Manajemen
Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Univesitas Bina Sarana dan Informatika
2023
BAB I
PENDAHULUAN
Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia telah diterima secara luas dan
bersifat final. Namun, walau Pancasila saat ini telah dihayati sebagai filsafat hidup bangsa
dan dasar negara yang merupakan perwujudan dari jiwa bangsa, sikap mental, budaya dan
karakteristik bangsa, hingga saat ini asal-usul dan kapan dikeluarkan atau disampaikannya
Pancasila masih dijadikan kajian yang menimbulkan banyak sekali penafsiran dan konflik
yang belum selesai hingga saat ini.
Di balik itu semua, nyatanya Pancasila memang mempunyai sejarah yang panjang
tentang perumusan pembentukannya dalam perjalanan ketatanegaraan Indonesia. Sejarah ini
begitu sensitif dan bisa saja mengancam keutuhan negara Indonesia. Hal ini dikarenakan
begitu banyak polemik serta kontroversi yang akut dan berkepanjangan baik mengenai siapa
pengusul pertama sampai dengan pencetus istilah Pancasila.
Pancasila adalah lima nilai dasar luhur yang ada dan berkembang bersama dengan
bangsa Indonesia sejak dulu. Pancasila, dalam fungsinya sebagai dasar negara, merupakan
sumber kaidah hukum yang mengatur negara Republik Indonesia, termasuk di dalamnya
seluruh unsur-unsurnya yaitu pemerintah, wilayah, dan rakyat. Pancasila dalam
kedudukannya merupakan dasar pijakan penyelenggaraan negara dan seluruh kehidupan
negara Republik Indonesia.
Kuat dan mengakarnya Pancasila dalam jiwa bangsa menjadikan Pancasila terus
berjaya sepanjang masa. Karena ideologi Pancasila tidak hanya sekedar “confirm and
deepen” identitas bangsa Indonesia semata.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dirumuskan masalah
sebagai berikut:
1. Apa arti dan makna lambang Pancasila dan Garuda Pancasila?
2. Bagaimanakah Pancasila dalam kajian sejarah Indonesia?
1.3 Tujuan
Sesuai dengan rumusan masalah tersebut, maka tujuan dari penulisan makalah ini
adalah untuk mengetahui:
1. Arti dan makna lambang Pancasila dan Garuda Pancasila.
2. Pancasila dalam kajian sejarah Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
Pancasila terdiri atas lima sila, tertuang dalam UUD 1945 alinea ke-IV dan ini
diperuntukkan sebagai dasar negara Republik Indonesia. Meskipun di dalam Pembukaan
UUD 1945 tersebut tidak secara eksplisit disebutkan kata Pancasila, namun sudah dikenal
luas bahwa lima sila yang dimaksud adalah dasar negara.
Bangsa Indonesia lahir menurut cara dan jalan yang merupakan hasil antara proses
sejarah di masa lampau, tantangan perjuangan dan cita-cita hidup di masa mendatang, yang
secara keseluruhan membentuk kepribadian sendiri. Sehingga, kepribadian itu ditetapkan
sebagai pandangan hidup dan dasar negara, yakni Pancasila.
Nama Pancasila sendiri berasal dari bahasa Sansekerta yaitu panca yang berarti lima
dan sila yang berarti dasar. Pancasila memiliki arti lima dasar kehidupan berbangsa dan
bernegara bagi seluruh rakyat Indonesia. Pancasila yang tersusun dari 5 sila ini tergambar
pada bagian perisai dari lambang negara Indonesia, yaitu Garuda Pancasila.
Gambar 1.1 Lambang Pancasila Gambar 1.2 Garuda Pancasila
1. Sila Pertama
2. Sila Kedua
Rantai melambangkan sila kedua Pancasila, yaitu Kemanusiaan yang Adil dan
Beradab. Rantai tersebut terdiri atas mata rantai yang berbentuk segi empat dan lingkaran
yang saling berkaitan membentuk lingkaran. Mata rantai segi empat melambangkan laki-laki,
sedangkan yang lingkaran melambangkan perempuan. Mata rantai yang saling berkait pun
melambangkan bahwa setiap manusia, laki-laki dan perempuan, membutuhkan satu sama lain
dan perlu bersatu sehingga menjadi kuat seperti sebuah rantai.
3. Sila Ketiga
Pohon beringin di bagian kiri atas perisai berlatar putih melambangkan sila ketiga,
yaitu Persatuan Indonesia. Pohon beringin merupakan sebuah pohon Indonesia yang berakar
tunjang, sebuah akar tunggal panjang yang menunjang pohon yang besar ini dengan tumbuh
sangat dalam ke dalam tanah. Hal ini mencerminkan kesatuan dan persatuan Indonesia.
Pohon beringin juga mempunyai banyak akar yang menggelantung dari ranting-rantingnya,
ini mencerminkan Indonesia sebagai negara kesatuan namun memiliki berbagai latar
belakang budaya yang bermacam-macam.
4. Sila Keempat
5. Sila Kelima
Padi dan kapas melambangkan sila kelima Pancasila, yaitu Keadilan Sosial Bagi
Seluruh Rakyat Indonesia. Padi dan kapas dapat mewakili sila kelima, karena padi dan kapas
merupakan kebutuhan dasar setiap manusia, yakni pangan dan sandang, sebagai syarat utama
untuk mencapai kemakmuran tanpa melihat suku, ras, dan golongan. Ini mencerminkan
persamaan sosial di mana tidak adanya kesenjangan sosial antara satu dan yang lainnya, tapi
hal ini (persamaan sosial) bukan berarti bahwa Indonesia memakai ideologi komunisme.
Garuda Pancasila adalah Lambang Negara Republik Indonesia. Hal ini tercantum
dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan dipertegaskan oleh Peraturan Pemerintah No. 66
Tahun 1951. Penulisan nama resmi lambang negara Indonesia tersebut terdapat dalam pasal
36A UUD 1945 yang berbunyi “Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan Semboyan
Bhinneka Tunggal Ika”.
Parada Harahap sebagai anggota Panitia Perancangan UUD dalam rapat pada
tanggal 13 Juli 1945 mengusulkan tentang lambang negara dan disetujui oleh seluruh
anggota. Kemudian dibentuk Panitia Indonesia Raya yang memiliki tugas untuk menyelidiki
lambang yang sesuai untuk bangsa Indonesia. Panitia tersebut diketuai oleh Ki Hajar
Dewantara dan sekretaris umum dijabat oleh Muhamad Yamin.
Pada tahap pertama rancangan lambang negara yang terbaik diusulkan oleh Sultan
Hamid II dan Muhamad Yamin. Namun usulan Muhamad Yamin ditolak. Tanggal 10 Februari
1950 Sultan Hamid II mengajukan rancangan gambar lambang negara yang telah
disempurnakan berdasarkan usulan-usulan yang berkembang. Tanggal 11 Februari 1950
lambang Garuda Pancasila ditetapkan oleh Pemerintah/Kabinet RIS dan diresmikan
pemakaiannya dalam Sidang Kabinet.
Merujuk keterangan Bung Hatta dalam buku “Bung Hatta Menjawab”, untuk
melaksanakan Keputusan Sidang Kabinet tersebut Menteri Priyono melaksanakan sayembara.
Terpilih dua rancangan lambang negara terbaik, yaitu karya Sultan Hamid II dan karya
Muhamad Yamin. Pada proses selanjutnya yang diterima pemerintah dan DPR adalah
rancangan Sultan Hamid II, sedangkan karya Muhamad Yamin ditolak karena menyertakan
sinar-sinar matahari dan menampakkan pengaruh Jepang. Setelah rancangan terpilih, dialog
intensif antara perancang (Sultan Hamid II), Presiden RIS Soekarno, dan Perdana Menteri
Mohammad Hatta, terus dilakukan untuk keperluan penyempurnaan rancangan itu. Terjadi
kesepakatan mereka bertiga mengganti pita yang dicengkeram Garuda, yang semula adalah
pita merah putih menjadi pita putih dengan menambahkan semboyan “Bhinneka Tunggal
Ika”.
Pada tanggal 8 Februari 1950, rancangan final lambang negara diajukan kepada
Presiden Soekarno. Rancangan final tersebut mendapat masukan dari Partai Masyumi, karena
adanya keberatan terhadap gambar burung Garuda dengan tangan dan bahu manusia yang
memegang perisai dan bersifat mitologis.
Tanggal 20 Maret 1950, bentuk akhir lambang negara yang telah diperbaiki
mendapat disposisi Presiden Soekarno, yang kemudian memerintahkan pelukis istana, Dullah
untuk melukis kembali rancangan tersebut sesuai bentuk akhir rancangan Menteri Negara
RIS Sultan Hamid II yang dipergunakan secara resmi sampai saat ini.
Dari transkrip rekaman dialog Sultan Hamid II dengan Masagung (1974) sewaktu
menyerahkan berkas dokumen proses perancangan lambang negara disebutkan “Ide Perisai
Pancasila” muncul saat Sultan Hamid II sedang merancang lambang negara. Dia teringat
ucapan Presiden Soekarno, bahwa hendaknya lambang negara mencerminkan pandangan
hidup bangsa, dasar negara Indonesia, dimana sila-sila dari dasar negara, yaitu Pancasila
divisualisasikan dalam lambang negara.
Secara tegas bangsa Indonesia telah memilih burung garuda sebagai lambang
kebangsaannya yang besar, karena garuda adalah burung yang penuh percaya diri, enerjik,
dan dinamis. Ia terbang menguasai angkasa dan memantau keadaan sendiri, tak suka
bergantung pada yang lain. Garuda yang merupakan lambang pemberani dalam
mempertahankan wilayah, tetapi dia pun akan menghormati wilayah milik yang lain
sekalipun wilayah itu milik burung yang lebih kecil. Warna kuning emas melambangkan
bangsa yang besar dan berjiwa priyagung sejati.
Burung garuda yang juga punya sifat sangat setia pada kewajiban sesuai dengan
budaya bangsa yang dihayati secara turun temurun. Burung garuda pantang mundur dan
pantang menyerah. Legenda semacam ini juga diabadikan sangat indah oleh nenek moyang
bangsa Indonesia pada candi dan di berbagai prasasti sejak abad ke-15.
Burung garuda merupakan mitos dalam mitologi Hindu dan Budha. Garuda dalam
mitos digambarkan sebagai makhluk separuh burung (sayap, paruh, cakar) dan separuh
manusia (tangan dan kaki). Lambang garuda diambil dari penggambaran kendaraan Batara
Wisnu yakni Garudeya. Garudeya sendiri dapat kita temui pada salah satu pahatan di Candi
Kidal yang terletak di Kabupaten Malang tepatnya Desa Rejokidal, Kecamatan Tumpang,
Kabupaten Malang, Jawa Timur. Garuda sebagai lambang negara menggambarkan kekuatan
dan kekuasaan dan warna emas melambangkan kejayaan, karena peran garuda dalam cerita
pewayangan Mahabharata dan Ramayana. Posisi kepala garuda menengok lurus ke kanan.
Menurut Sunoto (1984) melalui kajian filsafat Pancasila, menyatakan bahwa unsur-
unsur Pancasila berasal dari bangsa Indonesia sendiri, walaupun secara formal Pancasila baru
menjadi dasar Negara Republik Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945, namun jauh
sebelum tanggal tersebut bangsa Indonesia telah memiliki unsur-unsur Pancasila dan bahkan
melaksanakan di dalam kehidupan mereka. Sejarah bangsa Indonesia memberikan bukti yang
dapat kita cari dalam berbagai adat istiadat, tulisan, bahasa, kesenian, kepercayaan, agama,
dan kebudayaan pada umumnya. (Sunoto, 1984:1). Dengan rinci, Sunoto menunjukkan fakta
historis, di antaranya adalah:
a. Ketuhanan Yang Maha Esa: bahwa di Indonesia tidak pernah ada putus-putusnya
orang percaya kepada Tuhan.
b. Kemanusiaan yang adil dan beradab: bahwa bangsa Indonesia terkenal ramah tamah,
sopan santun, lemah lembut dengan sesama manusia.
c. Persatuan Indonesia: bahwa bangsa Indonesia dengan ciri-cirinya guyub, rukun,
bersatu, dan kekeluargaan.
d. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan: bahwa unsur-unsur demokrasi sudah ada dalam
masyarakat kita.
e. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia: bahwa bangsa Indonesia dalam
menunaikan tugas hidupnya terkenal lebih bersifat sosial dan berlaku adil terhadap
sesama.
A.T. Soegito (1999: 32) dengan mengutip beberapa sumber bacaan menjelaskan
bahwa mengenal diri sendiri berarti mengetahui apa yang dapat dilakukannya, dan tak
seorang pun akan tahu apa yang dapat dilakukannya sebelum dia mencoba, satu-satunya
petunjuk yang dapat ditemukan untuk mengetahui sesuatu yang dapat dilakukan manusia
adalah dengan mengetahui kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan oleh manusia yang
terdahulu. Oleh karena itu, nilai sejarah terletak pada kenyataan bahwa ia mengajarkan apa
yang telah dilakukan oleh manusia dan dengan demikian apa sesungguhnya manusia. Tanpa
mengetahui sejarah, seseorang tidak dapat memperoleh pengertian kualitatif dari gejala-gejala
sosial yang ada. Secara rinci, Sartono Kartodirdjo menjelaskan bahwa fungsi pengajaran
sejarah nasional Indonesia meliputi :
Secara historis rumusan- rumusan Pancasila dapat dibedakan dalam tiga kelompok
(Bakry, 1998:20):
Dalam sidang Teiku Gikoi (Parlemen Jepang) pada tanggal 7 September 1944,
perdana menteri Jepang Jendral Kuniaki Koisi, atas nama pemerintah Jepang mengeluarkan
janji kemerdekaan Indonesia yang akan diberikan pada tanggal 24 Agustus 1945, sebagai
janji politik. Sebagai realisasi janji ini, pada tanggal 1 Maret 1945 Jepang mengumumkan
akan dibentuknya Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai). Badan ini baru terbentuk pada tanggal 29 April 1945.
Pada sidang pertama tanggal 29 Mei 1945 M. Yamin mengemukakan usul yang
disampaikan dalam pidatonya yang berjudul asas dan dasar negara Kebangsaan Indonesia di
hadapan sidang lengkap BPUPKI. Beliau mengusulkan dasar negara bagi Indonesia Merdeka
yang akan dibentuk meliputi peri kebangsaan, peri kemanusiaan, peri ketuhanan, peri
kerakyatan, dan kesejahteraan rakyat.
Selain usulan dalam bentuk pidato, usulan M. Yamin juga disampaikan dalam bentuk
tertulis tentang lima asas dasar negara dalam rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar
Republik Indonesia yang berbeda rumusan kata-kata dan sistematikanya dengan isi
pidatonya. Rumusannya yang tertulis adalah sebagai berikut:
Tanggal 31 Mei 1945 Soepomo mengusulkan perihal yang pada dasarnya bukan dasar
negara merdeka, akan tetapi tentang paham negaranya yaitu negara yang berpaham
integralistik. Soepomo mengusulkan tentang dasar pemikiran negara nasional bersatu yang
akan didirikan harus berdasarkan atas pemikiran integralistik tersebut yang sesuai dengan
struktur sosial Indonesia sebagai ciptaan budaya bangsa Indonesia yaitu: struktur kerohanian
dengan cita-cita untuk persatuan hidup, persatuan kawulo gusti, persatuan dunia luar dan
dunia batin, antara mikrokosmos dan makrokosmos, antara rakyat dan pemimpin-
pemimpinnya.
Syarat mutlak bagi adanya negara menurut Soepomo adalah adanya daerah, rakyat,
dan pemerintahan. Mengenai dasar dari negara Indonesia yang akan didirikan, ada tiga
persoalan yaitu:
Pada hari berikutnya, tanggal 1 juni 1945 Ir. Soekarno juga mengusulkan lima dasar
bagi negara Indonesia yang disampaikan melalui pidatonya mengenai Dasar Indonesia
merdeka. Lima dasar itu atas petunjuk seseorang ahli bahasa yaitu Mr. M. Yamin. Lima dasar
yang diajukan Bung Karno ialah Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau
Perikemanusiaan, Mufakat atau Demokrasi, Kesejahteraan Sosial, Ketuhanan yang
Berkebudayaan.
Lima rumusan tersebut menurutnya dapat diringkas menjadi tiga rumusan yang diberi
nama Tri-Sila yaitu dasar pertama, kebangsaan dan perikemanusiaan (nasionalisme dan
internasionalisme) diringkas menjadi satu diberi nama sosio-nasionalisme. Dasar kedua,
demokrasi dan kesejahteraan diringkas menjadi menjadi satu dan biberi nama sosio-
demokrasi. Sedangkan dasar yang ketiga, ketuhanan yang berkebudayaan yang menghormati
satu sama lain disingkat menjadi ketuhanan.
Setelah selesai masa sidang pertama, dengan usulan dasar negara baik dari M. Yamin
dan Soekarno, dan paham negara integralistik dari Soepomo maka untuk menampung
perumusan-perumusan yang bersifat perorangan, dibentuklah panitia kecil penyelidik usul-
usul yang terdiri atas Sembilan orang yang diketuai oleh Soekarno, yang kemudian disebut
dengan Panitia Sembilan.
Selain itu, dalam piagam Jakarta pada alenia ketiga juga memuat rumusan teks
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang pertama berbunyi “Atas berkat rahmat Allah Yang
Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan
yang bebas, maka rakyat Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaannya”. Kalimat ini
merupakan cetusan hati nurani bangsa Indonesia yang diungkapkan sebelum Proklamasi
kemerdekaan, sehingga dapat disebut sebagai Declaration of Indonesian Independence.
Masa sidang kedua BPUPKI yaitu pada tanggal 10 Juli sampai dengan 17 Juli 1945,
merupakan masa sidang penentuan perumusan dasar negara yang akan merdeka sebagai hasil
kesepakatan bersama. Anggota BPUPKI dalam masa sidang kedua ini ditambah enam orang
anggota baru. Sidang lengkap BPUPKI pada tanggal 10 Juli 1945 menerima hasil panitia
kecil atau Panitia Sembilan yang disebut dengan Piagam Jakarta. Di samping menerima hasil
rumusan Panitia Sembilan dibentuk juga panitia-panitia Hukum Dasar yang dikelompokkan
menjadi tiga kelompok panitia perancang Hukum Dasar yaitu:
a. Panitia Perancang Hukum Dasar diketuai oleh Ir. Soekarno dengan anggota yang
berjumlah 19 orang.
b. Panitia Pembela Tanah Air dengan ketua Abikusno Tjokrosujoso beranggotakan 23
orang.
c. Panitia Ekonomi dan Keuangan dengan ketua Moh. Hatta bersama 23 orang
anggota.
Panitia perancang Hukum Dasar kemudian membentuk lagi panitia kecil. Perancang
Hukum Dasar yang dipimpin oleh Soepomo. Panitia-panitia kecil itu dalam rapatnya tanggal
11 dan 13 Juli 1945 telah menyelesaikan tugasnya menyusun Rancangan Hukum Dasar.
Selanjutnya pada tanggal 14 Juli 1945 sidang BPUPKI mengesahkan naskah rumusan panitia
Sembilan yang dinamakan Piagam Jakarta sebagai Rancangan Pembukaan Hukum Dasar, dan
pada tanggal 16 Juli 1945 menerima seluruh Rancangan Hukum Dasar yang sudah selesai
dirumuskan dan di dalamnya juga memuat Piagam Jakarta sebagai pembukaan.
Hari terakhir sidang BPUPKI tanggal 17 Juli 1945, hanya merupakan sidang
penutupan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia secara resmi.
Dengan berakhirnya sidang ini maka selesailah tugas badan tersebut, yang hasilnya akan
dijadikan dasar bagi negara Indonesia yang akan dibentuk sesuai dengan janji Jepang. Sampai
akhir sidang BPUPKI ini rumusan Pancasila dalam sejarah perumusannya ada empat macam:
1. Rumusan pertama Pancasila adalah usul dari Muh. Yamin pada tanggal 29 Mei
1945, yaitu usul pribadi dalam bentuk pidato,
2. Rumusan kedua Pancasila adalah usul Muh. Yamin tanggal 29 Mei 1945, yakni usul
pribadi dalam bentuk tertulis,
3. Rumusan ketiga Pancasila usul bung Karno tanggal 1 Juni 1945, usul pribadi dengan
nama Pancasila,
4. Rumusan keempat Pancasila dalam piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945, hasil
kesepakatan bersama pertama kali.
Meskipun Pancasila secara formal belum menjadi dasar negara Indonesia, namun
unsur-unsur sila-sila Pancasila yang dimiliki bangsa Indonesia telah menjadi dorongan
perjuangan bangsa Indonesia pada masa silam. Pada saat proklamasi, semua kekuatan dari
berbagai lapisan masyarakat bersatu dan siap mempertahankan serta mengisi kemerdekaan
yang telah diproklamasikan. Oleh karena itu, dapat dinyatakan bahwa Proklamasi
Kemerdekaan 17 Agustus 1945 adalah revolusi Pancasila.
Dengan disahkan dan ditetapkan Piagam Jakarta sebagai Pembukaan UUD 1945,
maka lima dasar yang diberi nama Pancasila tetap tercantum di dalamnya. Hanya saja sila
Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, diubah
menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa, atas prakarsa Drs. Moh. Hatta. Rumusan Pancasila
dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai rumusan kelima dalam sejarah perumusan Pancasila,
dan merupakan rumusan pertama yang diakui sebagai dasar filsafat negara secara formal.
Pancasila sebagai dasar negara Indonesia merupakan suatu asas kerohanian yang
meliputi suasana kebatinan atau cita-cita hukum, sehingga merupakan suatu sumber nilai,
norma serta kaidah baik moral maupun hukum negara, dan menguasai hukum dasar baik yang
tertulis atau UUD, maupun yang tidak tertulis atau konvensi. Oleh karena itu, kedudukan
Pancasila sebagai dasar negara ini memiliki kekuatan yang mengikat secara hukum. Seluruh
bangsa Indonesia tak terkecuali dengan demikian wajib mengamalkan Pancasila dalam
kehidupan sehari-hari.
Konsekuensi kedudukan Pancasila sebagai dasar negara ini lebih lanjut dapat dirinci
sebagai berikut:
1. Pertama: Pancasila sebagai dasar negara merupakan sumber dari segala sumber
hukum atau sumber tertib hukum Indonesia.
2. Kedua: Pancasila sebagai dasar negara meliputi suasana kebatinan dari UUD 1945.
3. Ketiga: Pancasila sebagai dasar negara mewujudkan cita-cita hukum bagi hukum
dasar negara Indonesia.
4. Keempat: Pancasila sebagai dasar negara mengandung norma yang mengharuskan
UUD mengandung isi yang mewajibkan pemerintah maupun para penyelenggara
negara untuk memelihara budi pekerti yang luhur dan memegang teguh cita-cita
moral rakyat yang luhur.
Pada tanggal 6 Agustus 1945 bom atom dijatuhkan di kota Hiroshima oleh Amerika
Serikat yang mulai menurunkan moral semangat tentara Jepang. Sehari kemudian BPUPKI
berganti nama menjadi PPKI menegaskan keinginan dan tujuan mencapai kemerdekaan
Indonesia. Bom atom kedua dijatuhkan di Nagasaki yang membuat Jepang menyerah kepada
Amerika dan sekutunya. Peristiwa ini pun dimanfaatkan oleh Indonesia untuk
memproklamasikan kemerdekaannya. Untuk merealisasikan tekad tersebut, maka pada
tanggal 16 Agustus 1945 terjadi perundingan antara golongan muda dan golongan tua dalam
penyusunan teks proklamasi yang berlangsung singkat, mulai pukul 02.00-04.00 dini hari.
Teks proklamasi sendiri disusun oleh Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta dan Mr. Ahmad
Soebardjo di ruang makan Laksamana Tadashi Maeda tepatnya di Jalan Imam Bonjol No 1.
Konsepnya sendiri ditulis oleh Ir. Soekarno. Sukarni (dari golongan muda) mengusulkan agar
yang menandatangani teks proklamasi itu adalah Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta atas nama
bangsa Indonesia.
Kemudian teks proklamasi Indonesia tersebut diketik oleh Sayuti Melik. Isi
Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 sesuai dengan semangat yang tertuang
dalam Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945. Piagam ini berisi garis-garis pemberontakan
melawan imperialisme-kapitalisme dan fasisme serta memuat dasar pembentukan Negara
Republik Indonesia. Piagam Jakarta yang lebih tua dari Piagam Perjanjian San Francisco (26
Juni 1945) dan Kapitulasi Tokyo (15 Agustus 1945) itu ialah sumber berdaulat yang
memancarkan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia (Yamin, 1954: 16). Piagam
Jakarta ini kemudian disahkan oleh sidang PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 menjadi
pembentukan UUD 1945, setelah terlebih dahulu dihapus 7 (tujuh) kata dari kalimat
“Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, diubah
menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pada tahun 1950-an muncul inisiatif dari sejumlah tokoh yang hendak melakukan
interpretasi ulang terhadap Pancasila. Saat itu muncul perbedaan perspektif yang
dikelompokkan dalam dua kubu. Pertama, beberapa tokoh berusaha menempatkan Pancasila
lebih dari sekedar kompromi politik atau kontrak sosial. Mereka memandang Pancasila tidak
hanya kompromi politik melainkan sebuah filsafat sosial atau weltanschauung bangsa.
Kedua, mereka yang menempatkan Pancasila sebagai sebuah kompromi politik. Dasar
argumentasinya adalah fakta yang muncul dalam sidang-sidang BPUPKI dan PPKI. Pancasila
pada saat itu benar-benar merupakan kompromi politik di antara golongan nasionalis netral
agama (Sidik Djojosukarto dan Sutan Takdir Alisyahbana dkk) dan nasionalis Islam (Hamka,
Syaifuddin Zuhri sampai Muhammad Natsir dkk) mengenai dasar negara.
Terdapat dua pandangan besar terhadap dasar negara yang berpengaruh terhadap
munculnya Dekrit Presiden. Pandangan tersebut yaitu mereka yang memenuhi “anjuran”
Presiden/Pemerintah untuk “kembali ke Undang-Undang Dasar 1945” dengan Pancasila
sebagaimana dirumuskan dalam Piagam Jakarta sebagai Dasar Negara. Sedangkan pihak
lainnya menyetujui “kembali ke Undang-Undang Dasar 1945”, tanpa cadangan, artinya
dengan Pancasila seperti yang dirumuskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar yang
disahkan PPKI tanggal 18 Agustus 1945 sebagai Dasar Negara. Namun, kedua usulan
tersebut tidak mencapai kuorum keputusan Sidang Konstituante (Anshari, 1981:99). Majelis
(baca: konstituante) ini menemui jalan buntu pada bulan Juni 1959. Kejadian ini
menyebabkan Presiden Soekarno turun tangan dengan sebuah Dekrit Presiden yang disetujui
oleh kabinet tanggal 3 Juli 1959, yang kemudian dirumuskan di Istana Bogor pada tanggal 4
Juli 1959 dan diumumkan secara resmi oleh presiden pada tanggal 5 Juli 1959 pukul 17.00 di
depan Istana Merdeka (Anshari, 1981: 99-100). Dekrit Presiden tersebut berisi:
1. Pembubaran konstituante;
2. Undang-Undang Dasar 1945 kembali berlaku; dan
3. Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Sementara. sosialisasi terhadap paham Pancasila yang konklusif menjadi prelude
penting bagi upaya selanjutnya, Pancasila dijadikan “ideologi negara” yang tampil
hegemonik. Ikhtiar tersebut tercapai ketika Ir. Soekarno memberi tafsir Pancasila sebagai satu
kesatuan paham dalam doktrin “Manipol/USDEK”. Manifesto Politik (Manipol) adalah
materi pokok dari pidato Soekarno tanggal 17 Agustus 1959 berjudul “Penemuan Kembali
Revolusi Kita” yang kemudian ditetapkan oleh Dewan Pertimbangan Agung (DPA) menjadi
Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Belakangan, materi pidato tersebut dikukuhkan
dalam Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 1 tahun 1960 dan Ketetapan MPRS No.
1/MPRS1960 tentang GBHN (Ali, 2009: 30). Manifesto Politik Republik Indonesia tersebut
merupakan hasil perumusan suatu panitia yang dipimpin oleh D.N. Aidit yang disetujui oleh
DPA pada tanggal 30 September 1959 sebagai haluan negara (Ismaun, 1978: 105).
Oleh karena itu, mereka yang berseberangan paham memilih taktik “gerilya” di dalam
kekuasaan Ir. Soekarno. Mereka menggunakan jargon-jargon Ir. Soekarno dengan agenda
yang berbeda. Taktik demikian digunakan oleh sebagian besar kekuatan politik. Tidak hanya
PKI, mereka yang anti komunisme pun sama (Ali, 2009: 33). Walaupun kepentingan politik
mereka berbeda, kedua arus tersebut sama-sama menggunakan Pancasila sebagai justifikasi.
Ir. Soekarno menghendaki persatuan di antara beragam golongan dan ideologi termasuk
komunis, di bawah satu payung besar, bernama Pancasila (doktrin Manipol/USDEK),
sementara golongan antikomunis mengkonsolidasi diri sebagai kekuatan berpaham Pancasila
yang lebih “murni” dengan menyingkirkan paham komunisme yang tidak ber-Tuhan
(ateisme) (Ali, 2009: 34). Dengan adanya pertentangan yang sangat kuat ditambah carut
marutnya perpolitikan saat itu, maka Ir. Soekarno pun dilengserkan sebagai Presiden
Indonesia, Melalui sidang MPRS.
Orde baru muncul dengan tekad untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara
murni dan konsekuen, semangat tersebut muncul berdasarkan pengalaman sejarah dari
pemerintahan sebelumnya yang telah menyimpang dari pancasila serta UUD 1945. Akan
tetapi, yang terjadi sebenarnya adalah tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi pada masa
orde lama, yaitu pancasila tetap pada posisinya sebagai alat pembenar, rezim, otoritarian di
bawah Soeharto.
Seperti rezim otoriter pada umumnya lainnya, ideologi sangat diperlukan orde baru
sebagai alat untuk membenarkan dan memperkuat otoritarianisme negara. Sehingga pancasila
oleh rezim orde baru ditafsirkan sedemikian rupa sehingga membenarkan dan memperkuat
otoritarianisme Negara. Maka dari itu, Pancasila perlu disosialisasikan sebagai doktrin
komperehensif dalam diri masyarakat Indonesia guna memberikan legitimasi atas segala
tindakan pemerintah yang berkuasa dalam diri masyarakat Indonesia.
Pada era orde baru, selain dengan melakukan pengkultusan terhadap Pancasila,
pemerintah secara formal juga mensosialisasikan nilai-nilai Pancasila melalui TAP MPR NO.
II/MPR/1978 tentang pedoman penghayatan dan pengamalan Pancasila (P4) disekolah dan
masyarakat. Tujuan dari P4 antara lain adalah membentuk pemahaman yang sama mengenai
demokrasi Pancasila sehingga dengan pemahaman yang sama diharapkan persatuan dan
kesatuan nasional akan terbentuk dan terpelihara. Selain sosialisasi nilai Pancasila dan
menerapkan nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa, dalam kegiatan penataran juga
disampaikan pemahaman terhadap UUD 1945 dan Garis Besar Haluan Negara (GBHN).
Pelaksanaan UUD 1945 dan Pancasila pada masa orde lama dan orde baru telah
terjadi deviasi oleh oknum-oknum penyelenggara Pemerintah, sehingga mendorong
terjadinya reformasi oleh mahasiswa dan tokoh-tokoh bangsa. Sehingga negara ini telah
dilanda kritis, baik krisis di bidang ekonomi, politik maupun kepemimpinan. Reformasi lahir
dengan tujuan untuk memperbaiki krisis yang berkepanjangan serta menata kearah yang lebih
baik.
Memahami peran Pancasila di era reformasi, Pancasila sebagai paradigma
ketatanegaraan artinya Pancasila menjadi kerangka berpikir bangsa Indonesia, khususnya
sebagai dasar negara ia sebagai landasan kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam
kaitannya dengan pengembangan hukum, Pancasila harus menjadi landasannya. Artinya
hukum yang dibentuk tidak dapat dan tidak boleh bertentangan dengan sila-sila Pancasila.
1. Penerapan dan pelaksanaan keadilan sosial mencakup keadilan politik, agama, dan
ekonomi dalam kehidupan sehari-hari.
2. Mementingkan kepentingan rakyat/demokrasi dalam mengambil keputusan.
3. Melaksanakan keadilan sosial dan penentuan prioritas kerakyatan berdasarkan konsep
mempertahankan kesatuan.
4. Dalam pelaksanaan pencapaian tujuan keadilan menggunakan pendekatan
kemanusiaan yang adil dan beradab.
5. Nilai-nilai kejujuran, keadilan, dan toleransi bersumber pada nilai Ketuhanan Yang
Maha Esa.
Semenjak ditetapkan sebagai dasar negara (oleh PPKI 18 Agustus 1945), Pancasila
telah mengalami perkembangan sesuai dengan pasang naiknya sejarah bangsa Indonesia
(Koento Wibisono, 2001) memberikan tahapan perkembangan Pancasila sebagai dasar negara
dalam tiga tahap yaitu:
Karena dunia masa kini sedang dihadapi kepada gelombang perubahan secara cepat,
mendasar, spektakuler, sebagai implikasi arus globalisasi yang melanda seluruh penjuru
dunia, khususnya di abad XXI sekarang ini, bersamaan arus reformasi yang sedang dilakukan
oleh bangsa Indonesia. Reformasi telah merombak semua segi kehidupan secara mendasar,
maka semakin terasa urgensinya untuk menjadi Pancasila sebagai dasar negara dalam
kerangka mempertahankan jati diri bangsa dan persatuan dan kesatuan nasional. Berdasarkan
hal tersebut diatas perlunya reposisi Pancasila yaitu reposisi Pancasila sebagai dasar negara
yang mengandung makna Pancasila harus diletakkan dalam keutuhannya dengan Pembukaan
UUD 1945, dieksplorasikan pada dimensi-dimensi yang melekat padanya.
3.1 Kesimpulan
Pancasila adalah lima nilai dasar luhur yang ada dan berkembang bersama dengan
bangsa Indonesia sejak dulu. Pancasila, dalam fungsinya sebagai dasar negara, merupakan
sumber kaidah hukum yang mengatur negara Republik Indonesia, termasuk di dalamnya
seluruh unsur-unsurnya yaitu pemerintah, wilayah, dan rakyat. Pancasila dalam
kedudukannya merupakan dasar pijakan penyelenggaraan negara dan seluruh kehidupan
negara Republik Indonesia.
Pancasila dalam kajian sejarah bangsa Indonesia terbagi menjadi beberapa tahap,
yaitu Pancasila era pra kemerdekaan, Pancasila era kemerdekaan, Pancasila era orde lama,
Pancasila era orde baru, dan Pancasila era reformasi.
3.2 Saran
Pancasila yang merupakan ideologi dan jati diri bangsa Indonesia, saat ini nilai-nilai
yang terkandung dalam Pancasila sudah mulai dilupakan dan ditinggalkan oleh masyarakat
Indonesia. Oleh karena itu, para generasi muda harus dapat bersatu dan damai walau berbeda
suku, budaya, dan agama. Dapat berpikir rasional, demokratis, dan kritis dalam menuntaskan
berbagai persoalan yang terjadi. Memiliki semangat jiwa muda yang membangun Negara
Indonesia, dengan cara cinta tanah air dan rela berkorban, serta menjunjung tinggi nilai
nasionalisme anatara agama, budaya, dan suku bangsa agar tidak terjadi perpecahan antar
sesama bangsa Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Aries Lima
http://makalahanakkuliah.blogspot.co.id/2016/08/pancasila-era-orde-baru.html
https://prezi.com/0e94io7swjr-/pancasila-pada-era-reformasi/