Anda di halaman 1dari 225

SEGITIGA BERMUDA

niaputri08

Source: https://www.wattpad.com/story/284882641
SEGITIGA BERMUDA
1. Volume 1
1. 1.
2. 2.
3. 3.
4. 4.
5. 5.
6. 6.
7. 7.
8. 8.
9. 9.
10. 10.
11. 11.
12. 12.
13. 13.
14. 14.
15. 15.
16. 16.
17. 17.
18. 18.
19. 19.
20. 20.
21. 21.
22. 22.
23. 23.
24. 24.
25. 25.
26. 26.
27. 27.
28. 28.
29. 29.
30. 30. END
31. 31. (Bukan) Malam Pertama
32. 32. Pillow Talk
33. 33.
34. 34.
35. Attar (1)
36. Ahsan (1)
37. Vitis vinifera
38. Nasib Om Erlang
39. Slice Of Life - Ahsan (2)
1.
Halo Kakak2.
Karena saya berencana memperpanjang cerita Erlang-Farah-Attar,
jadi saya memutuskan untuk post cerita ini di lapak baru.

"Kok judul lapaknya begini sih Thor? Alay bgt?!"

Wkwkwk. Iya, penulisnya emang lagi alay, ciiinnn.

Semoga Kakak2 berkenan ngikutin cerita ini disini.

Nah, utk para pembaca baru, sebelum baca yg ini, baca dulu lapak
sebelah "Yang Tidak Termiliki" ya Kak, biar ga bingung hehe.

Btw, bab 1 dan bab 2- nya adalah bab repost dr lapak sebelah. Yg udah
pernah baca, bisa lgsg lanjut ke bab 3. Tapi boleh dong minta vote n
komennya lagi di lapak ini, Kak, hehehe.

***

Ada yang kurang dari kunjungan ke Bali jika tidak berkunjung ke


pantainya. Meski pantai di Bali makin ramai dengan wisatawan dalam dan
luar negeri, sehingga kadang pengunjung tidak lagi bisa benar-benar
menikmati pantai yang tenang, tapi pantai di Bali tetap memiliki pesona
tersendiri. Itu mengapa sore itu Farah mengajak tamunya ke sebuah restoran
di tepi pantai.

Dari restoran itu, mereka bisa makan malam (makan sore, lebih tepatnya)
sambil menikmati pemandangan matahari terbenam. Beragam pilihan
makanan laut segar tersaji, siap untuk dipilih.

"Makasih ya, sudah menemani saya seharian ini," kata lelaki itu sambil
tersenyum pada Farah.
"Sama-sama, Pak," jawab Farah, sambil membalas dengan senyum yang
tidak kalah lebar. "Makasih juga nraktir saya seharian ini. Padahal saya
bukan mahasiswa Pak Attar lagi, tapi tetep ditraktir terus nih. Saya jadi
ketagihan," lanjutnya, lalu terkekeh sendiri.

Attar ikut tertawa menanggapinya. "Kalau Farah mau ditraktir seumur


hidup juga boleh."

Farah tertawa. Dia bukan tidak tahu maksud tersembunyi di balik kata-kata
tersirat itu. Tapi dia tidak ingin menanggapinya lebih jauh.

"Jadi kapan kamu balik ke Jakarta?" tanya Attar sebelum menyuap


makanannya.

"Bulan depan Pak. Saya sudah mengajukan pengunduran diri ke Hotel."

Attar menggangguk-angguk.

"Faris pindahan ke Bandung bulan depan. Jadi saya pengen udah ada di
Jakarta sebelum Faris pindah. Kasian Mama kalau sendirian kan."

"Adik kamu itu hebat juga. Kelihatan galau melulu takut nggak diterima
kuliah dimana-mana, nggak tahunya malah dapet Teknik Elektro &
Informatika ITB."

"Wajar sih dia galau melulu Pak. Nilai sekolahnya dia kan biasa aja, jadi
udah jelas nggak bisa masuk dengan jalur prestasi. Setahun ini, setelah Papa
meninggal, baru Faris mulai lebih... apa ya?... bertanggung jawab gitu. Dia
baru mulai serius memikirkan masa depan. Alhamdulillah akhirnya dia bisa
mengejar ketinggalan dan akhirnya bisa masuk PTN yang dia mau."

"Padahal sudah saya tawarin kuliah di tempat saya ngajar, dia nggak mau.
Katanya takut IPnya 4 kalau dikasih nilai bagus terus sama saya."

"Pede banget tuh anak," kata Farah dengan tawa yang renyah.

Tawa yang cantik. Rambut pendeknya yang melambai terhembus angin.


Matahari senja yang kemerahan... Makan malam yang sempurna bagi Attar
hari ini.
***

"Harusnya Bapak nggak perlu nganterin saya pulang segala. Kan asrama
karyawan hotel sebelahan sama hotel," kata Farah, pada Attar yang
melangkah di sisinya, memasuki gerbang asrama karyawan.

Hotel tersebut memang menyediakan asrama bagi karyawan yang tinggal


jauh dari hotel.

"Justru karena sebelahan, makanya saya sekalian nganterin."

"Tapi Bapak jadi repot."

"Repot apa sih? Kita sudah lama kenal, tapi kamu masih sungkan terus."

Farah tersenyum sungkan.

Attar mengalihkan pandangannya dari Farah, menatap pintu kamar Farah


seiring langkah mereka yang makin dekat dengan kamar Farah, lalu
mendapati seseorang duduk di teras kamar tersebut.

"Om Erlang," sapa Farah pada orang yang duduk di teras kamarnya.
Melihat Farah mendekat, lelaki itu bangkit dari duduknya.

Langkah Attar sempat melambat sesaat. Namun kemudian kembali tegap.

"Apa kabar, Pak Erlang?" sapa Attar dengan senyum sopan, ketika akhirnya
berhadapan dengan lelaki itu.

"Baik, Pak Attar. Lama nggak ketemu," jawab Erlang sambil mengulurkan
tangan.

***

Farah bilang, begitu tahu bahwa dirinya ada conference di Bali dan akan
menginap di hotel tempat gadis itu bekerja, Farah langsung memilihkan
kamar dengan view yang bagus. Dan Attar mengakui itu. Pemandangan di
malam hari dari balkon kamarnya sangat indah. Dia bisa melihat kolam
renang, juga pantai dan laut lepas dari balkon kamarnya di lantai 5 itu. Tapi
pemandangan seindah itu tidak membuat perasaannya bahagia.

Seharian tadi ia habiskan dengan perasaan bahagia. Tapi ketika bertemu


dengan tamu Farah tadi, kebahagiannya menguap seketika.

Attar baru saja beranjak dari balkon dan masuk ke kamarnya ketika
ponselnya berbunyi, menandakan sebuah pesan masuk.

My Farah: Bapak besok flight jam berapa ke Jakarta? Saya temenin ke


bandara ya Pak?

Pak Erlang sudah pulang?

My Farah: Sudah Pak.

Saya boleh telepon Farah?

My Farah: Iya Pak. Ada apa?

Attar tidak lagi membalas pesan gadis itu. Alih-alih, ia segera menekan icon
telepon di ponselnya.

"Saya mau tanya sesuatu, boleh?" tanya Attar, setelah bertukar salam
dengan Farah.

"Iya Pak. Ada apa?"

"Pak Erlang sering menjenguk kamu kesini?"

Selama beberapa saat Attar tidak mendengar suara apapun. Tapi kemudian
gadis di seberang menjawab, "Nggak sering kok, Pak."

Berarti lelaki itu sudah pernah beberapa kali kesini, Attar menyimpulkan.
Dan melihat sikap Farah tadi, sepertinya hubungan mereka sudah membaik
sehingga gadis itu tidak lagi menjauhi Erlang.

Saat itu mata Attar menatap pada bayangannya di cermin yang terpasang
pada meja rias di kamarnya di hotel.
Kesia-siaan apa yang lo lakukan selama 1 tahun ini, Duda Lapuk?

Pantas saja kalau selama ini Farah tidak pernah menanggapi kata-katanya
yang memancing.

"Pak?" Terdengar suara Farah di seberang sana.

"Ya?"

"Besok flight jam berapa? Saya antar ke bandara."

"Oh--"

Harusnya Attar merasa antusias mendengar tawaran itu. Tapi kali itu tidak
lagi.

"Besok saya pulang sendiri aja. Nggak usah diantar, nggak apa-apa, Farah.
Makasih ya."

"Ke-kenapa Pak?"

"Nggak apa-apa. Nanti Farah repot. Saya bisa sendiri kok," jawab Attar
berusaha terdengar sesantai mungkin. "Makasih ya selama seminggu ini
selalu menemani saya sarapan dan makan malam. Hari ini juga menemani
saya beli oleh-oleh."

"S-sama-sama Pak."

"Kalau gitu saya packing dulu ya. Selamat malam, Farah."

"Malam, Pak."

Attar memutus panggilan teleponnya. Tapi alih-alih langsung berkemas


seperti yang dikatakannya pada Farah tadi, Attar malah termangu di
kasurnya. Beberapa saat kemudian ia mengetikkan sesuatu di ponselnya.

Tepat sebelum ia akan mematikan ponselnya, sebuah pesan masuk.

Faradiba Hairani: Selamat istirahat Pak. Semoga lancar flight besok.


Jari-jari Attar menggantung di atas layar ponselnya selama beberapa detik,
sebelum akhirnya ia mengetikkan jawabannya.

Terima kasih, Farah.

***
"Aku nggak tahu bahwa kamu masih berhubungan sama laki-laki itu."

Farah bisa mendengar nada sinis pada suara laki-laki yang melangkah
mengikutinya menuju kamarnya, sepeninggal Attar.

Farah menghempaskan diri di kursi di depan kamarnya. Asrama karyawan


itu terdiri dari 20 kamar di lantai 1 dan 20 kamar di lantai 2. Di depan setiap
kamar ada teras kecil. Beberapa orang meletakkan jemuran pakaian di teras
tersebut. Tapi Farah meletakkan dua buah kursi disana. Sejak Erlang
beberapa kali datang menemuinya, Farah merasa perlu memiliki kursi itu
untuk menerima tamu di teras kamarnya. Tidak aman menerima Erlang
bertamu di dalam kamarnya.

"Pak Attar ada conference disini," jawab Farah singkat.

Terlihat Erlang mengikutinya, duduk di kursi di samping Farah.

"Dia sering kemari?" tanya Erlang.

"Baru kali ini."

Mendengar itu, Erlang menahan diri untuk tidak tersenyum. Tapi dua detik
kemudian wajahnya kaku lagi, seperti baru teringat sesuatu.

"Kalian sering teleponan?" tanya Erlang kemudian.

Farah agak enggan mengakui. Tapi di bawah tatapan Erlang yang


mengintimidasi, Farah akhirnya mengangguk. "Ahsan sesekali telepon
aku."

Sesuai dugaan Farah, wajah Erlang makin terlihat keras setelah mendengar
jawabannya.

"Aku nggak suka!" kata Erlang tegas, meski intonasi maupun volume
suaranya tidak meninggi sedikitpun.

Farah sudah menduganya.


"Meski kamu bilang bahwa kalian cuma dosen dan mahasiswa, tapi laki-
laki itu jelas menyukai kamu."

Tanpa Erlang jelaskanpun, Farah sudah menyadarinya. Perilaku Attar


selama seminggu ini di Bali, setiap kali mereka bertemu, mengkonfirmasi
kecurigaan Farah.

Ia kira setelah lewat setahun mereka tidak pernah bertatap muka secara
langsung, keadaan sudah berubah. Tapi ternyata sepertinya dosennya itu
masih tertarik padanya.

"Jangan terlalu menanggapi dia."

Kali itu Farah memandang Erlang sambil mengernyit. "Itu hak Om kalau
nggak suka lihat aku dan Pak Attar. Tapi Om nggak berhak melarang aku
menjaga hubungan baik dengan dosenku."

Wajah Erlang seperti terpukul mendengar kata-kata yang disampaikan


Farah. Meski dengan suara pelan, kata-kata Farah itu menamparnya.

"Kamu anggap aku ini apa, Far?!" tanya Erlang. Ia masih menjaga suaranya
tetap pelan agar tidak mengganggu penghuni asrama yang lain. Tapi wajah
dan intonasinya menjelaskan kemarahannya.

Farah sadar Erlang marah dan kecewa padanya. Tapi ia tidak mau memberi
harapan palsu.

"Om-ku," jawab Farah.

"Aku nggak anggap kamu sebagai keponakan lagi!"

"Itu hak Om, nggak anggap aku ponakan Om lagi," kata Farah dingin. "Tapi
aku juga berhak masih anggap Om sebagai Om aku kan?"

Rahang Erlang mengeras.

"Sama seperti Pak Attar. Dia berhak nggak anggap aku sebagai
mahasiswanya lagi. Tapi aku tetap menghormatinya sebagai dosenku."
Erlang menatap mata Farah, tajam. Farahpun menguatkan hatinya untuk
membalas tatapan Erlang.

"Setelah semua yang aku lakukan selama ini, Far..."

"Aku nggak pernah minta atau nuntut Om melakukan apapun."

"Iya. Tapi aku beneran cinta kamu, Far. Masa kamu nggak bisa
mempertimbangkannya lagi sih?"

"Kita udah pernah ngomongin ini, Om," kata Farah berusaha tegas. "Kalau
Om nggak suka dengan sikap atau keputusanku, Om bebas untuk pergi.
Aku nggak bakal nahan Om."

"Demi Tuhan, Far!" Erlang akhirnya membentak.

Farah yang sudah tidak tahan berdebat dengan Erlang, akhirnya menyerah
dan melarikan diri.

"Udah malem, Om. Aku mau tidur. Selamat malam, Om."

Farah beranjak dari kursinya dan membuka pintu kamarnya. Ia baru saja
hendak masuk, ketika secara cepat dan tiba-tiba ia merasa punggungnya
didorong memasuki kamar. Lalu ia mendengar pintu kamarnya ditutup, dan
terdengar bunyi "ceklik" pertanda pintu dikunci.

Farah melotot karena Erlang sudah ikut masuk ke kamarnya. Dan alarm
bahaya di kepala Farah langsung menyala. Ia sengaja meletakkan dua kursi
single di teras kamarnya untuk menghindari kejadian ini. Tapi sekarang
Erlang malah berhasil menyelinap ke kamarnya.

"Keluar, Om!"

"Erlang!" Erlang membentak. "Panggil aku Erlang! Jangan pura-pura!


Kamu nggak anggap aku sebagai om-mu kan?"

Farah baru saja akan marah ketika sekonyong-konyong Erlang mencium


bibirnya.
Erlang memaksakan ciumannya pada bibir gadis itu. Dan gadis itu berusaha
memberontak, memukul-mukul dadanya. Pada awalnya.

Pada akhirnya, hanya butuh waktu 20 detik hingga akhirnya Farah


menyerah. Pukulan di dada Erlang perlahan berhenti. Dan kedua tangan itu
perlahan justru menggantung di bahu Erlang dengan mesra.

Erlang pencium yang hebat. Farah harus mengakui itu. Bahkan setelah
setahun berusaha menetralisir perasaannya, toh ketika lelaki itu
menyentuhnya kembali, ada insting alamiah yang spontan terbangun di
dalam dirinya.

Sayangnya, itu bukan insting untuk mempertahankan diri. Tapi insting


untuk menyerah.

Maka ketika Erlang menurunkan ciumannya ke leher jenjang Farah, dan


mendesak tubuh perempuan itu ke dinding, Farah justru mengangkat
kepalanya. Membuat lehernya justru terekspos makin bebas bagi Erlang.

"Om..."

"Erlang!"

"Eungghh... Om..."

"Erlang!"

"Erlang!" Akhirnya Farah menyerah. "Stop!"

Erlang menghentikan ciumannya lalu menatap mata gadis di hadapannya


yang terengah, dengan tatapan berselimut gairah.

"Mulut kamu yang ini," kata Erlang sambil membelai bibir Farah dengan
jemarinya. Bibirnya sendiri tersenyum ketika melihat bibir Farah yang
menebal karena membalas ciumannya. "... bisa aja bilang cuma anggap aku
Om. Tapi seluruh tubuh kamu menginginkan aku, bukan sebagai Om."

Farah terkesiap. Tiba-tiba ia baru sadar bahwa tubuhnya sudah


mengkhianati pikirannya. Barusan tadi, lagi-lagi ia sudah terperdaya dengan
pesona Erlang.

"Harusnya dari dulu aku pakai cara ini supaya kamu berhenti panggil aku
Om," kata Erlang. Seperti puas dengan trik yang dilakukannya.

Sementara Farah mengepalkan tangan geram.

"Aku masih cinta kamu, Farah. Berapa kali aku harus bilang ke kamu?"
tanya Erlang. "Dan kayaknya kamu juga masih cinta aku, meski kamu
terus-terusan denial."

"Pergi!" usir Farah akhirnya dengan galak.

***

Setelah Erlang pergi, Farah merasa perlu segera mengalihkan pikirannya


dari lelaki itu. Ia marah karena lelaki itu memaksa menciumnya. Tapi
terlebih, Farah juga marah pada dirinya sendiri karena menikmati ciuman
itu.

Dasar murahan!, makinya pada diri sendiri.

Demi mengalihkan pikirannya, Farah mengirim pesan kepada Attar.


Seminggu lalu ia berjanji pada dosennya itu bahwa ia akan mengantar
dosennya itu ke bandara untuk pulang ke Jakarta. Tapi ia belum memastikan
jadwal penerbangan Attar. Jadi ia memanfaatkan hal tersebut untuk alibi
menghubungi Attar.

Tapi siapa sangka Attar justru menolak tawarannya untuk mengantar ke


bandara.

"Besok saya pulang sendiri aja. Nggak usah diantar, nggak apa-apa, Farah.
Makasih ya."

"Ke-kenapa Pak?"

"Nggak apa-apa. Nanti Farah repot. Saya bisa sendiri kok," jawab Attar
berusaha terdengar sesantai mungkin. "Makasih ya selama seminggu ini
selalu menemani saya sarapan dan makan malam. Hari ini juga menemani
saya beli oleh-oleh."

"S-sama-sama Pak."

"Kalau gitu saya packing dulu ya. Selamat malam, Farah."

"Malam, Pak."

Farah tidak bisa berbuat apa-apa jika sang dosen menolak ia antar. Farah
tahu, barangkali sang dosen kecewa pada dirinya karena ternyata masih
berhubungan dengan Erlang. Sama seperti ia kecewa pada dirinya sendiri.

Toh, kalau dipikir-pikir, kejadian ini bagus juga. Farah jadi tidak perlu
menolak Attar secara langsung. Bagaimana pun Farah menyadari perasaan
Attar padanya, dan juga menyadari ia tidak mungkin membalasnya. Jadi
dengan kejadian ini, dirinya tidak lagi memberi harapan palsu pada mantan
dosennya itu.

Selamat istirahat Pak.


Semoga lancar flight besok.

Pak Attar: Terima kasih, Farah.

Meski Farah sendiri yang tidak ingin memberi harapan palsu pada laki-laki
baik seperti Attar, tapi toh dirinya merasa sedikit sedih ketika membaca
balasan chat dari Attar. Lelaki yang biasanya ramah padanya, kali itu
membalas dengan pesan yang singkat dan datar.

Duh Far! Lu maunya apa sih?!


Katanya nggak suka lagi sama Om Erlang, tapi menikmati dicium?
Katanya nggak mau PHP Pak Attar, tapi pas dia anyep, lo malah sedih?
Plin-plan banget sih lo!

***
3.
"Udah yakin nih ya?" tanya sang pria sambil memandang berkeliling
menyapu seluruh kamar asrama karyawan tempat Farah tinggal selama
setahun ini. Lelaki itu mengedarkan pandangan hingga ke sudut-sudut.
"Udah diperiksa semua? Nggak ada barang yang ketinggalan ya?"

Farah berdecak. Cerewet amat sih, gerutu Farah dalam hati.

"Udah semua, Om," jawab Farah, malas-malasan. "Aku nggak bawa banyak
barang pas kesini. Nggak beli banyak barang juga selama di sini. Cuma
nambah oleh-oleh doang buat Mama dan Faris. Jadi harusnya Om Erlang
nggak usah repot jemput kesini. Aku bisa ke Jakarta sendiri," lanjutnya
mengomel.

Tapi meski hatinya menggerutu dan bibirnya mengomel, ada setitik sudut di
hati Farah yang menyukai perhatian yang diberikan Erlang padanya. Ini
memang lebay. Koper dan tasnya tidaklah banyak, tapi Erlang berkeras
menjemputnya ke Bali dan menemaninya hingga tiba di Jakarta. Padahal
Farah sudah berkali-kali bilang bahwa Erlang tidak perlu menjemputnya,
tapi seperti selalu, mana pernah Erlang tidak keras kepala kan?

Setelah memastikan tidak ada barang miliknya yang tertinggal di kamarnya,


Farah keluar kamar diiringi Erlang yang menarik kopernya, dan mengunci
pintunya. Kemudian ia menemui pengurus asrama karyawan dan
mengembalikan kunci kamarnya, seraya berpamitan. Erlang kemudian
memesan taksi online untuk membawa mereka ke bandara.

Mereka menunggu kedatangan taksi online di lobi asrama ketika seseorang


menyapa Farah.

"Pulang sekarang ya Mbak?" sapa gadis itu dengan wajah ramahnya.


"Semoga makin sukses di Jakarta ya Mbak."

"Eh, Ayu," Farah balik menyapa. "Aku pamit ya Yu. Makasih banyak ya,
selama aku disini, kamu banyak bantuin aku. Maaf ya, aku banyak
ngerepotin."

Mereka kemudian saling cipika-cipiki dengan hangat.

Ayu juga karyawan hotel tempat Farah bekerja. Ia juga bukan orang asli
Bali. Sehingga ia juga tinggal di asrama karyawan, seperti halnya Farah.
Kamarnya bersebelahan dengan kamar Farah, sehingga di awal Farah
tinggal disana, Ayu banyak membantunya beradaptasi.

"Nggak kok Mbak, saya nggak repot kok." Gadis bertubuh mungil (karena
tingginya hanya 160 cm) tapi sintal itu kemudian menoleh pada Erlang.

Gadis itu kemudian tersenyum pada Erlang. "Pagi, Pak Erlang," sapa gadis
itu ramah.

Karena Erlang sudah beberapa kali menemui Farah di Bali, dan selalu
menginap di hotel tempat Farah bekerja, jadi beberapa karyawan hotel juga
mengenal Erlang.

"Pagi," Erlang membalas singkat, sebelum tiba-tiba ponselnya bergetar.

Panggilan telepon dari pengemudi taksi online memutus percakapan Farah


dan Ayu. Kedua perempuan itu berpelukan sekali lagi sebelum Farah benar-
benar berpamitan dan pergi.

***

Farah tiba di rumah saat tengah hari. Pintu pagar tidak dikunci dan pintu
rumahnya terbuka. Sepertinya Mama dan Faris sedang menantinya pulang.
Farah melangkahkan kaki di halaman itu dengan perasaan hangat, rindu,
namun sekaligus perasaan kosong. Ia bahagia akan segera menyambut
kehangatan keluarganya lagi setelah menahan rindu selama 1 tahun. Tapi
ada sisi hatinya yang kosong, karena ia tahu meski ia pulang ke rumah ini,
ia tetap tidak akan menemukan orang itu. Ayahnya. Yang telah meninggal
setahun lalu.

"Mbak Farah!"

Farah mendengar sebuah suara yang dirindukannya, memanggil namanya.


Pemuda itu berdiri di depan pintu dengan wajah semringah.

"Mbak Farah udah sampai, Ris?"

Suara lain, sebuah suara wanita, yang amat dirindukan Farah terdengar dari
balik punggung Faris. Tak lama kemudian wanita itu muncul dari balik
punggung Faris. Usia bagai tidak mempengaruhinya sama sekali, karena
wanita itu masih secantik yang diingat Farah.

"Mama!"

Farah mempercepat langkahnya. Dan ketika telah tiba di hadapan wanita


cantik yang telah melahirkannya itu, yang kini berdiri dengan senyum lebar
dan mata berembun, Farah segera meraih tangan wanita itu, lalu
menciumnya. Dua detik kemudian Farah melepaskan tangan ibunya, dan
beralih memeluknya. Dengan sangat erat.

"Farah kangen, Ma," kata Farah sambil menumpukan dagunya di pundak


sang ibu, ketika ia memeluknya.

Sang ibu mengangkat tangannya, membalas pelukan anak gadisnya dan


membelai punggungnya. Menyalurkan rasa rindunya pada pelukan dan
usapan tangannya.

"Padahal sering telponan juga. Masih kangen aja," komentar seseorang


yang berdiri di sisi Farah dan ibunya. Si pemuda yang kini sedang merasa
diabaikan. "Lebay lo, Mbak."

"Sirik aja lo, Ris!" balas Farah, tak mau kalah.

Sementara sang ibu tertawa mendengar perdebatan kedua anak itu. Selama
setahun ini, ia kehilangan kemeriahan perdebatan kedua kakak-beradik itu.

Selagi ibu dan kakaknya masih berpelukan bernostalgia, Faris menoleh ke


arah pagar rumahnya. Di sana berdiri seorang laki-laki yang sedang
menarik sebuah koper. Farah mengenali koper itu sebagai milik kakaknya.

"Lo nggak mau dijemput gue dan Mama di bandara, karena dijemput Om
Erlang ya Mbak?" tanya Faris. Matanya masih menatap lelaki yang masih
berdiri di pintu pagar.

Pertanyaan itu membuat Farah terkesiap dan melepaskan diri dari pelukan
ibunya.

***

Itu adalah hari Minggu siang, ketika Farah berkunjung ke rumah itu. Sama
seperti rumahnya, Farah juga merindukan rumah itu setelah 1 tahun tidak
pernah mengunjungi.

Tidak sampai satu menit setelah Farah menekan bel, seseorang


membukakan pintu pagar.

"Mbak Farah!" sambut seorang perempuan antusias. "Ya ampun, Mbak


Farah udah pulang? Kok nggak ngabar-ngabarin mau dateng? Apa kabar,
Mbak?"

"Saya sehat, Mbak. Mbak Wati apa kabar? Sehat juga nih kayaknya ya?"

Kedua perempuan itu bercengkerama sesaat sebelum Mbak Wati mengajak


Farah masuk dengan antusias.

"Pak, ada tamu jauh," Mbak Wati melaporkan kepada sang pemilik rumah,
sambil tersenyum lebar.

Farah sudah masuk ke ruang tamu, dan baru sampai di perbatasan dengan
ruang keluarga. Dari tempatnya berdiri, ia bisa melihat sang pemilik rumah
sedang duduk di sofa, menonton tv. Sementara ada seorang anak laki-laki
yang sedang duduk di sisi lelaki itu, sambil bermain dengan tablet.

Sang pemilik rumah mengalihkan pandangannya dari layar televisi. Namun


ia belum sempat melihat siapa tamunya ketika sekonyong-konyong
seseorang berteriak memanggil nama sang tamu.

"Kak Farah!"

Lalu tanpa sempat disadari Farah, tubuhnya sudah ditabrak oleh seseorang.
Seorang anak, lebih tepatnya.
Farah tertawa sambil melepaskan tangan anak itu yang melingkar pada
pinggangnya. Ia kemudian berlutut hingga matanya sejajar dengan mata
anak itu.

"Kak Farah kangen Ahsan," kata Farah.

"Ahsan juga kangen!" balas anak lelaki itu sambil kembali memeluk Farah.
Kali ini di lehernya.

Farah masih memeluk Ahsan, ketika ia menyadari sang pemilik rumah


sudah berdiri di dekatnya.

"Farah udah pulang? Apa kabar?" sapa lelaki itu sambil tersenyum.

Farah menengadah dan membalas senyuman itu. Ia kemudian perlahan


melepaskan diri dari pelukan Ahsan.

"Kabar baik, Pak. Pak Attar juga sehat kan?" Farah balik menyapa.

"Seperti yang kamu lihat," jawab lelaki itu. "Kamu kapan pulang?"

"Baru kemarin, Pak. Hari ini langsung kesini, soalnya kangen sama Ahsan,"
jawab Farah sambil membelai rambut anak itu, yang masih merangkul
pinggangnya. "Kak Farah bawa oleh-oleh lho buat Ahsan."

"Yeaayyy. Asiikkk," pekik Ahsan bersemangat.

Sang ayah tampak geleng-geleng kepala melihat tingkah anaknya, sebelum


matanya kembali beralih pada Farah.

"Kenapa nggak mengabari? Kalau Farah bilang, kita bisa jemput di


Bandara. Iya kan, San?"

"Iya, kok Kak Farah nggak bilang-bilang sih?" Ahsan menimpali.

"Kan biar surprise," jawab Farah. Lalu ia terkekeh. "Lagian takut


ngerepotin Bapak dan Ahsan."
"Merepotkan apa sih," jawab Attar. "Jadi kemarin Mama dan Faris yang
jemput?"

"Em... sebenarnya kemarin Om Erlang yang jemput saya di Bali. Bantuin


bawa barang-barang saya juga."

"Oh iya. Sudah nggak balik kesana lagi, pasti bawa banyak barang kan ya,"
kata Attar sambil mengangguk-angguk.

"Yuk, masuk Kak Farah!" potong Ahsan kemudian, sambil menarik tanyan
Farah untuk mengikutinya ke ruang keluarga.

"Eh, sebentar. Kak Farah belum salim sama Papa," kata Farah menahan,
sebelum Ahsan keburu menariknya masuk.

Farah segera mengulurkan tangan pada Attar karena sejak tiba tadi ia belum
bersalaman dengan sang pemilik rumah. Tapi kali itu lelaki itu menggeleng
sambil tersenyum.

"Mulai sekarang nggak usah cium tangan lagi. Saya bukan dosen Farah
lagi," kata Attar.

"Eh?"

Lelaki itu kemudian menoleh pada Wati. "Nitip bawain minuman sama
cemilan buat Farah dan Ahsan ya, Ti."

"Iya, Pak," jawab Wati cepat.

"Ahsan, ajak Kak Farah masuk," lanjut Attar pada anaknya.

"Siap, Pa!" jawab Ahsan. Ia kemudian menoleh dan menengadah pada


Farah, "Yuk, Kak Farah."

"Saya masuk ya Pak," Farah meminta ijin pada Attar.

"Silakan," jawab pria itu dengan senyum ramahnya. "Oiya, kalian santai aja
ngobrolnya. Maaf saya nggak bisa nemenin. Saya lagi ada beberapa
kerjaan. Kalau nanti butuh apa-apa panggil saya di ruang kerja saya ya."
"Eh?"

Farah pikir, karena dirinya "tamu jauh" dan baru saja tiba di Jakarta, sang
tuan rumah tentu akan menyambutnya kan? Kenapa malah ditinggal kerja?

"Yuk, masuk, Farah. Ditemani Ahsan dan Mbak Wati ya," kata sang pemilik
rumah.

Ahsan kemudian menarik tangan Farah dan mengajaknya duduk di sofa


ruang keluarga. Anak itu sudah sibuk berceloteh, sementara Mbak Wati
sedang sibuk di dapur untuk menyiapkan pesanan Attar.

Sementara itu, selagi mendengarkan cerita Ahsan yang antusias, Farah


menoleh pada punggung mantan dosennya yang kini memasuki ruang
kerjanya dan menutup pintunya.

***

Yuhuuuu!
Siapa yang semangat baca kelanjutannya?
4.
Aloha Kakak2. Makasih sudah mampir ke lapak ini dan terus setia
sama cerita Erlang-Farah-Attar.

Btw ternyata kebanyakan Kakak2 dsni udah punya kecenderungan


milih Erlang atau Attar ya? Kayaknya nggak ada yang masih netral
kan ya?

Di satu sisi, saya bahagia krn itu berarti saya berhasil menuliskan
karakter yang bisa dicintai pembacanya. Tapi di sisi lain, berarti ada
salah satu (atau kedua) kubu yang akan kecewa karena tentunya
Farah nggak akan memilih dua-duanya kan? (Ya asik bgt kalo bisa
memiliki dua om2 hot gitu. Aing juga mau. Hahaha)

Penulis nggak bisa selalu menyenangkan semua pembaca kan?

Jadi, bagi yang sudah mempersiapkan hati, silakan melanjutkan


membaca cerita ini. Makasih byk buat Kakak2 yang tetap setia
mendukung, meski mungkin akan kecewa.

***

Waktu adalah sesuatu yang relatif. Bagi satu orang waktu berjalan sangat
lambat, bagi yg lain justru berlari sangat cepat. Bagi satu orang, waktu tidak
mengubah apapun, tapi bagi yang lain justru mengubah banyak hal.

Satu tahun yang lalu Farah meninggalkan Jakarta untuk melarikan diri,
sambil berharap waktu bisa membantunya melupakan hal-hal menyakitkan
yang dialaminya. Tapi ternyata waktu bukan hanya mengubah dirinya, tapi
juga mengubah banyak hal di sekitarnya. Dan beberapa, justru berubah ke
arah yang tidak disukainya.

Farah pergi memang salah satunya untuk menghindari Erlang. Tapi misinya
yang itu tidak berhasil. Karena toh lelaki itu berhasil menemukannya dan
beberapa kali menemuinya di sana.
Sebaliknya, meski ia ingin menghindari Erlang, bukan berarti ia ingin
hubungan Erlang dan keluarganya menjadi renggang. Tapi ternyata justru
hal itu yang terjadi. Ketika Erlang datang bersamanya ketika ia akhirnya
pulang ke rumah, Farah melihat kecanggungan menguar diantara Erlang,
Mama dan Faris. Erlang bersikap seperti tamu, sementara Mama dan Faris
juga memperlakukan Erlang seperti tamu. Bukan seperti bagian keluarga
mereka lagi.

Dan itu membuat Farah merasa berdosa. Ia merasa bersalah kepada Erlang
karena sudah menyebabkan hubungan pria itu dengan keluarganya menjadi
buruk. Andai dia dulu tidak menggoda Erlang, lelaki itu mungkin tidak
akan melakukan hal itu padanya, dan mungkin hubungan Erlang dengan
keluarganya akan tetap baik-baik saja.

Farah mendeteksi sikap Mama dan Faris yang berbeda pada Erlang, dan
sebaliknya, ketika Erlang mengantarnya pulang dari Bali. Sikap Mama dan
Faris kepada Erlang, meski tidak dingin, tapi juga tidak sehangat setahun
yang lalu. Sebaliknya, Erlang juga terlihat lebih canggung. Farah pikir,
setelah setahun berlalu Mama dan Faris akan memaafkan Erlang dan
kembali bersikap hangat. Ternyata tidak.

Forgiven, not forgotten.

Mama dan Faris memang bilang sudah memaafkan Erlang. Tapi mereka
tidak melupakan apa yang telah dilakukan Erlang kepada Farah. Dan itu
membuat sikap mereka pada Erlang berubah.

"Selama lo di Bali, Om Erlang sering nyamperin?" tanya Faris pada Farah


ketika Farah membantu adiknya itu berkemas.

Sebenarnya Farah tidak benar-benar membantu Faris berkemas sih. Dia


cuma menonton adiknya berkemas karena beberapa hari lagi Faris akan
pindah ke Bandung.

Setelah satu tahun bekerja di Bali, Farah kembali ke Jakarta karena tidak
mungkin meninggalkan sang ibu sendirian di rumah jika nanti Faris kuliah
di Bandung.
"Nggak sering," jawab Farah kalem.

"Berarti lebih dari sekali?" tanya Faris lagi.

"Hu-uhm," Farah mengangguk.

"Kata lo, dia cinta sama perempuan lain. Tapi kenapa masih ngejar-ngejar
lo?"

"Dia bukan ngejar-ngejar gue. Dia cuma masih dikejar rasa bersalah."

"Dan lo masih naksir dia?"

"Nggak," jawab Farah enteng. Meski Farah belum dapat sepenuhnya


menjauhkan diri dari Erlang, setidaknya setelah 1 tahun berlalu, Farah
berhasil mensugesti dirinya bahwa dia tidak lagi menyukai Erlang.

Faris menghentikan kegiatan beres-beresnya seketika, saat mendengar


jawaban Farah. Ia menoleh pada kakaknya dan menatap kakaknya dengan
intens. Memastikan bahwa pendengarannya tidak bermasalah, atau Farah
yang tidak berbohong.

Farah tidak mengalihkan pandangan dari Faris. Entah karena Farah berkata
jujur atau dia sudah bisa berbohong dengan lebih lancar sekarang, Faris
sulit menerka isi hati kakaknya yang sebenarnya.

"Nggak jelas lo, Mbak," kata Faris kemudian. "Katanya nggak naksir, tapi
kok masih mau-mau aja dideketin terus-terusan. Nggak kasihan sama hati lo
sendiri kalo sampe kebaperan padahal jelas-jelas dia naksirnya sama orang
lain?"

Farah menghela nafas berat. Semua yang dikatakan Faris itu benar.

"Ris..."

"Hmmm?"

"Kata Om Erlang, dia sekarang cinta sama gue," kata Farah akhirnya.
Seumur hidupnya, ia tidak pernah curhat pada Faris. Kalau bertengkar sih,
mereka sering. Sering banget. Tapi bicara dari hati ke hati, nyaris tidak
pernah. Jijik, kata Faris, merujuk pada aktivitas melow-melow saat saling
mencurahkan perasaan. Tapi mengingat hanya ibunya dan Faris yang
mengetahui permasalahannya ini, dan ia tidak nyaman curhat pada ibunya
tentang Erlang, maka Farah merasa berdiskusi pada Faris adalah hal yang
paling memungkinkan.

"Dan lo percaya?" tanya Faris, sambil lalu. Tangannya masih bergerak


melipat pakaian-pakaiannya.

Farah angkat bahu. "Nggak tahu deh."

"Lo sendiri yang tadi bilang, bahwa dia masih ngejar-ngejar lo karena rasa
bersalah. Eh belum sampe 5 menit, lo bilang bahwa dia cinta sama lo.
Beneran nggak jelas lo mah Mbak."

Gini nih nyebelinnya curhat sama Faris. Bukannya dibesarkan hatinya, tapi
malah disalah-salahin. Nyebelin emang punya adek yang ngomongnya
kurang diayak gini.

"Disini nih, masalahnya ada di lo, Mbak. Lo yang belum bisa identifikasi,
sebenernya perasaan lo ke Om Erlang gimana sih? Kalau udah nggak cinta,
jangan ngasih dia harapan seolah-olah lo bakal balas perasaannya. Kalo
sebenernya masih cinta tapi takut terluka, ya lo buruan menjauh. Tapi kalau
lo masih cinta, ya nggak usah denial mulu. Capek gue, ngeliat lo denial
mulu. Jauh-jauh ke Bali, tapi kagak ada progress juga. Masih untung
pulangnya bawa oleh-oleh. Jadi nggak sia-sia banget lah lo kerja jauh-jauh
gitu."

Meski sebal dengan cara bicara Faris, Farah terpaksa mengakui bahwa
semua yang dikatakan adiknya itu benar.

"Tapi kalaupun gue dan Om Erlang sama-sama saling cinta, toh lo dan
Mama tetep nggak setuju kan?"

Kali ini Faris menghentikan kegiatannya lagi, untuk bicara lebih dalam
dengan kakaknya.
"Selama gue di Bali, Om Erlang jarang main kesini lagi ya?" tanya Farah.

"Pernah. Pas lebaran."

Farah menghela nafas berat sekali lagi. Padahal biasanya lelaki itu
berkunjung 1-2 bulan sekali ke rumah mereka. Hanya untuk main catur
dengan ayahnya atau main game dengan Faris. Atau sekedar mengantarkan
bahan makanan yang berlebih dari restorannya, atau mengantarkan menu
baru yang dicobanya. Tapi gara-gara dirinya, semua berubah.

"Tuh kan. Hubungan Om Erlang dengan lo dan Mama udah nggak akrab
lagi. Jadi kalaupun gue masih cinta Om Erlang, dan kalaupun bener dia
sekarang cinta sama gue, lo dan Mama pasti nggak setuju kan?"

"Ribet banget ya pola pikir cewek," keluh Faris. "Gini deh Mbak. Gue
sayang sama lo. Mama sayang banget sama lo. Jadi pas kami tahu apa yang
dilakukan Om Erlang pada orang yang kami sayangi, wajar kan kalau kami
jadi benci dia? Hanya karena kami mengingat kebaikannya selama ini ke
keluarga kita, jadi gue dan Mama masih bersikap baik. Tapi cuma itu yang
bisa kami lakukan. Untuk bersikap ramah seperti dulu lagi, gue dan Mama
nggak bisa."

Faris mengatakannya dengan nada sinis. Tapi entah kenapa Farah merasa
terharu pada kata-kata adiknya.

"Tapi kalau emang bener kalian saling mencintai, ya kalian berdua harus
berusaha meyakinkan gue dan Mama untuk bisa nerima kalian dong," lanjut
Faris. "Tapi gimana bisa kalian berdua bikin kami menyetujui hubungan
kalian, kalau perasaan kalian satu sama lain aja nggak kuat. Boro-boro kuat,
jelas aja kagak."

Semua yang dikatakan Faris memang masuk akal.

"Tapi Ris," kata Farah. "Andaipun gue nggak punya hubungan apa-apa
sama Om Erlang, gue nggak mau hubungan lo, Mama dan Om Erlang jadi
jauh. Gue merasa bersalah."

"Jodoh lo emang sama dia, Mbak," tukas Faris.


Eh?

"Dia masih ngejar-ngejar lo karena rasa bersalah. Lo sungkan menghindar


dari dia juga karena rasa bersalah. Cocok emang!" kata Faris. "Tapi
pernikahan nggak bisa dibangun di atas rasa bersalah."

Farah menatap adiknya dengan tatapan nanar.

Yakin nih anak baru 18 tahun? Kok ngomongnya jleb banget?

***

Dedek Faris, come to Tante sinih, Dek!


5.
Sore itu Farah sedang bersantai nonton TV setelah selesai memasak makan
malam, ketika tamu tak terduga datang ke rumahnya.

"Kak Farah! Kak Faris! Assalamualaikum!" sapa sebuah suara nyaring dari
arah pintu masuk yang memang sedang terbuka.

Farah segera melongokkan kepala ke pintu masuk, dan ketika melihat


tamunya ia bangkit dengan ekspresi kaget sekaligus antusias.

Faris yang sedang berada di atas tangga di ruang tamu, mengganti salah
satu lampu gantung di ruang tamu, menghentikan kegiatannya. Ia
menunduk, melihat pada sang tamu, dan tersenyum semringah.

"Hai Ranger Biru!" sapa Faris. "Waalaikumsalam. Masuk!"

"Thank you, Red Ranger!"

Farah spontan tertawa mendengar Faris dan si Ranger Biru saling bersapa.

"Bentar ya, Ahsan, Pak Attar. Saya nanggung, lagi ganti lampu. Masuk
dulu, Pak," kata Faris.

"Makasih," kata Attar.

Farah menghampiri kedua tamu tersebut. "Kok Bapak dan Ahsan nggak
ngabarin mau dateng?" tanyanya ketika sudah tiba di depan pintu ruang
tamu. Ia lalu meraih tangan Ahsan dan menggandengnya untuk masuk.
Attar mengikuti mereka, pun saat Farah dan Ahsan duduk di sofa ruang
tamu, Attar ikut duduk di sisi sofa yang berseberangan.

"Papa udah ngabarin kan?" Ahsan bertanya kepada sang ayah dengan wajah
bingung.
Tapi alih-alih Attar, malah Faris yang menjawab, "Papa udah WA kak Faris
kemarin, San. Kak Faris aja yang lupa bilang ke Kak Farah."

Farah menatap adik dan mantan dosennya itu bergantian, sesaat. Sejak
kapan mereka jadi dekat dan saling berbalas pesan?, pikir Farah. Biasanya
kan Attar menghubungi Farah kalau ia mau datang berkunjung. Tapi kenapa
sekarang menghubungi adiknya?

"Kak Faris jadi pindah besok?" tanya Ahsan, menengadah, menatap Faris
yang masih di atas tangga saat mengganti lampu.

"Jadi, San," jawab Faris.

"Udah beres packing?" Kali ini Attar yang bertanya.

"Beres, Pak," jawab Faris.

"Besok jadinya naik travel dari mana?"


tanya Attar lagi. Sebelumnya Faris memang pernah cerita bahwa ia tidak
naik kereta api untuk ke Bandung.

"Nggak jadi naik travel, Pak. Jadinya besok dianter Om Erlang. Mbak Farah
yang usul supaya diantar Om Erlang aja. Karena bawaan saya lumayan
banyak."

Farah terkesiap di tempat duduknya. Duh ngapain sih Faris cerita tentang
Om Erlang segala, gerutu Farah. Memang benar, Farah yang mengusulkan
agar Faris menerima penawaran Erlang untuk mengantarnya pindahan ke
Bandung. Selain karena bawaan Faris yang banyak sehingga akan repot
kalau naik kereta atau travel, juga agar Mama dan Farah bisa ikut
mengantar ke Bandung dan membantu Faris beres-beres kosnya. Selain itu,
Farah mengusulkan hal itu agar hubungan Erlang dengan Faris dan Mama
kembali hangat.

Tapi kan nggak perlu cerita ke Pak Attar, keluh Farah dalam hati. Gimana
kalau Pak Attar nggak suka mendengar cerita tentang Om Erlang?
"Oh iya. Betul itu sarannya. Mama dan Mbak Farah bisa sekalian bantuin
kamu pindahan kan, Ris, kalau ada yang mengantar."

Eh? Barusan itu Attar yang bicara? Kok sama sekali tidak terlihat kesal atau
tidak suka? Wajahnya juga santai saja dan tersenyum. Apakah sekarang
Attar tidak lagi menganggap Erlang sebagai saingan? Apa itu berarti Attar
sudah tidak tertarik lagi pada Farah?

Farah belum selesai dengan keheranannya ketika ia mendengar suara


nyaring Ahsan.

"Halo Tante!" sapa Ahsan, ceria, ketika melihat seorang perempuan masuk
ke ruang tamu.

"Halo Ahsan ganteng!" sambut ibu Farah dengan ceria.

Ahsan bangkit dari duduk dan melangkah ceria menghampiri Mama, lalu
mencium tangannya. Mama menyambutnya dengan mengacak rambut
Ahsan pelan.

"Pak Attar," sapa Mama ramah ketika ia menggandeng Ahsan kembali ke


sofa di ruang tamu.

"Bu," Attar membalas sapaan Mama sambil menganggukkan kepala dengan


sopan. "Sehat, Bu?"

"Alhamdulillah, Pak," jawab Mama. "Pak Attar dan Ahsan juga sehat
kelihatannya."

"Alhamdulillah, Bu," jawab Attar. "Ini si Ahsan minta ketemu Kak Faris
sebelum Kak Faris sekolah jauh katanya."

Mama mengelus kepala Ahsan. Sementara Faris, masih sempat-sempatnya


mengejek.

"Duh, jadi terharu. Akhirnya ada juga yang mau ketemu saya. Kirain yang
dikangenin cuma Kak Farah aja." Saat itu Faris menunduk sesaat dari
tangganya. Tapi alih-alih menatap Ahsan, Faris malah melirik Farah dan
Attar bergantian.
Farah mendelik pada Faris. Sementara Attar tenang saja menanggapi. Dan
Ahsan tertawa.

"Sini turun, Ris!" panggil Ibu. "Disamperin Ahsan, kamu malah sibuk
benerin lampu. Nanti aja ganti lampunya."

"Iya, Ma. Tanggung ini. Besok-besok Faris nggak disini, siapa yang mau
manjat ganti lampu? Jadi sebelum Faris pergi, semua lampu yang mulai
redup, Faris ganti aja lah."

Farah terkesima mendengar kata-kata Faris. Ternyata adiknya yang dulu


selalu semaunya sendiri, sekarang sudah berubah jadi pemuda yang sangat
perhatian pada keluarga. Meski gayanya tetap tengil, nyebelin dan ngajak
berantem terus, ternyata Faris cukup bertanggung jawab.

Faris turun dari tangga setelah selesai mengganti lampu di ruang tamu.

"Ahsan, Pak Attar, bentar ya. Saya ganti 2 lampu lagi di dapur dan teras
belakang. Cepet kok," kata Faris sambil bersiap menggotong tangga
lipatnya.

"Iya Kak. Aku main dulu sama Kak Farah," kata Ahsan.

"Saya bantuin deh, biar cepet," kata Attar sambil bangkit dari duduknya.

"Eh nggak usah Pak!" pekik Faris, bersamaan dengan Mama dan Farah
yang juga berkata, "Jangan, Pak!"

Attar tertawa melihat respon spontan ketiga orang tuan rumah itu. "Saya
belum tua-tua amat, bahkan untuk naik genteng kok," kata Attar. Kemudian
ia menggiring Faris untuk masuk ke dapur.

"Tante hari ini bikin kue apa?" tanya Ahsan, sepeninggal ayahnya.

"Eh?" Perhatian Mama dan Farah teralihkan dari sosok Attar yang masuk
lebih jauh ke rumah mereka. "Tante nggak bikin kue hari ini, San. Tapi tadi
Tante goreng lumpia. Mau?"

"Mau!" jawab Ahsan bersemangat.


"Oke. Tante ambilin ya."

Mama Farah meninggalkan Farah dan Ahsan beberapa saat untuk


mengambilkan lumpia dan minuman untuk Ahsan dan ayahnya.

"Ahsan sering kesini, selama Kak Farah di Bali?" tanya Farah.

Melihat keakraban Ahsan dan Faris, Farah menduga mereka sudah


beberapa kali bertemu.

"Hmmmmm," Ahsan mengerutkan kening. "Pas lebaran dan pas liburan


sekolah. Waktu aku dapet ranking 1 kan Papa udah janji mau ngajak Ahsan
main ke Bali ketemu Kak Farah. Eh tapi Papa ada tugas mendadak ke luar
negeri. Jadi pas lagi bosen di rumah, Ahsan ngajak Mbak Wati kesini
supaya bisa main sama Kak Faris. Seru banget deh!"

Farah sudah mendengar Attar membatalkan kedatangannya ke Bali waktu


itu, padahal Farah dan Ahsan sudah menunggu-nunggu untuk saling
bertemu. Tapi baru saat itu Farah mendengar bahwa saat itu Ahsan justru
pergi mendatangi adiknya.

"Kue-kue buatan Tante juga enak-enak. I like to be here!"

Farah meresponnya dengan tawa.

Beberapa saat kemudian Mama keluar ke ruang tamu sambil membawa


piring berisi beberapa lumpia dan dua gelas minuman untuk Ahsan dan
ayahnya.

Tapi belum sempat Mama mempersilakan Ahsan mencicipi lumpianya,


Farah mendengar seseorang mengucap salam dari arah pintu masuk.

"Assalamualaikum, Farah, Mbak," sapa orang itu di depan pintu. "Aku tadi
abis dari restoran, sekalian mampir kesini. Boleh masuk?"

Duh Gusti!, keluh Farah. Ia ingin mempersilakan tamu itu masuk, sehingga
bisa makin sering bertemu Mama dan Faris, agar hubungan mereka
membaik. Tapi kenapa orang ini mesti datang sekarang sih? Kalau Pak
Attar nggak suka, gimana? Kalau suasana jadi canggung, gimana? Kalau
gara-gara orang ini, Pak Attar jadi langsung mengajak Ahsan pulang,
gimana?

***

Ya kalo Pak Attar mau pulang, biarin aja sih Far. Kan bukannya situ
emang lbh peduli sm Om Erlang drpd sm Pak Attar?

Iya kan?
6.
Please tandain kalau ada yang typo ya Kak

***

Erlang menatap anak lelaki yang sedang menikmati lumpia di hadapannya.


Anak itu terlihat sangat nyaman bersama Farah dan Fariha, sehingga
kehadiran Erlang tidak bisa mengalihkan perhatiannya, atau membuatnya
menjadi canggung.

"Ahsan udah lama disini?" tanya Erlang, entah kepada siapa. Matanya
beralih dari Ahsan, Farah, kemudian Fariha.

"Udah, Om," akhirnya Ahsan yang menjawab. Mulutnya masih sambil asik
mengunyah lumpia.

"Ayah kok ngga ikut?" Erlang melanjutkan basa-basinya. Di teras tadi dia
sudah melihat ada sepasang sepatu laki-laki dewasa. Jadi Erlang yakin ayah
anak ini memang berada di rumah ini. Tapi kenapa sudah hampir 5 menit ia
disana, lelaki itu tidak kelihatan? Apakah mungkin sedang ke toilet?

"Papa di belakang, Om. Bantuin Kak Faris," jawab Ahsan lagi.

"Bantuin?"

"Faris lagi ganti lampu-lampu yang mulai redup," kali itu Fariha yang
menjawab. "Katanya supaya pas dia di Bandung, aku dan Farah nggak perlu
naik tangga buat ganti lampu kalau sewaktu-waktu mati."

"Padahal nggak perlu gitu. Kalau Mbak dan Farah perlu bantuan buat
urusan lelaki kayak gitu, bisa panggil aku aja."

Fariha tersenyum. "Makasih ya Lang."


"Aku ke belakang dulu juga deh kalau gitu, Mbak. Mungkin Faris butuh
bantuan tambahan."

"Nggak usah, Lang," cegah Fariha. "Udah ada Pak Attar. Tangganya juga
cuma satu. Nanti malah heboh. Kamu disini aja."

"Oh..." Hanya itu yang terucap dari bibir Erlang. Meski dalam hati dia
kecewa.

Setahun lalu, lelaki bernama Attar itu yang duduk dan diperlakukan sebagai
tamu, sementara dirinya bisa masuk dengan leluasa ke dalam rumah itu,
bahkan hingga ke dapur. Tapi kini keadaannya berkebalikan. Attar justru
bisa masuk hingga ke dalam rumah, sementara dirinya diperlakukan seperti
tamu yang dipersilakan duduk di ruang tamu.

Sepertinya keluarga ini memang tidak menganggapnya sebagai keluarga


lagi.

"Aku bikinin minum ya, Lang? Sirup melon kan?"

Senyum Erlang melebar sambil mengangguk. "Iya, Mbak. Makasih."

Setidaknya, Fariha masih ingat rasa minuman kesukaannya kan?

Sementara itu, sambil menemani Ahsan makan lumpia, Farah


memerhatikan interaksi kedua orang di hadapannya. Gesture ibunya
barangkali memang masih terlihat menjaga jarak meski Erlang tampak
berusaha mengakrabkan diri. Tapi ternyata sang ibu tetap mengingat rasa
minuman kesukaan Erlang.

Apakah barangkali setelah satu tahun berlalu, ternyata tidak banyak hal
yang berubah? Apakah meski kedekatan hubungan mereka berubah, tapi
perasaan mereka tidak pernah benar-benar berubah?

"Kak Farah," panggil anak lelaki yang duduk di sisinya tiba-tiba. Membuat
perhatian Farah terdistraksi. "Ahsan pengin pipis. Anterin yuk!"

***
"Bapak seneng dong ya, Mbak Farah udah balik kesini?" tanya Faris sambil
memutar bola lampu, hendak mencopotnya.

Sementara itu Attar berdiri di bawah, memegangi tangga sambil memegang


sebuah bola lampu baru yang siap diserah-terimakan dengan Faris. Dengan
demikian Faris tidak perlu naik-turun mengambil bola lampu saat
melakukan hal itu.

"Hmmm." Hanya itu yang diberikan Attar, tanpa benar-benar menjawab.

Setelah mencopot bola lampu lama, Faris menunduk dan memberikan bola
lampu lama tersebut kepada Attar. Sementara Attar menyerahkan bola
lampu baru lepada Faris, sambil siap menerima yang lama.

"Boleh minta tolong, Ris?" tanya Attar kemudian.

"Eh? Kenapa Pak? Minta tolong sekarang? Nanggung ini, masang 1 lampu
lagi, boleh?"

"Bukan minta tolong soal itu," kata Attar sambil terkekeh karena Faris salah
paham.

"Eh? Trus minta tolong apa Pak?"

"Jangan ngeledekin atau jodoh-jodohin saya dan Farah lagi, seperti yang
tadi kamu lakukan di ruang tamu. Ya?"

Seketika itu juga Faris menghentikan kegiatannya dan menunduk menatap


Attar.

"Bapak tersinggung ya? Maaf ya Pak," kata Faris, tidak enak hati. Dia
berniat turun dari tangga dan meminta maaf dengan sopan pada Attar, tetapi
lelaki itu mencegahnya.

"Selesaikan ganti lampunya dulu," perintah Attar.

Demi menghormati keputusan Attar, Farispun tidak jadi turun dari


tangganya.
"Saya bukan tersinggung. Kamu nggak usah khawatir," kata Attar,
menenangkan Faris. "Saya cuma nggak enak sama Farah kalau dia jadi
harus diledek seperti itu gara-gara saya. Padahal udah jelas-jelas dia nggak
suka sama saya."

"Eh? Tapi Bapak masih suka sama Mbak Farah kan? Kalau masih suka, ayo
saya bantuin terus, Pak."

Attar hanya terkekeh sambil geleng-geleng kepala melihat tingkah Faris.

"Eh? Bapak udah nggak naksir Mbak Farah lagi?" tanya Faris kali ini.

Attar menanggapinya masih dengan senyuman.

"Atau Bapak mulai naksir cewek lain?"

Attar tetap tersenyum.

"Yahhhh. Gagal deh, jadi adik iparnya Bapak."

Kali ini tawa Attar melebar. "Kamu emangnya nggak malu, Ris, kalau
kakak iparnya om-om kayak saya?"

Pertanyaan itu dijawab dengan tawa yang tak kalah lebar oleh Faris.

"Sudah satu tahun, dan sekarang makin jelas. Farah memang cuma
menganggap saya sebagai dosennya. Jadi sudah, jangan diledekin lagi.
Nanti dia merasa makin nggak nyaman," kata Attar. "Lagian umur saya
sudah segini. Lebih pantes jadi papa tiri kamu, dibanding jadi kakak ipar."

***

Farah mengantar Ahsan hingga di depan kamar mandi. Pun setelah Ahsan
masuk kamar mandi untuk pipis, Farah tidak meninggalkannya. Ia
menunggu anak itu di luar pintu kamar mandi.

Saat itulah Farah menyadari bahwa Faris dan Attar sedang ngobrol sambil
memasang lampu di teras belakang.
"Jangan ngeledekin atau jodoh-jodohin saya dan Farah lagi, seperti yang
tadi kamu lakukan di ruang tamu. Ya?"

Begitu yang didengar Farah selagi ia melangkah mendekati dapur yang


tidak jauh dari teras belakang.

"Saya bukan tersinggung. Kamu nggak usah khawatir. Saya cuma nggak
enak sama Farah kalau dia jadi harus diledek seperti itu gara-gara saya.
Padahal udah jelas-jelas dia nggak suka sama saya."

Eh, kok gitu?

"Eh? Tapi Bapak masih suka sama Mbak Farah kan? Kalau masih suka, ayo
saya bantuin terus, Pak."

Saat itu Farah tidak bisa melihat ekspresi Attar maupun Faris.

"Eh? Bapak udah nggak naksir Mbak Farah lagi?"

"Atau Bapak mulai naksir cewek lain?"

Hah? Naksir cewek lain? Siapa?

"Yahhhh. Gagal deh, jadi adik iparnya Bapak."

Kali ini Farah mendengat suara tawa Attar melebar. "Kamu emangnya
nggak malu, Ris, kalau kakak iparnya om-om kayak saya?"

Pertanyaan itu dijawab dengan tawa yang tak kalah lebar oleh Faris.

"Sudah satu tahun, dan sekarang makin jelas. Farah memang cuma
menganggap saya sebagai dosennya. Jadi sudah, jangan diledekin lagi.
Nanti dia merasa makin nggak nyaman," kata Attar. "Lagian umur saya
sudah segini. Lebih pantes jadi papa tiri kamu, dibanding jadi kakak ipar."

Papa tiri? Apa itu berarti...?

***
Kalau nia update cerita sehari dua kali, itu artinya....

Isi sendiri. Yang jawabannya paling tepat, atau paling kreatif, akan
mendapat kecupan.

Eh lalu calon penonton kabur semua. Takut dikecup nia. Hahaha


7.
Aku tuh anak fakir vote gitu. Jadi kalau byk yg vote n komen, saya jd
makin semangat buat post bab selanjutnya hahaha.

Oiya, knpa kemarin saya post 2x dalam sehari? Karena eh karena saya
sedang stres. Hahaha. Siapa hayo yg jawabannya betul? Sini saya
ketjup.

Lalu knpa setelah itu saya ga update selama bbrp hari? Karena eh
karena kerjaan beta byk yg deadline.

Hahaha #ketawaStress

***

Tidak lama setelah Ahsan kembali dari kamar mandi, Faris dan Attar juga
menyusul kembali ke ruang tamu.

"Wah ada Om Erlang!" sapa Faris ketika memasuki ruang tamu dan
menemukan satu tamu lagi disana.

"Hai Ris!" sapa Erlang.

"Hai Om!"

"Pak Erlang." Kali ini Attar, yang berjalan di belakang Faris, yang gantian
menyapa Erlang.

Dan Erlangpun membalas menyapa sambil menganggukkan kepala.

"Udah selesai, Ris?" tanya Mama pada Faris yang baru saja ikut duduk di
samping Ahsan, hingga kini anak itu duduk diapit Farah dan Faris.

"Beres, Ma," jawab Faris. "Aman pokoknya. Insya Allah Mama dan Mbak
Farah nggak perlu ganti-ganti lampu sampai Faris pulang liburan semester."
"Cih! Shombhong!" ejek Farah. Yang dibalas dengan juluran lidah oleh
Faris.

"Makin pinter kamu ganti lampu. Cepet," puji Mama.

"Kan dibantuin Pak Attar. Hehehe," kata Faris cengengesan.

"Bapak kesini buat nemenin Ahsan, eh malah direpotin ganti lampu segala.
Maaf ya Pak," kata Mama sungkan.

Attar tertawa pelan. "Nggak apa-apa Bu. Sekalian ngobrol sama Faris.
Udah lama nggak ngobrol."

Erlang melirik lelaki yang duduk di hadapannya. Ngobrol? Sejak kapan


Faris dekat dengan lelaki ini?

"Om Erlang tumben mampir kesini?" tanya Faris.

Erlang punya firasat, bahwa redaksional asli pertanyaan pemuda itu adalah
"ngapain om kesini?" gitu. Pemuda itu hanya mengubah kalimatnya saja
supaya lebih sopan.

"Tadi abis dari restoran, sekalian mampir," jawab Erlang. "Oiya, jadinya
besok Om jemput jam berapa?"

"Berangkat pagi aja kali ya Om? Biar bisa beres-beres kosan dulu."

"Oke."

"Makasih ya Om, mau nganterin. Maaf nih jadi ngerepotin Om."

"Nggak repot kok. Itu kan saling membantu dalam keluarga."

Farah berjengit tidak kentara ketika mendengar kata-kata Erlang. Keluarga?

Kemudian dengan gerakan samar, ia melirik Attar. Khawatir sekaligus


penasaran dengan respon lelaki itu. Tapi justru dirinya sendiri yang jadi
terkejut karena ternyata sikap dan ekspresi Attar biasa saja.
Lalu tanpa bisa dicegah, Farah merasa kecewa. Tanpa alasan yang jelas.

"Ayo, Kak!" Suara Ahsan memecah kesadaran Farah. Anak lelaki itu sudah
berdiri dari duduknya dan meraih tangan Faris. "Ayo ngegame, Kak!
Sebelum Kak Faris pindah."

Faris tertawa dan bangkit dari duduknya. Lalu ia membiarkan anak lelaki
itu menarik tangannya hingga ke ruang tengah, tempat TV berada.

Tanpa diduga, Attar juga bangkit dari duduknya dan mengikuti Faris dan
Ahsan. "Papa ikut tanding juga ya San?"

***

Kok malah begini? Gue ditinggal sendirian? keluh Farah dalam hati.

Faris, Ahsan dan Attar sudah pindah ke ruang tengah dan main game
bertiga. Mereka main berdua-berdua sebenarnya, hanya gantian
berpasangan. Dengan demikian kini Farah tinggal bertiga, bersama ibunya
dan Erlang di ruang tamu.

Demi menghilangkan kecanggungan diantara mereka, Farah melipir ke


dapur saja. Hari sudah sore, dan barangkali Mama akan menawari Erlang
dan Attar untuk makan malam di rumah mereka. Jadi Farah memutuskan
untuk memasak lagi. Tadi sebelum ia nonton TV, sebenarnya Farah sudah
selesai memasak untuk makan malam. Tapi hanya porsi bertiga untuk
dirinya, Faris dan Mama. Jika Attar, Ahsan dan Erlang ikut makan malam
bersama mereka, tentu tidak cukup. Jadi Farah berinisiatif untuk memasak
kembali.

Sambil memasak di dapur, Farah mengerling geng trio di ruang tengah yang
sedang asik main dan nonton game. Kemudian mengerling pada pembatas
ruangan yang memisahkan ruang tengah dan ruang tamu. Di balik pembatas
ruangan itu, Mama dan Erlang pasti sedang ngobrol. Lalu tiba-tiba Farah
merasa terasing di rumahnya sendiri.

Mama dan Erlang sebenarnya tadi sudah menawarkan diri untuk membantu
Farah memasak. Tapi Farah menolak tawaran tersebut. Ia membiarkan
Erlang dan Mama ngobrol berdua di ruang tamu, berharap hubungan Erlang
dengan Mama bisa membaik. Tapi sekarang dia sendiri yang merasa
terasing.

"Kamu bikin bakwan jagung?" tanya Mama, yang tiba-tiba saja sudah
berada di depan meja makan, ketika Farah baru saja meletakkan sepiring
bakwan jagung disana.

"Iya, Ma. Biar cepet."

"Wah! Kesukaanku!" kata Erlang, yang ternyata juga mengikuti Mama ke


ruang makan. Ia ikut duduk di kursi makan, di seberang Mama.

Eh? Oh iya, Farah baru ingat bahwa Erlang juga suka makan bakwan
jagung. Padahal tadi dia membuat bakwan jagung ini bukan khusus untuk
Erlang. Justru Farah memasaknya karena Ahsan suka bakwan jagung. Anak
itu pasti senang kalau main game sambil nyemil bakwan jagung.

Farah membawa 1 piring bakwan jagung lagi ke ruang tengah dan


meletakkannya di hadapan Attar yang saat itu sedang menonton Ahsan
melawan Faris.

"San, Kak Farah bikin bakwan jagung lho!" kata Farah, menggoda.

"Iya, Kak," jawab Ahsan singkat. Tidak tergoda. Anak itu sedang
berkonsentrasi mengalahkan Faris.

"Cobain, Pak." Kali ini Farah menawarkan bakwan jagung tersebut kepada
Attar.

"Makasih, Far." Attar tersenyum dan mencomot sepotong bakwan dan


mulai memakannya. "Enak!"

Farah tersenyum mendengar pujian itu. Kemudian ia duduk di samping


Attar dan ikut mengamati Faris dan Ahsan bermain game.

Attar bukan lelaki yang cerewet. Tapi dia juga bukan pria pendiam, tipe
dosen ganteng yang cool dan dingin khas cerita-cerita wattpad. Dia adalah
tipe lelaki yang ramah dan hangat. Hal itu yang membuat Farah dan Attar
selalu punya bahan obrolan saat bersama. Tapi kali itu Attar tidak
mengajaknya ngobrol. Alih-alih, pria itu malah lebih asik mengomentari
permainan Ahsan. Ia sibuk memberi instruksi pada Ahsan agar tidak kalah
dari Faris. Sehingga Farah yang duduk di sebelahnya hanya bisa diam, ikut
menyaksikan permainan Faris dan Ahsan.

Meskipun sebenarnya Attar tidak terlihat mengabaikannya, tapi kenapa


Farah merasa tidak nyaman dengan sikap Attar yang seperti ini ya? Farah
sulit menjelaskan perubahan sikap Attar. Lelaki itu tidak tampak menjauh,
tapi kenapa sekarang Farah merasa jauh?

Tapi bukankah hal ini yang diinginkan Farah? Agar Attar tidak lagi
menunggunya. Agar Farah tidak perlu sampai menolak lelaki itu kembali
secara langsung. Harusnya Farah merasa lega kan, karena Attar tidak
mendekatinya lagi? Tapi kenapa dia justru merasa tidak senang?

Apakah begini yang dirasakan para artis yang kehilangan penggemarnya?

Idih! Sok banget lo, Far! maki Farah pada dirinya sendiri.

"Yeay! I win!" pekik Ahsan akhirnya, tiba-tiba. Membuat Farah tersentak


dari lamunannya.

Anak itu terlihat girang sekali. Setelah 2x kalah dari Faris, akhirnya ia bisa
menang juga. Sambil tertawa-tawa, ia mencomot bakwan jagung yang
disediakan Farah.

"Bakwan jagung Kak Farah enak!" puji Ahsan.

Farah mengacak rambut anak itu. "Habisin gih. Nanti Kak Farah gorengin
lagi."

"Siap!" jawab Ahsan sambil semangat mengunyah.

Faris juga ikut mencomot sepotong bakwan jagung di piring. Ia


mengunyahnya, sambil menoleh pada Attar.

"Tanding sekali lagi, Pak!" tantang Faris. "Tadi saya kalah. Sekarang saya
pasti menang!"
Terdengar suara Attar tertawa. "Hei! Terima kekalahan, Bro!"

Hal itu membuat Farah dan Ahsan tertawa juga.

"Makanya ayo tanding lagi, Pak!" kata Faris sambil mencebik.

"Wah, sayangnya udah sore banget, Ris. Kami harus pulang," jawab Attar.

"Yaaahhh! Pah???" protes Ahsan.

"Lah, Pak?" Faris ikutan.

"Bapak dan Ahsan ikut makan malam disini aja." Ternyata Mama yang
sejak tadi duduk di kursi makan, kini ikut berkomentar juga.

"Saya udah masak buat Bapak." Farah spontan menjawab.

Attar kembali tertawa mendengar jawaban spontan keempat orang tersebut.

"Kita bilang ke Mbak Wati bahwa akan pulang sebelum makan malam.
Mbak Wati pasti udah masak juga kan?" Attar mencoba memberikan
pengertian pada Ahsan.

Ahsan masih merengut, tapi tidak membantah. Kemudian Attar bergantian


menatap Mama, Farah dan Faris. "Maaf ya Bu, Ris, Far," kata Attar sambil
tersenyum sungkan.

"Nanti kalau kamu pulang pas liburan, kita tanding lagi, Ris. Semoga lancar
ya kuliah kamu, Ris."

***
8.
Di bab sebelumnya byk #timAttar yg bahagia ya, krn kayaknya Farah
udah mulai merasa nyesel kehilangan Pak Attar? Itu kan tandanya
Farah mulai sadar suka sama Pak Attar ya?

Hmmm,,, tapi nggak juga sih sebenernya. Rasa kehilangan nggak


selalu berkorelasi dengan rasa suka (meskipun pada beberapa kasus,
memang hal itu mengindikasikan).

Contohnya saya. Dulu pernah ditaksir cowok. Uhuk! Meski saya tahu
perasaan dia ke saya, tapi saya nganggep dia temen doang. Saya selalu
menjaga jarak spy jgn sampe dia beneran nembak saya. Kenapa oh
kenapa? Soalnya saya anaknya nggak tegaan. Takutnya, kalo dia
beneran nembak, nanti saya ga tega nolak. Jadi sehalus mungkin saya
menghindar dan ngeles2 berduaan sama dia spy dia ga pny
kesempatan bilang suka.

Suatu ketika, dia berhenti mendekati saya lagi. Saat itu saya merasa
lega, sekaligus sedih. Lega karena saya nggak harus nolak dia, toh dia
udah berinisiatif menjauhkan diri sendiri. Tapi saya juga sedih. Bukan
sedih karena tiba-tiba menyadari suka sama dia. Tapi sedih karena
kehilangan perhatian dari fans setia. Hahaha. Jahat ya saya. Iya sih,
saya jahat.

Jadi atas dasar pengalaman itulah saya coba nulis pengalaman Farah
skrg.

Jadi, apakah itu berarti Farah sedih hanya karena merasa kehilangan
fans setia? Bisa jadi.

Apakah Farah sedih karena merasa kehilangan seseorang yang mulai


disayangi? Bisa jadi juga.

Semua kemungkinan bisa terjadi kan? Selama janur kuning belum


melengkung, masih bisa ditikung di sepertiga malam. Uhuk!
***

Erlang merebahkan tubuhnya di ranjangnya sambil menghela nafas keras.


Waktu di jam dinding di kamarnya menunjukkan sudah lewat jam 10
malam. Pantas saja badannya terasa sangat lelah. Ia sudah meninggalkan
rumah jam 6 pagi tadi.

Hari ini ia mengantar Faris ke Bandung, bersama dengan Farah dan Fariha.
Setibanya disana, Erlang juga membantu mereka merapikan kamar kos
Faris serta membeli perlengkapan ospek, perlengkapan kuliah dan
perlengkapan untuk tinggal di kos tersebut. Erlang, Farah dan Fariha baru
bertolak lagi ke Jakarta pada sore hari. Dalam perjalanan, mereka sempat
mampir untuk makan malam, sehingga baru tiba di Jakarta malam hari.

Tapi hari ini, meski tubuhnya sangat lelah, tapi hatinya lega. Hari ini ia pikir
ia sudah berhasil 1 langkah mendekat kembali kepada keluarga Fariha.

Setelah semua yang dilakukannya kepada Farah, juga kepercayaan Fariha


yang ia khianati, Erlang nyaris tidak punya harapan untuk kembali akrab
dengan keluarga itu. Tapi jika ia menginginkan Farah, ia harus bisa
mendekatkan diri kembali kepada Fariha dan Faris.

Selama satu tahun ini, Farah sudah menolak pendekatannya berkali-kali.


Tapi karena penolakan Farah yang tidak pernah terlalu kasar dan frontal,
Erlang merasa masih punya harapan. Sejujurnya, ia malah cukup percaya
diri bahwa Farah masih mencintainya. Kalau tidak, tentu Farah sudah
dengan tegas menolaknya. Fakta bahwa Farah masih bersikap baik pada
Erlang meski selalu menolak pernyataan cintanya, pasti bukan karena Farah
tidak cinta lagi, tapi karena perempuan itu butuh diyakinkan.

Meski nyaris kelelahan mencoba berulang kali, Erlang bisa memahami jika
Farah sulit mempercayainya. Erlang akhirnya sadar bahwa dia sudah
melakukan kesalahan yang fatal: menyebut nama perempuan lain saat
mengambil keperawanan Farah. Apalagi perempuan lain itu adalah ibu
Farah sendiri. Dengan kesalahan sebesar itu, mana mungkin Farah bisa
dengan mudah percaya pada Erlang bahwa dirinya sungguh-sungguh
mencintai gadis itu kan?
Selama Farah tinggal di Bali satu tahun ini, Erlang kesulitan kembali
mendekati Fariha dan Faris. Tapi setelah Farah kembali, gadis itu seperti
membantunya mendekatkan diri pada Fariha dan Faris lagi. Contohnya
dengan mengusulkan Faris untuk menerima tawaran Erlang untuk diantar
pindahan ke Bandung. Karena itulah Erlang optimis bahwa sebenarnya
gadis itu mencintainya.

Dan karena Farah sudah berusaha membantunya mendekatkan dirinya pada


Fariha dan Faris, maka Erlang bertekad untuk lebih berusaha kembali
mengambil hati kedua orang itu. Farah termasuk anak baik-baik yang
menurut pada orangtua. Jadi Erlang yakin, Farah tidak akan mau
menerimanya kalau keluarganya tidak bisa menerima dirinya. Itu mengapa
Erlang perlu mendapat penerimaan Fariha dan Faris, agar Farah tidak punya
alasan lagi untuk menolaknya.

Erlang hampir saja terlelap ketika ia mendengar ponselnya bergetar sesaat.


Sebuah pesan masuk. Erlang yang awalnya ingin mengabaikan pesan itu,
ketika melihat nama pengirimnya pada pop-up message, justru menunda
keinginannya untuk tidur.

Schatzi: Om udah tidur?


Schatzi: Pasti capek bgt ya Om?
Schatzi: Makasih byk udh bantuin kami hr ini ya Om.

Matanya yang sebelumnya tinggal 1 watt, kini terang benderang bagai


lampu 13 watt. Tapi alih-alih membalas pesan itu, Erlang justru mengusap
icon telepon.

Beberapa detik kemudian, panggilan itu diterima oleh orang di seberang.

"Om?"

"Farah..." panggil Erlang.

"Kok belum tidur?"

"Ini udah tiduran kok," jawab Erlang. "Kamu kok belum tidur juga?"
"Ini juga udah tiduran."

"Oh..."

"Kenapa telepon, Om?"

"Aku mau bilang makasih."

"Aku yang harusnya bilang makasih ke Om. Om bantuin kami banget hari
ini."

"No. Aku yang berterima kasih. Karena udah ngasih aku kesempatan untuk
dekat lagi sama mama kamu dan Faris."

"Hubungan Om, Mama dan Faris jadi jelek gara-gara aku. Jadi aku harus
bertanggung jawab mengembalikan semuanya seperti awal."

Deg!

"Farah... apa ini semua masih tentang tanggung jawab dan rasa bersalah?"

"Om..."

Tiba-tiba hening menyeruak diantara mereka. Masing-masing dengan


keresahannya sendiri.

"Oke," kata Erlang. Akhirnya ia yang memecah keheningan terlebih dahulu.


"Kalau itu tujuan kamu. Setidaknya sekarang hubunganku dengan mama
dan adikmu sedikit membaik. Buatku, itu cukup untuk sekarang."

Kemudian hening lagi. Farah mungkin tidak tahu harus menanggapi


bagaimana.

"Aku tutup teleponnya ya Far. Kamu istirahat ya."

"Emm...iya, Om."

"Aku sayang kamu."


Kemudian hening lagi. Kali ini hening yang lama. Padahal Farah belum
memutuskan sambungan telepon.

Erlang membiarkannya seperti itu. Menunggu dengan sabar sampai Farah


membalas kata-katanya. Atau sampai gadis itu menutup teleponnya.

Dan ternyata yang dilakukan gadis itu adalah menutup teleponnya.

Erlang menghela nafas berat dan mengusap wajahnya. Frustasi. Tapi


bagaimanapun, untuk saat ini, ia bersyukur dengan sedikit perubahan yang
terjadi. Perubahan ke arah yang diharapkannya, semoga.

Jika nanti Fariha dan Faris sudah bisa menerimanya kembali, Farah pasti
akan menerima dirinya juga kan?

***

"Sudah dapat pekerjaan baru, Far?"

"Belum Om. Tapi aku udah interview di beberapa perusahaan."

"Aku punya beberapa kolega di bidang perhotelan. Mau aku ke___"

"Farah kelihatannya mau coba kerja di bidang lain ya Far?" tanya Fariha,
ikut serta di sela-sela percakapan kedua orang itu.

Erlang menoleh pada Farah. "Bidang apa?"

"Aku coba ngelamar ke perusahaan otomotif, juga food & beverage sih
Om."

Siang itu, dengan bujukan halus, dan bantuan Farah, akhirnya Erlang
berhasil mengajak Farah dan Fariha makan siang bersama. Fariha tentu saja
masih terlihat menjaga jarak dalam obrolan-obrolan mereka, tapi setidaknya
sekarang perempuan itu sudah mau ia ajak makan bersama lagi.

Agenda Erlang hari itu memang hanya ingin makan siang bersama saja.
Syukur-syukur kalau kemudian kedua perempuan itu bersedia ia ajak jalan-
jalan atau sedikit berbelanja di mall, sehingga ia punya waktu lebih lama
untuk mendekat kembali. Tapi kalaupun tidak, Erlang akan bersabar. Ia
akan melakukannya perlahan saja.

Dan seperti dugaannya, Fariha memang menolak ajakannya untuk jalan-


jalan setelah makan siang. Meski kecewa, tapi Erlang maklum.

"Jadi kita langsung pulang?" tanya Erlang, sebagai usaha terakhirnya,


ketika mereka bertiga berjalan bersisian di koridor mall, menuju pintu
keluar.

"Iya, Om." Farah yang menjawab.

Baiklah. Erlang bisa apa lagi kan?

Saat itulah, tiba-tiba mereka berpapasan dengan beberapa orang. Tadinya


Erlang sudah akan pura-pura tidak melihat saja. Tapi rencananya gagal
karena teriakan seorang anak yang menatap kedua perempuan di sisinya
dengan antusias.

"Tante! Kak Farah!"

Erlang hanya mengenal 2 dari 4 orang itu. Tapi kelihatannya Farah


mengenal keempatnya.

Erlang sudah tidak punya kesempatan untuk pura-pura tidak melihat lagi
kan?

***

Yeaayyh tim om Erlang pasti senang. Ayo angkat tangannya!!!

Btw, siapakah ke4 orang itu?


9.
Memang apa yang aneh dengan melihat Ahsan makan siang bersama ayah,
ibu dan guru lesnya? Tidak ada yang aneh kan?

Yang aneh justru perasaan Farah. Kan aneh kalau dia tidak suka melihat
keempat orang itu makan bersama. Toh dulu saat dirinya adalah guru les
Ahsan, dia juga pernah makan siang bersama dengan Ahsan, Bu Sania dan
Pak Attar. Jadi tidak ada yang salah dengan hal itu kan?

"Farah!"

Sebuah panggilan membuyarkan lamunan absurd Farah.

"Eh? Iya, Ma?" refleks Farah menjawab.

"Udah sampai." Ternyata itu adalah Erlang.

Di hadapannya, Erlang dan Mama sedang menatapnya, dari kursi depan


mobil Erlang.

"Oh?" Farah yang masih tampak linglung dengan cepat berusaha


mengembalikan kesadarannya.

"Kamu bengong?" tanya Mama.

Farah cengengesan, untuk mengalihkan perhatian. "Ngantuk, Ma. Abis


makan, kekenyangan."

"Oh. Yaudah ayo turun! Udah sampai."

Farah mengangguk, kemudian ia beralih menatap Erlang. "Thank you


traktirannya, Om."

Lelaki itu mengangguk dan tersenyum.


"Makasih Lang," kata Mama juga, sambil menoleh pada Erlang. "Kami
masuk ya. Kamu langsung lanjut kan? Nggak mampir dulu kan?"

Farah menyembunyikan senyum mirisnya. Meski sudah menerima diajak


makan siang bersama Erlang, ternyata ibunya tetap belum sepenuhnya
menerima lelaki itu. Duluuu, biasanya ibunya dengan ramah selalu
menawari Erlang untuk mampir ke rumah mereka. Tapi kalimat Mama
barusan justru terkesan mencegah Erlang untuk mampir.

"Iya, Mbak. Aku langsung pergi lagi ya. Ada urusan," jawab Erlang, dengan
cepat mampu membaca situasi. "Makasih udah mau nemenin aku makan
siang lagi."

Farah melihat ibunya hanya tersenyum samar, kemudian membuka pintu


depan mobil. Farah juga akan menyusul ibunya, membuka pintu belakang
mobil, ketika Erlang meraih tangannya.

Dengan ekspresi bingung, mata Farah bergantian menatap tangan yang


menggenggamnya dan wajah pemilik tangan besar dan hangat itu.

"Makasih banyak, Farah," kata Erlang.

"Makasih, Om." Lalu dengan lirikan matanya ia mengisyaratkan agar


Erlang melepaskan genggamannya.

Setelah Erlang melepaskan tangannya, Farah membuka pintu mobil dan


keluar. Dan ternyata dirinya disambut oleh tatapan mata ibunya, yang
sepertinya menunggunya keluar dari tadi.

***

Halo Hanun!
Apa kabar lo? Pas td ketemuan di mall, gw br inget udh lama ga ngobrol sm
lo.

Setelah bertemu guru les Ahsan di mall tadi siang, pada malam harinya
Farah berinisiatif menghubungi Hanun lagi setelah sekian lama tidak saling
berkontak. Hanun adalah adik kelas Farah di kampus. Dulu Farah yang
memperkenalkan Hanun kepada Attar untuk menjadi guru les Ahsan,
menggantikan Farah yang akan pergi ke Bali.

Tidak ada agenda khusus sebenarnya ketika Farah menghubungi Hanun


kembali malam itu. Ia hanya ingin ngobrol dan bergosip saja.

Hanun:
Halo Kak Farah.
Gw sehat Kak. Sehat bgt malah.
Abis perbaikan gizi gw.
Hahaha. #anakKosModeOn
Makasih ya Kak, dulu rekomen gw jd gurunya Ahsan. Prof Attar baik bgt.

Emang baik beliau mah.


Masih byk fans nya di kampus?

Hanun:
Masih lah Kak.
Tp krn skrg beliau udh Prof, jd cewek2 yg mau deketin pd sungkan. Ga
seagresif dulu lg.

Hahaha.

Hanun:
Lo apa kabar Kak? Nggak bilang2 udah balik dari Bali. Lagi libur doang
atau emang udah di Jkt lg?

Udah di Jkt lg say.


Gw kerja dsni aja. Adik gw kuliah di Bandung. Ibu gw nanti sendirian kl
gw tetep di Bali.

Hanun:
Skrg kerja dmn Kak?

Belum kok. Msh interview2.


Eh gmn lo ngajar Ahsan? Lancar kan?
Hanun:
Lancar kok Kak. Kan lo udh ngebekelin gw buku ttg ide2 eksperimen2
sains sederhana. Pokoknya kl dia mulai bosen, gw ajakin eksperimen aja.

Alhamdulillah kl gt.
Dia udh ga bandel lg kan?

Hanun:
Hahaha. Ya namanya anak cowok. Gitu deh Kak. Tp msh bs gw handle lah.

Hari ini Bu Sania


dateng pas lo ngajar?

Hanun:
Iya Kak. Bu Sania jg yg ngajakin gw ikut makan siang bareng td.

Oh ya?
Beliau baik ya sm lo?

Hanun:
Baik Kak. Emang knpa? Kalo sama lo, Bu Sania jahat?

Ga jahat sih. Cm kdg jutek aja.


Sm lo, ga jutek?

Hanun:
Ga jutek kok Kak. Baik2 aja.
Oh gw tau, Kak. Doi jealous kali sm lo.

Hahaha. Ngaco lo.


Ngapain jealous sm gw.

Hanun:
Ya krn lo akrab sm Pak Attar.

Lo jg akrab kan sm Pak Attar?

Hanun:
Akrab jg si. Tp kan kalo gw tomboy.
Dia ga mgkn jealous lah.
Nah kl lo kan cantik Kak.

Hahaha. Makin ngaco lo.

Hanun:
Lha serius Kak.
Ini gw udh bbrp kl ketemu Bu Sania, dia ramah2 aja sama gw.

Dia sering ya ksna?

Hanun:
Hmmm lumayan Kak.
Tp ya wajar aja. Kangen sm Ahsan pasti.

Ohhhh

Hanun:
Kalo liat Bu Sania n Prof Attar tuh couple goals bgt Kak. Bingung gw, knpa
mereka bs cerai. Pdhl mereka so sweet bgt loh.

Oh ya? So sweet gmn?

Bukannya sikap Pak Attar tuh dingin ya ke Bu Sania?, pikir Farah.

Hanun:
Ya so sweet gt lah. Gmn ya, gw bingung jelasinnya. Lo emang ga prnh liat
mereka ngobrol gt Kak? Akrab n deket gt kan? Gw aja yg nguping berasa
mupeng.

Oh atau mereka memang sudah menjadi akrab sekarang? Bagaimana pun


ada Ahsan yang mengikat keduanya kan?

Hanun:
Kalo mereka akhirnya rujuk, gw sih ga bakal heran Kak.
Btw, mereka emang udh cerai talak 3 atau br talak 1 sih Kak?

Mana gw tahu.
Ih gue juga ga peduli kalau mereka rujuk, sinis Farah.
"Ngapain jidat kamu nyureng-nyureng gitu, Far?"

Farah tersentak kaget ketika seseorang tiba-tiba sudah duduk di


sampingnya, di sofa ruang tengah.

"WhatApp siapa? Kok kayaknya kesal banget muka kamu?" tanya sang ibu
lagi.

Eh? Iya ya? Memangnya wajahnya kelihatan kesal ya? Untung saat itu
Farah dan Hanun hanya WhatsApp-an. Kalau mereka saling telepon,
mungkin Farah tidak bisa menutupi nada sinisnya juga.

"Oh ini, WAan sama adik kelas Farah, Ma."

"Ngapain? Udah hampir setahun lulus, kamu masih ada urusan yang belum
selesai di kampus sama junior-junior kamu?"

"Nggak sih, Ma. Urusan biasa aja. Bukan urusan penting."

Dahi Mama nampak berkerut dalam sesaat. Tapi kemudian normal kembali.
Memilih percaya pada penjelasan singkat Farah.

"Kalau kamu lagi nggak sibuk, Mama mau ngobrol, boleh?" tanya Mama.

Farah mengetikkan kalimat penutup percakapan pada Hanun, kemudian


meletakkan ponselnya di sampingnya. Ia lalu memiringkan duduknya di
sofa itu, hingga kini berhadapan dengan ibunya.

"Ngobrol apa Ma?" tanya Farah. Gesturenya santai, tapi ia tahu ibunya
sepertinya akan bicara serius.

"Mama mau tanya. Sebenarnya gimana perasaan Farah sama Om Erlang?"

Ketika memutuskan untuk membantu Erlang memperbaiki hubungan


dengan keluarganya, Farah tahu, suatu saat ibunya akan menanyakan hal
ini. Karena, bukankah sangat aneh jika seorang gadis yang sudah ditiduri
hingga hamil dan akhirnya keguguran, tapi malah masih membela lelaki
yang menghamilinya dan masih membantunya memperbaiki hubungan?
"Farah bener nggak ada perasaan sama Om Erlang?" tanya Mama. "Kata
Faris, Farah sebenarnya cinta sama Om Erlang? Apa karena itu Farah
berusaha mendekatkan dia lagi ke Mama dan Faris? Supaya Mama dan
Faris merestui kalian? Dia berhasil meyakinkan kamu untuk nikah sama
dia? Kamu mau nikah sama dia?"

Pertanyaan Mama yang beruntun, dengan intonasi yang penuh emosi ini
bukan hanya membuat Farah kewalahan memilih pertanyaan mana yang
akan dijawab lebih dulu, tapi juga membuat Farah terkesiap.

Sebenarnya bagaimana perasaanya pada Erlang?

***
10.
Setahun yang lalu...

"Mbak, tolong, ijinin aku menikahi Farah."

Fariha menatap pemuda ____bukan, lelaki di hadapannya.

Waktu seakan berhenti. Fariha masih sering menganggap lelaki itu sebagai
pemuda nakal yang dulu selalu mengikuti sekaligus mengganggunya.
Karenanya, ia lupa bahwa kini pemuda itu sudah menjadi lelaki dewasa.

Sebesar apapun seorang anak tumbuh, orangtua seringkali lupa dan terus
menganggap sang anak masih kecil. Begitu juga Fariha. Ia sering lupa
bahwa Farah bukan lagi anak kecil. Anak itu sudah tumbuh menjadi
seorang gadis cantik.

Fariha barangkali juga terbiasa melihat si kecil Farah bermain dan


bergelayut manja pada Erlang. Pun, ia terbiasa melihat Erlang
memanjakan Farah. Hingga ia terlambat menyadari, bahwa Erlang bukan
lagi seorang remaja, dan Farah bukan lagi anak kecil.

Kini semua sudah terlambat. Lelaki itu sudah merusak gadis kecilnya.
Penyesalan Fariha tidak akan habis tiap mengingat hal itu. Bahwa dirinya
yang selalu menerima lelaki itu di sekitar keluarganya. Bahwa dirinya yang
sudah membiarkan lelaki itu dekat dengan puterinya.

Itu mengapa, meski ia berusaha tidak bersikap kasar pada Erlang --


mengingat Erlang selama ini selalu membantu keluarganya--, tapi Fariha
tidak bisa lagi menerima lelaki itu.

"Sudah, Lang. Sudah," kata Fariha akhirnya. Wajahnya lelah.

Ini bukan pertama kali Erlang meminta maaf lalu meminta ijin menikahi
Farah. Dan meski Fariha sudah menolak, Erlang ternyata mencoba lagi.
"Kenapa Mbak? Mbak sendiri yang bilang, Mbak akan meminta laki-laki
yang menghamili Farah untuk bertanggung jawab menikahi dia. Sekarang
aku disini, sudah bersedia bertanggung jawab. Kenapa Mbak nggak
mengijinkan?" tanya Erlang tak mengerti.

"Kamu mau menikahi Farah hanya karena tanggung jawab kan?"

"Tadinya iya, Mbak. Tapi sekarang, nggak lagi."

Dahi Fariha berkerut mendengar jawaban Erlang.

"Aku sekarang sadar, aku sayang sama Farah."

"Kamu dari dulu juga sayang sama Farah. Sebagai keponakan kan?" cibir
Fariha.

"Sekarang aku sadar, aku sayang sama Farah lebih dari itu. Aku cinta
sama dia," Erlang mengoreksi pernyataannya sebelumnya.

"Yakin itu cinta? Bukan nafsu, karena kamu udah nyicipin Farah?"

"Mbak!" Erlang terkesiap dengan kata-kata Fariha yang frontal.

"Bukan pelampiasan atau pelarian, karena kamu nggak berhasil


mendapatkan aku?"

"Mbak___" Kali ini suara Erlang lemah.

"Aku nggak bodoh dan nggak naif, Lang. Aku tahu dulu kamu naksir aku,"
kata Fariha lugas. "Makanya sejak aku nikah sama Mas Farhan, aku udah
siap kalau kamu menjauh. Tapi ternyata kamu nggak menjauh, jadi aku
pikir kamu udah move on dan bisa nerima keputusanku. Tapi sekarang, pas
tiba-tiba kamu menghamili Farah, trus pengen menikahi dia, aku tiba-tiba
jadi kepikiran, jangan-jangan kamu belum move on dari aku, dan cuma
jadiin anakku pelarian karena dia mirip aku."

Mendengar itu, Erlang terkekeh."GR amat sih Mbak." Meski demikian,


tawa lelaki itu terdengar kikuk dan salah tingkah.
"Aku mungkin GR. Tapi wajar kan aku mikir gitu?"

"Tapi itu prasangka Mbak aja. Aku beneran pengen Farah jadi istriku."

"Sayangnya, aku nggak bisa merestui, Lang. Kalau laki-laki lain,


barangkali aku akan minta mereka bertanggung jawab untuk kesalahan
mereka. Tapi kamu ____ kamu udah kami anggap sebagai keluarga, Lang.
Kami percaya sama kamu. Tapi kamu malah merusak kepercayaan itu.
Kesalahanmu lebih besar. Aku nggak bisa memberikan anakku kepada
orang yang nggak bisa aku percaya lagi."

Demi mendengar keputusan Fariha, Erlang menjatuhkan dirinya di


hadapan Fariha yang sedang duduk di sofa ruang tamu.

"Ampun, Mbak. Ampuni aku. Maafin aku," Erlang mengiba sambil berlutut
di hadapan Fariha. Ia menunduk pada lutut wanita itu.

Fariha membuang tatapannya. Tidak mampu menatap lelaki di


hadapannya.

"Kami udah maafin kamu, Lang. Bagaimanapun, keluarga kami banyak


berhutang budi sama kamu. Dan Farah juga bilang, itu kesalahannya
karena menggoda kamu duluan. Dia juga bilang, dia menggoda kamu
karena penasaran, bukan karena cinta..."

"Dia bohong Mbak! Aku tahu, Farah juga cinta sama aku!"

Fariha memilih mengabaikan informasi itu.

Wanita itu memejamkan mata, menahan perih, lalu berkata, "Kami udah
maafin kamu, Lang. Jadi jangan lagi merasa terbebani."

"Tapi, Mbak___" Erlang mengangkat kepalanya, menatap wanita yang


sedang duduk di hadapannya, dengan mata mengiba.

"Cuma itu yang bisa aku berikan, Lang. Cuma maaf. Selebihnya, aku nggak
bisa. Hatiku sakit tiap ingat apa yang kamu lakukan pada Farah, pada
keluarga kami."
Saat itu Erlang melihat Fariha meneteskan air matanya. Dan karena itulah
Erlang menyerah. Ia tidak berani lagi meminta lebih pada Fariha.

Setidaknya saat itu.

Tapi dalam hati ia bertekad, suatu saat ia akan memperjuangkan kembali


kepercayaan keluarga itu. Karena mereka adalah kunci untuk mendapatkan
hati Farah.

***

"Farah bener nggak ada perasaan sama Om Erlang? Kata Faris, Farah
sebenarnya cinta sama Om Erlang? Apa karena itu Farah berusaha
mendekatkan dia lagi ke Mama dan Faris? Supaya Mama dan Faris
merestui kalian? Dia berhasil meyakinkan kamu untuk nikah sama dia?
Kamu mau nikah sama dia?"

Fariha melihat anak gadisnya tampak ragu menjawab pertanyaannya. Dulu,


Fariha pernah menanyakan pertanyaan serupa. Dan meski Farah bilang
bahwa dia tidak mencintai Erlang, Fariha tahu bahwa Farah berbohong.
Fariha mengutuk kebodohannya sendiri karena tidak bisa mendeteksi
perasaan anak gadisnya kepada Erlang. Andai ia menyadarinya lebih awal,
tentu ia bisa memperingatkan Farah agar kejadian itu tidak terjadi.

Fariha tahu bahwa saat itu Farah sebenarnya mencintai Erlang. Jika gadis
itu mengaku sebaliknya, barangkali hanya supaya ibunya tidak lebih marah
lagi. Jadi ketika Farah meminta ijin bekerja di luar Jakarta, Fariha terpaksa
menyetujuinya. Semata untuk memberi kesempatan pada Farah untuk
berpikir lebih jernih, dan semoga seiring waktu puterinya bisa
menghilangkan perasaannya kepada Erlang.

Tapi apa yang diperolehnya?

Setelah satu tahun berlalu, setelah dirinya menjauhkan Erlang dari


rumahnya, ternyata lelaki itu malah tetap nekat mendatangi Farah. Melihat
Farah pulang dari Bali bersama lelaki itu, Fariha merasakan kecemasan itu
lagi. Ia takut puterinya masih terus mencintai Erlang. Dan melihat upaya
Farah untuk mendekatkan Erlang dengan keluarganya lagi, Fariha makin
cemas kalau semua upaya itu untuk mendapatkan restu? Bagaimana kalau
sang puteri berkeras menikah dengan lelaki itu?!

"Ma..." Sang puteri terdengar menjawab perlahan setelah terdiam selama


beberapa waktu. "Semua ini terjadi karena Farah. Mama dan Faris jadi jauh
dengan Om Erlang, karena Farah. Farah merasa bersalah. Jadi setidaknya
Farah pengen mencoba, supaya hubungan keluarga kita dengan Om Erlang
baik kembali."

"Keperawanan kamu bisa kembali seperti semula?" tukas Fariha tajam.


Pertanyaan itu membuat Farah terdiam, tak berkutik. "Seperti itu juga
kepercayaan Mama terhadap Om Erlang. Nggak mungkin bisa kembali."

Farah menunduk. Wajahnya murung.

"Kamu minta Mama maafin dia? Sudah Mama lakukan. Lebih dari itu,
Mama nggak bisa."

Wajah Farah terlihat memerah menahan tangis.

"Kamu cinta sama dia?" tanya Fariha, sekali lagi.

Dan Farah tetap bergeming. Terdiam di tempatnya.

"Sudah ya Far, jangan memaksakan diri lagi. Jangan memaksakan diri


untuk mendekatkan Erlang dengan keluarga kita lagi. Jangan memaksakan
diri untuk membuat Mama merestui kalian.

Jangan lagi membela dia. Mungkin kamu memang menggoda dia. Tapi dia
bukan anak kecil yang nggak bisa menahan diri kalau diiming-imingi
permen. Dia laki-laki dewasa. Hanya karena kamu yang mulai menggoda,
bukan berarti dia nggak andil bersalah dalam kejadian itu. Jadi berhenti
membela dia, kalau kamu nggak mau Mama makin kecewa sama kamu.

Lagipula, setahun lalu, kamu udah janji sama Mama untuk nggak akan
nerima perasaan dia kan?"

***
Wis lah Om, kibarkan bendera putih aja lah Om. Tak ada harapan.
11.
"Serius kamu nggak mau kerja di bidang perhotelan lagi?"

Tanpa menghentikan tangannya dari mengupas jeruk, Farah mengangkat


wajahnya dan menatap lelaki yang duduk di sampingnya.

"Aku punya beberapa kenalan di beberapa hotel. Aku bisa rekomendasiin


kamu, kalau kamu mau."

Farah tersenyum kecil. Ini bukan pertama kalinya Erlang memawarinya


bekerja di salah satu hotel milik salah seorang koleganya. Tapi saat ini
Farah sedang tidak berminat melanjutkan karir di bidang itu. Farah
menerima pekerjaan di hotel di Bali setahun yang lalu hanya untuk iseng-
iseng dan melarikan diri. Bukan untuk meniti karir. Sekarang, setelah
dirinya kembali ke Jakarta, dia ingin mencoba peruntungan di bidang yang
memang diminatinya.

Meski bukannya sangat mudah, tapi mencari pekerjaan bagi lulusan


universitas negeri seperti Farah juga sebenarnya tidak terlalu sulit. Dengan
jaringan alumni yang luas, serta nilai-nilai kuliah yang tinggi dan
pengalaman yang dimilikinya (meski hanya setahun), sebenarnya Farah bisa
dengan mudah menemukan pekerjaan. Jadi kalau hingga saat ini Farah
belum juga bekerja lagi, itu adalah karena Farah terlalu pemilih.

Ia pulang ke Jakarta karena tidak ingin ibunya sendirian selama Faris kuliah
di ITB. Jadi saat mencari pekerjaan, ia juga mempertimbangkan lokasi
kantor yang masih dapat dijangkau dari rumahnya. Masalahnya,
kebanyakan industri manufaktur yang ditarget oleh Farah berada di wilayah
pinggir Jakarta. Ia harus kos jika bekerja disana. Itu mengapa pilihan Farah
menjadi lebih terbatas.

"Makasih, Om. Tapi beneran aku pengen coba bidang lain," kata Farah.
"Om ga perlu khawatir karena aku belum kerja juga. Lagian, ada
hikmahnya kan. Karena aku belum kerja, jadinya aku bisa nungguin Mama
pas lagi dirawat begini."

Farah menyerahkan jeruk yang sudah dikupas kepada sang ibu yang sedang
berbaring (setengah duduk) di ranjang rumah sakit.

"Makasih, Far," kata sang ibu ketika menerima jeruk yang sudah dikupas
oleh Farah.

Sejak kemarin, ibu Farah terpaksa dirawat di rumah sakit karena demam
berdarah.

"Kalau soal Mama kamu mah, meski kamu udah kerja, aku bisa bantu
menemani," kata Erlang.

Farah mengangguk dan berkata, "Makasih Om."

Ibu Farah, entah karena sedang lemas karena sakit, atau sedang malas
berkomentar, hanya diam mengamati interaksi kedua orang di hadapannya.
Dan karena selama 20 tahun lebih Erlang terbiasa menghadapi Fariha yang
cerewet dan kadang galak, kini melihat wanita itu hanya diam saja,
membuat Erlang tidak nyaman.

"Besok udah boleh pulang belum, Mbak?" tanya Erlang. Akhirnya ia


mengalihkan pembicaraan. Tidak lagi membahas Farah, tapi mengajak
Fariha ngobrol.

"Kayaknya belum. Tadi pagi dokter bilang trombositnya udah naik, tapi
belum normal. Jadi masih terus dipantau. Belum bisa diputuskan kapan
boleh pulang," jawab Fariha.

Erlang mengangguk. "Kalau gitu, biar malam ini aku yang menjaga disini."

Kata-kata Erlang itu membuat Farah dan Fariha saling bertatapan, lalu
beralih menatap Erlang.

"Farah sudah disini dari kemarin kan? Kemarin malam juga nginep kan?
Jadi nanti malam, biar aku yang jaga disini. Supaya Farah bisa istirahat."
"Nggak perlu, Lang. Makasih," jawab Fariha, tenang tapi cepat.

Erlang cukup kaget dengan respon Fariha yang sangat cepat. Juga kaget
dengan penolakan wanita itu.

"T-tapi, Mbak, Farah...."

"Dia masih muda. Nggak akan sakit hanya karena menungguiku beberapa
malam," potong Fariha.

Fariha melihat Erlang bersiap membuka mulutnya, maka ia segera


membungkamnya dengan argumennya.

"Lagian, aku nggak harus dijaga 24 jam. Kalaupun Farah perlu pulang
untuk istirahat, banyak perawat dan dokter disini."

Dan dengan itu, Erlang terdiam. Tidak bisa lagi membantah.

Suasana berubah menjadi canggung setelah itu. Farah sadar wajah Erlang
menjadi muram. Begitupun dengan ibunya, yang meski menutupi dengan
ekspresi tenang, tapi tetap terasa canggung.

Farah terselamatkan dari suasana canggung itu karena sebuah panggilan


telepon. Meski merasa tidak enak karena harus meninggalkan Erlang dan
ibunya berdua, tapi di sisi lain Farah merasa lega karena terbebas dari
suasana canggung itu.

Sebuah nomer asing tertera di layar ponsel Farah. Normalnya, ia tidak suka
menerima telepon dari nomer asing. Tapi karena saat ini ia sedang dalam
masa melamar dan menunggu panggilan wawancara kerja, maka ia tetap
menerima telepon dari nomer asing itu. Barangkali itu adalah nomer dari
perusahaan yang ia lamar kan.

"Halo?" sapa Farah ketika menempelkan ponselnya di telinga, sambil


melangkah keluar ruang rawat ibunya.

Ia sudah berekspektasi akan mendengar suara berat seorang lelaki, atau


suara wanita dewasa. Tapi alih-alih Farah justru mendengar suara seorang
anak kecil dari seberang telepon.
"Kak Farah!"

"Lho? Ahsan?" Farah menjatuhkan diri di kursi di koridor depan kamar


rawat ibunya. "Ini nomer siapa?"

Meski cukup dimanja, tapi Ahsan tidak dibelikan ponsel oleh ayahnya.
Belum waktunya, katanya. Itu mengapa biasanya Ahsan menggunakan
ponsel ayahnya atau Mbak Wati saat ingin menghubungi Farah. Tapi nomer
itu bukan nomer Attar maupun Wati.

"Ahsan punya hape baru?" tanya Farah.

Anak itu terkekeh. "Bukan Kak. Ini hape Mbak yang di rumah Mama."

"Hah?"

"Papa lagi tugas keluar kota. Jadinya Ahsan nginep di rumah Mama."

"Ooohhh."

"Biasanya Ahsan lagi belajar bareng Kak Hanun nih. Tapi sekarang libur
dulu..."

Dulu saat les dengan Farah, juga begitu. Saat Ahsan menginap di rumah
ibunya, Farah akan libur mengajar dulu.

"... jadi bengong deh. Daripada bete mending gangguin Kak Farah. Jadi aku
pinjem hape Mbak Dedeh." lanjut Ahsan, menyebutkan nama ART di
rumah ibunya.

Demi mendengar itu, Farah tertawa."Ahsan nyimpen nomer Kak Farah di


hape Mbak Dedeh?"

"Nggak kok. Aku nyatet sendiri di bukuku. Trus minjem hape Mbak
Dedeh."

"Oh?"

"Kak lagi dimana?"


"Lagi di rumah sakit nih."

"Kak Farah sakit apa?"

"Mamanya kak Farah yang sakit, San."

"Lho? Tante Riha sakit apa?"

"Demam berdarah."

"Yang gara-gara digigit nyamuk ya?"

"Iya, San."

"Kak Farah pasti males bersihin rumah ya? Jadi banyak nyamuk. Jadi gigit
Tante?"

"Hahaha!" Farah tertawa. Tapi dalam hati ia menggerutu. Sial! Gue dibilang
males.

"Emang di rumah sakit mana Kak?"

Farah menyebutkan nama rumah sakit tempat ia berada saat ini.

"Kak, lagi sibuk ya?" tanya Ahsan lagi.

"Nggak kok. Cuma lagi nemenin mamanya Kak Farah aja. Kenapa San?"

"Belakangan ini bukannya lagi sibuk?"

"Hmmm?"

"Kata Papa, Kak Farah sibuk kerja."

Tanpa disadari, dahi Farah mengernyit. Sibuk kerja apaan? Dirinya bahkan
masih pengangguran.

"Aku beberapa kali pengen pinjem hape Papa buat telepon Kak Farah, tapi
kata Papa, Kak Farah sibuk. Nanti Kak Farah terganggu kalau aku telpon-
telpon."

Kerutan di dahi Farah makin dalam. Dan jantungnya terasa diremas.

"Sekarang aku ganggu Kak Farah ga?"

"Nggak lah. Ahsan nggak pernah ganggu Kak Farah."

"Tuh kan. Aku nggak ganggu kan. Mereka nggak percaya sih!"

"Mereka?"

"Papa dan Mbak Wati," jawab Ahsan, "Mbak Wati juga nggak mau
minjemin hapenya kalau aku mau telepon Kak Farah. Katanya takut ganggu
Kak Farah. Padahal kan aku nggak ganggu kan Kak? Jadinya aku nyatet
nomer hape Kak Farah di bukuku deh, pas aku pinjem hape Mbak Wati.
Nah, mumpung lagi di rumah Mama, nggak ada Papa dan Mbak Wati, aku
jadi bisa telepon Kak Farah deh."

Lagi-lagi hati Farah berjengit nyeri mendengar cerita Ahsan. Mengapa Pak
Attar dan Mbak Wati seolah-olah sedang menjauhkan dirinya dari Ahsan?
Pakai alasan sibuk dan takut mengganggu segala.

"Ahsan kangen tahu, Kak. Dulu kan meski Kak Farah jauh, tapi kita masih
suka teleponan. Nah sekarang Kak Farah udah sibuk kerja, jadinya aku ga
bisa telpon Kak Farah lagi. Aku ngganggu ya Kak?"

"Hei! Ahsan tetep bisa telpon Kak Farah kok. Buat Ahsan, Kak Farah selalu
ada waktu," bujuk Farah manis. Nada sedih pada suara Ahsan membuatnya
tidak tega.

"Bener ya Kak?"

"Iya!" kata Farah meyakinkan. "Pokoknya kalau kangen, ada apa-apa, atau
sekedar mau ngobrol aja, telepon Kak Farah aja San. Nggak apa-apa kok.
Ahsan nggak ganggu."

Di seberang telepon, Farah bisa mendengar Ahsan terkekeh senang. "I love
you, Kak!"
Ada rasa berdesir di dada dan perut Farah ketika mendengar kata-kata
Ahsan barusan. Rasanya sangat menyenangkan sekaligus... menyedihkan?

"Love you too, kesayangan Kak Farah!"

***

Farah mematikan panggilan ponselnya setelah mendengar cerita Ahsan


selama beberapa saat. Kali itu ia membiarkan Ahsan bercerita banyak hal.
Memang sudah cukup lama mereka tidak saling bertelepon lagi. Awalnya
Farah pikir hal itu karena Pak Attar sedang sibuk sehingga tidak sempat
menemani anaknya menelepon dirinya. Tapi cerita Ahsan barusan
membuatnya patah hati. Ternyata sang mantan dosen sedang berusaha
menjauhkan Ahsan dari Farah.

Tapi mengapa?

Cerita Ahsan tentang sikap ayahnya tadi membuat Farah berspekulasi.


Apalagi sikap Pak Attar pada beberapa kali pertemuan terakhir mereka juga
terlihat dingin. Farah jadi merasa sedih ketika mengingat kembali hal itu.

Dengan pikiran yang penuh tanda tanya, Farah kembali ke ruang rawat
ibunya. Perlahan ia membuka pintu kamar rawat itu. Dan saat itulah ia
melihat Erlang sedang menggenggam tangan ibunya.

Ibu Farah terlihat memalingkan wajahnya dengan ekspresi keras. Sepertinya


saat itu Erlang sedang membujuk ibu Farah. Entah membujuk untuk
memaafkannya, atau membujuk untuk menerima bantuannya.

Ketika melihat Farah melangkah masuk, Erlang buru-buru melepas


genggaman tangannya dari tangan ibu Farah. Saat itulah Farah menyadari
sesuatu.

Jika dirinya akhirnya menikah dengan Erlang, bahkan jika ibunya merestui,
tapi tiap kali ia melihat Erlang dekat dengan ibunya maka hatinya akan
selalu terluka. Ia akan selalu merasa Erlang melihat sang ibu melalui
dirinya. Ia akan selalu salah paham dengan kedekatan Erlang dan ibunya,
bahkan jika itu dilakukan Erlang hanya untuk menjaga hubungan baik
dengan mertua. Ia akan selalu merasa cemburu. Ia akan selalu merasa
insecure.

Farah merasa makin frustasi mengahadapi perasaannya sendiri.

Nggak jelas banget sih lu, Far! maki Farah pada dirinya sendiri.

***
12.
Ini hari ketiga sang ibu dirawat. Kondisi beliau dari hari ke hari membaik.
Setelah beberapa kali kadar trombositnya naik-turun, pada dua kali
pemeriksaan lab terakhir menunjukkan bahwa kadar trombositnya konsisten
meningkat, meski masih di bawah normal. Jika besok pagi hasil
pemeriksaan lab menunjukkan kadar trombosit yang meningkat dan sudah
sesuai kadar normal, maka ibu Farah sudah bisa pulang esok hari.

Setelah penolakan Fariha, Erlang tidak lagi memaksa untuk menunggui


selama di rumah sakit. Tapi lelaki itu tetap berkunjung setiap hari, meski
hanya selama 30 menit. Dalam hal ini, Farah cukup kagum pada persistensi
Erlang yang tidak mudah menyerah.

Tapi sang ibu juga tidak kalah persisten. Beliau konsisten dengan sikapnya
yang netral: tidak dingin, tapi juga tidak terlalu bersahabat. Sang ibu bahkan
melarang Farah untuk keluar ruang rawat jika Erlang sedang berkunjung.
Beliau tidak mau dirinya hanya berada berduaan dengan Erlang. Juga tidak
mau Farah berduaan dengan Erlang.

Siang itu, Erlang baru saja pulang menjenguk ibunya, ketika ponsel Farah
bergetar, menandakan sebuah panggilan telepon masuk. Itu nomer yang
tidak dikenalnya. Tapi Farah tetap mengangkatnya, karena bisa jadi itu
panggilan dari salah satu perusahaan yang ia lamar.

Tapi ternyata, suara yang didengarnya di ponselnya, diluar ekspektasi


Farah.

"Kak Farah!"

Farah mengerjap sesaat. Ia menjauhkan ponsel dari telinganya dan menatap


nomer yang meneleponnya. Seingatnya, ia sudah menyimpan nomer Mbak
Dedeh, ART di rumah mamanya Ahsan, di ponselnya. Kalau-kalau kapan-
kapan Ahsan menelepon lagi dengan nomer tersebut. Tapi nomer yang
meneleponnya kali ini adalah nomer yang lain lagi.
"Ahsan?" tanya Farah memastikan. Lalu ia mendengar latar belakang suara
yang berisik. "Kamu dimana?"

"Aku di depan rumah sakit nih Kak!"

"Rumah sakit apa? Kamu sakit?"

"Rumah sakit tempat Tante Riha dirawat."

"HAH?!!!"

Pekikan kaget Farah membuat sang ibu kaget juga. Kedua perempuan itu
kemudian saling menatap. Fariha menatap puterinya meminta penjelasan,
dan Farah balik menatap ibunya sambil mengendikkan bahu, tanda tidak
tahu.

"Kesini sama siapa?" tanya Farah, dengan nada suara yang dikendalikan.
Seingatnya, Ahsan bilang bahwa ayahnya sedang tugas keluar kota dan
sekarang tinggal bersama ibunya. Apa itu berarti Ahsan datang bersama
mamanya? Dan jam segini? Harusnya ini jam pulang sekolah kan?

"Sendiri Kak. Dianter supir taksi."

"HAH?!!!" Lagi-lagi Farah terkejut.

"Aku pinjem hape supir taksi Kak. Jemput aku di halte rumah sakit dong."

"HAH?!!!"

"Aku tutup ya Kak, hape pak supir taksinya."

Dengan setengah linglung dan bingung, Farah menjelaskan dengan cepat


kepada ibunya bahwa ia perlu menjemput Ahsan yang menunggu di halte
bis di depan rumah sakit. Dan ketika sang ibu bertanya dan meminta
penjelasan lebih, Farah hanya bisa menjawab bahwa ia juga tidak tahu.

Meski tidak berlari, dengan langkah panjang dan cepat, Farah menyusuri
koridor-koridor yang membawanya ke pintu masuk RS. Di seberang pintu
masuk tersebutlah berdiri halte bis rumah sakit.
Selagi melangkah keluar dari pintu masuk, Farah menemukan seorang anak
dengan seragam sekolah. Dan ternyata anak itu memang duduk sendirian,
tidak ditemani siapa-siapa.

"Astaga tuh anak!" keluh Farah dengan suara pelan. Antara merasa geram
dan bingung.

"Ahsan!" panggil Farah ketika dirinya makin mendekati halte.

Saat itu Ahsan menoleh padanya dan tersenyum lebar. Anak itu kemudian
bangkit dari duduk dan melangkah menuju Farah.

Yang terjadi kemudian sangatlah cepat.


Sebelum Farah bisa mencegahnya, Ahsan melangkah menujunya,
menyeberangi halaman parkir RS. Naasnya, saat itu ada sebuah motorbl
melintas di halaman RS itu. Meski tidak dengan kecepatan tinggi, tapi
karena Ahsan menyeberang tanpa perhitungan, akhirnya pengendara motor
itu tidak sempat menghentikan motornya tepat waktu.

Di hadapan Farah, anak lelaki itu terjauh dengan luka-luka di tubuhnya. Pun
dengan pengendara motor yang jatuh karena menghentikan motornya tiba-
tiba.

***

Sesia-sialnya orang Jawa, pasti akan tetap bisa menemukan sisi baik dari
suatu kejadian buruk. Pun dengan Farah. Ia masih bersyukur bahwa
kejadian yang menimpa Ahsan terjadi di halaman parkir RS sehingga anak
itu bisa segera ditangani. Selain itu, marena terjadi di halaman parkir RS,
motor yang menabrak Ahsan tidak sedang dalam kecepatan tinggi. Dan
sebenarnya peristiwa itu tidak bisa disebut tabrakan. Lebih tepatnya, Ahsan
terserempet motor. Luka-luka Ahsan tidak parah, hanya saja kakinya terkilir
sehingga kesulitan berjalan. Saat jatuh, kepala Ahsan sempat menghantam
trotoar dan berdarah. Dokter sudah memeriksa kemungkinan cidera otak.
Dan meski hal itu tidak terdeteksi, Dokter menyarankan agar Ahsan dirawat
selama 1 malam agar dapat diobservasi.
Segera setelah membawa Ahsan ke ruang UGD, Farah segera menghubungi
Attar dan Wati, untuk memberi kabar tentang Ahsan. Farah juga meminta
nomer ponsel mamanya Ahsan kepada Wati, agar ia dapat mengabarkan
kondisi Ahsan. Tak lupa, Farah juga mengabari ibunya bahwa terjadi
sesuatu pada Ahsan sehingga ia tidak bisa segera kembali ke kamar rawat
ibunya.

Tiga puluh menit kemudian Sania, ibu Ahsan, tiba di RS. Perempuan itu
dalam setelan baju kerjanya yang rapi dan modis. Tapi wajahnya terlihat
panik.

Setelah bertemu dokter, Sania memberikan persetujuan agar Ahsan dirawat


1 hari untuk observasi.

"Kenapa bisa begini?" tanya Sania, yang kini telah duduk di sisi ranjang
Ahsan, sambil mengelus rambut puteranya. Ia menoleh kepada Farah,
meminta penjelasan.

Ahsan telah dipindahkan ke ruang rawat, dan kini sedang tertidur. Mungkin
efek samping analgetik yang membuat anak itu mengantuk.

Farah yang berdiri di kaki ranjang, menjelaskan kepada Sania semua hal
yang diketahuinya. Tapi itu tetap tidak memuaskan Sania.

"Harusnya Dedeh yang jemput Ahsan pas pulang sekolah. Tapi tadi Dedeh
telepon saya, Ahsan ga ada di sekolah. Saya panik. Untung Farah telepon
saya. Makasih ya," kata Sania.

"Sama-sama, Bu," jawab Farah. "Tapi saya nggak ngerti, kenapa Ahsan bisa
tiba-tiba kesini tanpa bilang ke Ibu. Mbak Dedeh kan bisa antar Ahsan
kesini kalau memang Ahsan mau jenguk ibu saya. Dia nggak harus kesini
sendirian naik taksi kan?"

Sania menggeleng. Ia lebih tidak mengerti dengan tindakan anaknya yang


aneh.

"Ahsan ada cerita sesuatu ke Farah?" tanya Sania.


"Nggak ada cerita apa-apa, Bu. Dua hari lalu Ahsan telpon saya. Tapi ya
ngobrol gitu doang."

"Sama. Tadi malam bahkan Ahsan ikut makan malam dengan saya dan....
teman saya. Dan kelihatannya baik-baik aja. Tadi pagi saya memang
berangkat kerja pagi-pagi, jadi nggak tahu keadaan Ahsan pagi ini. Tapi
Dedeh nggak lapor apa-apa, jadi saya pikir semua baik-baik aja. Sampai
siang ini Dedeh telepon saya. Saya langsung pergi dari rapat."

Farah cuma bisa membalas curhatan Sania dengan senyum simpati. Ia


mendengar Sania mendesah. Wajah Sania yang biasanya cantik, kini lesu.
Yang biasanya tersenyum intimidatif pada Farah, kini tersenyum lemah.

***

Karena Ahsan sedang tidur dan ada Sania yang menjaganya, jadi Farah
pamit kepada Sania untuk kembali ke kamar rawat ibunya. Kali itu, untuk
pertama kalinya sejak mengenal Sania, Sania bersikap baik padanya dengan
menitip salam pada ibu Farah yang juga sedang dirawat.

Setelah bertemu dengan ibunya, Farah menceritakan kejadian yang


menimpa Ahsan dan keadaan anak itu sekarang. Sang ibupun meminta
Farah menemaninya menjenguk Ahsan jika besok ia sudah diijinkan
pulang.

Petang hari, setelah menemani ibunya selesai makan malam, Farah pergi
untuk membeli makan malam di kantin RS. Ia sekaligus membelikan juga
untuk Sania. Setelah itu ia pergi ke ruang rawat Ahsan untuk menyapa anak
itu, juga untuk membawakan makan malam untuk Sania.

Tapi yang dilihatnya di ruang rawat Ahsan saat itu bukan hanya Ahsan dan
Sania. Tapi juga Attar...

... yang sedang memeluk Sania.

... yang sedang berpelukan dengan Sania, lebih tepatnya. Mereka saling
memeluk.
Demi melihat itu, refleks Farah menutup kembali pintu ruang rawat Ahsan.

Entah kenapa saat itu tiba-tiba Farah merasa sesak nafas. Dadanya panas.
Matanya juga panas. Demi meredakan sesuatu yang membakar dirinya,
Farah duduk di kursi panjang, di koridor depan ruang rawat Ahsan. Ia
menghela nafasnya beberapa kali.

Farah sama sekali tidak merasa lebih lega setelahnya, tapi ia tidak ingin
berada di sana terlalu lama. Ia tidak ingin bertemu dengan Sania maupun
Attar. Jadi meski belum merasa lebih baik, Farah memaksakan diri bangkit
dari kursinya. Tapi belum sempat ia melangkah pergi, seseorang melangkah
menuju ke arahnya.

"Mas Ahsan gimana, Mbak?" tanya Wati sambil melangkah


menghampirinya.

"Eh? Oh?" Farah agak gugup sesaat, tapi segera menguasai diri. Ia melihat
Wati datang dengan sebuah tas ransel. Mungkin berisi baju ganti Ahsan.
"Bawa baju ganti Ahsan, Mbak?"

"Iya nih, Mbak. Tadi Bu Sania telepon, minta bawain baju Mas Ahsan,"
jawab Wati. "Mbak Farah baru mau jenguk, atau udah selesai jenguk?"

"Tadinya mau jenguk. Tapi di dalem ada papa-mamanya Ahsan. Kayaknya


lagi ngobrol. Saya nggak mau ganggu."

"Oh gitu ya? Yaudah saya nunggu di depan sini aja dulu deh," kata Wati.
"Saya kaget pas tadi Mbak Farah telepon saya. Kok Mas Ahsan bisa
disini?"

"Nggak tahu juga, Mbak," jawab Farah. Ia kemudian menjelaskan hal yang
sama, seperti yang dijelaskannya pada Sania tadi.

"Iya, aneh ya Mbak. Mas Ahsan kok pake kabur dari sekolah segala. Kan
tinggal minta dianterin kesini aja kan ya," imbu Wati.

"Sebelum nginep di rumah Bu Sania, Ahsan kelihatan aneh nggak Mbak?"


tanya Farah.
"Nggak tuh Mbak. Biasa aja."

"Beneran?"

"Iya. Emang kenapa Mbak?"

Farah diam sesaat, mempertimbangkan apakah benar ia ingin mengetahui


hal ini atau tidak. Apakah dia sudah siap terluka atau tidak.

"Ahsan cerita bahwa dia beberapa kali pengen telepon saya. Tapi katanya
nggak dibolehin sama papanya dan Mbak Wati?" tanya Farah hati-hati,
supaya tidak terkesan menuduh Wati.

"Bukannya nggak boleh, Mbak. Tapi kan Mbak Farah lagi sibuk. Takutnya
Mas Ahsan nanti ganggu."

"Kata siapa saya sibuk?"

"Bapak bilang ke saya bahwa Mbak sibuk. Jadi kalau Mas Ahsan minta
telepon Mbak, saya disuruh bilang gitu."

Farah sudah memprediksi jawaban ini. Bahwa Attar memang berusaha


menjauhkannya dari Ahsan. Tapi ketika berhasil mengonfirmasinya kini, ia
tetap sakit hati dan marah.

Farah belum sempat melanjutkan interogasinya pada Wati ketika pintu


ruang rawat Ahsan terbuka. Sania dan Attar tampak keluar beriringan dari
pintu itu.

"Eh? Wati? Bawa baju ganti Ahsan?" sapa Sania.

"Iya Bu. Ini udah saya bawain yang tadi Ibu minta di telepon," jawab Wati
sambil mengulurkan ransel yang dibawanya kepada Sania.

Tapi Attar maju dan meraih tas ransel itu. "Makasih ya Wati."

"Sama-sama, Pak."
Farah melirik dan melihat wajah Attar yang tampak lelah. Lelaki ini pasti
buru-buru memesan tiket pulang setelah mendengar kabar anaknya
kecelakaan.

"Farah mau jenguk Ahsan?" tanya Sania. "Dia sekarang udah tidur lagi.
Tadi abis makan malam dan minum obat, dia tidur lagi. Tapi masuk aja
gih."

"Eh? Oh?" Farah melirik Sania dan Attar bergantian. Ia merasa tidak
nyaman. Tadinya, saat mendengar Ahsan tidur, Farah bersiap-siap pamit
saja. Tapi kenapa Sania malah mempersilakannya masuk?

"Wati mau pulang kan?" Kini Sania beralih pada Wati.

"Iya Bu."

"Bareng saya aja. Saya mau pulang. Malam ini Bapak yang nemenin Ahsan
disini. Jadi sekalian aja Wati pulang sama saya yuk, saya anter."

"Wah, makasih Bu," jawab Wati semringah. Lumayan, nggak masuk angin
naik ojek lagi.

Setelahnya, Sania dan Wati berpamitan dan pergi, meninggalkan Farah dan
Attar berdua di depan kamar rawat Ahsan.

Bagi Farah, sikap Sania kali ini terhadapnya cukup aneh. Biasanya
perempuan itu agak jutek terhadapnya. Tapi kenapa hari ini malah ramah?
Dan tumben sekali wanita itu meninggalkan mantan suaminya berduaan
dengan Farah.

Eh? Atau jangan-jangan...

Kalau teori Hanun betul, bahwa selama ini Sania jutek pada Farah karena
cemburu, jadi kenapa sekarang perempuan itu tidak jutek lagi? Apakah
mungkin karena Sania akan rujuk dengan Attar, sehingga perempuan itu
merasa tidak perlu cemburu lagi pada Farah?

Setelah kepergian Sania dan Wati, Attar mempersilakan Farah untuk masuk
ke kamar rawat Ahsan. Meski canggung, Farah menurut. Sebelum duduk di
kursi di samping ranjang Ahsan, Farah menyerahkan sebuah bungkusan
makanan yang dibawanya.

"Tadinya saya beliin buat Bu Sania makan malam. Tapi ternyata Ibu pulang.
Bapak belum makan malam kan? Ini buat Bapak aja kalau gitu," kata Farah.

Attar menerima bungkusan makanan itu sambil tersenyum tipis. "Makasih,


Far."

Farah hanya membalas dengan senyum kecil, sebelum akhirnya kembali


menatap wajah Ahsan yang tertidur.

"Makasih juga tadi Farah telepon saya," lanjut Attar sambil duduk di tepi
ranjang Ahsan, tidak jauh dari tempat Farah duduk.

"Sama-sama, Pak," jawab Farah sambil mengangguk. "Tadi Ahsan udah


sempat cerita, kenapa dia kesini sendirian Pak? Kenapa nggak minta diantar
ART Bu Sania yang emang biasa jemput sekolah?"

Attar mengeleng. "Dia cuma bilang kangen kamu."

Farah menoleh pada Attar dan menatapnya dengan berani. "Kalau gitu,
kenapa Bapak melarang Ahsan telepon saya?"

Attar nampak kaget sekilas. Tidak menduga Farah akan bertanya begitu.
"Saya nggak melara____"

"Tapi Bapak bohong. Bapak bilang ke Ahsan bahwa saya sibuk dan nggak
bisa diganggu. Padahal saya aja belum kerja, Pak. Kenapa Bapak bohong ke
Ahsan?"

Kalau itu Farah menatap Attar dengan tatapan menantang.

"Saya cuma nggak mau dia mengganggu kamu," kata Attar dengan suara
yang tetap tenang.

"Saya nggak merasa terganggu!"


"___dan sekarang bukan hanya mengganggu. Kedatangan Ahsan kesini
juga jadi ngerepotin kamu," lanjut Attar, bagai tidak peduli pada protes
Farah sebelumnya. "Kata Ahsan, ibu kamu dirawat disini karena DBD?
Kalau kamu mau balik jaga ibu kamu, nggak apa-apa kok Far."

Kali itu tatapan Farah pada Attar jadi makin sengit. "Saya yang stres karena
Ahsan tiba-tiba telepon, bilang dia dateng sendirian. Saya yang panik
karena lihat dia disrempet motor. Saya yang menjaga Ahsan selama Bapak
dan Bu Sania belum datang. Trus sekarang saya diusir?" tanya Farah
emosional.

Attar tampak bingung dengan respon Farah yang baginya tampak


berlebihan. Mengapa gadis itu harus marah berlebihan seperti itu?

"Bukan gitu maksud saya, Far."

Saat itu Farah merasa tidak bisa lagi menahan kemarahannya.

"Katanya Bapak suka sama saya? Katanya Bapak mau nunggu saya pulang
dari Bali? Tapi setelah saya pulang, kok Bapak malah menjauhi saya? Kok
Bapak menjauhkan saya dari Ahsan? Kok Bapak nyebelin? Padahal saya
suka sama Bapak. Kok Bapak malah ngusir saya? Mentang-mentang mau
rujuk sama Bu Sania___"

***

400 vote + 100 komen utk update bab berikutnya, Kak?


13.
"Katanya Bapak suka sama saya? Katanya Bapak mau nunggu saya pulang
dari Bali? Tapi setelah saya pulang, kok Bapak malah menjauhi saya? Kok
Bapak menjauhkan saya dari Ahsan? Kok Bapak nyebelin? Padahal saya
suka sama Bapak. Kok Bapak malah ngusir saya? Mentang-mentang mau
rujuk sama Bu Sania___"

"Pah...."

Attar menatap gadis yang sedang marah-marah di hadapannya, dengan mata


yang membola. Sementara itu, ngos-ngosan, dengan dada naik-turun,
Farah membalas tatapan mantan dosennya dengan sengit.

"Farah? Tadi kamu___"

"Papa!"

Sontak, panggilan itu membuat kontak mata Attar dan Farah terputus.
Serentak mereka menoleh ke arah datangnya suara itu. Pada Ahsan yang
terbaring di ranjang sambil menatap mereka.

"Ahsan? Kebangun ya Nak?" tanya Attar. Dengan cekatan ia mendekat


pada anaknya. "Mau minum? Mau pipis?"

"Mau minum..."

Farah yang duduk lebih dekat dengan nakas segera meraih gelas di nakas.
Sementara itu Attar menaikkan kepala ranjang sehingga posisi Ahsan
setengah terduduk.

"Nih, San," kata Farah, mendekatkan gelas dengan sedotan pada bibir
Ahsan.

Ahsan memasukkan ujung sedotan ke mulutnya dan mulai minum. Setelah


anak itu melepaskan sedotannya, Farah mengembalikan gelas ke nakas.
"Mau tidur lagi?" tanya Farah lembut.

Ahsan menggeleng.

"Kakinya masih sakit? Atau ada yang lain yang sakit?"

Anak lelaki itu menggeleng lagi.

"Alhamdulillah," kata Farah sambil tersenyum lega. "Tadi Kak Farah kaget
pas Ahsan telepon dan bilang dateng sendirian. Kenapa nggak minta anter
Mbak Dedeh?"

Tapi alih-alih menjawab pertanyaan Farah, Ahsan malah menoleh pada


ayahnya, "Mama mana?"

"Mama pulang dulu. Malem ini sama Papa ya. Besok pagi Mama dateng,"
jawab Attar. "Tadi pas ada Mama, kamu malah asik nge-game. Sekarang
Mama pulang, kamu malah nanyain," lanjutnya sambil terkekeh dan
mengacak lembut rambut puteranya.

"Aku benci Mama."

Tawa Attar sirna perlahan. Pun dengan senyum Farah. Keduanya bertukar
tatap selama sepersekian detik sebelum sama-sama menatap Ahsan.

"San..." Farah meraih jemari Ahsan dan membelainya lembut.

"Papa bisa nikah lagi sama Mama kan?" tanya Ahsan tiba-tiba.
Pandangannya lurus menatap sang ayah.

Pertanyaan yang lugas, juga tatapan tajam dari mata kanak-kanak Ahsan
membuat Attar terkesiap. Kaget, sekaligus bingung.

Di sisi lain, Farah terkesiap untuk alasan yang berbeda.

"Tadi malem Om Maliki ikut makan malem sama Ahsan dan Mama," kata
Ahsan. "Sebelum pulang, Ahsan nggak sengaja lihat Om Maliki peluk
Mama. Trus Ahsan dengar Mama mau nikah sama Om Maliki. Ahsan
nggak suka! Mama kan udah punya Papa, kenapa harus sama Om Maliki
sih?"

Farah melihat wajah Attar terlihat tegang. Sepertinya ia tidak siap dengan
sikap Ahsan.

"Ahsan, Papa dan Mama kan memang sudah lama nggak tinggal bareng,"
kata Attar memberi pengertian. "Kan kasihan selama ini Mama tinggal
sendirian. Nggak ada Papa dan Ahsan. Makanya nanti ditemenin sama Om
Maliki."

"Makanya Papa ajak Mama tinggal bareng kita dong Pa! Biar Mama nggak
kesepian."

"Ahsan..." Attar mendesah. Ia nampak bingung memilih penjelasan yang


tepat untuk anaknya.

"Ray, temen Ahsan di sekolah, punya papa dan mama baru. Papa dan mama
tiri. Trus punya adik baru. Papa mamanya nggak sayang lagi sama Ray.
Nanti kalau Mama sama Om Maliki punya adik baru, Mama nggak sayang
lagi sama aku."

"Nggak gitu, San. Mama pasti bakal tetep sayang sama Ahsan."

"Pokoknya Ahsan nggak mau!" Ahsan membentak dengan tegas. "Ahsan


nggak mau punya papa tiri! Ahsan nggak mau punya mama tiri! Mereka
jahat!"

"Ahsan sayang, itu cuma dongeng," Farah mencoba ikut berkomentar


dengan hati-hati.

"Nggak!" serta merta Ahsan menoleh pada Farah dan membentak. Anak itu
melotot pada Farah. "Pokoknya Ahsan nggak mau punya papa baru! Nggak
mau punya mama baru! Nggak mau punya adik baru! Papa cuma boleh
sama Mama! Mama cuma boleh sama Papa!"

***

"Gimana Ahsan?"
Farah langsung disuguhi pertanyaan itu ketika masuk ke ruang rawat sang
ibu. Ibunya terlihat sedang duduk di ranjang, dengan laptop di
pangkuannya.

"Orang masih sakit kok kerja, Ma," tegur Farah.

Sang ibu tertawa. "Udah sembuh kok. Kan tinggal nunggu hasil tes lab
doang. Palingan besok boleh pulang."

Mama dan dedikasinya, gerutu Farah. Siapa bilang kerja sebagai guru SMA
nggak berat coba?

"Ahsan gimana?" Sang ibu mengulangi pertanyaannya.

"Baik-baik aja Ma. Kakinya udah nggak terlalu sakit," jawab Farah sambil
duduk di sisi ranjang. Ia meraih remote tv dan menyalakan tv di ruang
rawat tersebut.

"Mama kira kamu bakal lama disana. Kan biasanya kamu kalo ngobrol
sama Ahsan, lama."

Mendengar itu, Farah hanya tertawa saja. Kenyataannya, tadi anak itu
bahkan mengusir dirinya.

"Kak Farah nggak jagain Tante Riha? Kasihan Tante Riha sendirian," kata
Ahsan tadi.

Mengingat kejadian itu, Farah mendengus. Bapak dan anak sama aja, suka
ngusir.

Mata Farah memandang tv. Tapi sebenarnya dia sendiri tidak mengerti
sedang menonton apa. Pikirannya penuh dengan kejadian di kamar rawat
Ahsan tadi.

Pertama, ia malu karena salah menuduh. Ia menuduh Attar dan Sania akan
rujuk, bahkan sampai membuatnya cemburu dan sambat tanpa sadar.

Eh? Cemburu? Sama siapa? Sama Pak Attar? Nggak mungkin kan? Nggak
mungkin! Kan selama ini dia cintanya sama Om Erlang. Ngapain cemburu
sama Pak Attar?

Sekarang setelah tahu bahwa Sania berencana akan menikah lagi dengan
lelaki lain, Farah jadi malu sendiri karena sudah marah-marah nggak jelas
di depan Attar. Pasti memalukan sekali sikapnya tadi.

Kedua, Farah tidak menduga respon Ahsan terhadap kabar tentang ibunya
akan sekeras itu. Farah sudah tahu bahwa Ahsan adalah anak yang keras.
Saat pertama mengajar Ahsan, Farah perlu memikirkan cara khusus untuk
mengambil hati anak itu. Tapi setelah itu, setelah berhasil mengambil hati
Ahsan, sikap anak itu selalu terlihat ceria dan lembut. Jadi kalau sekarang ia
melihat Ahsan bersikap keras lagi, berarti anak itu memang sangat tidak
setuju kalau salah satu atau kedua orangtuanya menikah lagi.

Entah kenapa, hal itu membuat Farah sedih. Padahal kan ngapain juga dia
harus sedih kan? Ahsan mengijinkan ayah dan ibunya menikah lagi atau
tidak, itu kan nggak ada hubungannya dengan Farah.

Tapi kalau Ahsan nggak mau punya ibu tiri, lo nggak bisa nikah sama Pak
Attar!

Ih? Siapa yang ngarep


nikah sama Pak Attar?

Iya, nggak usah ngarep lo, Far! Lo tuh udah nggak perawan. Udah rusak.
Nggak usah ngarep bisa nikah sama laki-laki baik-baik kayak Pak Attar!

Farah mendesah lelah akibat keruwetan pikirannya sendiri. Saat itu tiba-tiba
ponselnya bergetar.

Mata Farah melirik pop-up message muncul di layar ponselnya.

Pak Attar: Farah belum tidur kan?


Pak Attar: Dmn ruang rawat mamanya Farah?
Pak Attar: Saya boleh kesana?
Pak Attar: Saya mau ngobrol
Pak Attar: Tentang yang tadi Farah bilang
He? Tentang yang tadi gue bilang? Emang gue bilang apa? Jangan-jangan
gue ga sadar ngomong macem-macem pas sambat tadi? Jirrr!!! Mati gue!

***

Kalau target update bab berikutnya setelah 450 vote n 150 komen,
kira2 bakal tercapai ga ya Kak? Hihihi
14.
Targetnya belum tercapai sih. Tapi krn semalem byk yg tergoda double
update, dan hari ini Malam Minggu, jadi yaudah, saya post skrg aja
deh.

Makasih Kakak2 yg sll support Erlang-Farah-Attar.

Tim Om Erlang pasti kecewa. Tapi masa demi bikin tim Erlang ga
kecewa, trus Farah jd playgirl labil yg pilih dua2nya. Kan nanti makin
ilfeel ya.

Jd kl tim Erlang kecewa n ga mau lanjut baca cerita ini, ga apa2 Kak.
Smg kita berjodoh di cerita lain yg lbh happy buat Kakak2 hehehe.

***

Meskipun sang dosen yang butuh bertemu mahasiswa, tapi sopan-sopannya


tetap mahasiswa yang harus menghadap kepada sang dosen. Jadi ketika
malam itu Attar mengirimkan pesan ingin menemui Farah, maka sebagai
(mantan) mahasiswa yang sopan, justru ialah yang harus datang
menghadap. Jadi setelah ibunya tidur, Farah keluar dari ruang rawat sang
ibu, dan menemui Attar di ruang rawat Ahsan.

Saya di depan kamar Ahsan, Pak.

Begitulah Farah mengirimkan pesan singkat kepada Attar ketika ia telah


duduk di kursi di koridor depan kamar rawat Ahsan. Tidak lama kemudian,
Attar keluar dari kamar itu.
.
.
.

***
Halo Kakak2! Bab ini sudah pernah dipublish utuh, tapi saat ini sudah
saya hapus.

Bagi yang ketinggalan baca, Kakak2 bisa beli ebooknya di


bit.ly/SegitigaBermuda

Mohon maaf, bab ini tidak tersedia di Karya Karsa.

Spy makin penasaran dan makin yakin untuk beli ebooknya, Kakak2
bisa cek komen2 di bab ini. Yakin nih, ga nyesel kalo ga beli ebooknya?
15.
Ya ampun, saya takjub bgt sm komen di bab sebelumnya. Makasih byk
ya Kak utk supportnya. Maaf blm bisa bales komen satu per satu. But
every single of those kind words (atau bahkan komen kebucinan),
mean a lot to me.

Yow, mana yg nungguin update yow? Lambaikan tangan sini! Hehehe

***

Sekembalinya ke kamar rawat sang ibu, Farah sebenarnya berencana untuk


segera istirahat. Tapi meskipun ia telah berusaha memejamkan mata, ia
selalu gagal untuk terlelap. Bayang-bayang percakapannya dengan Attar
mengganggu pikirannya.

Sikap Attar yang lugas dan tegas sejak awal, membuat Farah dengan mudah
merasa yakin bahwa lelaki itu menginginkannya. Di sisi lain, sikapnya yang
tidak memaksa, membuat Farah merasa nyaman terhadap lelaki itu. Kalau
dipikir-pikir, pendekatan yang dilakukan lelaki itu selalu tegas namun
perlahan. Itu mengapa Farah tidak segera menyadari bahwa dia nyaman
dengan cara Attar mendekatinya. Saat lelaki itu mundur, barulah Farah
menyadari bahwa ia merasa kehilangan.

Percakapannya tadi dengan Attar membuat hati Farah berbunga-bunga, tapi


sekaligus penuh antisipasi. Jika Attar serius ingin menikah dengannya,
maka banyak hal yang harus dilaluinya. Mendapatkan restu ibunya dan
persetujuan Ahsan, salah dua diantaranya. Farah tidak tahu seberapa besar
usaha yang harus dilakukannya, tapi setidaknya untuk malam ini ia ingin
menikmati perasaan berbunga-bunga di dadanya ini dulu.

Pak Attar: Selamat tidur, Farah

Sebuah pesan masuk ke ponselnya ketika Farah sedang asik berkhayal. Dari
Attar. Dan refleks saja, pesan itu membuatnya tersenyum. Padahal itu pesan
biasa saja.
Farah baru saja akan membalas pesan itu ketika ponselnya bergetar saat
sebuah pesan lain datang.

Om Erlang: Besok Mama keluar RS jam brp?

Saat menerima pesan singkat itu, tiba-tiba Farah tersadar. Betapa beraninya
dia memulai dengan Attar, padahal dia masih punya urusan yang belum
selesai dengan Erlang. Bagaimanapun, ia masih berhutang pada lelaki itu,
untuk memperbaiki hubungan Erlang dengan keluarganya.

***

Meski Farah tidak menjawab kapan sang ibu pulang, tapi ternyata pagi itu
Erlang sudah tiba di kamar rawat ibunya, tepat ketika mereka bersiap
meninggalkan kamar rawat setelah Farah selesai mengurus administrasi
perawatan ibunya. Pria itu langsung saja menyambar tas pakaian Fariha,
dan wajahnya nampak tidak menerima penolakan. Jadi akhirnya kedua
perempuan itu membiarkan Erlang membantu mereka membawa tas
pakaian.

"Kami belum langsung pulang," kata Fariha pada Erlang, sebelum ia


meninggalkan ruang rawatnya. "Aku mau jenguk Ahsan dulu."

"Ahsan? Muridnya Farah?" tanya Erlang.

"Iya. Dia keserempet motor, dan dirawat disini juga. Jadi sebelum pulang,
aku mau jenguk dia dulu."

Wajah Erlang nampak enggan. Tapi dia tidak punya hak untuk berpendapat.
Dia bebas saja jika tidak ingin ikut menjenguk. Tapi Erlang sendiri yang
akhirnya memutuskan untuk ikut bersama Farah dan Fariha ke kamar
Ahsan, karena tidak mau Farah bertemu dengan ayah anak itu diluar
pengetahuannya.

Ketika Farah, Fariha dan Erlang tiba di kamar Ahsan, disana sudah ada dua
orang lagi selain Ahsan dan ayahnya. Attar memperkenalkan kedua orang
itu sebagai ibunya Ahsan dan teman ibunya Ahsan. Saat Farah, Fariha dan
Erlang menjenguk, Attar dan kedua orang lain tersebut melipir ke sofa di
pojok kamar tersebut.

Farah, Fariha dan Erlang tidak lama berada di sana. Fariha hanya
berbincang sebentar dengan Ahsan, menyemangatinya agar cepat sembuh.
Ia juga berbincang sebentar dengan Attar. Setelah itu mereka bertiga pamit.

"Ahsan lagi bete atau gimana ya tadi, Far?" tanya Fariha kepada puterinya.
"Pas ngobrol sama kita, Ahsan jadi pendiem dan agak jutek gitu nggak sih
Far?"

Fariha menoleh ke kursi belakang, ketika mereka telah berada di dalam


mobil Erlang.

"Mungkin kakinya masih nyeri kali ya Ma? Jadi itu bukan jutek. Mungkin
lagi nahan nyeri," jawab Farah sok polos. Padahal sebenarnya ia punya
firasat mengapa sikap Ahsan seperti itu.

"Yang temannya mamanya Ahsan tadi itu..." kata Erlang, sambil melirik
pada Farah dari kaca spion, selagi ia memutar kemudinya untuk keluar dari
halaman parkir rumah sakit. "... bener temennya atau calon papa tirinya
Ahsan?"

Farah membalas tatapan Erlang dan kagum pada kemampuan lelaki itu
yang bisa cepat membaca situasi. Kalau Erlang memang punya intuisi
sebagus ini, mengapa dari dulu Farah butuh waktu bertahun-tahun untuk
menarik perhatian lelaki itu ya? Lelaki sepeka Erlang kan harusnya mudah
sadar pada perasaan Farah yang tidak pernah ditutup-tutupinya. Kalau
sampai lelaki itu tidak menyadari perasaan Farah selama bertahun-tahun,
bisa jadi karena intuisi Erlang tertutup oleh perasaan seorang om kepada
keponakannya, atau mungkin karena bagi Erlang sosok Farah hanya
dianggap sebagai bayangan sang ibu.

"Calon papa tirinya Ahsan?" sambar Fariha kepo. Lagi-lagi hingga


perempuan itu menoleh kepada Farah di kursi belakang.

"Wah, nggak tahu juga ya Ma," jawab Farah diplomatis. Dia memilih untuk
pura-pura tidak tahu saja.
"Kalau emang itu calon papa tirinya Ahsan, wajar aja kalau Ahsan bete sih.
Mungkin dia belum bisa nerima kalau mamanya nikah lagi," kata Fariha.
Kali ini ia kembali meluruskan duduknya, di sisi Erlang. "Kalau nanti Pak
Attar mau nikah lagi, susah juga itu. Mungkin Ahsan juga bakal nolak."

Tanpa sadar, Farah tersedak ludahnya sendiri, dan terbatuk kecil beberapa
kali. Fariha tampak tidak terpengaruh, sementara Erlang lagi-lagi melirik
Farah dari spion.

"Tapi itu respon wajar sih. Namanya juga anak-anak kan. Pasti kebanyakan
nonton dongeng ibu tiri tuh," lanjut Fariha. "Ngomong-ngomong, itu Pak
Attar udah lama cerai, nggak ada kabar-kabar bakal nikah lagi gitu?"

Farah mencelos. Bingung bagaimana menjawabnya. Bukan hanya karena


belum siap membicarakan hubungannya dengan Attar kepada ibunya, tapi
juga karena di mobil itu ada Erlang. Farah juga bukan bermaksud
menyembunyikan dari Erlang. Tapi dia khawatir, kalau dia mengatakan
sekarang, Erlang akan menjauh dari keluarganya sebelum hubungan mereka
bisa membaik kembali. Jadi Farah memutuskan untuk menunda informasi
itu pada Erlang dan ibunya.

"Nggak tahu, Ma," jawab Farah diplomatis.

"Orang baik, Pak Attar itu. Semoga cepet nikah lagi lah. Dan Ahsan bisa
bisa nerima calon mama tirinya."

"Aamiin," refleks Farah menjawab spontan. Doa orangtua, apalagi doa ibu,
makbul kan?

Selagi mereka ngobrol, tiba-tiba ponsel Farah bergetar. Dan spontan


senyum Farah terkembang ketika melihat nama pengirim pesan itu.

Pak Attar: Pulang diantar Erlang?

Iya Pak.

Pak Attar: Mama kamu sudah tahu tentang kita?


Tanpa bisa dicegah, perut Farah rasanya banyak kupu-kupu berterbangan
ketika membaca tulisan "tentang kita". Malu sekali rasanya.

Belum Pak.

Pak Attar: Nanti setelah Ahsan keluar RS, saya main ke rumah Farah,
boleh ya? Mau minta ijin ke mamanya Farah.

Eh? Nggak usah buru-buru Pak

ak Attar: Justru harus secepatnya. Kalau perlu saya sekalian pengen bilang
ke Erlang, bahwa Farah sekarang sudah jadi punya saya.

Njirrrr! Posesif bat nih om-om!, Farah terkikik dalam hati.

Pak Attar: Seenaknya aja tadi pas kalian pulang, dia rangkul kamu.

Hah? Kapan? Nggak ada tuh rangkul-rangkulan tadi.

Pak Attar: Oke, bukan merangkul. Tapi dia mesra banget pegang-pegang
punggung kamu tadi.

Itu nggak mesra-mesra ya Pak.


Tadi kan Om Erlang cuma ndorong
supaya saya keluar pintu.

Selang beberapa detik, Attar belum membalas pesan Farah. Membuat Farah
takut lelaki itu salah paham.

Bapak cemburu?

Pak Attar : Iya

Maaf ya Pak.

Pak Attar : Kemarin-kemarin, saya hanya menahan diri karena saya nggak
berhak cemburu. Tapi sebenarnya, saat mencintai seseorang, saya jadi
mudah cemburu.
Pak Attar: Dan karena skrg kamu sudah jadi punya saya, saya jadi posesif
dan mudah cemburu.
Pak Attar: Farah siap nggak, dicintai orang kayak saya?

Isi pesan itu sebenernya, kalau dipikir-pikir harusnya kan bikin Farah
khawatir ya? Bahwa lelaki yang kini sedang menjalin hubungan dengannya
adalah seorang yang posesif dan pencemburu. Tapi kenapa bibir Farah jadi
refleks senyum-senyum sih? Kenapa kata-kata tersebut justru terasa manis
sih? Apa memang bahagia seperti ini rasanya dimiliki oleh seseorang yang
kita sayangi?

Saat itu Farah tidak sadar bahwa Erlang sedang memperhatikan dirinya
yang sedang membalas pesan sambil senyum - senyum.

***

Bab ini minim adegan manis2 sih. Jadi agak pesimis sih bakal dapet
450 vote dan 150 komen lagi. Tapi kalau ternyata tercapai, ya nanti
saya update lagi. Kalau ga tercapai, ya saya jadi punya waktu leha2
utk nulis. Disimpen aja dulu sbg draft.

Have a nice Sunday, Kakak2 😘


16.
"Farah belum tidur?"

"Kalau udah tidur, ini siapa yang ngangkat telepon Bapak?"

"Hahaha. Pinter kamu!"

"Kalau saya nggak pinter, Bapak masih suka sama saya nggak?"

"Kalau kamu nggak pinter, kamu nggak bakal jadi guru les Ahsan, dan kita
mungkin nggak jadi dekat. Jadi kemungkinan saya suka sama kamu, lebih
kecil."

"Prof!"

"Apa?"

"Kok nggak romantis?"

"Yang romantis itu kayak gimana?"

"Tau ah!" Saat mengatakan hal itu, tiba-tiba mata Farah menatap
bayangannya di cermin kamarnya.

Far! Jijik, tau nggak, kalo sok ngambek gitu! Ini lo lagi ngomong sama
profesor lho. Sopan dikit, napa! kata sang bayangan menegur.

"Ya kan kita realistis aja, Farah," suara Attar di seberang telepon terdengar
seperti sedang menyabar-nyabarkan diri, menghadapi gadis dua puluh
tahunan ini. "Kalau kamu nggak pinter, kamu nggak kuliah di kampus kita.
Kamu nggak daftar jadi guru les di bimbel temen kamu. Kamu nggak jadi
guru les Ahsan. Trus gimana kita ketemu?"

"Tapi kan katanya, kalau jodoh pasti bertemu Pak."


"Yang bertemu kan belum tentu bisa bersatu. Bisa jadi, hanya bisa bertamu."
.
.
.
.

***

Halo Kakak2! Bab ini sudah pernah dipublish utuh, tapi saat ini sudah
saya hapus.

Bagi yang ketinggalan baca, Kakak2 bisa beli ebooknya di


bit.ly/SegitigaBermuda

Mohon maaf, bab ini tidak tersedia di Karya Karsa.


Spy makin penasaran dan makin yakin untuk beli ebooknya, Kakak2
bisa cek komen2 di bab ini. Yakin nih, ga nyesel kalo ga beli ebooknya?

***

Beberapa pembaca ada yang nanya, seberapa jauh si agegap Farah-


Attar?

Nah, Farah ini seusia Haiva. Sementara Attar ini seusia Pak Haris. Jadi
kebayang ya, seberapa jauh perbedaan usia mereka?

Setting waktu cerita ini terjadi sebelum cerita Haiva-Haris. Jadi Farah
dan Attar bertemu di usia yang lebih muda dibanding saat Haiva
bertemu Haris.

Meski Attar dan Haris seusia, tapi dalam bayangan saya, kepribadian
mereka berbeda. Tentu ada beberapa persamaan, karena usia membuat
mereka sama-sama dewasa. Tapi karakter dasar mereka berbeda.

Saya mencoba menuliskan karakter Attar dengan baik. Tapi karena


saya penulis amatir, mungkin aja masih kebawa karakter Haris. Jadi
tolong koreksi dari Kakak2 ya.

Nah, utk cek, apakah pembaca mendapat impresi sesuai yang saya
maksudkan, coba tebak, apa bedanya karakter Pak Haris n Pak Attar
hayo?
17.
Pagi itu, Farah baru saja pulang dari sebuah industri food and beverage. Ia
baru saja menandatangani kontrak kerja dan menyelesaikan urusan
personalia, sebelum hari Senin nanti ia bisa mulai bekerja di perusahaan
tersebut sebagai Purchasing Supervisor. Sebelumnya ia memang bekerja
sebagai Manajer di sebuah hotel. Tapi tetap saja ia baru memiliki satu tahun
pengalaman. Sehingga saat ia ingin bergabung dengan sebuah perusahaan
industri, kemampuannya belum cukup untuk di posisi seorang Manajer.
Oleh karena itu, Farah cukup memahami dirinya yang masih perlu banyak
belajar, dan cukup puas dengan posisi supervisor.

Waktu di jam tangannya belum terlalu siang saat ia keluar dari kantor
barunya itu. Jadi ia memutuskan untuk berkunjung ke rumah Ahsan, untuk
menjenguknya.

Farah datang ketika Ahsan sedang memainkan game di tv ruang keluarga.


Dari Mbak Wati yang membukakan pintu pagar, Farah tahu bahwa saat ini
pergerakan Ahsan masih terbatas di kamarnya dan di ruang keluarga. Tapi
kondisi kaki Ahsan sudah jauh lebih baik sehingga kemungkinan hari Senin
nanti anak itu sudah bisa masuk sekolah lagi. Dari Mbak Wati juga, Farah
tahu bahwa selama Ahsan sakit, ibunya Ahsan bekerja dari rumah agar bisa
sambil menemani Ahsan. Itu mengapa saat Farah masuk lebih jauh ke
dalam rumah, ia menemukan Sania sedang bekerja dengan laptopnya selagi
menemani Ahsan yang sedang main game.

Setelah beramah-tamah singkat dengan Sania, wanita itu pamit untuk


bekerja di kamarnya, dan memberi kesempatan kepada Farah untuk ngobrol
berdua dengan Ahsan.

"Kalo lagi libur sekolah, berarti libur belajar juga ya San?" goda Farah
sambil terkekeh. Ia kemudian duduk di samping Ahsan.

"Kemarin aku udah belajar sama Kak Hanun," jawab Ahsan.


"Jadi kalau nggak belajar sama Kak Hanun, Ahsan nggak belajar?"

"I'm not in the mood of study, Kak!"

Farah terkesiap dengan jawaban Ahsan. Bukan dengan jawaban anak itu,
lebih tepatnya, tapi ia kaget dengan cara anak itu mengatakannya. Kenapa
terdengar kesal? Apa Ahsan sedang kesal padanya? Tapi kenapa?

"Ahsan..." Farah memanggil, pelan dan hati-hati.

"Apa?"

"What's wrong?" tanya Farah.

Ahsan tidak segera menjawab. Ia tampak fokus menyelesaikan game-nya.


Jadi Farah menahan diri. Ia memilih diam, menunggu Ahsan menyelesaikan
game-nya.

"Kak Farah mau jadi mama tiriku ya?" tanya Ahsan sekonyong-konyong.
Matanya menatap Farah

Farah tidak siap dengan pertanyaan mendadak itu. "Hah? Gimana San?"
tanya Farah. Pura-pura tidak mengerti maksud pertanyaan Ahsan.

"Malam itu aku dengar kak Farah bilang gitu."

"Malam kapan? Bilang apa?"

"Pas aku di rumah sakit. Pas bangun, aku dengar Kak Farah bilang suka
sama Papa."

Deg!

Ya ampun Far! Pak Attar dan Ahsan langsung menangkap kata-katanya


malam itu. Padahal dirinya sendiri malah nggak sadar mengatakan hal
seberani itu. Dan sekarang, itu jadi bumerang.

Pantas saja, sikap Ahsan kepadanya saat di RS tidak terlalu hangat.


Tadinya, Farah pikir itu karena Ahsan sedang kesal dengan ibunya. Tapi
ternyata bukan hanya itu. Ternyata Ahsan juga sedang kesal pada Farah.

"Kak Farah suka sama Papa, itu artinya Kak Farah bakal jadi mama tiriku?"
tanya Ahsan, dengan tatap mata menuduh.

Berhati-hati, Farah memilih kalimatnya, agar kali ini tidak menjadi


bumerang.

"Ahsan juga pernah bilang i love you ke Kak Farah. Apa itu artinya Ahsan
bakal jadi papa tirinya Kak Farah?"

Itu jelas logika yang ngaco. Tapi dalam waktu sesingkat itu Farah tidak
mampu menyiapkan jawaban yang lebih baik.

"Ya nggak lah Kak!"

"Kalau Kak Farah nggak boleh suka sama papanya Ahsan, apa harusnya
Kak Farah benci aja sama papanya Ahsan?"

"... nggak gitu, Kak..." Kali ini nada suara Ahsan tidak lagi setinggi tadi.

"Ahsan ga mau punya papa atau mama tiri?"

"Nggak mau!"

"Padahal Om Maliki baik lho. Kak Farah ngobrol sebentar pas ketemu di
RS kemarin."

"Tapi kalau udah jadi mama atau papa tiri, nanti jahat sama Ahsan."

"Kak Farah juga jahat ya sama Ahsan?"

Anak lelaki itu menggeleng. "Tapi Ahsan nggak mau Kak Farah jadi mama
tiri Ahsan. Ahsan udah punya Mama. Ahsan nggak mau mama yang lain."

Jleb!

Penolakan, bahkan meski dikatakan oleh seorang anak kecil, tetap


menyakitkan.
"Kak Farah nggak bakal jadi ibu tiri Ahsan kan?" tanya Ahsan sekali lagi,
menegaskan. "Tetep bakal jadi temennya Ahsan kan?"

Farah akhirnya tersenyum. Kali itu senyuman sedih. Meski ia yakin, Ahsan
tidak akan tahu makna di balik senyuman itu.

Farah mengangkat tangannya, membelai kepala Ahsan. "Kalau Ahsan


nggak mau Kak Farah jadi mama tiri Ahsan, ya berarti Kak Farah nggak
bakal jadi mama tiri Ahsan kan?"

Itu jawaban paling diplomatis yang dapat diberikannya kepada anak itu.

Akhirnya kini senyum Ahsan terbit lagi. Kali ini sambil memeluk Farah, ia
berkata, "Ahsan sayang Kak Farah!"

Rasa sayang memang bisa didefiniskan pada banyak jenis hubungan. Kita
bisa saja menyayangi seseorang sebagai teman, tapi tidak bisa sebagai
kekasih. Begitupun dengan Ahsan, ia bisa menyayangi Farah sebagai teman
atau guru, tapi tidak bisa menerimanya sebagai bagian dari keluarganya.

Farah memahami hal itu. Tapi tetap saja ia merasa sedih.

***

Menjelang makan siang, Farah pamit pulang kepada Sania. Ia telah selesai
menjenguk dan ngobrol dengan Ahsan. Saat itu Sania dengan ramah
menawarkan diri mengantar Farah ke teras, sambil menunggu ojek online
yang dipesan Farah datang.

"Makasih sudah jenguk Ahsan ya Far," kata Sania sambil tersenyum.

"Sama-sama, Bu," Farah membalas senyumnya.

"Ahsan sayang sekali sama Farah."

"Hehehe. Saya juga sayang Ahsan, Bu."

"Emm... Maaf ya selama ini saya kurang ramah sama Farah."


"Eh? Masa sih Bu? Saya ngerasa ibu baik kok sama saya," jawab Farah,
basa-basi.

"Hehehe," Sania terkekeh kecil, salah tingkah. "Selama ini saya pikir Farah
dan papanya Ahsan ada hubungan khusus. Lalu saya jadi khawatir sendiri.
Kalau Farah jadi ibu tiri Ahsan, apakah Farah bisa jadi ibu yang baik dan
sayang sama Ahsan atau nggak. Karena khawatir, saya jadi kurang ramah
sama kamu. Saya berusaha menjauhkan Farah dari papanya Ahsan.

Tapi ternyata kamu nggak ada hubungan khusus dengan papanya Ahsan.
Dan kejadian seminggu terakhir ini membuka mata saya. Ternyata Ahsan
sesayang itu sama Farah. Setelah pulang dari rumah sakit, Ahsan baru mau
cerita ke saya. Dia kabur dari sekolah dan pergi menemui Farah, katanya
karena mau curhat sama Farah.

Dia marah sama saya. Dan ternyata saat marah sama saya, dia menemukan
tempat yang nyaman untuk berkeluh kesah. Dan itu Farah. Saya jadi merasa
bersalah sama Farah, selama ini sudah menduga Farah nggak tulus sama
Ahsan. Kenyataannya, Farah sayang sama Ahsan, dan Ahsan merasa
nyaman banget sama Farah."

Farah tidak tahu harus menanggapi bagaimana.

"Makasih sudah menyayangi anak saya ya Far."

***

Farah sedang menyetrika baju-bajunya, sebagai persiapan untuk kembali


bekerja hari Senin nanti, ketika mendengar pintu pagar rumahnya terbuka.
Ini belum waktunya sang ibu pulang kerja, jadi itu pasti orang lain. Tak
lama kemudian, pintu rumahnya diketuk. Saat ia membuka pintunya, Farah
dikejutkan oleh kehadiran seseorang.

"Bapak ngapain kesini?" tanya Farah, refleks.

"Lho? Saya dilarang kesini?" Lelaki itu balik bertanya, dengan wajah
tersinggung.
"Eh, bukan gitu Pak," jawab Farah buru-buru, sebelum lelaki itu makin
tersinggung. "Maksudnya, tadi siang kan Bapak udah telepon. Kita video
call, bahkan. Kok Bapak sekarang kesini?"

Tadi siang, sepulang Farah dari menjenguk Ahsan, ia mengirim pesan pada
Attar, bahwa ia sudah menjenguk Ahsan. Ia juga menceritakan obrolannya
dengan Ahsan. Saat itu Attar segera melakukan panggilan video dengan
Farah. Bukan hanya untuk mendengar cerita yang lebih lengkap, tapi juga
untuk memastikan bahwa Farah baik-baik saja setelah obrolan dengan
Ahsan.

Farah pikir percakapan video call itu saja cukup untuk meyakinkan Attar
bahwa dirinya baik-baik saja. Tapi sepertinya Attar tidak yakin, sehingga
sore itu ia tetap datang ke rumah Farah.

Atau ada alasan lain?

"Kangennya belum hilang."

"Prof..." keluh Farah sambil memutar bola matanya dengan ekspresi lelah.

Lelaki itu tertawa pelan. "Ini saya nggak dipersilakan masuk?"

Farah akhirnya mempersilakan Attar masuk ke ruang tamu. Ia membiarkan


pintu rumahnya terbuka.

Setelah mereka duduk bersisian di sofa ruang tamu, Attar menyerahkan


sebuah paper bag pada Farah.

"Selamat kembali bekerja hari Senin besok ya Sayang."

Sontak Farah salah tingkah. Bukan karena ucapan Attar yang memberinya
selamat karena sudah berhasil diterima di posisi yang dilamarnya, tapi
karena panggilan lelaki itu padanya.

"Prof, malu ih," protes Farah, salah tingkah. Wajahnya memerah tanpa bisa
dicegah. Kok rasanya canggung banget ya?
Attar hanya tertawa. Ia kemudian melihat Farah membuka paper bag yang
diberikannya.

Tidak perlu orang yang memahami fashion untuk tahu bahwa tas yang
dibelikan Attar untuk Farah adalah tas dengan harga mahal. He does really
have a good taste and style.

"Suka?" tanya Attar, dengan senyum tampannya.

"Pak..." Farah mengangkat matanya dari tas berwarna coklat yang elegan
itu. "... it's too much, Pak."

"Bukan itu pertanyaan saya. Pertanyaan saya, Farah suka nggak?"

Farah mengangguk. Ia tersenyum canggung. "Makasih banyak, Pak."

"Sama-sama."

Farah kemudian mengembalikan tas mahal itu ke dalam paper bagnya.


Rasanya berat untuk menggunakan tas semahal itu untuk bekerja. "Maaf ya,
saya jadi ngerepotin Bapak."

"Permintaan maaf nggak diterima!" kata Attar tegas. "Ucapan terima kasih
aja sudah cukup."

"Tapi Pak...."

"Shhhh!" Attar dengan tegas menyuruh Farah berhenti protes. Kali ini ia
meraih jemari Farah dan menggenggamnya. Membuat Farah salah tingkah,
hingga memastikan perempuan itu tidak protes lagi. "Tadi gimana sama
Ahsan?" Dengan cepat Attar mengganti topik obrolan.

Dan topik kali ini membuat wajah Farah yang semula salah tingkah, kini
redup.

"Seperti yang tadi saya cerita ke Bapak," jawab Farah. "Dia nggak mau
punya papa atau mama tiri. Bahkan meski dia sayang sama saya, dia nggak
mau saya jadi ibu tirinya."
Attar menghela nafas. "Tadinya saya pikir, karena dia sudah sayang sama
Farah, Ahsan bisa lebih mudah menerima Farah, dibanding menerima calon
papa tirinya."

"Ternyata nggak juga, Pak."

Attar mengangguk. "Nanti saya dan mamanya Ahsan coba pelan-pelan


ngomong sama Ahsan. Farah yang sabar ya."

Farah mengangguk menurut.

"Padahal sebenarnya saya yang nggak sabaran," kata Attar, terdengar


seperti keluhan.

Alis Farah sedikit naik dan dahinya berkerut karena tidak mengerti.

"Nggak sabar pengen cepet-cepet memiliki kamu seutuhnya."

Ah gila! Farah bisa mati muda kalau deg-degan begini terus menghadapi
Pak Attar. Sebelumnya, tidak terbayang baginya bahwa sikap Pak Attar
akan seperti ini. Ia kira, hubungan dengan Pak Attar akan berlangsung
tenang, seperti halnya sikap lelaki itu. Tapi ternyata, kenapa penuh kejutan
dan percikan-percikan seperti ini?

"Untuk urusan Ahsan, kita bisa usahakan pelan-pelan, sambil jalan," lanjut
Attar. Kalem. Seolah-olah kalimatnya sebelumnya adalah kalimat biasa
yang tidak membuat jantung seorang gadis kebat-kebit. "Yang lebih penting
dari itu, adalah restu mamanya Farah. Saya harus secepatnya bicara dengan
beliau."

"Emm...tapi saya belum ngomong ke Mama, Pak___"

"Mau ngomong apa?" Sekonyong-konyong berdiri di depan pintu masuk


rumah Farah, seorang wanita dengan wajah yang mirip dengan Farah.

Attar refleks melepaskan genggamannya pada jemari Farah. Tapi terlambat.


Wanita di depan pintu itu sudah terlanjur melihatnya.

***
18.
Barangkali itu mengapa banyak yang bilang, saat orang jatuh cinta, dunia
serasa milik berdua, yang lain ngontrak. Makanya Attar dan Farah sampai
tidak sadar saat ibu Farah masuk rumah. Padahal sang ibu bukan masuk
dengan mengendap-endap lho.

Meski Attar segera melepaskan genggamannya pada tangan Farah, tapi ibu
Farah sudah terlanjur melihatnya. Attar sih tidak terlalu khawatir, karena
toh sejak awal ia memang ingin segera mengatakan niatnya kepada ibu
Farah. Tapi justru Farah sendiri yang tampak tidak siap. Tapi karena
kejadian ini, siap-tidak-siap, mereka harus mengatakannya sekarang.

"Kenapa anak saya, Pak?" tanya Fariha, setelah mendengar penuturan Attar.

Attar menundukkan kepala sejenak di hadapan Fariha. "Mohon maaf kalau


Ibu tidak berkenan dengan permintaan saya barusan. Tapi saya tadi serius,
Bu. Kalau diijinkan, saya ingin menikah dengan Farah. Saya tahu, Ibu
barangkali keberatan, karena usia saya beda jauh dengan usia Farah. Tapi
kalau ibu tanya, kenapa harus Farah, emmm... ya karena saya sayang dan
peduli pada anak Ibu."

Fariha mengalihkan tatapannya pada anak gadisnya yang sedang meremas


tangannya sendiri, kelihatan gugup. Kemudian kembali mengalihkan
tatapannya pada Attar.

"Farah lebih cocok jadi anak Bapak," kata Fariha.

Attar mengangguk. "Tapi saya menyayangi Farah bukan seperti saya


menyayangi Ahsan."

"Apa ini cuma karena rasa simpati Bapak pada Farah, karena kejadian satu
tahun lalu?"

"Mungkin memang awalnya karena rasa simpati Bu. Tapi sekarang


perasaan saya pada Farah, lebih dalam."
"Apa hanya karena Farah dekat dengan Ahsan? Apa hanya supaya Bapak
punya seseorang untuk mengasuh Ahsan?"

"Saya mencari istri, Bu, bukan pengasuh anak. Tapi istri yang baik, nggak
akan menelantarkan anak saya kan?" jawab Attar. "Saya tertarik pada Farah.
Lalu saya lihat Farah sayang sama Ahsan. Dan itu membuat saya makin
tertarik. Apa salah kalau saya tertarik karena alasan itu Bu?"

Fariha tidak menjawab. Ia melihat pada anaknya yang tampak canggung.

"Orang tua Bapak sudah tahu tentang Farah? Mereka nggak keberatan kalau
Bapak menikah dengan anak kecil seperti Farah?"

"Orang tua saya sudah meninggal Bu. Saya cuma punya 1 orang adik
perempuan. Dan sepertinya dia nggak ada masalah dengan Farah. Keluarga
besar saya yang lain, mungkin ada yang kurang setuju karena Farah bukan
keturunan Arab. Tapi mereka nggak bisa mengintervensi."

Farah baru tahu bahwa ada standar khusus yang diharapkan untuk menjadi
pendamping Attar. Pantas saja Kak Sarah juga menikah dengan Dokter
Emir yang keturunan Arab juga. Ternyata bukan kebetulan, tapi memang
tuntutan keluarga besar.

Sementara itu Fariha tampak menatap Attar. Lelaki itu tampak sudah
mengidentifikasi masalah-masalah yang akan mereka hadapi, sekaligus
sudah mempersiapkan diri untuk menghadapinya. Jadi ini bukan keputusan
tanpa rencana.

"Bapak sudah tahu masa lalu Farah. Setahun lalu, bahkan Bapak yang
mengantar Farah ke RS. Bapak nggak keberatan dengan itu?" tanya Fariha
lagi.

"Kalau saya keberatan, saya sudah mundur sejak setahun lalu, Bu," jawab
Attar mantap.

Fariha menggeleng. "Sekarang mungkin mudah untuk Bapak menerima


Farah, karena Bapak sedang mencintai Farah. Tapi gimana kalau suatu saat
nanti Bapak sedang bertengkar dengan Farah, lalu mengungkit-ungkit
kondisinya yang sudah...."

"Semua orang punya masa lalu, Bu," potong Attar cepat. "Farah punya.
Saya juga punya, meskipun pengalaman saya nggak tepat sama dengan
yang dialami Farah. Saya nggak bisa menjanjikan bahwa kami nggak akan
bertengkar atau saling menyakiti. Namanya suami-istri...."

Lalu tanpa bisa dicegah, wajah Farah mendengar kata suami-istri itu.

"... pasti ada berantemnya. Mungkin sesekali saya bikin dia sedih atau
marah. Tapi saya janji ke Ibu, masa lalu Farah nggak akan pernah saya
jadikan senjata untuk menyakiti Farah. Karena tanpa saya mengungkitnya
pun, Farah pasti sudah selalu merasa sakit tiap mengingat pengalamannya
itu kan?"

Saat mengatakan itu, Attar menoleh pada Farah. Ia meremas jemari Farah
singkat, sambil tersenyum. Sebelum kemudian melepaskan kembali tangan
gadis itu.

Farah sampai dibuat terpana saat menatap lelaki dewasa di sisinya itu. Dan
lebih dari terpana, Farah merasa tersentuh dan terharu.

"Kalaupun saya memberi ijin, apa rencana Bapak?" tanya Fariha.

"Saya ingin menikahi Farah. Secepatnya," Attar menjawab mantap.

"Seberapa cepat?"

"Segera setelah kami meyakinkan Ahsan. Saya minta waktu untuk itu, Bu."

"Ahsan nggak setuju?"

"Belum setuju, Bu," Attar mengoreksi. "Dia masih khawatir tentang


dongeng ibu tiri yang jahat."

Fariha tertawa. Diiringi tawa Attar juga, dan tawa miris Farah.

"Jadi, apa kami bisa mendapatkan restu Ibu?" tanya Attar.


Luar biasa duda satu ini! Fokusnya tidak teralihkan. Dan tanpa basa-basi.

Fariha menyandarkan punggungnya dengan lebih rileks di sandaran sofa.


"Gimana kalau probation time, Pak?" kata Fariha. "Sambil menunggu
Ahsan menerima Farah, saya juga akan menunggu sambil mengamati. Adil
kan, Pak?"

Farah mengernyit memandang ibunya. Probation? Ini ngelamar kerja, atau


ngelamar anak orang?

Pun dengan Attar. Ia tidak segera menjawab tawaran itu. Ia tampak berpikir
sejenak. Tapi kemudian ia mengangguk setuju.

"Baik, Bu," kata Attar. "Selama masa percobaan ini, saya akan
membuktikan bahwa saya bisa membuat masa depan Farah bahagia."

Fariha tersenyum. Ia meraih tas kerjanya dan bangkit dari duduk.

"Bapak belum disuguhi minum?" tanya Fariha.

"Eh? Oh, nggak apa-apa, Bu. Saya nggak lama kok."

Fariha kembali tersenyum ramah. "Oh udah mau pulang ya Pak? Baik,
kalau begitu." Sambil bicara seperti itu, wanita itu pamit masuk ke
kamarnya.

Jleb!

Itu bukan pengusiran. Tapi jelas terasa seperti pengusiran tersirat. Farah
nyengir minta maaf kepada Attar, tapi lelaki itu justru tertawa maklum.

Setelah Attar keluar dari rumah mereka dan pergi dengan mobilnya yang
diparkir di depan pagar rumah Farah, barulah Fariha meluapkan rasa
penasarannya pada sang anak.

"Kamu kenapa sih milihnya om-om atau bapak-bapak terus, Far? Nggak
bisa cari yang normal aja gitu, yang seumuran gitu?"
Farah sebenarnya ingin tertawa mendengar pertanyaan sang ibu. Tapi untuk
kasus kali ini, ia hanya bisa nyengir saja, siap menerima apapun protes
ibunya. Tapi ternyata, setelah beberapa waktu berlalu, sang ibu tidak
melanjutkan interogasinya. Saat itu Farah merasa lega sekaligus waspada.

***

Hari Sabtu, malam Minggu, seharusnya adalah waktu yang tepat untuk
ngapel ke rumah pacar atau diapelin pacar. Tapi Farah bukan pacaran
dengan laki-laki biasa. Dia tahu, bahwa dikarenakan kesibukan Attar setiap
hari, maka lelaki itu selalu memprioritaskan waktunya untuk Ahsan di akhir
pekan. Farah sudah memahami itu sehingga ia tidak berharap akan
mengalami malam minggu yang normal seperti gadis-gadis lainnya.

Masalahnya, siang itu, bukan hanya Farah tidak mengalami malam Minggu
normal dengan menghabiskan waktu dengan Attar, tapi juga bahkan ia
diapelin oleh laki-laki lain.

"Chef di restoranku lagi nyoba menu dessert baru. Mungkin Mbak suka.
Sekalian aku bawain bahan-bahan untuk hotpot." Begitu yang didengar
Farah saat Erlang menyerahkan sekantong besar bahan makanan kepada
ibunya yang saat itu membukakan pintu.

Erlang tampaknya mencoba mendekati keluarga Farah lagi dengan


menggunakan cara yang sama seperti saat dulu ia bisa akrab dengan
keluarganya. Dimulai dengan makanan, diakhiri dengan kebersamaan.
Makanan memang banyak berhasil mempersatukan banyak orang.

Meski demikian, kali ini Erlang bersikap lebih hati-hati. Ia tidak terlalu
gegabah mendekat, tapi secara konsisten selalu menampakkan diri di rumah
mereka. Memberi tanda bahwa seperti halnya dulu, ia adalah orang yang
dapat diandalkan oleh keluarga itu... terlepas dari kesalahan yang pernah
diperbuatnya.

Erlang tentu sadar bahwa upaya pendekatannya tidak bisa langsung segera
berhasil. Jadi asalkan Fariha berkenan menerima oleh-oleh darinya saja,
Erlang sudah bersyukur. Ia tidak muluk-muluk berharap, seperti halnya
hubungan mereka di masa lalu, Fariha akan menawarinya ikut makan siang
bersama. Jadi ketika tiba-tiba Fariha justru benar-benar menawarinya
makan siang bersama, Erlang jadi syok.

"Bahan makanan sebanyak ini, aku dan Farah nggak bisa ngabisin.
Biasanya ada Faris yang perut karung, tenaga kuli. Tapi karena sekarang dia
nggak disini, nggak ada yang bantu menghabiskan makanan," kata Fariha.
"Kamu mau ikut hotpot-an bareng, Lang?"

Kali itu, bukan hanya Erlang, Farah juga kaget dan bingung dengan
keramahan dan penerimaan Fariha yang tiba-tiba.

***

Mama Fariha meresahkan ya Bund?

***

How about 500 votes n 200 comments for next chapter? Too much
nggak?
19.
"I was so... surprised!"

Farah, yang sedang menahan ponsel di telinganya sambil bersandar pada


sandaran ranjangnya, hanya diam mendengar cerita orang di seberang.

"Mama kamu kenapa tiba-tiba bisa baik sama aku?" tanya orang di
seberang.

"Mama kan emang baik, Om," jawab Farah sekenanya.

"Iya, aku tahu Mama kamu baik. Maksudnya, setelah semua yang aku
lakukan dan bikin Mama kamu marah, aku maklum. Dan aku emang udah
siap dengan sikap Mama kamu selama ini, yang nggak marah-marah tapi
jelas makin dingin ke aku. Tapi tadi, tiba-tiba dia nerima aku lagi makan
bareng di rumah kalian, i was so... happy," tutur Erlang, terdengar
antusias."Mama kamu lagi senang atau gimana Far?"

"Kurang tahu juga, Om. Mungkin juga."

Terdengar suara terkekeh kecil di seberang sana.

"Kamu ngomong sesuatu ke Mama kamu, sampai dia jadi baik lagi ke
aku?"

"Nggak, Om," jawab Farah jujur. Ia sendiri kaget ketika melihat sikap
ibunya yang lebih ramah kepada Erlang hari ini.

Sepanjang makan siang bersama tadi, meski percakapan Erlang dan ibunya
belum sehangat dan sesantai dulu, tapi setidaknya sikap sang ibu tidak lagi
terlalu dingin.

Tapi, meski Farah sudah bilang bahwa perubahan sikap ibunya bukan
karena dirinya, sepertinya Erlang tidak percaya. Terbukti kemudian ia
berkata, "Makasih ya Far, sudah bantu aku memperbaiki hubungan dengan
keluarga kamu."

"Itu bukan karena aku, Om," kata Farah mengoreksi.

"Iya, iya," jawab Erlang santai. Sepertinya ia tidak terlalu peduli pada
klarifikasi Farah. "Bagaimanapun, makasih. Selama ini kamu udah ngasih
aku kesempatan."

Farah akhirnya hanya bisa menghela nafas. Tidak ada gunanya juga ia
mengklarifikasi.

"Sebentar lagi ya Far."

"Hmm?"

"Tolong tunggu sebentar lagi," Erlang mengulang. "Sebentar lagi mungkin


aku akan berhasil mengambil hati Mama kamu lagi. Setelah dia bisa nerima
aku lagi di keluarga kalian, aku akan melamar kamu. Semoga saat itu,
Mama kamu sudah bisa nerima aku."

"Om..." tegur Farah. Tanpa diketahui Erlang di seberang telepon, Farah


menggaruk kepalanya, frustasi. "Udah ya. Jangan melakukan ini demi aku
lagi."

"Maksudnya?"

"Aku pengen hubungan Om dengan Mama dan Faris kembali jadi baik,
karena memang seharusnya begitu," jawab Farah. "Kalau bukan gara-gara
aku, hubungan kalian akan tetap baik. Aku cuma pengen mengembalikan
hal yang memang sudah seharusnya begitu. Bukan karena aku pengen nikah
sama Om."

"Tapi kamu cinta sama aku kan Far?"

"I did."

"And now?"
"I don't."

"Tapi sekarang aku yang sayang sama kamu."

Kali ini Farah menghela nafas sekali lagi dengan lebih keras. "Om emang
selalu sayang sama aku kan Om? Sebagai keponakan Om. Tapi itu bukan
rasa cinta yang bisa jadi landasan untuk menikah."

"Setelah semua yang aku lakukan selama 1 tahun ini, apa belum cukup
meyakinkan kamu bahwa aku sayang kamu bukan sebagai keponakan?"

"Om bahkan bisa salah memahami perasaan Om sendiri kepada Mama


selama bertahun-tahun. Bukan nggak mungkin Om juga salah paham
dengan perasaan Om ke Farah."

"Tapi kali ini aku nggak mungkin salah!" potong Erlang tidak sabar. "Aku
ingin menjaga kamu. Memeluk kamu. Memiliki kamu."

"Itu obsesi, Om. Obsesi yang datang karena rasa bersalah."

"Kalaupun itu diawali dengan perasaan bersalah atau bertanggung jawab,


itu udah nggak penting lagi sekarang. Yang penting sekarang aku benar-
benar mencintai kamu."

"Udah ya Om, stop! Aku nggak bisa!"

Farah mendengar suara helaan nafas kasar di seberang sana. Meski ada
sebersit rasa bersalah pada hati Farah karena sudah mengecewakan Erlang,
tapi ia menguatkan hati.

"Oke, oke! Kita nggak bisa ngomongin hal ini di telepon. Kita harus ketemu
langsung kapan-kapan," putus Erlang akhirnya.

"Tapi Om___"

"Tapi mungkin aku nggak bisa nemuin kamu selama beberapa hari ke
depan. Aku akan ke Bali selama beberapa hari. Urusan restoran."
Saat beberapa kali Erlang mengunjungi Farah di Bali, ia sempat bertemu
dengan teman lamanya. Entah bagaimana, akhirnya mereka sepakat untuk
membuka restoran bersama disana. Jadi setiap kali Erlang mengunjungi
Farah, ia sekaligus sambil memantau operasional restoran yang baru berusia
beberapa bulan itu.

Tidak salah jika lelaki itu melepaskan pekerjaan kantorannya demi bisnis
kuliner yang dirintisnya sendiri ini.

"Kamu mau minta oleh-oleh apa? Aku bawain minggu depan," tanya
Erlang.

Setelah ngobrol sekian lama dengan Erlang tanpa senyum sedikitpun,


akhirnya kali itu tawa Farah lepas.

Erlang menawari oleh-oleh dari Bali, kepada dirinya yang sudah setahun
tinggal disana dan puas dengan makanan atau oleh-oleh khas Bali. Lucu
sekali bukan?

"Kamu cantik!"

Sontak tawa Farah terhenti. "Sok tahu!"

Lelaki itu kemudian tertawa. "Emang aku tahu. Bahkan tanpa melihat
langsung wajah kamu, aku tetap bisa membayangkan cantiknya wajah
kamu pas ketawa tadi."

Refleks, Farah memegang pipinya yang tetiba terasa panas.

Ini salah! tegur Farah pada dirinya sendiri. Dia sekarang sudah
berhubungan dengan Attar. Jadi seharusnya ia tidak lagi tersipu malu-malu
seperti itu karena rayuan lelaki lain!

"Udah ya Om, telponnya aku tutup!"

Terdengar tawa di seberang sana, sebelum kemudian laki-laki itu berkata,


"Oke, oke! Selamat tidur ya Cantik! Mimpiin aku ya. Karena malam ini aku
pasti mimpiin kamu."
Farah memutus panggilan telepon itu masih dengan wajah yang memanas.
Sialan sekali laki-laki itu! Ternyata rayuannya masih memberi efek pada
diri Farah.

Belum selesai efek memerah di wajah Farah, tiba-tiba ponselnya bergetar


lagi. Kali ini nama Attar yang tertera di layarnya. Hal itu membuat Farah
terkesiap kaget. Tiba-tiba saja ia merasa seperti orang yang tertangkap
basah sedang selingkuh.

"Ha-halo, Pak," Farah menjawab gugup panggilan telepon itu.

"Halo, Sayang." Ketika mendengar itu, Farah bisa membayangkan senyum


lebar Attar. "Assalamualaikum."

"Wa'alaikumsalam, Pak."

"Lagi apa?"

"Nggak lagi apa-apa, Pak."

"Bukan lagi sibuk?"

"Eh? Nggak kok."

"Soalnya saya beberapa kali WA, kamu belum balas. Padahal lagi online.
Kirain lagi sibuk. Lagi telponan? Sama siapa?"

"Oh, ng-nggak Pak. Tadi cuma lagi WAan sama temen. Jadi nggak lihat WA
Bapak masuk."

Setelah refleks menjawab begitu, barulah Farah terkesiap. Kenapa dirinya


mesti berbohong pada Attar? Kenapa dia tidak jujur saja tentang Erlang?
Toh dia bukan sedang selingkuh kan? Harusnya ia jujur saja kan? Iya kan?
Lho kok jadi ragu sama diri sendiri?

Bego, Farah!

"Oh...gitu. Oke deh," jawab Attar singkat, akhirnya.


"Bapak kenapa telepon saya?" tanya Farah kemudian.

"Kangen..." Tanpa diduga, lelaki itu menjawab dengan nada sedikit


merajuk. Astaga! Kedengaran lucu sekali!

"Pak..." tegur Farah, mengingatkan supaya lelaki itu tidak perlu gombal.
Padahal dalam hati, Farah suka mendengarnya.

"Saya kangen Farah. Tapi nggak bisa malem mingguan sama Farah," jawab
Attar jujur.

Farahpun tidak bisa menahan tawa ketika mendengar suara merajuk bapak-
bapak itu.

"Tadi ngapain aja sama Ahsan Pak?" Farah melanjutkan obrolan di sela
tawanya.

"Kami tadi berenang, Far," jawab Attar. "Ahsan minta ke water park. Sama
mamanya juga."

Deg!

"Sama Bu Sania?"

"He-ehm."

Sania itu perempuan yang cantik. Meski sudah melahirkan, bentuk


tubuhnya juga masih ideal. Tiba-tiba saja tergambar dalam pikiran Farah,
ketiga orang itu sedang bermain bersama di water park. Dan Sania dalam
balutan baju renangnya, entah tipe apapun itu, pasti terlihat cantik dan
menggoda.

"Kenapa?" tanya Attar, tiba-tiba. Membuyarkan lamunan Farah.

"Nggak apa-apa Pak."

"Farah nggak suka saya pergi dengan mamanya Ahsan?" terka Attar. Eh?
Kok kenapa tepat sekali sih?
"Nggak Pak. Biasa aja. Kan sah-sah aja, wajar-wajar aja sekeluarga
berenang bareng," jawab Farah sok cool.

"Kapan-kapan, Farah ikut yuk, berenang bareng saya dan Ahsan."

"Eh?"

"Ya?"

"Tapi saya nggak bisa berenang, Pak."

"Nggak apa-apa, nanti saya yang ngaj___" Entah kenapa tiba-tiba kata-kata
Attar terhenti. "Nanti aja Farah ikut kami berenang kalau kita sudah nikah
aja ya. Nanti saya ajarin."

"Kenapa harus nunggu nikah dulu baru berenang? Hubungannya apa


ngajarin renang sama ni___" Lalu tiba-tiba Farah tersadar sendiri dengan
kesalahan kata-katanya. Dan refleks pipinya memerah.

Attar sepertinya paham apa yang terjadi pada Farah. Dan ia terkekeh kecil.

"Dengan status hubungan kita sekarang, saya takut nggak bisa menahan diri
untuk nggak menyentuh Farah. Takutnya saya kebablasan."

Kini warna merah makin merambat hingga ke telinga Farah.

"Farah sendiri, hari ini ngapain?" Menyadari kecanggungan topik obrolan


mereka, Attar segera mengalihkan pembicaraan.

"Di rumah aja Pak."

"Ada cerita menarik hari ini?"

Om Erlang datang kesini. Dan barusan dia telepon. Dan dia belum
menyerah.

"Hmmm.. nggak ada Pak."


Hanya dalam waktu lima menit, Farah sudah dua kali merasa sedang
berselingkuh. Sial!

Tapi kalau Attar sampai tahu tentang Erlang, lelaki itu pasti marah kan?
Jadi demi menjaga perdamaian, Farah memang tidak perlu menceritakan
yang sebenarnya kan? Dirinya bukan sedang bohong kan? Dia cuma sedang
memilih menceritakan hal-hal yang aman saja.

Keputusannya sudah benar kan?


Iya kan?

***

Siapa yang napsu misuh-misuhin Farah? Waktu dan tempat,


dipersilakan.
20.
Banyak yg nungguin cerita ini ga ya? Atau udh kadung ilfeel sm Farah
dan patah hati krn Om Erlang pupus?

Makin dikit aja nih vote n komennya. Hehehe.

***

"Serius ih! Bapak ngapain jemput segala?"

Farah langsung protes, dua detik setelah memasuki mobil Attar.

Tapi lelaki itu malah tertawa lebar. "Kembali kasih," kata lelaki itu, seolah-
olah barusan Farah mengucapkan terima kasih padanya, bukan mengomel.

"Dih!" gerutu Farah, dengan mulut manyun.

Lelaki itu kembali tertawa. "Udah ah, pakai seat beltnya. Dijemput pacar
kok malah manyun. Itu kode minta dicium apa gimana?"

Dengan wajah memerah, berkat kombinasi kata "pacar" dan "minta


dicium", Farah melempar tatapan kesal pada Attar. Sebelumnya tidak
pernah terbayang oleh Farah bahwa ia bisa melihat sisi diri dosennya yang
ini. Yang gombal begini. Kata-kata "pacar" terdengar canggung untuk
mendefinisikan hubungan mereka saat ini. Juga pertanyaan "minta dicium?"
terasa aneh saat diucapkan oleh seorang Prof. Attar Thariq.

Dalam diam, Farah menuruti perintah Attar untuk memasang sabuk


pengamannya. Setelah itu Attar memutar kemudinya meninggalkan
halaman parkir sebuah industri makanan, tempat Farah bekerja kini.

Satu jam sebelumnya Attar memang mengirim pesan kepada Farah,


menanyakan jam berapa ia pulang bekerja.

"Satu jam lagi, Pak," jawab Farah tadi. "Kenapa? Bapak mau jemput?"
Yang Farah tidak duga adalah bahwa candaannya tadi ditanggapi serius oleh
Attar. Sekitar 10 menit yang lalu, saat Farah memang sedang bersiap
pulang, tiba-tiba Attar meneleponnya. Farah memang pernah bercerita
kepada Attar tentang kantornya yang baru. Tapi dia tidak menduga
informasi itu digunakan Attar untuk menemuinya di kantor.

"Gimana kantor baru? Kerjaan menyenangkan?" tanya Attar, membuka


percakapan.

"Karena saya anak baru, jadi ya masih seru Pak," jawab Farah. "Belajar lagi
dari awal. Banyak hal baru. Ketemu supplier-supplier. Ketemu orang-orang
baru."

"Bosnya enak? Temen-temennya enak?"

"Sejauh ini sih enak-enak aja Pak. Kerjaan banyak, tapi kalau timnya santai
kan jadi ga stres ya Pak."

"Betul. Lingkungan kerja yang sehat berdampak besar buat produktivitas


sih," kata Attar sambil mengangguk-angguk. "Bosnya ganteng?" lanjutnya
tiba-tiba.

"Hah?"

"Bosnya Farah ganteng?" Attar mengulang.

"Kok tahu bahwa bos saya laki-laki, Pak?"

"Nebak aja sih. Eh nggak tahunya, emang bener ya, laki-laki?"

Farah mengeluh. "Harusnya tadi saya bohong aja, bilang bosnya


perempuan."

"Emang kenapa?"

"Ya nggak kenapa-kenapa. Nah Bapak nanyain bos saya ganteng atau
nggak, kenapa?"

"Nanya aja. Emang nggak boleh?"


"Boleh," jawab Farah. Ia kemudian menoleh pada Attar. "Bapak cemburu
ya?" tanyanya, sambil nyengir menggoda.

"Cemburu lah. Apalagi setelah tahu bahwa Farah berniat bohong tentang
bos Farah."

Deg!

... Farah berniat bohong...

Senyum Farah seketika hilang. "Saya nggak niat bohong ke Bapak."

Attar terkekeh. "Iya, iya."

"Saya tadi cuma bercanda, Pak."

"Iya, iya. Saya juga cuma bercanda."

Farah selama ini selalu merasa Attar sangat pengertian. Tapi entah kenapa
kali ini respon santai Attar, yang seperti memahami bahwa Farah hanya
bercanda, justru membuat Farah merasa klarifikasinya tidak dianggap.

Setelahnya Farah diam saja. Tidak lagi berusaha mengklarifikasi atau


membela diri. Kalau Attar menganggap bahwa dirinya memang berniat
berbohong, ya sudah.

"Jadi, bosnya Farah memang ganteng?" tanya Attar.

"Iya."

"Sudah menikah?"

"Belum."

"Berapa umurnya?"

"Tiga puluhan."

"Lebih ganteng dari saya?"


"Prof lebih ganteng."

Attar tersenyum, lalu melirik gadis yang duduk di sampingnya. Ia pikir


gadis itu sedang menatapnya sambil tersenyum menggoda atau tersenyum
malu-malu, tapi ternyata gadis itu sedang menatap lurus ke depan dengan
wajah dingin.

"Kita mau langsung pulang atau jalan-jalan dulu?" tanya Attar.

"Langsung pulang aja."

Attar langsung sadar, ada yang salah dengan Farah. Tapi kenapa tiba-tiba?
Apa diantara percakapan singkat mereka barusan, ia sudah salah bicara?

Mobil Attar berhenti karena lampu merah. Lelaki itu kembali menoleh pada
Farah, dan gadis itu tetap pada posisinya, menatap lurus ke depan.

"Itu tangan Farah kenapa?"

"Kenapa?" tanya Farah tidak mengerti. Refleks, ia menunduk mengamati


kedua tangan di pangkuannya. Tidak ada apa-apa di telapak, punggung
maupun jari-jari tangannya. Lalu ia beralih pada sepanjang tangan dan
lengannya. Dan tetap tidak ada apapun. "Emang ada apa sama tangan saya,
Pak?" Kali ini Farah sambil bertanya sambil menoleh pada Attar.

"Sini tangan Farah."

"Hah?"

Attar lalu meraih tangan kanan Farah. Gadis itu masih kaget karena Attar
tiba-tiba mengambil tangannya, jadi makin bingung ketika lelaki itu
langsung menelusupkan jemarinya diantara jemari kanan Farah.

"Ini trik lama yang saya pakai buat modusin mantan-mantan saya," kata
Attar.

Farah mendelik. Antara kaget dan heran, kok bisa-bisanya orang ini
bersikap begini.
"Farah tahu modus ini nggak?"

"Mana saya tahu. Waktu Bapak modusin mantan-mantan Bapak, saya masih
balita."

Attar terkekeh. "Ternyata saya memang sudah setua itu ya."

Farah menatap Attar. Kali ini dengan tatapan hati-hati. Khawatir sudah
menyinggung perasaan lelaki itu. Tapi saat lelaki itu menatapnya balik,
ternyata tidak terlihat tatapan tersinggung dari mata Attar.

"Saya ada salah ngomong?" tanya Attar lembut. Ibu jarinya mengusap
punggung tangan Farah yang digenggamnya.

"Hah?"

"Saya salah ngomong sesuatu ke Farah ya? Farah tiba-tiba bete gitu
mukanya."

Farah mengalihkan tatapannya dari Attar. Antara malu diperlakukan manis


oleh Attar, dan malu karena ketahuan ngambek.

"Saya cuma bercanda waktu bilang mau bohong tentang bos saya. Saya
nggak benar-benar berniat bohongin Bapak."

Dahi Attar mengernyit saat mendengar Farah mengulang kata-kata itu,


padahal tadi gadis itu sudah mengatakannya.

"Dan saya benar-benar serius saat saya bilang bahwa saya juga sedang
bercanda saat menuduh Farah berniat berbohong."

Kali ini dahi Farah yang berkerut mendengar kalimat Attar yang
membingungkan.

"Beneran, saya nggak bermaksud bilang Farah berniat membohongi saya.


Saya cuma menggoda Farah aja. Farah tersinggung ya? Maaf ya."

Mendengar itu, wajah Farah kembali memerah. Kali itu alibat malu karena
dirinya terlalu baper. Harusnya dia tidak sesensitif itu menanggapi gurauan
Attar.

"Maaf Pak," kata Farah akhirnya. "Saya yang baperan. Harusnya saya
nggak gampang tersinggung."

Attar terkekeh. "Jadi saya dimaafin kan? Farah nggak marah lagi sama saya
kan?"

Farah mengangguk.

"Alhamdulillah," kata lelaki itu dengan wajah lega dan cengiran jenaka.
"Kirain saya bakal diputusin sebelum sebulan pacaran. Bakal jadi rekor."

Farah menarik tangannya dari genggaman Attar dengan wajah manyun


karena malu. Ia kemudian memukul lengan pria itu dengan sebal.
Sementara Attar menanggapinya dengan tawa yang makin lebar.

"Farah nggak suka saya bercanda begitu ya?"

Farah butuh waktu beberapa detik sebelum akhirnya menjawab.


"Sebenarnya bukannya nggak suka Pak. Tapi saya belum terbiasa aja
dengan sikap Bapak yang kayak gini. Dulu-dulu Bapak belum pernah
bercanda dan menggoda saya kayak begini."

Jawaban itu membuat Attar kembali terkekeh.

Lampu lalu lintas berubah menjadi hijau tidak lama kemudian. Dan Attar
dengan cekatan menjalankan kembali mobilnya.

"Karena sekarang Farah nggak marah lagi sama saya, saya boleh ajak Farah
jalan?" Attar mengulangi pertanyaannya beberapa saat lalu. Kali ini sambil
nyengir menggoda.

Farah manyun mendengar sindiran Attar. Tapi toh ia menjawab pertanyaan


lelaki itu. "Emang mau jalan kemana?"

"Kemana aja. Asal nggak langsung pulang."

"Emang kenapa kalau langsung pulang?"


"Nggak bisa pacaran. Nanti sambil diawasin Mama Farah. Kan saya masih
masa probation. Hehehe."

Farah ikut menertawakan nasib lelaki itu.

"Mau nonton?" Attar menawarkan. "Atau makan?"

"Makan aja yuk Pak. Kalau nonton, nanti pulangnya kemaleman."

"Oke! Mau makan apa?"

"Hmmm?"

"Farah masih suka steak? Atau all you can eat shabu-shabu?"

"Hehehe." Farah memang bukan mahasiswa yang fakir traktiran lagi. Ia kini
bisa membeli makanan mahal itu dengan uang gajinya sendiri. Tapi
bagaimanapun, makanan traktiran tetap lebih enak. Karena mengandung
vitamin G!

"Mau steak Pak!"

Attar tertawa mendengar jawaban Farah yang antusias. "Oke!" Ia kemudian


memutar mobilnya menuju sebuah restoran steak yang pasti disukai Farah.

"Jadi, dibanding bosnya Farah, saya masih lebih ganteng?" tanya Attar tiba-
tiba, di tengah keheningan selama beberapa saat ketika mereka saling
membisu.

"Apa sih Pak. Mulai lagi deh. Mau ngajak berantem lagi?"

"Jadi tadi Farah bilang saya lebih ganteng itu sebenarnya supaya
menghindari berantem aja, karena lagi sebel dan males ngomong sama
saya? Bukan karena saya memang lebih ganteng?"

"Nggak kok. Bapak emang lebih ganteng. Saya mah biarpun lagi sebel,
tetep objektif, Pak."
Attar kembali tertawa mendengar jawaban Farah. Lalu tiba-tiba terlintas di
pikirannya sebuah pertanyaan. Kalau ia menanyakan hal ini, apakah dia
bisa mengetahui isi hati Farah?

"Kalau dibanding Erlang, siapa yang lebih ganteng? Saya atau Erlang?"

***

Ini bab recehan doang sih. Nggak tahu deh, banyak yg suka ga sih?
21.
"Kalau saya gandeng tangan Farah, boleh nggak?" tanya lelaki yang berjalan
di sisinya. Kala itu mereka baru saja memasuki sebuah pusat perbelanjaan.
Restoran steak yang mereka tuju berada di dalam mall tersebut.

.
.
.
.

***

Halo Kakak2! Bab ini sudah pernah dipublish utuh, tapi saat ini sudah
saya hapus.

Bagi yang ketinggalan baca, Kakak2 bisa beli ebooknya di


bit.ly/SegitigaBermuda
Mohon maaf, bab ini tidak tersedia di Karya Karsa.

Spy makin penasaran dan makin yakin untuk beli ebooknya, Kakak2
bisa cek komen2 di bab ini. Yakin nih, ga nyesel kalo ga beli ebooknya?
22.
Sejak Farah bekerja di Bali, Ahsan pernah beberapa kali menghubunginya
dengan ponsel ayahnya, baik hanya panggilan suara atau panggilan video.
Jadi sebenarnya Farah tidak kaget-kaget amat ketika malam itu ia menerima
panggilan video dari nomer ponsel Attar. Hanya saja karena hubungannya
dengan Attar sekarang sudah berubah, Farah sempat menduga bahwa Attar
sendirilah yang menginginkan panggilan video itu. Jadi ketika Farah
menggulir icon hijau dan mendapati wajah Ahsan, alih-alih wajah ayahnya,
Farah sempat sedikit kecewa. Bukan berarti ia tidak suka Ahsan
menghubunginya sih.

"Hei! Kok belum tidur, San?" sapa Farah ramah. Jam di ponselnya baru
menunjukkan jam 9 malam sih. Tapi bukannya anak SD jam segini
harusnya sudah tidur?

"Baru teleponan sama Mama, Kak," jawab Ahsan. "Aku ganggu Kak Farah
nggak?"

"Nggak lah," jawab Farah. "Cuma bingung aja, kok Ahsan belum bobo."

"Hehehe."

"Asik ya ngobrol sama Mama, sampai jam segini?"

"Asik sih. Tapi..."

"Hmm?" Farah menaikkan alisnya.

"Tapi jadi bete."

"Lho kok gitu?"

"Mama ngajak liburan bareng weekend besok, Kak."

"Lho, asik dong! Kenapa malah bete?"


"Liburannya bareng Om Maliki," jawab Ahsan dengan wajah merengut.

Farah segera membaca situasi. Pantas saja Ahsan bete. Tapi Farah juga
bingung menanggapinya. Dalam kasus ini, posisi Farah sama seperti Om
Maliki, calon orangtua tiri Ahsan. Dan anak itu pasti juga akan membenci
Farah jika sekarang ia tahu bahwa Farah punya hubungan khusus dengan
ayahnya. Kalau sekarang Farah mencoba membela Om Maliki, ia khawatir
Ahsan akan makin membencinya saat hubungannya dengan sang ayah
terbongkar. Farah jadi bingung harus bersikap bagaimana.

"Aku ajak Papa ikut, supaya aku nggak sendirian sama Mama dan Om
Maliki doang. Tapi Papa nggak mau," Ahsan melanjutkan curhatannya.
"Katanya takut gangguin. Padahal kan gangguin apaan sih ya Kak?"

"Hehehe." Hanya begitu respon yang bisa Farah berikan. "Liburan kemana
emangnya?"

"Anyer, Kak."

"Wah, bakal seru tuh main di pantai, San," kata Farah, berusaha membujuk
Ahsan secara halus.

"Ya tapi nggak seru kalo sama Om Maliki. Ahsan maunya sama Papa
Mama aja."

Farah nyengir, meski miris dalam hati.

"Kak Farah ikut liburan yuk."

"HAH?!" Farah yang tadi menerima telepon Ahsan sambil bersandar


setengah berbaring di kasur, langsung menegakkan duduknya.

"Supaya kalo aku bete main sama Om Maliki, aku main sama Papa dan Kak
Farah aja. Papa nggak mau ikut kalo sendirian. Tapi kalau Kak Farah ikut
juga, pasti Papa mau ikut," usul Ahsan. Kemudian terlihat anak itu
mengalihkan pandangannya ke luar layar ponsel. "Iya kan Pa?"

Refleks Farah memutar bola matanya. Halah, ini pasti bisa-bisaan idenya
Pak Attar nih, pikir Farah, meski ia tidak bisa melihat atau mendengar
respon Attar.

"Tante Sarah, Om Emir, Syifa ga mau diajak liburan bareng. Katanya mau
mudik ke rumah Ummi-nya Om Emir," lanjut Ahsan. "Trus aku bingung
mau ngajak siapa selain Kak Farah."

Farah terkekeh canggung. "Aduh, Kak Farah nggak enak ah San. Kan itu
liburan keluarga."

"Bukan kok. Bukan liburan keluarga. Om Maliki bukan keluarga Ahsan."

"Kak Farah juga bukan."

"Ya makanya Ahsan ajak Kak Farah. Supaya nggak jadi liburan keluarga."

Farah terkekeh miris. "Maaf ya San. Kak Farah sungkah ah, nanti
ngerepotin mamanya Ahsan."

"Nggak kok Kak! Nanti Ahsan yang bilang Mama deh."

"Eh, jangan!" cegah Farah cepat.

Dan secepat itu juga wajah Ahsan merengut.

"Eh, eh, maksud Kak Farah___"

"Yaudah kalo Kak Farah nggak mau ikut!" bentak Ahsan ngambek.
Bagaimanapun dia cuma anak 8 tahun yang masih suka ngambek.

"Bukan gitu. Tapi kan Kak Farah harus bilang mamanya Kak Farah dulu
kalo nginep gitu, San."

Secepat wajahnya merengut, secepat itu pula wajah Ahsan kembali ceria.

"Kalo gitu Kak Farah mau ikut kan?"

Farah nyengir salah tingkah. "InsyaAllah ya San."

"InsyaAllah-nya beneran nggak nih?"


"InsyaAllah bohongan tuh kayak apa sih?"

"Sok-sok insyaAllah, padahal cuma mau ngeles aja, ujung-ujungnya nggak


jadi."

Farah tertawa canggung karena Ahsan dengan lugas menyampaikan fakta


pahit tentang kebiasaan orang Indonesia yang ingkar janji.

"Kan Kak Farah harus minta ijin dulu sama mamanya Kak Farah, Sayang.
Belum tentu diijinin," Farah mencoba memberi pengertian dengan sabar.

"Kalau Papa yang minta ijin ke Tante Riha, pasti bakal diijinin kan?" Anak
itu kemudian menoleh kepada seseorang di balik ponsel. "Pah, mintain ijin
ke Tante Riha dong! Apa sekalian kita ajak Tante Riha?"

Wah makin ngaco nih bocah!, pekik Farah panik dalam hati.

"Nanti Papa coba ngomong sama Tante Riha ya. Tapi kalau nggak diijinin,
Ahsan nggak boleh maksa." Terdengar suara Attar, meski Farah tidak bisa
melihat wajahnya.

Wajah Ahsan terlihat antara berharap dan kecewa, membuat Farah tidak
tega. Tapi mau bagaimana lagi kan?

"Ahsan sayang bobo dulu ya. Besok kita ngobrol lagi kalau mamanya Kak
Farah udah ngijinin," bujuk Farah.

Karena Ahsan tidak bisa lebih memaksa lagi, akhirnya ia menyerah dan
menuruti Farah untuk menutup teleponnya dan tidur. Tidak sampai semenit
setelah Ahsan menutup teleponnya, sebuah pesan masuk ke ponsel Farah.

Pak Attar: Jangan tidur dulu ya. Nanti saya mau telepon. Saya nemenin
Ahsan tidur dulu sebentar.

Iya, Pak.

Sambil menunggu telepon Attar, Farah menggulir instagramnya. Tapi


belum lama itu ia lakukan, ponselnya kembali bergetar. Sebuah panggilan
telepon masuk. Tapi ternyata bukan telepon dari orang yang ditunggunya.
Farah ingin menolak panggilan tersebut. Tapi refleks jarinya, yang tadi
sudah terlanjur mengira bahwa itu adalah Attar, terlanjur menggeser icon
berwarna hijau. Jadi akhirnya ia terpaksa menerima panggilan itu.

"Halo, Om," sapa Farah singkat.

"Hai, Farah! Lagi apa?" balas Erlang.

"Nggak lagi ngapa-ngapain. Kenapa Om?"

"Aku udah di Jakarta lagi nih."

"Oh, iya, Om," jawab Farah singkat.

Dulu, duluuuu sekali, sebelum kejadian itu terjadi, tiap Erlang pulang dari
luar kota, Farah akan menyambutnya dengan girang dan meminta oleh-oleh.
Bukan oleh-olehnya yang penting, sebenarnya, tapi kesempatan untuk
bertemu Erlang, itu yang penting bagi Farah. Tapi kini semua sudah
berubah.

"Aku bawa oleh-oleh," kata Erlang kemudian, karena setelah beberapa detik
Farah tidak juga menagih oleh-oleh, jadi dia yang berinisiatif duluan.

"Nggak perlu repot-repot, Om," jawab Farah kering.

Erlang mendesah tak kentara. Kecewa dengan respon Farah yang datar,
yang tidak lagi menggebu-gebu ingin bertemu dengannya.

"Udah terlanjur dibeli," jawab Erlang. "Aku bawain ke rumahmu hari Sabtu
besok ya?"

"Nggak usah, Om!" refleks Farah menjawab cepat. Akhir pekan ini, kalah
ibunya mengijinkan kan Farah akan pergi dengan Ahsan. Kalaupun sang
ibu tidak mengijinkan, Farah memang menghindari bertemu dengan Erlang.
Rasanya salah jika ia masih bertemu Erlang ketika kini ia sudah
berhubungan dengan Attar.

"Eh? Kenapa?" tanya Erlang, kaget dengan respon Farah yang terlalu cepat.
"Aku weekend ini nggak di rumah, Om."

"Lho? Kemana?"

"Nginep di tempat lain."

"Nginep?"

"Gathering kantor." Detik itu juga, ketika Farah menyelesaikan kalimatnya,


ia merasa menyesal. Kenapa dirinya mesti berbohong sih? Harusnya dia
langsung saja bilang bahwa akan menginap dengan keluarga Attar, supaya
Erlang tahu bahwa dirinya sudah menetapkan pilihan, dan pilihannya bukan
Erlang.

Eh? Tapi benarkah dirinya sudah mantap menetapkan pilihan itu?

"Kamu karyawan baru, tapi udah diajak gathering kantor?"

"Hmmm." Farah cuma mampu bergumam, tidak mampu berbohong lebih


jauh. "Oleh-olehnya dikirim pake ojek online aja, Om."

"Nggak mau! Aku mau ketemu kamu."

"Kalau gitu nanti aku aja yang ngambil oleh-oleh ke rumah Om Erlang,
sekalian pulang kantor."

"Eh, jangan!" jawab Erlang cepat. Terlalu cepat hingga Farah kaget sendiri.
"Jangan ke rumahku."

"Emang kenapa?" tanya Farah bingung.

"Emm, nggak apa-apa." Farah bisa mendengar nada gugup pada suara
Erlang. "Gimana kalau kamu ambil ke restoranku aja?" Erlang menawarkan
akhirnya.

"Oh, oke, Om," jawab Farah, setuju dengan cepat. Bertemu di tempat umum
seperti di restoran Erlang, mungkin lebih aman. Aman untuk hatinya juga.
Sebuah nadasela memecah percakapan mereka. Farah menjauhkan ponsel
dari telinganya dan mendapati, selain telepon yang sedang dilakukannya
saat ini, ada telepon lain yang masuk ke ponselnya.

"Om, ada yang telepon aku nih. Aku tutup dulu telepon Om ya," kata Farah
cepat.

"Telepon kamu malam-malam begini? Siapa?" Suara Erlang terdengar


curiga.

"Nggak tahu, Om. Udah dulu ya." Farah menjawab cepat. Kemudian tanpa
menunggu jawaban Erlang, Farah memutus panggilan teleponnya dengan
lelaki itu.

Saat itu juga ia menemukan nama Attar di ponselnya, dan ia segera


mengusap icon hijau di layar ponselnya.

"Halo Pak," sapa Farah. Sebisa mungkin ia berusaha menutupi


kegugupannya. Entah kenapa ia merasa gugup seperti orang yang hampir
ketahuan berselingkuh. Padahal ia tidak selingkuh kan?

Iya kan?

"Assalamualaikum Farah," Attar menyapa dengan suara hangatnya.

"Wa'alaikumsalam, Pak," jawab Farah.

"Lagi ngapain Far?"

"Nggak ngapa-ngapain. Kenapa Pak?"

"Kok angkat teleponnya lama?"

"Eh? Oh itu, tadi saya hampir ketiduran, Pak. Jadinya lama angkat
teleponnya."

Shit, Far! Lo makin pinter bohong ya sekarang?! Sama Om Erlang,


bohong. Sama Pak Attar, bohong. Jadi pembohong lo sekarang?! maki
Farah dalam hati.
"Maaf ya, jadi bangunin kamu lagi."

Kasihan banget sih Pak Attar. Dia yang dibohongi, dia yang minta maaf,
pikir Farah miris.

"Nggak apa-apa Pak. Hehehe." Farah kemudian tertawa canggung. "Ahsan


udah tidur Pak?" Ia kemudian mengalihkan pembicaraan.

"Udah," jawab Attar. "Maaf ya, permintaannya ngerepotin kamu."

"Ahsan minta begitu, bukan karena usul Bapak?" sindir Farah.

Attar tertawa. "Bukan. Serius. Itu dia sendiri yang kepikiran pengin ngajak
Farah. Bukan karena saya."

"Ohhh..."

"Tapi kalau dipikir-pikir lagi, usulnya Ahsan bagus juga. Kita berempat jadi
punya kesempatan mendekatkan diri sama Ahsan. Supaya Ahsan tahu,
bahwa meski papa mamanya menikah lagi dengan orang lain, dia akan tetap
disayang, bahkan mama papa yang menyayangi dia jadi bertambah. Gimana
menurut Farah? "

"Emmm bener juga sih."

"Kalau gitu, Farah mau kan ikut liburan?"

"Nggak tahu Pak. Harus tanya Mama dulu. Belum tentu juga diijinin
Mama."

"Nanti biar saya yang minta ijin Mama ya."

"Jangan! Nanti Mama malah horor kalau anaknya diajak nginep bapak-
bapak."

Terdengar suara tawa lepas di seberang sana.

"Nanti saya aja yang minta ijin Pak. Saya pikirin dulu gimana cara
ngomongnya."
Sekali lagi Attar tertawa. "Oke, oke."

Mereka kemudian terdiam selama beberapa saat, sebelum Attar kembali


berkata, "Makasih ya Far. Maaf, jadi ngerepotin kamu."

"Nggak kok, Pak. Saya malah senang, Ahsan mempertimbangkan saya


sebagai orang yang bisa bikin dia nyaman, makanya dia ngajak saya. Saya
cuma bingung aja gimana cara minta ijin sama Mama kalau mau nginep
sama keluarga Bapak. Soalnya Mama kan belum sepenuhnya setuju sama
kita."

"Kalau gitu, makasih ya Far. Makasih sudah mau maklum sama saya dan
Ahsan."

"Sama-sama, Pak."

"Farah..."

"Iya Pak?"

"Saya sayang sekali sama Farah."

"...."

"Farah nggak akan mengecewakan saya kan?"

"Pak..."

"Katanya, kekecewaan itu hadir karena terlalu berharap. Tapi gimana? Saya
udah terlanjur berharap sama Farah."

"..."

"Farah nggak akan bikin saya kecewa kan?"

***

Kenapa Om Erlang melarang Farah ke rumahnya?


Jawabannya sih di extra chapter nanti. Sekarang ngetes dulu aja, kira2
pembaca ada dugaan apa hehehe.

Have a nice weekend, Kakak2! Ramaikan komen n votenya dong 😘


23.
Pada akhirnya Attarlah yang meminta ijin kepada Fariha untuk mengajak
Farah berlibur bersama keluarganya, karena Farah tidak juga memberikan
jawaban hingga beberapa hari karena galau bagaimana caranya meminta
ijin. Dan sesuai dugaan, meminta ijin membawa Farah berlibur dan
menginap tentu saja tidak mudah.

"Saya nggak pernah mengekang pergaulan Farah, Pak. Saya hanya memberi
batasan. Saya pikir itu saja cukup. Tapi kejadian satu tahun lalu
menyadarkan saya, sebaik apapun saya mendidik Farah, dan bagaimanapun
saya mempercayai seseorang untuk menjaga Farah, godaan setan bisa
menyusup kapan saja saat manusia lengah," kata Fariha. Dari kata-katanya,
jelas sekali beliau keberatan kalau Farah ikut berlibur dan menginap
bersama Attar.

"Saya mengerti, Bu. Kalau saya punya anak perempuan, mungkin saya juga
sama protektifnya dengan Ibu," jawab Attar maklum. Lalu terkekeh kecil.
"Hehehe. Tapi kali ini saya tetep nekat mencoba meminta ijin Ibu. Soalnya
saya pikir ini kesempatan bagus buat menunjukkan ke Ahsan, bahwa meski
saya menikah lagi, dan meski mamanya menikah lagi, tapi dia nggak akan
kehilangan saya atau mamanya, seperti yang dia takutkan selama ini.
Dengan liburan bersama kali ini, saya berharap bisa nunjukin ke Ahsan,
bahwa dia nggak akan kehilangan saya dan mamanya, tapi dia justru akan
dapat 2 orang mama papa lagi yang sayang sama dia."

Fariha mengangguk-angguk."Susah ya Pak memberi pengertian itu kepada


anak-anak. Apalagi kalau banyak tontonan yang nakut-nakutin tentang ibu
atau ayah tiri."

"Hehehe, iya Bu." Kali ini Attar yang mengangguk-angguk. "Kalau gitu
saya pamit pulang, Bu."

Lho? Lho? Udah? Gitu aja? Kok nggak berusaha yakinin Mama untuk
ngasih ijin? Kok langsung nyerah? Pikir Farah bingung saat Attar pamit
pulang padahal belum mendapat ijin ibunya.

"Bapak jadinya liburan berempat aja?" tanya Fariha.

"Mungkin liburannya dicancel, Bu."

"Karena Farah nggak ikut?"

Attar mengangguk. "Ahsan ngajak Farah ikut karena khawatir nggak bisa
akrab sama calon papa tirinya. Setidaknya dia bisa main sama Farah kalau
males main sama mama dan calon papa tirinya. Jadi kalau Farah nggak bisa
ikut, Ahsan pasti nggak mau ikut juga, Bu. Nanti kami cari cara lain buat
bikin acara berlima, Bu."

"Gimana Bapak bisa meyakinkan saya, bahwa Farah akan baik-baik aja ikut
liburan keluarga Bapak?"

"Saya janji menjaga Farah, Bu," jawab Attar tegas, tapi santai. "Tapi
sebelumnya ada orang yang sangat ibu percaya untuk menjaga Farah, tapi
mengecewakan kepercayaan Ibu kan? Jadi saya maklum kalau Ibu sulit
untuk bisa percaya lagi."

Astaga! Bapak-bapak ini mulutnya berbahaya! Ini namanya mengalah


untuk menang.

Dan benar saja. Setelah mendengar kalimat pasrah itu, ibu Farah justru jadi
merasa tersentuh dan akhirnya mengijinkan Farah ikut berlibur bersama
Attar. Tentunya setelah serangkaian pertanyaan mengenai tempat menginap,
pengaturan kamar, syarat agar ponsel tidak boleh mati dan harus siap
ditelepon kapanpun.

Sekarang Farah mengerti. Pantas saja ia bisa jatuh hati pada lelaki ini.
Karena sikapnya yang pengertian dan mengalahlah yang membuat Farah
merasa dipahami dan tidak dituntut apapun.

***

Sesuai kesepakatan bersama, mereka berangkat terpisah. Sania dan Maliki


berangkat lebih dulu. Sementara Attar, Farah dan Ahsan berangkat agak
lebih siang, karena Ahsan malas bangun pagi-pagi. Sesampainya di sana,
hari sudah menjelang siang. Sania dan Maliki sudah menunggu di vila yang
mereka sewa, dengan makanan yang sudah siap tersaji di meja makan,
ketika Attar, Farah dan Ahsan tiba disana. Setelah selesai makan siang,
barulah mereka bermain di pantai bersama.

Tanpa direncanakan, Attar, Ahsan dan Maliki sudah berenang bertiga di tepi
laut yang tidak terlalu dalam. Setelah itu Maliki membantu Ahsan
mengumpulkan kerang di pantai. Dan akhirnya, ketiga lelaki itu membuat
istana pasir dan menghiasnya dengan kerang, bersama.

Seperti dugaan Farah saat pertama kali bertemu Maliki, lelaki itu sepertinya
adalah lelaki yang baik. Sikapnya ramah, meski tidak sesupel Attar.
Sikapnya lebih tenang, dan tidak seekspresif Attar, tapi juga bukan lelaki
dingin khas idola wattpad. Meski tidak seekspresif Attar, toh lelaki itu
terlihat natural saja saat mendekatkan diri pada Ahsan. Sama sekali tidak
terlihat seperti orang yang sedang mencari muka, tidak bersikap manis
secara berlebihan.

Siang itu Farah dan Sania duduk di bawah payung pantai, mengamati ketiga
lelaki itu berinteraksi. Saat itulah Sania bercerita bahwa Maliki adalah
arsitek yang bekerja di kantornya, dimana Sania bekerja sebagai Marketing
Manager. Lelaki itu berasal dari almamater yang sama dengan Attar, meski
tidak sempat bertemu di kampus karena angkatan Maliki jauh di bawah
Attar. Pantas saja Maliki memanggil "Abang" kepada Attar.

Sania juga bercerita, berbeda dengan dirinya yang seorang janda, Maliki
belum pernah menikah sebelumnya. Ia masih melajang sampai seusia itu
karena terlalu fokus pada karir. Tapi untungnya, meski dengan perbedaan
status itu, Maliki sama sekali tidak keberatan. Ia bahkan bersedia menerima
Ahsan.

"He is lovely, isn't he?" kata Sania sambil menatap ketiga lelaki yang
sedang membuat istana pasir, beberapa meter di hadapan mereka.

Farah menatap ke arah yang sama.


"Pak Maliki? Iya, Bu," jawab Farah. Mendengar cerita Sania bahwa Maliki
bisa menerima status Sania dan juga Ahsan, itu manis sekali.

Sania kemudian tertawa. "Bukan Bang Maliki. Tapi Bang Attar. Dia manis
kan?"

Farah mengernyit tidak mengerti. Pertama, bukankah barusan Sania


bercerita tentang Maliki, kenapa tiba-tiba bertanya tentang Attar? Kedua,
perempuan ini sudah akan menikah dengan Maliki, kenapa masih belum
move on dari mantan suaminya?

"Nggak usah cemburu dan sebel gitu sama saya," tegur Sania.

"Eh, ng-nggak kok Bu."

"Ternyata kamu beneran punya hubungan sama Bang Attar? Kamu yang
bakal jadi ibu tirinya Ahsan? Berarti kecurigaan saya selama ini nggak
salah kan?"

"Eh, ng-nggak gitu Bu. Saya dulu nggak ada___"

"Tapi sekarang kamu memang berhubungan sama Bang Attar kan? Kalau
nggak, dia nggak bakal ajak kamu kesini."

"Baru beberapa minggu kok Bu."

"Ya tetep aja. Intinya kalian pacaran kan? Ngeles aja kamu!"

Aduh, Farah kicep. Antara kesal dan malu. Sania tidak berhak ikut campur
atau mengintimidasi hubungannya dan Attar. Tapi kenapa Farah tidak bisa
membela diri?

"Dia orang yang baik, Far. Baik kepada banyak orang," kata Sania.

Saat Farah memandang Sania, ia kini baru sadar, diantara ketiga lelaki itu,
Attar-lah yang sedang dipandangi Sania.

"... bahkan kepada orang yang nggak dia sayangi, dia tetap berusaha berbuat
baik," lanjut Sania.
Apa maksud Sania bercerita begitu?, pikir Farah.

"Kami menikah karena dijodohkan. Tapi saya memang cinta sama Bang
Attar. Sejak kami ketemu di acara nikahan salah seorang sepupu saya, saya
tertarik sama Bang Attar. Jadi waktu orangtua kami menjodohkan, saya
sama sekali nggak menolak.

Saya tahu sih dia nggak cinta sama saya. Belakangan saya tahu siapa
perempuan yang dia cintai sebelum akhirnya harus menyerah dengan
ancaman ibunya dan menikahi saya. Kalau boleh PD, saya jauh lebih cantik
daripada perempuan itu... "

... bu Sofi, pikir Farah. Dan memang dibandingkan Sofia, Sania jelas jauh
lebih cantik.

"Dulu saya bahkan yakin bisa bikin Bang Attar segera berpaling ke saya
dan melupakan perempuan itu setelah kami menikah. Tapi ternyata Bang
Attar bukan orang seperti itu. Dia tetap cinta sama perempuan itu, bahkan
meski saya jauh lebih cantik.

Tapi meski dia masih cinta sama mantannya itu, dia tetap bersikap baik
sama saya. Apalagi setelah dia tahu saya hamil. Meski yang terjadi diantara
kami diluar keinginannya, tapi saat tahu saya hamil, dia sangat bertanggung
jawab.

Kehamilan saya cukup berat, Far. Saya mual muntah parah dan beberapa
kali hampir pingsan. Sarah bilang, saya caper, untuk menarik perhatian
kakaknya. Tapi Bang Attar nggak pernah bilang gitu di depan saya. Nggak
tahu juga sih kalau sebenarnya dia mikir saya caper, yang penting dia nggak
ngomong gitu di depan saya. Karena mual muntah parah itu, kadang pas
saya pingin makan sesuatu, saya langsung minta sama Bang Attar. Kadang
makanan yang saya minta nggak selalu masuk akal, tapi dia selalu berusaha
membelikannya. Sebaik itu Bang Attar.

Jadi kalau sekarang Bang Attar sayang sama kamu, kamu beruntung
disayangi laki-laki sebaik dia, Far."
Farah merasa bangga dan cemburu di saat yang sama. Bangga karena ia
disayangi Attar, dan cemburu karena ternyata Sania masih mengenang masa
lalu mereka.

"Kalau Bapak sebaik itu, kenapa Ibu minta pisah?" tanya Farah. Attar
pernah bercerita bahwa Sania yang mengajukan perpisahan. Dua detik
setelah Farah menanyakan hal itu, ketika melihat perubahan wajah Sania,
Farah sedikit menyesal menanyakan hal itu. "Maaf Bu, nggak apa-apa kalau
nggak dijawab."

Sania menggeleng, lalu menatap Farah lebih serius. "Tahu giung?"

"Hah?"

"Giung. Bahasa sunda."

Farah menggeleng. Dirinya kan orang Jawa, dan tidak pernah belajar
bahasa Sunda kecuali mendengar sekilas dari percakapam beberapa teman
kampusnya. Giung bukan termasuk kosakata yang pernah didengarnya.

"Pernah minum es teh manis yang gulanya kebanyakan?" tanya Sania lagi.

Ragu, Farah mengangguk. Masih tidak mengerti dengan pertanyaan


perempuan itu.

"Nah, itu! Terlalu manis, sampai bikin eneg!" kata Sania. "Bang Attar tuh
kayak gitu. Terlalu baik, sampai saya merasa muak. Dari awal dia jujur
bahwa dia nggak cinta sama saya, tapi dia tetap bersikap baik ke saya.
Meski nggak ramah amat, tapi juga nggak dingin. Waktu saya... menjebak
dia, sampai akhirnya kami berhubungan, dia bilang jijik sama sikap saya.
Tapi saat saya hamil, toh dia mau menerima anak itu, dan bahkan
menyayanginya. Selama kehamilan, dia bahkan sangat memperhatikan
saya. Saya jadi bingung. Berkali-kali sakit hati, baper, sedih, baper, marah,
baper lagi. Begitu terus sampai negara api menyerang. Makanya saya
pernah memperingatkan Farah kan, hati-hati sama Bang Attar, jangan
kebaperan, karena dia emang orangnya baik.
Jadi setelah ibunya Bang Attar meninggal, saya memutuskan untuk pergi
aja. Saya nggak tahan sama perasaan jatuh dan baper berulang kali. Saya
tahu saya nggak diinginkan, tapi saya senang diperlakukan manis sama
Bang Attar. Akhirnya saya capek sendiri. Apalagi kalau perasaan itu
bertepuk sebelah tangan. Capek banget, Far. Lelah banget. Dia baik banget,
saya berasa pemeran antagonis."

Mereka terdiam lama setelah itu. Sibuk dengan pikiran masing-masing.


Farah tidak tahu apa yang dipikirkan Sania. Tapi Farah sibuk mengingat-
ingat hubungannya dengan Attar. Dan ia merasa cerita Sania sangat masuk
akal. Selama ini, begitu pula yang dirasakan Farah.

Attar terlihat marah dan kecewa saat tahu bahwa Farah hamil di luar nikah.
Tapi toh lelaki itu menawarkan diri untuk bertanggung jawab. Attar juga
terang-terangan mengatakan tertarik pada Farah. Tapi lelaki itu juga
mengikhlaskan Farah dengan Erlang saat tahu Farah masih berhubungan
dengan Erlang. Perasaan diinginkan-diabaikan-diperjuangkan- dilepaskan
seperti itu memang membuat Farah gamang.

"Dulu saya khawatir kalau Farah beneran jadi ibu tiri Ahsan. Khawatir
kalau Farah nggak bisa sayang sama Ahsan. Umur Farah masih muda
banget, mungkin masih senang gaul sana-sini, mungkin nggak telaten
menghadapi anak-anak. Tapi belakangan saya teringat, bahkan saya pada
usia yang jauh lebih tua daripada Farah saat ini, bersikap egois dan
melepaskan Ahsan kepada Bang Attar supaya saya bisa mengejar karir yang
sempat tertunda selama kehamilan saya yang berat. Jadi saya sadar diri,
saya nggak pantes menghakimi Farah. Apalagi kejadian belakangan ini
sudah menunjukkan bahwa Ahsan sayang sekali sama Farah. Jadi kalau
nanti kamu sudah nikah sama Bang Attar, tolong sayangi Ahsan seperti
kamu menyayangi anak kalian nanti ya. Dan jangan memisahkan saya dan
Ahsan."

Mata Farah berkaca-kaca mendengar kata-kata Sania itu.

"Bu Sania..." kata Farah beberapa saat kemudian. "... Ibu cerita tentang Pak
Attar seantusias itu, apa artinya Ibu masih ada rasa sama Pak Attar."
Sania tertawa kecil. Kemudian menggeleng. "Saya udah punya Bang Maliki
sekarang. Sikap manisnya nggak bikin eneg. Saya menikmati bersama Bang
Maliki. Jadi Farah nggak perlu khawatir."

***

Yang pernah baca Formulasi Rasa pasti tahu kan, Sarah pernah
ngedumel gara-gara kakak iparnya udah hamil 7 bulan masih aja
ngidam. Wkt itu dia pikir Sania cari perhatian aja tuh sama Bang
Attar. Nah, akhirnya disini ketahuan deh cerita sebenarnya.

Btw, yakin nih nggak pengen saya cepet2 klik "publish" di bab
selanjutnya? Hehehe
24.
Ternyata acara berlibur bersama ini tidaklah sia-sia. Pada malam hari,
Ahsan sudah terlihat cukup akrab dengan Maliki. Akrab sekali sih tidak,
tapi sikapnya tidak lagi menjauh atau antipati kepada lelaki yang akan
menjadi ayah tirinya itu. Menjelang tidur, Ahsan bahkan bercerita dengan
semangat tentang rencananya bermain dengan sang ayah dan Om Maliki
besok. Sania tampak senang mendengarnya. Farah juga merasa lega. Jika
dengan Maliki yang orang asing saja hati Ahsan bisa melunak, berarti Farah
memiliki harapan besar akan diterima oleh anak itu.

Menjelang waktunya tidur, Farah menerima sebuah panggilan video.


Ternyata itu dari ibunya. Farah menerima panggilan video itu setelah agak
melipir ke pojok kamar. Tapi ternyata sang ibu memang sengaja
meneleponnya malam-malam untuk memastikan dimana Farah tidur. Beliau
bahkan meminta Farah untuk mengedarkan ponselnya agar ia dapat melihat
seluruh kamar tidur.

"Tante Riha!" sapa Ahsan ceria, kepada ibu Farah, ketika layar ponsel Farah
mengarah ke tempat tidur.

"Lho? Ahsan bobo sama Kak Farah?" tanya Fariha kaget. Ia pikir Farah
tidur di kamar sendirian. Makanya ia menelepon, untuk memastikan Farah
benar-benar sendirian. Ia tidak mau kejadian setahun lalu terulang lagi.

Layar ponsel Farah kemudian mengarah kepada perempuan cantik yang


duduk di sisi Ahsan.

"Ahsan bobo sama Mama dan Kak Farah, Tante. Kasihan Kak Farah kalau
bobo sendirian. Takut kan."

Fariha tertawa sungkan. Kemudian meminta maaf kepada Sania karena


sudah mengganggu tidur mereka. Ia tidak bicara panjang kepada Farah
setelahnya. Ia memang hanya ingin memastikan anak itu aman.
Setelah Farah mengakhiri panggilan video ibunya, ia mendengar Sania
tertawa mengejek.

"Maaf ya Bu," kata Farah sambil nyengir sungkan. "Ibu saya___"

"Iya, saya paham. Nggak apa-apa," kata Sania. "Punya anak gadis secantik
kamu, orangtua mana yang nggak was-was. Apalagi diajak liburan sama
bapak-bapak, duda, udah lama puasa."

Wajah Farah memerah akibat implikasi dari kata-kata Sania itu.

***

Pagi hari setelah sholat Subuh, Farah keluar dari kamarnya. Sementara
setelah sholat Subuh, Sania kembali bergelung menemani Ahsan yang susah
dibangunkan. Mentang-mentang libur, pengin bangun siang.

Farah menuju ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Meski vila tersebut


dikelola oleh perusahaan perhotelan sehingga sarapan sudah disediakan di
restoran, tidak jauh dari unit vila mereka, tapi Farah tetap membuatkan roti
bakar. Barangkali saja ada salah satu dari mereka yang kelaparan bahkan
sebelum sempat ke restoran. Lagipula, mumpung kemarin sore mereka
mampir ke minimarket dan membeli beberapa cemilan, termasuk roti, untuk
Ahsan.

Farah baru saja selesai dan meletakkan 5 tangkup roti bakar di piring, ketika
seseorang memasuki dapur. Lelaki itu tampak segar dengan training suit
dan sepatu olahraganya.

"Farah," sapa lelaki itu sambil tersenyum kecil.

"Pak Maliki," balas Farah sambil mengangguk sopan. "Mau olahraga Pak?"

"Lari doang, sebentar. Sania bilang, masih nemenin Ahsan yang belum mau
bangun kan?"

Farah tersenyum dan mengangguk.


Pantas saja bentuk tubuh lelaki itu masih proporsional meski usianya
hampir 40 tahun.
"Mau sarapan dulu Pak? Roti bakar doang sih," Farah menawarkan.

"Oh, nggak usah. Makasih. Saya mau bikin teh hangat aja."

"Biar saya bikinin kalau gitu Pak."

Dengan cekatan Farah mengambil cangkir yang tersedia dan menyeduh teh
celup dengan air yang memang sudah dipanaskannya. Ia tadinya
menyiapkan air panas itu kalau Attar ingin minum kopi. Siapa sangka
Maliki yang datang lebih dulu.

"Eh? Makasih Far."

"Sama-sama, Pak," jawab Farah sambil tersenyum. "Gulanya seberapa


banyak biasanya Pak?"

"No sugar, please."

Dengan demikian, setelah menyeduh teh celup tersebut, Farah


mengangsurkan cangkir tersebut kepada Maliki.

Lelaki itu mengucapkan terima kasih kemudian meminum tehnya.

Farah membawa piring berisi roti bakar itu ke meja makan. Kemudian ia
kembali ke dapur yang memang hanya berjarak beberapa langkah dari
ruang makan, untuk menyeduh "susu" kental manis untuk menemaninya
makan roti bakar.

Terminologi susu kental manis sebenarnya tidak tepat, karena kandungan


susu di dalam produk tersebut sangat sedikit dibandingkan kandungan
gulanya yang tinggi. Itu mengapa memberikan "kental manis" kepada anak-
anak tidak akan memberikan gizi sesuai yang diinginkan dari produk susu,
alih-alih hanya akan meningkatkan asupan gula pada anak. Itu pula
mengapa sejak beberapa tahun lalu, BPOM telah mengeluarkan aturan
bahwa produk tersebut tidak bisa lagi disebut "susu" kental manis,
melainkan hanya "krimer" atau "kental manis" sehingga tidak menyesatkan
masyarakat. Meskipun begitu, meskipun di kemasan maupun iklannya
sudah tidak lagi dicantumkan kata-kata "susu", tapi masih banyak orang
yang menganggap produk tersebut adalah susu.

Farah sudah tahu bahwa yang sedang diseduhnya sekarang bukanlah "susu",
tapi dia suka saja dengan rasa manisnya, jadi dia tetap suka mengkonsumsi
minuman tersebut, misalnya bersama dengan roti bakar.

"Farah usianya berapa?" tanya Maliki, tiba-tiba.

Farah baru saja menyesap "susu" kental manisnya ketika mendengar Maliki
bertanya. Ia bingung kenapa lelaki itu menanyakan hal itu, tapi toh ia
menjawabnya.

"Hampir dua puluh tiga tahun, Pak. Kenapa Pak?"

"Pantes masih minum susu," jawab Maliki sambil tersenyum.

Wajah Farah memerah. Maksudnya apa? Maksudnya gue masih anak-


anak?

Karena emosinya terpancing pagi-pagi, Farah langsung memulai kuliahnya


tentang "susu kental manis". Maliki tidak menduga gadis ini akan
"menguliahi" dirinya tentang "susu kental manis", jadi setelah rasa kagetnya
reda, ia justru tertawa. Menganggap sikap Farah lucu sekali.

Tawa Maliki itu membuat wajah Farah makin memerah. Bukan hanya
karena tersinggung karena merasa sedang digoda, tapi juga karena tawa
lelaki itu tampan juga.

Dasar si Farah! Gampang banget terpesona om-om!, maki Farah pada


dirinya sendiri.

Setelah menghabiskan tehnya, Malikipun bangkit dari duduknya.

"Terima kasih teh hangat dan kuliah paginya, Far," kata lelaki itu sambil
tertawa kecil. "Saya lari pagi dulu ya. Kalau kalian nanti mau sarapan
duluan langsung aja, nanti saya nyusul. Saya larinya cuma sebentar sih
sebenarnya."
Dan dengan itu, lelaki itu berlalu dari hadapan Farah. Meninggalkan gadis
itu, yang wajahnya masih memerah karena malu: malu dianggap anak-anak,
juga malu digoda oleh pria setampan Maliki.

"Pagi-pagi, muka kamu sudah merah gitu. Maliki ganteng sekali ya, sampai
bikin kamu malu-malu begitu?"

Farah terkesiap dan menoleh cepat ke arah datangnya suara. Dan mendapati
wajah tampan lain, yang sudah lama dikenalnya.

"Kalau ngobrol sama saya, muka Farah nggak pernah semerah itu. Apa itu
artinya saya kalah ganteng dibanding Maliki?"

Attar melangkah mendekat dengan kaus polo dan celana chino selutut.
Sontak saja wajah Farah makin bersemu. Ini pertama kalinya Farah melihat
penampilan Attar sesantai itu. Biasanya, tiap bertemu di rumahnya saat
mengajar Ahsan, Attar memang memakai kaus santai, tapi tidak pernah
dengan celana pendek. Penampilan Attar kali ini membuat lelaki itu
nampak 10 tahun lebih muda, sekaligus tetap tampak dewasa, sehingga
pesonanya tumpah-tumpah tak tertampung.

"Saya bisa cemburu, Farah," kata lelaki itu, dengan suara rendah.

Padahal Attar melangkah biasa saja. Tapi kenapa dalam pandangan Farah,
lelaki itu melangkah dalam gerakan slow motion ke arahnya, dengan wajah
yang sangat menggoda?

Farah begitu terpana sampai dia tidak bisa berpikir, apakah harusnya ia
meminta maaf atau tidak karena sudah ngobrol akrab dengan lelaki lain.

"Kamu bikin roti bakar?" tanya Attar sambil menarik kursi makan, lalu
mencomot setangkup roti bakar.

"Eh? Oh, iya Pak. Iseng aja. Takutnya udah pada laper sebelum ke
restoran."

"Enak rotinya."
"Nggak usah gombal, Pak. Itu roti biasa," gerutu Farah, menyembunyikan
salah tingkahnya. "Bapak mau kopi atau teh?"

"Farah minum apa?"

"Kental manis."

"Oh susu kental manis. Kok saya nggak ditawarin minum susu?"

"Bapak bukan anak-anak lagi."

"Emang cuma anak-anak yang suka minum susu?"

"Tadi saya diledek Pak Maliki karena minum ini. Mungkin dipikir saya
masih anak-anak."

Attar tertawa. "Jadi tadi muka Farah merah karena sebal, bukan karena
tergoda sama Maliki?"

"Bodo amat!" Farah ngeles. "Jadi mau kopi atau teh, Pak?"

"Kopi boleh. Makasih ya."

Setelah menyerahkan kopi sesuai pesanan Attar, Farah ikut duduk di salah
satu kursi makan, berhadapan dengan lelaki itu.

"Sania dan Ahsan masih tidur?"

"Bu Sania udah bangun Pak. Tapi masih ngelonin Ahsan. Ahsan masih
males bangun."

Farah sudah selesai makan roti sih, tapi kan dia harus menemani Attar
sarapan juga, supaya sopan. Lagian, jarang-jarang melihat penampilan Attar
sekasual ini. Harus dinikmati semaksimal mungkin.

Mereka ngobrol santai tentang susu kental manis (lagi). Juga tentang Ahsan
yang semalam bercerita antusias tentang rencana hari ini bersama Attar dan
Maliki.
"Alhamdulillah kalau Ahsan udah mulai mau terbuka sama Maliki. Semoga
itu pertanda baik juga untuk kita," kata Attar.

Kata-kata itu sontak membuat wajah Farah semburat kembali.

"Kopinya udah abis, Pak. Mau nambah?"

"Nggak usah. Makasih. Mau minum air aja."

Farah dengan tanggap menuju kulkas dan mengambilkan sebotol air


mineral dan menyerahkan kepada Attar. Ia kemudian mengambil cangkir
kopi Attar dan cangkir susunya, dan membawa ke wastafel.

"Rajin banget sih ini, pagi-pagi udah masak sarapan, nyuci piring. Calon
istri siapa sih ini?"

Tanpa diduga, Attar sudah berdiri di balik tubuh Farah yang sedang
mencuci cangkir. Lelaki itu meletakkan kedua tangannya pada kedua bahu
Farah. Membuat gadis itu waspada.

"Pak..." Farah memberi peringatan.

"Hmm?"

"Jangan dekat-dekat. Nggak enak."

"Masa sih nggak enak?" Telapak tangannya yang besar mengusap bahu
Farah. Bahkan meski bahu itu tertutup kaus, sentuhan Attar tetap membuat
Farah merinding.

"Nanti Ahsan lihat."

"Kata kamu, tadi dia masih tidur."

"Emm, iya sih. Tapi tetep aja."

"Tetep apa?"

"Nggak enak kalau dilihat orang."


"Kalau nggak ada orang yang lihat, boleh?"

Farah selesai mencuci cangkirnya dan baru saja hendak meletakkan cangkir
itu di rak piring, ketika tangan Attar melalui badannya dan meraih cangkir
itu, lalu meletakkannya di rak piring. Saat itu Farah merasakan dada bidang
lelaki itu menempel di punggungnya dan menyebabkan sengatan listrik
merambat di kulitnya.

Lelaki itu kemudian memegang kedua lengan Farah, dan membimbingnya


untuk berbalik menghadapnya.

Untuk ukuran perempuan Indonesia, Farah bertubuh tinggi. Namun saat


berhadapan dengan Attar, tetap saja ia harus menengadahkan kepala.

Saat itulah mata mereka saling bertemu. Dan Farah melihat kilat mata yang
belum pernah dilihatnya dari mata Attar sebelumnya.

Lelaki itu menunduk sedikit, menempelkan dahinya di dahi Farah.


Membuat Farah salah tingkah.

"Saya mau cium, boleh?" bisik Attar. Entah kenapa suaranya jadi dalam dan
serak. Mungkin ia gugup. Tapi Farah lebih gugup lagi karena ia bahkan
tidak sanggup berkata apapun untuk menolak.

Jadi, karena Farah diam saja, Attarpun menurunkan kepalanya. Dengan


perlahan dan lembut, ia menempelkan bibirnya pada bibir Farah.

Saking gugupnya, Farah tidak bisa bereaksi apa-apa. Ia bahkan berhenti


bernafas tanpa sadar.

"Lain kali, abis minum susu kental manis, kumur-kumur dulu," bisik Attar
ketika melepaskan bibirnya dari bibir Farah.

"Hah?" Bagai orang bodoh yang sedang teler, Farah menatap kosong pada
sepasang mata yang hanya berjarak 10cm di hadapannya.

"Bibir Farah manis. Biasanya memang manis begini, atau ini karena susu
kental manis?"
"Itu bukan sus___"

Protes Farah langsung terhenti kala Attar kembali membungkam bibir Farah
dengan ciuman. Kali itu Attar bukan lagi sekedar menempelkan bibirnya,
tapi lebih dari itu. Bibir lelaki itu menjepit bibir bawah Farah, dan dengan
lembut mempersuasinya untuk membuka dan membalas.

Tangan Farah yang semula menahan dada Attar supaya tidak mendekat,
sekarang malah terkulai lemah disana, dan justru mulai membelai dada
bidang itu. Sementara tangan Attar sudah berlabuh di kedua sisi pinggul
Farah.

Pengalaman ciuman Farah hanya dengan Erlang. Tapi yang kali ini terasa
berbeda. Kalau ciuman Erlang terasa mendominasi, ciuman Attar kali ini
justru terasa lembut dan tidak memaksa. Tapi justru karena lembut itu,
Farah merasa terlena.

Intensitas ciuman itu makin lama makin meningkat. Seiring nafas Farah
yang makin tersengal. Refleks Farah memejamkan mata, menikmati ciuman
itu, yang bagai membawanya naik tinggi sekali, melampaui atmosfer
sehingga nafasnya makin sesak.

"Emmm..."

Farah merasa makin melambung, naik makin tinggi, lalu....

"Kak Farah pembohong!!!"

... tiba-tiba saja ia terhempas ke neraka.

***

Yuhuuuuu. 500 vote n 200 komen untuk update bab berikutnya,


gimana Kak?
25.
Yang terjadi selanjutnya adalah kekacauan. Ahsan menjerit marah-marah
kepada Farah, dan sebelum Farah atau Attar sempat menjelaskan, anak itu
sudah berlari masuk ke kamarnya. Ahsan menangis di pelukan ibunya
sambil berkali-kali mengatakan bahwa dia tidak mau punya papa tiri dan
mama tiri. Bahwa papa mamanya harus kembali bersama. Bahwa dia tidak
mau bertemu lagi dengan Farah atau Maliki. Setelah itu Ahsan memaksa
pulang saat itu juga. Ia tidak mau lagi menghabiskan waktu bersama orang
lain selain ayah ibunya. Meskipun ia berangkat bersama ayahnya dan Farah,
Ahsan menolak pulang bersama Farah. Jadi demi menghindari kekacauan
yang lebih parah, Attar memutuskan untuk mengajak Sania pulang
bersamanya, agar Ahsan lebih tenang. Ia kemudian meminta tolong kepada
Maliki untuk mengantar Farah pulang ke Jakarta.

Farah berdiri gamang melihat semua kekacauan itu. Ia ingin menjelaskan


kepada Ahsan, tapi Attar menahannya. Tidak ada gunanya menjelaskan saat
itu, Ahsan tidak akan mau mendengar.

"Saya sudah minta tolong Maliki mengantar Farah pulang," kata Attar
sebelum pulang bersama Sania dan Ahsan. "Maaf ya Far. Saya bikin kacau
segalanya. Maaf, saya menyesal."

Farah tidak tahu harus menjawab apa. Ia hanya berdiri dalam diam,
menyaksikan lelaki itu pergi.

Menyesal? Pak Attar menyesal apa? Menyesal karena mencium gue?

"It will be okay, Farah," kata Maliki, beberapa waktu setelahnya, ketika
mereka akhirnya berkendara kembali ke Jakarta. Kali itu Farah hanya
berdua di dalam mobil Maliki. "Ahsan masih anak-anak. Wajar responnya
begitu. Tapi itu nggak akan lama."

Farah sungguh berharap perkataan Maliki benar. Meski demikian, tetap saja
ia merasa bersalah karena sudah membohongi anak itu. Dia bilang tidak
akan menjadi ibu tiri Ahsan, tapi ternyata malah mencium ayahnya. Ahsan
pasti tidak akan percaya lagi padanya.

"Kata Sania," lanjut Maliki, "Dulu hubungannya dengan Ahsan juga kurang
akrab. Karena sejak kecil Ahsan sudah tinggal bersama Bang Attar dan saat
itu Sania masih fokus dengan karirnya, jadi kurang mengakrabkan diri sama
Ahsan. Tapi satu-dua tahun belakangan ini hubungan mereka makin hangat.
Mungkin karena itu Ahsan jadi berharap papa-mamanya kembali bersama.
Itu pikiran yang wajar pada anak-anak. Dan memang butuh waktu untuk
memberi pengertian. Jadi kamu nggak perlu terlalu khawatir."

Farah hanya bisa mengangguk saat itu.

"Bapak nggak pernah khawatir dengan penerimaan Ahsan?" tanya Farah.


"Kalau Ahsan nggak bisa menerima Bapak, Bapak nggak bisa menikah
dengan Bu Sania kan?"

"Siapa bilang? Ahsan kan bukan wali nikahnya Sania. Ayahnya Sania sudah
setuju sama saya. Dengan atau tanpa penerimaan Ahsan, saya tetap bisa
menikahi Sania," jawab Maliki, tampak tenang.

Farah cukup kagum juga dengan ketenangan dan kepercayaan diri Maliki.
Benar juga, tanpa penerimaan Ahsanpun, ia dan Attar bisa tetap menikah.
Iya kan? Tapi kan...

"Tapi Ahsan adalah orang berharga bagi Sania. Selagi masih


memungkinkan, saya ingin orang-orang yang berharga bagi Sania ikut
bahagia saat kami menikah," lanjut Maliki. "Tapi kalaupun butuh waktu
lama untuk menaklukkan hati Ahsan, toh kami bisa menikah dulu. Saya
bukan orang jahat, jadi saya yakin, seiring berjalannya waktu, saya bisa
menunjukkan kepada Ahsan, bahwa dia nggak perlu takut pada saya, atau
takut saya mengambil ibunya dari dia."

Farah berharap ia memiliki separuh saja kepercayaan diri Maliki dalam


menghadapi penolakan Ahsan.

***
Farah sudah bersiap memberikan alasan kepada ibunya jika ditanya
mengapa ia pulang lebih cepat dari rencana, dam mengapa ia diantar oleh
lelaki lain, bukan oleh Attar. Tapi ternyata ia tidak perlu menjelaskan apa-
apa ketika bertemu ibunya. Ternyata Attar sudah menelepon ibunya,
meminta maaf sekaligus menjelaskan kejadiannya. Jadi ketika Farah tiba di
rumah, sang ibu tidak lagi meminta penjelasan.

"Ada banyak hal yang harus diantisipasi kalau kamu mau menikah dengan
seseorang yang punya masa lalu, seperti Pak Attar. Mantan istrinya, juga
anaknya. Makanya, kalau bisa jujur, sebenarnya Mama nggak terlalu setuju
kamu sama Pak Attar," kata sang ibu.

Hal itu membuat Farah terkesiap. Jadi itu kenapa sang ibu masih memberi
masa percobaan pada Pak Attar?

"Kalau Mama nggak setuju, kenapa ngasih probation?"

"Karena Pak Attar orang baik. Asal dia bisa menunjukkan bahwa dia bisa
membuat kamu dan masa lalunya --mantan istri dan anaknya-- berdamai,
Mama nggak khawatir lagi sama masa depan Farah. Tapi kalau dia nggak
bisa melakukannya, maka selamanya masa lalunya mungkin akan jadi
ganjalan masa depan kalian. Mama nggak mau itu terjadi."

Farah menghela nafas. Ia memahami kekhawatiran ibunya. Maliki benar,


bahwa ada tidaknya restu Ahsan, ia tetap bisa menikah dengan Attar. Tapi
ibunya juga benar, tanpa restu Ahsan, itu akan menjadi ganjalan di masa
depan mereka.

"Pak Attar bisa menerima kamu apa adanya, lengkap dengan masa lalu
kamu. Itu yang penting. Kalau dia bisa menerima masa lalu kamu, kenapa
kita nggak bisa menerima masa lalunya, iya kan?" lanjut ibu Farah.

Farah mengangguk. Betul, tidak semua laki-laki akan bisa menerima masa
lalunya yang penuh aib.

"Lagipula, Pak Attar sudah selesai dengan masa lalunya. Itu lebih baik
dibanding Erlang."
Farah terkesiap. Apakah itu artinya....

***

Sejak tiba di rumah, Farah sudah beberapa kali berbalas pesan dengan Attar,
mengabarkan bahwa dirinya sudah tiba di Jakarta dengan selamat. Namun
pada malam hari akhirnya Attar meneleponnya. Itupun sudah sangat malam.
Sudah pukul 11 malam ketika Attar mengiriminya pesan, meminta ijin
menelepon. Untungnya Farah belum bisa tidur saat itu.

"Ahsan minta tidur bareng saya dan mamanya, jadi saya baru bisa telepon
Farah sekarang. Maaf," kata Attar ketika akhirnya ia menelepon.

"Jadi Bapak tidur bareng..."

"Tadi saya duduk di samping ranjang mereka sampai Ahsan tidur. Setelah
itu saya keluar," Attar menjelaskan. "Farah cemburu?"

"Hmmm..." Farah tidak langsung menjawab. Tapi akhirnya ia memutuskan


untuk berkata jujur saja, "Iya Pak."

"Alhamdulillah. Itu artinya Farah beneran sayang sama saya."

Jika mereka saling berhadapan, barangkali Attar akan melihat wajah Farah
yang memerah. Tapi karena mereka hanya bertelepon, ia hanya bisa
mendengar kesunyian.

"Maaf tentang tadi pagi ya Far. Semuanya jadi kacau. Saya menyesal."

"Bapak menyesal mencium saya?"

"Bukan! Bukan!" jawab Attar cepat. "Kalau yang itu, saya nggak nyesel.
Justru pengen nambah."

"Prof!"

Terdengar suara tawa kecil di seberang sana. "Saya nyesel karena nggak
bisa menahan diri. Semuanya jadi kacau gara-gara saya."
"Itu bukan salah Bapak sepenuhnya. Salah saya juga. Harusnya saya juga
bisa menahan diri."

"Kenapa kamu nggak bisa menahan diri? Kamu suka ciuman saya tadi?"

"Hah?!"

Farah rasanya ingin memaki ketika sekonyong-konyong Attar menanyakan


hal seperti itu.

"Aslinya, saya bisa lebih baik daripada itu. Nanti ya, kalau kita udah nikah."
Attar mengatakannya dan dilanjutkan dengan tawa.

Saat itu juga Farah ingin menempeleng Attar, kalau tidak ingat kualat pada
yang lebih tua.

"Sabar ya Far. Kasih saya waktu. Saya dan Sania bisa menjelaskan pelan-
pelan ke Ahsan," lanjut Attar ketika tawanya mereda.

"Saya juga mau ketemu Ahsan, Pak. Saya mau minta maaf. Saya pernah
janji, nggak akan jadi ibu tirinya kalau dia nggak mau. Tapi saya bohong.
Wajar kalau dia panggil saya pembohong."

Terdengar Attar mendesah pelan. "Jangan sekarang ya Far. Biar saya dulu
yang ngomong ke dia."

Kemudian hening dari kedua sisi. Seperti masing-masing larut dalam


pikirannya sendiri.

"Pak..." panggil Farah pelan, beberapa waktu kemudian.

"Ya, Far?"

"Saya sedih."

"Far..."

"Saya sedih kalau Ahsan benci sama saya."


"Makasih ya Farah, sudah sayang sama anak saya."

"Apa satu-satunya cara supaya Ahsan nggak benci sama saya lagi, hanya
dengan menjauhi Bapak?"

"Jangan!" jawab Attar cepat. "Jangan menjauhi, atau bahkan meninggalkan


saya ya Far. Pasti ada cara kok. Ahsan cuma kaget. Pada dasarnya, dia
sangat sayang kamu."

Farah hanya menanggapi dengan diam. Bingung akan menjawab apa,


bingung akan melakukan apa.

"Farah..."

"Ya, Pak?"

"Saya sayang Farah. Jangan tinggalin saya ya?"

Kalau sudah begini, apa yang harus dia lakukan?

***
26.
Farah tidak langsung pulang ke rumah selepas kantor hari itu. Sudah
beberapa hari Erlang menanyakan kapan bisa bertemu dengan Farah untuk
menyerahkan oleh-oleh yang dibawanya dari Bali. Farah tidak butuh oleh-
oleh itu, toh dia pernah tinggal selama 1 tahun disana, untuk apa lagi
membelikan oleh-oleh kan? Farah juga tahu, itu hanya cara Erlang untuk
bisa bertemu dengannya.

Dengan segala cara sopan yang ia bisa, Farah sudah menolak bertemu
dengan Erlang. Tapi lelaki itu terus memaksa. Jadi sore itu, sepulang
bekerja, Farah mampir ke rumah Erlang. Ia berencana hanya mengambil
oleh-oleh itu sebentar, lalu langsung pulang.

Pak Attar: Farah hari ini pulang jam brp?


Pak Attar: Saya jemput ya

Wah, saya udah di jalan Pak.


Bapak ga blg mau jemput.

Pak Attar: Iya, tadi meeting cancel mendadak, jadi pulang cepat.
Pak Attar: Trus kepikiran pgn ketemu Farah

Nanti Ahsan marah lho

Pak Attar: Kan dia nggak tahu

Pak Attar: Farah lgsg plg?


Pak Attar: Mau makan dulu brg saya ga?

Duh, maaf ya Pak.


Kapan2 aja ga apa2 kan Pak?
Pak Attar: Oh, lgsg pulang ya?
Pak Attar: Oke deh. Hati2 di jalan ya.

Iya Pak. Hati2 jg Pak.

Farah selesai berbalas pesan dengan Attar tepat ketika ojek yang
ditumpanginya berhenti di depan rumah Erlang. Mohon kelakuan Farah
main henpon sambil naik ojek, jangan ditiru, sodara-sodara, karena itu
berbahaya.

Farah turun dari ojek, membuka pintu pagar, lalu menekan bel rumah
Erlang. Tapi sampai ia 3 kali menekan bel, Erlang belum muncul juga.
Apakah jangan-jangan Erlang sedang tidak di rumah? Ia memang datang
tanpa memberi tahu Erlang lebih dahulu sih.

Tapi ini aneh. Andaipun Erlang sedang tidak di rumah, harusnya Mbok
Nah, sang asisten rumah tangga, tetap membukakan pintu kan? Tapi kali ini
Mbok Nah yang biasanya sigap membukakan pintu, juga tidak muncul.
Jelas ada seseorang di rumah ini, karena pintu pagar tidak dikunci. Tapi
kenapa tidak ada yang membukakan pintu setelah ia menekan bel?

Farah baru saja akan menelepon Erlang ketika akhirnya pintu rumah Erlang
terbuka.

"Kamu kenapa nggak ngomong dulu bahwa mau kesini?" tanya Erlang
ketika pintu terbuka. Meski bukan bernada marah, entah kenapa Erlang
terlihat tidak nyaman.

"Maaf Om. Ini kebetulan nggak ada lembur di kantor, jadinya mumpung
bisa mampir kesini, sekalian. Lagi sibuk ya Om? Baru bangun tidur sore,
atau mau pergi ya?"

Itu enaknya pengusaha mah. Pas lagi sibuk, memang bisa sibuk banget.
Tapi waktunya bisa fleksibel. Kadang malah bisa tidur siang, meski
malamnya pulang larut karena rapat dengan klien.

"Nggak kok. Masuk, masuk!" kata Erlang cepat. Ia memiringkan tubuhnya,


mempersilakan Farah masuk.
"Nggak usah Om. Aku di teras sini aja. Cuma mau ambil oleh-oleh Om
aja."

"Ya tapi masuk dulu. Aku ambil dulu oleh-olehnya di dalem."

"Aku disini aja, ga apa-apa, Om."

"Kamu takut sama aku?" tanya Erlang akhirnya. Wajahnya tersinggung dan
terluka. "Apa aku semenjijikkan itu sampai kamu nggak mau lagi masuk ke
rumahku? Padahal dulu kamu bisa bebas menjelaja kemana-mana di rumah
ini. Apa___"

"Iya, Om, aku masuk," potong Farah cepat. Sebelum perkataan Erlang
makin membuatnya tidak enak hati. "Makasih, Om."

Farah baru saja akan mendudukkan diri di ruang tamu ketika Erlang
menarik tangannya masuk lebih jauh ke ruang tengah, tempat Farah biasa
menghabiskan waktu dengan Erlang setiap ia ke rumah ini.

"Di rumah ini, kamu nggak pernah jadi tamu, Farah!" sindir Erlang tajam.

Setelah menarik Farah ke ruang tengah dan memaksanya duduk di sofa di


situ, Erlang kembali berdiri untuk mengambil sesuatu di kamarnya.

"Mbok Nah kemana Om? Kok tadi Om sendiri yang bukain pintu?" tanya
Farah ketika melihat Erlang keluar dari kamarnya membawa sebuah paper
bag.

"Mbok Nah nggak kerja disini lagi," jawab Erlang sambil melangkah
menghampiri Farah. "Mbok Nah sudah sepuh. Sudah kerja disini, ikut Papa
Mamaku sejak aku kecil. Sekarang katanya mau istirahat di kampung."

"Lho? Aku baru tahu. Udah lama Mbok Nah mudik?"

"Dua tiga bulan lalu. Kamu sih, udah nggak pernah kesini lagi," sindir
Erlang. "Padahal dulu selalu kesini kalau aku nyoba resep baru. Sekarang
nggak pernah lagi mau kesini kalau aku minta tolong testing makanan
baru."
Farah nyengir kecut disindir seperti itu.

"Waktu itu aku mau mampir kesini buat ambil oleh-oleh, Om larang," balas
Farah. "Takut aku dateng pas rumah lagi berantakan?"

Erlang tidak menjawab.

"Tapi rumah Om nggak berantakan kok ini. Udah dapet pengganti Mbok
Nah?"

Lagi-lagi Erlang tidak menjawab. Ia langsung duduk di samping Farah dan


menyerahkan paper bag yang tadi diambilnya di kamar kepada gadis itu.

Farah menerima paper bag itu dan mengucapkan terima kasih. Ia


membukanya dan mendapati sebuah dress batik Bali di dalamnya.

"Yaudah Om, aku pulang ya," kata Farah kemudian.

"Hei!" Serta merta Erlang meraih pergelangan tangan Farah. "Kok langsung
pulang? Makan malam dulu disini. Kita udah lama nggak masak bareng.
Ya?"

Tentu saja itu bukan ide bagus, maka Farah langsung menolaknya. "Maaf
Om, Mama pasti udah masak."

"Nanti kita masak banyak. Sebagian kamu bawa pulang. Ya?"

"Nggak usah Om. Makasih. Nanti ngerepotin."

"Far...." Erlang mengerang.

"Maaf ya Om. Aku langsung pulang aja ya." Farah melepaskan genggaman
tangan Erlang, lalu meraih ponselnya dan membuka aplikasi ojek online.

"Aku antar aja."

"Nggak usah Om. Ini aku udah pesan ojol kok."


Tapi kali itu hari sudah petang, beranjak malam. Jam sibuk, waktunya
orang-orang pulang kerja. Sehingga sudah beberapa menit Farah mencoba,
ia tidak juga mendapatkan pengemudi ojek online yang menerima
pesanannya.

Di sisi lain, Farah mulai gelisah karena bladder-nya terasa penuh. Sebelum
pulang tadi, saat meeting, ia sempat ikutan makan rujak yang bumbunya
pedas. Pedas, tapi enak. Jadi meski pedas, Farah tidak berhenti mencomot
rujak itu. Akibatnya, Farah terlalu banyak minum. Dan sekarang jadi
kebelet pipis. Tadinya ia berencana cepat-cepat pulang. Tapi dengan kondisi
server ojol penuh seperti ini, prospek dirinya bisa menahan urinasi setelah
tiba di rumah, rasanya makin berat.

Jadi dengan terpaksa, ia meminta ijin Erlang untuk menggunakan kamar


mandi. Setelah mendapat ijin Erlang, Farah langsung menghambur ke
kamar mandi, meninggalkan ponselnya yang masih menampilkan aplikasi
ojol yang masih muter-muter terus.

Beruntung setelah Farah keluar dari kamar mandi, akhirnya ia mendapatkan


driver ojol yang menerima pesanannya. Sehingga ia tidak harus menerima
tawaran Erlang yang sejak tadi ribut ingin mengantarnya pulang.

***

Malam itu Farah baru selesai makan malam dan kembali ke kamarnya
ketika sebuah panggilan telepon masuk ke ponselnya. Nama calon
suaminya tertera di layar.

Calon suami? Cih! Jijik lo Far!, maki Farah, sambil terkikik sendiri.

"Assalamualaikum Pak," sapa Farah ketika mengangkat panggilan tersebut.

Pengen menyapa, assalamualaikum calon imam, tapi kan terdengar gelay


sekali.

"Wa'alaikumsalam," terdengar suara berat di seberang sana.

"Iya, Pak? Kenapa?"


"Farah dimana?"

"Di kamar Pak. Ini baru selesai makan. Kenapa Pak?"

"Tadi nyampe rumah jam berapa?"

"Emmm pas Maghrib nyampe rumah. Kenapa?"

"Padahal udah keluar kantor dari sebelum jam 5 ya?"

"Emmm iya Pak. Tadi....macet."

"Macet?"

"Iya, kan jam pulang kantor."

"Oh. Kirain tadi mampir kemana dulu gitu."

"Ng-nggak Pak. Langsung pulang kok."

"Pulang ke rumah siapa?"

"Ha?" Farah makin bingung dengan percakapan mereka.

"Rumah siapa?"

"R-rumah saya...?"

"Bukan rumah Erlang?"

"P-pak..." Farah panik. Tiba-tiba saja ia merasa kepalanya dihantam dengan


mjolnir Thor.

"Kenapa mesti bohong, Farah?"

"Bukan gitu Pak. S-saya jelasin dulu ya Pak. Tadi itu cuma..."

"Yang sekarang mau kamu jelaskan ke saya, bohong juga?"


Tanpa sadar, air mata Farah mengalir saat itu. Dia... tahu apa yang akan
terjadi.

***

Tiga jam sebelumnya...

Mata Erlang melebar ketika melihat sebuah nama tertera di layar ponsel
Farah yang tergeletak di meja.

Attar? Attar menelepon Farah? Jadi mereka masih saling berhubungan?

Rasa penasaran membuat Erlang nekat menerima panggilan telepon itu.

"Assalamualaikum, Sayang. Udah nyampe rumah ya?"

Sayang? Attar memanggil Farah "sayang"? Memang mereka ada hubungan


apa?

"Halo. Mau bicara dengan siapa?" tanya Erlang memastikan. Pasti lelaki ini
hanya salah sambung kan?

"Ini hp Farah kan?!" tanya lelaki di seberang. Nada suaranya meninggi.

"Iya," jawab Erlang singkat. Jantungnya serasa mencelos.

"Ini siapa?"

"Erlang."

"..."

"Farah di rumah saya. Dia sedang di kamar mandi."

"Baik. Kalau gitu, nanti saya telepon lagi. Terima kasih."

"Ada hubungan apa Anda dengan Farah?" tanya Erlang menahan geram.
Tapi jawaban Attar berikutnya membuat Erlang makin berang. "Apa
hubungan Anda dengan Farah sehingga berhak bertanya begitu pada saya?
Saya calon suaminya."

***
27.
Halo Kakak2! Bab ini sudah pernah dipublish utuh, tapi saat ini sudah
saya hapus. Tapi bagi yang ketinggalan baca, masih bisa baca di
KaryaKarsa kok. Kakak2 bisa cari akun niaputri08 di KaryaKarsa, dan
bisa memilih bab mana yang mau Kakak2 baca.

Kakak2 juga bisa beli ebooknya di bit.ly/SegitigaBermuda

Makasih banyak atas dukungan Kakak2 selama ini untuk Erlang-


Farah-Attar. Love you 😘😘
28.
Halo Kakak2. Bab ini sudah pernah dipublish utuh, tapi skrg dihapus.
Bagi Kakak2 yg ketinggalan, bisa mampir ke KaryaKarsa

https://karyakarsa.com/niaputri08/bab-28-segitiga-bermuda

Kakak2 juga bisa beli ebooknya di bit.ly/SegitigaBermuda

Bagi yg masih ragu, mau beli di KK/playbook, bocoran nih, ini happy
ending lho. Mampir ke bab 30 deh, komennya seru! Yakin nih ga
penasaran?

Terima kasih atas dukungan Kakak2.


***

Saya sekalian mau promo rencana tulisan saya berikutnya nih. Saya
rencana mau ikut proyek Karos Publisher lagi nih. Utk th 2022, proyek
Nulis Bareng Karos Publisher bertema "Flower Series".

Kenapa saya promo dsni? Karena cerita yg akan saya sertakan di


proyek tsb adl kelanjutan dari cerita ini. Kira2 ttg siapa ya? Ada yg bs
nebak?

Ceritanya baru akan dipublish 1 Januari 2022 sih. Jadi, sambil nunggu,
kita selesaikan cerita ini dulu ya. Hehehe.

Oiya, Kakak2 yg mau ikutan proyek NuBar Karos Publisher juga bisa
banget lho. Syaratnya bs lihat di flyer di bawah ya.

Sampai jumpa di bab selanjutnya Kak.


29.
.
.
.
.
.

"Jadi kita baikan ya Kak?"

Farah tidak menjawab. Ia hanya tertawa.

"Karena sekarang kita udah baikan, Kak Farah bisa jadi temen hidupnya
Papa kan?"

"Hah?!" Farah kaget dengan pertanyaan Ahsan.

Teman hidup? Kok bisa-bisanya anak sekecil ini ngomongin teman hidup?

"Teman hidup? Emang Ahsan tahu, teman hidup itu apa?" tanya Farah, syok.

"Kayak Om Maliki dan Mama. Teman hidup itu gitu kan?"

"Hah?!"

"Om Maliki bilang, Om Maliki nikah sama Mama bukan untuk jadi papa tiri
Ahsan. Katanya, Om Maliki bukan mau gantiin papanya Ahsan. Papanya
Ahsan tetep Papa Attar. Om Maliki cuma mau nemenin Mama. Kan Ahsan
nggak selalu nemenin Mama. Makanya Om Maliki mau jadi temennya
Mama. Temen hidup, gitu katanya."

Farah tertawa. Bisa ae Om Maliki ngomongnye.

"Om Maliki nggak maksa Ahsan manggil Papa. Om Maliki juga baik sama
Ahsan. Nggak kayak mama-papa tirinya temen Ahsan," lanjut Ahsan.
"Kalau Kak Farah jadi mama tiri Ahsan, Ahsan juga nggak harus manggil
Mama kan? Kak Farah juga terus sayang dan nggak bakal jahat sama Ahsan
kan?"

.
.
.
.
.

***

Yuhuuuu. Ini 1 bab sebelum Ending, Kak. Versi lengkap sepanjang


lebih dari 2000 kata ada di KK, Kak. Cuma lima ribuan lho. Selamat
membaca!

https://karyakarsa.com/niaputri08/bab-29-segitiga-bermuda

Kakak2 juga bisa beli ebooknya di


bit.ly/SegitigaBermuda
Bocoran nih, ini cerita happy ending. Yakin nih, Kakak2 ga penasaran?
Hehehe.
30. END
Ya Allah, saya terharu banget sama dukungan Kakak2, baik di KK
maupun vote n komen di WP. Makasih byk ya Kakak2.

Bab ini sdh pernah di-post utuh dsni dan skrg dihapus. Bagi Kakak2 yg
ketinggalan, bisa mampir ke KK. Kakak2 bisa cari akun niaputri08 di
KaryaKarsa, dan bisa memilih bab mana yang mau Kakak2 baca.

Kakak2 juga bisa beli ebooknya di bit.ly/SegitigaBermuda

Makasih banyak dukungannya, Kakak2 😘

***
#Laskar Pak Ardi#

Rully: Tp bener jg si Wanda. Pasti butuh pemanasan sih itu. Kan udh lama
menduda. Mgkn udh karatan krn lama ga diasah kan.

Wisnu: Anjirrrr Rul!!!!


Wisnu: Kasian Farah. Bisa infeksi kl bener karatan.

"Apanya yang infeksi?"

"Itunya___" Farah sontak berdiri. Ponsel terlepas dari tangannya saking


kagetnya. "Astagfirullah Pak!" bentak Farah, saking kagetnya.

* * * SELESAI * * *

Terima kasih banyak atas dukungan Kakak2 selama ini untuk cerita
ini. Baik dsni atau di KK.

Inti cerita ini berakhir disini. Yang jelas udah happy ending ya. Jadi ga
ada yg protes lg bhw ceritanya gantung. Hehehe.

Tapi masih akan ada 4 bab ekstra yang akan tayang di KK. Tungguin
ya Kak. Semoga Kakak2 terus mendukung.

Sampai jumpa di cerita "Eugenia: Healing Flos", bagian dr Proyek


Flower Series Penerbit Karos, bersama dengan banyak penulis Karos
lain yg oke punya.

Love,
Farah-yg-tak-lg-tertjakiti
31. (Bukan) Malam Pertama
"Mau lanjut disini? Atau di meja makan? Di kamar mandi? Atau di kamar?"

Gampar bapak-bapak, kualat nggak nih? Malu banget!!!

***

Yang lengkap ada di KK ya Kak.


Mohon diperhatikan:
1. Dedek2 di bawah 21 thn, ga usah kesana.
2. Kakak2 yg udh 21thn, donlot n bacanya nanti malem aja, pas pulang
kerja (tapi napa lu updatenya pagi2 gini Thor? Cumi sekali!!!)

Komen yg rame disana ya Kak 😘

Kakak2 juga bisa beli ebooknya di bit.ly/SegitigaBermuda


32. Pillow Talk
Bab ini sdh pernah di-post utuh dsni, tp skrg dihapus. Bagi Kakak2 yg
ketinggalan, bs mampir ke KK niaputri08 😊

Biar lebih puas, Kakak2 juga bisa beli ebooknya di


bit.ly/SegitigaBermuda

Makasih byk utk dukungan Kakak2.

***

Sejak pernikahan Farah yang fenomenal (akibat berhasil menjerat dosennya


sendiri), WAG Laskar Pak Ardi yang sepi selama 2 tahun, kembali ramai.
Sekarang sih mereka tidak lagi membahas soal infeksi dan karatan, tapi
gosip lain yang lebih luas. Seru juga kembali ngobrol bersama mereka.

Tapi teman-teman skripsinya itu memang racun. Kalau sudah terkikik-kikik


membaca dan membalas chat mereka, Farah sampai tidak sadar jika
suaminya sudah beringsut naik ke kasur dan duduk di sampingnya.

"Masih membahas soal karatan dan infeksi?" sindir sang suami.

Farah menoleh dan terkikik. Ia menutup aplikasi WAnya dan meletakkan


ponsel di nakas. Lalu ia ikut bersandar di kepala ranjang, bersisian dengan
sang suami.

"Tapi kemaren tuh beneran sakit sih Pak. Beneran infeksi sih kayaknya,"
goda Farah.

"Tapi itu bukan karena karatan."

"Yakin? Tapi kan emang udah lama nggak beroperasi. Mungkin aja emang
karatan kan?"

"Nggak mungkin. Kan rutin perawatan."


"Oh? Gimana tuh perawatannya?"

"Serius nih nanyanya? Nanti kalau di-demo-in, kamu jadi pengin, gimana?"

Farah tertawa. Diikuti tawa Attar juga.

"Itu tuh bukan karena karatan, tapi karena besar," Attar lanjut membela diri.

"Dih pede gelaaa."

***
33.
.
.
.
.
.
.
.

"Makasih ya Sayang," kata Attar ketika keluar dari kamar mandi dan
kembali ke balik selimut bersama dengan Farah. Wajahnya kini sudah
semringah.

"Sama-sama."

Attar mengecup bibir sang istri cepat. "Makin pinter aja nih mulutnya.
Sering-sering ya. Hehehe."

"Dih! Enak di situ, kagak enak di mari, dong," gerutu Farah.

"Kamu mau dibikin enak?"

"Ya mau lah!"

"Sini, sini, gantian."

.
.
.
.

***

Yakin ga mau mampir KK utk baca selengkapnya?


Supaya lebih puas, Kakak2 juga bisa beli ebooknya di
bit.ly/SegitigaBermuda
34.
.
.
.
.
.
.

"Ibu lagi jumpa fans sama selebdokter,dokter anak, idolanya, Pa. Tuh,
disitu!" Ahsan mengendikkan dagunya ke satu arah sambil terkekeh.

Attar menoleh ke arah yang ditunjuk Ahsan, kemudian mendengus bete.

"Kita sudah punya dokter anak hebat dalam keluarga. Om Emir. Ngapain sih
Ibu harus ngefans banget sama dokter anak lain?" gerutu Attar.

"Katanya, dokter yang ini ganteng, Pa."

"Om Emir juga ganteng."

"Tapi kan Ibu nggak naksir Om Emir."

"Emang Ibu naksir dokter yang ini?"

"Wah nggak tahu ya Pa."

"Gantengan mana sama Papa?"

Ahsan menikmati sekali menggoda ayahnya ini, melihat sang ayah merasa
insecure. Padahal buat apa merasa insecure? Di usianya yang hampir 60
tahun, asalkan rambutnya disemir, banyak perempuan masih mengira
usianya 40 tahunan, dan masih banyak mahasiswi yang mengidolakannya.

"Ya gantengan Papa lah," jawab Ahsan, sambil mati-matian menahan


senyumnya, "Tapi kan seleranya Ibu yang muka-muka lokal gitu Pa. Ini
selebdokter idola Ibu ini orang Jawa, jadi gantengnya lokal, cocok sama
selera Ibu."

Sumpah, Ahsan nyaris tidak tahan untuk tertawa terbahak-bahak. Tapi dia
masih ingin menikmati wajah sewot ayahnya.

"Aku bingung, kok dulu Ibu mau sama Papa ya kalau sebenernya selera Ibu
tuh yang lokal gitu. Pasti karena dulu Ibu sayang sama aku tuh, makanya Ibu
mau sama Papa."

Wajah manyun seorang pria berusia hampir 60 tahun ini benar-benar layak
untuk diabadikan.

Yaelah Pa, bucin bener, ejek Ahsan. Tanpa dia tahu, bahwa mengejek
orangtua bisa kena karma bucin juga.

***

Bab ini sdh pernah dipublish utuh sebelumnya. Tapi skrg dihapus.
Bagi Kakak2 yg ketinggalan, bisa mampir ke KaryaKarsa niaputri08 😘

Supaya lebih puas, Kakak2 juga bisa beli ebooknya di


bit.ly/SegitigaBermuda
***

Om Erlang apa kabar, gaes? Gimana setelah ditinggal Farah? Frustasi,


depresi, atau malah makin player? Huhuhu.

Mampir ke cerita EUGENIA yuk Kak 😘

***

Btw, ada yg tahu dokter anak idola Farah?

Yg mau baca cerita ttg dokter anak idola Farah, bisa pesen buku yg ini,
Kak:
Bagi yang mau baca WAKTU YANG SALAH gratisan, bisa juga coba
ikut giveaway. Bakal ada:
- 1 buku cetak
- 1 voucher google playbook utk beli ebooknya nanti
- 8 voucher GOPAY msg2 25rb utk nambah2 beli ebook, atau mau jajan
extra chapter WYS di KaryaKarsanya Karos Publisher

Syaratnya sebagai berikut:


1. Kakak2 diminta untuk menceritakan apa yang menarik/berkesan
dari cerita WAKTU YANG SALAH dan alasan kenapa Kakak pengen
banget peluk2 bukunya, sehingga saya yakin bhw Kakak lah yang
paling layak utk mendapatkannya. Lbh kece kl sekalian skrinsut atau
quote bagian yg berkesan buat Kakak2.

2. Postingan tersebut bisa ditulis di IG atau FB (boleh salah satu, boleh


dua2nya), lalu Kakak2 bisa menandai/tag:
IG: kurnia.sari.33 & karospublisher
FB: Kurnia Sari & Penerbit Karos

3. Ditunggu postingan Kakak2 sampai Rabu 14 November 2021. Dan


pengumumannya 21 November 2021.
Attar (1)
Mohon maaf, sebagian bab ini sdh dihapus. Kalo pengen baca, bisa
mampir ke KaryaKarsa Kak.

Utk yg sll dukung di KaryaKarsa, makasih byk ya Kakak2 chantique


😘😘

***

"Wiiii, si ganteng Arief nih, ternyata emang pinter ya! Bagus-bagus nih
nilainya. Nilai tugas dan ujian dari dosen lain, juga bagus. Ya ampun, udah
ganteng, pinter pula! Baik juga anaknya. Unch, unch. Hihihi!"

Jam 11 malam. Setelah aktivitas seharian. Dengan setumpuk makalah yang


masih harus dinilai. Mendengar istrinya memuji ketampanan, kepintaran
dan kebaikan lelaki lain, membuat tiba-tiba Attar merasa sewot. Meski
demikian, deadline input nilai mahasiswa tinggal 1 jam lagi. Dan dia masih
membutuhkan bantuan istrinya untuk input nilai mahasiswa ke sistem
informasi akademik kampus. Jadi Attar terpaksa menyabar-nyabarkan diri
menanggapi celoteh istrinya.

Farah, istri yang baru dinikahinya 3 bulan lalu ini, baru 2 tahun yang lalu
lulus dari kampus tempatnya mengajar. Sehingga wajar saja kalau dirinya
mengenal beberapa nama mahasiswa Attar yang kini sedang ia input
nilainya ke sistem akademik, karena perempuan itu pernah jadi senior
mereka di kampus.

"Tahu dari mana, si Arief baik?" tanya Attar singkat.

Kalau nggak ditanggapi, nanti Farah pasti ngambek, karena berasa


dicuekin. Tapi kan males banget menanggapi celoteh sang istri yang sedang
memuji-muji lelaki lain.

"Kan si Arief tuh juniorku, Mas," jawab Farah.


"Tapi kan dia anak Ars, kamu anak TI," gumam Attar, masih sambil
menundukkan wajahnya di atas makalah mahasiswa.

"Aku tuh biarpun nggak gaul-gaul amat, aku anak BEM, Mas. Meski nggak
pernah jadi Kadiv di BEM, cuma jadi cengceremen doang, tapi aku bergaul
juga sama anak teknik dari departemen lain. Apalagi kalau punya junior
seganteng Arief mah, meski beda departemen, aku pasti kenal lah Mas."

Attar melirik istrinya, yang meski sedang sibuk dengan laptopnya


membantu Attar input nilai, tapi masih sempat-sempatnya bercerita dengan
bersemangat dan sambil senyum-senyum, tentang si Arief. Membuat Attar
makin bete.

"Oh..." Attar hanya memberi respon singkat.

"Arief tuh maba pas aku jadi tim medis pas ospek fakultas, Mas. Wah, dia
maba idola lah. Banyak temen-temenku yang cewek juga pada flirting-
flirting gitu. Abis gimana kan, ganteng unyu-unyu gitu. Pas dia gabung
BEM, ternyata anaknya helpful juga. Ya ampun, sempurna amat sih jadi
laki. Pinter, ganteng, suka menolong, baik hati. Kurang apa coba. Wajar sih
banyak yang naksir dia. Bukan cuma temen seangkatan atau juniornya dia
doang, temen-temen seangkatanku juga suka senyum-senyum kalo ketemu
dia di kantin. Apalagi kalau dia udah senyum balik ke kita gitu, aduhhhh
mleyot jadi jeli rasanya_____"

Celoteh Farah terinterupsi oleh setumpuk makalah yang diserahkan Attar ke


pangkuan Farah. Makalah mahasiswa itu sudah selesai dinilai oleh Attar,
dan tinggal diinput saja nilainya oleh Farah.

"Kamu juga flirting-flirting?" tanya Attar. Kini ia mengalihkan matanya ke


laptopnya sendiri, untuk input nilai ujian mahasiswa.

Meski meminta bantuan Farah untuk input nilai tugas dan makalah
mahasiswa, tapi karena bobot nilai ujian lebih besar, maka Attar tidak
mendelegasikan tugas itu kepada Farah. Dirinya yang harus bertanggung
jawab sendiri untuk memasukkan nilai ujian yang akan sangat berpengaruh
pada total nilai mahasiswa. Sebelum menikah dengan Farah, Attar
melakukan semua ini sendirian. Tapi kini ada sang istri yang menemani di
sisinya, dan bahkan bisa dimintai bantuan untuk input nilai tugas.

Farah cengengesan. Membuat Attar melirik sebal, menyesal sudah


menanyakan hal barusan.

"Iya dong, Mas. Hihihi," Farah menjawab sambil cekikikan. "Junior se-
unyu Arief mah mubadzir kalau nggak diceng-cengin, Mas. Mana mukanya
cakep banget gitu kalo lagi kita godain, Mas. Dia tuh bukan tipe yang
jumawa karena tahu dirinya ganteng. Tapi juga bukan tipe yang sok malu-
malu. Jadi asik aja gitu flirting-flirting sama dia. Dia ga baper, dan nggak
bikin baper cewek juga. The best lah pokoknya Arief mah!"

"Oh...."

"Anak Ars tuh kenapa ganteng-ganteng yak," Farah terlihat sedang


bergumam sendiri. "Dulu ada Babang Nicholas Saputra. Sekarang ada
Dedek Arief. Eh kalo Nicholas Saputra tuh junior Mas berapa tahun ya? Pas
masih kuliah, sempet ketemu nggak, Mas?"

"Nggak ketemu. Waktu dia masuk, aku lagi sekolah di US."

"Oh..." Farah mengangguk-angguk. "Ganteng banget itu orang. Makin tua,


makin ganteng, coba! Unch,ya ampun! Kebayang, dulu pas mahasiswa,
pasti jadi idola itu!" lanjutnya, sambil memegang pipinya, malu-malu.

"Sofia pernah cerita, dia dulu suka naik bis kampus yang muter ke arah
Teknik, cuma buat nyari peruntungan, kali aja lihat mukanya Nico. Kalau
lagi senggang nge-lab, dia suka makan di Kantek, demi nyari Nico. Kalau
pas aku ajak makan bareng di Kantek (Kantin Teknik), Sofia pasti semangat
cerita pengalamannya dulu nyuri-nyuri kesempatan nyari Nico. Lama-lama,
aku ajak pindah tempat makan aja, di Kansas (Kantin Sastra). Lumayan lah
aku sambil lihat mahasiswi yang cantik-cantik. Nggak salah emang tuh
dibangun jembatan Teksas (Teknik-Sastra), pertukaran wawasan lah.
Sekalian cari jodoh."

"Oh...."
Attar baru saja selesai input nilai ujian mahasiswa ketika mendengar
pertanyaan Farah, "Dulu berhasil nyari jodoh di Kansas?" Membuat Attar
terkekeh ketika mengenang masa lalu.

"Sofia pernah nanya gitu juga tuh. Survey efektivitas pembangunan Teksas
untuk menjembatani perjodohan anak Teknik dan anak Sastra," jawab Attar
sambil terkekeh. "Pas kuliah S1 aku emang pernah pacaran sama anak FIB
sih."

"Siapa? Dian Sastro?"

"Hahaha. Pengennya sih. Tapi bukan. Mantanku anak Sastra Jepang."

"Kawai-kawai gitu dong?"

"Hahaha. Iya. Imut gitu lah."

"Ohh..."

Setelah itu mereka tidak ngobrol lagi selama beberapa waktu. Farah
menyelesaikan memasukkan nilai dari makalah terakhir yang dipegangnya,
sementara Attar membuka kembali nilai dari semua Mata Kuliah yang
diampunya.

Pada jam 23.30, 30 menit sebelum deadline input nilai, Farah


menyelesaikan tugasnya.

"Nilai makalah yang ini udah aku input. Ada lagi yang harus aku input?"

"Wah, makasih ya Sayang. Udah kelar kok, itu makalah terakhir. Kalo gitu
aku tinggal final checking nih."

Sambil membereskan laptopnya, dan makalah mahasiswa yang bertebaran


di ranjang mereka, sesekali Farah melirik yang dilakukan Attar dengan
nilai-nilai mahasiswa.

"Itu nilainya dinaikin?" celetuk Farah, ketika melihat Attar mengubah nilai
tugas mahasiswa. Awalnya mahasiswa itu mendapat nilai total 84.7, A-.
Attar mengubah nilai tugasnya dari 85 menjadi 88, sehingga kini nilai
totalnya menjadi 85.1, A.

"Iya," jawab Attar. "Pas diskusi di kelas, dia lumayan aktif. Nggak malu
nanya atau berpendapat. Pertanyaannya juga bukan pertanyaan ngetes atau
pertanyaan basa-basi. Jadi aku merasa pantas kalau nilai tugasnya dinaikin."

"Pertanyaan basa-basi tuh kayak apa sih?"

"Sebagian mahasiswa tuh tahu bahwa dosen juga menilai keaktifan mereka
di kelas. Jadi kadang ada mahasiswa yang kalau teman dari kelompok lain
presentasi, mereka sok-sok nanya, cuma buat ngetes temennya yang lagi
presentasi, atau cuma supaya terlihat aktif nanya. Dosen tahu lah, mana
pertanyaan yang antusias sama pertanyaan basa-basi."

Farah mengangguk-angguk.

"Eh itu nilainya 54 tuh. D, nggak lulus. Tanggung tuh. Kalau nilai tugasnya
dinaikin dikit mungkin dia bisa lulus," celetuk Farah lagi.

"Yang itu, nilainya nggak usah dinaikin," jawah Attar.

"Kok gitu? Nggak adil dong? Tadi yang nilainya udah bagus, malah tambah
dinaikin. Nah yang ini, nilainya di ambang ketidaklulusan, malah nggak
dinaikin."

"Naikin nilai atau nggak, itu bukan hanya karena nilai nanggung. Untuk
naikin nilai, dosen juga punya pertimbangan. Kalau attitude mahasiswanya
nggak baik, ngapain nilainya dinaikin kan?
Nih, lihat deh. Mahasiswa yang nilainya D ini, nilai ujian dari 3 dosen,
semua di bawah 50. Cuma karena nilai tugas kelompoknya 85, nilai
totalnya bisa 54. Dia beruntung aja dapet temen sekelompok yang pinter-
pinter, jadinya nilai tugasnya tinggi. Aku curiga, sebenarnya dia free-rider
aja. Nggak banyak berkontrobusi di makalah. Soalnya pas presentasi di
kelas, dia ga bisa jawab banyak pertanyaan kelompok lain. Lagian, attitude
nya juga gitu."

"Attitudenya gitu gimana? Nggak sopan sama dosen?"


"Yang dipertimbangkan kan bukan cuma attitude terhadap dosen, tapi juga
attitude terhadap perkuliahan. Kalo selama perkuliahan masuknya jarang-
jarang, trus pas masuk duduk di pojok belakang, asik sendiri ngerjain tugas
MK lain, itu kan namanya nggak menghargai ilmu yang disampaikan dosen.
Kalau dia nggak bisa menghargai ilmu, ya berarti dia nggak butuh-butuh
amat nilai bagus kan?"

Farah mengangguk-angguk. Kini lebih paham bagaimana seorang dosen


memberikan nilai kepada mahasiswanya.

"Makanya, kita harus punya adab dulu sebelum menuntut ilmu. Adab
terhadap guru, adab terhadap ilmu. Gimana cangkir bisa nerima air dari
teko, kalau posisi cangkirnya lebih tinggi daripada teko, kan?"

"Iya juga ya," kata Farah. "Kirain kalau jadi dosen di kampus negeri tuh
udah enak. Mahasiswanya udah mahasiswa-mahasiswa hasil seleksi.
Kelakuannya nggak ancur-ancur amat. Ternyata tetep aja ada tantangannya
ya."

"Ngajar mah, dimanapun, tetep ada tantangannya, Sayang. Beda tantangan


doang," kata Attar sambil mematikan laptopnya. Sepertinya ia sudah selesai
memasukkan dan mengecek semua nilai dari semua MK yang diampunya.
Bersamaan dengan itu, Farah juga baru selesai merapikan laptop dan
makalah-makalah mahasiswa di ranjangnya. Ia membawa laptopnya, laptop
suaminya dan makalah-makalah mahasiswa ke meja kerja suaminya.

"Di kampus kita, mahasiswanya pinter-pinter," lanjut Attar. "Tapi saking


pinternya, ada yang udah terbiasa juara kelas selama sekolah trus pas kuliah
IPnya kurang dari 3.5, langsung depresi. Ada yang euforia berasa
perjuangannya selama 12 tahun di sekolah udah berhasil sampai dia masuk
kampus bergengsi, eh trus pas kuliah malah santai-santai. Ada yang kuliah
karena disuruh orangtuanya, jurusan pilihan orang tuanya, jadinya
kuliahnya nggak optimal. Ada yang karena orang tuanya udah punya
perusahaan pengembang perumahan yang bonafid, dia merasa tinggal
nerusin usaha keluarganya, jadi nilai kuliah nggak penting-penting amat,
ada juga. Macem-macem lah kelakuan mahasiswa."
"Hmmm.. ya, ya.... Ummm tapi aku tetep kasian gitu sama mahasiswa yang
tadi, tanggung gitu nilainya."

Farah sudah kembali ke ranjang mereka, dan mulai merebahkan diri.


Begitupun dengan Attar yang sudah melepas kacamatanya dan meletakkan
di nakas.

"Aku bukan ngajar di Kampus Kasihan. Kalau sekarang aku meluluskan


mahasiswa ini, itu justru aku dzalim. Kalau nanti dia mendesain
bangunannya nggak bener dan membahayakan banyak orang, takutnya jadi
dosa jariyah."

Bener juga sih, pikir Farah.

"Sofia pernah bilang gitu. Kalau dia meluluskan mahasiswa atas dasar
kasihan, nanti gimana dia bisa bertanggung jawab kalau si mahasiswa itu
salah ngitung dosis buat pasien, atau nggak bisa menjamin kualitas obat
yang diproduksinya dan membahayakan pasien. Jadi ya emang nggak bisa
meluluskan mahasiswa cuma atas dasar kasian aja."

Attar kini sudah rebah di sisi istrinya. Ia berguling menghadap istrinya, lalu
memeluk dan menciumnya."Makasih banyak ya Sayang, udah bantuin
masukin nilai."

"Sama-sama," jawab Farah. Tapi alih-alih tersenyum, Farah menjawab


begitu malah sambil berguling memunggungi Attar. Membuat Attar segera
merasakan bahwa ada yang salah.

"Kenapa, Yang? Capek ya? Maaf ya, kamu sampai harus begadang gini
bantuin aku," kata Attar lembut. Ia beringsut mendekat, hingga kini
dadanya menempel pada punggung Farah, dan lengan besarnya melingkari
pinggul dan perut ramping itu.

"Nggak apa-apa," jawab Farah singkat. Intonasi suaranya membuat Attar


makin khawatir.

"Kenapa?" tanya Attar lagi. "Kamu bete ya Yang? Capek ya? Aku pijitin
ya."
Tangan Attar sudah beralih ke bahu Farah ketika perempuan itu menjawab,
"Nggak usah," dengan ketus.

"Hei!" Attar membujuk. Mencoba membuat Farah menoleh padanya.


"Kenapa sih? Kok tiba-tiba bete gitu?"

.
.
.
.
.
.

***

Tante Farah kenapa yhaaaa~~~


Apa yg dilakukan Om Attar kl Tante Farah lg ngambek?
Ahsan (1)
Bab ini hanya diposting dlm waktu terbatas. Yg ketinggalan, boleh
mampir ke KaryaKarsa ya 😊

***

"Mas udah bangun? Tadi malem nyampe rumah jam berapa?"

Sebuah sapaan bernada riang menyambutnya ketika pemuda itu


menampakkan diri di ruang makan.

"Jam 11 malem, Bu," jawab Ahsan sambil menggeser kursi makan. "Papa
Ibu udah sarapan?"

"Baru kelar," jawab sang ayah sambil meletakkan gelas minumnya.

"Mas Ahsan mau makan nasi uduk? Atau roti?"

"Ibu masak nasi uduk? Nasi uduk aja deh!"

Ibu tersenyum lalu mengambilkan sepiring nasi uduk beserta lauk pauknya,
dan menyerahkannya ke hadapan Ahsan.

"Kalo pulang malem banget, kenapa nggak stay 1 malam lagi disana?
Masih dapet jatah kamar kan?" tanya Ibu sambil kembali duduk di kursinya,
di sebelah sang suami.

"Males, Bu. Pengen cepet pulang aja, biar bisa tidur seharian. Mumpung
weekend," jawab Ahsan sambil langsung menyendok nasi uduknya.

"Nggak jalan-jalan dulu?"

"Duh, mau jalan kemana, Bu? Aku udah beberapa kali ke Bali. Udah puas
menjelajah. Ini saking banyak speaker yang menarik aja, makanya aku ikut
conference ini. Bukan karena ngincer jalan-jalan di Bali."
"Nggak ada bonus paket conference gitu?" tanya sang ayah nimbrung.

"Hah? Bonus paket kayak apaan tuh Pa?"

"Dulu Papa seneng kalo ada conference di Bali. Soalnya di sana ada hotel
langganan. Kalo nginep disana, tiap sarapan ada yang nemenin. Kalo mau
nyari resto buat makan malem atau mau pergi nyari oleh-oleh, juga ada
yang nemenin."

"Paket conference apaan tuh yang bonus service nya bisa kayak gitu?"

Sang ayah tidak menjawab. Hanya saja kemudian Ahsan melihat ibunya
menampar pelan pipi sang ayah, dengan ekspresi gemas. Kemudian lelaki
yang rambutnya sudah memutih sebagian itu justru tertawa terbahak-bahak.
Melihat itu, Ahsan mengernyitkan dahi dan mencoba mengingat.

"Halah! Itu bukannya pas Ibu masih kerja di Bali ya?" terka Ahsan.

Kali ini Ibu yang tertawa.

Ahsan memutar bola matanya dengan ekspresi malas.


.
.
.
.
.
.
Yang kangen om Erlang, mana suaranya~~~~~

***

Sejumlah penelitian membuktikan buah anggur mengandung sejumlah bahan


bioaktif seperti flavonoid (seperti kuersetin) dan polifenol yang berfungsi
sebagai antioksidan. Daya antioksidan yang mampu menangkal radikal
bebas inilah yang dipercaya, dan kemudian lanjut diteliti potensinya sebagai
anti-aging, anti-inflamasi dan antikanker. Kulit buah dan biji anggur,
terutama anggur merah, mengandung resveratrol, yang berdasarkan beberapa
penelitian menunjukkan potensi aktif sebagai kardioprotektif, antidiabetes
dan antikanker, meski hal ini masih terus diteliti.

Diluar potensi antioksidannya, anggur juga dimanfaatkan sebagai produk


minuman. Daging buahnya dihancurkan dan difermentasi, menghasilkan
minuman beralkohol dengan harga yang mahal.

Karena buah aslinya yang mengandung flavonoid, polifenol dan resveratrol


dianggap memiliki efek antioksidan, antiaging, antidiabetes atau anti
penuaan dini yang baik bagi kesehatan, maka sejumlah orang juga meneliti
potensi efek baik dari konsumsi wine dan minuman beralkohol lain yang
merupakan hasil fermentasi anggur, bagi kesehatan.

Penelitian memang membuktikan bahwa terdapat kandungan kuersetin pada


ampas anggur, sebelum difermentasi. Meski demikian, kita tidak bisa begitu
saja mengharapkan efek baik kuersetin di dalam wine sebagai antioksidan
ketika di saat yang sama wine dan minuman beralkohol lain hasil
pengolahan anggur juga mengandung alkohol dalam jumlah tinggi. Efek
baik dari kuersetin dan resveratrol pada wine tidak dapat kita peroleh pada
kadar terapi, karena di saat yang sama kadar alkohol tinggi dalam wine
justru bersifat hepatotoksik.

Liver yang mengalami inflamasi karena konsumsi alkohol memang dapat


memulihkan dirinya sendiri. Namun demikian, jika konsumsi alkohol sering
dan terus menerus, maka sel dan jaringan liver tidak bisa lagi memulihkan
kondisinya sendiri, dan bisa berujung pada sirosis/fibrosis/kanker.
Jadi kalau ada orang yang bilang bahwa mengkonsumsi wine sehat karena
mengandung kuersetin dan resveratrol, itu sebenarnya hanya pembenaran
agar tidak terlalu merasa bersalah kepada dirinya sendiri karena sudah
menyakiti dirinya sendiri karena telah memasukkan minuman yang toksik
terhadap liver ke dalam tubuhnya.

Tapi Erlang tidak perlu pembenaran atau justifikasi apapun. Ia dengan sadar
meminta pelayan memberinya minuman beralkohol, meski ia sudah tahu
bahwa itu tindakan yang menyakiti diri sendiri. Ia memang sedang ingin
menyakiti diri sendiri. Barangkali dengan rasa sakit yang terlalu, ia bisa lupa
pada rasanya sakit hati. Sakit hati karena seorang perempuan.

Setelah semua rusaknya hubungan dengan banyak orang terdekatnya, setelah


semua yang dilaluinya selama ini, setelah semua yang diperjuangkannya
selama ini.... ternyata Farah kembali menolaknya.

.
.
.
.
.
.

***

C2H5OH. Etanol. Alkohol. Bobot molekulnya yang kecil membuat ia


mampu menembus sawar darah otak (blood brain barier) dan memengaruhi
sistem syaraf pusat. Itu mengapa alkohol dapat mengganggu kesadaran. Tapi
karena baru kali ini Erlang mencicipinya, ia baru tahu bahwa alkohol bisa
sedahsyat ini. Membuatnya merasa mimpinya menjadi nyata.

Ini bukan pertama kalinya ia mimpi bercinta dengan Farah. Tidak sopan
memang. Tapi bagaimana lagi, memangnya ia bisa mengatur mimpi? Tapi
anehnya, kali ini Erlang merasa mimpinya terlalu nyata. Perasaan puas yang
diperolehnya, terasa terlalu nyata.

Ia mengerjap perlahan, berusaha membiasakan cahaya yang masuk ke


retinanya. Dan ketika tatapannya mulai fokus, ia kaget sendiri.
Yang tadi malam itu mimpi atau kenyataan? Kenapa kasur gue berantakan
gini? Gue telanjang? Celana gue di depan pintu? Baju gue dimana? Gorden
terbuka? Astaga! Tadi malem gue mimpi main sambil mandangin langit
malam. Jadi itu bukan mimpi?

Erlang memukul-mukul kepalanya. Berusaha secepat mungkin


mengumpulkan kesadarannya. Kalau benar semua ini bukan mimpi, pasti
Farah akan makin membencinya, karena meski setengah sadar, ia samar
mengingat bahwa dirinya memaksa Farah untuk melakukannya.

Farah?

.
.
.
.
.
***

Astaga Om! Kenapa idupnya makin mblangsak?


Pukpukpuk Om....

***

Bab ini cuma teaser untuk rencana cerita saya selanjutnya yang akan
mulai dipost di WP mulai 1 januari 2022.
Oiya, meski bukan genre dark romance, tp cerita saya kali ini akan lbh
dark. Bagi yg ga suka jenis cerita ini, nanti kita ketemu di cerita
berikutnya yg lebih light ya. Ceritanya Mas Ahsan mungkin? Mas
Tama? Atau Mas Icad? 😘
Kuis:

1. Kenapa bab ini diberi judul Vitis vinifera?

2. Siapakah female lead kita kali ini?

***
Nasib Om Erlang
Halo Kakak2 penikmat YANG TAK TERMILIKI dan SEGITIGA
BERMUDA,,,

Terima kasih sudah mengikuti kedua cerita ini sepanjang ini.

Saya menyadari bahwa masih banyak hal yang belum terjawab dan belum
tereksplorasi dengan baik dalam cerita ini, terutama tentang nasib Om
Erlang. Tiba-tiba aja dia menghilang dari hidup Farah. Membiarkan Pak
Attar menang tanpa perlawanan. Nggak seru banget kan. Bagi fans Om
Erlang, hal ini tentu mengecewakan.

Tapi hal itu memang saya lakukan dengan sengaja. Karena saya menyiapkan
cerita sendiri untuk si Om. Semoga di cerita ini, Om Erlang beneran jadi
Male Lead, nggak tergusur lagi oleh Second Male Lead.

Mulai 1 Januari 2022 saya post cerita tentang Om Erlang ini disini:
Cerita ini merupakan salah satu dari 40 cerita Flower Series, project Nulis
Bareng dari Karos Publisher.

Oiya, kali aja ada yg bertanya, "itu ga salah judul? Flos? Bukan flower?" Iya
Kak, ga salah judul kok. Memang "Flos".

Flos, berasal dari bahasa Latin, yang berarti "Bunga". Saya memilih kata ini
karena bahasa latin adl bahasa yg digunakan di dunia ilmiah (biologi,
kedokteran, farmasi). Dan cerita ini memang akan membahas tentang efek
fisiologis, farmakologis dan toksik dari suatu tanaman (termasuk bunga).

Bagi yg penasaran sama nasib Om Erlang, mampir yuk ke cerita EUGENIA.

Ini blurb cerita tsb:

Eugenia caryophyllata flos (bunga cengkeh) dipetik sebelum mekar,


kemudian segera dikeringkan. Tidak ada lagi keindahan yang tersisa
darinya.

Seperti itulah hidup gadis itu.

Siapa sangka, saat kemudian bunga kering itu diproses pada suhu tinggi,
ia justru mengeluarkan minyak yang mengandung eugenol, zat aktif yang
berkhasiat sebagai analgesik.

Seperti itu pula hidup gadis itu.

***

Sebagian bunga hanya berfungsi sebagai alat reproduksi tanaman.


Sebagian yang lain hanya menarik secara estetik.

Pun dengan wanita.

Tapi bagi Airlangga Kamanjaya, bunga yang satu ini membingungkan.


Dia seperti racun, seperti candu. Dia stimulan, sedatif, sekaligus
afrodisiak. Dia berbahaya.
Tapi gadis juga seperti obat. Seperti analgesik.

***

Masih kurang tertarik? Gimana kalau setelah lihat cast berikut, jadi tertarik
ga?

Hey! Let's meet Om Erlang, alias Airlangga Kamanjaya!

Apakah cast ini sudah sesuai dengan imajinasi fans Om?


Siapa cast Om Erlang yg cocok di dalam bayangan Kakak2? Uhuk!
And there she is, our female lead in this story.

Sebagai bocoran, karakter female lead kita kali ini berbeda dg tokoh2 wanita
yg sebelumnya saya tulis. Menulis karakter si cantik ini cukup menantang
buat saya, karena karakter, gaya hidup dan pola pikirnya sangat bertolak
belakang dengan karakter saya pribadi.

Bukan hanya tentang karakter yang berbeda, cerita ini juga beda dengan
cerita saya selama ini. Cerita ini lebih singkat, lebih sederhana, tapi
sekaligus lebih.... dark dan seksi. Ada tag mature pada cerita ini.

Menulis karakter dan cerita ini benar2 membuat saya keluar dari zona
nyaman saya.

***

Nah, gimana? Udah penasaran?

Masukin cerita Eugenia ke reading list n library WP Kakak2, dan sampai


jumpa 2 hari lagi di lapak sebelah ya Kak 😘
Slice Of Life - Ahsan (2)
Salah satu hal menyenangkan dari menjadi guru atau dosen adalah kita bisa
menjadi awet muda. Tiap hari, dari tahun ke tahun, selalu bertemu an
berinteraksi dengan siswa dan mahasiswa yang selalu lebih muda, sering
membuat lupa diri bahwa waktu terus berlalu. Mahasiswa memang selalu
muda, tapi dosennya sebenarnya terus menua tiap tahunnya, tanpa ia sadari.

Barangkali itu yang terjadi pada Ahsan Ghifari Thariq.

Ia biasanya baru ingat bahwa dirinya sudah bertambah tua saat melihat
gerombolan mahasiswa baru datang ke kampus untuk Orientasi Mahasiswa
Baru. Itu artinya satu angkatan lagi telah lulus, satu angkatan baru masuk,
dan satu tahun lagi ia bertambah tua.

Khusus tahun ini, ada satu hal lagi yang mengingatkannya bahwa usianya
tidak muda lagi. Yaitu kehadiran seorang mahasiswi baru di kelasnya.

Saat mengenal gadis itu pertama kali sebagai adik dari sahabat adiknya,
gadis itu masih SMP. Kalau sekarang anak itu sudah duduk di kelasnya,
menjadi mahasiswi yang ia ajar, itu berarti dirinya sudah bertambah tua
beberapa tahun sejak pertama kali bertemu anak itu.

Sebagai salah satu dosen yang tergolong masih muda dibanding dosen-
dosen lainnya di Departemen, juga karena wajahnya yang khas Timur
Tengah, ini bukan pertama kalinya Ahsan menyadari mata para mahasiswi
yang memperhatikannya dengan berminat. Silakan saja bilang Ahsan GR,
tapi memang dia termasuk salah satu dosen idola di Departemen Teknik
Industri kok.

Tapi tatapan mahasiswi yang satu ini benar-benar bikin Ahsan keki.
Jangankan GR, dia malah merasa gemas dan kesal melihat ekspresi gadis
itu yang senyum-senyum nggak jelas selama ia memberi mata kuliah
Pengangar Teknik Industri.

"Rumaisha Arkadewi!"
Ahsan menunduk sambil memegang map daftar nama mahasiswa. Tapi ia
memanggil bukan secara acak. Ia sengaja memanggil nama anak tengil
untuk memberi pelajaran, agar jangan bengong-bengong nyengir terus
sepanjang kuliah.

"Ya, Pak!" jawab gadis yang bernama Rumaisha Arkadewi itu, cekatan. Ia
langsung menegakkan duduknya dan memasang senyum paling mempesona
(menurutnya).

"Nanti setelah lulus, kamu mau jadi apa?"

"Mau jadi istri sholehah, Pak."

"Huuuuuu!!!!!"

Kelas tiba-tiba menjadi ribut dan penuh suara tawa dan meledek, tidak
kondusif. Ahsan memejamkan matanya sesaat, geram.

Astaga anak ini! Dari dulu nggak berubah juga!, gerutu Ahsan dalam hati.
Ia menarik nafas sesaat, berusaha meredakan emosi.

"Maksudnya, kamu mau kerja apa nanti setelah lulus?" Ahsan mengulangi
pertanyaannya dengan lebih detil.

"Ibu rumah tangga, Pak," jawab gadis itu lagi.

"Ibu rumah tangga itu bukan pekerjaan!" tukas Ahsan kesal. "Kamu susah-
susah ikut seleksi masuk, masuk kesini mengalahkan 300 calon mahasiswa
lain, cuma ingin jadi ibu rumah tangga? Jangan ngelawak aja kamu! Jawab
yang bener!"

Beberapa mahasiswa masih terkikik pelan menyaksikan sang dosen


kelihatan kesal menghadapi salah seorang temannya. Bukannya takut, itu
malah jadi tontonan seru untuk mereka.

"Lho, jangan salah, Pak. Ibu rumah tangga itu pekerjaan, Pak. Justru jam
kerjanya bisa mencapai 20 jam sehari, 7 hari seminggu, tanpa hari libur,"
Rumaisha membantah pernyataan Ahsan barusan.
Kelas kini menjadi hening. Mahasiswa lain tidak mengira temannya yang
bernama Rumaisha itu berani membantah dosen. Apalagi status mereka
hanya mahasiswa baru. Ini baru hari keempat mereka kuliah. Mereka sudah
ke kampus sejak dua pekan sebelumnya untuk Masa Orientasi Mahasiswa
Baru, tapi baru 4 hari ini mereka kuliah. Dan ini perkuliahan perdana
dengan Pak Ahsan. Berani sekali gadis kecil pendek itu melawan dosen.

"Saya susah-susah masuk ke sini supaya bisa jadi ibu rumah tangga yang
bisa me-manage aktivitas anggota keluarga agar efektif dan efisien. Supaya
bisa mendesain layout rumah agar ergonomis, efisien dan aman buat anak-
anak. Supaya bisa mengatur persediaan bahan dan barang di rumah, agar
bisa melakukan pengadaan dengan hemat dan efisien. Supaya bisa
mengatur keuangan keluarga dengan baik, sehingga bisa berinvestasi dan
menyekolahkan anak sampai tinggi. Supaya mengetahui rantai pasok
bahan-bahan pokok, sehingga bisa mengantipasi kelangkaan bahan
belanjaan menjelang lebaran. Gitu, Pak."

Untuk beberapa saat Ahsan hanya mampu terdiam. Mahasiswa yang


lainpun begitu. Ketika akhirnya kesadarannya kembali, ia melanjutkan
menguji gadis pendek itu.

"Untuk menjadi ibu rumah tangga yang andal, seperti kata kamu tadi, mata
kuliah apa saja yang akan kamu ambil?" tanya Ahsan.

Rumaisha tidak segera menjawab. Ia tampak berpikir dan mengingat.


"Hmmm? Apa ya Pak? MK tentang PPIC dan Manajemen Supply Chain?
Apa lagi ya Pak?" Gadis itu malah balik bertanya sambil cengengesan dan
garuk-garuk kepala.

"Nggak perlu ambil MK Analisa Kelayakan? Kali aja suami kamu minta
ijin nambah istri, jadi kamu perlu analisa kelayakan, layak nambah istri atau
tidak?" sindir Ahsan.

"Wah kalau itu nggak perlu, Pak."

"Maksudnya MK Analisa Kelayakan tidak perlu diambil?"


"Bukan. Maksudnya, kalau suami mau nikah lagi, ya mungkin saya yang
memang sudah nggak layak bagi dia, atau dia yang sudah nggak layak bagi
saya. Jadi ya udah aja. Nggak usah pakai analisa kelayakan segala."

Kelas kembali ramai dengan celotehan dan kekehan para mahasiswa yang
ikutan mengomentari jawaban Rumaisha. Sementara itu, Ahsan menatap
gadis kecil yang masih cengar-cengir itu dengan mata sebalnya.

"Oke kalau gitu," Ahsan menaikkan volume suaranya untuk meningkahi


kehebohan di kelasnya. Setelah keadaan kembali tenang, Ahsan
melanjutkan, "Tugas untuk masing-masing mahasiswa. Buat esai, ingin jadi
apa kalian setelah lulus nanti. Dan mata kuliah apa yang perlu kalian ambil
selama kuliah di Teknik Industri dalam 4 tahun ini yang sekiranya akan
menunjang cita-cita kalian."

Seperti biasa, kalau mahasiswa diberi tugas, pasti kelas akan ramai dengan
gerutuan rendah. Tapi Ahsan tidak peduli. Ia melanjutkan kalimatnya.

"Mumpung kalian masih semester 1. Kalau kalian tidak menemukan mata


kuliah yang bisa menunjang cita-cita kalian disini, bisa jadi kalian salah
jurusan. Cepat bersiap untuk pindah kampus tahun depan!"

Ahsan menyelesaikan kalimatnya, bertepatan ketika matanya kembali pada


gadis kecil dengan celana jeans dan kemeja pinknya. Tatapan mereka
bertemu di udara. Ahsan tidak menyangka, gadis kecil yang kerjaannya
cengengesan dan sering menggodanya itu bisa juga berpendapat serius dan
memberi argumentasi yang tajam.

***

Ini cuma sebagian dari bab ini. Bagian manis-manisnya, tentu ada di
KaryaKarsa.

Bagi yg penasaran, boleh mampir ke akun KK niaputri08 dan cari


judulnya Slice of Life Ahsan.

https://karyakarsa.com/niaputri08/slice-of-life-ahsan-2-105095
Buat adik2 yg saat ini sdg kuliah, apakah kalian udh yakin sdg kuliah
di tempat yg tepat?

Anda mungkin juga menyukai