalam skema CEPT.

2) Produk produk yang dimasukkan ke dalam skema CEPT berdasarkan pendekatan


sectoral pada tingkat 6 digit Harmonized system (HIS).
3) Bagi negara-negara yang belum siap memasukkan produk-produk tertentu ke
dalam skema CEPT, pengecualian dapat dilakukan pada tingkat 8 atau 9 digit HS
dan bersifat sementara.
4) Produk-produk yang dianggap “sensitif” oleh negara-negara anggota dapat
dikeluarkan dari skema CEPT dan tidak diberikan konsesi dalam rangka CEPT
berupa penurunan tarif (NTB) dan lain-lain. Setelah delapan tahun, produk yang
dikeluarkan tersebut ditinjau kembali untuk ditetapkan apakah masuk skema
CEPT atau dikeluarkan secara permanen. Ketentuan tersebut merupakan
pelaksanaan prinsip (6-X).
5) Suatu produk CEPT harus memenuhi kandungan lokal (local contenf) paling
sedikit 4096.
6) Produk-produk dari skema Tarif Preferensi ASEAN (ASEAN PTA) setelah
dikenakan Margin of Tarif Preference (MOP) sehingga tarif efektifnya menjadi
204 atau lebih rendah, dialihkan masuk skema CEPT. Bagi produk ASEAN PTA
yang belum memenuhi ketentuan di atas, tetap menikmati MOP yang berlaku.
2. Lingkup Produk CEPT

Produk CEPT meliputi seluruh jenis produk industri, termasuk barang modal, produk
olahan hasil pertanian, dan produk-produk lainnya yang tidak termasuk defenisi
produk pertanian. Produk pertanian dan jasa dikeluarkan dari skema CEPT.
3. Penurunan Tarif dan Jangka Waktu

1) Penurunan tarif efektif produk CEPT dilaksanakan secara bertahap sampai


mencapai tingkat antara 0-5”6 dalam jangka waktu 15 tahun
2) Jadwal penurunan tarif • Penurunan tarif yang sedang berlaku sampai menjadi
tarif efektif 2096 adalah dalam jangka waktu 5-8 tahun dan dimulai tanggal 1
Januari 1993. • Penurunan tingkat tarif efektif selanjutnya dari 2016 menjadi 0-
5”6 adalah dalam jangka waktu 7 tahun • Secara keseluruhan kedua proses
penurunan tersebut diatas tidak lebih dari 15 tahun
3) Produk-produk yang telah mencapai tingkat tarif 2096 atau lebih rendah, dapat
menikmati konsesi CEPT dengan syarat negara yang bersangkutan
mengumumkan jadwal penurunan tarifnya dari 2096 menjadi 0-556 atas produk
tersebut.
4) Jadwal penurunan tarif tersebut di atas tidak menghalangi suatu negara untuk
menurunkan tarifnya menjadi 096 dengan segera
4. Ketentuan-ketentuan Lainya

1) Produk CEPT dibebaskan dari pembatasan kuantitatif dan larangan penggunaan


valuta asing. Selanjutnya dalam 5 tahun bentuk-bentuk NTB lainnya harus telah
dihapuskan.
2) Negara peserta tidak diperkenankan untuk menghapuskan atau mengurangi segala
konsesi yang telah disepakati melalui penerapan sistem Custom Valuation,
pengaturan-pengaturan baru yang menghambat perdagangan, kecuali untuk
kasuskasus tertentu yang telah ditetapkan dalam perjanjian.
3) Dapat dilakukan langkah-langkah darurat asal saja sesuai dengan ketentuan
GATT, yaitu Dalam pelaksanaan CEPT, apakah impor suatu barang meningkat
pesat sehingga menyebabkan pengaruh berat bagi industri yang sama di negara
anggota, maka negara yang bersangkutan dapat menangguhkan semester
pemberian konsesi tarifnya. Dalam pelaksanaan CEPT. apakah terjadi penurunan
cadangan devisa yang tajam, dapat dilakukan langkah-langkah untuk membatasi
impor selama nilai konsesi yang telah disepakati tetap terjaga. Rencana penerapan
langkah-langkah darurat tersebut harus disampaikan secepatnya kepada Badan
CEPT.
4) Negara anggota diperkenankan mengambil langkah-langkah pengamanan yang
dianggap perlu selama berkaitan dengan:
● Perlindungan terhadap keamanan nasional.
● Perlindungan moral masyarakat
● Perlindungan terhadap manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan
dan kesehatan.
● Perlindungan terhadap benda-benda yang mempunyai nilai artistik,
sejarah, dan kepurbakalaan.
BAB 4
ASPEK HUKUM DALAM TRANSPARANSI PENGELOLAAN PERUSAHAAN
BUMN/BUMD SEBAGAI UPAYA MEMBERANTAS KKN

Apalagi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana


Korupsi sudah memasukkan pula tanggung jawab korporasi. Pasal 20 ayat 2 Undang-Undang
tersebut menyebutkan bahwa tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak
pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun
berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun
bersama-sama. Dalam Pasal 20 ayat 3 Undang-Undang tersebut juga ditentukan bahwa dalam hal
tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi, maka korporasi tersebut diwakili oleh
pengurus. Secara spesifik, penerapan prinsip transparansi itu berfungsi untuk mendukung
jalannya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang kemudian diperbaiki dengan Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001, dimana dalam konsideran peraturan perundang-undangan
tersebut ditegaskan bahwa korupsi sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara
dan menghambat pembangunan nasional yang membutuhkan efisiensi tinggi.

Holly J. Gregory dan Marshal E. Simms menguraikan istilah pengelolaan perusahaan dari
Ira M. Millstsin, «The Evolution of Corporate Govemance in the United States,» yang dibacakan
di depan Forum Ekonomi Dunia, di Davos, Swiss pada tanggal 2 Februari 1998, dimana
dikatakan bahwa istilah «pengelolaan perusahaan» memiliki banyak definisi. Istilah itu dapat
juga mengacu pada praktik audit dan prinsip-prinsip pembukuan, dan juga dapat mengacu
kepada keaktifan pemegang saham.

Secara lebih sempit, istilah pengelolaan perusahaan dapat digunakan untuk


menggambarkan peran dan praktik dari dewan direksi. Secara singkat istilah pengelolaan
perusahaan tersebut oleh Gregory dan Simms diuraikan dengan pandangan definisi luas dan
terbatas. Secara terbatas,istilah tersebut berkenaan dengan hubungan antara manajer, direktur dan
pemegang saham perusahaan. Istilah tadi juga dapat mencakup hubungan antara perusahaan itu
sendiri dengan pembeli saham dan masyarakat.

Grup Penasehat Bisnis Sektor Organization for Economic Goorperation and Development
mengenai Pengelolaan Perusahaan membuat satu laporan mengenai prinsip prinsip umum
pengelolaan perusahaan dari pandangan sektor swasta dengan menitikberatkan pada apa yang
diperlukan oleh suatu pengelolaan untuk menarik modal.Laporan tersebut diketua oleh, Ira M.
Milstsin .

Salah satu bidang diantara tiga bidang lainnya adalah bidang transparansi. Kedua,
pengklarifikasian peran dan tangung jawab pengelolaan serta usaha-usaha yang dapat membantu
memastikan kepentingan pengelolaan dan kepentingan pemilik saham untuk diawasi oleh dewan
direksi. Ketiga, pemastian bahwa perusahaan memenuhi kewajiban hukum dan peraturan lainnya
yang menggambarkan penilaian masyarakat adalah bidang transparansi," yang sekaligus menjadi
salah satu prinsip OECD dalam pengelolaan perusahaan.

Berkaitan dengan prinsip-prinsip umum pengelolaan perusahaan yang baik oleh OECD
tersebut, Cetak Biru Pasar Modal Indonesia dibuat Bapepam, juga menetapkan strategi
pengembangan pasar modal.Prinsip transparansi penting untuk mencegah penipuan atau KKN.
Sangat baik untuk dipahami ungkapan yang pernah diungkapkan Barry A.K Rider: "sun light is
the best disinfectant and eleotrio light the policeman." Dengan perkataan lain.Rider mengatakan
bahwa "more disclosure will inevitably discourage wrongdoing and abuse.

Untuk lebih memahami pembenaran prinsip keterbukaan tersebut, dapat diikuti


pengamatan Coffee tentang perlunya sistem keterbukaan wajib , dimana dengan teori yang lebih
sederhana ia dapat menjelaskan bagaimana sistem keterbukaan difokuskan. Coffee. Gunanya
untuk mengatur pemberian informasi mengenai keadaan keuangan dan informasi lainnya kepada
investor atau stakeholders.Dengan perkataan lain, tujuan yang ingin dicapai ketentuan penerapan
keterbukaan itu adalah untuk menghasilkan dokumen yang menceritakan kepada investor atau
stakeholders, mengenai berbagai hal yang seharusnya diketahui oleh mereka.

Oleh karena, setelah kejadian-kejadian tersebut telah memunculkan berbagai pendapat


yang mengarah pada perlunya ditinjau kembali standar pemeriksaan keuangan oleh
akuntan.Walaupun selama ini di pasar modal Amerika Serikat dianggap telah mempunyai standar
yang ketat, namun tuntutan lebih memperketat standar tersebut telah menjadi wacana.

Memang masalah standar itu telah lama dibicarakan dalam pasar modal di Amerika
Serikat, dimana disebutkan bahwa Akuntan sebagai Profesi Penunjang Pasar Modal tidak bebas
bekerja tanpa suatu standar.
Standar reasonable Investigation didasarkan pada standar berakal sehat dan bijaksana
dalam mengurus harta milik pribadi (prudent man in the management of his own property).
Steinberg menyebutkan pula, bahwa standar prudent man tidak hanya didasarkan kepada
investigasi yang wajar, tetapi juga kepada kepercayaan yang wajar. Di Indonesia, standar
pemeriksaan keuangan perusahaan di pasar modal sebagai dasar penerapan pertanggungjawaban
akuntan yang melakukan pemeriksaan keuangan perusahaan masih belum cukup. Sedangkan
permasalahan berkenaan dengan standar akuntansi tersebut paling perlu untuk mendapat
perhatian. Penekanan terhadap permasalahan standar akuntansi itu sesuai dengan adanya
pertanyaan yang berkembang pada sekitar pemberlakuan standar akuntansi bagi perusahaan yang
akan go public. Sebab pada umumnya pelanggaran peraturan prinsi keterbukaan terdiri dari
pernyataan menyesatkan yang disebabkan adanya misrepresentation.

Pelanggaran prinsip keterbukaan, yaitu pernyataan menyesatkan dalam bentuk


misrepresentation, dapat terjadi apabila ada pernyataan yang secara jelas tidak sesuai dengan
fakta. Oleh sebab itu misrepresentation adakalanya disebut juga dengan misstatement, yaitu suatu
perbuatan yang membuat pernyataan yang salah, khususnya berkaitan dengan data internal yang
dapat menyesatkan bagi investor. Dalam pembaharuan Undang-Undang Perseroan Terbatas dan
Undang-Undang Pasar Modal perlu pencantuman hakhak Komisaris dan Direktur Independen
tersebut. Perlindungan terhadap kepentingan pemegang saham minoritas (yang bukan pemegang
saham pengendali) diusulkan agar tercermin dengan adanya wakil wakil mereka yang duduk
sebagai Komisaris dan Direksi. Diusulkan pula agar Pemegang Saham Non Pengendali ini dapat
mengadakan RUPS tersendiri untuk hal-hal tertentu dan keputusannya dapat mengikat seluruh
pemegang saham.

BAB 5

PENERAPAN GOOD CORPORATE GOVERNANCE DALAM PENCEGAHAN


PENYALAHGUNAAN KREDIT
Salah satu yang mengakibatkan runtuhnya perekonomian Indonesia disebabkan oleh karena
tidak adanya good corporate governance di dalam pengelolaan perusahaan. Kajian Booz- Allen
& Hamilton pada tahun 1998 menunjukkan bahwa indeks good corporate gavernance Indonesia
dibandingkan dengan Malaysia, Thailand, Singapura dan Jepang adalah yang paling
rendah. Dalam kajian yang sama ditemukan bahwa indeks efisiensi hukum dan peradilan juga
paling rendah.
Sama dengan penelitian McKinsey tahun 1999, menunjukkan bahwa persepsi investor
mengenai praktik good corporate governance pada perusahaan-perusahaan Indonesia juga adalah
paling rendah. Selanjutnya, kajian yang dibuat oleh Bank Dunia menunjukkan bahwa lemahnya
penerapan corporate governance merupakan faktor yang menentukan parahnya krisis di Asia.
Kelemahan tersebut antara lain terlihat dari minimnya pelaporan kinerja keuangan dan
kewajiban-kewajiban perusahaan, kurangnya pengawasan atas aktivitas manajemen oleh
Komisaris dan Auditor, serta kurangnya insentif untuk mendorong terciptanya efisiensi di
perusahaan melalui mekanisme persaingan yang fair.
Pentingnya bank, juga dapat beberapa hal dari bisnis yang dianggap paling menarik dapat
diamati antara lain, bahwa bisnis tersebut dimulai dan didanai oleh masyarakat atau badan-badan
atau bisnis tersebut pada awalnya berkembang dengan pemberian kredit pemasok (supplier
credit) dan diikuti dengan pendanaan dari bank.
MASALAH PEMBERIAN KREDIT
Bank di Indonesia pernah mengalami masalah-masalah yang menuju kehancuran. Masalah-
masalah tersebut berasal dari faktor makro dan mikro. Masalah yang berasal dari faktor makro
adalah bermula dari krisis ekonomi yang terjadi sejak semester kedua tahun 1997. Hal ini
ditandai dengan krisis nilai tukar ditandai dengan anjloknya nilai rupiah terhadap US Dolar
sebesar 109,6% pada Desember 1997 dibandingkan dengan nilai Rupiah pada Juli 1997. Masalah
makro itu berkaitan dengan masalah mikro, yaitu munculnya krisis utang swasta yang
mengakibatkan krisis perbankan. Sebab, menurut Laporan Tahunan 1997/1998 Bank Indonesia,
anjloknya nilai rupiah itu telah memperburuk kualitas perkreditan bank-bank.
Kondisi itu dapat dilihat dari kondisi kredit setelah krisis melanda Indonesia, dimana
jumlah kredit bermasalah meningkat 50% pada Juni 1998 dari total Rp. 625,5 triliun yang
disalurkan. Jumlah itu meningkat jika dibandingkan dengan tahun 1996, yaitu 10% dari jumlah
kredit yang disalurkan. Setidak-tidaknya kehancuran industri perbankan Indonesia disebabkan
enam faktor. Pertama, penyaluran kredit yang terlalu ekspansif yang dipacu oleh pemasukan
dana luar negeri yang bersifat rentan, oleh karena sifatnya jangka pendek. Kedua, pemberian
kredit tanpa melalui proses analisa kredit yang sehat. Ketiga, konsentrasi kredit yang berlebihan
kepada suatu kelompok usaha atau individu baik yang terkait dengan bank maupun tidak. Empat,
moral hazard karena belum tegasnya mekanisme exit policy dan berlarut-larutnya penyelesaian
bank bank bermasalah. Lima, campur tangan pemilik yang berlebihan dalam manajemen bank
(bahkan tidak sedikit pemilik yang merangkap jabatan sebagai pengurus bank). Keenam,
lemahnya aspek supervisi dan regulasi perbankan.
PENERAPAN GOOD CORPORATE GOVERNANCE
Holly J. Gregory dan Marsha E. Simms saat membicarakan pengelolaan perusahaan
(corporate governance), menyinggung “apa dan mengapa pengelolaan perusahaan penting.”
Gregory dan Simms membuat pernyataan dengan mengutip pendapat James D. Wolfensohn yang
mengatakan, bahwa dalam dunia ekonomi saat ini, pengelolaan perusahaan telah dianggap
penting sebagaimana pemerintah negara.” Hal ini dapat dipahami dari batasan pengelolaan
perusahaan tersebut, sebagaimana dikatakan Ira M. Millstein, yang memberikan penekanan pada
cakupan dari segala hubungan perusahaan.
Seperti hubungan antara pemodal, produk jasa dan penyedia sumber daya manusia,
pelanggan dan bahkan masyarakat luas. Selanjutnya istilah good corporate governance dapat juga
mencakup segala aturan hukum yang ditujukan untuk memungkinkan suatu perusahaan dapat
dipertanggungjawabkan dihadapan pemegang saham dan publik. Istilah good corporate
governance juga dapat mengacu pada praktik audit dan prinsip-prinsip pembukuan, dan juga
dapat mengacu pada keaktifan pemegang saham. Secara lebih sempit, istilah good corporate
governance itu dapat digunakan untuk menggambarkan peran dan praktik dewan direksi.
Termasuk pengelolaan perusahaan berkaitan dengan hubungan antara dewan direksi (pengelola)
perusahaan dan pemegang saham, yang didasarkan pada pandangan bahwa dewan direksi
merupakan perantara para pemegang saham untuk memastikan suatu perusahaan dikelola demi
kepentingan pemegang saham. Hal ini sejalan dengan paradigma bahwa para direksi
bertanggungjawab kepada dewan komisaris dan dewan komisaris bertanggung jawab kepada
pemegang saham.
PRINSIP KEADILAN
Peraturan perkreditan harus menentukan jaminan yang cukup secara tegas dengan sanksi
yang cukup, dimana pelaksanaan pemberian kredit dikelola dengan prudential. Di samping itu,
peraturan perkreditan itu harus menentukan secara 1 cukup antisipasi terhadap kemungkinan
praktik pemberian kredit yang merugikan, seperti penipuan. Selanjutnya peraturan perkreditan
tersebut harus menentukan secara cukup bahwa setiap contractual relationship harus dapat
dilaksanakan secara efektif. Formulasi prinsip keadilan dalam peraturan perkreditan, juga harus
melakukan pendekatan pada prinsip pengawasan, dimana direksi mempunyai peran yang cukup
untuk mengawasi manajemen. Alasan dilakukan pengawasan itu berkaitan dengan upaya
menjaga kepercayaan masyarakat. Pemeliharaan kepercayaan masyarakat terhadap integritas
sistem perbankan penting diupayakan, oleh karena kepercayaan masyarakat merupakan faktor
yang sangat krusial dalam bank sebagai industri jasa.
PRINSIP KETERBUKAAN
Prinsip keterbukaan dalam industri perbankan berkaitan dengan prinsip keadilan
sebagaimana diuraikan di muka. Oleh karena jalannya prinsip keadilan harus didukung oleh
keterbukaan keadaan finansial dalam pengawasan perusahaan. Gregory dan Simm, mengatakan,
bahwa kegagalan dewan komisaris dan pemegang saham pengendali dalam
mempertanggungjawabkan pengawasan usaha dapat diamati dari faktor yang menunjukan dewan
komisaris dan pemegang saham pengendali terlibat melakukan tindakan pemberian pinjaman
yang didasarkan pada hubungan pertemanan, dibandingkan atas adanya suatu analisis yang
mendalam mengenai risiko. Hal ini bukan suatu yang mengejutkan, oleh karena mereka
mendasarkan pendapat pada suatu adanya investasi berlebihan yang bersifat non produktif dan
kegiatan perusahaan yang bersifat spekulatif. Dengan demikian mendesak penerapan disiplin
keuangan yang efektif dalam perusahaan. Hal ini penting, karena gagalnya perusahaan mengatasi
risiko, salah satunya disebabkan minimnya standar atas keterbukaan. Dalam kaitannya dengan
penerapan prinsip keterbukaan dalam bank, BI telah membuat Peraturan BI Nomor:
3/22/PBI/2001 tentang Transparansi Kondisi Keuangan Bank, dimana pertimbangan pembuatan
peraturan tersebut adalah untuk menciptakan disiplin pasar (market dicipline). Peraturan itu
diupayakan untuk meningkatkan tranparansi kondisi keuangan dan kinerja bank untuk
memudahkan penilaian di antara sesama peserta pasar melalui publikasi laporan kepada
masyarakat.
BAB 6
PENENTUAN PERBUATAN “SALAH” DAN “PALSU” DALAM
PEMBERITAHUAN PABEAN
Harmonisasi peraturan di rezim World Trade Organization (WTO) dan era pasar bebas
ASEAN (ASEAN Free Trade Area/ AFTA) harus sejalan dengan prinsip globalisasi yang
meliputi adanya penyesuaian kebijakan struktural (structural adjusment policies), termasuk
berbagai kebijakan berkenaan dengan aspek kepabeanan (customs). Berdasarkan kecenderungan
tersebut, Indonesia telah melakukan pembaruan peraturan kepabeanan dengan lahirnya Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabenan. Harmonisasi peraturan kepabeanan era WTO
sejalan dengan dengan ketentuan-ketentuan GATT difokuskan untuk memberikan jaminan
perlindungan dan kepastian hukum bagi praktik penyelenggaraan kegiatan perdagangan
internasional sesuai dengan praktik kepabeanan internasional sebagaimana diatur dalam
persetujuan perdagangan internasional. Hal-hal yang baru mengenai ketentuan kepabeanan
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan tidak
terlepas dari tuntutan rezim WTO. Misalnya, dalam Annex 1A Multilateral Agreement on Trade
Goods dari WTO ditentukan Understanding on the Interpretation of Article XXIV, dimana
perjanjian memperjelas dan mempertegas kriteria serta prosedur untuk pemeriksaan atas Customs
Unions dan Free Trade Areas baru atau yang diperbesar dan untuk evaluasi atas akibat- akibat
yang timbul terhadap pihak ketiga.
Ketentuan Pemberitahuan Pabean Di Indonesia Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995
tentang Kepabeanan menentukan, bahwa dalam rangka kepabeanan, yaitu segala sesuatu yang
berhubungan dengan pengawasan atas lalu-lintas barang yang masuk atau keluar Daerah Pabean
dan pemungutan Bea Masuk, diwajibkan membuat Pemberitahuan Pabean.

BAB 7
PENGADILAN PAJAK : PERBANDINGAN BEBERAPA NEGARA DAN
IMPLEMENTASINYA DI INDONESIA
Menurut hasil studi Bank Dunia Tahun 2002, salah satu cara untuk membuat pengadilan
menjadi efisien adalah dengan cara membuat Pengadilan Khusus (Specialized Courts).
Pengadilan Khusus yang efisien merupakan tuntutan yang harus dinyatakan, oleh karena
pengadilan yang demikian diharapkan untuk mempercepat proses penyelesaian sengketa para
pihak dengan adil, cepat dan efektif. Namun, untuk menyatakan Pengadilan Khusus yang efisien
tersebut harus didukung dengan suatu sistem peradilan yang modern dan berwibawa. Untuk
keperluan itu, perlu dibuat perbandingan bagaimana pendekatan dalam tradisi pengadilan di
negara common law dan civil law menyelesaikan suatu perkara.
Di sini perlu dipahami sumber hukum dalam common law yang lahir dari keputusan-
keputusan pengadilan (case law) dan sumber hukum yang lahir dari berbagai peraturan
perundang-undangan sebagaimana dalam tradisi civil law. Dalam pengamatan Mary Ann
Glendon, case law dengan teknik penguraian dalam hubungannnya dengan precedent dianggap
menjadi nafas common law. Sedangkan metode interpretasi terhadap undang-undang seakan-
akan menjadi jantung kehidupan dari civil law.
Kedudukan Pengadilan Pajak Di Beberapa Negara
Apabila diperhatikan model pengadilan pada negara-negara maju, maka dapat dipahami,
bahwa Pengadilan Khusus telah lama dikenal sebagaimana terdapat di negara common law,
seperti Amerika Serikat. Namun, di negara-negara maju lainnya, peradilan yang menyelesaikan
sengketa pajak tidak diselesaikan melalui Pengadilan Khusus, tetapi diselesaikan dalam lingkup
peradilan umum. Peradilan yang mengadili sengketa pajak terdapat dalam lingkup peradilan
umum atau peradilan administratif dapat diamati pada negara civil law, seperti Perancis dan
Belanda. Di Perancis terdapat Conseil d’Etat yang berfungsi sebagai instansi teratas yang
memeriksa sengketa tata usaha negara dalam tingkat kasasi. Sedangkan pada tingkat yang lebih
rendah terdapat 25 (duapuluh lima) Tribunal Administratif dan Peradilan Tata Usaha yang
berfungsi menyelesaikan masalah masalah kekuasaan negara, pendidikan, pajak, jaminan sosial
dan yang berkaitan dengan jabatan profesional. Dalam peradilan tersebut terdapat kamar khusus
perpajakan yang mengadili sengketa pajak. Dengan ini dapat dilihat bahwa di Perancis
kedudukan pengadilan pajak berada dalam lingkup peradilan administratif. Sedangkan di
Belanda, kedudukan peradilan pajak berada dalam kompentensi peradilan umum
(gerechtshoven), dimana dalam setiap gerechtshoven itu terdapat kamar perpajakan yang
berfungsi mengadili sengketa pajak.
Di negara common law, seperti Amerika Serikat, juga telah lama mempunyai Pengadilan
Khusus. Hal ini dapat dipahami dari sistem state court dan federal court yang memiliki beberapa
pengadilan khusus. Pengadilan-pengadilan tersebut sama seperti layaknya pengadilan umum,
dimana pengadilan itu memiliki wewenang jurisdiksi untuk subjek tertentu. Misalnya, dalam hal
kasus perceraian dan pengasuhan anak yang diselesaikan dalam pengadilan keluarga (family
court). Dalam pengadilan itu tidak dikenal adanya pemeriksaan pengadilan dengan jury (jury
trial). Pengadilan yang mengurusi surat pengesahan, yaitu pengadilan yang mensyahkan surat-
surat wasiat dan mengawasi administrasi dari harta benda ahli waris.
Contoh lain misalnya, Pengadilan atas Claim tertentu (Court of Claims) dan Pengadilan
Pajak (Tax Court) pada tingkat federal dan pengadilan anak-anak (juvenile court) dalam sistem
state. Oleh karena dalam pengadilan-pengadilan tersebut berhubungan dengan gugatan yang
sangat terbatas, maka pengadilan itu mengembangkan/mendidik staf-staf khusus untuk hal
tersebut. Sama halnya dengan hakim-hakim yang bertugas dalam pengadilan, dimana hakim
dalam melaksanakan tugasnya dalam pengadilan klaim dan pajak, menjadi sangat peka dengan
kebijakan-kebijakan publik yang ada dalam kaitannya dengan permasalahan hukum pengadilan
itu sendiri.
Dissenting Opinion
Salah satu isu baru dalam Pengadilan Pajak di Indonesia adalah perbedaan pendapat
(dissenting opinion). Isu dissenting opinion yang diatur dalam UUPP itu, telah menjadi satu
terobosan dalam tradisi peradilan di Indonesia yang selama ini tidak mengenal dissenting
opinion. Oleh karena itu, Hakim diperkenankan melakukan perbedaan pendapat (dissenting
opinion) dalam putusan Pengadilan Pajak. Penerapan dissenting opinion dalam putusan
pengadilan dapat diperhatikan dalam tradisi di negara common law, dimana peradilan di negara
tersebut telah lama menganut dissenting opinion dalam putusan pengadilan.
Dissenting opinion didasarkan pada kebalikan dari pendapat (dissent). Sedangkan
terminologi dari dissent tersebut adalah “most commontly used to denote the explicit
disagreement of one or more judges of a court with the decision passed by the majority upon a
case before them. In such event, the non-concurring judge is reported as `dissenting.` A dissent
may or may not be accompanied by a dissenting opinion.” Pasal 79 ayat (2) UUPP menyatakan,
“Apabila Majelis di dalam mengambil putusan dengan cara musyawarah tidak dapat dicapai
kesepakatan sehingga putusan diambil dengan suara terbanyak, pendapat Hakim Anggota yang
tidak sepakat dengan putusan tersebut dinyatakan dalam putusan Pengadilan Pajak.” Penjelasan
Pasal 79 ayat (2) tersebut menyebutkan, bahwa pencatuman pendapat Hakim Anggota yang
berbeda dalam putusan Pengadilan Pajak, dimaksudkan agar pihak-pihak yang bersengketa dapat
mengetahui keadaan dan pertimbangan Hakim Anggota dalam Majelis. Lebih jauh lagi,
diaturnya dissenting opinion sebagaimana terdapat dalam Pasal 79 ayat (2) UUPP itu akan
memberikan kesempatan pada masyarakat menilai pendapat hakim dalam suatu putusan
Pengadilan Pajak
BAB 8
SISTEM SUB-CONTRACTING ANTARA PERUSAHAAN INDUSTRI BESAR
DAN PENGUSAHA INDUSTRI KECIL SUATU KAJIAN KULTUR HUKUM
Pemerintah Indonesia sejak program Pengembangan Nasional Tahun (PELITA) Ke II, telah
menata strategi pembangunan ekonomi kepada tiga sasaran, yaitu pertumbuhan ekonomi,
pemerataan dan stabilitas nasional dengan prioritas penekanan kepada aspek pemerataan. Aspek
pemerataan dimaksud adalah pemerataan kesempatan kerja maupun berusaha dengan sasaran
utama kelompok pengusaha ekonomi lemah, termasuk di dalam-nya pengusaha industri kecil.
Dengan program pembangunan itu sudah banyak kegiatan yang berhasil memecahkan berbagai
masalah ekonomi. Namun pada umumnya masih ada ketimpangan ekonomi yang menuntut usaha
yang sungguh-sungguh untuk mengatasinya. Oleh karena itu Garis-Garis Besar Haluan Negara
(GBHN) Tap. No. II/MPR/1993 Bab IV Sub A-3, menetapkan perluasan dan kegiatan ekonomi,
memperluas lapangan kerja dari lapangan usaha, serta meningkatkan masyarakat secara lebih
merata melalui mantapnya iklim yang mendukung pembinaan dan peningkatan usaha informal.
Usaha kecil golongan ekonomi lemah, dan usaha menengah, kerjasama kemitraan antara
koperasi, usaha negara dan swasta. Secara konkritnya dalam Pelita VI ini kerjasama antara
perusahaan/industri besar dan pengusaha industri kecil masih diperintahkan oleh GBHN. Dalam
hal ini pengusaha industri kecil (usaha skala kecil) terus ditingkatkan antara lain melalui sistem
Sub-contracting.
BAB 9
MERGER, AKUISISI DAN KONSOLIDASI
Penggabungan dan peleburan perusahaan telah menjadi masalah bisnis dan hukum di
Indonesia sejak beberapa tahun terakhir ini. Dari segi bisnis penggabungan dan peleburan
perusahaan mempunyai tujuan tertentu, antara lain, untuk menjamin sumber bahan baku atau
komponen (suku cadang), menguasai jalur distribusi, menambah jenis barang atau jasa yang
dapat dijual (diversifikasi usaha). Disamping itu merger dan akuisisi bertujuan untuk mengurangi
ongkos produksi dan memperbaiki kwalitas produk, dalam rangka meningkatkan kinerja
perusahaan .
Dari sudut hukum penggabungan dan peleburan perusahaan dibedakan dengan tiga istilah :
merger, akuisisi dan konsolidasi. Merger terjadi bila suatu perusahaan menggabungkan diri ke
dalam perusahaan lain (melalui penjualan assetnya) dan perusahaan yang terakhir ini
membubarkan diri (dilikuidasi). Umpamanya, PT S merger ke dalam PT A dan PT S kemudian
membubarkan diri (likuidasi). PT A mengeluarkan sahamnya atau membayar tunai kepada bekas
pemegang saham PT S.
Akuisisi terjadi, dalam contoh diatas PT A membeli mayoritas saham dari saham PT S,
baik dari PT S sendiri (saham-saham yang belum dikeluarkan) maupun dari para pemegang
saham PT S. PT A kemudian mengeluarkan saham atau membayar tunai untuk saham PT S yang
diambil alihnya tersebut. PT S kemudian menjadi anak perusahaan dari PT A. Akibat praktis dari
transaksi kedua penggabungan diatas adalah perusahaan yang mengambil alih kemudian
mengontrol bisnis perusahaan yang diambil alihnya. Konsolidasi terjadi bila dua atau lebih
perusahaan meleburkan diri menjadi satu perusahaan baru dan perusahaan-perusahaan lama yang
bergabung membubarkan diri (dilikuidasi). Dalam contoh diatas, Konsolidasi PT S dan PT A
melahirkan, umpamanya, PT SA.
BAB 10
KEPENTINGAN PASAR MODAL DALAM RANCANGAN PERUBAHAN
UNDANG-UNDANG KEPAILITAN
Tujuan utama Undang-Undang Pasar Modal adalah mengatur prinsip keterbukaan atau
penyediaan informasi fakta materiel dan untuk mencegah perbuatan curang dalam perdagangan
saham. Prinsip keterbukaan tersebut menjadi persoalan inti di pasar modal dan sekaligus
merupakan jiwa pasar modal itu sendiri. Keterbukaan tentang fakta materiel sebagai jiwa pasar
modal didasarkan pada keberadaan prinsip keterbukaan yang memungkinkan tersedianya bahan
pertimbangan bagi investor, sehingga ia secara rasional dapat mengambil keputusan untuk
melakukan pembelian atau penjualan saham.
Masalah Keterbukaan Kondisi Keuangan Emiten
Tidak jalannya keterbukaan kondisi keuangan emiten dengan baik di pasar modal
Indonesia akan dapat membuat sulitnya mengetahui kondisi keuangan emiten. Selanjutnya
kesulitan mengetahui kondisi keuangan emiten tersebut akan membuat kesulitan untuk
mengetahui apakah emiten itu masuk dalam kategori yang dapat dimohonkan pailit. Pengalaman
itu dapat dipahami dari kejadian satu emiten dimohonkan pailit oleh kreditor, dimana investor
dari emiten tersebut melakukan gugatan kepada emiten itu, oleh karena investor tidak pernah
tahu sebelumnya mengenai masalah kejadian permohonan kepailitan itu. Hal yang sama pernah
terjadi di pasar modal Amerika, dalam Ernst & Ernst v. Hochfelder, 425 U.S. (1976) terjadi
penipuan yang dilakukan direktur perusahaan, dimana direktur tidak memberitahukan hutang
perusahaan, sehingga perusahaan tersebut pailit.

BAB 11
Peraturan Tentang Jasa Di Bidang Keuangan (Bank, non Bank) Pasca GATT-
GATS/WTO Dalam Kaitannya Dengan Ketentuan Perdagangan Di Indonesia
Memasuki era 2003 Indonesia harus sudah mantap persiapannya untuk menghadapi
pengaruh yang timbul terhadap perekonomian/perdagangan Indonesia dalam semua aspek,
termasuk di dalamnya aspek hukum, khususnya hukum ekonomi yang merupakan pranata hukum
yang berisikan kebijaksanaan untuk mengarahkan kegiatan ekonomi ke suatu arah tertentu.
Apalagi pada era 2003 ini awal berlakunya beberapa ketentuan perjanjian AFTA dan merupakan
tenggang waktu bagi negara-negara berkembang untuk memperbaharui/ mengharmonisasikan
peraturan perundang-undangan atau pranata hukumnya dengan ketentuan ketentuan agreement
establishing WTO beserta ketentuan-ketentuan annexes-nya yang telah diratifikasi Indonesia
pada tanggal 12 Nopember 1994 melalui Undang Undang No. 7 Tahun 1994.
Pembaharuan hukum ekonomi Indonesia merupakan konsekwensi dari Indonesia sebagai
salah satu di antara 125 negara yang ikut menandatangani Perjanjian WTO yang lahir sebagai
hasil perundingan Puturan Uruguay (Urugay Round) yang diselenggarakan dalam kerangka
General Agreement on Tariff and Trade (GATT), yang dimulai pada September 1986 di Puntadel
Este, Urugay dan berakhir pada 15 April 1994 di Marakesh, Maroko. WTO ini merupakan
pengganti GATT yang merupakan organisasi perdagangan Internasional dengan tujuan utama
adalah untuk meliberalisasikan perdagangan Internasional dan menjadikan perdagangan bebas
sebagai landasan perdagangan Internasional untuk mencapai pertumbuhan ekonomi,
pembangunan dan kesejahteraan umat manusia. Dalam pasal XVI ayat 4 dan 5 persetujuan
perundigan WTO dinyatakan, bahwa setiap anggota harus menjamin keselarasan undang-undang,
aturan-aturan dan prosedur-prosedur administratif nasionalnya sendiri.
Berdasarkan pendekatan pembaharuan hukum ekonomi dalam kegiatan perdagangan pasca
WTO, maka program legislasi nasional di masa mendatang harus memberikan prioritas pada
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan tujuan dari Putaran Uruguay yang
merupakan penyempurnaan sistem GATT untuk menata kembali aturan permainan dalam
perdagangan Internasional, dengan menunjang upaya agar perdagangan dunia dapat menjadi
semakin terbuka, supaya arus perdagangan dapat berkembang dengan semakin mengurangi
hambatan-hambatan dalam bentuk tarif maupun non tarif. Keterbukaan pasar yang semakin luas
akan meningkatkan arus perdagangan yang pada gilirannya akan menunjang kegiatan ekonomi
semua anggota yang selanjutnya akan meningkatkan kesejahteraan ekonomi masing-masing
negara.

BAB 12
STRATEGI DAN ETIKA INVESTASI PORTOFOLIO ANTARA RISIKO DAN
PROFIT
Peranan pasar modal dalam kegiatan sektor keuangan merupakan salah satu upaya untuk
memperoleh sumber pembiayaan bagi dunia usaha. Oleh karena itu, pemanfaatan peranan pasar
modal tersebut diharapkan dapat memperbaiki struktur permodalan dunia usaha. Dalam usaha
untuk mengembangkan pasar modal, maka diundangkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995
tentang Pasal Modal (UUPM) yang berupaya mewujudkan kegiatan pasar modal yang teratur,
wajar dan efisien, disamping mengatur persyaratan yang harus dipenuhi oleh pihak pihak yang
melakukan kegiatan di bidang pasar modal dan ketentuan mengenai sanksi administratif bagi
pihak-pihak tertentu yang melakukan pelanggaran terhadap Undang-undang tersebut.
Disamping itu, dalam rangka memberikan peluang yang lebih luas bagi pemodal kecil
untuk berinvestasi di pasar modal perlu dibentuk wahana yang tepat, yang dalam hal ini melalui
pembentukan Reksa Dana (mutual fund), baik yang bersifat terbuka maupun tertutup.
Masyarakat pemodal melakukan investasi dengan cara membeli saham Reksa Dana yang
berbentuk perusahaan atau membeli unit penyertaan Reksa Dana yang berbentuk kontrak.
Dalam Pasal 1 butir 27 UUPM tersebut disebutkan Reksa Dana adalah wahana yang
dipergunakan untuk menghimpun dana dari masyarakat pemodal, untuk selanjutnya
diinvestasikan kembali dalam portofolio efek oleh manajer investasi. Sedangkan menurut Pasal 1
butir 11 UUPM manajer investasi adalah pihak yang kegiatannya usahanya mengelola portofolio
efek untuk para nasabah atau mengelola portofolio investasi kolektif untuk sekelompok nasabah,
kecuali perusahaan asuransi, dana pensiun, dan bank yang melakukan sendiri kegiatan usahanya
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Anda mungkin juga menyukai