Anda di halaman 1dari 12

HUKUMAN MATI ATAS DELIK PEMBUNUHAN

MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM


DAN HUKUM PIDANA POSITIF
A. Khumedi Ja’far
Fakultas Syari’ah IAIN Raden Intan Lampung
Jl. Letkol. Endro Suratmin Sukarame Bandar Lampung
E-mail: komedjafar@yahoo.co.id

Abstract: The Death Penalty for Murderer in the Islamic Criminal Law and in the Indonesian
Criminal Law. The issue of death penalty has always been a disputable issue among the jurists,
especially in Indonesia. Those who support the punishment may reason that death penalty is in
conformity with religious teachings and social principles; whereas those who oppose it find their
reasons from humanitarians views which impose the human rights. This article tries to analyse
how the Indonesia Criminal Law treats the issue of capital punishment and compare it with the
Islamic Criminal Law, particularly in the case of intentional murders. It involves inter-disciplinal
approaches-using not only normative but also sociological and psychological approaches. Having
compared and analyzed the two legal systems, this study reveals that the adoption of the death
punishment both in the Islamic and Indonesia Criminal Law, in fact, may strongly impose moral,
justice and humanity values which are essential to create order and peace among humankind.
Keywords: death penalty, Indonesian criminal law, Islamic criminal law

Abstrak: Hukuman Mati Atas Delik Pembunuhan Menurut Hukum Pidana Islam Dan
Hukum Pidana Positif. Isu hukuman mati selalu menjadi masalah yang diperdebatkan oleh ahli
hukum, khususnya di Indonesia. Mereka yang mendukung beralasan bahwa hukuman mati sesuai
dengan ajaran agama dan prinsip-prinsip sosial; sedangkan bagi orang-orang yang menentangnya,
mereka menemukan alasan dari sisi kemanusiaan dan pemberlakukan hak asasi manusia. Artikel ini
mencoba untuk menganalisis bagaimana penerapan hukuman mati dalam sistem Hukum Pidana
Indonesia, sekaligus membandingkannya dengan ketentuan Hukum Pidana Islam terutama dalam
kasus pembunuhan yang disengaja. Studi ini menggunakan pendekatan antar-disiplin - tidak hanya
melulu pendekatan normatif, tetapi juga pendekatan sosiologis dan psikologis normatif. Setelah
melakukan pembandingan, studi ini menunjukkan bahwa penerapan hukuman mati baik yang
ada dalam Hukum Pidana Indonesia maupun dalam Hukum Pidana Islam sebenarnya justru
memperkuat nilai moral, keadilan dan nilai-nilai kemanusiaan, yang sangat dibutuhkan untuk
menciptakan ketertiban dan ketenteraman umat manusia itu sendiri.
Kata Kunci: hukuman mati, hukum pidana positif, hukum pidana Islam

Pendahuluan seperti yang disebutkan di dalam Alquran.


Dalam sejarah peradaban manusia, jenis Dengan demikian kasus penghilangan nyawa
kejahatan yang pertama kali muncul adalah tampaknya telah berusia seusia umat manusia
tindakan pembunuhan. Hal ini dapat dilihat di muka bumi, Islam dan agama-agama
secara jelas dalam Alquran tentang sejarah lainnya secara tegas menyatakan bahwa
kedua putera Adam: Qobil dan Habil1 manusia adalah mulia. Sedemikian mulianya
manusia sehingga Allah Swt. menurunkan
apa yang disebut “syarîah” dalam rangka
1
Q.s. Al-Mâidah [5]: 28-30. menjamin kelangsungan hidup umatnya.

397
398| AL-‘ADALAH Vol. XII, No. 2 Desember 2014

Islam memandang tindakan pembunuhan hukuman mati sebagi sebuah sanksi hukum
sebagi perbuatan yang pantas mendapatkan diilustrasikan oleh Alquran. Berangkat dari
hukuman yang setimpal. Sebab akibat lebih terma Qur’ani tersebut mengharuskan penulis
jauh perbuatan tersebut tidak saja terhadap untuk menelitinya secara lebih jauh. Dalam
si korban (al-Mujma), tapi juga terhadap Alquran disebutkan dengan pelbagai macam
masyarakat (al-Mujtama’).2 istilah yang diancamkan untuk beberapa
Ajaran Islam dengan konsep amar ma’rûf kasus jarîmah atau kejahatan tertentu.
nahi munkar merupakan justifikasi religius Pertama, pidana mati dengan sebutan Qisas.
dan universal untuk memberantas segala Konsep pidana mati diekspresikan dalam
bentuk kejahatan, baik kejahatan yang Alquran dengan sebutan “qishâs”. Qisas
bersifat moral maupun bersifat sosial. Itulah berarti akibat yang sama (hukuman yang
sebabnya setiap kejahatan harus dikuburkan, serupa atau sejenis) yang dikenakan kepada
dan kebaikan mesti disuburkan. Karena pelaku tindakan pidana.3 Islam lahir dengan
itu Allah Swt. menurunkan Islam untuk platform baru dalam hukuman qisas. Dalam
menjamin setiap sisi kehidupan manusia. Islam, tidak ada lisensi untuk melibatkan
Dalam perspektif hukum pidana Islam, orang yang tidak terlibat. Keluarga pelaku
kejahatan-kejahatan yang dapat dijatuhi kejahatan tindak pembunuhan tidak dapat
hukuman mati adalah tindakan kejahatan dikenai balasan apalagi sukunya. Semua
perampokan (hirâbali), pemberontakan orang hanya bertanggungjawab atas apa
(bughât), konversi agama (riddah), zinâ yang dikerjakannya. Bahkan kehadiran
muhsân, dan pembunuhan yang dilakukan Islam jauh lebih maju dengan penwajahan
dengan sengaja (al-qatl-amdu). Dari kelima yang konkrit tentang batasan qisas. Hal
kejahatan tersebut yang termasuk kategori ini tercermin dalam Alquran.4 Sekalipun
terkena sanksi pidana mati adalah tindak kedudukan qisas dalam pandangan hukum
kejahatan pembunuhan yang dilakukan pidana Islam merupakan pidana pokok,
dengan sengaja yang hendak penulis jadikan tetapi fungsionalisasinya harus ditempatkan
sasaran bidik dalam penulisan ini. sebagai “alternatif terakhir”.
Tindak pidana pembunuhan, apabila Kedua, pidana mati dengan sebutan
dilihat dari segi rumusan yang ada dalam rajam. Secara etimologi, rajam adalah bentuk
KUHP, delik. tersebut termasuk kategori verbal noun atau masdar dari kata kerja
tindak pidana material, yang pada akhirnya rajam yang berarti melempari dengan baru.5
menghiiangkan nyawa seseorang. Terlepas Dalam terminologi fikih perkataan rajam
dari pro dan kontra pada hakikatnya ini berarti melempari pezina muhsân (sudah
yang pasti secara yuridis hukuman mati nikah) dengan batu atau semacamnya
masih tercantum dalam KUHP pada pasal sampai menemui ajalnya. Sedangkan bagi
340 bab XIX. pelaku zina yang belum nikah diberlakukan
hukuman berupa jilid (cambuk) seratus kali.
Pidana Mati Perspektif Hukum Islam Dasar normatif dari hukuman rajam adalah
hadis Nabi berkaitan dengan hukuman rajam
Islam sebagai salah satu agama samawi,
hingga mati.6 Eksistensi rajam dalam hukum
mempunyai kesamaan persepsi tentang
hukuman mati terhadap perilaku kejahatan
pembunuhan yang dilakukan secara sengaja. 3
Abd. al-Hamîd Abû Zayd, al-Hayât Dirâsat Muqâranah
Bain al-Syarîat wa al-Qanûn, (Cairo: Dâr al-Nahdah al-
Dalam konsep Islam, eksistensi tentang Arabiyah, 1997), h. 23.
4
Q.s. al-Baqarah [1]: 78 .
5
Loius Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah, (Bayrût: Al-
2
Fathi al-Dariri, Khashâis al-Tasyrî’ al-Islâmî, (Bayrût: Masharif, 1986), h. 251.
Risâlah Hâsyim, 1987), h. 24. 6
sebagaimana dalam hadis: “Ambillah daripadaku, karena
A. Khumaedi Ja’far: Hukuman Mati atas Delik Pembunuahn |399

pidana Islam, sesungguhnya yang lebih tujuan penjatuhan sebuah hukuman, yakni
penting ditangkap adalah rûh tasyri’iyyah. menjerakan pelaku kejahatan (ne peceture).
Artinya beban hukuman yang demikian berat Menurut teori ini, hukuman adalah media
mestinya menjadi filter bagi setiap muslim bagi upaya yang dapat dipergunakan untuk
tidak melanggarnya. Sehingga ada semacam menjerakan pelaku kriminal. Ketiga, teori
tameng psikologis bagi orang yang mencoba gabungan tujuan pidana selain membalas
untuk melakukannya. kesalahan penjahat juga dimaksudkan untuk
Ketiga, pidana mati dengan sebutan melindungi masyarakat dengan mewujudkan
riddah. Secara etimologi, riddah berasal ketertiban. Teori gabungan diciptakan oleh
dari kata yang berarti menolak atau keluar.7 karena menurut ajaran teori tersebut baik
Menolak di sini berarti menolak dari nilai- teori mutlak maupun teori relatif (tujuan)
nilai kebenaran agama Islam. Dalam istilah dianggapnya berat sebelah.10
teologis dan fikih disebut murtad. Pidana
mati ini khusus untuk kasus kejahatan riddah Pidana Mati atas Delik Pembunuhan
yang bersifat desersi. Menurut Hukum Pidana Islam
Keempat, pidana mati dengan sebutan Pembunuhan adalah unsur utama dan
harâbah. Secara bahasa lafazd harâbah berasal pertama dari aneka jarîmah (tindak pidana)
dari kata haraba yang berarti merobohkan atau kejahatan, lahir bersama dengan
atau menghancurkan.8 Maksudnya adalah keberadaaan manusia di dunia ini, membawa
berbuat sesuatu yang dapat menggangu malapetaka dan kehancuran, meretakkan
eksistensi kehidupan yang damai, dengan tali persaudaraan dan persatuan di dalam
membuat kerusakan dengan cara merampok masyarakat dan bangsa. Pembunuhan adalah
dan membunuh. segala aktivitas atau perbuatan seseorang
yang dilakukan dengan sengaja yang meng­
Pidana Mati Perspektif Hukum Pidana akibatkan matinya seseorang, di samping
Positif itu juga ia menghendaki kematiannya.
Pidana mati dalam perspektif hukum Oleh karena itu, delik pembunuhan dalam
pidana positif terdapat tiga macam teori. perspektif Islam merupakan salah satu dosa
Pertama, teori retributive, yaitu teori besar sesudah mempersekutukan Allah.
yang mengajarkan bahwa dasar dari suatu Pengertian pembunuhan dalam hukum
keadilan hukum harus dicari dari dalam pidana Islam secara istilah terdapat perspektif
perbuatan delik itu sendiri. 99 Menurut yang bervariasi.
teori ini, pidana dimaksudkan untuk Berdasarkan kenyataan inilah mereka
membalas tindak pidana yang dilakukan membagi dan mengklasifikasikan delik pem­
seseorang. Kedua, teori relatif, teori ini bunuhan menjadi tiga. Ketiga terminologi
lebih menekankan pada pencarian dari pada ini dapat diaktualisasikan sebagai berikut;
Pertama, pembunuhan sengaja (al-Qotl
al-’Amd), yaitu kesengajaan melakukan
Allah telah memberikan jalan (hukuman) bagi mereka, gadis
dengan gadis adalah jilid seratus kali dan pengasingan satu tahun,
janda dengan janda (yang telah kawin) dijilid sartus kali dan
dirajam dengan batu”. (H.r. Muslim). Lihat Imâm Nawâwî, Fath 10
Keberatan teori ini terhadap teori mutlak antara lain
al-Rabbâni ‘ala Syarah al-Adzkâr, (Bayrût: Dâr al-Fikr, 1989), hukuman sebagai pembalasan sama sekali tidak memberi
h. 251. kepuasan hukum bagi kepentingan masyarakat. Ajaran teori
7
Muhammad al-Arrabi, Lisân al-Arab, (Bayrût: Dâr al- relatif juga dianggapnya sempit dan berat sebelah. Keberatan-
Fikr, t.t.), h. 221. keberatannya terhadap teori relatif antara lain; hukuman yang
8
Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munanwir, berat itu dirasa tidak memenuhi rasa keadilan, kesadaran hukum
(Yogyakrat: Pustaka progresif, 1984), h. 256. masyarakat membutuhkan kepuasan dan juga penjahatnya
9
Bambang Pornomo, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: diberi kepuasan. Lihat Medel A. Elliot, Crimal m The Modern
Ghalia Indonesia, 1985), h. 56. Society, (New York: Brother Publisher, 1952), h. 339.
400| AL-‘ADALAH Vol. XII, No. 2 Desember 2014

suatu perbuatan terlarang seperti sengaja menentukan kuantitas dan kualitas hukuman
menghilangkan nyawa orang lain. Kedua, yang akan dijatuhkan terhadap pelaku delik
Pembunuhan Semi Sengaja (Syibh al-’Amd), pembunuhan. Dalam kasus pembunuhan
dimaksudkan dengan pembunuhan semi sengaja, seseorang baru dapat dijatuhi
sengaja adalah suatu perbuatan penganiayaan pidana mati apabila telah memenuhi tiga
terhadap seeorang tidak dengan maksud unsur, yakni, pertama, adanya unsur bahwa
membunuh tetapi mengakibatkan kematian yang menjadi korban itu adalah manusia
seseorang.11 Dalam kasus pembunuhan semi yang masih hidup (al-qatl adamiyun
sengaja ini menurut ketentuan hukum hayun). Dalam konteks bahwa manusia
Islam tidak dijatuhi hukuman mati. Hanya adalah makhluk yang darahnya tidak boleh
saja pelaku harus dikenai hukuman diyât untuk dicabut. Karena darah manusia
sebagai hukuman pokok dan kafârah. adalah terlindungi oleh hukum Islam.
Sedangkan sebagai hukuman penggantinya Kedua, perbuatan itu sebagai akibat dari
adalah hukuman ta’zîr. Terlepas dari itu tindakan pelaku kejahatan (al-qatl natîjat
semua, namun hemat penulis, pelaku li fi’il al-jani). Dalam hal ini tindakan
tetap dipandang berdosa dan hukumannya pelaku menimbulkan kematian si korban.
berada di tangan penguasa sesuai dengan Jadi, apabila suatu pembunuhan merupakan
pertimbangan-pertimbangan yang rasional. akibat dari suatu perbuatan tetapi tidak
Ketiga, pembunuhan tidak sengaja (al-Qatl dapat dibuktikan atas perbuatan pelaku,
al-Khata), yaitu pembunuhan yang dilakukan maka pembunuhan tersebut tidak dapat
oleh seseorang dengan tidak adanya maksud disebut pembunuhan. Dan ketiga, pelaku
si pelaku untuk membunuh seseorang. sengaja ingin menghilangkan nyawa se­
Dalam hukum pidana Islam suatu seorang atau korban. Inilah unsur yang
perbuatan baru dapat dianggap sebagai terpenting dalam kasus pembunuhan se­
tindak pidana, baik pidana hudûd, qishâs ngaja.12 Adapun dasar yuridis pidana mati
maupun ta’zîr, apabila telah ada ketentuan atas delik pembunuhan dalam hukum
hukum yang melarangnya. Larangan ini pidana Islam, suatu perbuatan baru dapat
bersumber pada ketentuan nash syar’i dianggap sebagai suatu delik pidana dan
sangat menentukan adanya hukum. Oleh mendapatkan hukuman apabila telah ada
karena itulah, suatu perbuatan baru dapat nas yang menunjukan adanya hukuman
dipandang sebagai tindak pidana (jarîmah) delik. Berangkat dari penjelasan di atas,
apabila memenuhi tiga unsur yakni pertama, tindak pidana pembunuhan yang dilakukan
unsur formil (rukn al-shar’i), artinya bahwa secara sengaja, dengan sanksi hukuman
tindakan hukum telah mempunyai kekuatan pidana mati telah mendapatkan legimitasi
yang melarangnya. Kedua, unsur materil dari Alquran.13
(rukn al-maddi), artinya adanya tingkah
laku yang membentuk pidana. Ketiga, Pidana Mati atas Delik Pembunuhan
unsur moril (rukn al-adabi), yakni bahwa dalam Hukum Pidana Positif
perbuatan pidana itu dilakukan oleh orang Pada dasarnya tindak pidana delik pem­
yang mukallaf. bunuhan merupakan suatu tindakan
Demikian halnya terhadap delik pem­ yang secara formil bertentangan dengan
bunuhan yang dilakukan secara sengaja ke­
t entuan perundang-undangan. Secara
unsur-unsur inilah yang kemudian dapat
12
Halimah, Hukum Pidana Syari’at Islam menurut Ajaran
Ahlu Sunnah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1971), h. 51.
11
Zainab Ridwan, al-Najâriyah al-ljtimâiyah al-Islâm, 13
Mohamad Audah, al-Tasyrî al-Islâmî, (Bayrût: Dâr al-
(Kairo: Dâr al-Ma’arif,1970), h. 24. Fikr, t.t.), h. 111.
A. Khumaedi Ja’far: Hukuman Mati atas Delik Pembunuahn |401

substansial mempunyai arti bahwa perilaku tindak pidana tersebut.


pembunuhan melakukan perlawanan dan Sesuai dengan pejelasan di atas, dapatlah
melanggar ter­hadap perundang-undangan dipahami apa yang dimaksud dengan istilah
yang ber­laku. Sedangkan aspek materialnya pidana mati atas delik pembunuhan menurut
yakni bahwa perbuatan itu bisa berakibat hukum pidana positif atau dalam kitab
kepada kematian seseorang. Dua aspek undang-undang. Jadi yang dimaksud delik
inilah yang mengharuskan terjadinya sebuah pembunuhan yang dijatuhi hukuman mati
hukuman dalam suatu aturan perundang- adalah suatu kesengajaan yang dilakukan oleh
undangan. seseorang terhadap orang lain dengan tujuan
Apabila kita berusaha untuk men­ untuk membunuh atau menghilangkan
jabarkan suatu rumusan tindak pidana nyawanya. Kematian itu yang menjadi tujuan
(delik) ke dalam unsur-unsurnya, maka atau kehendak dari pelaku, maka perbuatan
yang mula-mula dapat dijumpai adalah tersebut disebut masuk dalam klasifikasi
di­
s ebutkannya seseorang telah melaku­ delik pembunuhan.
kan sesuatu tindakan yang terlarang oleh Berdasarkan ketentuan hukum pidana
undang-undang. Menurut ilmu hukum positif pengancaman sanksi pidana mati
pidana, suatu tindakan itu dapat merupa­ adalah hanya diperuntukkan bagi kejahatan-
kan “een doen” atau “een niet doen” yang kejahatan tertentu yang sifatnya sangat
berarti berbuat atau tindak berbuat sesuatu serius, yaitu bentuk-bentuk kejahatan
tindakan.14 yang menghilangkan jiwa seseorang (pem­
Setiap unsur tindakan pidana yang bunuhan). Hukuman mati yang dijatuhkan
terdapat dalam hukum pidana positif, pada pada delik pembunuhan dalam perspektif
umumnya dapat digolongkan menjadi dua hukum pidana positif memiliki nilai
macam unsur, yaitu unsur-unsur subyektif “behavioral human”, untuk selalu patuh dan
dan unsur-unsur obyektif. Yang dimaksud tunduk terhadap nilai-nilai hukum luhur.
dengan unsur-unsur subyektif adalah unsur- Oleh karena itu, dasar yuridis pidana mati
unsur yang terdapat pada diri si pelaku atas delik pembunuhan menurut hukum
atau unsur-unsur yang berhubungan dengan pidana yaitu pembunuhan berencana, ini
diri si pelaku, dan termasuk di dalamnya diatur dalam KUHP pada pasal 340, yang-
adalah segala sesuatu yang terkandung di berbunyi:
dalam hatinya. Oleh karena itu, jika di­ “Barangsiapa dengan sengaja dan
tinjau dari segi subyektif, maka peristiwa dengan direncanakan lebih dahulu
pidana adalah segi kesalahan, artinya akibat menghilangkan jiwa orang lain, dihukum
yang telah dilakukan si pelaku yang dapat karena pembunuhan direncanakan
dipertanggungjawabkan itulah yang tidak (moond), dengan hukuman mati atau
dikehendaki undang-undang.15 penjara seumur hidup atau penjara
Melihat rumusan dari kedua unsur sementara selama-lama dua puluh
pokok dalam suatu tindak pidana (delik) tahun”16
tersebut di atas, maka dapatlah diketahui
adanya suatu perbuatan atau tindak pidana Nilai-nilai Filosofis Pidana Mati atas
dan dapat pula ditentukan ada tidaknya Delik Pembunuhan
sanksi yang dapat dijatuhkan terhadap pelaku Bangsa yang beradab dapat ditandai
dengan adanya perlindungan terhadap
14
Lamintang Herman, Hukum Pidana di Indonesia,
(Semarang: Pustaka Ilmu. 19S1), h.184
15
TB Simatupang, Pidana Mati Dinilai dari Penegak 16
R. Soesilo, Kitab KUHP serta Kmentar-Komentarnya
Hukum, Jakarta: Kejaksaan Agung), h. 57 Lengkap Pasal demi Pasal, (Bogor: Pelita, 1971), h. 241
402| AL-‘ADALAH Vol. XII, No. 2 Desember 2014

eksisitensi manusia yakni dengan menjaga esoterik manusia), namun ia sangat kuat
kelangsungan hidup baik secara induvidual kaitannya dengan aturan-aturan yang bersifat
maupun kolektif. Perlindungan ini dapat normatif (hukum), karena antara moral
berupa berbentuk seperti larangan, perintah dengan hukum sama-sama dimaksudkan
berbuat, menjaga martabat keselamatan sebagai upaya menjaga ketertiban diri dan
manusia serta pembelaan dalam bentuk masyarakatnya.
hukuman yang memuat sanksi. Dalam Hubungan moral dengan hukum itu
hukum pidana mati atas delik pembunuhan sendiri sangat signifikan. Karena hukum
terkandung nilai-nilai yang menjadi dasar tanpa moral adalah kezaliman, dan moral
penetapan hukuman pidana mati tersebut. tanpa hukum adalah anarchi dan utopia
Paling tidak ada tiga nilai yang terkandung yang mengarah kepada anarki. Hukum tanpa
di dalamnya, yakni moralitas, keadilan dan keadilan dan moralitas, bukanlah hukum
kemanusiaan. dan tidak akan bisa bertahan lama. Sistem
hukum yang tidak memiliki akar substansial
a. Nilai Moralitas Pidana Mati atas Delik pada keadilan dan moralitas pada akhirnya
Pembunuhan tak akan kuat artinya, hukum dan moral
Nilai moralitas dalam hukum pidana Islam harus berdampingan, karena moral adalah
dan pidana positif aspek moral dipandang pokok daripada hukum.18
sebagai masalah yang penting dan sangat Jadi, dalam masyarakat terdapat
strategis, dengan moral dapat dijadikan hubung­an erat antara moral sosial dengan
sebagai landasan kuat bagi terbentuknya perintah hukum. Bila dalam aturan ke­
suatu tatanan masyarakat yang kondusif susilaan (moral) yang dimuat adalah ajaran
dan obyektif. Karena urgensi inilah, Fazlur yang berupa pujian dan celaan maka
Rahman, sampai pada suatu kesimpulan dalam norma hukum dimuat perintah dan
bahwa semangat daripada Alquran adalah larangan yang diperkuat dengan ancaman
semangat moral. Norma moral dalam dan sanksi bagi orang yang mengabaikan,
Islam diekspresikan dengan konsep amar meskipun coraknya berbeda namun bentuk-
ma’rûf nahi mungkar. Memang problem bentuk yang dilarang dalam hukum adalah
moral dalam Islam sejak awal telah di­ suatu bentuk yang dipuji dan dicela dalam
proklamasikan Nabi Muhammad sebagai aturan kesusilan, sehingga pada akhirnya
suatu misi kenabian.17 patokan hukum tersebut berurat pada
Dapat pula dipahami bahwa persoalan norma kesusilaan.19
moral adalah suatu persoalan yang melekat Pada dasarnya tujuan hukuman pada
dengan diri manusia. Jadi, moral berfungsi hukum pidana Islam dan positif adalah
sebagai standard mekanis dalam menentukan untuk menjerakan dan memperbaiki pelaku
perbuatan yang layak dan tidak layak untuk kejahatan sekaligus masyarakat yang berarti
dikerjakan. Moral tidak saja terdapat dalam bahwa ketika hukuman itu dijatuhkan, maka
tindakan itu sendiri, tetapi ia juga terdapat masyarakat akan menyadari bahwa bertindak
dalam keinginan untuk hidup secara benar di atau melakukan suatu perbuatan pidana
dalam upaya untuk berbuat baik. Oleh karena dapat merugikan diri sendiri dan masyarakat,
itu, moral dapat dipandang sebagai suatu dengan demikian berarti bahwa hukuman
aturan etika (kesusilaan) hidup. Walaupun dapat menumbuhkan kesadaran moral
moral berbicara dari sisi bâthiniyah (aspek
18
Murthada Muthahari, Masyarakat dan Sejarah: Kritik
Islam atas Marxisme dan Teori, (Bandung: Mizan, 1997), h. 62.
17
Ahmad Azhar Basyir, Refleksi atas Persoalan Keislaman, 19
Hartono Mardjono, Menegakkan Syariat Islam dalam
(Bandung: Mizan, 1994), h. 41. Konteks Kemanusiaan,(Bandung; Mizan, 1997), h. 15.
A. Khumaedi Ja’far: Hukuman Mati atas Delik Pembunuahn |403

untuk selalu berhati-hati dalam bertindak, Keadilan dalam hukum pidana positif dan
dengan demikian penjatuhan pidana mati hukum pidana Islam merupa­kan perpaduan
atas pelaku kejahatan pembunuhan sengaja, yang menyenangkan antara hukum dan
maka secara lebih jauh akan memberikan moralitas. Dalam pidana mati atas delik
kesadaran kepada orang lain untuk berpikir pembunuhan secara sengaja dan terencana
tidak melakukan kejahatan pembunuhan. merupakan tindakan yang melawan hukum
Adanya kesadaran ini yang kemudian dapat dan cermin dari wajah ketidakadilan. Arti­
membentuk sikap individu dan masyarakat nya, si pelaku sadar dan mengetahui akibat
yang pada akhirnya dapat membangun suatu yang ditimbulkan oleh perbuatan-perbuatan
tatanan kehidupan yang menampilkan rasa itu sendiri, yakni menghilangkan nyawa
saling kasih sayang, saling menghormati dan seseorang tanpa mendapatkan legitimasi
mencintai sesama, mengetahui batas-batas hukum. Maka tindakan tersebut dipandang
hak dan kewajibannya.20 sebagai sebuah kezaliman atau ketidakadilan,
Penetapan pidana mati atas delik pem­ sebab ketidakadilan dan kezaliman menurut
bunuhan dengan sengaja dapat dijatuhi terminologi hukum pidana Islam dan
hukumam mati menurut pidana Islam dan hukum pidana positif adalah tindakan
hukum pidana positif, ini semua dengan yang sedemikian rupa yang melewati batas-
beralasan. Pertama, pembunuhan sengaja batas kebenaran serta melanggar hak-hak
merupakan suatu tindakan penghancuran orang lain dan melampaui batas-batas yang
terhadap nilai kehidupan seseorang, yang dimiliki seseorang yang bukan menjadi
secara fundamental dimiliki oleh setiap haknya.
orang. Kedua, tindakan pembunuhan sengaja Jadi jelaslah, bahwa pembunuhan se­
tidak dapat diragukan lagi kejahatannya cara sengaja merupakan tindakan yang
lagi. Ketiga, tindakan seperti ini dapat pantas dijatuhi hukuman yang sepadan. Ini
menimbulkan emosi yang cukup kuat pada menunjukan apa yang disebut sebagai prinsip
seseorang. Oleh karena itu, akan menjadi keadilan hukum. Bahwa tidak seorang pun
sangat mudah untuk melahirkan rasa benci yang dapat lolos dari konsekuensi hukum,
dan permusuhan,21 terutama pada keluarga apakah yang membunuh itu muslim atau
korban dan memang secara psikologis non muslim mereka tetap dikenai hukuman.
merekalah orang pertama mendapatkan Dalam konteks ini dapat ditarik suatu
kesedihan. Maka untuk mengobatinya pemahaman bahwa penetapan pidana mati
adalah dengan menjatuhkan pidana mati atas pelaku kejahatan pembunuhan secara
atas pelaku kejahatan atas kejahatan yang sengaja semata-mata untuk menegakan
telah dilakukan, yakni membunuh secara keadilan hukum. Oleh sebab itulah, antara
sengaja.22 hukum pidana Islam dan positif tidak
pernah melakukan diskriminasi terhadap
b. Nilai Keadilan Pidana Mati atas Delik siapa pun, sehingga seseorang yang telah
Pembunuhan membunuh mereka tetap diancam dengan
Hal ini mencakup pada dua hal penting, hukuman mati. Kedua, nilai keadilan sosial,
yakni,23 Pertama, nilai keadilan hukum. yakni keadilan yang merata dalam segenap
lapangan kehidupan, bidang ekonomi,
bidang sosial dan bidang kebudayaan yang
20
Hartono Mardjono, Menegakkan Syariat Islam dalam dapat dirasakan oleh masyarakat,24 ini berarti
Konteks Kemanusiaan, h. 15.
21
Zainal Ridwan, al-Najâriyah al-Ijtimâiyyah, h. 231.
22
Zainal Ridwan, al-Najâriyah al-Ijtimâiyyah, h. 232
23
Ibn Taimiyah, Al-Siyasah Al-Syarî’ah fi Islâm al-Ro’yu wa 24
Darijarkoro, Pidana Mati di Indonesia, (Jakarta: Ghalia,
al-Râ’iyah, (Damaskus: Dâr al- Kutub al-‘Arabiyah, t.t.), h. 101. 1985), h. 21.
404| AL-‘ADALAH Vol. XII, No. 2 Desember 2014

bahwa terciptanya suatu masyarakat yang c. Nilai Kemanusiaan Pidana Mati atas
seimbang, harmonis dalam pelbagai aspek Delik Pembunuhan
kehidupan merupakan suatu bentuk dari Semua nilai moral, keadilan, persamaan
keadilan sosial. dan sebagainya adalah disucikan dan tidak
Dalam hukum pidana Islam dan hukum ada bedanya dengan agama. Keabsahannya
pidana positif, pelecehan atau segala bentuk adalah tergantung pada keahlian yang tidak
kejahatan merupakan anti sosial. Artinya, mengenal perbedaan antara manusia dengan
tindakan tersebut sudah tidak sesuai manusia lainnya. Moralitas dan keadilan
dengan semangat keadilan sosial. Kejahatan adalah dua kata yang inheren dengan sisi
pembunuhan adalah bukti yang paling nyata kemanusiaan. Artinya, kedua nilai tersebut
dari kejahatan sosial, karena pembunuhan berada pada diri manusia dan selalu di­
tidak saja mengakibatkan terdistorsinya dambakan. Sedangkan sisi positif yaitu
suatu kehidupan individu, tetapi memiliki cintailah sesama manusia seperti dirimu
akibat negatif bagi kehidupan masyarakat. sendiri, perlakukanlah kepadanya apa yang
Oleh karena itu, ketentuan hukum menjadi engkau inginkan untuk diri sendiri. Rumusan
sangat signifikan, karena betapa pun manusia kemanusiaan seseorang harus dilihat dari
telah mencapai pendidikan yang tingggi, sudut manusia itu sendiri (aspek internal dan
dan betapa pun adil dan kokohnya suatu bukan aspek eksternalnya), yakni bagaimana
sistem sosial, tapi masih ada orang yang manusia itu berperilaku baik terhadap dirinya
melakukan kejahatan seperti pembunuhan sendiri maupun orang lain, dengan kata
dan kesewenang-wenangan, yang tidak lain, bahwa sudut kemanusiaan seseorang
mungkin bisa dicegahnya kecuali dengan dipandang dari kemanusiaan diri sendiri.
hukuman yang kadang-kadang harus berat Karena secara esensial, bahwa kemanusiaan
dan keras. seseorang justru diadakan untuk melindungi
hak asasi manusia, bukan untuk melindungi
Pidana mati atas delik pembunuhan
orang yang tidak berperikemanusiaan atau
yang ditetapkan oleh hukum pidana Islam
orang yang tidak menghargai hak asasi orang
dan hukum pidana positif, tidaklah semata-
lain.
mata menjadi suatu jawaban tersendiri
terhadap pelaku kejahatan pembunuhan, Dalam Islam, eksistensi manusia tampak
tetapi juga demi terciptanya suatu tatanan sebagai makhluk yang paling mulia, karena
tidak jarang Alquran menggambarkannya
masyarakat yang berkeadilan sosial yang
dengan nilai indah, seperti manusia sebagai
dihiasi dengan nilai-nilai kedamaian, se­
khalîfah di muka bumi, memiliki intelegensi
hingga keamanan dan ketertiban masya­
yang tinggi, memiliki kesadaran moral,
rakat menjadi terjamin.
diberikan pembawaan mulia dan martabat,
Berdasarkan beberapa penjelasan yang manusia sebagai makhluk pilihan, manusia
telah dikemukakan di atas, dapat dipahami adalah makhluk sempurna. Namun demikian,
bahwa yang dinamakan dengan pem­bunuhan manusia adalah makhluk yang sangat rendah,
merupakan suatu ketidakadilan dan karena sehingga Alquran mendeskripsikannya dengan
merupakan ketidakadilan, maka upaya untuk makhluk yang suka berbuat kezaliman,
membasminya menjadi suatu hal yang mengingkari nikmat, gemar melampaui batas
mendasar, demi terciptanya tatanan hidup dan lain sebagainya.
yang berperikehidupan yang berkeadilan
Selanjutnya, nilai kemanusiaan terletak
sosial. Artinya, suatu keadilan yang dapat
pada manusia itu sendiri yang diekspresikan
dirasakan oleh masyarakat.
dengan perilaku kehidupannya yang di­
hiasi dengan nilai-nilai ketaatannya dan
A. Khumaedi Ja’far: Hukuman Mati atas Delik Pembunuahn |405

kepatuhannya terhadap norma-norma Tindak pidana adalah suatu perbuatan


Tuhan. Dari perspektif inilah, kemudian yang melanggar atau bertentangan
kita dapat melihat suatu pandangan yang dengan undang-undang pidana yang
apabila dikaitkan dengan pidana mati, dilakukan oleh seseorang yang dianggap
maka sesungguhnya penetapan tersebut bersalah dan mampu untuk memper­
berdasarkan pada realitas kemanusiaan tangungjawabkannya, perbuatan dimana
yang ingin dijunjung tinggi. Bila seseorang dapat diancam dengan hukuman undang-
memelihara kehidupannya (dengan tidak undang. 25 Dari rumusan mengenai
melakukan hal-hal yang dilarang oleh hukum pengertian tindak pidana di atas, maka
agama dan moral), maka sesungguhnya ia dapatlah diketahui bahwa unsur-unsur
telah meletakkan nilai kemanusiaan terhadap suatu tindak pidana dalam hukum pidana
dirinya dan orang lain. Sebaliknya, bila positif. Pertama, adanya perbuatan yang
melakukan hal-hal yang dilarang atau mencakup kelakukan dan akibat. Kedua,
membunuh orang lain, maka ia telah perbuatan yang dilakukan itu telah
merampas kemanusiaannya. Oleh karena melanggar atau bertentangan dengan
itulah, Allah melarang membunuh diri undang-undang sehinggga dapat diancam
sendiri. dengan hukuman. Ketiga, perbuatan
Berdasarkan ayat di atas, maka me­ itu dilakukan oleh orang yang mampu
nganiaya diri sendiri atau bahkan bunuh untuk mempertangungjawabkannya.26
diri merupakan dosa besar. Hal ini me­ Dari pernyataan di atas, dapatlah di­
rupakan tantangan terhadap ketentuan ketahui bahwa sesuatu perbuatan delik
Tuhan dan kekuasaan-Nya yang di akhirat pembunuhan dapat dianggap dan dijatuhi
kelak akan mendapatkan hukuman/siksaan pidana mati apabila adanya unsur-unsur
dari Allah Swt. Oleh sebab itulah, dapat kesengajaan yang dapat menghilangkan
dipahami bahwa hukum Islam yang me­ nyawa seseorang. Adapun unsur-unsur
netap­k an pidana mati dalam struktur suatu tindak pidana atau jarimah di
hukum­ n ya dapat dipandang sebagai dalam hukum pidana Islam. Pertama,
upaya terapi atas tindakan-tindakan yang unsur formil (rukn al-syâri’), yaitu
tidak terpuji. Jadi, tidak sama sekali di­ adanya larangan nas yang ditujukan
maksudkan sebagai upaya balas dendam pada perbuatan yang dilakukan oleh
seperti yang selama ini dituduhkan oleh seseorang, yang mana perbutan itu dapat
mereka yang melihat hukum Islam secara diancam dengan hukuman. Kedua, unsur
sepihak. Karena pembunuhan yang tidak materil (rukn al-mâddah), yaitu adanya
dibenarkan menurut konsepsi hukum Islam perbuatan yang dapat dianggap sebagai
dan hukum pidana positif sebagai cerminan jarîmah, baik terhadap perbuatan yang
dari sebuah tindakan tak bermoral, tak nyata maupun sikap tidak berbuat.
berperikeadilan dan tak berperikemanusiaan, Ketiga, unsur moril (rukn al-adabi), yaitu
maka ketetapan Islam atas pidana mati di bahwa pelaku adalah orang yang mampu
atas justru menunjukkan kenyataan ini. mempertanggungjawabkan jarimah yang
Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas telah dilakukan.
dalam hal ini, penulis dapat mengambil suatu Oleh karena itu, pidana mati atas delik
komparatif atau perbandingan mengenai pembunuhan menurut hukum pidana
pidana mati atau hukuman pidana mati atas
delik pembunuhan antara hukum pidana 25
Simorangkir, Pelajaran Hukum Islam, (Jakarta: Gunung
Islam dan hukum pidana positif. Agung, 1990), h. 80.
26
Hartono Marjono, Menegakkan Syariat Islam Dalam
1. Pada aspek esensi tindak pidana (jarîmah). Konteks Kemanusinan, (Bandung: Mizan, 1997), h. 66.
406| AL-‘ADALAH Vol. XII, No. 2 Desember 2014

Islam dan hukum pidana positif apabila maupun hukum pidana Islam, keduanya
dianalisis lebih cermat, baik dari segi mempunyai persamaan dan mempunyai
unsur-unsur yang membentuk jarîmah, perbedaan. Dari segi persamaannya, perbuatan
maupun rumusan dari masing-masing pidana pembunuhan yang telah dilakukan
tindak pidana tersebut pada hakikatnya seseorang, wajib dipertanggungjawabkan di
adalah sama. Yakni sama-sama ada unsur depan sidang pengadilan, selama orang yang
kesengajaan di dalam tindak pidana melakukan tindak pidana tersebut dianggap
(jarîmah) tersebut dalam arti si pelaku mampu untuk mempertanggungjawabkan
memang bersengaja melakukan suatu semua perbuatannya. Sedangkan dari segi
pembunuhan yang berakibat hilangnya perbedaannya adalah bahwa perbuatan
nyawa seseorang. pidana yang dilakukan menurut hukum
2. Pada aspek pertanggungjawaban tindak pidana positif itu hanya dihadapkan di
pidana. Menurut hukum pidana positif, depan sidang pengadilan di dunia saja.
setiap melanggar hukum atau melawan Sedangkan menurut hukum pidana Islam,
hukum27 harus dipertanggungjawabkan perbuatan pidana yang dilakukan seseorang
selama orang yang melakukan perbuatan di samping harus dipertanggungjawabkan
hukum itu. Oleh karena itu, perlu di muka sidang pengadilan (di dunia), juga
diketahui apabila ada sesuatu tindak harus dipertanggungjawabkan dihadapan
pidana yang terjadi, maka di dalam Allah Swt (akhirat).
tindakan tersebut harus terdapat dua
syarat yang senantiasa berkaitan. Pertama, Penutup
adanya perbuatan yang bersifat melawan Eksistensi hukuman pidana mati dalam
hukum dalam rumusan perundang- hukum pidana Islam dan hukum pidana
undangan hukum pidana sebagai sendi positif hanya diperuntukkan terhadap
perbuatan pidana. Kedua, perbuatan jenis-jenis kejahatan tertentu yang bersifat
yang dilakukan dapat dipertanggung serius. Dasar justifikasi eksistensi dari pidana
jawabkan sebagai sendi kesalahan. mati menurut hukum Islam dan hukum
Dalam hukum pidana Islam setiap pidana positif adalah terletak pada orientasi
pelanggaran-pelanggaran terhadap perintah tujuannya yang justru bermaksud untuk
yang telah ditetapkan oleh syariat ataupun melindungi hak hidup manusia sebagai
meninggalkan perintahnya, semuanya harus hak asasi manusia yang paling mendasar.
dipertanggungjawabkan baik di dunia maupun Pandangan hukum pidana Islam terhadap
di akhirat. Dari rumusan ini diketahui pidana mati atas delik pembunuhan adalah
bahwa terwujudnya pertanggunganjawaban bahwa penerapan hukuman mati terhadap
pidana di dalam hukum pidana Islam, harus delik pembunuhan ini pada dasarnya
memenuhi tiga syarat yaitu adanya perbuatan mempunyai nilai-nilai ketepatan hukum,
yang dilarang, perbuatan tersebut dikerjakan yang dapat dilihat dari dua sudut pandangan.
atas kemauannya sendiri (bukan dipaksa Pertama, dari sudut sosial kemasyarakatan,
atau terpaksa), dan pelakunya menyadari bahwa delik pembunuhan dalam hukum
terhadap perbuatan yang dilakukannya, pidana Islam merupakan suatu perbuatan.
berarti pelakunya adalah seorang yang menghilangkan nyawa seseorang yang
berakal, dewasa, dan bukan anak kecil. tidak sesuai dengan nilai keadilan dan
Dengan demikian pertanggungjawaban moralitas. Kedua, dari sudut individu,
(pidana), baik dari aspek hukum pidana positif dengan diterapkannya hukuman mati atas
delik pembunuhan akan melahirkan sikap
27
Ruslan Shaleh, Perbuatan Pidana dan Tanggung Jawab, kehatian-hatian seseorang dalam melakukan
(Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983), h. 77
A. Khumaedi Ja’far: Hukuman Mati atas Delik Pembunuahn |407

tindakan pembunuhan, sehingga tidak ter­ Darijarkoro, Pidana Mati di Indonesia,


jebak dalam perilaku yang destruktif dan Jakarta: Ghalih Indonesia, 1985
melanggar hak-hak asasi manusia. Dariri, al-, Fathi, Khasâis aI-Tasyrî’ al-Islâm,
Menurut pandangan hukum pidana Bayrût: Risâlah Hâsyim Ma’rûf, 1987.
positif, delik pembunuhan merupakan
Elliot, Medel A., Criminal in The Modern
tindakan secara formil bertentangan dengan
Society, New York: Harper and Brother
ketentuan perundang-undangan, dan secara
Publisher, 1952.
materialnya, perbuatan itu bisa berakibat
kepada kematian seseorang. Hukuman mati Hamzah, Andi, Pidana Mati di Indonesia
yang dijatuhkan pada delik pembunuhan di Masa Lalu, Kini dan Masa Depan,
dalam perspektif hukum pidana positif Jakarta: Balai Aksara, 1985.
memiliki nilai “behavioral human”, dan Halimah, Hukum Pidana Syari’at Islam
“social defence”. Nilai filosofis pidana mati Menurut Ajaran Ahlus Sunnah, Jakarta:
atas delik pembunuhan, ini pada garis besar­ Bulan Bintang, 1971.
nya mempunyai nilai filosofis, yaitu di dalam
menegakan dimensi moralitas, dimensi Ibn Taimiyah, al-Siyâsah al-Syarî’ah fî Islâm
keadilan, dimensi kemanusiaan. Adapun al-Ru’iy wa al-Ra’iyah, Damaskus: Dâr
analisa perbandingan delik pembunuhan al-Kutub al-‘Arabiyah, t.t.
yang beakibat kematian di dalam hukum Marjono, Hartono, Menegakkan Syari’at Islam
pidana Islam dan hukum pidana positif, dalam Konteks Kemanusiaan, Bandung:
pada hakekatnya- adalah sama. Artinya Mizan, 1997.
kedua hukum tersebut memandang pidana Ma’luf, Louis, al-Munjid fî al-Lughah,
mati merupakan ancaman terhadap ke­ Bayrût: al-Masharif, 1986.
salahan menyebabkan kematian seseorang,
yang harus dipertanggungjawabkan di depan Maudûdi, HAM dalam Islam, Jakarta:
hukum. Pustaka Ilmu, 1986.
Mulyana, R. Slamet, Perundang-Undangnn
Pustaka Acuan Majapahit, Jakarta: Bharata Press, 1967.
Abû Zayd, Abd. al-Hamîd, al-Hayât Dirâsat Munawir, Ahmad Warson, Kamus al-
Muqâranah Bain al-Syarîat wa al-Qanûn, Munawir, Yogyakarta: Pustaka Progresif,
Cairo: Dâr al-Nahdah al-Arabiyah, 1997. 1984.
Arabi, al-, Muhammad, Lisân al-Arabiyah, Muthari, Murthada, Masyarakat dan Sejarah:
Bayrût: Dâr al-Fikr, t.t. Kritik Islam Orang Marhanisme dan
Teori, Bandung: Mizan, 1980.
‘Audah, Muhammad, al-Tasyrî’ al-Islâm,
Bayrût: Dâr al-Fikr, t.t. Muljatno, Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana, Jakarta: Bumi Aksara, 1994.
Azhari, Muhammad Thahir, Negara Hukum
Studi Tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat Purnomo, Bambang, Ancaman Pidana Mati
dari Segi Hukum Islam, Jakarta: Bulan dnlam Hukum Pidana di Indonesia,,
Bintang, 1992. Jakarta: Liberty, 1982.
Anwar, Muhammad, Fiqh Islam Pidana Qolaiji, Muhammad Rawwas, al-Qisah fî
Perdata Islam, Bandung: al-Ma’arif, al-lslâm, Bayrût: Dâr al-Fikr, t.t.
1987. Ridwan, Zainab, al-Najâriyah al-ljtimâ’iyah
Basyir, Ahmad Azhar, Refleksi atas persoalan fî al-lslâm, Kairo: Dâr al-Ma’ârif, 1970.
Keislaman, Bandung: Mizan, 1994. Simorangkir, J.C.T., Pelajaran Hukum
408| AL-‘ADALAH Vol. XII, No. 2 Desember 2014

Indonesia, Jakarta: Gunung Agung, 1959. Soekanto, Soejono, dan Sri Mahmudi, Penditinn
Saleh, Ruslan, Perbuatan Pidana dan Hukum Normatif Suatu Tindakan Singkat,
Pertanggungan Jawab, Jakarata: Galia Jakarta: Grafindo, 1995.
Indonesia, 1983. Soesilo, R., Kitab Undang-Undang Hukum
Sâbiq, Sayyid, Fiqh Sunnah, Bayrût: Dâr Pidana (KUHP) Serta Komentar-
al-Fikr, 1992. komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal,
Bogor: Pelita, 1971.
Simantupang, TB., Pidana Mati Ditinjau
dari Penegak Hukum, Jakarta: Jaksa Tambunan, R.O., Pidana Mati di Indonesia,
Agung, 1980. Jakarata: Persada Raya, 1996.

Anda mungkin juga menyukai