Anda di halaman 1dari 12

Perkembangan Pengaturan Format Dekonsentrasi di Indonesia( Dinoroy Marganda )

PERKEMBANGAN PENGATURAN
FORMAT DEKONSENTRASI DI INDONESIA
(THE EVOLUTION OF DECONCENTRATION
FORM ARRANGEMENTS IN INDONESIA)

Dinoroy Marganda Aritonang


Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi LAN Bandung
Jl. Cimandiri No. 34-38 Bandung Indonesia
Email: dinoroy.aritonang@gmail.com
(Naskah diterima 16/03/2017, direvisi 15/05/2017, disetujui 22/05/2017)

Abstrak
Pelaksanaan dekonsentrasi telah berlangsung lama di Indonesia. Hal itu dapat dilihat dari beberapa praktik
pemerintahan yang terjadi seperti adanya peran ganda terhadap Gubernur sebagai perwakilan pemerintah pusat/
kepala wilayah dan kepala daerah otonom, penerapan konsep wilayah adminstrasi, dan keberadaan instansi
vertikal sebagai kantor cabang kementerian negara. Dalam rejim Orde Baru, melalui Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, dekonsentrasi amat dominan dalam menentukan
sinergi hubungan pusat dan daerah. Namun, saat ini, dengan berakhirnya rejim tersebut, dekonsentrasi
tampaknya hanya sebagai perangkat pelengkap untuk mendukung pelaksanaan desentralisasi yang luas.
Kata kunci : dekonsentrasi, prinsip, format, desentralisasi.

Abstract
Deconcentration policy has long been applied in Indonesia. It can be seen from several practices such as the dual
role of governor as a representative of central government/territory officials and head of autonomous region, the
existence of administrative area concept, and the establishment of vertical institutions as regional branch offices
of central ministry. In New order regime, by Law No. 5/1974, deconcentration was very dominant to determine the
synergy of centraland local relationship. But, currently, when the regime came to an end, deconcentration seems
only to be a complementary device to support the extensive decentralization process.
Keywords: deconcentration, principle, forms, decentralization.

A. Pendahuluan
Salah satu persoalan yang cukup pelik dalam juga memiliki banyak keterbatasan. Diperlukan
konteks penyelenggaraan pemerintahan yaitu instrumen manajemen pemerintahan yang
bagaimana mengusahakan agar penyelenggaraan mampu menyeimbangkan proses desentralisasi
pemerintahan sinergis antara pusat dan dengan peran sentral pemerintah pusat2 , salah
daerah. Salah satunya adalah bagaimana satunya melalui format dekonsentrasi.
mengkombinasikan prinsip desentralisasi Penyelenggaraan urusan pemerintahan di
dengan prinsip efektifitas dalam penyelenggaraan daerah melalui kebijakan dekonsentrasi sudah
pemerintahan.1 Era demokratisasi (terutama dilakukan jauh sebelum rejim Undang-Undang
di Indonesia) saat ini menghendaki pemberian Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
otonomi yang lebih luas bagi pemerintahan Daerah berlaku. Bahkan pada saat rejim
daerah, sehingga kewenangan pemerintah pusat Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
harus dibagi. Pemerintahan Daerah yang dipandang amat
Di sisi lain, pemerintah menyadari bahwa desentralistik, dekonsentrasi juga digunakan.
penyelenggaraan pemerintahan tidak dapat Praktik penyelenggaraan di jaman orde baru
semua diserahkan kepada daerah, sebab daerah (melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974
1 Cheema, G. Shabbir et al., 2007. Decentralizaing Governance: Emerging Concepts and Practices, Brookings Institution Press,
Washington D.C., hlm. 1.
2 Utomo, Tri Widodo Wahyu, 2015. Relevansi Dekonsentrasi di Era Desentralisasi: Sebuah Studi Efektifitas Manajemen dalam Program
Dekonsentrasi Bidang Sosial, Disertasi, FISIP Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hlm. 4.

199
Vol. 14 No. 02 - Juni 2017 : 199 - 210

tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah), pendelegasian (decentralization by delegation),


dekonsentrasi dipandang sebagai instrumen dan desentralisasi melalui devolusi (decen
utama. Karakter dekonsentrasi menjadi amat tralization by devolution).5
kental di daerah, sehingga aspek desentralisasi Menurut Litvack6, dekonsentrasi dilakukan
atau otonomi seperti terabaikan dan daerah ketika pemerintah pusat memberikan tanggung
menjadi tidak berkembang dan mandiri. jawab untuk urusan tertentu kepada kantor
Tulisan ini dimaksudkan untuk menganalisis cabangnya di daerah (regional branch offices).
dan mendiskripsikan bagaimana pola Pemberian urusan tersebut tidak melibatkan
dekonsentrasi yang pernah diterapkan di transfer kewenangan (authority) kepada lembaga
Indonesia serta bagaimana pola perubahan atau dibawahnya. Bentuk desentralisasi yang
perkembangannya. biasanya terjadi (pada tahap awal) di dalam
Negara kesatuan (unitary state) sebenarnya
B. Pembahasan
berbentuk dekonsentrasi. Kedudukan dari
B.1.
Pola Penyelenggaraan Urusan kantor-kantor cabang pemerintah pusat di
Pemerintahan daerah dibangun dengan tujuan untuk menjamin
Penyelenggaraan urusan pemerintahan dan meningkatkan efisiensi dan efektifitas dalam
pada dasarnya dilakukan melalui dua tingkat hal pemberian pelayanan publik.
pemerintahan, pemerintah pusat dan pemerintah Sebaliknya, isu utama dari konsep
daerah. Setiap institusi pemerintahan tersebut delegasi dan devolusi terkait pada bagaimana
memiliki peranan masing-masing dalam ruang menyeimbangkan antara kepentingan pusat dan
lingkup dan skala yang berbeda. Perkembangan daerah. Delegasi merujuk kepada kondisi dimana
jenis urusan dan persoalan publik pada saat pemerintah pusat mendelegasikan kewenangan
ini memaksa pemerintah untuk memberi untuk membuat kebijakan dan sebagian
keterlibatan yang lebih luas bagi masyarakat, urusan administrasi publik pada pemerintah
dunia usaha, atau bahkan dunia internasional daerah atau badan semi-otonom yang tidak
dalam penyediaan pelayanan publik.3 Untuk sepenuhnya dikontrol oleh pemerintah pusat
melaksanakan hal tersebut mutlak diperlukan tetapi tetap bertanggung jawab sepenuhnya pada
pembagian tugas dan fungsi penyelenggaraan pemerintah pusat. Organisasi yang termasuk
urusan pemerintahan yang demokratis. dalam bagian delegasi mempunyai kewenangan
Namun demikian, format yang digunakan amat bebas dalam pembuatan kebijakan (discretion
tergantung dari pilihan politik dan pendekatan in decision making). Bentuk desentralisasi ini
yang digunakan.4 dapat dikarakteristikkan sebagai hubungan
Pendelegasian urusan pemerintahan secara prinsip dan agen (principal-agent relationship),
desentralisasi pada dasarnya melibatkan dengan pemerintah pusat sebagai “principal”
adanya transfer terhadap kewenangan politik, (yang memiliki kewenangan asli) dan pemerintah
administrasi, dan keuangan dari pemerintah daerah sebagai “agen”. Dalam perspektif ini, isu
pusat kepada lembaga pemerintah daerah atau utama kelembagaannya adalah memastikan
dibawahnya. Transfer tersebut menghendaki bahwa “agen” dapat melaksanakan kewenangan
adanya kedudukan yang hierarkis di antara yang didelegasikan kepadanya, sedapatnya,
tingkat pemerintahan daerah. Sedangkan bentuk- sesuai dengan keinginan atau kebijakan dari
bentuk dari desentralisasi dapat dibedakan “principal”.7
menjadi 3 (tiga) bentuk yaitu desentralisasi Konsep Devolusi (devolution), merupakan
melalui dekonsentrasi (decentralization by bentuk desentralisasi yang lebih luas, yang
deconcentration), desentralisasi melalui berarti kondisi dimana pemerintah pusat

3 Cohen, John M. & Stephen B. Peterson, 1999. Administrative Decentralization: Strategies for Developing Countries, Kumarian Press,
Connecticut, hlm. 52-53.
4 Fesler, James W., Agustus 1965, “Approaches to the Understanding of Decentralization”, The Journal of Politics, Vol. 27, No. 3, hlm.
536-566
5 Katorobo, James, 2005, “Decentralization and Local Autonomy for Participatory Democracy”, 6th Global Forum on Reinventing
Government Towards Participatory and Transparent Governance, Seoul.
6 Litvack, Jennie, et al., 1998. Rethinking Decentralization in Developing Countries, IBRD, Washington D.C., hlm. 12.
7 Ibid.

200
Perkembangan Pengaturan Format Dekonsentrasi di Indonesia( Dinoroy Marganda )

memberikan kewenangan untuk membuat Cheema dan Rondinelli13 menyatakan bahwa


kebijakan, mengelola keuangan, dan administrasi dekonsentrasi merupakan pelibatan redistribusi
kepada unit semi-otonom dari pemerintahan pertanggungjawaban administrasi (administrative
daerah. Devolusi biasanya merupakan transfer responsibility) hanya dalam lingkup pemerintah
tanggung jawab untuk urusan tertentu kepada pusat. Seringkali dekonsentrasi hanya dimaknai
kota/kabupaten. Kota/kabupaten berhak untuk
sebagai pergeseran beban kerja (shifting of
menyelenggarakan pemilihan umum untuk
workload) dari pemerintah pusat (melalui
memilih kepala daerah dan DPRD-nya sendiri.
kementerian-kementeriannya) atau kantor
Selain itu, juga berhak untuk menggali sumber-
pusat agensi (agency headquarters) kepada staf
sumber keuangan di daerah dan memiliki
lapangannya yang berada di daerah tanpa adanya
kewenangan yang independen untuk membuat
kebijakan dalam bidang investasi di daerah. transfer kewenangan dalam hal pengambilan
Dalam sistem devolusi, daerah juga memiliki batas keputusan secara mandiri atau diskresi.
wilayah yang jelas dimana pemerintahan daerah Salah satu fungsi dekonsentrasi menurut
memiliki kewenangan untuk menyelenggarakan Smith14 yaitu untuk mengurangi pergolakan-
fungsi-fungsi pemerintahan.8 pergolakan daerah (forces of localism) dan
Ketiga konsep tersebut dapat dilaksanakan mengusahakan keseragaman dalam pengambilan
secara bersamaan dengan mempertimbangkan keputusan di seluruh wilayah Negara. Hal
keunggulan dan kelemahannya. Jika kebijakan tersebut berbeda dengan political decentralization
dekonsentrasi yang diutamakan, maka bisa yang didesain untuk merefleksikan berbagai
dilakukan dengan menyusun standar nasional keberagaman karakteristik persoalan dan
terkait dengan penanganan urusan pemerintahan
kebutuhan daerah.
yang berskala nasional dan secara bersamaan
melakukan penyesuaian juga dengan kebutuhan Dekonsentrasi dapat dipandang sebagai
tertentu dari daerah.9 perluasan kedudukan dari negara dimana
pemerintah dapat mengelaborasi kepentingan
B.2. Pola dan Persoalan Dekonsentrasi nasional dan juga kepentingan masyarakat lokal
Dalam praktik internasional yang banyak dalam hal penyediaan pelayanan publik yang lebih
dikutip. Konsep desentralisasi lebih luas yang efisien.15 Namun, dampak negatifnya adalah jika
mencakup subkonsep devolusi, dekonsentrasi, sistem dekonsentrasi menjadi instrumen yang
delegasi, dan privatisasi.10 Penerapannya justru utama dalam menjamin stabilitas dan kesatuan
berbeda di Indonesia, dimana desentralisasi
nasional, hal tersebut dapat berdampak pada
dimaknai lebih sempit yaitu hanya devolusi.
kecenderungan terjadinya absolutisme dan
Sedangkan subkonsep lain bukan merupakan
eksploitasi. 16
desentralisasi melainkan konsep yang terpisah.
Menurut Cheema dan Rondinelli17 ada
Dekonsentrasi sebagai salah satu
subkonsep desentralisasi sering disebut dua tipe kelembagaan dalam melaksanakan
sebagai administrative decentralization atau dekonsentrasi, yaitu melalui field administration
bureaucratic decentralization11 Sedangkan Smith dan local administration. Field administration
menyebutnya sebagai perwujudan dari “local menggambarkan tingkat dekonsentrasi yang
and regional administrative organization” atau paling tinggi dibandingkan local administration.
field administration.12 Field administration diwakili oleh keberadaan

8 Ibid., hlm. 13.


9 Porter, David O., et al., January - February 1976, “Some Critical Issues in Government Centralization and Decentralization”, Public
Administration Review, Vol. 36, No. 1, hlm. 75.
10 Hoessein, Bhenyamin, 2008, “Format Dekosentrasi and Desentralisasi dalam Memperkokoh Negara Kesatuan Republik Indonesia”,
Orasi Ilmiah, STIA LAN Bandung, Bandung, hlm. 2.
11 Ibid.
12 Smith, B.C., 1985. Decentralisation: The Territorial Dimension of the State, Allen & Unwin, London.
13 Cheema, G. Shabbir dan Dennis A. Rondinelli, 1983. Decentralization and Development: Policy Implementation in Developing
Countries, Sage, California, hlm. 18.
14 Op.cit.
15 Cheema, G. Shabbir, et al., 2007, op.cit., hlm. 115.
16 Fesler, James W., October 1962, “French Field Administration: The Beginnings”, Comparative Studies in Society and History, Vol. 5,
No. 1, hlm. 78.
17 Shabbir, Cheema, G. dan Dennis A. Rondinelli, 1983. Decentralization and Development: Policy Implementation in Developing
Countries, Sage, California, hlm. 19.

201
Vol. 14 No. 02 - Juni 2017 : 199 - 210

pegawai dari instansi vertikal pemerintah pemerintah.22 Hal inilah yang menjadi salah
pusat yang bekerja di lingkungan daerah satu alasan negatif mengapa “prefectoralism”
(local jurisdiction). Keberadaan mereka sering dipandang sebagai kecenderungan utama
merupakan diskresi dan pengawasan langsung kearah authoritarianisme.23
dari pemerintah pusat. Sedangkan local Secara empiris, dekonsentrasi amat kental
administration menunjukkan bahwa pemerintah dengan peranan dan keberadaan pemerintah
daerah dalam suatu wilayah merupakan “agen/ pusat di daerah. Karena itu, banyak pihak
wakil” dari pemerintah pusat biasanya institusi mengganggap bahwa dekonsentrasi selayaknya
eksekutif daerah. tidak dikategorikan sebagai bagian sub-konsep
Menurut Smith18, secara konseptual pola desentralisasi namun sebagai sentralisasi
dekonsentrasi dapat dibagi menjadi dua, yaitu yang sifatnya lunak. Pendekatan politis dan
Functional Systems dan Prefectoral Systems. administratif memang menjadi dua pendekatan
Prefectoral Systems kemudian dibagi lagi utama dalam mempertimbangkan desentralisasi
kedalam dua tipe yaitu Integrated System dan dan dekonsentrasi (sentralisasi) dalam bandul
Unintegrated System. Hal tersebut cukup mirip yang seimbang.24
dengan pembagian yang diungkapkan oleh
B.3. Perkembangan Pengaturan Dekonsentrasi
Cheema dan Rondinelli19 yang membagi local
di Indonesia
administration kedalam dua tipe yaitu integrated
dan unintegrated local administration.20 B.3.1. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965
Dalam model sistem fungsional yang dianut tentang Pokok-Pokok Pemerintahan
Smith21, perwakilan senior dari pemerintah pusat Daerah
di tingkat propinsi hanya menjalankan fungsi- Meskipun dibuat dalam kondisi
fungsi spesifik dari kewenangan yang dikelola pemerintahan yang belum stabil Undang-
oleh pemerintah seperti pendidikan, kesehatan, Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-
industri, pembangunan atau pertanian. Model Pokok Pemerintahan Daerah dapat dikatakan
ini dapat juga didesain bersama dengan/tanpa bersifat desentralistik. Undang-undang tersebut
prefectoral system. lebih mengutamakan prinsip desentralisasi
Model prefectoral system melibatkan adanya dalam membagi urusan pemerintahan kepada
seorang general representative yang mewakili daerah. Model desentralisasi yang hendak dituju
pemerintah pusat di tingkat wilayah subnasional yaitu tercapainya desentralisasi teritorial yang
(seperti propinsi). General representative meletakkan tanggung jawab teritorial riil dan
tersebut disebut juga sebagai “the prefect” yang seluas-luasnya kepada Pemerintah Daerah,
merupakan pejabat paling senior di wilayah disamping menjalankan politik dekonsentrasi
tersebut. Dalam sistem prefectoral yang berciri sebagai komplemen yang vital.25
integrated, the prefect merupakan pejabat Sebagai konsekuensinya, urusan-urusan
lapangan yang paling tinggi (superior) yang yang masih ada dalam kekuasaan Pemerintah
mana setiap pejabat lapangan (field officers) yang Pusat secara berangsur-angsur harus dialihkan
merupakan perwakilan dari setiap kementerian menjadi tugas dan kewenangan Daerah. Daerah-
di daerah berada di bawah koordinasi the daerah dibagi menjadi daerah besar dan daerah
prefect tersebut. The prefect bertindak untuk kecil yang berhak mengatur dan mengurus
mewakili kepentingan nasional, negara, dan rumah tangganya sendiri (daerah otonom).26

18 Smith, B.C., 1985, op.cit., hlm.153-154.


19 Ibid.
20 Integrated Local Administration merupakan bentuk dekonsentrasi dimana instansi vertikal berada dibawah pengawasan dan
pengarahan kepala eksekutif tingkat daerah yang mungkin ditunjuk dan bertanggung jawab kepada pemerintah pusat. Sedangkan
Unitegrated Local Administration berfungsi sebaliknya, dimana pimpinan instansi vertikal tidak bertanggung jawab dan dibawah
pengarahan kepala eksekutif daerah dan koordinasi dilaksanakan melalui prosedur informal.
21 Ibid.
22 Ibid., hlm. 154.
23 Hutchcroft, Paul D., January 2001, “Centralization and Decentralization in Administration and Politics: Assessing Territorial
Dimensions of Authority and Power, Governance, Vol. 14, Issue 1, hlm. 23–53.
24 Cummings, Stephen, June 1995, “Centralization and Decentralization: The Neverending Story of Separation and Betrayal”,
Scandinavian Journal of Management, Vol. 11, Issue 2, hlm. 103-117.
25 Bagian Penjelasan Undang-Undang Nomor. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah.
26 Bagian Penjelasan Undang-Undang Nomor. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah;

202
Perkembangan Pengaturan Format Dekonsentrasi di Indonesia( Dinoroy Marganda )

Pengutamaan penerapan desentralisasi juga dominan. Hal tersebut amat logis jika melihat
ditegaskan dengan tidak dikenalnya daerah atau politik hukum dari undang-undang tersebut
wilayah administratif (wilayah yang menjadi yaitu demi terjaminya tertib pemerintahan;
bagian dari daerah tertentu) dan dihapuskannya keseragaman struktur dan kedudukan
wilayah administratif yang dahulu terbentuk pemerintahan daerah; dan kestabilan politik
sebelum Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 serta kesatuan bangsa untuk mendukung
tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah penyebaran pelaksanaan pembangunan di
ditetapkan. seluruh wilayah.29
Secara kewilayahan, daerah memang Dekosentrasi dalam undang-undang ini
tidak dianggap sebagai bagian dari politik adalah adalah pelimpahan wewenang dari
dekonsentrasi pemerintah pusat. Begitu juga Pemerintah Pusat atau Kepala Wilayah atau
dengan tidak adanya pengaturan mengenai Kepala Instansi Vertikal tingkat atasnya kepada
kedudukan dan keberadaan instansi vertikal Pejabat-pejabatnya di daerah.30 Dalam rangka
kementerian/departemen atau LPND yang melaksanakan prinsip dekosentrasi, wilayah
melaksanakan politik dekonsentrasi di daerah. Negara dibagi dalam Wilayah-wilayah Propinsi
Namun secara jabatan, kedudukan Kepala daerah dan Ibu kota Negara. Kemudian Propinsi dibagi
tidak murni sebagai pejabat daerah otonom yang dalam Kabupaten dan Kota madya sedangkan
hanya berkewajiban untuk melaksanakan fungsi Wilayah Kabupaten dan Kotamadya dibagi dalam
otonomi daerah tetapi juga sebagai perwakilan Kecamatan.
atau alat pemerintah pusat di daerah. Selain jenis wilayah tersebut, dikenal juga
Sebagai alat Pemerintah Pusat Kepala Daerah, wilayah administratif yang berfungsi sebagai
kepala daerah berwenang:27 lingkungan kerja perangkat Pemerintah Pusat
a. memegang pimpinan kebijaksanaan politik di yang menyelenggarakan pelaksanaan tugas
daerahnya terutama terkait dengan urusan pemerintahan umum di daerah. Tugas tersebut
ketertiban dan keamanan umum. antara lain urusan pemerintahan dalam bidang
b. sebagai pemegang pimpinan kebijaksanaan ketentraman dan ketertiban, politik, koordinasi,
umum didaerahnya melalui koordinasi pengawasan, dan urusan pemerintahan lainnya
antara jawatan-jawatan Pemerintah Pusat di yang tidak termasuk dalam tugas lnstansi vertikal
Daerah dengan Pemerintah Daerah. dan urusan rumah tangga Daerah Otonom.31
c. melakukan pengawasan atas jalannya Selain dilahirkannya kembali konsep wilayah
Pemerintah Daerah; administratif yang dahulu pernah dihapus melalui
d.
menjalankan tugas-tugas lain yang Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang
diserahkan oleh Pemerintah Pusat.28 Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, Undang
B.3.2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Pemerintahan di Daerah juga melahirkan konsep
Daerah jabatan kepala wilayah yang menempelkannya
kepada Gubernur hingga camat.32
Pada masa rejim Undang Nomor 5 Tahun
1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Kuatnya arus dekosentrasi atau pendekatan
Daerah, penyerahan urusan pemerintahan di pembagian daerah secara kewilayahan, dapat
daerah pada prinsipnya menggunakan 3 (tiga) terlihat juga dengan kuatnya kedudukan dan
konsep yaitu desentralisasi, dekonsentrasi, dan peranan Menteri Dalam Negeri dalam mengangkat
tugas pembantuan. Namun demikian, kebijakan dan memberhentikan perangkat kepala wilayah
dekonsentrasi merupakan pilihan yang amat di tingkat kota administratif dan kecamatan.

27 Pasal 44 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah


28 Politik desentralisasi amat kuat dalam regulasi tersebut, sehingga dapat disimpulkan bahwa prinsip penyelenggaraan urusan
pemerintahan di daerah lebih banyak menerapkan otonomi bagi daerah dan tugas pembantuan (medebewind). Hal tersebut cukup sering
diatur dalam undang-undang tersebut.
29 Bagian Penjelasan Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah
30 Pasal 1 Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah
31 Pasal 1 Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah
32 Camat merupakan kepala wilayah terendah yang bertanggung jawab kepada walikota/walikotamadya/bupati, yang selanjutnya
bertanggungjawab kepada gubernur. Puncak pertanggungjawaban adalah kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri.

203
Vol. 14 No. 02 - Juni 2017 : 199 - 210

Kepala Wilayah merupakan Wakil Pemerintah B.3.3. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
Pusat. Jabatan tersebut merupakan penguasa tentang Pemerintahan Daerah
tunggal di bidang pemerintahan dalam Perubahan situasi politik pada tahun 1999
wilayahnya dalam arti memimpin pemerintahan turut mengubah pola hubungan pemerintah
di daerah, mengkordinasikan pembangunan pusat dan daerah dengan lahirnya Undang-
dan membina kehidupan masyarakat di segala Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
bidang. Oleh karena itu, Gubernur menjadi amat Pemerintahan Daerah. Amat berbeda dengan
sentral di daerah kabupaten/kota. UU sebelumnya, Undang-Undang Nomor 22
Meskipun titik berat Otonomi Daerah Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah lebih
sebenarnya dimaksudkan pada Daerah Tingkat bersifat desentralistik.
II, namun hal tersebut tidak terlaksana Penyelenggaraan urusan pemerintahan
karena kedudukan hirarkis yang kuat antara dilaksanakan melalui desentralisasi,
Propinsi (Daerah Tingkat I) dengan Kabupaten/ dekonsentrasi, dan tugas pembantuan dengan
Kota (Daerah Tingkat II). Ditambah pula dominan pada penguatan desentralisasi
kewajiban pertanggungjawaban dan adanya melalui pemberian otonomi daerah. Sedangkan
pembinaan langsung terhadap penyelenggaraan dekonsentrasi hanya diletakkan pada wilayah
pemerintahan daerah kota/kabupaten pada propinsi dengan Gubernur berkedudukan
Gubernur. sebagai Kepala Daerah tingkat Propinsi sekaligus
Wewenang, tugas dan kewajiban Kepala sebagai kepala wilayah.35 Pelaksanaan asas
Wilayah secara umum antara lain:33 pembinaan dekonsentrasi yang diletakkan pada Daerah
ketentraman dan ketertiban di wilayahnya, Propinsi dalam kedudukannya sekaligus sebagai
pembinaan ideologi negara dan kesatuan Wilayah Administrasi untuk melaksanakan
bangsa, koordinasi instansi vertikal dan kewenangan pemerintahan tertentu.36 Yang
dinas daerah, pengawasan penyelenggaraan menjadi persoalan adalah tugas atau kewenangan
pemerintahan daerah, penegakan peraturan pemerintahan tertentu tersebut tidak diatur
nasional dan daerah, serta menjamin kelancaran dengan jelas dalam UU tersebut.
penyelenggaraan pemerintahan. Selain itu, rantai pelaksanaan dekonsentrasi
Selain penerapan kota administratif dan terputus hanya sampai tingkat propinsi sebagai
kepala wilayah yang melekat pada kepala wilayah administratif dengan penegasan bahwa
daerah, kebijakan dekonsentrasi juga diterapkan Daerah Propinsi bukan merupakan Pemerintah
melalui keberadaan berbagai instansi vertikal di atasan dari Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.
daerah. Instansi Vertikal merupakan perangkat Sehingga, Daerah Otonom Propinsi dan Daerah
dari Departemen/Kementerian atau LPND yang Kabupaten dan Daerah Kota tidak mempunyai
mempunyai lingkungan kerja di Wilayah Propinsi hubungan hierarkis.37
dan Kabupaten/Kota. Selain untuk pelaksanaan fungsi di atas,
Meskipun kepala dan perangkat instansi pemberian kedudukan Propinsi sebagai
vertikal merupakan pegawai dari pemerintah daerah otonom dan sekaligus sebagai wilayah
pusat, namun dalam menjalankan tugasnya, administrasi dilakukan dengan maksud untuk
Kepala Instansi Vertikal berada dibawah memelihara hubungan yang serasi antara pusat
kordinasi Kepala Wilayah yang bersangkutan.34 dan daerah dalam kerangka negara kesatuan

33 Pasal 81 Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah


34 Pasal 85 Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah
35 Pasal 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah; Daerah Kabupaten dan Kota murni sebagai Daerah
Otonom yang berwenang untuk menentukan dan melaksanakan kebijakan atas prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dan
tanpa fungsi sebagai wilayah administratif sebagaimana dalam Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di
Daerah. Selanjutnya, keberadaan Wilayah Administrasi (Kota administratif) yang berada dalam Daerah Kabupaten dan Daerah Kota
dijadikan Daerah Otonom atau dihapus. Sehingga beberapa Kota Administratif yang dulunya terbentuk pada rejim Undang Nomor 5
Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah berubah kedudukannya menjadi daerah kota atau dilebur kedalam wilayah
daerah kabupaten/kota. Konsekuensi lainnya adalah kawasan-kawasan khusus yang dibina oleh Pemerintah Pusat atau pihak lain,
seperti badan otorita, kawasan pelabuhan, kawasan perumahan, kawasan industri, kawasan perkebunan, kawasan pertambangan,
kawasan kehutanan, kawasan perkotaan baru, kawasan pariwisata, dan semacamnya turut diperlakukan sebagai Daerah Otonom.
36 Pasal 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
37 Hal tersebut amat berbeda dengan model dekonsentrasi yang diatur dalam Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan di Daerah yang menggunakan, format dekosentrasi berjenjang mulai dari propinsi hingga kecamatan.

204
Perkembangan Pengaturan Format Dekonsentrasi di Indonesia( Dinoroy Marganda )

dan menyelenggarakan otonomi daerah yang dan kabupaten/kota menjadi tidak efektif dan
bersifat lintas daerah kabupaten/kota serta efisien.
melaksanakan kewenangan otonomi daerah Yang dimaksud dengan harmonisasi
yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/ hubungan yakni bahwa pengelolaan bagian
kota.38 urusan pemerintah yang dikerjakan oleh tingkat
Penyelenggaraan wewenang yang dilimpahkan pemerintahan yang berbeda, harus bersifat saling
oleh Pemerintah kepada Gubernur selaku berhubungan (inter-koneksi), saling tergantung
wakil Pemerintah dalam rangka dekonsentrasi (interdependensi), dan saling mendukung sebagai
dilaksanakan oleh Dinas Propinsi dengan satu kesatuan sistem dengan memperhatikan
koordinasi oleh Sekretaris Daerah Propinsi cakupan kemanfaatan.
sebagai Sekretaris Wilayah Administrasi. Dalam undang-undang ini urusan
Selain keberadaan Gubernur sebagai pemerintahan dilaksanakam dengan
kepala wilayah, kewenangan dekonsentrasi menggunakan asas desentralisasi, tugas
juga dilaksanakan oleh instansi vertikal yang pembantuan, dan dekonsentrasi sesuai dengan
ada di daerah. Jenis fungsi dan kewenangan peraturan perundang-undangan. Sedangkan
dekonsentrasi yang dilaksanakan disesuaikan dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan
dengan jenis kewenangan absolut pemerintah daerah, pemerintahan daerah menggunakan asas
pusat, yaitu: bidang politik luar negeri, otonomi dan tugas pembantuan. Dekonsentrasi
pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan masih menjadi pelengkap dari prinsip
fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain. desentralisasi. Dekonsentrasi dilaksanakan
Dalam rejim undang-undang ini, dekosentrasi melalui pelimpahan wewenang pemerintahan
hanyalah sebagai pelengkap dari pelaksanaan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil
desentralisasi meskipun tetap vital. pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal
di wilayah tertentu. Gubernur selain sebagai
B.3.4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014
Kepala Daerah tingkat Propinsi juga bertindak
tentang Pemerintahan Daerah
sebagai wakil pemerintah pusat di daerah yang
Rejim Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 bertanggung jawab kepada Presiden terkait
tentang Pemerintahan Daerah berakhir setelah pelaksanaan tugas dalam hal pembinaan/
digantikan oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun pengawasan dan koordinasi di daerah. Namun
2004 tentang Pemerintahan Daerah. Penggantian dalam melaksanakan tugas sebagai wakil
tersebut dilakukan dengan pertimbangan tersebut Gubernur tidak lagi disebut sebagai
efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan Kepala Wilayah.
pemerintahan daerah yang perlu ditingkatkan.
Selain Gubernur, pelaksanaan kewenangan
Selain itu, aspek-aspek hubungan antar-
dekonsentrasi juga dilaksanakan oleh instansi
susunan pemerintahan dan antar-pemerintahan
vertikal yang ada di daerah. Instansi vertikal
daerah, potensi dan keanekaragaman daerah,
merupakan perangkat departemen dan/atau
peluang dan tantangan persaingan global juga
lembaga pemerintah non departemen yang
menjadi perhatian.
melaksanakan urusan pemerintahan yang tidak
Penguatan lain dalam undang-undang diserahkan kepada daerah dalam wilayah tertentu.
tersebut yaitu harmonisasi hubungan antara Urusan-urusan tersebut yaitu politik luar negeri,
pusat dan daerah yang sempat terputus pada rejim pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang nasional, dan agama. Namun pelaksanaannya
Pemerintahan Daerah akibat dihilangkannya urusan pemerintahan tersebut tidak terbatas pada
kedudukan hirarkis antara propinsi dengan pola dekosentrasi apabila hendak diselenggarakan
kabupaten/kota. Sehingga rentang kendali (span di daerah, Urusan kewenangan tersebut dapat
of control) dari pusat kepada daerah menjadi juga dilaksanakan dengan pola lain, yaitu melalui
tidak berfungsi. Akibatnya hubungan kerja dan penugasan kepada pemerintahan daerah dan/
koordinasi antara pemerintah pusat, propinsi, atau pemerintahan desa.

38 Bagian penjelasan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah

205
Vol. 14 No. 02 - Juni 2017 : 199 - 210

Di luar jenis urusan pemerintahan yang Pada prinsipnya, Desentralisasi masih


terbatas tersebut, pemerintah pusat juga menjadi pilihan utama disamping dekonsentrasi.
mempunyai kewenangan untuk melakukan Namun pembagian urusan pemerintahan
urusan pemerintahan lainnya. Urusan tersebut antara pusat, propinsi dan kabupaten/kota
biasa disebut sebagai concurrent function dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
(urusan pemerintahan yang dapat dilaksanakan tentang Pemerintahan Daerah menjadi lebih
bersama oleh pemerintah pusat, propinsi, dan terstruktur, tegas, dan hierarkis. Dalam undang-
kabupaten/kota namun dalam skala dan ukuran undang tersebut, dekonsentrasi dilakukan
yang berbeda). Dalam melaksanakan urusan sebagai bentuk pelimpahan sebagian Urusan
pemerintahan yang bersifat concurrent tersebut, Pemerintahan yang menjadi kewenangan
Pemerintah Pusat dapat menyelenggarakan Pemerintah Pusat kepada gubernur sebagai
sendiri, melimpahkan sebagian urusan wakil Pemerintah Pusat, kepada instansi vertikal
pemerintahan kepada Gubernur selaku di wilayah tertentu, dan/atau kepada gubernur
wakil Pemerintah, atau menugaskan kepada dan bupati/wali kota sebagai penanggung jawab
pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan urusan pemerintahan umum.40
desa berdasarkan asas tugas pembantuan.39
Urusan pemerintahan umum pada prinsipnya
Oleh karena itu, dapat disimpulkan merupakan kewenangan Presiden sebagai kepala
bahwa urusan kewenangan concurrent dapat pemerintahan yang mana dalam pelaksanaannya
dilaksanakan secara dekonsentratif juga di daerah melimpahkan kepada gubernur dan
apabila dilaksanakan sendiri oleh pemerintah bupati/walikota. Urusan tersebut berkaitan
pusat melalui kementerian teknis dan instansi dengan pembinaan ideologi dan kehidupan
vertikal-nya di daerah atau dilimpahkan kepada demokrasi, kesatuan bangsa, kerukunan umat
Gubernur selaku wakil pemerintah pusat di beragaman dan kehidupan sosial masyarakat,
daerah. Dalam hal ini, ruang lingkup urusan penanganan konflik sosial, koordinasi
pemerintahan yang dapat didekosentrasikan
pelaksaaan tugas pemerintahan di daerah, serta
menjadi lebih luas dibandingkan dengan yang
urusan pemerintahan diluar kewenangan daerah
diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun
dan instansi vertikal. Dalam melaksanakan
1999 tentang Pemerintahan Daerah.
urusan pemerintahan umum tersebut, maka
B.3.5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 daerah propinsi dan daerah kabupaten/kota
tentang Pemerintahan Daerah juga merupakan Wilayah Administratif.41
Setelah melihat beberapa kelemahan dalam Selain itu ditegaskan pula bahwa dalam
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang hal pelaksanaan pengawasan dan pembinaan
Pemerintahan Daerah, maka regulasi tersebut terhadap penyelenggaraan urusan pemerintahan
digantikan dengan Undang-Undang Nomor 23 yang menjadi kewenangan Daerah kabupaten/
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. kota, gubernur dapat bertindak atas nama
Beberapa kelemahan tersebut terkait dengan Pemerintah Pusat untuk melakukan pembinaan
usaha pemerintah dalam bidang peningkatan dan pengawasan agar melaksanakan otonominya
pelayanan, pemberdayaan, dan peningkatan dalam koridor NSPK yang ditetapkan oleh
daya saing. Selain itu, harmonisasi hubungan Pemerintah Pusat. Dalam hal perannya
antara Pemerintah Pusat dengan daerah dan sebagai Wakil Pemerintah Pusat tersebut maka
antar-daerah, potensi dan keanekaragaman hubungan gubernur dengan Pemerintah Daerah
daerah juga menjadi pertimbangan. kabupaten/kota menjadi bersifat hierarkis.42

39 Pasal 10 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah


40 Pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
41 Pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; Wilayah Administratif adalah wilayah kerja perangkat
Pemerintah Pusat (intansi vertikal di daerah) termasuk gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat untuk menyelenggarakan Urusan
Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat di Daerah dan wilayah kerja gubernur dan bupati/wali kota dalam
melaksanakan urusan pemerintahan umum di Daerah.
42 Bagian Penjelasan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; Hal tersebut amat berbeda dengan yang
diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang tegas menghapuskan hierarki antara propinsi
dan kabupaten/kota dan juga Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang tidak mengakui adanya format
hubungan hirarkis seperti itu meskipun tidak secara tegas atau eksplisit.

206
Perkembangan Pengaturan Format Dekonsentrasi di Indonesia( Dinoroy Marganda )

Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun daerah otonom. Perubahan tersebut ditandai


2014 tentang Pemerintahan Daerah, Jabatan oleh pergeseran peran Gubernur baik sebagai
Gubernur dan Bupati/Walikota juga dibedakan kepala daerah, kepala wilayah administrasi, dan
dalam hal Gubernur sebagai Kepala Daerah perwakilan pemerintah pusat di daerah. Selain
sekaligus sebagai Wakil Pemerintah Pusat. itu, fungsi kabupaten/kota dan kecamatan yang
Sedangkan Bupati/Walikota tetap sebagai Kepala pernah berfungsi sebagai daerah administrasi
Daerah Otonom. Namun dalam penyelenggaraan dan saat ini sebagai daerah otonom yang
urusan pemerintahan umum, Kabupaten/Kota menyelenggarakan urusan desentralisasi.
juga bertindak sebagai perangkat dekosentrasi Kedudukan Instansi vertikal di daerah juga
melalui penetapan status sebagai wilayah mengalami perubahan yang cukup signifikan.
administratif. Hal tersebut sedikit mirip dengan Dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun
pola dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan
1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, politik desentralisasi amat kuat dimana
Daerah. Bahkan dalam UU tersebut, Camat dan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan di
Perangkat Kecamatan juga turut melaksanakan daerah lebih banyak menerapkan otonomi bagi
fungsi urusan pemerintahan umum.43 daerah dan tugas pembantuan (medebewind).
Selain daerah yang melaksanakan urusan Dekonsentrasi menjadi pelengkap yang sifatnya
dekonsentrasi, urusan pemerintahan pusat vital. Hal tersebut amat berbeda dengan pola
di daerah juga dilaksanakan oleh instansi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5
vertikal. Namun dalam hal pembentukannya di Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan
daerah, Gubernur memiliki kewenangan untuk di Daerah dimana dekonsentrasi sama kuatnya
memberikan persetujuan yaitu untuk instansi dengan prinsip desentralisasi. Kepala Daerah
vertikal yang berfungsi menjalankan urusan mulai dari Gubernur hingga kecamatan berfungsi
pemerintahan konkuren yang dilakukan oleh sebagai kepala wilayah sekaligus perangkat
pemerintah pusat. Hal tersebut tidak berlaku daerah otonom. Dalam rejim tersebut, istilah
bagi Instansi Vertikal yang melaksanakan urusan kota administratif dikenal selain adanya kota/
pemerintahan absolut dan dari kementerian kabupaten yang bersifat otonom. Selain itu,
yang nomenklaturnya secara tegas disebutkan instansi vertikal pun mengalami perkembangan
dalam konstitusi. yang massif di daerah. Dalam undang-undang
Dikenalnya istilah urusan pemerintahan tersebut, otonomi di daerah bernuansa
umum yang sedikit mirip dengan Undang- dekonsentratif atau desentralisasi yang semu.
Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok- Lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun
Pokok Pemerintahan di Daerah, namun secara 1999 tentang Pemerintahan Daerah memberikan
struktur lebih lunak. Dalam artian, kabupaten/ angin segar kepada daerah otonom yang diberikan
kota dan kecamatan hanya melaksanakan kewenangan lebih besar terutama kepada
sebagian fungsi dekonsentrasi namun bukan daerah kabupaten/kota. Dalam undang-undang
berarti murni sebagai perangkat dekosentrasi tersebut, posisi dan peranan Gubernur tidak lagi
sebagaimana perangkat wilayah administratif menjadi atasan dari Bupati/Walikota melainkan
dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 sebagai mitra kerja yang kedudukannya sejajar.
tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. Keberadaan instansi vertikal pun menjadi amat
Dengan kata lain, tugas utama kabupaten/ berkurang seiring dengan pembagian urusan
kota dan kecamatan tetap menjalankan fungsi pemerintahan yang lebih besar kepada daerah
desentralisasi dan fungsi dekosentrasi hanya otonom. Hal tersebut menjadi sedikit berbeda
sebagai pendukung. dengan format dekonsentrasi yang dibangun
dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
C. Penutup
tentang Pemerintahan Daerah dimana urusan
Pola Dekosentrasi yang dilaksanakan kewenangan yang dapat didekonsentrasikan
di Indonesia telah berubah seiring dengan menjadi lebih luas melalui pelaksanaan sebagian
perkembangan dan perubahan fungsi dari dari Urusan pemerintahan konkuren oleh

43 Pasal 225 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

207
Vol. 14 No. 02 - Juni 2017 : 199 - 210

Gubernur selaku wakil pemerintah pusat di Clemson, Marc. 2012. Human Rights and the
daerah. Environment: Access to Energy. New Zealand
Undang-undang yang terakhir yaitu Undang- Journal of Environmental Law 16: 39-81.
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan. 4
Pemerintahan Daerah dapat dianggap lebih Februari 2016. Kebijakan Pemerintahdalam
sistematis dan rijid. Peran gubernur sebagai Pembangunan Infrastruktur Penyediaan
Pembina dan pengawas penyelenggaraan Tenaga Listrik: Percepatan Akses
pemerintahan daerah di daerah kabupaten/ Energi Di Indonesia: Opsi Peluang Dan
kota menjadi lebih kuat dimana Gubernur Tantanagannya, Jakarta: Direktorat Jenderal
menjadi atasan dari Bupati/Walikota meskipun Ketenagalistrikan.
sifatnya terbatas. Selain itu, sebagai bagian
Gaye, A. 2007. Access to Energy and Human
pelaksanaan urusan pemerintahan umum maka
Development, Human Development
kepada kabupaten/kota dilekati kembali status
Report 2007/2008. 2007. United Nations
sebagai Wilayah Administratif. Hal yang sudah
Development Program Human Development
dihapus sejak rejim Undang-Undang Nomor 22 Report Office Occasional Paper.
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Holland, Max and Juan Ordonez. 2015. The
Pemerintahan Daerah dimana hanya propinsi Human Rigts to Energy In The Brazilian
yang disebut sebagai wilayah administratif. Context. Revista Juridica 4: 57-77.
Dapat disimpulkan pula bahwa rejim International Energy Agency (IEA). 2004. World
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Energy Outlook 2004. International Energy
Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor Agency. http://www.worldenergyoutlook.org/
23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah media/weowebsite/2008-1994/weo2004.pdf
menggunakan pendekatan keseimbangan, dan
efisiensi serta efektifitas dalam membangun International Energy Agency (IEA). 2006. World
energy outlook 2006. Paris: Internasional Energy
tatanan hubungan pemerintah pusat dan daerah.
Agency. http://www.worldenergyoutlook.org/
media/weowebsite/2008-1994/weo2006.pdf
Daftar Pustaka (accessed 26 October 2016)

Buku-Buku International Energy Agency. 2010. World Energy


Outlook 2010. Paris: International Energy
Amiruddin dan Zainal Asikin. 2004. Pengantar Agency. http://www.worldenergyoutlook.org/
Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT. Raja media/weo2010.pdf (accessed 26 October
Grafindo Persada. 2016)

Anton, Donald K. and Dinah L. Shelton. 2011. International Energy Agency (IEA). 2011.
Environmental Protection and Human Rights. Energy For All: Financing Access For The
New York: Cambridge University Press. Poor. Paris: International Energy Agency.
https://www.iea.org/media/ weowebsite/
Bradbrook, Adrian J. and Judith G. Gardam.
energydevelopment/presentation_oslo_oct11.
2006. Access To Energy Services In A Human
pdf (accessed 26 October 2016)
Rights Framework. Human Rights Quarterly
28: 389-415. J. Masud, Sharan D, dan Lohani BN. 2007. Energy
for All: Addressing the Energy, Environment,
Cecelski, E. 2003. Enabling Equitable Access and Poverty Nexus in Asia. Manila: Asian
to Rural Electrification: Current Thinking Development Bank.
and Major Activities in Energy, Poverty and
Gender. Washington D.C.: International Bank Osiatynski, Wiktor. 2009. Human Rights and
For Reconstruction And Development and Their Limits. New York: Cambridge University
World Bank. Press.

208
Perkembangan Pengaturan Format Dekonsentrasi di Indonesia( Dinoroy Marganda )

Report of the World Commission on Environment publications/environment-energy/www-ee-


and Development: Our Common Future (The library/sustainable-energy/world-energy-
Brundtlant Report) yang di tuangkan di dalam assessment-energy-and-the-challenge-
Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa- of-sustainability/World%20Energy%20
Bangsa, GA Res 42/187, A/RES/42/187 Assessment-2000.pdf (Accessed on 24
(1987). http://www.un-documents.net/our- October 2016)
common-future.pdf (accessed on 25 October
2016) United Nations Commission on Economic,
Social and Cultural Rights (CESCR), General
Shyu, Chian-Woei. 2014. Enssuring Access to Comment No. 9 on the Domestic Application
Electricity and Minimum Basic Electricity of the ICESCR. United Nations Doc.
Needs as a Goal for the Post-MDG Development E/C.12/1998/24 (Dec. 3, 1998).
Agenda After 2015. Energy for a Sustainable
Development 19: 29-38. WEHAB. 2002. A framework For Action on
Energy. Johannesburg. http://www.gdrc.
Smith, Rhona KM. 2010. Textbook on org/sustdev/un-desd/wehab_energy.pdf
International Human Rights 4th ed. Oxford: (Accessed on 24 October 2016).
Oxford University Press.
Weiss, Edith Brown, Laurence Boisson de
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. 2013. Chazournes and Nathalie Bernasconi-
Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Osterwalder. 2005. Fresh Water and
Singkat. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. International Economic Law. New York:
Oxford University Press.
Subhes C. Bhattacharyya, Energy access
programmes and sustainable development: A Global Energy Affairs. Should Energy Access be a
Critical Review and Analysis. 2012. Energy for
Human Right?. https://globalenergyinitiative.
Sustainable Development 16: 260-271.
org/offbeat-1/142-should-energy-access-be-
a-human-right.html
Tully, Stephen R. 2006. The Contribution Of
Human Rights To Universal Energy Access.
Indopress. 27 Oktober 2016. Kementerin
Northwestern Journal of International Human
Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal
Rights 3: 518-548.
dan Transmigrasi Rilis Jumlah KK yang
United Nations Development Programme. Belum Teraliri Listrik di Indonesia. https://
2004. World Energy Assessment; Overview indopress.id/kemendesa-rilis-jumlah-kk-
2004 Update. New York. http://www.undp. yang-belum-teraliri-listrik-di-indonesia/
org/content/undp/en/home/librarypage/
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah
environment-energy/sustainable_energy/
Tertinggal dan Transmigrasi. 26 agustus 2015.
world_energy_assessmentoverview2004
Kaya Energi, Menteri Marwan Ajak Investor
update.html (Accessed on 24 October 2016).
Bangun Desa. http://kemendesa.go.id/
United Nations Environment Programme. 2005. index.php/view/detil/1467/kaya-energi-
UNEP Background Paper: Law as an Instrument menteri-marwan-ajak-investor-bangun-desa.
for Translating the Millennium Development
Goals into Action. http://www.unep.org/gc/ United Nations. Millennium Development Goals.
gc23/documents/MDGSANDRULEOFLAW- Millennium development goals and beyond
REVISEDbyBR18.01.05.pdf (accessed 26 2015. http://www.un.org/millenniumgoals/
October 2016) bkgd.shtml (Accessed on: 24 October 2015)

United Nations Development Programme. United Nations. Sustainable Development Goal


2000. World Energy Assessment: Energy 7, Ensure Acces to Affordable, Reliable,
and the Challenge of Sustainability. New Sustainable and Modern Energy for All.
York. Available on http://www.undp.org/ https://sustainabledevelopment.un.org/sdg7
content/dam/aplaws/publication/en/ (Accessed on 24 October 2016)

209
Vol. 14 No. 02 - Juni 2017 : 199 - 210

Peraturan Perundang-Undangan dan Cultural Rights (ICESCR/Konvensi


Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial
United Nations Charter (Piagam Perserikatan dan Budaya)
Bangsa-Bangsa)
Internasional Convention on the Elimination of
Universal Declaration of Human Rights (UDHR/ All Forms of Discrimination against Women
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (CEDAW/Konvensi Internasional tentang
Penghapusan Segala bentuk Diskriminasi
International Covenant on Economis, Social terhadap Perampuan)

210

Anda mungkin juga menyukai