Anda di halaman 1dari 44

FIQIH JINAYAH DAN FIQIH SIYASAH

MAKALAH

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas kelompok mata kuliah ‘Ushul Fiqh dan Fiqh’
yang diampu oleh :

Dr. H. Muslimun, M.Ag.

Oleh : Kelompok 9 1A

ADELLA RIZKIYA PRATIWI (230502001)

AGEL PUTRA (230502002)

ALGEA AMALUKA SHOLEHA (230502003)

AULIA ELDA CAHYANI (230502004)

PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM

MATARAM

2023/2024
KATA PENGANTAR

Syukur alhamdulillah senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini guna
memenuhi tugas kelompok untuk mata kuliah Ushul Fiqh dan Fiqh, dengan judul:
“FIQIH JINAYAH DAN FIQIH SIYASAH”.

Sekaligus kami menyampaikan rasa terima kasih sebanyak-banyaknya kepada bapak


Dr, H. Muslihun, M.Ag , selaku dosen mata kuliah Ushul Fiqh dan Fiqh. Kami menyadari
bahwa dalam penulisan makalah ini tidak terlepas dari bantuan banyak pihak yang dengan
tulus memberikan saran dan kritik sehingga makalah ini dapat terselesaikan. Terlepas dari
semua itu, kami menyadari bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat
maupun tata bahasanya. Oleh karena itu, dengan tangan terbuka kami menerima segala saran
dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.

Demikian yang dapat penulis sampaikan, semoga para pembaca dapat mengambil
manfaat dan pelajaran dari makalah ini.

Mataram, 19 September 2023

Penyusun
A. LATAR BELAKANG
Islam merupakan suatu ajaran yang memiliki aturan dan hukum yang
sangat kompleks meliputi seluruh yang berkaitan dengan kehidupan manusia
di muka bumi ini. Allah SWT sebagai pembuat hukum menghendaki
hambanya untuk senantiasa menyembah kepadanya. Hukum dalam islam
dapat berlaku dalam segala persoalan hidup sesuai dengan hubungannya
dengan persoalan yang terjadi, baik itu mengenai ibadah, muamalah maupun
dalam beramal sosial.
Di dalam Islam juga ditentukan segala perbuatan yang baik dan
dibolehkan syara’ untuk dilakukan dan yang tidak boleh (dilarang). Maka
segala perbuatan yang baik akan mendapat balasan pahala, sedangkan untuk
perbuatan yang dilarang jika dilakukan akan mendapatkan sanksi syara’ serta
sistem pemerintahan dalam perbuatan tersebut.
B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Fikih Jinayah
Dalam mempelajari Fiqh Jinayah, ada dua istilah penting yang
terlebih dahulu harus dipahami sebelum mempelajari materi selanjutnya.
Pertama adalah istilah jinayah itu sendiri dan kedua adalah jarimah. Kedua
istilah ini secara etimologis mempunyai arti dan arah yang sama. Selain
itu, istilah yang satu menjadi muradif (sinonim) bagi istilah lainnya atau
keduanya bermakna tunggal. Walaupun demikian, kedua istilah berbeda
dalam penerapan kesehariannya. Dengan demikian, kedua istilah tersebut
harus diperhatikan dan dipahami agar penggunaanya tidak keliru. Jinayah
artinya perbuatan dosa, perbuatan salah atau jahat. Jinayah adalah masdar
(kata asal) dari kata kerja (fi’il madhi) janaa yang mengandug arti suatu
kerja yang diperuntukan bagi satuan laki-laki yang telah berbuat dosa atau
salah. Pelaku kejahatan itu sendiri disebut dengan jaani yang merupakan
bentuk singular bagi satuan laki-laki atau bentuk mufrad mudzakkara
sebagai pembuat kejahatan atau isim fa’il.
Dr. Abdul Kadir Audah dalam kitabnya At Tasyri Al Jina’i Al
islamy menjelaskan arti kata jinayah yaitu : Jinayah menurut bahasa
merupakan nama bagi suatu perbuatan jelek sesorang. Adapun menurut
istilah adalah nama bagi suatu perbuatan yang diharamkan Syara’ baik
perbuatan tersebut mengenai jiwa, harta benda maupun selain jiwa dan
harta benda.
Jadi pengertian Jinayah adalah semua perbuatan yang diharamkan.
Perbuatan yang diharamkan adalah tindakan yang dilarang atau dicegah
oleh Syara’ (Hukum Islam). Apabila dilakukan perbuatan tersebut
mempunyai konsekuensi membahayakan agama, jiwa, akal, kehormatan
dan harta benda. Menurut aliran mazhab Hanafi, ada pemisahan dalam
pengertian jinayah ini. Kata Jinayah hanya diperuntukan bagi semua
perbuatan yang dilakukan manusia dengan objek anggota badan dan jiwa
saja, seperti melukai atau membunuh.1
2. Qhisas
a. Pengertian Qhisas
Qhisas adalah sebagai keseimbangan atau pembalasan terhadap
sipelaku tindak pidana dengan sesuatu yang seimbang dari apa yang
telah diperbuatnya.
Dalam buku karangan A. Rahman I Doi dengan judul
Hududdan K ewarisan memberikan defenisi Qhisas itu sendiri yang
mana kata Qhisas berasal dari kata Arab ”Qashsha” berarti memotong,
atau mengikuti jejak buruannya. Dengan arti ini, maka kata ”Qashsha”
bermakna hukum balas dengan hukuman yang setimpal bagi
pembunuhan yang dilakukan itu, yaitu nyawanya sendiri harus dicabut
seperti dia mencabut nyawa korbanya, kendatipun tidak harus dibunuh
dengan senjata yang sama dengan senjata dia membunuh korbannya.
Maka dalam pengertian Qhisas ini dapatlah kita simpulkan
yang mana makna Qhisas itu sendiri adalah hukuman bagi perbuatan
pidana dengan objek (sasaran) jiwa atau anggota badan yang dilakukan
dengan sengaja, seperti membunuh, melukai, menghilangkan anggota
badan dengan sengaja.2
b. Dasar Hukum Qhisas
Adapun dasar hukum dalam Qishash ini adalah :
1. Surat Al-Isra’ :33
‫ۗ َو اَل َتْقُتُلوا الَّنْفَس اَّلِتي َح َّر َم ُهَّللا ِإاَّل ِباْلَح ِّق‬

Artinya : Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang


diharamkan Allah (membunuhnya),3
Hukuman pokok Qishash ini pun tidak boleh dijatuhkan
dengan sembarangan yang mana kalau seandainya perbuatan tersebut
tidak memenuhi kriteria sebagai qishash akibat adanya kesamaran atau
syubhat dalam segala aspek.Baik pelaku, korban, atau tempat.
Oleh karena itu, hukuman qishash tidak dikenakan pada pelaku
pembunuhan, kecuali terpenihinya persyaratan dibawah ini:
1. Korban adalah orang yang haram dibunuh
Artinya ia terlindungi darahnya. Orang yang tidak
terlindungi darahnya menurut Islam adalah pezina, muhsan,
1
Seva Maya Sari, Fiqh Jinayah, Hal.1
2
Sri Yunarti, Fiqh Jinayah, Hal.270
3
Ibid, Hal.271-272
orang murtad, kafir harbi, dan lain-lain.Walaupun sebagai
tindakan preventif, hakim dapat menjatuhkan hukuman lain
kepada pelaku, berupa hukaman ta’zir, hal ini karena
membiyarkan pembunuh melakukan aksinya walau korban
bukan yang dilindungi dan tentu itu akan menjadi anarki.
2. Pelaku pembunuhan
Adalah orang yang mukallaf, akil baliqh, tidak hilang
ingatan (gila), sebab itu mereka itu dikenai pembebanan
(taklif).
3. Pelaku pembunuhan mempunyai hak pilih untuk
melakukan atau meninggalkan
Artinya ia melakukan perbuatan tersebut tanpa tekanan,
tanpa paksaan yang berat yang menyebabkan hilangnya hak
pilih tadi.
4. Pelaku pembunuhan bukan orang tua korban, ayah atau
datuknya.4
c. Bentuk-Bentuk Qhisas
Adapun bentuk-bentuk qhisas yaitu :
1. Qhisas berkenaan dengan jiwa
Yaitu hukum bunuh bagi tindak pidana
pembunuhan. Jika pihak keluarga korban yang terbunuh
memaafkan pembunuh, maka pihak keluarga atau
pembunuh itu sendiri wajib mengganti kerugian dengan
membayar jumlah diyat.
Qhisas ini hukumannya bersifat terbatas, tidak
memiliki batas terendah dan batas tertinggi yang berlaku
dalam Hudud. Disamping itu, qhisas merupakan hak
pribadi. Artinya, pihak keluarga korban bisa menggugurkan
hukuman qhisas tersebut, baik melalui pemaafan maupun
ganti rugi karena hak qhisas merupakan hak pribadi
keluarga korban terbunuh.
2. Qhisas Badan
Yaitu hukuman qhisas atau tindak pidana melukai,
merusak anggota badan, atau menghilangkan fungsi
anggota badan korban/orang lain. Ancaman hukuman
terhadap tindakan ini adalah qhisas. Misalnya, bagi
4
Sri Yunarti, Fiqh Jinayah, Hal. 270-271
penganiayaan yang menyebabkan korban kehilangan
penglihatannya, maka pidananya dihukum dengan
menghilangkan penglihatannya pula sebagaimana pula
terjadi pada penganiayaan pada telinga, tangan, dan lain-
lain.
d. Syarat-Syarat Qhisas
1. Pelakunya sudah balig dan berakal (mukalaf).
2. Pelakunya bukan ayah dari korban.
3. Korban tidak kurang derajatnya dari pelaku. Artinya,
derajat disinin adalah agama, seorang Muslim dan orang
tua terhadap anaknya. Oleh karena itu, seorang Muslim
yang membunuh orang kafir tidak berlaku qhisas, seorang
merdeka membunuh hamba, ataupun seorang ayah
membunuh anaknya juga tidak diberlakukan qhisas. Jika
qhisas tidak terjadi, maka dilimpahkan pada hukuman
ta’zir (dibahas kemudian).
4. Qhisas itu dilakukan dalam hal yang sama, seperti jiwa
dengan jiwa, anggota badan dengan anggota badan,
misalnya mata dengan mata, telinga dengan telingan, dan
sebagainya.
5. Qhisas dilakukan dengan jenis barang yang telah digunakan
oleh pelaku terhadap korbannya.
6. Korban adalah orang terpelihara darahnya dengan Islam
atau dengan suatu perjanjian, baik dia Muslim maupun
kafir.5
3. Hudud
a. Pengertian Hudud
Secara bahasa, kata had yang bentuk jamaknya hudud berasal
dari bahasa arab yaitu hadda yahuddu haddan berarti memberi batas,
mencegah (al-man’u). Di dalam al-Quran kata had mengandung arti
sesuatu yang dilarang atau yang diharamkan. Menurut terminologi
fikih had adalah hukuman yang telah ditetapkan syara’ terhadap
pelaku maksiat supaya tidak melakukan kembali perbuatan tersebut
dan sebagai penggugur dosa pelakunya.
Lebih detail lagi Wahbah Zuhaili mendefinisikan had dengan
hukuman yang telah ditetapkan bentuk dan kadarnya secara syara’
5
Nurhayati, Ali Imran Sinaga, Fiqh dan Ushul Fiqh, Hal.177-179
yang mesti dilaksanakan sebagai hak Allah dalam syari’at, yakni
hukuman yang dituntut oleh kemaslahatan umum, yaitu menolak dan
menhindarkan kerusakan dari manusia, serta menciptakan proteksi dan
keselamatan bagi mereka. Menurut jumhur ulama hukuman had
diterapkan terhadap tujuh bentuk kejahatan, yaitu, zina, qazaf
(menuduh orang lain berbuat zina tanpa bukti), syurbul khamr
(meminum minuman keras), sariqah (pencurian), hirabah
(perampokan), murtad, dan al- baghyu (pemberontakan). Sementara
mazhab Malikiyah hanya memasukkan jarimah hudud dalam lima
kategori yaitu, zina, qazaf, pencurian, perampokan, dan
pemberontakan.
Kejahatan hudud adalah kejahatan yang paling serius dan berat
dalam hukum pidana Islam. Ia adalah kejahatan terhadap kepentingan
public. Tetapi ini tidak berarti bahwa kejahatan hudud tidak
mempengaruhi kepentingan pribadi sama sekali, namun terutama
sekali berkaitan dengan apa yang disebut hak Allah.6
b. Macam-Macam Kejahatan
1. Riddah (Murtad)
a. Pengertian Riddah
Riddah dalam arti bahasa adalah ‫الرجو‬cc‫ل اليشء عن ع‬cc‫ه اى‬cc‫غري‬
yang artinya kembali dari sesuatu ke sesuatu yang lain. Ibrahim
Unais dan kawan-kawan dalam kamus Al- Mujam Al-Wasith
Jilid I mengemukakan bahwa Murtad berasal dari kata ‫رده ردا اى‬
‫ ورصفه منعه‬yang artinya menolak dan memalingkannya.
Sedangkan riddah menurut ulama, sebagaimana
dikemukakan oleh Wahbah Zuhaili adalah kembali dari agama
Islam kepada kekafiran, baik dengan niat, perbuatan yang
menyebabkan kekafiran, atau dengan ucapan. Pengertian yang
sama dikemukakan juga oleh Abdul Qadir Audah sebagai
berikut. Riddah adalah kembali (ke luar) dari agama islam atau
memutuskan (ke luar) dari agama Islam. Sayyid Sabiq
menjelaskan lebih rinci bahwa riddah adalah kembalinya orang
Islam yang berakal dan dewasa kepada kekafiran dengan
kehendaknya sendiri tanpa ada paksaan dari orang lain, baik ia
laki-laki ataupun perempuan.

6
Khairul Hamim, Fikih Jinayah, Hal.251-252
Istilah riddah, menurut fuqaha hanya terbatas pada
keluarnya seorang Muslim ke agama non-Muslim. Jadi kalau
ada non-Muslim yang keluar dari agamanya dan pindah ke
agama lain, maka perpindahan tersebut tidaklah dapat
dikategorikan riddah. Alasannya adalah bahwa perpindahan
dari orang kafir ke agama yang juga kafir itu tidak ada
perbedaan, karena sama-sama batil, sedangkan perpindahan
Muslim kepada agama kafir itu berarti perpindahan dari
hidayah dan din al-haqq kepada kesesatan dan kekafiran.
Dari definisi-definisi yang dikemukakan di atas, dapatlah
dipahami bahwa orang yang murtad adalah orang yang ke luar
dari agama Islam dan kembali kepada kekafiran.
b. Dasar Hukum Riddah
Riddah merupakan perbuatan yang dilarang oleh Allah
yang diancam dengan hukuman di akhirat,yaitu dimasukkan ke
neraka selama-lamanya. Hal ini dijelaskan oleh Allah SWT
dalam Surah Al-Baqarah 217 :
‫َو َم ْن َيْر َتِد ْد ِم ْنُك ْم َع ْن ِد يِنِه َفَيُم ْت َو ُهَو َك اِفٌر َفُأوَٰل ِئَك َح ِبَطْت َأْع َم اُلُهْم ِفي الُّد ْنَيا َو اآْل ِخَرِة‬
‫ۖ َو ُأوَٰل ِئَك َأْص َح اُب الَّناِر ۖ ُهْم ِفيَها َخ اِلُد وَن‬

Artinya : Dan barangsiapa yang murtad di antara kamu dari


agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka
mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan
di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka,
mereka kekal di dalamnya.7
c. Unsur-Unsur Riddah
Unsur-unsur riddah adalah keluar dari Islam dan ada itikad
tidak baik.
Yang dimaksud dengan keluar dari Islam disebutkan oleh
para ulama ada tiga macam:
a. Murtad dengan perbuatan atau meninggalkan
perbuatan.
b. Murtad dengan ucapan.
c. Murtad dengan itikad.
Yang dimaksud murtad dengan perbuatan adalah
melakukan perbuatan yang haram dengan meng- anggapnya
tidak haram atau meninggalkan perbuatan wajib dengan
7
Khairul Hamim, Fikih Jinayah, Hal.221-223
menganggapnya sebagai perbuatan yang tidak wajib, baik
dengan di sengaja maupun dengan menyepelekan. Misalnya
sujud kepada matahari atau bulan, melemparkan Al-Qur’an dan
berzina dengan menganggap zina itu bukan suatu perbuatan
yang haram.
Sedangkan murtad dengan ucapan adalah ucapan yang
menunjukan kekafiran, seperti menyatakan bahwa Allah punya
anak dengan anggapan bahwa ucapan tersebut tidak dilarang.
Adapun murtad dengan itikad adalah itikad yang tidak
sesuai dengan itikad (aqidah) Islam, seperti ber- itikad
kekalnya alam, Allah itu sama dengan makhluk. Sesungguhnya
itikad an sich tidak menyebabkan seorang menjadi kufur
sebelum dibuktikan dalam bentuk ucapan atau perbuatan.8
d. Sanksi Riddah
Perbuatan riddah diancam dengan tiga macam hukuman
yaitu :
1. Hukuman Pokok
Hukuman pokok jarimah riddah adalah
hukuman mati, sesuai dengan hadis nabi SAW:

‫من بدل د ينه فا قتلوه‬


Artinya: Barang siapa menggantikan agamanya, maka bunuhlah
ia (HR. Bukhari dari ibn Abas).
Sebelum dilaksanakan hukuman pokok, orang
yang murtad itu harus diberi kesempatan untuk
bertaubat. Waktu yang disediakan baginya untuk
bertaubat itu adalah 3 hari 3 malam menurut Imam
Malik. Menurut Imam Abu Hanifah, ketentuan batas
waktu untuk bertaubat itu harus diserahkan kepada Ulil
Amri, dan batas itu selambat-lambatnya 3 hari 3 malam.
Taubatnya orang yang murtad cukup dengan
mengucapkan dua “kalimah syahadah”. Selain itu, ia
pun mengakui bahwa apa yang dilakuakannya ketika
murtad bertentangan dengan agama Islam.9
2. Hukuman Pengganti

8
Khairul Hamim, Fikih Jinayah, Hal.224-225
9
Ibid, Hal.226-227
Hukuman pengganti diberikan apabila hukuman
pokok tidak dapat dite- rapkan atau hukuman yang
dijatuhkan setelah gugurnya hukuman asli karena
adanya taubat. Hukuman pengganti untuk murtad
(riddah) berlaku dalam dua keadaan sebagai berikut:
Pertama, apabila hukuman pokok gugur karena tobat
maka hakim menggantinya dengan hukuman ta’zir yang
sesuai dengan keadaan pelaku tersebut, seperti
hukuman jilid (cambuk), atau penjara atau denda atau
cukup dengan dipermalukan(taubikh). Kedua, apabila
hukuman pokok gugur karena syubhat, seperti
pandangan Imam Abu Hanifah yang menggugurkan
hukuman mati bagi pelaku wanita dan anak-anak maka
dalam kondisi ini pelaku perbuatan itu (wanita dan
anak-anak) dipenjara dengan masa hukuman yang tidak
terbatas dan keduanya dipaksa untuk kembali ke agama
Islam.
3. Hukuman Tambahan
Berkaitan dengan hukuman tambahan adalah bahwa
terpidana diambil hartanya dan hilang haknya untuk
bertasharuf (mengelola) hartanya.10
2. Al-Bagyu
a. Pengertian Al-Bagyu
Kata al-baghyu merupakan bentuk mashdar dari kata
bagha-yabghi-baghyan. Dari kata Baghan inilah kemudian
terambil kata Baghyu atau al-baghyu. Secara harfiah kata al-
baghyu bearti mencari menghendaki, menginginkan,
melampaui batas, meninggalkan, melanggar, zalim.
Sebagaimana firman Allah dalam surah al-Kahfi ayat
64:
‫َقاَل َٰذ ِلَك َم ا ُكَّنا َنْبِغۚ َفاْر َتَّد ا َع َلٰى آَثاِرِهَم ا َقَص ًصا‬

Artinya : Musa berkata: "Itulah (tempat) yang kita cari". Lalu


keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula.

10
Ibid, Hal.229-230
Menurut Syaikh Uthaymin, yang dimaksud dengan al-
baghyu di sini adalah orang-orang yang keluar (al- khawarij)
yakni mereka yang keluar dari pemimpin muslim yang sah.
Beragam definisi al-baghyu dikemukakan oleh para
ulama:
Ulama Syafiiyah berpendapat bahwa yang dimaksud
dengan al-Baghyu adalah orang-orang muslim yang menyalahi
imam dengan cara tidak mentaatinya dan melepaskan diri
darinya atau menolak kewajiban dengan kekuatan,
argumentasi, dan memiliki pemimpin. Ulama Hanafiah
mengartikan al-baghyu dengan keluarnya seseorang dari
ketaatan kepada imam yang sah tanpa alasan. Sementara
menurut ulama mazhab Maliki, al-baghyu diartikan sebagai
penolakan untuk mentaati imam yang sah dengan jalan
kekuatan. Penolakan untuk taat itu munkin didasarkan pada
penafsiran tertentu. Mereka mendefinisikan bughat sebagai
satu kelompok orang-orang Islam yang menentang imam atau
wakilnya.
Dari beberapa definisi yang dikemukakan di atas dapat
disimpulkan bahwa al-baghyu adalah suatu usaha atau gerakan
yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang yang
bertujuan untuk menggulingkan pemerintahan yang sah.
b. Dasar Hukum Al-Baghyu
Dasar hukum mengenai al-baghyu ini dijelaskan dalam
al-Qur’an surah al-Hujarat ayat 9:
‫َو ِإْن َطاِئَفَتاِن ِم َن اْلُم ْؤ ِمِنيَن اْقَتَتُلوا َفَأْص ِلُحوا َبْيَنُهَم اۖ َفِإْن َبَغ ْت ِإْح َد اُهَم ا َع َلى‬
‫اُأْلْخ َر ٰى َفَقاِتُلوا اَّلِتي َتْبِغ ي َح َّتٰى َتِفيَء ِإَلٰى َأْم ِر ِهَّللاۚ َفِإْن َفاَء ْت َفَأْص ِلُحوا َبْيَنُهَم ا ِبا َع ْد ِل‬
‫ْل‬
‫َو َأْقِس ُطواۖ ِإَّن َهَّللا ُيِح ُّب اْلُم ْقِسِط يَن‬
Artinya: Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang
beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan
antara keduanya! Tapi kalau yang satu melanggar
perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang
melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut
kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah surut,
damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan
hendaklah kamu berlaku adil; sesungguhnya Allah
mencintai orang-orang yang berlaku adil.11
11
Ibid, Hal.213-216
c. Unsur-Unsur Al-Baghyu
Unsur-unsur pemberontakan yang pokok adalah:
1. Keluar dari Imam dengan Terang-terangan
Yang dimaksud dengan keluar dari imam
dalam menentang dan mencoba untuk menjatuhkan
imam atau penolak segala sesuatu yang diwajibkan
olehnya. Disepakati oleh para ulama bahwa boleh
atau bahkan wajib tidak taat kepada imam bila ia
memerintahkan hal-hal yang maksiat, berdasarkan
kaidah fiqhiyah yang berbunyi:
‫ال طاعة ملخلوق ف معصية اخاللق‬
Artinya : Tidak boleh taat kepada makhluk yang menyuruh
maksiat kepada Allah.
Menurut Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i,
dan Imam Ahmad, ada tiga macam orang yang
keluar dari imam yaitu:
a. Keluar tanpa argumentasi yang jelas,
tidak memiliki kekuatan atau memiliki
kekuatan.
b. Keluar dengan argumentasi yang salah
dan tidak memiliki kekuatan.
c. Keluar dengan argumentasi dan
memiliki kekuatan yang memungkinkan
dapat menjatuhkan imam.
2. Ada Itikad Tidak Baik
Disyaratkan dalam pemberontakan itu
adanya itikad jahat dari para pemberontak, yakni
mereka bermaksud menggunakan kekuatan untuk
menjatuhkan imam atau untuk tidak mentaatinya.
d. Sanksi Al-Baghyu

Bila dicermati dasar hukum dari pelaku pemberontakan


di atas, maka sanksi bagi pelaku pemberontak harus diperangi
(qathilu). Kata diperangi mengandung makna suatu kontak
senjata yang terjadi yang dapat berakibat hilangnya nyawa
(kematian) terhadap pelaku al-baghyu. Penyerangan terhadap
pemberontak harus didahului dengan menghubungi dan
menanyakan kepada mereka alasan yang menyebabkan mereka
keluar dari ketaatan kepada pemimpin (imam). Dan Imam
harus lebih dahulu mengajak mereka kepada ketaatan. Jika
mereka menolak maka mereka boleh diperangi dan bahkan
membunuhnya.
Hukum bunuh bagi pemberontak dipahami oleh
sebagian ulama sebagai serangan balik dan hanya ditujukan
untuk mematahkan pemberontak guna mengembalikan
ketaatannya kepada penguasa yang sah. Memerangi
pemberontak hukumnya wajib, karena menegakkan hukum
Allah sebagaimana dijelaskan dalam al-Quran ayat 9 surah al-
Hujarat di atas.12
3. Hirabah (Perampokan)
a. Pengertian Hirabah
Dalam hukum pidana Islam kata hirabah diambil dari
kata harb, artinya menyerang dan menyambar harta. Dalam
ensiklopedi hukum Islam hirabah diartikan sebagai aksi
sekelompok orang dalam negara Islam untuk melakukan
kekacauan, pembunuhan, perampasan harta, pemerkosaan,
yang secara terang- terangan mengganggu dan menentang
peraturan yang berlaku, perikemanusiaaan, dan agama.
Muhammad Abduh mengemukakan dalam tafsir al-
manar mengatakan bahwa istilah harb disebutkan dalam 4
(empat) macam bentuk. Pertama, dikenakan terhadap orang
yang memakan riba sebab ia termasuk orang yang memerangi
Allah dan Rasul-Nya dengan memakan harta manusia secara
batil. Kedua, harb ialah lawan dari salama (keselamatan).
Ketiga, mengenai kaum badui yang tidak henti-hentinya saling
menyerang untuk menyambar dan merampas harta. Keempat,
harb berarti saling membunuh dengan orang kafir tapi tidak
termasuk dalam pengertian jihad dan peperangan.13
Dari beberapa definisi di atas meskipun para ulama
berbeda pendapat dalam mendefinisikan jarimah hirabah
terdapat kesamaan pengertian yaitu hirabah adalah perbuatan
seseorang dengan maksud mengambil harta orang lain dengan
paksa, menggunakan kekuatan, baik dilakukan oleh perorangan
maupun sekelompok orang.14
12
Ibid, Hal.217-219
13
Ibid, Hal.174-175
14
Ibid, Hal.177
b. Dasar Hukum Hirabah
Dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa tindak kejahatan
merupakan suatu perbuatan yang mengganggu ketertiban dan
keamanan masyarakat. Seseorang yang melakukan kejahatan
pada orang lain berarti seolah-olah telah melakukan kejahatan
pada semua orang, karena dengan demikian manusia sudah
merasa terjamin lagi hak hidupnya karena mereka merasa
ketakutan, adapun dasar hukum dari Jarimah Hirabah yaitu
dalam QS. Al- Maidah ayat 33:
‫ِإَّنَم ا َج َزاُء اَّلِذ يَن ُيَح اِرُبوَن َهَّللا َو َر ُسوَلُه َو َيْس َع ْو َن ِفي اَأْلْر ِض َفَس اًدا َأْن‬
‫َٰذ‬
‫ُيَقَّتُلوا َأْو ُيَص َّلُبوا َأْو ُتَقَّطَع َأْيِد يِهْم َو َأْر ُج ُلُهْم ِم ْن ِخ اَل ٍف َأْو ُيْنَفْو ا ِم َن اَأْلْر ِضۚ ِلَك َلُهْم‬
‫ِخ ْز ٌي ِفي الُّد ْنَياۖ َو َلُهْم ِفي اآْل ِخَر ِة َع َذ اٌب َع ِظ يٌم‬

Artinya : Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang


yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat
kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh
atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka
dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri
(tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai)
suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di
akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.15
c. Pembuktian Hirabah
Hirabah dapat dibuktikan dengan dua macam alat bukti
yaitu:
1. Dengan saksi
Seperti halnya jarimah-jarimah yang lain,
untuk jarimah hirabah saksi merupakan alat bukti
yang kuat. Seperti halnya pencurian, saksi untuk
jarimah hirabah ini minimal dua orang saksi laki-
laki yang memenuhi syarat-syarat persaksian. Saksi
tersebut bisa diambil dari para korban, dan bisa juga
dari orang-orang yang ikut terlibat dalam tindak
pidana perampokan tersebut. Apabila saksilaki-laki
tidak ada maka bisa juga digunakan seorang saksi
laki- laki dan dua orang perempuan, atau empat
orang saksi perempuan.
2. Pembuktian dengan pengakuan
15
Ibid, Hal.180-181
Pengakuan seorang pelaku perampokan
dapat digunakan sebagai alat bukti. Persyaratan
untuk pengakuan ini sama dengan persyaratan
pengakuan dalam tindak pidana pencurian. Jumhur
ulama menyatakan pengakuan itu cukup satu kali
saja, tanpa diulang-ulang. Akan tetapi menurut
Hanabilah dan Imam Abu Yusuf, pengakuan itu
harus dinyatakan minimal dua kali.
d. Sanksi Hirabah
Hirabah termasuk salah satu bentuk hudud yang
diharamkan syara’ dan diancam dengan hukuman yang berat.
Dalam al-Qur’an sendiri telah dite- rangkan sanksi terhadap
pelaku jarimah hirabah yaitu hukuman mati, salib, potong
tangan dan kaki secara menyilang dan pengasingan.132 Sanksi
bagi perampok yang sesuai dengan Surat Al-Maidah ayat 33
adalah:
a. Bila perampok itu hanya mengambil harta, tanpa
saling membunuh, maka sanksinya adalah potong
tangan dan kaki secara menyilang.
b. Jika perampok itu hanya menakut-nakuti saja, tanpa
mengambil harta, tanpa saling membunuh, maka
sanksinya adalah diasingkan dari tempat
kediamannya, kalau jaman sekarang dinamakan
penjara.
c. Jika perampok itu hanya membunuh tanpa
mengambil harta, maka sanksinya adalah hukuman
mati.
d. Jika perampok itu mengambil hartanya kemudian
membunuh korbannya, maka sanksinya adalah
dibunuh dan disalib.

Menurut Imam Malik dan Zhahiriyah sanksinya itu


tidak harus sesuai dengan ketetapan itu dan pemutusan
hukumannya diserahkan pada imam/hakim untuk me- milih
salah satu hukuman yang tercantum dalam ayat di atas sesuai
dengan kemaslahatan.
Menurut Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, Imam
Ahmad, dan Syi’ah Zaidiyah hukuman untuk masing- masing
perbuatan tersebut diterapkan hukuman tertentu yang diambil
dari alternatif hukuman yang tercantum dalam surah Al-
Maidah ayat 33.
Namun ada juga imam yang berpendapat bahwa
hukuman yang harus dikenakan pada perampok harus sesuai
dengan ketetapan itu, Perbedaan ini dikarenakan perbedaan
penafsiran mereka dalam memahami makna huruf au (yang
artinya atau) dalam ayat tersebut, apakah li al-Bayan
(penjelasan) wa al-tafsil (Rincian) atau li al-takhyir (Pilihan)
imam Malik memilih makna yang kedua, sedangkan ketiga
imam yang berbeda di atas memilih makna yang pertama.16
4. Zina
a. Pengertian Zina
Zina secara bahasa berarti perbuatan keji (fi’lul
fahisyah). Sedangkan pengertian zina secara istilah terdapat
berbagai literatur yang menjelaskan adanya berbagai pendapat
dari para ulama.
Dalam kitab Bidayah al-Mujtahid Wa Nihayah al-
Muqtashid karya Imam al-Qurtubi al-Andalusi dijelaskan
bahwa zina adalah:
“Zina adalah setiap persetubuhan yang terjadi diluar
pernikahan yang sah dan bukan pernikahan yang samar dan
bukan pula karena kepemilikan”.
Dalam buku Ensiklopedi Hukum Islam,disebutkan
bahwa zaina adalah hubungan seksual antara seorang laki-laki
dengan seorang perempuan yang tidak atau belum diikat dalam
perkawinan tanpa disertai unsure keraguan dalam hubungan
seksual tersebut.
M. Quraish Shihab merumuskan pengertian zina adalah
persentuhan dua alat kelamin dari jenis yang berbeda dan yang
tidak terikat oleh akad nikah atau kepemilikan, dan tidak juga
disebabkan oleh syubhat (kesamaran).
Selain Beberapa pendapat ulama di atas, Ulama
Hanafiyah mendefinisikan zina secara panjang lebar, mereka
mengatakan, zina adalah hubungan seksual yang haram pada
kemaluan depan perempuan yang masih hidup dan
menggairahkan dalam kondisi atas kemauan sendiri (tidak
16
Khairul Hamim, Fikih Jinayah, Hal.185-188
dipaksa) dan kehendak bebasnya di darul adl (kawasan negara
Islam yang dikuasai oleh pemerintah atau pemimpin yang sah)
oleh orang yang berkewajiban menjalankan hukum-hukum
Islam, tidak mempunyai hakekat kepemilikan dan hakekat tali
pernikahan, tidak memiliki unsur syubhat kepemilikan dan tali
pernikahan.17
Apabila kita perhatikan dari beberapa definisi tersebut
diatas, maka yang berbeda hanya dalam susunan kalimatnya,
namun intinya sama yaitu zina adalah hubungan kelamin antara
seorang laki-laki dan perempuan diluar ikatan pernikahan.
Tidak masalah apakah salah seorang atau kedua belah pihak
telah memiliki pasangan hidupnya masing-masing ataupun
belum menikah sama sekali.18
b. Dasar Hukum Zina
Zina merupakan perbuatan amoral, mungkar dan
berakibat sangat buruk bagi pelaku dan masyarakatnya. Hal itu
merupakan salah satu perbuatan dosa besar dalam semua
agama. Larangan-larangan terhadap perbuatan tersebut sudah
sangat jelas diterangkan dalam al-Qur’an Surat al-Isra’:32
‫َو اَل َتْقَر ُبوا الِّز َناۖ ِإَّنُه َك اَن َفاِح َش ًة َو َس اَء َس ِبياًل‬

Artinya : Dan janganlah kamu mendekati zina;


sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan
yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.
Dari ayat tersebut di atas bisa dipahami bahwa,
mendekati zina saja dilarang dan tidak diperbolehkan apalagi
melakukan perbuatan tersebut.19
c. Macam-Macam Zina dan Sanksinya
Ada dua jenis zina, yaitu zina muhsan dan ghairu
muhsan. Zina muhsan ialah zina yang pelakunya berstatus
suami, istri, duda, atau janda. Artinya, pelaku adalah orang
yang masih dalam status pernikahan atau pernah menikah
secara sah. Adapun zina ghairu muhsan ialah zina yang
pelakunya masih berstatus perjaka atau gadis. Artinya, pelaku
belum pernah menikah secara sah dan tidak sedang berada
dalam ikatan pernikahan.
17
Khairul Hamim, Fikih Jinayah, Hal.119-121
18
Ibid, Hal.122-123
19
Ibid, Hal.127
Terhadap kedua jenis jarimah zina di atas, syariat Islam
memberlakukan dua sanksi yang berlainan. Sanksi bagi pelaku
zina muhsan adalah hukuman rajam, yaitu pelaku dilempari
batu hingga meninggal. Adapun sanksi bagi pelaku zina ghairu
muhsan adalah dicambuk sebanyak seratus kali.
1. Eksistensi Sanksi Rajam
Sanksi rajam bagi pelaku zina muhsan tidak
secara eksplisit disebutkan di dalam Alquran, tetapi
eksistensinya ditetapkan melalui ucapan dan
perbuatan Rasulullah. Di dalam sebuah riwayat
dijelaskan bahwa beliau melaksanakan sanksi rajam
terhadap Maiz bin Malik dan Al-Ghamidiyah.
Sanksi ini juga diakui oleh ijma’ sahabat dan tabiin,
serta pernah dilakukan pada zaman Khulafa Al-
Rasyidin.
Adapun hadis yang menyebutkan tentang
eksistensi sanksi rajam ini di antaranya sebagai
berikut :20
Dari Abu Hurairah dan Zaid bin Khalid Al-
Juhni keduanya berkata, “Kami bersama Nabi.
Tiba-tiba ada seseorang yang berdiri dan berkata,
‘Aku akan bersumpah kepada Allah di hadapan
engkau kecuali engkau beri putusan kepada kami
dengan dasar kitab Allah.’ Kemudian ada orang
yang lebih pandai membantah dengan berkata;
‘Berikanlah keputusan kepada kami dengan dasar
kitab Allah dan izinkanlah aku,’ kemudian
menyuruh orang tersebut melapor, maka ia berkata;
‘Anak laki-lakiku adalah seorang buruh pada
seseorang, ia berzina dengan majikan wanitanya,
aku akan menebus perbuatan itu dengan seratus
ekor kambing dan pelayan, kemudian aku tanyakan
kepada orang-orang pandai, maka menurut mereka
bahwa anak laki-laki saya itu harus didera seratus
kali, dan dibuang selama satu tahun, serta istri
majikan itu harus dihukum rajam,’ maka Nabi
bersabda: ‘Demi Dzat yang jiwaku berada tangan-
20
M. Nurul Irfan, Masyrofah, Fiqh Jinayah, Hal.20
Nya, sungguh aku akan putuskan permasalahan
kalian, seratus dan seorang pelayan itu harus
dikembalikan, dan anak laki-lakimu harus dihukum
dera seratus kali dan dibuang selama satu tahun,
dan kamu wahai Unais, telitilah wanita itu, jika ia
mengaku maka rajamlah ia,’ kemudian Unais
menelitinya dan ternyata wanita tersebut mengaku,
maka wanita itu dirajam.” (HR. Al-Bukhari).21
Berdasarkan hadis di atas, jumhur ulama
sepakat bahwa walaupun di dalam Alquran tidak
disebutkan tentang rajam, hukuman ini tetap diakui
eksistensinya.
Meskipun demikian, Ibnu Rusyd
mengatakan ada kelompok yang menolak hukuman
rajam. Ia menyebut kelompok ini sebagai firqah min
ahl al-ahwâ’. Menurut mereka, hukuman bagi
pelaku jarimah zina apa pun jenisnya adalah
cambuk.
Al-Shabuni mengatakan bahwa kelompok
Khawarij berkeyakinan kalau hukuman rajam tidak
termasuk syariat Islam. Mereka mempunyai tiga
alasan yang menurutnya sangat lemah, lebih lemah
daripada sarang laba-laba.
a. Hukuman rajam terlalu sadis. Jika
memang disyariatkan oleh Islam, pasti
disebutkan di dalam Alquran. Namun,
semua orang mengetahui bahwa tidak
ada satu ayat pun di dalam Alquran yang
menyebutkan tentang rajam.
b. Zina yang dilakukan oleh hamba sahaya
dikenai setengah dari hukuman orang
merdeka. Kalau yang dibagi dua ini
berkenaan dengan jumlah seratus kali
cambuk tidak ada masalah. Akan tetapi,
jika kaitannya dengan hukuman rajam
yang dilempari batu hingga meninggal,
maka tidak dapat dibagi dua. Tidak

21
M. Nurul Irfan, Masyrofah, Fiqh Jinayah, Hal.22
mungkin ada hukuman setengah mati.
Dengan demikian, jenis hukuman ini
tidak sah diberlakukan bagi hamba
sahaya.
c. Karena hukuman bagi pelaku zina itu
bersifat umum, maka pengkhususan
hukuman bagi pezina muhsan
menyalahi Alquran.

Ketiga argumentasi kaum Khawarij di atas


dibantah oleh Ahlusunnah.
Mereka berpendapat sebagai berikut.
a. Tidak disebutkannya hukuman rajam di
dalam Alquran bukan berarti tidak
disyariatkan. Banyak ketentuan yang
tidak disebutkan di dalam Alquran,
tetapi diuraikan secara jelas di dalam
hadis. Jangan lupa, Allah menyuruh kita
untuk selalu mengikuti Rasulullah dan
melaksanakan semua perintahnya. Allah
Ø berfirman:

‫ۚ َو َم ا آَتاُك ُم الَّرُسوُل َفُخ ُذ وُه َو َم ا َنَهاُك ْم َع ْنُه َفاْنَتُهوا‬


Artinya : Apa yang diberikan Rasul kepadamu,
maka terimalah. Dan apa yang
dilarangnya bagimu, maka
tinggalkanlah. (QS. Al-Hasyr (59): 7)
b. Firman Allah yang berbunyi:

‫َفِإَذ ا ُأْح ِص َّن َفِإْن َأَتْيَن ِبَفاِح َش ٍة َفَع َلْيِهَّن ِنْص ُف َم ا َع َلى‬
‫ۚ اْلُم ْح َص َناِت ِم َن اْلَع َذ اِب‬
Artinya : Dan apabila mereka telah menjaga diri
dengan menikah, kemudian mereka
melakukan perbuatan yang keji (zina),
maka atas mereka setengah hukuman
dari hukuman wanita-wanita merdeka
yang bersuami. (QS. Al-Nisâ’ (4): 25)
Ayat tersebut bukan merupakan
alasan tidak disyariatkannya hukuman
rajam, sebab yang dimaksud kata di atas
adalah mengenai hukuman cambuk yang
dapat diketahui jumlah setengahnya
sebagai hukuman bagi hamba sahaya
yang berzina. Adapun mengenai rajam,
Allah pasti sudah mengetahui bahwa
hukuman itu tidak mungkin dibagi dua,
sehingga hamba sahaya yang berzina
harus dirajam sampai setengah mati.
Jadi, ayat ini tidak ada kaitannya dengan
rajam, tetapi berkenaan dengan hukuman
cambuk.
c. Pendapat kaum Khawarij tentang
pengkhususan hukuman rajam dari ayat
tentang zina yang dinilai bertentangan
dengan Alquran merupakan kebodohan
yang luar biasa. Masih banyak ayat yang
masih harus ditakhsis dengan hadis-
hadis Nabi, seperti batasan minimal
pencurian yang pelakunya harus
dipotong tangan, jumlah rakaat dalam
shalat, atau nisab zakat.

Lebih jauh lagi Al-Sayis berpendapat bahwa


pentakhsisan Alquran dengan hadis ahad itu
diperbolehkan. Ayat Alquran secara matan memang
bersifat qath‘i, tetapi bisa jadi dalalah-nya zanni.
Bahkan dalam hal hukuman rajam, hadis yang
menerangkannya bersifat mutawatir atau setidaknya
mutawatir makna. Dengan demikian, bagaimana
mungkin kelompok Khawarij tidak mengakuinya.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan
bahwa hukuman rajam bagi pezina muhsan tetap
berlaku walaupun tidak disebutkan di dalam
Alquran. Meskipun demikian, ketentuannya
ditetapkan di dalam hadis, ijma’ para sahabat, dan
ulama fiqh dari kalangan mazhab mana pun.22
2. Sanksi Cambuk dan Pengasingan
22
M. Nurul Irfan, Masyrofah, Fiqh Jinayah, Hal.23-26
Berbeda dengan rajam yang tidak secara
tegas disebutkan di dalam Alquran, sanksi cambuk
bagi pelaku jarimah zina ghairu muhsan secara
eksplisit ditegaskan di dalam firman Allah Ø
berikut.
‫ۖ الَّز اِنَيُة َو الَّز اِني َفاْج ِلُدوا ُك َّل َو اِحٍد ِم ْنُهَم ا ِم اَئَة َج ْلَدٍة‬
Artinya : Perempuan yang berzina dan laki-laki
yang berzina, maka deralah tiap-tiap
seorang dari keduanya seratus kali dera.
(QS. Al-Nûr (24): 2)
Ayat di atas tidak hanya menyebutkan
jumlah cambukan, tetapi juga larangan untuk
berbelas kasih kepada pelaku. Selain itu, proses
eksekusi hendaknya disaksikan oleh kaum muslimin
agar menimbulkan efek jera dan dapat dijadikan
pelajaran berharga.
Adapun hadis yang menjelaskan sanksi
pengasingan sebagai pelengkap dari sanksi cambuk
adalah sebagai berikut : Dari Zaid bin Khalid Al-
Juhani, ia meriwayatkan, “Aku mendengar
Rasulullah memerintahkan agar orang yang
berzina ghairu muhsan dicambuk seratus kali dan
diasingkan selama satu tahun”. (HR. Al-Bukhari)
Selain itu, hadis lain yang juga menerangkan
tentang sanksi pengasingan, yaitu sebagai berikut :
Dari Ubadah bin Samit, ia meriwayatkan,
“Rasulullah bersabda, ‘Ambillah dariku, ambillah
dariku. Sesungguhnya Allah telah menjadikan bagi
mereka jalan keluar; pezina perjaka dengan gadis
dicambuk seratus kali dan dibuang selama satu
tahun, sedangkan pezina duda dengan janda
dicambuk seratus kali dan rajam”.(HR. Muslim dan
Abu Dawud)
Dari kedua hadis tersebut dapat diketahui
bahwa sanksi bagi pelaku jarimah zina ghairu
muhsan adalah dicambuk seratus kali dan
diasingkan. Adapun mengenai waktu
pelaksanaannya, ulama berbeda pendapat; apakah
sanksi cambuk seratus kali dan pengasingan selama
satu tahun harus diberlakukan beriringan atau
tidak.23
5. Qazaf (Menuduh Berzina)
a. Pengertian Qazaf
Qazaf dalam arti bahasa adalah ‫ونحوﻫا باﺤﻟﺠارﺓ مي الر‬
artinya melempar dengan batu dan lainnya. Dalam istilah
syara’, qazaf ada dua macam, yaitu: pertama, qazaf yang
diancam dengan hukuman had, dan kedua, qazaf yang diancam
dengan hukuman ta’zir.
Pengertian qazaf yang diancam dengan hukuman had
adalah:
‫رمي املحصن با لزنا أونفي نسبه‬

Artinya : “Menuduh orang yang muhshan dengan tuduhan


berbuat zina atau dengan tuduhan yang
menghilangkan nasabnya”.
Sedangkan arti qazaf yang diancam dengan
hukuman ta’zir adalah :
‫الرمى بغري الزنا أونفي النسب سواء كان من رمى‬
‫حمصنا أوغري حمصن‬

Artinya : “Menuduh dengan tuduhan selain berbuat zina atau


selain menghilangkan nasabnya, baik orang yang
dituduh itu muhshan maupun ghair muhshan”.
Kelompok qazaf macam yang kedua ini mencakup
perbuatan mencaci maki orang dan dapat dikenakan hukuman
ta’zir. Dalam memberikan definisi qazaf ini, Abu Rahman Al-
Jaziri mengatakan sebagai berikut :
‫القذ ف عبارة أن يتهم شحص أخر بالزنا ﺮﺻيا‬
‫أودال لة‬

Artinya : “Qazaf adalah suatu ungkapan tentang penuduhan


seseorang kepada orang lain dengan tuduhan zina,
baik dengan menggunakan lafaz yang sharih (tegas)
atau secara dilalah (tidak jelas)”.
Contoh tuduhan yang sharih ( jelas/tegas), seperti “anta
zanin” artinya engkau orang yang berzina. Adapun contoh

23
M. Nurul Irfan, Masyrofah, Fqh Jinayah, Hal.32-34
tuduhan yang tidak jelas (dilalah) seperti menasabkan
seseorang kepada orang yang bukan ayahnya.24
b. Dasar Hukum Qazaf
1. Surah Al-Nur ayat 4 :

‫َو ا َّلِذ يَن َي ْر ُم وَن ا ْل ُم ْح َص َنا ِت ُث َّم َل ْم َي ْأ ُت وا ِب َأْر َبَع ِة ُش َه َد ا َء َف اْج ِل ُد وُه ْم َث َم ا ِن يَن‬
‫َج ْل َد ًة َو اَل َت ْق َب ُل وا َل ُه ْم َش َه اَد ًة َأ َب ًد اۚ َو ُأ و َٰل ِئ َك ُه ُم ا ْل َف ا ِس ُق وَن‬
Artinya :“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita
yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak
mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah
mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali
dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka
buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-
orang yang fasik”.( Q.S An-Nuur: 4)
2. Surah Al-Nur ayat 23
‫ِإَّن اَّلِذ يَن َيْر ُم وَن اْلُم ْح َص َناِت اْلَغاِفاَل ِت اْلُم ْؤ ِم َناِت ُلِع ُنوا ِفي الُّد ْنَيا َو اآْل ِخَرِة َو َلُهْم‬
‫َع َذ اٌب َع ِظ يٌم‬

Artinya :“Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita


yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat
zina), mereka kena la’nat di dunia dan akhirat, dan
bagi mereka azab yang besar”. ( Q.S An-Nuur: 23)25
c. Unsur-Unsur Qazaf
Unsur-unsur qazaf ada tiga yaitu :
1. Adanya tunduhan zina atau menghilangkan nasab.
2. Orang yang dituduh harus orang yang muhsan.
3. Adanya niat yang melawan hukum.26
d. Syarat-Syarat Qazaf
Menurut Sayyid Sabiq bahwa untuk dapat menjatuhkan
hukuman cambuk dalam qazaf terdapat syarat-syarat yang
harus dipenuhi. Syarat-syarat tersebut meliputi tiga hal, yaitu:
1. Syarat-syarat qadzif (orang yang menuduh berzina)
adalah berakal, dewasa (baligh) dan dalam keadaan
tidak terpaksa (ikhtiyar);

24
Khairul Hamim, Fikih Jinayah, Hal.139-140
25
Ibid, Hal.141-142
26
Ibid, Hal.144-149
2. Syarat-syarat maqdzuf (orang yang dituduh berzina)
adalah berakal, dewasa (baligh), Islam, merdeka
dan belum pernah serta menjauhi perbuatan zina.
3. Syarat-syarat maqdzuf bih (sesuatu yang dibuat
untuk menuduh zina) adalah pernyataan yang
berupa lisan maupun tulisan yang jelas, seperti
panggilan: hai orang yang berzina atau hai kamu
lahir tanpa bapak, dan pernyataan yang berupa lisan
maupun tulisan atau sindiran yang jelas arahnya,
misalnya ada dua orang saling bertengkar, lalu yang
satu berkata: meskipun aku jelek, tetapi aku tidak
pernah berbuat zina dan ibuku juga tidak pernah
berzina. Pernyataan seperti itu merupakan sindiran
bahwa ia dianggap telah menuduh zina kepada
lawannya dan kepada ibu lawannya.
e. Pembuktian Qazaf
Adapun pembuktian qazaf dapat dibuktikan dengan tiga
macam alat bukti, yaitu:
1. Dengan persaksian para saksi. Adanya persaksian
dari saksi merupakan salah satu alat bukti untuk
qazaf. Syarat-syarat saksi sama dengan syarat dalam
jarimah zina, yaitu; baligh, berakal, adil, dapat
berbicara, islam dan tidak ada penghalang menjadi
saksi. Adapun jumlah saksi dalam qazaf sekurang-
kurangnya adalah dua orang.
2. Qazaf bisa dibuktikan dengan adanya pengakuan
dari pelaku (penuduh) bahwa ia menuduh orang lain
melakukan zina. Pengakuan ini cukup dinyatakan
satu kali dalam majelis pengadilan.
3. Dengan sumpah, menurut Imam Syafi’I, qazaf bisa
dibuktikan dengan sumpah apabila tidak ada saksi
dan pengakuan. Caranya adalah orang yang dituduh
menyuruh kepada orang yang menuduh untuk
bersumpah bahwa ia tidak melakukan penuduhan.
Apabila penuduh enggan untuk bersumpah maka
jarimah qazaf bisa dibuktikan dengan
keengganannya untuk bersumpah tersebut.
Demikian pula sebaliknya, penuduh bisa meminta
kepada orang yang dituduh bahwa penuduh benar
melakukan tuduhan. Apabila orang yang dituduh
enggan melakukan sumpah maka tuduhan dianggap
benar dan penuduh dibebaskan dari hukuman had
qazaf.
f. Hukuman Qazaf
Hukuman untuk jarimah qazaf ada dua macam, yaitu
hukuman pokok dan hukuman tambahan :
1. Hukuman Pokok, yaitu jilid atau dera sebanyak
delapan puluh kali. Hukuman ini adalah hukuman
had yang telah ditentukan oleh syara’, sehingga ulil
amri tidak punya hak untuk memberikan
pengampunan. Adapun bagi orang yang dituduh,
para ulama’ berbeda pendapat. Menurut madzhab
Syafi’i orang yang dituduh berhak memberikan
pengampunan, karena hak manusia lebih dominan
daripada hak Allah. Sedangkan menurut madzhab
Hanafi korban tidak berhak memberikan
pengampunan, karena di dalam qazaf hak Allah
lebih dominan daripada hak manusia.
2. Hukuman tambahan, yaitu tidak diterima
persaksiannya dan dianggap orang yang fasik.

Para ulama’ berbeda pendapat dalam menentukan gugur


atau tidaknya kesaksian pelaku jarimah qazaf setelah bertobat.
Menurut Imam Abu Hanifah tetap tidak dapat diterima
kesaksiannya. Sedangkan menurut Imam Ahmad, Imam
Syafi’i, Imam Malik, dapat diterima kembali persaksiannya
apabila telah taubat.
g. Hal-Hal yang Menggugurkan Hukuman Qazaf
Hukuman qazaf (orang yang menuduh) dapat gugur
karena hal-hal berikut ini;
1. Para saksi yang diajukan oleh yang dituduh
mencabut kembali persaksiannya.
2. Karena orang yang dituduh melakukan zina
membenarkan tuduhan penuduh.
3. Korban (orang yang dituduh berzina) tidak
mempercayai keterangan para saksi, menurut Abu
Hanifah.
4. Hilangnya kecakapan para saksi sebelum
pelaksanaan hukuman, menurut Abu Hanifah. Tapi
menurut ulama yang lain tidak demikian.27
6. Syurbul Khamar (Meminum Minuman Keras)
a. Pengertian Khamar
Khamr berasal dari kata khamara yakhmuru atau
yakhmiru yang secara etimologi berarti tertutup, terhalang, atau
tersembunyi. Sedangkan secara terminologi terdapat perbedaan
pen- dapat dikalangan ulama fiqh. Menurut Imam Malik, Imam
Syafi’i, dan Imam Ahmad, khamr adalah minum minuman
yang memabukkan baik minuman tersebut dinamakan khamr
maupun bukan khamr, baik berasal dari perasan anggur
maupun berasal dari bahan-bahan yang lain. Pengertian al-
syurbu menurut Imam Abu Hanifah adalah artinya meminum,
menurut Abu Hanifah adalah meminum minuman khamr saja,
baik yang diminum itu banyak maupun sedikit.
Dari definisi di atas Imam Abu Hanifah merumuskan
khamr menjadi tiga cairan:
1. Perasan anggur yang diendapkan hingga membuih
dan menjadi zat yang memabukkan;
2. Perahan anggur yang dimasak hingga menggelegak
sampai dua pertiga zat asli anggur hilang, dan akhir-
nya menjadi zat yang memabukkan.
3. Perahan kurma dan anggur kering yang diendapkan
hingga membuih dan menjadi zat yang
memabukkan.

Dari pengertian tersebut dapat dikemukakan bahwa


khamr menurut Abu Hanifah adalah minuman yang diperoleh
dari perasan anggur. Dengan demikian Imam Abu Hanifah
membedakan antara khamr dan musykir. Khamr hukum
meminumnya tetap haram sedikit maupun banyak. Adapun
selain khamr, yaitu musykir yang terbuat dari bahan-bahan
selain perasan buah anggur yang sifatnya memabukkan, baru
27
Khairul Hamim, Fikih Jinayah, Hal.151-155
dikenakan hukuman apabila orang yang meminumnya mabuk.
apabila tidak mabuk, maka tidak dikenakan hukuman.28
Dari definisi-definisi yang telah dikemukakan oleh para
ulama di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa khamr adalah
semua jenis minuman atau zat yang memabukkan baik yang
terbuat dari anggur, kurma, madu, gandum, atau bahan lainnya,
baik diminum atau dikonsumsi sedikit maupun banyak.29
b. Dasar Hukum Larangan Khamar
Larangan meminum minuman yang memabukkan
didasarkan pada ayat al-Qur’an surah al-Ma’idah ayat 90:

‫َي ا َأ ُّي َه ا ا َّل ِذ يَن آ َم ُن وا ِإ َّن َم ا ا ْل َخ ْم ُر َو ا ْل َم ْي ِس ُر َو ا َأْل ْن َص اُب‬

‫َو ا َأْل ْز اَل ُم ِر ْج ٌس ِم ْن َع َم ِل ال َّش ْي َط ا ِن َف اْج َت ِن ُبو ُه َل َع َّل ُك ْم ُت ْف ِل ُح وَن‬


Artinya : Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya
(meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk)
berhala, mengundi nasib dengan panah (al-azlam),
adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka
jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu
mendapat keberuntungan.30
c. Sanksi Minum Khamar
Al-Quran tidak menegaskan sanksi atau hukuman apa
bagi peminum khamr. Sanksi terhadap tindak pidana ini,
disandarkan pada hadis Nabi yakni melalui sunnah fi’liyahnya,
bahwa hukuman terhadap jarimah ini adalah 40 kali dera.
Sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadis : Dari Abu Sa’id,
ia berkata, “Peminum khamr di zaman Rasulullah SAW didera
dengan dua sandal sebanyak 40 kali. Kemudian di zaman
pemerintahan ‘Umar, masing- masing sandal itu diganti
dengan cambuk”. [HR. Ahmad]31
d. Pembuktian Khamar
Pembuktian untuk khamr dapat dilakukan dengan cara
sebagai berikut:
1. Saksi
2. Pengakuan
3. Qarimah
28
Khairul Hamim, Fikih Jinayah, Hal.191-193
29
Ibid, Hal.194
30
Ibid, Hal.194-195
31
Ibid, Hal.198-198
Qarimah tersebut antara lain :
a. Bau Minuman
b. Mabuk
c. Muntah32
e. Dampak Minum Khamar
H.M Ridho Makroef mengemukakan pendapat tentang
bahaya minuman memabukkan terhadap kesehatan manusia
yaitu sebagai berikut:
1. Dapat mengurangi kemampuan tubuh untuk
memproduksi glukosa dari lemak dan protein dan
dapat menyebabkan pingsan.
2. Dosis yang dibutuhkan harus lebih tinggi sampai
orang yang meminum yang menjadi betul-betul
mabuk, sempoyongan dan tidak sadarkan diri.
3. Alkohol yang over dosis dan tidak sempat
dioksidasikan akan menumpuk pada jaringan darah
sehingga menjadi racun dalam tubuh.
4. Alkohol akan mengurangi selera makan, merusak
selaput lendir lambung, berakibat pencernaan
makanan tidak sempurna, dan akan menyebabkan
kekurangan vitamin khususnya kekurangan vitamin
ABCDE dan kekurangan protein.
5. Alkohol akan merusak sel-sel hati, terganggu dan
akan menjadi penimbunan lemak dalam tubuh.
Alkohol yang diminum akan merusak sel-sel hati
dan dapat mematikan sel-sel hati sehingga banyak
para pemabuk yang meninggal dunia seketika
6. Alkohol mempengaruhi kerja otak yang dapat
mengakibatkan kerusakan pada sel-sel otak dan
susunan saraf sentral.
Berdasarkan pendapat di atas, dapat dipahami bahwa
alkohol ternyata tidak hanya merusak pada organ tubuh atau
jasmani kita tetapi juga sangat mempengaruhi kesehatan rohani
Seperti terganggu dalam berpikir yang sehat.33
7. Sariqah (Pencurian)

32
Ibid, Hal.201-203
33
Khairul Hamim, Fikih Jinayah, Hal.206-207
a. Pengertian Sariqah
Menurut bahasa sariqah adalah bentuk masdar dari kata
Syaraqa – Yasyriqu - Syaraqon dan secara etimologis bearti
mengambil harta milik seseorang secara sembunyi- sembunyi
dan dengan tipu daya. Sementara itu, secara terminologis
definisi sariqah dikemukakan oleh beberapa ahli sebagai
berikut:
1. Wahbah Al-Zuhaili: “Sariqah ialah mengambil hara
milik orang lain dari tempat penyimpanannya yang
biasa digunakan untuk menyimpan secara diam-
diam dan sembunyi-sembunyi. Termasuk dalam
katagori mencuri adalah mencuri informasi dan
pandangan jika dilakukan dengan sembunyi-
sembunyi”.
2. Abdul Qadir Audah: “Ada dua macam sariqah
menurut syariat islam, yaitu sariqah yang diancam
dengan had dan sariqah yang diancam dengan ta’zir,
sariqah yang diancam dengan had dibedakan
menjadi dua, yaitu pencurian kecil dan pencurian
besar. Pencurian kecil ialah mengambil harta milik
orang lain secara diam-diam. Sementara itu,
pencurian besar ialah mengambil hak orang lain
dengan kekerasan. Pencurian jenis ini juga disebut
perampokan”.
3. Muhammad Al-Khatib As-Sarbini: “Sariqah ialah
mengambil harta orang lain secara sembunyi-
sembunyi dan dzalim, diambil dari tempat
penyimpanannya yang biasa digunakan untuk
menyimpan dengan berbagai syarat”.
4. Syaikh Uthaymin: Sariqah adalah mengambil
barang dengan cara diam-diam atau sembunyi
sembunyi dari pemiliknya atau yang diberi kuasa/
tanggung jawab (naibihi) terhadap harta tersebut.

Dari beberapa definisi sariqah diatas, dapat disimpulkan


bahwa sariqah ialah mengambil barang atau harta orang lain
secara sembunyi-sembunyi, secara sadar dari tempat
penyimpanannya yang biasa digunakan untuk menyimpan
barang atau harta kekayaan tersebut serta memenuhi syarat-
syarat tertentu.
b. Dasar Hukum dan Sanksi Pencurian
Sumber pokok yang menjadi dalil atau landasan
pensyariatan hukuman had pencurian adalah Al-Qur’an al-
Karim. Secara umum Allah melarang seseorang untuk
memakan atau mengambil harta orang lain secara batil
sebagaimana firman Allah di dalam Q.S al-Baqarah: 188:
‫َو اَل َتْأُك ُلوا َأْم َو اَلُك ْم َبْيَنُك ْم ِباْلَباِط ِل َو ُتْد ُلوا ِبَها ِإَلى اْلُح َّك اِم ِلَتْأُك ُلوا َفِريًقا ِم ْن‬
‫َأْم َو اِل الَّناِس ِباِإْل ْثِم َو َأْنُتْم َتْع َلُم وَن‬
Artinya : Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta
sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan
yang bathil dan (janganlah) kamu membawa
(urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu
dapat memakan sebahagian daripada harta benda
orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa,
Padahal kamu mengetahui.
Perbuatan memakan atau mengambil harta milik orang
lain merupakan bentuk dari pencurian dan tindakan mencuri
termasuk dari salah satu dosa besar. Adapun sanksi bagi
pencuri dijelaskan dalam Q.S. al- Maidah ayat 38:
‫َو الَّسا ِر ُق َو الَّس ا ِر َق ُة َف ا ْق َط ُع وا َأ ْي ِد َي ُه َم ا َج َز ا ًء ِبَم ا‬
‫َك َس َب ا َنَك ا اًل ِم َن ال َّل ِه ۗ َو ال َّل ُه َع ِز ي ٌز َح ِك ي ٌم‬
Artinya : Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang
mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai)
pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan
sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Di dalam ayat ini Allah menyatakan secara tegas bahwa
laki-laki pencuri dan perempuan pencuri harus dipotong
tanganya. Ulama telah sepakat dengan hal ini, tetapi mereka
berbeda pendapat mengenai batas minimal (nisab) barang
curian dan tangan sebelah mana yang harus dipotong.34
c. Syarat-Syarat Pencurian yang Dikenai Hukuman

Penegakan hukuman had pencurian memiliki sejumlah


syarat dan ketentuan yang harus terpenuhi. Syarat dan
ketentuan itu ada yang terkait dengan pelaku pencurian, ada

34
Khairul Hamim, Fikih Jinayah, Hal.157-160
yang terkait dengan harta yang dicuri, ada yang terkait dengan
korban pencurian, dan ada yang terkait dengan tempat kejadian
perkara.
1. Syarat-syarat bagi pelaku pencurian
Seorang pelaku pencurian dijatuhi hukuman
potong tangan apabila ia memenuhi syarat-syarat al-
ahliyyah (kelayakan dan kepatutan) untuk dijatuhi
vonis hukuman potong tangan, yaitu berakal, balig,
melkukan pencurian atas kemauan sendiri (tidak
dipaksa), dan mengetahui bahwa hukum mencuri
adalah haram.
2. Syarat-syarat sesuatu yang dicuri
Ada sejumlah syarat yang harus terpenuhi
dalam sesuatu yang dicuri. Syarat-syarat tersebut
adalah:
a. Sesuatu yang dicuri berupa harta yang memiliki
nilai (al-mal mutaqawwim)
Yang dimaksud dengan memiliki nilai di
sini adalah sesuatu yang harus ditanggung untuk
diganti oleh orang yang merusakkannya ketika
ia melakukan pelanggaran terhadapnya.
Berdasarkan hal itu, maka jika ada seseorang
mencuri bayi yang berstatus merdeka, ia tidak
dijatuhi hukuman potong tangan karena, akan
tetapi ia dijatuhkan hukuman ta’zir karena orang
merdeka bukanlah harta. Begitu juga seandainya
ada seseorang mencuri minuman keras, babi
atau kulit bangkai, maka ia tidak dijatuhi
hukuman potong tangan, karena minuman keras
dan babi bagi seorang muslim tidak memiliki
nilai.
b. Harta yang dicuri harus mencapai batas nisab
pencurian

Para fuqaha berbeda pendapat seputar


berapa kadar nishab pencurian. Menurut Ulama
Hanafiyah bahwa kadar nishab pen- curian
adalah satu dinar atau sepuluh dirham, atau
sesuatu yang senilai dengan satu dinar atau
sepuluh dirham.35
c. Sesuatu yang dicuri tersimpan di tempat
penyimpanan (al-hirzu).36
d. Sesuatu yang dicuri berupa benda yang bisa
disimpan dalam jangka panjang dan tidak cepat
rusak atau busuk.37
e. Pelaku pencurian tidak memiliki hak milik pada
sesuatu yang dicurinya atau dengan kata lain
tidak terdapat unsur syubhat terhadap sesuatu
yang dicuri.38
3. Syarat-Syarat Korban Pencurian
Dalam hal ini disyaratkan korban pencurian
memiliki hak yang sah atas barang yang dicuri. Hak
yang sah ada tiga macam:
a. Hak kepemilikan mutlak
b. Hak melalui Amanat, seperti orang yang
dititipi, orang yang meminjam, orang
yang menggadai dsb.
c. Hak tanggungan seperti orang yang
menerima gadai, oleh sebab itu,
seseorang yang mencuri barang yang
berada di tangan orang- orang tersebut,
ia dikenai hukuman potong tangan.
4. Syarat-Syarat Tempat Kejadian Perkara
Dalam hal ini, disyaratkan aksi pencurian
yang dilakukan harus terjadi di kawasan darul ‘adl
(negeri Islam yang dikuasi oleh pemerintah yang
sah, bukan kawasan musuh dan bukan kawasan
yang dikuasai oleh kelompok pemberontak oleh
separatis). Oleh sebab itu, jika seseorang mencuri di
kawasan dar al-harb (kawasan musuh) atau
dikawasan dar al-baghyi (kawasan yang dikuasai

35
Ibid, Hal.164-165
36
Ibid, Hal.167
37
Ibid, Hal.169
38
Ibid, Hal.170
oleh kelompok separatis) maka ia tidak dikenai
hukuman potong tangan.39
4. Ta’zir
a. Pengertian Ta’zir
Secara bahasa lafaz ta’zir berasal dari kata ‘Azzara yang
sinonimnya artinya mendidik, mengagungkan dan menghormati,
membantunya, menguatkan, dan menolong. Dari keempat pengertian
tersebut, yang paling relevan adalah pengertian pertama yakni
“mencegah dan menolak”, dan pengertian kedua yaitu “mendidik”.
Pengertian ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Abdul Qadir
Audah dan Wahbah Zuhaili.
Ta’zir diartikan mencegah dan menolak hukumia dapat
mencegah pelaku tidak mengulangi perbuatan-perbuatannya. Takzir
diartikan mendidik, dimaksudkan untuk mendidik dan memperbaiki
pelaku agar dia menyadari perbuatan jarimahnya kemudian
meninggalkan dan menghentikannya.
Sedangkan pengertian ta’zir secara istilah sebagai yang telah di
definisan oleh para ulama berikut :
1. Menurut Al-Mawardi
Takzir adalah hukuman bersifat pendidikan atas
perbuatan dosa (maksiat) yang hukumannya belum
ditetapkan oleh syara’.
2. Menurut Wahbah Zuhaili
Takzir menurut syara’ adalah hukuman yang
ditetapkan atas perbuatan maksiat atau jinayah yang tidak
dikenakan hukuman had dan tidak pula kifarat.
3. Menurut Ibrahim Unais dan kawan-kawan
Ta’zir menurut syara’ adalah hukuman pendidikan
yang tidak mencapai hukuman had syar’i.
Dari definisi-definisi yang dikemukakan di atas, jelaslah bahwa
ta’zir adalah suatu istilah untuk hukuman atas jarimah- jarimah yang
hukumannya belum ditetapkan oleh syara’.Istilash ta’zir bisa
digunakan untuk hukuman dan bisa juga untuk jarimah (tindak
pidana).
Dari definisi-definisi tersebut, juga dapat dipahami bahwa
jarimah ta’zir terdiri atas perbuatan-perbuatan maksiat yang tidak
39
Ibid, Hal.171-172
dikenakan hukuman had dan tidak pula kifarat. Dengan demikian, inti
jarimah ta’zir adalah perbuatan maksiat. Dilihat dari segi hak yang
dilanggarnya, jarimah ta’zir dapat dibagi kepada dua bagian, yaitu :
a. Jarimah ta’zir yang menyinggung hak Allah
b. Jarimah ta’zir yang menyinggung hak perorangan
(individu)

Adapun yang dimaksud dengan jarimah ta’zir yang


menyinggung hak Allah adalah semua perbuatan yang bekaitan dengan
kepentingan dan kemaslahatan umum. Misalnya membuat kerusakan
dimuka bumi, pencurian yang tidak memenuhi syarat, mencium wanita
lain yang bukan istri, penimbunan bahan-bahan pokok, penyeludupan,
dan lain-lain. Sedangkan jarimah ta’zir yang minyinggunng hak
perorangan adalah setiap perbuatan yang mengakibatkan kerugian
kepad orang tertentu, bukan orang banyak. Misalnya seperti
penghinaan, penipuan, pemukulan dan lain-lain.
b. Dasar Hukum Ta’zir
1. Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Bahz ibn Hakim
Dari Bahz ibn Hakim dari ayahnya dari kakeknya, bahwa nabi
SAW. Menahan seseorang karena disangka melakukan kaejahatan.
( Hadist yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Turmuzi, Nasa’i, dan
Baihaki, serta dishahihkan oleh Hakim.)
2. Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Abi Burdah
Dari Abi Burdah Al-anshari ra. Bahwa ia mendengar
Rasulullah SAW. bersabda: “Tidak boleh dijilid diatas sepuluh
cambuk kecuali di dalam hukuman yang telah ditenyukan oleh
Allah Ta’ala(Muttafaqun ‘alaih)
3. Hadist yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah
Dari Aisyah ra. Bahwa Nabi SAW. bersabda : “Ringankanlah
hukuman bagi orang-orang yang tidak pernah melakukan
kejahatan atas perbuatan meraka, kecuali dalam jarimah-jarimah
hudud.( Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud, Nasa’I, dan
Baihaki)
Hadist pertama menjelaskan tentang tindakan Nabi yang
menahan seseorang yang diduga melakukan tindakan pidana dengan
tujuan untuk memudahkan penyelidikan.Hadis kedua di atas
menjelaskan tentang batasan hukuman yang tideak boleh lebih dari
sepuluh campukan.Sedangkan hadist yang ketiga di atas menjelaskan
tentang teknis pelaksanaan hukuman ta’zir yang biasa berbeda antara
satu pelaku dengan pelaku lainnya, tergantung kepada status.40
c. Jenis-Jenis Ta’zir
Dilihat dari segi sifatnya jarimah ta’zir dapat dibagi kepada
tiga bagian, yaitu
1. Ta’zir karena melakukan perbuatan maksiat.
2. Ta’zir karena melakukan perbuatan yang menbahayakan
kepentingan umum.
3. Ta’zir karena melakukan pelanggaran.
Dilihat dari segi dasar hukum ( penetapannya) ta’zir juga dapat
dibagi menjadi tiga bagian, yaitu sebagai berikut:
a. Jarimah ta’zir yang berasal dari jarimah-jarimah hudud atau
qishas, tetapi syarat- syaratnya tidak terpenuhi, atau ada
syubhat, seperti pencurian yang tidak mencapai nisab, atau
oleh keluarga sendiri.
b. Jarimah ta’zir yang jenisnya disebutkan dalam nashsyara’
tetapi hukumannya belum ditetapkan, seperti riba, suap,
dan mengurangi takaran dan timbangan.
c. Jarimah ta’zir yang baik jenis maupun sanksinya belum
diutentukan oleh syara’. Jenis ketiga ini sepenuhnya
diserahkan kepeda ulil amri, seperti pelnggaran disiplin
pegawai pemerintah.
Abdul Aziz Amir membagi jarimah ta’zir secara rinci kepada
beberapa bagian yaitu:
a. Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan pembunuhan.
b. Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan pelukaan.
c. Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan kejahatan terhadap
kehormatan dan kerusakan akhlak.
d. Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan harta.
e. Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan kemaslahatan
individu.
f. Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan keamanan umum.41
d. Macam-Macam Sanksi Ta’zir
Sanksi ta’zir itu beragam macamnya, di antaranya adalah:

40
Sri Yunarti, Fiqh Jinayah, Hal.257-260
41
Sri Yunarti, Fiqh Jinayah, Hal.262-265
1. Sanksi ta’zir yang mengenai badan. Hukuman yang
terpenting dalam hal ini adalah hukuman mati dan jilid.
2. Sanksi yang berkaitan dengan kemerdekaan seseorang,
Sanksi yang terpenting dalam hal ini adalah penjara dengan
berbagai macamnya dan pengasingan.
3. Sanksi ta’zir yang berkaitan dengan harta. Dalam hal ini
yang terpenting di antaranya adalah denda, penyitaan, dan
penghancuran barang.
4. Sanksi-sanksi lainnya yang ditentukan oleh ulul amri demi
kemaslahatan umum.42
5. Pengertian Fikih Siyasah
Fiqh Siyasah merupakan tarkib idhafi atau kalimat majemuk yang
terdiri dari dua kata yaitu kata fiqh dan al-siyâsî. Secara etimologi, fiqh
merupakan bentuk masdhar (gerund) dari tashrifan kata faqiha-yafqahu-
fiqihan yang bermakna faham. Fiqh berarti pemahaman yang mendalam
dan akurat sehingga dapat memahami tujuan ucapan dan atau tindakan
tertentu. Menurut Ulama Ushul, Fiqh secara istilah adalah “Ilmu yang
menerangkan hukum-hukum syara’ amaliah yang digali dari dalil-dalilnya
secara terperinci”.
Siyasah merupakan salah satu cabang ilmu dari fiqh, yang asal
ajarannya dari Alquran dan Hadis yang diposisikan sebagai sumber
doktrin yang aksiomatis, dimana kebenaran-kebenaran yang diyakini,
bukan pernyataan-pernyataan ilmiah. Aksioma ini melahirkan berbagai
penafsiran yang menjadi pengetahuan normatif dalam bentuk fiqh. Dari
ilmu fiqh, lahirlah fiqh siyasah. Secara spesifik, dari fiqh siyasah ini maka
lahirlah berbagai jenis siyasah seperti; Siyasah Dusturiyah yang saling
berkaitan dengan perundang-undangan, Siyasah Maliyah yang berkaitan
dengan ekonomi, Siyasah Dauliyah yang berkaitan dengan hubungan
internasional/kenegaraan.
Adapun pengertian dari fiqh siyasah, Kata siyasah berasal dari kata
“sasa” yang berarti mengatur, mengurus, dan memerintah. Siyasah dapat
juga diartikan sebagai pemerintahan dan politik, sesuatu yang dapat
membuat sebuah kebijakan. Fiqh siyasah atau siyasah syar'iyah sebuah
cabang ilmu yang mempelajari hal ihwal dan keterkaitan pengaturan
urusan umat dan negara dengan segala bentuk hukum, peraturan dan
kebijaksanaan yang dibuat oleh pemegang kekuasaan yang searah dengan
dasar-dasar ajaran atau ruh syariat untuk mewujudkan kemaslahatan

42
Ibid, Hal.266
sebuah umat. Dengan kata lain, fiqh siyasah adalah ilmu tata negara yang
dalam ilmu agama Islam menyusut ke dalam pranata sosial Islam.
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas dapat diringkas menjadi
sebuah kesimpulan bahwa bahwa Fiqh siyasah adalah sebuah disiplin ilmu
yang isinya adalah membahas hukum-hukum pemerintahan dan konsep
menjalankan pemerintahan yang berlandaskan syariat Islam dengan tujuan
memberi kemaslahatan bagi rakyatnya. Fiqh Siyasah merupakan salah satu
aspek hukum Islam yang membicarakan pengaturan dan pengurusan
kehidupan manusia dalam bernegara demi mencapai kemaslahatan bagi
manusia itu sendiri. Dalam fiqh siyasah, ulama mujtahid menggali
sumber-sumber hukum Islam yang terkandung didalamnya dalam
hubungannya dengan kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Sebagai
hasil penalaran kreatif, pemikiran para mujtahid tersebut tidak kebal
terhadap perkembangan zaman dan sangat bersifat terbuka yaitu bisa
menerima perbedaan pendapat dan ada prinsipnya, definisi yang
dikemukakan memiliki persamaan. Siyasah berkaitan dengan mengatur
dan memelihara manusia dalam hidup bermasyarakat dan bernegara
dengan membimbing mereka menuju kemaslahatan dan menjauhinya dari
kemudharatan.43
6. Ahl Al-Hall Wa Al-‘Aqd
a. Pengertian Ahl Al-Hall Wa Al-‘Aqd
Ahl al-hall wa al-ahkam al-jinayah 'aqd secara bahasa adalah
orang-orang yang mempunyai wewenang untuk melonggarkan dan
mengikat (Ahlu adalah orang yang berhak) yang memiliki, hallu
adalah melepaskan, menyesuaikan, memecahkan, dan aqdi adalah
mengikat, mengadakan transaksi, dan membentuk). Istilah ini
dirumuskan oleh ulama fikih untuk sebutan bagi orang-orang yang
bertindak sebagai wakil umat (misalnya di parlemen) untuk
menyuarakan hati nurani mereka. Tugasnya antara lain, memilih
khalifah, imam, kepala negara secara langsung dan mengadakan
pengawasan terhadap jalannya roda pemerintahan.
Dengan kata lain, ahlu al-halli wa al-aqdi adalah orang-orang
yang berkecimpung langsung dengan rakyat yang telah memberikan
kepercayaan kepada mereka. Mereka menyetujui pendapat wakil-wakil
itu secara ikhlas, konsekuensi, takwa, adil, dan kecemerlangan pikiran
serta kegigihan mereka di dalam memperjuangkan kepentingan
rakyatnya.
43
Syaiful Amri, Fiqih Siyasah, Hal.1-2
Ahl al-hall wa al-'aqd ini merupakan suatu lembaga pemilihan.
Orang-orangnya berkedudukan sebagai wakil-wakil rakyat dan salah
satu tugasnya memilih khalifah atau kepala negara. Pembentukan ahl
al-hall wa al- 'qadi ini dipandang perlu dalam pemerintahan Islam
karena banyaknya permasalahan kenegaraan yang harus diputuskan
secara bijak dan pandangan yang cerdas dan tajam sehingga mampu
menciptakan kemaslahatan umat Islam yang baik.
Dalam sejarah Islam, pembentukan lembaga Ahl al-Hall wa al-
Aqdi pertama sekali dilakukan oleh pemerintahan Bani Umayyah di
Andalusia (Spanyol), Khalifah al-Hakam II (961-976 M) membentuk
Majelis Asy-Syurah yang beranggotakan pembesar-pembesar negara
dan sebagian lagi pemuka masyarakat. Kedudukan Majelis Syura ini
setingkat dengan pemerintah. Khalifah sendiri bertindak langsung
menjadi ketua lembaga tersebut. Majelis inilah yang melakukan
musyawarah dalam masalah-masalah hukum dan membantu Khalifah
melaksanakan pemerintahan negara.
Alasan terbentuknya Ahl a-Hall wa al-Aqdi dikarenakan
sebagai berikut. yaitu:
1. Rakyat secara keseluruhan tidak mungkin dilibatkan untuk
diminta pendapatnya, maka harus ada kelompok
masyarakat yang dapat diaiak musyawarah dalam
menentukan kebijaksanaan pemerintahan dan pembentukan
perundang-undangan.
2. Rakvat secara individu tidak mungkin dikumpulkan untuk
melakukan musyawarah di suatu tempat, apalagi di antara
mereka pasti ada yang tidak mempunyai pandangan yang
tajam dan tidak berpikir kriris. Tentunya, mereka tidak
mampu mengemukakan pendapat dalam musyawarah.
3. Musvawarah harus bisa dilakukan jika jumlah pesertanya
terbatas sebab kalau seluruh rakyat dikumpulkan di suatu
tempat untuk melakukan musyawarah dipastikan
musyawarah tersebut tidak terlaksana.
4. Kewajiban amar maruf dan nahi mungkar hanya bisa
dilakukan jika ada lembaga yang berperan untuk menjaga
kemaslahatan antara pemerintah dan rakyat.
5. Kewajiban taat kepada ulul amri baru mengikat jika
pemimpin itu dipilih lembaga musyawarah.
6. Ajaran Islam sendiri yang menekankan perlunya
pembentukan Lembaga Permusyawaratan sebagaimana
terdapat dalam surah asy-Syuura (42) ayat 38 dan Surah Ali
Imran (3) ayat 159.
Al-Mawardi dalam kitab Magnum Opusnya Ahkam as-
Sultaniyah berpendapat bahwa sebutan lain dari ahl al-hall wa al-aqd
adalah ahl al-ikhtiyar yaitu orang-orang yang berwenang memilih
imam dari sejumlah calon imam yang memenuhi persyaratan. Anggota
ahl al-ikhtiyar ini yang tidak ditentukan berapa besar jumlahnya, tetapi
harus memenuhi beberapa persyaratan:
a. Adil.
b. Memiliki ilmu pengetahuan yang memungkinkannya untuk
mengetahui siapa yang memenuhi syarat nenjadi imam.
c. Mempunyai kearifan dan wawasan yang luas sehingga
nemungkinkannya memilih siapa yang dipandang paling
tepat untuk menjadi imam.
Adapun hak ahl halli wa al-aqdi ini adalah:
1. Dalam kedudukannya sebagai anggota masyarakat, ia
mempunyai hak yang sama dengan anggota masyarakat
lainnya.
2. Dalam kedudukannya sebagai anggota majelis, ia
mendapatkan hak-hak tertentu, antara lain:
a. Mendapatkan fasilitas yang wajar sesuai dengan
kedudukannya sebagai anggota majelis. Misalnya,
menempati majelis, rumah jabatan yang dekat dengan
tempat bertugas, alat transportasi yang mempercepat
sampai ke tempat tugas dan lain-lain.
b. Mendapatkan jasa penghidupan dari majelis karena
mustahil dapat melaksanakan tugasnya dengan baik jika
ia tidak mendapatkan apa-apa dari majelis.
c. Mendapatkan pengamanan dari negara karena ia adalah
orang penting yang melaksanakan aspirasi rakyat.
Setelah mengetahui hak dari majelis ini, maka mereka juga
mempunyai kewajiban sebagai berikut:
1. Mengangkat dan memberhentikan khalifah (kepala negara).
2. Mengemban amanat seluruh rakyat, menghasilkan beberapa
aspek positif yang bermanfaat bagi penguasa dan rakyat itu
sendiri.
3. Bersama khalifah membuat undang-undang yang berisikan
Amar ma'ruf dan nahi mungkar bagi semua pihak dan
menitikberatkan pada mashlahat umat.
4. Menetapkan anggaran belanja negara dengan lebih
memperhatikan kepentingan rakyat banyak. Sebagai bahan
pertimbangan rancangan anggaran belanja itu diajukan oleh
khalifah.
5. Merumuskan gagasan yang dapat mempercepat tercapainya
tujuan bernegara sambil menjalankan fungsi pengawasan
sosial terhadap penguasa.
6. Mengolah data-data, baik dari petugas khusus atau
langsung dari rakyat sendiri. Setiap kasus dan keluhan
rakyat harus segera ditanggapi dan ditangani secara khusus.
7. Menetapkan/merumuskan garis-garis besar program yang
akan dilaksanakan khalifah.
8. Hadir pada setiap saat dilaksanakannya sidang.
9. Turun ke daerah-daerah untuk meninjau pelaksanaan
program pemerintah dan mendapat data-data kehidupan
yang sebenarnya pada rakyat banyak.
10. Mengawasi jalannya pemerintahan.
Setelah mengetahui hak dan kewajiban ahl al-hall wa al-aqdi
secara umum, maka dapat diambil beberapa hikmah akan keberadaan
lembaga ini di suatu negara, antara lain:
a. Dapat mengurangi kemungkinan terjadinya kesalahan, baik
dalam merencanakan, merumuskan maupun melaksanakan
sesuatu karena mendapat orang banyak lebih mendekati
kebenaran daripada putusan perorangan.
b. Dapat memilih dan mengangkat pemimpin negara yang
tepat dan sesuai dengan aspirasi rakyat.
c. Menghindari perpecahan, permusuhan, dan pertentangan
dalam masyarakat.
d. Dapat menyadarkan manusia akan dirinya yang begitu
lemah dan mempunyai sifat ketergantungan kepada orang
lain.
e. Menghasilkan keputusan adil, lengkap, dan dapat
dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
f. Dapat melaksanakan perintah Allah SWT dan Rasul-Nya
mengenai musyawarah.
g. Dapat mengurangi atau menghilangkan keluh-kesah yang
mendorong pada penyelewengan akibat pikiran yang
kurang jernih.
h. Dapat mengikat persatuan dan keadilan sebab di antara
anggota majelis ada yang bersifat keras, lemah, emosional
dan hati-hati.
i. Dapat melahirkan rasa tanggung-jawab bersama.
Al-Mawardi menambahkan bahwa ahl al-ikhtiyar harus ini
mengetahui dengan benar persyaratan calon imam agar tidak terjadi
kekeliruan yaitu:
1. Bersifat adil dengan segala syarat yang berkaitan dengan
itu.
2. Berpengetahuan luas yang memungkinkannya dapat
mengadakan pertimbangan yang bijaksana dan berijtihad.
3. Sehat pendengaran, penglihatan, dan lisan.
4. Integritas organ fisik sehingga ia dapat bergerak dengan
bebas dan tepat.
5. Wawasan yang memadai untuk memperlancar urusan
kemasyarakatan.
6. Memiliki keberanian dan kekuatan agar dapat melindungi
dan mempertahankan negara dan menyingkirkan musuh.
7. Berasal dari keturunan suku Arab Quraisy.
Syarat terakhir (nomor tujuh) ini yang dikemukakan al-
Mawardi ditolak oleh Ibnu Taimiyah sebab sangat bertentangan
dengan semangat egalitarian (prinsip kesamaan) yang diajarkan Islam.
Suatu doktrin bahwa seorang imam tersebut haruslah dari keturunan
suku Quraisy hanya berlaku pada periode Khulafa' ar-Rasyidin yaitu
Khalifah Abu Bakar as-Siddiq, Khalifah 'Umar, Khalifah 'Usman, dan
Khalifah 'Ali.
Setelah terpilihnya imam dari berbagai macam proses seleksi
ketat, maka diadakanlah bai'ah, Artinya, dalam bai'ah terjadi
penyerahan hak dan pernyataan ketaatan atau kewajiban pihak pertama
secara sukarela kepada pihak kedua, pihak kedua juga punya hak dan
kewajiban atas pihak pertama yang diterimanya. Jadi, pelaksanaan hak
dan kewajiban antara kedua pihak berlangsung secara timbal balik.
Bai'ah tersebut dapat dianalogikan dengan teori kontrak sosial'
dalam ilmu politik. Teori ini mnenyatakan bahwa seseorang atau
sekelompok manusia menyerahkan hak kekuasaan dirinya kepada
seseorang atau kepala lembaga yang disepakati. Implikasi teori ini
adalah sumber kedaulatan negara berasal dari rakyat dan memperoleh
legitimasi melalui Trak sosial antara dua pihak.44
C. KESIMPULAN
Fiqih Jinayah adalah berbagai ketentuan hokum tentang perbuatan-
perbuatan kriminal yang dilakukan orang-orang mukallaf, sebagai hasil
pemahaman atas dalil-dalil yang terinci, Menurut istilah fiqih jinayah adalah
pelanggaran yang dilakukan oleh seseorang terhadap hak Allah atau larangan
Allah, hak-hak manusia dan hak binatang dimana orang yang melakukan
wajib mendapat/diberi hukuman yangsesuai baik dunia maupun akhirat.
Dari paparan singkat tentang fiqh siyasah tergambar bahwa siyasah
adalah perbuatan kebijakan yang diwujudkan dalam pengaturan, serta
dilaksanakan dan diawasi untuk meraih sebanyak mungkin kemaslahatan bagi
umat manusia. Oleh karena itu, di dalamsiyasah selalu diupayakan jalan-jalan
menuju kemaslahatan dan selalu ditutup dan dihindarkan jalan-jalan yang
mengarah kepada kemafsadatan.

44
Nurhayati, Ali Imra n Sinaga, Hal.192-197
DAFTAR PUSTAKA

Amri Syaiful. 2023. Fiqh Siyasah. Medan : UIN Sumatera Utara


Irfan M. Nurul, Masyrofah. 2013. Fiqh Jinayah. Jakarta: Amzah
Khairul Hamim. 2020. Fikih Jinayah. Mataram: Sanabil
Nurhayati, Ali Imran Sinaga. 2018. Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta: Prenadamedia
Group
Sari Maya Seva. 2022. Fiqh Jinayah. Medan: UIN Sumatera Utara
Yunarti Sri. 2022. Fiqh Jinayah. Dicetak CV. Suryani Indah

Anda mungkin juga menyukai