MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas kelompok mata kuliah ‘Ushul Fiqh dan Fiqh’
yang diampu oleh :
Oleh : Kelompok 9 1A
MATARAM
2023/2024
KATA PENGANTAR
Syukur alhamdulillah senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini guna
memenuhi tugas kelompok untuk mata kuliah Ushul Fiqh dan Fiqh, dengan judul:
“FIQIH JINAYAH DAN FIQIH SIYASAH”.
Demikian yang dapat penulis sampaikan, semoga para pembaca dapat mengambil
manfaat dan pelajaran dari makalah ini.
Penyusun
A. LATAR BELAKANG
Islam merupakan suatu ajaran yang memiliki aturan dan hukum yang
sangat kompleks meliputi seluruh yang berkaitan dengan kehidupan manusia
di muka bumi ini. Allah SWT sebagai pembuat hukum menghendaki
hambanya untuk senantiasa menyembah kepadanya. Hukum dalam islam
dapat berlaku dalam segala persoalan hidup sesuai dengan hubungannya
dengan persoalan yang terjadi, baik itu mengenai ibadah, muamalah maupun
dalam beramal sosial.
Di dalam Islam juga ditentukan segala perbuatan yang baik dan
dibolehkan syara’ untuk dilakukan dan yang tidak boleh (dilarang). Maka
segala perbuatan yang baik akan mendapat balasan pahala, sedangkan untuk
perbuatan yang dilarang jika dilakukan akan mendapatkan sanksi syara’ serta
sistem pemerintahan dalam perbuatan tersebut.
B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Fikih Jinayah
Dalam mempelajari Fiqh Jinayah, ada dua istilah penting yang
terlebih dahulu harus dipahami sebelum mempelajari materi selanjutnya.
Pertama adalah istilah jinayah itu sendiri dan kedua adalah jarimah. Kedua
istilah ini secara etimologis mempunyai arti dan arah yang sama. Selain
itu, istilah yang satu menjadi muradif (sinonim) bagi istilah lainnya atau
keduanya bermakna tunggal. Walaupun demikian, kedua istilah berbeda
dalam penerapan kesehariannya. Dengan demikian, kedua istilah tersebut
harus diperhatikan dan dipahami agar penggunaanya tidak keliru. Jinayah
artinya perbuatan dosa, perbuatan salah atau jahat. Jinayah adalah masdar
(kata asal) dari kata kerja (fi’il madhi) janaa yang mengandug arti suatu
kerja yang diperuntukan bagi satuan laki-laki yang telah berbuat dosa atau
salah. Pelaku kejahatan itu sendiri disebut dengan jaani yang merupakan
bentuk singular bagi satuan laki-laki atau bentuk mufrad mudzakkara
sebagai pembuat kejahatan atau isim fa’il.
Dr. Abdul Kadir Audah dalam kitabnya At Tasyri Al Jina’i Al
islamy menjelaskan arti kata jinayah yaitu : Jinayah menurut bahasa
merupakan nama bagi suatu perbuatan jelek sesorang. Adapun menurut
istilah adalah nama bagi suatu perbuatan yang diharamkan Syara’ baik
perbuatan tersebut mengenai jiwa, harta benda maupun selain jiwa dan
harta benda.
Jadi pengertian Jinayah adalah semua perbuatan yang diharamkan.
Perbuatan yang diharamkan adalah tindakan yang dilarang atau dicegah
oleh Syara’ (Hukum Islam). Apabila dilakukan perbuatan tersebut
mempunyai konsekuensi membahayakan agama, jiwa, akal, kehormatan
dan harta benda. Menurut aliran mazhab Hanafi, ada pemisahan dalam
pengertian jinayah ini. Kata Jinayah hanya diperuntukan bagi semua
perbuatan yang dilakukan manusia dengan objek anggota badan dan jiwa
saja, seperti melukai atau membunuh.1
2. Qhisas
a. Pengertian Qhisas
Qhisas adalah sebagai keseimbangan atau pembalasan terhadap
sipelaku tindak pidana dengan sesuatu yang seimbang dari apa yang
telah diperbuatnya.
Dalam buku karangan A. Rahman I Doi dengan judul
Hududdan K ewarisan memberikan defenisi Qhisas itu sendiri yang
mana kata Qhisas berasal dari kata Arab ”Qashsha” berarti memotong,
atau mengikuti jejak buruannya. Dengan arti ini, maka kata ”Qashsha”
bermakna hukum balas dengan hukuman yang setimpal bagi
pembunuhan yang dilakukan itu, yaitu nyawanya sendiri harus dicabut
seperti dia mencabut nyawa korbanya, kendatipun tidak harus dibunuh
dengan senjata yang sama dengan senjata dia membunuh korbannya.
Maka dalam pengertian Qhisas ini dapatlah kita simpulkan
yang mana makna Qhisas itu sendiri adalah hukuman bagi perbuatan
pidana dengan objek (sasaran) jiwa atau anggota badan yang dilakukan
dengan sengaja, seperti membunuh, melukai, menghilangkan anggota
badan dengan sengaja.2
b. Dasar Hukum Qhisas
Adapun dasar hukum dalam Qishash ini adalah :
1. Surat Al-Isra’ :33
ۗ َو اَل َتْقُتُلوا الَّنْفَس اَّلِتي َح َّر َم ُهَّللا ِإاَّل ِباْلَح ِّق
6
Khairul Hamim, Fikih Jinayah, Hal.251-252
Istilah riddah, menurut fuqaha hanya terbatas pada
keluarnya seorang Muslim ke agama non-Muslim. Jadi kalau
ada non-Muslim yang keluar dari agamanya dan pindah ke
agama lain, maka perpindahan tersebut tidaklah dapat
dikategorikan riddah. Alasannya adalah bahwa perpindahan
dari orang kafir ke agama yang juga kafir itu tidak ada
perbedaan, karena sama-sama batil, sedangkan perpindahan
Muslim kepada agama kafir itu berarti perpindahan dari
hidayah dan din al-haqq kepada kesesatan dan kekafiran.
Dari definisi-definisi yang dikemukakan di atas, dapatlah
dipahami bahwa orang yang murtad adalah orang yang ke luar
dari agama Islam dan kembali kepada kekafiran.
b. Dasar Hukum Riddah
Riddah merupakan perbuatan yang dilarang oleh Allah
yang diancam dengan hukuman di akhirat,yaitu dimasukkan ke
neraka selama-lamanya. Hal ini dijelaskan oleh Allah SWT
dalam Surah Al-Baqarah 217 :
َو َم ْن َيْر َتِد ْد ِم ْنُك ْم َع ْن ِد يِنِه َفَيُم ْت َو ُهَو َك اِفٌر َفُأوَٰل ِئَك َح ِبَطْت َأْع َم اُلُهْم ِفي الُّد ْنَيا َو اآْل ِخَرِة
ۖ َو ُأوَٰل ِئَك َأْص َح اُب الَّناِر ۖ ُهْم ِفيَها َخ اِلُد وَن
8
Khairul Hamim, Fikih Jinayah, Hal.224-225
9
Ibid, Hal.226-227
Hukuman pengganti diberikan apabila hukuman
pokok tidak dapat dite- rapkan atau hukuman yang
dijatuhkan setelah gugurnya hukuman asli karena
adanya taubat. Hukuman pengganti untuk murtad
(riddah) berlaku dalam dua keadaan sebagai berikut:
Pertama, apabila hukuman pokok gugur karena tobat
maka hakim menggantinya dengan hukuman ta’zir yang
sesuai dengan keadaan pelaku tersebut, seperti
hukuman jilid (cambuk), atau penjara atau denda atau
cukup dengan dipermalukan(taubikh). Kedua, apabila
hukuman pokok gugur karena syubhat, seperti
pandangan Imam Abu Hanifah yang menggugurkan
hukuman mati bagi pelaku wanita dan anak-anak maka
dalam kondisi ini pelaku perbuatan itu (wanita dan
anak-anak) dipenjara dengan masa hukuman yang tidak
terbatas dan keduanya dipaksa untuk kembali ke agama
Islam.
3. Hukuman Tambahan
Berkaitan dengan hukuman tambahan adalah bahwa
terpidana diambil hartanya dan hilang haknya untuk
bertasharuf (mengelola) hartanya.10
2. Al-Bagyu
a. Pengertian Al-Bagyu
Kata al-baghyu merupakan bentuk mashdar dari kata
bagha-yabghi-baghyan. Dari kata Baghan inilah kemudian
terambil kata Baghyu atau al-baghyu. Secara harfiah kata al-
baghyu bearti mencari menghendaki, menginginkan,
melampaui batas, meninggalkan, melanggar, zalim.
Sebagaimana firman Allah dalam surah al-Kahfi ayat
64:
َقاَل َٰذ ِلَك َم ا ُكَّنا َنْبِغۚ َفاْر َتَّد ا َع َلٰى آَثاِرِهَم ا َقَص ًصا
10
Ibid, Hal.229-230
Menurut Syaikh Uthaymin, yang dimaksud dengan al-
baghyu di sini adalah orang-orang yang keluar (al- khawarij)
yakni mereka yang keluar dari pemimpin muslim yang sah.
Beragam definisi al-baghyu dikemukakan oleh para
ulama:
Ulama Syafiiyah berpendapat bahwa yang dimaksud
dengan al-Baghyu adalah orang-orang muslim yang menyalahi
imam dengan cara tidak mentaatinya dan melepaskan diri
darinya atau menolak kewajiban dengan kekuatan,
argumentasi, dan memiliki pemimpin. Ulama Hanafiah
mengartikan al-baghyu dengan keluarnya seseorang dari
ketaatan kepada imam yang sah tanpa alasan. Sementara
menurut ulama mazhab Maliki, al-baghyu diartikan sebagai
penolakan untuk mentaati imam yang sah dengan jalan
kekuatan. Penolakan untuk taat itu munkin didasarkan pada
penafsiran tertentu. Mereka mendefinisikan bughat sebagai
satu kelompok orang-orang Islam yang menentang imam atau
wakilnya.
Dari beberapa definisi yang dikemukakan di atas dapat
disimpulkan bahwa al-baghyu adalah suatu usaha atau gerakan
yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang yang
bertujuan untuk menggulingkan pemerintahan yang sah.
b. Dasar Hukum Al-Baghyu
Dasar hukum mengenai al-baghyu ini dijelaskan dalam
al-Qur’an surah al-Hujarat ayat 9:
َو ِإْن َطاِئَفَتاِن ِم َن اْلُم ْؤ ِمِنيَن اْقَتَتُلوا َفَأْص ِلُحوا َبْيَنُهَم اۖ َفِإْن َبَغ ْت ِإْح َد اُهَم ا َع َلى
اُأْلْخ َر ٰى َفَقاِتُلوا اَّلِتي َتْبِغ ي َح َّتٰى َتِفيَء ِإَلٰى َأْم ِر ِهَّللاۚ َفِإْن َفاَء ْت َفَأْص ِلُحوا َبْيَنُهَم ا ِبا َع ْد ِل
ْل
َو َأْقِس ُطواۖ ِإَّن َهَّللا ُيِح ُّب اْلُم ْقِسِط يَن
Artinya: Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang
beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan
antara keduanya! Tapi kalau yang satu melanggar
perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang
melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut
kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah surut,
damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan
hendaklah kamu berlaku adil; sesungguhnya Allah
mencintai orang-orang yang berlaku adil.11
11
Ibid, Hal.213-216
c. Unsur-Unsur Al-Baghyu
Unsur-unsur pemberontakan yang pokok adalah:
1. Keluar dari Imam dengan Terang-terangan
Yang dimaksud dengan keluar dari imam
dalam menentang dan mencoba untuk menjatuhkan
imam atau penolak segala sesuatu yang diwajibkan
olehnya. Disepakati oleh para ulama bahwa boleh
atau bahkan wajib tidak taat kepada imam bila ia
memerintahkan hal-hal yang maksiat, berdasarkan
kaidah fiqhiyah yang berbunyi:
ال طاعة ملخلوق ف معصية اخاللق
Artinya : Tidak boleh taat kepada makhluk yang menyuruh
maksiat kepada Allah.
Menurut Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i,
dan Imam Ahmad, ada tiga macam orang yang
keluar dari imam yaitu:
a. Keluar tanpa argumentasi yang jelas,
tidak memiliki kekuatan atau memiliki
kekuatan.
b. Keluar dengan argumentasi yang salah
dan tidak memiliki kekuatan.
c. Keluar dengan argumentasi dan
memiliki kekuatan yang memungkinkan
dapat menjatuhkan imam.
2. Ada Itikad Tidak Baik
Disyaratkan dalam pemberontakan itu
adanya itikad jahat dari para pemberontak, yakni
mereka bermaksud menggunakan kekuatan untuk
menjatuhkan imam atau untuk tidak mentaatinya.
d. Sanksi Al-Baghyu
21
M. Nurul Irfan, Masyrofah, Fiqh Jinayah, Hal.22
mungkin ada hukuman setengah mati.
Dengan demikian, jenis hukuman ini
tidak sah diberlakukan bagi hamba
sahaya.
c. Karena hukuman bagi pelaku zina itu
bersifat umum, maka pengkhususan
hukuman bagi pezina muhsan
menyalahi Alquran.
َفِإَذ ا ُأْح ِص َّن َفِإْن َأَتْيَن ِبَفاِح َش ٍة َفَع َلْيِهَّن ِنْص ُف َم ا َع َلى
ۚ اْلُم ْح َص َناِت ِم َن اْلَع َذ اِب
Artinya : Dan apabila mereka telah menjaga diri
dengan menikah, kemudian mereka
melakukan perbuatan yang keji (zina),
maka atas mereka setengah hukuman
dari hukuman wanita-wanita merdeka
yang bersuami. (QS. Al-Nisâ’ (4): 25)
Ayat tersebut bukan merupakan
alasan tidak disyariatkannya hukuman
rajam, sebab yang dimaksud kata di atas
adalah mengenai hukuman cambuk yang
dapat diketahui jumlah setengahnya
sebagai hukuman bagi hamba sahaya
yang berzina. Adapun mengenai rajam,
Allah pasti sudah mengetahui bahwa
hukuman itu tidak mungkin dibagi dua,
sehingga hamba sahaya yang berzina
harus dirajam sampai setengah mati.
Jadi, ayat ini tidak ada kaitannya dengan
rajam, tetapi berkenaan dengan hukuman
cambuk.
c. Pendapat kaum Khawarij tentang
pengkhususan hukuman rajam dari ayat
tentang zina yang dinilai bertentangan
dengan Alquran merupakan kebodohan
yang luar biasa. Masih banyak ayat yang
masih harus ditakhsis dengan hadis-
hadis Nabi, seperti batasan minimal
pencurian yang pelakunya harus
dipotong tangan, jumlah rakaat dalam
shalat, atau nisab zakat.
23
M. Nurul Irfan, Masyrofah, Fqh Jinayah, Hal.32-34
tuduhan yang tidak jelas (dilalah) seperti menasabkan
seseorang kepada orang yang bukan ayahnya.24
b. Dasar Hukum Qazaf
1. Surah Al-Nur ayat 4 :
َو ا َّلِذ يَن َي ْر ُم وَن ا ْل ُم ْح َص َنا ِت ُث َّم َل ْم َي ْأ ُت وا ِب َأْر َبَع ِة ُش َه َد ا َء َف اْج ِل ُد وُه ْم َث َم ا ِن يَن
َج ْل َد ًة َو اَل َت ْق َب ُل وا َل ُه ْم َش َه اَد ًة َأ َب ًد اۚ َو ُأ و َٰل ِئ َك ُه ُم ا ْل َف ا ِس ُق وَن
Artinya :“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita
yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak
mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah
mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali
dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka
buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-
orang yang fasik”.( Q.S An-Nuur: 4)
2. Surah Al-Nur ayat 23
ِإَّن اَّلِذ يَن َيْر ُم وَن اْلُم ْح َص َناِت اْلَغاِفاَل ِت اْلُم ْؤ ِم َناِت ُلِع ُنوا ِفي الُّد ْنَيا َو اآْل ِخَرِة َو َلُهْم
َع َذ اٌب َع ِظ يٌم
24
Khairul Hamim, Fikih Jinayah, Hal.139-140
25
Ibid, Hal.141-142
26
Ibid, Hal.144-149
2. Syarat-syarat maqdzuf (orang yang dituduh berzina)
adalah berakal, dewasa (baligh), Islam, merdeka
dan belum pernah serta menjauhi perbuatan zina.
3. Syarat-syarat maqdzuf bih (sesuatu yang dibuat
untuk menuduh zina) adalah pernyataan yang
berupa lisan maupun tulisan yang jelas, seperti
panggilan: hai orang yang berzina atau hai kamu
lahir tanpa bapak, dan pernyataan yang berupa lisan
maupun tulisan atau sindiran yang jelas arahnya,
misalnya ada dua orang saling bertengkar, lalu yang
satu berkata: meskipun aku jelek, tetapi aku tidak
pernah berbuat zina dan ibuku juga tidak pernah
berzina. Pernyataan seperti itu merupakan sindiran
bahwa ia dianggap telah menuduh zina kepada
lawannya dan kepada ibu lawannya.
e. Pembuktian Qazaf
Adapun pembuktian qazaf dapat dibuktikan dengan tiga
macam alat bukti, yaitu:
1. Dengan persaksian para saksi. Adanya persaksian
dari saksi merupakan salah satu alat bukti untuk
qazaf. Syarat-syarat saksi sama dengan syarat dalam
jarimah zina, yaitu; baligh, berakal, adil, dapat
berbicara, islam dan tidak ada penghalang menjadi
saksi. Adapun jumlah saksi dalam qazaf sekurang-
kurangnya adalah dua orang.
2. Qazaf bisa dibuktikan dengan adanya pengakuan
dari pelaku (penuduh) bahwa ia menuduh orang lain
melakukan zina. Pengakuan ini cukup dinyatakan
satu kali dalam majelis pengadilan.
3. Dengan sumpah, menurut Imam Syafi’I, qazaf bisa
dibuktikan dengan sumpah apabila tidak ada saksi
dan pengakuan. Caranya adalah orang yang dituduh
menyuruh kepada orang yang menuduh untuk
bersumpah bahwa ia tidak melakukan penuduhan.
Apabila penuduh enggan untuk bersumpah maka
jarimah qazaf bisa dibuktikan dengan
keengganannya untuk bersumpah tersebut.
Demikian pula sebaliknya, penuduh bisa meminta
kepada orang yang dituduh bahwa penuduh benar
melakukan tuduhan. Apabila orang yang dituduh
enggan melakukan sumpah maka tuduhan dianggap
benar dan penuduh dibebaskan dari hukuman had
qazaf.
f. Hukuman Qazaf
Hukuman untuk jarimah qazaf ada dua macam, yaitu
hukuman pokok dan hukuman tambahan :
1. Hukuman Pokok, yaitu jilid atau dera sebanyak
delapan puluh kali. Hukuman ini adalah hukuman
had yang telah ditentukan oleh syara’, sehingga ulil
amri tidak punya hak untuk memberikan
pengampunan. Adapun bagi orang yang dituduh,
para ulama’ berbeda pendapat. Menurut madzhab
Syafi’i orang yang dituduh berhak memberikan
pengampunan, karena hak manusia lebih dominan
daripada hak Allah. Sedangkan menurut madzhab
Hanafi korban tidak berhak memberikan
pengampunan, karena di dalam qazaf hak Allah
lebih dominan daripada hak manusia.
2. Hukuman tambahan, yaitu tidak diterima
persaksiannya dan dianggap orang yang fasik.
32
Ibid, Hal.201-203
33
Khairul Hamim, Fikih Jinayah, Hal.206-207
a. Pengertian Sariqah
Menurut bahasa sariqah adalah bentuk masdar dari kata
Syaraqa – Yasyriqu - Syaraqon dan secara etimologis bearti
mengambil harta milik seseorang secara sembunyi- sembunyi
dan dengan tipu daya. Sementara itu, secara terminologis
definisi sariqah dikemukakan oleh beberapa ahli sebagai
berikut:
1. Wahbah Al-Zuhaili: “Sariqah ialah mengambil hara
milik orang lain dari tempat penyimpanannya yang
biasa digunakan untuk menyimpan secara diam-
diam dan sembunyi-sembunyi. Termasuk dalam
katagori mencuri adalah mencuri informasi dan
pandangan jika dilakukan dengan sembunyi-
sembunyi”.
2. Abdul Qadir Audah: “Ada dua macam sariqah
menurut syariat islam, yaitu sariqah yang diancam
dengan had dan sariqah yang diancam dengan ta’zir,
sariqah yang diancam dengan had dibedakan
menjadi dua, yaitu pencurian kecil dan pencurian
besar. Pencurian kecil ialah mengambil harta milik
orang lain secara diam-diam. Sementara itu,
pencurian besar ialah mengambil hak orang lain
dengan kekerasan. Pencurian jenis ini juga disebut
perampokan”.
3. Muhammad Al-Khatib As-Sarbini: “Sariqah ialah
mengambil harta orang lain secara sembunyi-
sembunyi dan dzalim, diambil dari tempat
penyimpanannya yang biasa digunakan untuk
menyimpan dengan berbagai syarat”.
4. Syaikh Uthaymin: Sariqah adalah mengambil
barang dengan cara diam-diam atau sembunyi
sembunyi dari pemiliknya atau yang diberi kuasa/
tanggung jawab (naibihi) terhadap harta tersebut.
34
Khairul Hamim, Fikih Jinayah, Hal.157-160
yang terkait dengan harta yang dicuri, ada yang terkait dengan
korban pencurian, dan ada yang terkait dengan tempat kejadian
perkara.
1. Syarat-syarat bagi pelaku pencurian
Seorang pelaku pencurian dijatuhi hukuman
potong tangan apabila ia memenuhi syarat-syarat al-
ahliyyah (kelayakan dan kepatutan) untuk dijatuhi
vonis hukuman potong tangan, yaitu berakal, balig,
melkukan pencurian atas kemauan sendiri (tidak
dipaksa), dan mengetahui bahwa hukum mencuri
adalah haram.
2. Syarat-syarat sesuatu yang dicuri
Ada sejumlah syarat yang harus terpenuhi
dalam sesuatu yang dicuri. Syarat-syarat tersebut
adalah:
a. Sesuatu yang dicuri berupa harta yang memiliki
nilai (al-mal mutaqawwim)
Yang dimaksud dengan memiliki nilai di
sini adalah sesuatu yang harus ditanggung untuk
diganti oleh orang yang merusakkannya ketika
ia melakukan pelanggaran terhadapnya.
Berdasarkan hal itu, maka jika ada seseorang
mencuri bayi yang berstatus merdeka, ia tidak
dijatuhi hukuman potong tangan karena, akan
tetapi ia dijatuhkan hukuman ta’zir karena orang
merdeka bukanlah harta. Begitu juga seandainya
ada seseorang mencuri minuman keras, babi
atau kulit bangkai, maka ia tidak dijatuhi
hukuman potong tangan, karena minuman keras
dan babi bagi seorang muslim tidak memiliki
nilai.
b. Harta yang dicuri harus mencapai batas nisab
pencurian
35
Ibid, Hal.164-165
36
Ibid, Hal.167
37
Ibid, Hal.169
38
Ibid, Hal.170
oleh kelompok separatis) maka ia tidak dikenai
hukuman potong tangan.39
4. Ta’zir
a. Pengertian Ta’zir
Secara bahasa lafaz ta’zir berasal dari kata ‘Azzara yang
sinonimnya artinya mendidik, mengagungkan dan menghormati,
membantunya, menguatkan, dan menolong. Dari keempat pengertian
tersebut, yang paling relevan adalah pengertian pertama yakni
“mencegah dan menolak”, dan pengertian kedua yaitu “mendidik”.
Pengertian ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Abdul Qadir
Audah dan Wahbah Zuhaili.
Ta’zir diartikan mencegah dan menolak hukumia dapat
mencegah pelaku tidak mengulangi perbuatan-perbuatannya. Takzir
diartikan mendidik, dimaksudkan untuk mendidik dan memperbaiki
pelaku agar dia menyadari perbuatan jarimahnya kemudian
meninggalkan dan menghentikannya.
Sedangkan pengertian ta’zir secara istilah sebagai yang telah di
definisan oleh para ulama berikut :
1. Menurut Al-Mawardi
Takzir adalah hukuman bersifat pendidikan atas
perbuatan dosa (maksiat) yang hukumannya belum
ditetapkan oleh syara’.
2. Menurut Wahbah Zuhaili
Takzir menurut syara’ adalah hukuman yang
ditetapkan atas perbuatan maksiat atau jinayah yang tidak
dikenakan hukuman had dan tidak pula kifarat.
3. Menurut Ibrahim Unais dan kawan-kawan
Ta’zir menurut syara’ adalah hukuman pendidikan
yang tidak mencapai hukuman had syar’i.
Dari definisi-definisi yang dikemukakan di atas, jelaslah bahwa
ta’zir adalah suatu istilah untuk hukuman atas jarimah- jarimah yang
hukumannya belum ditetapkan oleh syara’.Istilash ta’zir bisa
digunakan untuk hukuman dan bisa juga untuk jarimah (tindak
pidana).
Dari definisi-definisi tersebut, juga dapat dipahami bahwa
jarimah ta’zir terdiri atas perbuatan-perbuatan maksiat yang tidak
39
Ibid, Hal.171-172
dikenakan hukuman had dan tidak pula kifarat. Dengan demikian, inti
jarimah ta’zir adalah perbuatan maksiat. Dilihat dari segi hak yang
dilanggarnya, jarimah ta’zir dapat dibagi kepada dua bagian, yaitu :
a. Jarimah ta’zir yang menyinggung hak Allah
b. Jarimah ta’zir yang menyinggung hak perorangan
(individu)
40
Sri Yunarti, Fiqh Jinayah, Hal.257-260
41
Sri Yunarti, Fiqh Jinayah, Hal.262-265
1. Sanksi ta’zir yang mengenai badan. Hukuman yang
terpenting dalam hal ini adalah hukuman mati dan jilid.
2. Sanksi yang berkaitan dengan kemerdekaan seseorang,
Sanksi yang terpenting dalam hal ini adalah penjara dengan
berbagai macamnya dan pengasingan.
3. Sanksi ta’zir yang berkaitan dengan harta. Dalam hal ini
yang terpenting di antaranya adalah denda, penyitaan, dan
penghancuran barang.
4. Sanksi-sanksi lainnya yang ditentukan oleh ulul amri demi
kemaslahatan umum.42
5. Pengertian Fikih Siyasah
Fiqh Siyasah merupakan tarkib idhafi atau kalimat majemuk yang
terdiri dari dua kata yaitu kata fiqh dan al-siyâsî. Secara etimologi, fiqh
merupakan bentuk masdhar (gerund) dari tashrifan kata faqiha-yafqahu-
fiqihan yang bermakna faham. Fiqh berarti pemahaman yang mendalam
dan akurat sehingga dapat memahami tujuan ucapan dan atau tindakan
tertentu. Menurut Ulama Ushul, Fiqh secara istilah adalah “Ilmu yang
menerangkan hukum-hukum syara’ amaliah yang digali dari dalil-dalilnya
secara terperinci”.
Siyasah merupakan salah satu cabang ilmu dari fiqh, yang asal
ajarannya dari Alquran dan Hadis yang diposisikan sebagai sumber
doktrin yang aksiomatis, dimana kebenaran-kebenaran yang diyakini,
bukan pernyataan-pernyataan ilmiah. Aksioma ini melahirkan berbagai
penafsiran yang menjadi pengetahuan normatif dalam bentuk fiqh. Dari
ilmu fiqh, lahirlah fiqh siyasah. Secara spesifik, dari fiqh siyasah ini maka
lahirlah berbagai jenis siyasah seperti; Siyasah Dusturiyah yang saling
berkaitan dengan perundang-undangan, Siyasah Maliyah yang berkaitan
dengan ekonomi, Siyasah Dauliyah yang berkaitan dengan hubungan
internasional/kenegaraan.
Adapun pengertian dari fiqh siyasah, Kata siyasah berasal dari kata
“sasa” yang berarti mengatur, mengurus, dan memerintah. Siyasah dapat
juga diartikan sebagai pemerintahan dan politik, sesuatu yang dapat
membuat sebuah kebijakan. Fiqh siyasah atau siyasah syar'iyah sebuah
cabang ilmu yang mempelajari hal ihwal dan keterkaitan pengaturan
urusan umat dan negara dengan segala bentuk hukum, peraturan dan
kebijaksanaan yang dibuat oleh pemegang kekuasaan yang searah dengan
dasar-dasar ajaran atau ruh syariat untuk mewujudkan kemaslahatan
42
Ibid, Hal.266
sebuah umat. Dengan kata lain, fiqh siyasah adalah ilmu tata negara yang
dalam ilmu agama Islam menyusut ke dalam pranata sosial Islam.
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas dapat diringkas menjadi
sebuah kesimpulan bahwa bahwa Fiqh siyasah adalah sebuah disiplin ilmu
yang isinya adalah membahas hukum-hukum pemerintahan dan konsep
menjalankan pemerintahan yang berlandaskan syariat Islam dengan tujuan
memberi kemaslahatan bagi rakyatnya. Fiqh Siyasah merupakan salah satu
aspek hukum Islam yang membicarakan pengaturan dan pengurusan
kehidupan manusia dalam bernegara demi mencapai kemaslahatan bagi
manusia itu sendiri. Dalam fiqh siyasah, ulama mujtahid menggali
sumber-sumber hukum Islam yang terkandung didalamnya dalam
hubungannya dengan kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Sebagai
hasil penalaran kreatif, pemikiran para mujtahid tersebut tidak kebal
terhadap perkembangan zaman dan sangat bersifat terbuka yaitu bisa
menerima perbedaan pendapat dan ada prinsipnya, definisi yang
dikemukakan memiliki persamaan. Siyasah berkaitan dengan mengatur
dan memelihara manusia dalam hidup bermasyarakat dan bernegara
dengan membimbing mereka menuju kemaslahatan dan menjauhinya dari
kemudharatan.43
6. Ahl Al-Hall Wa Al-‘Aqd
a. Pengertian Ahl Al-Hall Wa Al-‘Aqd
Ahl al-hall wa al-ahkam al-jinayah 'aqd secara bahasa adalah
orang-orang yang mempunyai wewenang untuk melonggarkan dan
mengikat (Ahlu adalah orang yang berhak) yang memiliki, hallu
adalah melepaskan, menyesuaikan, memecahkan, dan aqdi adalah
mengikat, mengadakan transaksi, dan membentuk). Istilah ini
dirumuskan oleh ulama fikih untuk sebutan bagi orang-orang yang
bertindak sebagai wakil umat (misalnya di parlemen) untuk
menyuarakan hati nurani mereka. Tugasnya antara lain, memilih
khalifah, imam, kepala negara secara langsung dan mengadakan
pengawasan terhadap jalannya roda pemerintahan.
Dengan kata lain, ahlu al-halli wa al-aqdi adalah orang-orang
yang berkecimpung langsung dengan rakyat yang telah memberikan
kepercayaan kepada mereka. Mereka menyetujui pendapat wakil-wakil
itu secara ikhlas, konsekuensi, takwa, adil, dan kecemerlangan pikiran
serta kegigihan mereka di dalam memperjuangkan kepentingan
rakyatnya.
43
Syaiful Amri, Fiqih Siyasah, Hal.1-2
Ahl al-hall wa al-'aqd ini merupakan suatu lembaga pemilihan.
Orang-orangnya berkedudukan sebagai wakil-wakil rakyat dan salah
satu tugasnya memilih khalifah atau kepala negara. Pembentukan ahl
al-hall wa al- 'qadi ini dipandang perlu dalam pemerintahan Islam
karena banyaknya permasalahan kenegaraan yang harus diputuskan
secara bijak dan pandangan yang cerdas dan tajam sehingga mampu
menciptakan kemaslahatan umat Islam yang baik.
Dalam sejarah Islam, pembentukan lembaga Ahl al-Hall wa al-
Aqdi pertama sekali dilakukan oleh pemerintahan Bani Umayyah di
Andalusia (Spanyol), Khalifah al-Hakam II (961-976 M) membentuk
Majelis Asy-Syurah yang beranggotakan pembesar-pembesar negara
dan sebagian lagi pemuka masyarakat. Kedudukan Majelis Syura ini
setingkat dengan pemerintah. Khalifah sendiri bertindak langsung
menjadi ketua lembaga tersebut. Majelis inilah yang melakukan
musyawarah dalam masalah-masalah hukum dan membantu Khalifah
melaksanakan pemerintahan negara.
Alasan terbentuknya Ahl a-Hall wa al-Aqdi dikarenakan
sebagai berikut. yaitu:
1. Rakyat secara keseluruhan tidak mungkin dilibatkan untuk
diminta pendapatnya, maka harus ada kelompok
masyarakat yang dapat diaiak musyawarah dalam
menentukan kebijaksanaan pemerintahan dan pembentukan
perundang-undangan.
2. Rakvat secara individu tidak mungkin dikumpulkan untuk
melakukan musyawarah di suatu tempat, apalagi di antara
mereka pasti ada yang tidak mempunyai pandangan yang
tajam dan tidak berpikir kriris. Tentunya, mereka tidak
mampu mengemukakan pendapat dalam musyawarah.
3. Musvawarah harus bisa dilakukan jika jumlah pesertanya
terbatas sebab kalau seluruh rakyat dikumpulkan di suatu
tempat untuk melakukan musyawarah dipastikan
musyawarah tersebut tidak terlaksana.
4. Kewajiban amar maruf dan nahi mungkar hanya bisa
dilakukan jika ada lembaga yang berperan untuk menjaga
kemaslahatan antara pemerintah dan rakyat.
5. Kewajiban taat kepada ulul amri baru mengikat jika
pemimpin itu dipilih lembaga musyawarah.
6. Ajaran Islam sendiri yang menekankan perlunya
pembentukan Lembaga Permusyawaratan sebagaimana
terdapat dalam surah asy-Syuura (42) ayat 38 dan Surah Ali
Imran (3) ayat 159.
Al-Mawardi dalam kitab Magnum Opusnya Ahkam as-
Sultaniyah berpendapat bahwa sebutan lain dari ahl al-hall wa al-aqd
adalah ahl al-ikhtiyar yaitu orang-orang yang berwenang memilih
imam dari sejumlah calon imam yang memenuhi persyaratan. Anggota
ahl al-ikhtiyar ini yang tidak ditentukan berapa besar jumlahnya, tetapi
harus memenuhi beberapa persyaratan:
a. Adil.
b. Memiliki ilmu pengetahuan yang memungkinkannya untuk
mengetahui siapa yang memenuhi syarat nenjadi imam.
c. Mempunyai kearifan dan wawasan yang luas sehingga
nemungkinkannya memilih siapa yang dipandang paling
tepat untuk menjadi imam.
Adapun hak ahl halli wa al-aqdi ini adalah:
1. Dalam kedudukannya sebagai anggota masyarakat, ia
mempunyai hak yang sama dengan anggota masyarakat
lainnya.
2. Dalam kedudukannya sebagai anggota majelis, ia
mendapatkan hak-hak tertentu, antara lain:
a. Mendapatkan fasilitas yang wajar sesuai dengan
kedudukannya sebagai anggota majelis. Misalnya,
menempati majelis, rumah jabatan yang dekat dengan
tempat bertugas, alat transportasi yang mempercepat
sampai ke tempat tugas dan lain-lain.
b. Mendapatkan jasa penghidupan dari majelis karena
mustahil dapat melaksanakan tugasnya dengan baik jika
ia tidak mendapatkan apa-apa dari majelis.
c. Mendapatkan pengamanan dari negara karena ia adalah
orang penting yang melaksanakan aspirasi rakyat.
Setelah mengetahui hak dari majelis ini, maka mereka juga
mempunyai kewajiban sebagai berikut:
1. Mengangkat dan memberhentikan khalifah (kepala negara).
2. Mengemban amanat seluruh rakyat, menghasilkan beberapa
aspek positif yang bermanfaat bagi penguasa dan rakyat itu
sendiri.
3. Bersama khalifah membuat undang-undang yang berisikan
Amar ma'ruf dan nahi mungkar bagi semua pihak dan
menitikberatkan pada mashlahat umat.
4. Menetapkan anggaran belanja negara dengan lebih
memperhatikan kepentingan rakyat banyak. Sebagai bahan
pertimbangan rancangan anggaran belanja itu diajukan oleh
khalifah.
5. Merumuskan gagasan yang dapat mempercepat tercapainya
tujuan bernegara sambil menjalankan fungsi pengawasan
sosial terhadap penguasa.
6. Mengolah data-data, baik dari petugas khusus atau
langsung dari rakyat sendiri. Setiap kasus dan keluhan
rakyat harus segera ditanggapi dan ditangani secara khusus.
7. Menetapkan/merumuskan garis-garis besar program yang
akan dilaksanakan khalifah.
8. Hadir pada setiap saat dilaksanakannya sidang.
9. Turun ke daerah-daerah untuk meninjau pelaksanaan
program pemerintah dan mendapat data-data kehidupan
yang sebenarnya pada rakyat banyak.
10. Mengawasi jalannya pemerintahan.
Setelah mengetahui hak dan kewajiban ahl al-hall wa al-aqdi
secara umum, maka dapat diambil beberapa hikmah akan keberadaan
lembaga ini di suatu negara, antara lain:
a. Dapat mengurangi kemungkinan terjadinya kesalahan, baik
dalam merencanakan, merumuskan maupun melaksanakan
sesuatu karena mendapat orang banyak lebih mendekati
kebenaran daripada putusan perorangan.
b. Dapat memilih dan mengangkat pemimpin negara yang
tepat dan sesuai dengan aspirasi rakyat.
c. Menghindari perpecahan, permusuhan, dan pertentangan
dalam masyarakat.
d. Dapat menyadarkan manusia akan dirinya yang begitu
lemah dan mempunyai sifat ketergantungan kepada orang
lain.
e. Menghasilkan keputusan adil, lengkap, dan dapat
dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
f. Dapat melaksanakan perintah Allah SWT dan Rasul-Nya
mengenai musyawarah.
g. Dapat mengurangi atau menghilangkan keluh-kesah yang
mendorong pada penyelewengan akibat pikiran yang
kurang jernih.
h. Dapat mengikat persatuan dan keadilan sebab di antara
anggota majelis ada yang bersifat keras, lemah, emosional
dan hati-hati.
i. Dapat melahirkan rasa tanggung-jawab bersama.
Al-Mawardi menambahkan bahwa ahl al-ikhtiyar harus ini
mengetahui dengan benar persyaratan calon imam agar tidak terjadi
kekeliruan yaitu:
1. Bersifat adil dengan segala syarat yang berkaitan dengan
itu.
2. Berpengetahuan luas yang memungkinkannya dapat
mengadakan pertimbangan yang bijaksana dan berijtihad.
3. Sehat pendengaran, penglihatan, dan lisan.
4. Integritas organ fisik sehingga ia dapat bergerak dengan
bebas dan tepat.
5. Wawasan yang memadai untuk memperlancar urusan
kemasyarakatan.
6. Memiliki keberanian dan kekuatan agar dapat melindungi
dan mempertahankan negara dan menyingkirkan musuh.
7. Berasal dari keturunan suku Arab Quraisy.
Syarat terakhir (nomor tujuh) ini yang dikemukakan al-
Mawardi ditolak oleh Ibnu Taimiyah sebab sangat bertentangan
dengan semangat egalitarian (prinsip kesamaan) yang diajarkan Islam.
Suatu doktrin bahwa seorang imam tersebut haruslah dari keturunan
suku Quraisy hanya berlaku pada periode Khulafa' ar-Rasyidin yaitu
Khalifah Abu Bakar as-Siddiq, Khalifah 'Umar, Khalifah 'Usman, dan
Khalifah 'Ali.
Setelah terpilihnya imam dari berbagai macam proses seleksi
ketat, maka diadakanlah bai'ah, Artinya, dalam bai'ah terjadi
penyerahan hak dan pernyataan ketaatan atau kewajiban pihak pertama
secara sukarela kepada pihak kedua, pihak kedua juga punya hak dan
kewajiban atas pihak pertama yang diterimanya. Jadi, pelaksanaan hak
dan kewajiban antara kedua pihak berlangsung secara timbal balik.
Bai'ah tersebut dapat dianalogikan dengan teori kontrak sosial'
dalam ilmu politik. Teori ini mnenyatakan bahwa seseorang atau
sekelompok manusia menyerahkan hak kekuasaan dirinya kepada
seseorang atau kepala lembaga yang disepakati. Implikasi teori ini
adalah sumber kedaulatan negara berasal dari rakyat dan memperoleh
legitimasi melalui Trak sosial antara dua pihak.44
C. KESIMPULAN
Fiqih Jinayah adalah berbagai ketentuan hokum tentang perbuatan-
perbuatan kriminal yang dilakukan orang-orang mukallaf, sebagai hasil
pemahaman atas dalil-dalil yang terinci, Menurut istilah fiqih jinayah adalah
pelanggaran yang dilakukan oleh seseorang terhadap hak Allah atau larangan
Allah, hak-hak manusia dan hak binatang dimana orang yang melakukan
wajib mendapat/diberi hukuman yangsesuai baik dunia maupun akhirat.
Dari paparan singkat tentang fiqh siyasah tergambar bahwa siyasah
adalah perbuatan kebijakan yang diwujudkan dalam pengaturan, serta
dilaksanakan dan diawasi untuk meraih sebanyak mungkin kemaslahatan bagi
umat manusia. Oleh karena itu, di dalamsiyasah selalu diupayakan jalan-jalan
menuju kemaslahatan dan selalu ditutup dan dihindarkan jalan-jalan yang
mengarah kepada kemafsadatan.
44
Nurhayati, Ali Imra n Sinaga, Hal.192-197
DAFTAR PUSTAKA