Anda di halaman 1dari 4

Pemimpin Perempuan Menjamin Hak

Perempuan?
Sebuah tulisan karya Aspiyah Kardini yang dilansir mubadalah[dot]id
membahas tentang pemimpin perempuan. Dalam tulisannya, ia menukil
pernyataan Nyai Dr. Nur Rofiah, Bil. Uzm. yang mengatakan bahwa pemimpin
perempuan yang baik adalah yang memiliki perspektif baik terhadap
perempuan, siapa pun pemimpinnya dan apa pun jenis kelaminnya.

Ia juga mengambil pernyataan Nyai Badriyah Fayumi bahwa pemimpin


perempuan sama halnya ulama perempuan yang memiliki makna ideologis,
yakni para pemimpin yang memiliki perspektif tentang perempuan, baik ia
laki-laki maupun perempuan.

Ia turut menyimpulkan bahwa ini adalah makna “pemimpin perempuan”


yang sebenarnya sehingga tidak ada pengunggulan bagi gender laki-laki
maupun perempuan, melainkan pada sikap, perspektif, dan tindakan yang
baik dan tidak mendiskriminasi perempuan berdasarkan gendernya.

Ia mengambil analogi Nyai Badriah, “Apakah penjahit wanita itu selalu


wanita? Penjahit wanita adalah para penjahit yang memiliki keahlian
menjahit baju bagi wanita. Posisi-posisi tersebut sangat mungkin diisi oleh
laki-laki dan perempuan selama mereka memiliki kualifikasi yang
ditentukan.”

Menelusuri pernyataan-pernyataan tersebut, tampak sangat kental aroma


feminisme dan tampak jelas pula pembelaan terhadap perempuan. Mereka
berpendapat bahwa pemimpin perempuan adalah sebutan bagi para
pemimpin yang berperspektif perempuan, yakni memihak perempuan, baik
pemimpin tersebut laki-laki maupun perempuan.

Ini sama saja artinya bahwa pemimpin perempuan adalah pemimpin yang
memperjuangkan kesetaraan gender (KG). Pertanyaannya, apakah pemimpin
semacam ini bisa memberikan jaminan terpenuhinya hak-hak perempuan?
Pemimpin Perempuan Versi Feminis Tidak
Akan Menjamin Terpenuhinya Hak-Hak
Perempuan
Jika kita mencermati, pendapat bahwa pemimpin yang berperspektif baik
terhadap perempuan—apa pun jenis kelaminnya—adalah pemimpin
perempuan yang bisa menjamin hak perempuan, sesungguhnya ini hanya
asumsi semata dan sulit terwujud dalam fakta keseharian. Justru konsep KG
yang mereka usung malah memberikan beban lebih berat bagi perempuan
dan sering kali justru yang dikorbankan adalah peran utamanya sebagai ibu
dan pengelola rumah suaminya.

Di satu sisi, perempuan didorong dan diseret untuk bekerja, dengan asumsi
bahwa perempuan yang bekerja dan menghasilkan sesuatu secara materi
akan menjadikan perempuan diperhitungkan dan dinilai mulia. Malangnya,
perempuan dipaksa pula bersaing dengan laki-laki di dunia kerja yang keras.

Di sisi lain, perempuan dipaksa meninggalkan anak-anaknya di rumah


bersama pembantu, baby sitter, atau di tempat penitipan anak. Ketika yang
terjadi munculnya anak-anak “bermasalah”, siapa yang akhirnya
dipersalahkan? Jelas ibunya lagi, perempuan lagi. Akhirnya, sudah jatuh,
tertimpa tangga.

Oleh karenanya, terjadi kerusakan yang bukan hanya menimpa diri


perempuan itu sendiri, melainkan keluarga dan anak-anaknya pun menjadi
korban. Inikah yang dinamakan terpenuhinya hak-hak perempuan? Alih-alih
terpenuhi, justru yang terjadi adalah perempuan menjadi berperan ganda
(double burden), triple burden, bahkan lebih.

Analogi “penjahit wanita tidak selalu wanita” memang tidak salah. Bisa jadi
benar pula bahwa tidak masalah perempuan dipimpin oleh laki-laki ataupun
perempuan. Hanya saja, bukan karena pemimpin tersebut berperspektif baik
terhadap perempuan yang bisa menjamin hak-hak perempuan, melainkan
jika pemimpin tersebut menerapkan aturan yang benar dan baku, sesuai
fitrah manusia, dan memuaskan akal yang akhirnya akan menenteramkan
jiwa.

Aturan seperti ini hanya datang dari Al-Khaliq Al-Mudabbir, Sang Maha
Pencipta dan Maha Pengatur, Allah Taala. Selama para pemimpin merujuk
pada aturan buatan manusia, aturan yang ada tidak akan memberi kebaikan
apa pun bagi umat.

Hanya Aturan Islam yang Mampu


Menjamin Terealisasinya Hak-Hak
Perempuan
Islam yang diturunkan Allah Yang Maha Adil dan Maha Mengetahui hakikat
makhluk-Nya, telah menempatkan perempuan dan laki-laki di posisi mulia.
Seorang muslim (laki-laki dan perempuan) harus memahami dengan benar
bahwa sungguh Islam telah memberikan peran dan posisi istimewa bagi
keduanya. Ketika keduanya mampu menjalankan peran dan posisinya
tersebut sesuai tuntunan Islam, sesungguhnya kemuliaan dan kebahagiaan
akan dapat mereka raih.

Oleh karenanya, ketika perempuan mampu berperan menyempurnakan


seluruh kewajiban yang datang dari Allah Swt., baik dalam peran utamanya
sebagai ummun wa rabbatul bait maupun sebagai bagian dari masyarakat,
kemuliaan pun akan menghampirinya. Dengan demikian, Islam tidak hanya
mengatur peran perempuan, melainkan juga menjamin peran tersebut
dapat terealisasi sempurna melalui serangkaian hukum yang bersifat praktis.

Selain itu, Islam berpandangan bahwa posisi pemimpin bukanlah segalanya.


Posisi pemimpin dan yang dipimpin, rakyat atau penguasa, atasan atau
bawahan, tidak menjadi persoalan. Justru yang menjadi masalah adalah
standar apa yang dijadikan pijakan? Jika aturan Islam atau hukum syarak
yang dijadikan pijakan, hak-hak orang yang dipimpin akan terjamin dan
terpenuhi. Akan tetapi, jika aturan buatan manusia yang dijadikan pijakan,
sungguh tidak akan memberikan kebaikan apa pun bagi umat Islam,
termasuk muslimah. Cukuplah Islam menjadi pedoman hidup kita, jangan
yang lain.

Khatimah
Benar bahwa perempuan harus berperan dalam kehidupan. Hanya saja, tidak
dengan menyerahkan pengaturannya kepada feminisme yang lahir dari
kapitalisme, sistem buatan manusia. Kita harus menyerahkannya kepada
syariat Islam yang datang dari Allah Swt., aturan yang sesuai fitrah manusia,
memuaskan akal, dan membawa pada ketenteraman.
Penerapan syariat Islam secara kafah dan konsisten oleh penguasa, ditambah
adanya penjagaan atau pengawasan ketat yang dilakukan umat, akan
mengantarkan pada tercapainya kemaslahatan hidup yang rahmatan lil
’alamin sebagaimana yang Allah janjikan. Tidak hanya perempuan yang
termuliakan, umat secara keseluruhan pun akan memperoleh kebahagiaan
dan kebangkitan yang hakiki.

Wallahualam bissawab.

Anda mungkin juga menyukai