Disusun Oleh :
Stroke dapat disebabkan oleh thrombosis vena, faktor risiko penyebab stroke
adalah tekanan darah tinggi, diabetes, atrial fibrilation, kadar kolesterol tinggi,
merokok, alkohol dan penggunaan obat-obatan terlarang. Bahkan studi terbaru
menyebutkan polusi udara muncul sebagai faktor risiko stroke sedunia (Amiman,
Tumboimbela, & Kembuan, 2016).
D. Faktor Resiko
Menurut (Haryono & Sari Utami, 2019) banyak faktor yang dapat
meeningkatkan resiko stroke yaitu :
a) Faktor resiko gaya hidup:
Kelebihan berat badan atau obesitas
Ketidakaktifan fisik
Minum berat atau pesta
Penggunaan obat-obatan terlarang
b) Faktor medis
Memiliki tekanan darah lebih tinggi dari 120/80 mmHg
Merokok atau terpapar asap rokok bekas
Kolesterol tinggi
Diabetes
Apnea tidur obstruktif
Penyakit kardiovaskular, termasuk gagal jantung, cacat jantuk, infeksi jantung
atau irama jantung yang tidak normal
Riwayat pribadi atau keluarga terkait stroke, serangan jantung, atau serangan
iskemik transien.
c) Faktor-faktor lain terkait stoke hemoragik adalah;
Usia. Orang berusia 55 tahun atau lebih memiliki risiko stroke yang lebih tinggi
daripada orang yang lebih muda.
Hormon. Penggunaan pil KB atau terapi hormone
E. Patofisiolgi
Stroke hemoragik disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah yang disertai
ekstravasasi darah ke parenkim otak akibat penyebab nontraumatis. Stroke perdarahan
sering terjadi pada pembuluh darah yang melemah. Penyebab kelemahan pembuluh
darah tersering pada stroke adalah aneurisma dan malaformasi arteriovenous (AVM).
Ekstravasasi darah ke parenkim otak ini berpotensi merusak jaringan sekitar melalui
kompresi jaringan akibat dari perluasan hematoma.
Faktor predisposisi dari stroke hemoragik yang sering terjadi adalah
4
peningkatan tekanan darah. Peningkatan tekanan darah adalah salah satu faktor
hemodinamika kronis yang menyebabkan pembuluh darah mengalami perubahan
struktur atau kerusakan vaskular. Perubahan struktur yang terjadi meliputi lapisan
elastik eksternal dan lapisan adventisia yang membuat pembuluh darah mendadak
dapat membuat pembuluh darah pecah.
Ekstravasasi darah ke parenkim otak bagian dalam berlangsung selama
beberapa jam dan jika jumlahnya besar akan memengaruhi jaringan sekitarnya melalui
peningkatan tekanan intrakranial. Tekanan tersebut dapat menyebabkan hilangnya
suplai darah ke jaringan yang terkena dan pada akhirnya dapat menghasilkan infark,
selain itu, darah yang keluar selama ekstravasasi memiliki efek toksik pada jaringan
otak sehingga menyebabkan peradangan jaringan otak. Peradangan jaringan otak ini
berkontribusi terhadap cedera otak sekunder setelahnya. Proses dan onset yang cepat
pada stroke perdarahan yang cepat, penanganan yang cepat dan menjadi hal yang
penting (Haryono & Sari Utami, 2019) .
Stroke hemoragik terjadi akibat pecahnya pembuluh darah didalam otak
sehingga darah menutupi atau menggenangi ruang-ruang pada jaringan sel otak,
dengan adanya darah yang menggenangi dan menutupi ruang-ruang pada jaringan sel
otak tersebut maka akan menyebabkan kerusakan jaringan sel otak dan menyebabkan
fungsi kontrol pada otak. Genangan darah bisa terjadi pada otak sekitar pembuluh
darah yang pecah (intracerebral hemoragie) atau juga dapat terjadi genangan darah
masuk kedalam ruang disekitar otak (subarachnoid hemoragik) dan bila terjadi stroke
bisa sangat luas dan fatal dan bahkan sampai berujung kematian. Biasanya keadaan
yang sering terjadi adalah kerapuhan karena mengerasnya dinding pembuluh darah
akibat tertimbun plak atau arteriosclerosis bisa akan lebih parah lagi apabila disertai
dengan gejala tekanan darah tinggi (Setiawan, 2021).
F. Manifestasi Klinis
• Pemeriksaan labolatorium
H. Penatalaksanaan Farmakologi dan Non-Farmakologi
Penanganan stroke merupakan salah satu kunci penting dalam mengurangi
kematian dan meminimalkan kerusakan otak yang ditimbulkan oleh stroke adalah
dengan memberikan penanganan yang cepat dan tepat. Jika penanganan stroke
diberikan lebih dari rentang waktu (golden hour) maka kerusakan neorologis yang
6
dialami pasien stroke akan bersifat permanen. Fassbender (2017) menyatakan bahwa
waktu yang paling direkomendasikan pada pasien stroke adalah 3-4,5 jam yang disebut
dengan golden hour.
a) Penatalaksanaan farmakologis sebagai berikut:
• Manajemen tekanan darah
Peningkatan tekanan darah adalah faktor risiko paling umum untuk ICH.
Hipertensi akut adalah pendorong utama ekspansi hematoma dini, sehingga kontrol
tekanan darah yang agresif sangat diperlukan sebagai tindakan untuk mencegah
perluasan perdarahan dan menjadi fokus utama manajemen awal ICH. Kontrol tekanan
darah yang tepat dan tepat diperlukan tanpa menginduksi hipotensi, sehingga agen
titrasi kerja cepat seperti nicardipine digunakan dalam manajemen awal. Pada fase
akut, sebaiknya menghindari obat antihipertensi yang meningkatkan tekanan
intrakranial, terutama hydralazine, nitroprusside, dan nitro-gliserin. Pengobatan
antihipertensi akut untuk pasien dengan ICH bermanfaat dan aman dengan kisaran
target tekanan darah sistolik atau Systolic Blood Pressure (SBP) yang optimal antara
120 dan 160 mm Hg.
• Penatalaksanaan Peningkatan Tekanan Intrakranial (TIK)
Perawatan awal untuk peningkatan TIK adalah meninggikan kepala tempat
tidur hingga 30 derajat dan agen osmotik (manitol, salin hipertonik). Manitol 20%
diberikan dengan dosis 1,0 hingga 1,5 g/kg. Hiperventilasi setelah intubasi dan sedasi,
hingga pCO 28-32 mmHg akan diperlukan jika TIK meningkat lebih lanjut.
ASA merekomendasikan pemantauan intracranial pressure (ICP) dengan
parenkim atau kateter ventrikel untuk semua pasien dengan GCS <8 atau mereka
dengan herniasi transtentorial atau hidrosefalus. Kateter ventrikel memiliki
keuntungan untuk drainase cairan serebrospinal (CSF) pada kasus hidrosefalus.
Tujuannya adalah untuk menjaga tekanan perfusi serebral (CPP) antara 50 hingga
70mmHg.
• Terapi Antiepilepsi
Sekitar 3- 17% pasien akan mengalami kejang dalam dua minggu pertama, dan
30% pasien akan menunjukkan aktivitas kejang listrik pada pemantauan EEG. Mereka
yang mengalami kejang klinis atau kejang elektrografik harus diobati dengan obat
antiepilepsi. Hematoma lobaris dan pembesaran hematoma menghasilkan kejang,
yang berhubungan dengan perburukan neurologis. Kejang subklinis dan status epilepsi
non-konvulsif juga dapat terjadi.
• Pembedahan
Penatalaksanaan bedah untuk stroke hemoragik adalah kraniotomi, kraniektomi
dekompresi, aspirasi stereotaktik, aspirasi endoskopi, dan aspirasi kateter. Beberapa
7
percobaan yang dilakukan menunjukkan bahwa tidak didapatkan manfaat secara
keseluruhan dari operasi dini untuk perdarahan intraserebral bila dibandingkan dengan
pengobatan konservatif awal. Pasien yang mengalami perdarahan lobaris dalam jarak 1
cm dari permukaan otak dan defisit klinis yang lebih ringan (GCS>9) mendapatkan
manfaat dari pembedahan dini.
J. Pathway
persepsi dan konsep diri menunjukkan klien merasa tidak berdaya, tidak ada
harapan, rnudah marah, dan tidak kooperatif. Dalam pola penanganan stres,
klien biasanya mengalami kesulitan untuk memecahkan masalah karena gang-
guan proses berpikir dan kesulitan berkomunikasi. Dalam pola rata nilai dan ke-
percayaan, klien biasanya jarang melakukan ibadah spiritual karena tingkah laku
yang tidak stabil dan kelemahan/kelumpuhan pada salah satu sisi tubuh.
2) Pemeriksaan Fisik
Setelah melakukan anamnesa yang mengarah pada keluhan-keluhan klien,
pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data dari pengkajian anam-
nesis.
Pengkajian Saraf Kranial
Menurut Muttaqin, (2008) Pemeriksaan ini meliputi pemeriksaan saraf kranial I-
X11.
a. Saraf I: Biasanya pada klien stroke tidak ada kelainan pada fungsi penciuman.
b. Saraf II: Disfungsi persepsi visual karena gangguan jaras sensori primer dian-
tara mata dan korteks visual. Gangguan hubungan visual-spasial (mendapat-
kan hubungan dua atau lebih objek dalamarea spasial) sering terlihat pada
Mien dengan hemiplegia kiri.
c. Saraf III, IV, dan VI. Jika akibat stroke mengakibatkan paralisis, pada satu
sisi otot-otot okularis didapatkan penurunan kemampuan gerakan di sisi yang
sakit.
d. Saraf V. Pada beberapa keadaan stroke menyebabkan paralisis saraf trige-
nimus, penurunan kemampuan koordinasi gerakan mengunyah,
penyimpangan rahang bawah, serta kelumpuhan satu sisi otot
e. Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah asimetris, dan otot
wajah tertarik ke bagian sisi yang sehat.
f. Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi.
g. Saraf IX dan X. Kemampuan menelan kurang baik dan kesulitan membuka
mulut.
h. Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius.
i. Saraf XII. Lidah simetris, terdapat deviasi pada satu sisi dan fasikulasi, serta
indra pengecapan normal.
11
3) Pengkajian Sistem Motorik
a. Inspeksi Umum.Didapatkan hemiplegia (paralisis pada salah satu sisi)
karena lesi pada sisi otak yang berlawanan. Hemiparesis atau kelemahan
salah satu sisi tubuh adalah tanda yang lain.
b. Fasikulasi.Didapatkan pada otot-otot ekstremitas.
c. Tonus Otot.Didapatkan meningkat.
4) Pengkajian Sistem Sensorik
Dapat terjadi hemihipestesi. Pada persepsi terdapat ketidakmampuan
untuk menginterpretasikan sensasi. Disfungsi persepsi visual karena
gangguan jarak sensori primer di antara mata dan korteks visual.
12
B. Diagnosa dan Intervensi Keperawatan
1. Penurunan Kapasitas Adaptif Intrakranial
13
2. Nyeri akut
14
4. Resiko Jatuh
15
C. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi adalah tahap akhir dari proses keperawatan yang merupakan perbandingan
yang sistematis dan terencana antara hasil akhir yang teramati dan tujuan atau kriteria hasil
yang dibuat pada tahap perencanaan. Evaluasi dilakukan secara berkesinambungan dengan
melibatkan klien dan tenaga kesehatan lainnya.
Jika hasil evaluasi menunjukan tercapainya tujuan dan kriteria hasil, klien bisa keluar dari
siklus proses keperawatan. Jika sebaliknya, klien akan masuk kembali dalam siklus tersebut
mulai dari pengkajian ulang (reassesment) secara umum evaluasi ditunjukan untuk :
Melihat dan menilai kemampuan klien dalam mencapai tujuan
Menentukan apakah tujuan keperawatan telah tercapai atau belum (Nugroho, T. (2015)
GAMBARAN KASUS
Untuk mendapatkan gambaran nyata tentang pelaksanaan asuhan keperawatan di atas, telah di
lakukan pengkajian pada Ny.T usia 73 tahun di Instalasi Stroke RS Wava Husada Kepanjen Malang. Pasien
datang ke IGD pada tgl 12-08-2023 jam 13.20 dengan keluhan pusing ±2minggu, nyeri ulu hati mual
muntah dan badan lemas. Didapatkan tanda-tanda vital sebagai berikut kesadaran Composmentis GCS
456 TD 165/99 N 104 S 36,4 RR 20 Spo2 95%. Riwayat penyakit yang di derita sebelumnya adalah HT.
Ny.T mengkonsumsi obat captopril namun tidak rutin diminum setiap hari. Pada saat di IGD di dapatkan
diagnosa awal CVA+Hemiplegi+HT stage II dengan DPJP dr Widodo, Sp.S dan terapi awal di IGD di
dapatkan IVFD NS 14 tpm, Inj. Ranitidin 2x50mg, Inj. citicolin 2x250mg, inj antrain extra1 amp, inj
ondancntron 3x8mg k/p dan di lakukan pemeriksaan penunjang pemgambilan sampel darah lab, ecg, CT
scan dan foto rontgen thorax. Kemudian pasien di pindahkan ke Instalasi Stroke pada tgl 12-08-2023 jam
19.30 oleh Ns.E dengan kondisi Kesadaran Composmentis, GCS 456 Td 140/90 N 98 S 36 RR 20 Sp02
98%, keluhan saat pasien datang di ruang stroke adalah pusing, badan lemas sebelah kiri Kemudian
keluarga meminta untuk pemilihan DPJP menjadi dr.Kiki,Sp.S dan mendapat advice baru inj citicolin
2x250mg selama 3 hari, tidak perlu manitol, inj antrain k/p.
1. Pengkajian
A. Keluhan Utama
2. Triage
17
3. Assessmen IGD
18
19
6. CPPT
22
Dx 2 Nyeri akut
26
27
Dx 3 Gangguan Mobilitas Fisik
28
Dx 4 Resiko Jatuh
29
9. Hasil Pemeriksaan Penunjang
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Stroke hemoragik adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh pecahnya
pembuluh darah di sekitar atau di dalam otak, sehingga suplai darah ke jaringan otak
akan tersumbat. Darah yang pecah bisa membanjiri jaringan otak yang ada
disekitarnya, sehingga fungsi otak akan terganggu (Kanggeraldo, Sari, & Zul, 2018).
Stroke hemoragik terjadi pada otak yang mengalami kebocoran atau pecahnya
pembuluh darah yang ada di dalam otak, sehingga darah menggenangi atau menutupi
ruang-ruang jaringan sel di dalam otak (Setiawan, 2021).
3.2 Saran
Diharapkan perawat dapat mengembangkan kemampuan didalam bidang
kesehatan khususnya terhadap penanganan pasien CVA Intracerebral Hemorrhage
agar lebih cepat dan tepat dalam melakukan tindakan keperawatan terkait dengan
penyakit tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Amiman, C.R., Tumboimbela, J.M., Kembuan, M.A.H.N. (2016). Gambaran length of stay
pada pasien stroke rawat inap di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado periode Juli 2015-
Juni 2016. Jurnal e-Clinic (eCl), 4(2)
Garg, R., & Biller, J. (2022). Recent advances in spontaneous intracerebral hemorrhage. F1000
Research , 2-11.
Haryono, R. and Utami, M. P. S. (2019) Keperawatan Medikal Bedah 2. 2nd edn. Yogyakarta:
Pustaka Baru Press.
Junaidi, I. (2018). Stroke Waspadai Ancamannya. Yogyakarta: ANDI
Kanggeraldo, J., Sari, R. P., & Zu, M. I. (2018). Sistem Pakar Untuk Mendiagnosis Penyakit
Stroke Hemoragik dan Iskemik Menggunakan Metode Dempster Shafer. Jurnal RESTI
(Rekayasa Sistem Dan Teknologi Informasi), 2(2), 498– 505.
https://doi.org/10.29207/resti.v2i2.268
Mutiarasari, D. (2019). Ischemic Stroke: Symptoms, Risk Factors, and Prevention. Medika
Tadulako, Jurnal Ilmiah Kedokteran, 1(2), 36–44
Setiawan, P. A. (2021). Diagnosa dan Tatalaksana Hemoragik. Jurnal Medika Hutama , 1660-
1665.
Muttaqin, A. (2012). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta: Salemba Medika
Tim Pokja SDKI DPP PPNI (2018) Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia.1st edn.
Edited by Tim Pokja SDKI DPP PPNI. Jakarta: PPNI.
Tim Pokja SIKI DPP PPNI (2018) Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. 1st edn. Jakarta:
DPP PPNI.
Tim Pokja SLKI DPP PPNI (2018) Standar Luaran Keperawatan Indonesia. 1st edn. Jakarta:
DPP PPNI.
Unnithan, A. K. A. and Mehta, P. (2022) ‘Hemorrhagic Stroke’, National Center for
Biotechnology Information. Available at:https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK559173/.