Anda di halaman 1dari 6

REGULASI DAN POLITIK MEDIA CETAK, PENYIARAN DAN FILM DALAM

ERA SUSILO BAMBANG YUDOYONO


(20 OKTOBER 2004 – 20 OKTOBER 2014)

Pendahuluan
Sejak pemerintahan Soekarno hingga Soeharto, dan sekarang di bawah kepemimpinan Susilo
Bambang Yudhoyono, kebijakan media tak pernah dapat dipisahkan dari rezim yang
berkuasa. Kebijakan media memang selalu digunakan sebagai alat politik: pertama sebagai
alat propaganda (pada era Soekarno), lalu sebagai alat kontrol (terutama pada masa
Soeharto), dan sekarang digunakan untuk membangun citra pemerintah (pada periode
Yudhoyono). Reformasi 1998 membawa perubahan besar dalam lanskap media di Indonesia
dan menghadirkan sejumlah tantangan baru dalam penetapan regulasinya. Perkembangan
sektor-sektor (dan industri) media tidak saja ditentukan oleh kemajuan teknologi (misalnya
inovasi teknologi media), namun, yang lebih penting, juga dipengaruhi oleh dinamika pasar
(seperti terciptanya persediaan dan permintaan dalam konten dan infrastruktur media), serta
kepentingan politik (misalnya kekuasaan). Dalam kasus Indonesia, hal ini sangat jelas
terlihat. Karena media merepresentasikan—dan merupakan perwujudan—kekuasaan,
kepemilikan media dan kebijakan media sangatlah penting. Prinsip ‘mengikuti ke mana uang
mengalir’ mampu mengungkapkan peranan kepentingan bisnis dalam perkembangan media,
dan bagaimana real politik mempengaruhi perkembangan itu, dan semuanya terefleksi dalam
kebijakan media di Indonesia.
Pembahasan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), presiden Indonesia pertama yang dipilih secara
langsung (2004-sekarang) dan pemerintahannya telah berperan dalam membentuk kerangka
kerja kebijakan media saat ini. Meski secara keamanan, politik, dan ekonomi bisa dianggap
stabil, upayanya untuk menjamin hak-hak kebebasan berekspresi warga negara masih terus
dipertanyakan.
Bahkan, selama beberapa tahun terakhir terutama tahun 2008 publik menyaksikan
‘kebangkitan kembali’ intervensi negara dalam hal ekspresi publik dan moralitas publik.
Sementara industri media terus berjalan pada jalurnya sendiri, publik dan masyarakat sipil
telah belajar untuk mengatasi rintangan-rintangan baru dalam menjalankan hak berpendapat
dan berekspresi.
UU Pornografi (UU 44/2008) adalah salah satu contohnya. UU yang mengundang perdebatan
luas ini cenderung membatasi kebebasan berekspresi dan hak-hak individual, serta
diskriminatif terhadap perempuan. UU tersebut juga bertentangan dengan beragam bentuk
ekspresi kultural yang melekat dan dipraktikkan secara turun-temurun oleh banyak suku dan
kelompok etnis di Indonesia. Dengan disahkannya UU Pornografi, banyak praktisi media dan
kelompok kreatif, seperti para pembuat film dan seniman, yang khawatir akan keberadaan
karya mereka.
Kasus Prita Mulyasari adalah salah satu kasus yang paling terkenal. Sama seperti sebagian
besar kasus yang dihadapi jurnalis dan sejumlah blogger yang kritis, ia dituntut atas kasus
pencemaran nama baik berdasarkan sejumlah pasal ambigu dalam UU ITE 11/2008.
Masih di bawah kepemimpinan SBY, pemerintah kemudian mengeluarkan RUU lain yang
mengancam kebebasan pers dan ekspresi publik. Pada 2008, RUU Intelijen, RUU Pemilihan
Umum, dan RUU Rahasia Negara dikeluarkan dan menimbulkan perdebatan serta
kekhawatiran di antara masyarakat sipil. Selain itu, hingga saat ini, ada sekitar 20 pasal dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang meregulasi sejumlah aspek mengenai
rahasia negara, keamanan nasional, dan kerahasiaan perdagangan di mana pers dan publik
akan menemui hambatan dalam melaporkan hal-hal yang berkaitan dengan aspek-aspek
tersebut (FI dan FNS, 2010: 8). Peraturan-peraturan ini dianggap sebagai langkah mundur
bagi publik yang sempat menikmati atmosfer yang cukup mendukung dalam mempraktikkan
ekspresi kultural selama pasca-reformasi. Tampaknya tahun 2008 merupakan tahun
kemunduran dalam upaya keras mencapai atmosfer media yang bebas dan independen di
Indonesia karena adanya empat UU yang berpotensi memenjarakan jurnalis (Piper, 2009: 47).
Pada 2009, kasus penting lainnya adalah pelarangan peredaran buku John Roosa berjudul
Dalih Pembunuhan Massal dan empat buku lainnya. Berisi tentang perdebatan seputar G30/S,
buku tersebut menarik perhatian pihak pemerintah, terutama Kejaksaan Agung, yang
memasukkan buku itu dalam daftar buku yang dilarang terbit sehingga harus dicabut izin
terbitnya. Yang lebih membingungkan bagi publik adalah bahwa dakwaan yang digunakan
merupakan UU yang kadaluwarsa tapi tetap memiliki kekuatan hukum yang mengikat, yaitu
UU No. 4/1963 mengenai Pengamanan terhadap Barang-Barang Cetakan yang Isinya Dapat
Mengganggu Ketertiban Umum.

Kualitas Pers
Pertumbuhan industri media baik cetak, penyiaran, maupun online telah menjadi usaha yang
menjamur dan menarik minat anak-anak muda di Indonesia untuk mengejar karier di sektor
ini. Namun, perkembangan ini tidak berhubungan dengan peningkatan dalam hal konten,
bahasa, atau kedalaman informasi sesuai yang diharapkan dapat disajikan oleh media.
Anggota Dewan Pers, Agus Sudibyo, secara terbuka menyatakan bahwa pekerja pers senior
pun mengeluhkan menurunnya kualitas dan performa media. Ketidakcakapan dan minimnya
pengalaman dianggap menjadi faktor utama yang menjadikan buruknya performa. Zulfiani
Lubis, anggota Dewan Pers dan jurnalis senior, menyatakan hal yang sama:
Jadi buat masyarakat, tantangannya memang adalah menurunnya kualitas jurnalistik. Tetapi
buat medianya sendiri, [tantangannya] adalah kalau kualitas jurnalistik terus menerus seperti
itu, mereka [sendiri yang] akan terkena dampaknya. Orang akan meninggalkan mereka
(Zulfiani Lubis, wawancara, 16/11/2011).
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) memandang bahwa buruknya kualitas berita, atau disebut
juga berita ‘setengah matang’, merupakan salah satu penyebab utama adanya kekerasan
terhadap jurnalis. AJI mencatat bahwa sejak Desember 2010 hingga Desember 2011 ada 49
laporan mengenai kekerasan fisik dan ancaman terhadap jurnalis di Indonesia. Hampir
separuh (48%) laporan disebabkan oleh rendahnya profesionalitas jurnalis. Tabel di bawah ini
menggambarkan angka pengaduan masyarakat terhadap pelanggaran etik yang dilakukan pers
dan dikumpulkan oleh Dewan Pers (Dewan Pers, 2010: 19-21).

Tabel 1. Jumlah pengaduan masyarakat tentang pelanggaran pers Sumber: Dewan


Pers (Dewan Pers, 2010)

Berdasarkan data di atas, jumlah kasus yang dilaporkan masyarakat kepada Dewan Pers
meningkat terus-menerus sejak tahun 2007 hingga 2010. Karena tidak mengetahui isi
pengaduan tersebut, maka melakukan pendekatan terhadap salah satu anggota Dewan Pers
yang mengonfirmasi bahwa:
…semakin hari kode etik semakin dilanggar. Kalau mau dicek lagi kenapa kode etik itu
dilanggar, ya itu semua karena adanya perhitungan pasar. Semakin heboh suatu pemberitaan
atau suatu isu, maka hit nya akan semakin banyak. Jadi [ada] kecenderungan untuk
berpegang pada parameter–parameter yang sangat kuantitatif. (Agus Sudibyo, wawancara,
27/10/2011)
Kini nampak bahwa kebebasan pers di Indonesia telah dijalankan dengan logika pasar.
Kinerja pers dan media semakin dijalankan berdasarkan tujuan komersial. Salah satu
konsekuensi langsungnya adalah bahwa konten media menjadi semakin tidak beragam karena
terpengaruh prinsip produksi yang mendorong produk dan servis yang berbasis pasar.

Media Penyiaran
Meskipun terdapat kebijakan-kebijakan yang diperlukan, akan selalu ada jalan belakang yang
dapat dipakai demi menghindari sebuah kewajiban. Salah satu praktik yang menjadi perhatian
selama ini adalah adanya perdagangan frekuensi sumber daya utama dalam bisnis penyiaran.
‘Perdagangan’ frekuensi biasanya dilakukan dalam bentuk pengambilalihan saham
perusahaan, dan bukan melalui permohonan izin siaran baru. Namun, baik KPI maupun
KPPU tidak mampu membuktikan praktik ini sebagai praktik yang buruk, serta tidak
memiliki bukti legal yang menyatakan bahwa perusahaan media melanggar aturan apapun.
Sebuah pertanyaan penting yang harus dijawab terkait masalah ‘siapa mengerjakan apa’
dalam mengatur industri media, terutama yang berkaitan dengan masalah kepemilikan dan
pembatasan kepemilikan silang. Oleh karena itu, kerjasama yang erat antara KPI dan KPPU
diperlukan untuk mengatasi masalah yang muncul dari kepemilikan media, serta mengawasi
praktik merger dan akuisisi oleh perusahaan/ pemilik media. Contoh kasusnya adalah Media
Nusantara Citra (MNC) yang telah dibawa ke pengadilan, tetapi akhirnya dibebaskan karena
tidak terbukti bersalah atas praktik monopoli. Kasus lain yang menunjukkan permasalahan
sama adalah kasus Sun TV (saat ini disebut Sindo TV), TV lokal yang dibeli oleh MNC.
Dalam kasus-kasus seperti ini, KPI menghadapi sejumlah hambatan. Di satu sisi, UU
Penyiaran dengan tegas melarang jual beli atau pertukaran perizinan frekuensi, tetapi di sisi
lain, UU Perseroan Terbatas mengizinkan perdagangan saham (KPI, 2008). Hal ini jelas
menunjukkan bahwa KPI tidak dapat berperan seorang diri dalam mengatur industri, apalagi
jika berhadapan dengan kasus perdagangan saham, meski pengaturan frekuensi memang
termasuk dalam wewenang KPI.
Sementara itu, setelah uji materi dan PP No. 50/2005, otoritas KPI terbatas hanya pada
pengawasan atas konten media. Meski begitu, KPI masih sering diabaikan oleh industri yang
memuja rating sebagai ‘otoritas’ tertinggi. Dalam hal konten, industri media juga menemukan
beragam cara untuk memperdaya para regulator. Salah satu contohnya adalah program
‘Bukan Empat Mata’ yang ditayangkan di Trans7. Acara tersebut, yang awalnya berjudul
‘Empat Mata’, dikenai sanksi oleh KPI pada 2007 karena menayangkan konten yang
mengganggu dan dilarang mengudara dalam batas waktu tertentu. Karena program tersebut
diizinkan untuk kembali disiarkan, para produser hanya mengganti judul dan bisa mengudara
lagi tanpa gangguan.
Ini adalah salah satu contoh sederhana bagaimana industri memiliki kekuatan lebih
dibandingkan dengan KPI dalam mengatur konten dengan menerapkan sensor pribadi. Sensor
pribadi atau internal mengacu pada praktik yang dilakukan praktisi media, terutama karena
tekanan dari pemilik atau pengurus, yang dalam menghasilkan informasi tertentu dibatasi
oleh “batasan yang diberlakukan oleh norma kesopanan dan pusat kekuasaan pasar dan
pemerintahan yang lain” (Herman dan Chomsky, 1988: ix). Dewan Pers juga menghadapi
kondisi yang sama. Pertumbuhan industri media cetak serta pengalamannya tidak lantas
menjamin peningkatan kualitas dalam melaporkan dan menyampaikan berita dan informasi.
Angka kasus yang konstan yang dibukukan oleh Dewan Pers menjadi indikasi sederhana dari
hal ini.

Menuju Oligopoli
Regulator media dan kebijakan-kebijakannya bekerja di dalam kerangka kerja yang jelas dan
tegas: memastikan keberagaman kepemilikan dan keberagaman konten. Keberagaman konten
hanya bisa dicapai jika ada jaminan dan aturan tentang keberagaman kepemilikan. Kedua
prinsip tersebut penting dalam demokratisasi media di Indonesia. Namun, struktur industri ini
bergeser. Kepemilikan media lebih terkonsentrasi pada beberapa pihak saja, seperti yang
dikatakan pakar media:
Ini persoalannya adalah ada sentralisasi penyiaran oleh beberapa kelompok saja yang tidak
memberi ruang bagi keberagaman (Ade Armando, wawancara, 27/10/2011).
Kami memetakan dua belas kelompok terbesar media di Indonesia. Mereka ditabulasikan di
bawah ini berdasarkan jaringan dan jumlah media yang mereka miliki. Lihat Tabel 4.3 yang
juga kami tampilkan dalam laporan kami mengenai Industri Media (Nugroho et al. 2012: 39).

Tabel 2. Kelompok media besar di Indonesia: 2011

a
Bisnis-bisnis yang dijalankan oleh pemilik/kelompok pemilik yang sama. Sumber: Nugroho,
et al. (2012:39)
Kebijakan dan regulasi telah gagal menarik perbedaan yang jelas dalam menentukan mana
yang merupakan praktik monopoli dan yang bukan. Pertanyaan paling penting bagi para
pembuat kebijakan adalah sejauh mana publik dan para regulator bisa mentoleransi oligopoli
yang saat ini terjadi. Tidak dapat disangkal bahwa kini media hanya dimiliki oleh segelintir
individu. Risiko yang mungkin timbul dari media yang terkooptasi dan memaksakan agenda
pribadi mereka kepada publik sama sekali tidak layak diambil, terutama saat ‘melek media’
bukanlah prioritas di bidang edukasi dan sosial.

Kesimpulan
Ringkasnya, perjalanan historis ini menunjukkan bahwa Indonesia memasuki era reformasi
dengan harapan tinggi untuk mencapai kebebasan berekspresi yang telah lama dinanti. Pada
tahun-tahun awal reformasi, harapan ini tampak berada pada jalur yang tepat. Seiring dengan
berjalannya proses perubahan, kebebasan telah diterima sebagai sebuah hak yang tidak dapat
disepelekan, tetapi harus diperjuangkan setiap saat, lepas dari janji-janji demokratisasi atau
bahkan karena janji-janji tersebut. Yang mengkhawatirkan adalah kenyataan bahwa dalam
perkembangan ini, warga negara tetap dipandang hanya sebagai objek di antara kompetisi
perusahaan media yang sangat sadar bahwa ranah publik sangatlah berharga, baik dari aspek
politik maupun komersial, dan bukan sosial. Hal ini selaras dengan gagasan Habermas bahwa
ranah publik tidak dapat hanya diasumsikan, apalagi disepelekan (1989; 2006). Sifat media
dalam masyarakat juga sama-sama tidak boleh disepelekan (sesuai, misalnya, Herman dan
Chomsky, 1988; McChesney, 1999; McLuhan, 1964). Menciptakan emansipasi publik lebih
merupakan konsekuensi yang tidak disengaja (Habermas, 1984; 1987) daripada tugas publik
yang didorong oleh moralitas (Cohen dan Arato, 1994). Dengan pemahaman ini, upaya
mempertahankan hak-hak warga negara atas media merupakan salah satu garda depan dalam
menjamin hak asasi manusia, yang merupakan hak dari tiap individu.
Industri media di Indonesia masih sangat muda, tetapi telah tumbuh dengan cepat dengan
cara yang tidak selalu mendatangkan kebaikan bagi masyarakat. Dengan demikian, belajar
dari kondisi dekade pertama pasca-reformasi, tidak ada alasan bagi negara dan publik untuk
mengurangi upaya mereka dalam mengontrol media. Hal ini sangat mendesak demi
membentuk regulasi baru yang lebih baik dan tanpa celah untuk mengontrol media kita agar
karakter publiknya dan kemampuannya dalam menjalankan hak warga dapat terjaga.

Anda mungkin juga menyukai