DESENTRALISASI
Pelepasan tanggung jawab yang berada dalam
lingkungan pemerintah pusat ke instansi vertikal
di daerah atau ke pemerintah daerah.
TIGA VARIASI desentralisasi fiskal
dalam kaitannya dengan derajat DELEGASI
kemandirian pengambilan Berhubungan dengan suatu situasi, yaitu daerah
keputusan yang dilakukan bertindak sebagai perwakilan pemerintah untuk
daerah. melaksanakan fungsi-fungsi tertentu atas nama
(Bird dan Vaillancourt, 2000) pemerintah.
DEVOLUSI
Berhubungan dengan suatu situasi yang bukan
saja implementasi tetapi juga kewenangan untuk
memutuskan apa yang perlu dikerjakan, berada di
daerah.
Dr. Boediarso Teguh Widodo, M.E ©2020 4
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN
DELEGASI
Suatu situasi yang secara lebih persis diwakili oleh model
hubungan bohir-rekanan (principal–agent), yang pada prinsipnya
berisikan pemikiran bahwa jenjang pemerintahan yang lebih
tinggi memilih untuk mencapai tujuan-tujuan alokatifnya dengan
Desentralisasi lebih efisien melalui penyerahan fungsi-fungsi pengeluaran dan
pembiayaan ke pemerintah-pemerintah subnasional dan lokal,
(Bird, 1995) dengan meyakini bahwa pihak yang terakhir akan melaksanakan
komitmen-komitmen pengeluaran mereka, dalam rambu-rambu
kebijakan pemerintah pusat
DEVOLUSI
Desentralisasi fiskal yang tidak hanya menurunkan jenjang
kewenangan untuk melaksanakan penugasan-penugasan
pengeluaran (yang mereka miliki juga dalam pola delegasi), tetapi
juga, yang jauh lebih penting, kontrol mereka atas keputusan-
keputusan yang terkait dengan fungsi-fungsi pengeluaran
mereka.
Dr. Boediarso Teguh Widodo, M.E ©2020 5
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN
Memberikan bukti empiris dari sejumlah negara yang mendukung pendapat bahwa
Campbell, Peterson, PELAYANAN MASYARAKAT SETEMPAT YANG DIKONTROL DAERAH
dan Brakarz, (1991) CENDERUNG DAPAT DILAKUKAN DENGAN BIAYA LEBIH RENDAH
dibandingkan bila dilakukan oleh pemerintah.
Bird dan Walaupun desentralisasi diterapkan dengan format yang sama, dapat saja memberikan hasil
Vaillancourt, (2000). yang berbeda, tergantung pada besar kecilnya perbedaan kondisi diantara negara-negara
tersebut
Hayek (1945), Tiebout Menyimpulkan bahwa desentralisasi fiskal dapat meningkatkan efisiensi
(1956), dan Musgrave pelayanan publik melalui pemilihan preferensi dan efisiensi alokasi.
(1969)
Memberitahu kepada para kreditur secara eksplisit agar tidak mengharapkan jaminan dari
pemerintah pusat;
Mengenakan batasan yang lugas atas pinjaman daerah – sebagai satu-satunya cara untuk
mengurangi risiko moral – jika pemerintah daerah tidak mampu menyelamatkan diri dari
krisis fiskal melalui kekuatan perpajakan yang dimiliki;
Tidak mengendurkan aturan-aturan pinjman daerah jika kepemilikan lokal atas basis (obyek)
pajak tidak dapat diperluas melewati batasan sempit.
Mewajibkan pinjaman daerah digunakan untuk pembiayaan investasi pembangunan, dan pinjaman
untuk tujuan-tujuan lain tidak boleh disetujui, tidak peduli betapa besar manfaatnya.
Dr. Boediarso Teguh Widodo, M.E ©2020 20
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN
Daerah dapat dan seharusnya melaksanakan aneka ragam pelayanan masyarakat lokal TANPA ARAHAN DAN
KONTROL YANG KETAT DARI PUSAT. Agar mereka dapat mengerjakan hal tersebut secara efektif, perhatian
khusus harus difokuskan pada tiga aspek desentralisasi yang rawan dan sering terabaikan:
(1) Membangun kebijakan staffing (SDM) yang andal, termasuk pengintegrasian SDM_SDM dari jenjang
pemerintahan lainnya yang seringkali sangat memungkinkan, tanpa meningkatkan gaji mereka atau menurunkan
standar pelayanan;
(2) MENGIMPLEMENTASIKAN SISTEM INFORMASI LAPORAN KEUANGAN DAN AKUNTANSI
YANG BAIK untuk memperkuat akuntabilitas kepada masyarakat daerah dan memberdayakan pemerintah pusat
dalam memonitor dan mengevaluasi proses desentralisasi;
(3) MENYEDIAKAN DUKUNGAN TEKNIS YANG MEMADAI untuk sekaligus dua butir terdahulu dan untuk
hal-hal seperti pembangunan proyek, kontrak, dan pengadaan.
Jika pelayanan-pelayanan penting harus disediakan melalui pemerintahan yang terdesentralisir, maka
perhatian khusus harus diberikan kepada:
(a) Mengupayakan adanya harga yang sesuai bagi para penyedia (misalnya, melalui sistem transfer
dengan pola dana pendamping yang dirancang dengan baik);
(b) Merancang sistem informasi dan inspeksi yang memadai agar pelayanan-pelayanan yang
dikehendaki benar-benar disalurkan ke kelompok sasaran yang tepat;
(c) Melengkapi sistem-sistem tertentu (seperti peralatan “fail-safe” yang diorganisasikan secara
nasional) untuk mengatasi pihak-pihak yang tidak taat, tanpa perlu menghukum yang tidak
bersalah.
Penerimaan pajak harus dapat menutupi kebutuhan lokal dan bersifat dinamis (yaitu,
dapat dikembangkan paling tidak sama cepatnya dengan peningkatan kebutuhan);
Penerimaan pajak harus relatif stabil dan relatif dapat diproyeksikan dengan baik;
Ketika struktur federal dikehendaki secara politis sebagai perekat suatu negara, perhatian
utama dalam merancang hubungan-hubungan fiskal antarpemerintahan adalah
SEBERAPA JAUH HAL-HAL INI MEMBERIKAN KONTRIBUSI (ATAU TIDAK)
TERHADAP STABILITAS POLITIK (Breton, 1996).
Kedua model desentaralisasi fiskal dapat diterapkan pada negara-negara maju, berkembang dan
transisi. Sebagian besar negara-negara berkembang, kecuali India dan Brasil termasuk dalam
pendekatan “trandisional federalisme fikal” (Bird, 1993), sedangkan Pakistan, Argentina dan Afrika
Selatan sesuai teori “fiskal federal, desentralisasi fiskal”, walaupun dalam praktek lebih tepat
dikategorikan “sentralisasi fiskal, federalisme fiskal”.
Dr. Boediarso Teguh Widodo, M.E ©2020 35
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN
Transfer ke Daerah dan Dana Desa merupakan salah satu instrumen kebijakan fiskal sangat
strategis dalam penguatan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Oleh karena itu, Transfer Ke
Daerah dan Dana Desa menjadi salah satu unsur atau komponen belanja APBN. Dalam istilah yang
lain, Transfer ke Daerah dan Dana Desa adalah instrumen menjaga dan mempertahankan keutuhan
NKRI atau alat strategis perekat semua daerah dalam NKRI.
Dr. Boediarso Teguh Widodo, M.E ©2020 37
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN
PENGALAMAN PELAKSANAAN
DESENTRALISASI FISKAL DI NEGARA LAIN
IMPLEMENTASI DESENTRALISASI
FISKAL DI INDONESIA
Desentralisasi fiskal di Indonesia pada dasarnya tidak pada desentralisasi di sisi pendapatan (revenue
assignment), terutama karena kewenangan pajak pemerintah pusat masih sangat sentralistik. Hal ini
disebabkan pemerintah pusat masih menguasai pajak dengan basis yang besar. Sementara itu, pajak
yang dikelola oleh pemerintah daerah kabupaten dan kota saat ini adalah pajak yang relatif kecil dan
belum memberikan kontribusi berarti pada Anggaran dan Pendapatn Belanja Daerah (APBD).
Menurut Bird dan Vaillancourt (1998) dalam Brodjonegoro (2000), resiko dari jenis desentralisasi tipe
ini adalah berdampak pada ketidak mampuan pemerintah daerah kabupaten dan kota untuk
memberikan pelayanan dengan kuallitas yang seharusnya dikarenakan kurangnya pendanaan
pemerintah daerah.
45
Dr. Boediarso Teguh Widodo, M.E ©2020
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN
Sumber: Kurniawan, Dhani (2015)., Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal Di Indonesia
POKOK-POKOK PEMERINTAHAN DI
UU UU PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA NEGARA
5 32 DENGAN DAERAH-DAERAH, YANG BERHAK
DAERAH 1974 1956 MENGURUS RUMAH-TANGGANYA SENDIRI
UU
PEMERINTAHAN DAERAH 22 UU PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA
1999 25 PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH
1999
UU
PEMERINTAHAN DAERAH 32 UU PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA
2004 33 PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN
2004 DAERAH
Ekonomi Fiskal
• Desentralisasi
§ Expenditure assignment.
ekonomi di daerah
sebagai pusat § Financing assignment
pertumbuhan § Revenue assignment.
Dr. Boediarso Teguh Widodo, M.E ©2020 49
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN
KERANGKA DASAR DESENTRALISASI DI INDONESIA MENURUT UUD 1945 (4):
IMPLEMENTASI OTONOMI DAERAH & DESENTRALISASI FISKAL
K L A S I F I K A S I U R U S A N P E M E R I N TA H A N
URUSAN
ABSOLUT KONKUREN
PEMERINTAHAN UMUM
Jenis PDRD Ditetapkan UU dan 9 jenis pajak ditetapkan 11 jenis pajak & 27 jenis 16 jenis pajak & 32 jenis retribusi
dapat menambah jenis UU & 30 jenis retribusi retribusi sesuai UU dan sesuai UU, diperkenalkan pajak baru
PDRD sesuai dengan ditetapkan PP dapat menambah jenis (PBB-P2, BPHTB, Pajak Sarang
kriteria PDRD sesuai dengan Burung Walet, dan Pajak Rokok)
kriteria
Peran Raperda provinsi Raperda provinsi dan Perda provinsi dan kab./kota Pengesahan raperda provinsi oleh
Pemerintah disahkan oleh Presiden kab./kota disampaikan diserahkan kepada Kemendagri dan raperda kab./kota
Pusat/ dan raperda kab./kota kepada Mendagri untuk pemerintah pusat dalam oleh provinsi dengan pertimbangan
Provinsi oleh Gubernur disahkan/dikelola atau rangka pengawasan Menkeu
penyempurnaan dengan
pertimbangan Menkeu
Capaian Rata-rata peranan Rata-rata peranan PDRD Rata-rata peranan PDRD Rata-rata peranan PDRD dalam APBD
PDRD dalam APBD dalam APBD untuk dalam APBD untuk untuk Provinsi: 41,5% dan
untuk Provinsi: Provinsi: 31,5%, Provinsi: 38,58%, Kab/Kota: 9,7%
17,4%, Kab/Kota: Kab/Kota: 8,13% Kab/Kota: 5,34%
7,2%
Berhasil memperkuat LOCAL
TAXING POWER
Permasa- § Pungutan tidak Peranan PDRD dalam § Pengendalian pungutan § Basis pajak daerah masih terbatas
lahan dan terkendali shg APBD masih sangat sulit dilakukan (terbit § Struktur pajak daerah kurang
Tantangan menimbulkan biaya rendah, khususnya di ribuan perda tentang optimal dan retribusi daerah
ekonomi tinggi kab./kota PDRD) kurang rasional
§ Jenis PDRD § Peranan PDRD dalam § Administrasi perpajakan daerah
banyak (40 jenis APBD masih sangat masih lemah
pajak & 130 jenis rendah
retribusi), namun
hasil©2020
tidak
54
Dr. Boediarso Teguh Widodo, M.E
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN
INSTRUMEN DESENTRALISASI FISKAL (2):
KONTRIBUSI PERPAJAKAN DAN RETRIBUSI DAERAH TERHADAP APBD
PROVINSI
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
100%
50,4% 52,3% 53,0% 59,2% 49,8% 41,4%
Sejak Total PDRD
50% 7,4% 7,3% 7,2% 8,2%
6,5%
52,7 52,8 63,9 87,4 104,8 125,2 151,0 158,5 161,2 180,5 7,5%
diimplementasikannya 42,2% 40,4% 39,8% 33,3% 41,9% 52,1%
UU 28/2009, besaran 0%
168,8 2012 2013 2014 2015 2016 2017
dan kontribusi dari ( Rp triliun)
151,5 PDRD
PDRD telah meningkat 138,8
147,8
Lain-Lain PAD
secara signifikan dari 115,5
Dana Perimbangan + Lain-lain Pendapatan
Rp13,0 triliun atau
11,9% dari pendapatan 95,1 KAB/KOTA
daerah pada tahun 2001 79,3 6,4% 7,3% 8,4% 8,8% 8,0% 9,0%
100% 3,5% 3,6% 4,1% 5,9% 5,8% 6,7%
menjadi Rp180,5 56,2
59
Dr. Boediarso Teguh Widodo, M.E ©2020