Anda di halaman 1dari 19

Sampling

Apa itu sampel?

Sampel adalah suatu bagian dari populasi yang digunakan untuk diteliti. Salah satu hal yang
penting dalam penelitian adalah pemilihan sampel yang akan diikutsertakan (diamati atau
dipertanyakan). Proses pemilihan individu dari suatu populasi yang akan diikutsertakan disebut
dengan sampling.

Sampel dan populasi

Dalam penelitian, sampel merupakan kelompok yang diamati sedangkan kelompok yang
lebih besar yang diharapkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap sampel juga akan berlaku
pada kelompok tersebut disebut dengan populasi. Sebagai contoh:

 Populasi: 700 mahasiswa pada Universitas Negeri dengan jurusan Matematika;


Sampel: 50 mahasiswa yang diambil dari 700 mahasiswa pada Universitas tersebut.
 Populasi: Mahasiswa yang memiliki mobil
 Populasi: Mahasiswa yang tinggal di asrama

Namun, harus diperhatikan bahwa suatu populasi juga dapat menjadi suatu sampel dalam
konteks tertentu. Contohnya: Semua mahasiswa pada Universitas Negeri yang memiliki mobil
merupakan populasi pemilik mobil dari suatu wilayah, tetapi mereka pun merupakan sampel dari
populasi seluruh mahasiswa yang memiliki mobil di seluruh wilayah di Amerika Serikat.

Jika memungkinkan, seorang peneliti akan menggunakan populasi untuk penelitiannya,


namun hal ini sangat sulit dilakukan karena suatu populasi itu memiliki ukuran yang besar,
beragam, dan tersebar di wilayah yang luas. Oleh karena itu, peneliti memilih untuk meneliti
suatu kelompok yang mewakili suatu populasi yang disebut sebagai sampel.

Berikut adalah beberapa contoh pemilihan sampel dari suatu populasi:

 Seorang peneliti tertarik untuk mempelajari efek diet terhadap rentang


konsentrasi/perhatian siswa kelas 3 di suatu kota besar. Terdapat 1500 siswa kelas 3 yang
bersekolah di kota tersebut. Siswa yang dipilih sebagai sampel sebanyak 150 siswa yang
berasal dari 5 sekolah yang berbeda dimana dari setiap sekolah dipilih 30 siswa.
 Seorang kepala Sekolah Dasar ingin menyelidiki keefektifan buku teks sejarah
yang baru digunakan oleh beberapa guru di setiap daerah. Dari 22 guru yang
menggunakan buku teks baru itu, dia memilih 6 guru sebagai sampel. Dia berencana
untuk melihat perbandingan capaian siswa di kelas yang diajarkan oleh 6 guru yang
menggunakan buku teks tersebut dengan 6 kelas lainnya yang tidak diajarkan
menggunakan buku teks sejarah yang baru.

Mendefinisikan Populasi

Tugas pertama dalam memilih sampel adalah mendefinisikan populasi yang diminati.
Dengan kata lain, populasi adalah kelompok yang diminati oleh peneliti, yang nantinya hasil dari
penelitian dapat digeneralisasikan kepada kelompok tersebut. Berikut adalah beberapa contoh
dari populasi:

 Seluruh kepala sekolah menengah di Amerika Serikat


 Seluruh konselor sekolah dasar di California
 Seluruh siswa yang bersekolah di Central High School di Omaha, Nebraska,
tahun akademik 2005-2006
 Seluruh siswa kelas 3 yang diajar oleh Mr, Brown di Wharton Elementary School

Dari contoh di atas dapat dilihat bahwa suatu populasi terdiri dari berbagai macam ukuran
dan sedikitnya memiliki satu karakteristik yang membedakannya dari populasi yang lain. Selain
itu, dapat diperhatikan juga bahwa suatu populasi selalu menggunakan kata semua dari individu-
individu yang memiliki karakteristik tertentu.

Dalam penelitian pendidikan, populasi biasanya merupakan sekelompok orang (guru, siswa,
atau individu lainnya) yang memiliki karakteristik tertentu. Dalam beberapa kasus populasi juga
bisa didefinisikan sebagai suatu kelompok kelas, sekolah, atau bahkan fasilitas. Contohnya:
Seluruh ruang kelas 5 di Delaware (hipotesis yang mungkin adalah ruang kelas yang
menampilkan lebih banyak karya memiliki siswa yang capaian belajarnya lebih tinggi).

Target populasi Vs Populasi yang dapat diakses

Target populasi disebut juga populasi aktual yang ingin digeneralisasikan oleh peneliti.
Sayangnya, populasi seperti ini jarang tersedia, sedangkan populasi yang dapat diakses
merupakan populasi yang dapat digeneralisasikan oleh peneliti. Oleh karena dalam memilih
populasi ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan, karena ada pemilihan yang dikarenakan
idealitas peneliti dan pilihan yang realistis. Semakin sempit seorang peneliti mendefinisikan
populasi, maka akan semakin menghemat waktu, tenaga, dan (mungkin) biaya, tetapi
generalisasi yang dibuat pun semakin terbatas. Sangat penting bagi peneliti untuk mendefinisikan
karakteristik dari populasi dan sampel secara detail karena hal ini dapat membuat seseorang yang
tertarik dengan penelitian tersebut dapat menerapkan hasil penelitian sesuai dengan situasi yang
dialaminya.

Sampel Acak Vs Sampel Tak Acak

Sampel acak merupakan pemilihan sampel dari suatu populasi dengan cara tertentu dimana
semua anggota dari populasi tersebut memiliki peluang yang sama untu terpilih. Contohnya
seorang dekan akan memilih 25 sampel mahasiswa dengan cara meletakkan 150 nama
mahasiswa dalam sebuat topi kemudian Ia mengambil nama mereka dari dalam topi tersebut.

Sampel tak acak atau disebut juga sebagai purposive sampel adalah pemilihan sampel dari
suatu populasi dimana setiap anggota dari populasi tersebut tidak memiliki kesempatan yang
sama untuk terpilih.

Berikut adalah ilustrasi sampel yang representatif dan tidak representative:


Terdapat beberapa metode yang canggih untuk memilih sampel yang representative secara
acak.

Metode Pemilihan Sampel Acak

1. Simple random sampling (Pengambilan sampel acak sederhana)


Metode ini merupakan metode sampling yang setiap individu di dalam suatu populasi
memiliki kesempatan yang sama untuk terpilih. Metode ini adalah metode yang terbaik untuk
mendapatkan sampel yang representatif. Semakin besar sampel acaknya, maka sampel
tersebut akan semakin merepresentasikan suatu populasi, meskipun tidak dapat dijamin
secara pasti. Salah satu cara untuk memastikan bahwa setiap anggota populasi memiliki
kesempatan yang sama untk terpilih, kitab isa menggunakan table of random numbers (table
nomor acak), yaitu suatu table yang memuat list angka-angka yang tidak memiliki pola.
Keuntungan dari menggunakan sampel acak adalah semakin besar sampel yang dipilih,
maka kemungkinan besar akan menghasilkan sampe yang representatif. Namun, metode ini
tidak bisa digunakan jika seorang peneliti ingin memastikan suatu subkelompok tertentu
muncul di dalam sampel dengan proporsi yang sama dengan jumlah subkelompok dalam
suatu populasi. Untuk melakukan ini, peneliti bisa menggunakan metode sampel acak yang
lain, yaitu stratified sampling (pengambilan sampel acak bertingkat
2. Stratified random sampling (Pengambilan sampel acak bertingkat)
Stratified random sampling adalah proses pengambilan subkelompok atau strata tertentu
untuk dijadikan sampel dengan proporsi yang sama dengan jumlah subkelompok yang ada
dalam suatu populasi. Misalkan direktur penelitian di sebuah distrik sekolah besar ingin
mengetahui tanggapan siswa terhadap buku teks kelas dua belas yang baru yang sedang
dipertimbangkan untuk diadopsi oleh distrik tersebut. Ia bermaksud untuk membandingkan
prestasi siswa yang menggunakan buku baru tersebut dengan prestasi siswa yang
menggunakan buku teks tradisional yang pernah dibeli oleh distrik. Karena ia mempunyai
alasan untuk percaya bahwa gender merupakan variabel penting yang dapat mempengaruhi
hasil penelitiannya, ia memutuskan untuk memastikan bahwa proporsi laki-laki dan
perempuan dalam penelitian ini sama dengan proporsi populasi. Langkah-langkah dalam
proses pengambilan sampel adalah sebagai berikut:
1) Dia mengidentifikasi populasi sasaran (dan dapat diakses): seluruh 365 siswa kelas
dua belas yang terdaftar dalam kursus pemerintahan Amerika di distrik tersebut.
2) Ia menemukan bahwa terdapat 219 perempuan (60 persen) dan 146 laki-laki (40
persen) dalam populasi. Dia memutuskan untuk mengambil sampel sebesar 30 persen
dari populasi sasaran.
3) Dengan menggunakan tabel angka acak, ia kemudian secara acak memilih 30 persen
dari setiap strata populasi, yang menghasilkan 66 siswa perempuan (30 persen dari
219) dan 44 laki-laki (30 persen dari 146) siswa yang dipilih dari subkelompok
tersebut. Proporsi laki-laki dan perempuan adalah sama baik dalam populasi maupun
sampel 40 dan 60 persen.
Keuntungan dari pengambilan sampel acak bertingkat adalah hal ini meningkatkan
kemungkinan keterwakilan, terutama jika sampel yang diambil tidak terlalu besar. Hal ini
memastikan bahwa karakteristik utama individu dalam populasi dimasukkan dalam proporsi
yang sama dalam sampel. Kerugiannya adalah membutuhkan lebih banyak usaha dari pihak
peneliti.

3. Cluster random sampling

Baik dalam pengambilan sampel secara acak maupun acak berstrata, peneliti ingin memastikan
bahwa jenis individu tertentu disertakan dalam sampel. Namun ada kalanya tidak mungkin memilih
sampel individu dari suatu populasi. Kadang-kadang, misalnya, daftar seluruh anggota populasi yang
diteliti tidak tersedia. Tentu saja, pengambilan sampel acak sederhana atau acak berstrata tidak dapat
digunakan. Seringkali, peneliti tidak dapat memilih sampel individu karena batasan administratif atau
lainnya.
Hal ini terutama berlaku di sekolah. Misalnya, jika populasi sasarannya adalah seluruh siswa kelas
sebelas di suatu distrik yang mengikuti kursus sejarah AS, kecil kemungkinannya peneliti dapat menarik
siswa yang dipilih secara acak untuk berpartisipasi dalam kurikulum eksperimental. Sekalipun hal ini
dapat dilakukan, waktu dan upaya yang diperlukan akan membuat seleksi tersebut menjadi sulit. Hal
terbaik yang dapat diharapkan oleh peneliti adalah mempelajari sejumlah kelas yang utuh—yaitu, kelas-
kelas yang sudah ada. Pemilihan kelompok, atau cluster, subjek daripada individu dikenal sebagai cluster
random sampling. Sama seperti pengambilan sampel acak sederhana yang lebih efektif dengan jumlah
individu yang lebih besar, pengambilan sampel acak klaster juga lebih efektif dengan jumlah klaster yang
lebih besar.

Mari kita perhatikan contoh lain dari cluster random sampling. Pengawas sebuah distrik sekolah
terpadu yang besar di sebuah kota di Pantai Timur ingin mendapatkan gambaran tentang bagaimana
perasaan para guru di distrik tersebut mengenai gaji yang pantas. Terdapat 10.000 guru di seluruh sekolah
dasar dan menengah di distrik tersebut, dan terdapat 50 sekolah yang tersebar di wilayah yang luas.
Pengawas tidak mempunyai dana untuk mensurvei semua guru di distrik tersebut, dan dia memerlukan
informasi tentang gaji yang pantas dengan cepat. Oleh karena itu, alih-alih memilih sampel guru dari
setiap sekolah secara acak, ia memutuskan untuk mewawancarai semua guru di sekolah yang dipilih.
Oleh karena itu, para guru di setiap sekolah merupakan sebuah cluster. Pengawas memberikan nomor
pada masing-masing sekolah dan kemudian menggunakan tabel nomor acak untuk memilih 10 sekolah
(20 persen dari populasi). Seluruh guru di sekolah terpilih kemudian dijadikan sampel. Pewawancara
menanyakan semua guru di masing-masing 10 sekolah tersebut, dibandingkan harus melakukan
perjalanan ke semua sekolah di distrik tersebut. Jika guru-guru ini benar-benar mewakili guru-guru
lainnya di distrik tersebut, maka pengawas berhak mengambil kesimpulan tentang perasaan seluruh
populasi guru di distriknya mengenai gaji yang pantas. Tentu saja, ada kemungkinan bahwa sampel ini
tidak representatif. Karena guru-guru yang akan diwawancarai semuanya berasal dari sejumlah kecil
sekolah di kabupaten tersebut, mungkin saja sekolah-sekolah tersebut berbeda dari sekolah-sekolah lain di
kabupaten tersebut, sehingga mempengaruhi pandangan para guru di sekolah-sekolah tersebut mengenai
untuk mendapatkan bayaran. Semakin banyak sekolah yang dipilih, semakin besar kemungkinan temuan
tersebut dapat diterapkan pada populasi guru (Gambar 6.3).

Pengambilan sampel acak cluster mirip dengan pengambilan sampel acak sederhana, kecuali bahwa
kelompok dipilih secara acak, bukan individu (yaitu, unit pengambilan sampel adalah kelompok, bukan
individu). Keuntungan dari cluster random sampling adalah dapat digunakan ketika sulit atau tidak
mungkin untuk memilih sampel acak dari individu, seringkali jauh lebih mudah untuk diterapkan di
sekolah, dan seringkali memakan waktu lebih sedikit. Kerugiannya adalah terdapat peluang yang jauh
lebih besar untuk memilih sampel yang tidak mewakili populasi.

Banyak peneliti pemula melakukan kesalahan umum berkenaan dengan cluster random sampling:
memilih secara acak hanya satu cluster sebagai sampel dan kemudian mengamati atau mewawancarai
seluruh individu dalam cluster tersebut. Sekalipun terdapat sejumlah besar individu di dalam cluster,
clusterlah yang dipilih secara acak, bukan individu; oleh karena itu peneliti tidak berhak menarik
kesimpulan tentang populasi sasaran individu tersebut. Namun beberapa peneliti menarik kesimpulan
seperti itu. Kami ulangi, mereka seharusnya tidak melakukannya.
TWO-STAGE RANDOM SAMPLING

Seringkali berguna untuk menggabungkan pengambilan sampel acak klaster dengan pengambilan
sampel acak individu. Hal ini dilakukan dengan pengambilan sampel acak dua tahap. Daripada memilih
100 siswa secara acak dari populasi 3.000 siswa kelas sembilan yang berlokasi di 100 kelas, peneliti
mungkin memutuskan untuk memilih 25 kelas secara acak dari populasi 100 kelas dan kemudian secara
acak memilih 4 siswa dari setiap kelas. Hal ini jauh lebih memakan waktu dibandingkan mengunjungi
sebagian besar dari 100 kelas. Mengapa hal ini lebih baik daripada menggunakan seluruh siswa dalam
empat kelas yang dipilih secara acak? Karena empat kelas akan terlalu sedikit untuk menjamin
keterwakilan, meskipun mereka dipilih secara acak. Gambar 6.4 mengilustrasikan berbagai metode
pengambilan sampel acak yang telah kita diskusikan.

Nonrandom Sampling Methods

SYSTEMATIC SAMPLING

Dalam pengambilan sampel sistematis, setiap individu ke-n dalam daftar populasi dipilih untuk
dimasukkan ke dalam sampel. Misalnya, dalam daftar populasi yang terdiri dari 5.000 nama, untuk
memilih sampel sebanyak 500 orang, seorang peneliti akan memilih setiap sepuluh nama dalam daftar
tersebut hingga mencapai jumlah total 500 nama. Berikut adalah contoh pengambilan sampel jenis ini:
Kepala sekolah di sebuah sekolah menengah besar (kelas 6–8) dengan 1.000 siswa ingin mengetahui
bagaimana perasaan siswa terhadap menu baru di kantin sekolah. Dia memperoleh daftar alfabetis seluruh
siswa di sekolah dan memilih setiap siswa kesepuluh dalam daftar untuk dijadikan sampel.

Untuk mencegah bias, dia memasukkan angka 1 sampai 10 ke dalam topi dan menariknya keluar. Itu
adalah 3. Jadi dia memilih siswa yang bernomor 3, 13, 23, 33, 43, dan seterusnya sampai dia mempunyai
sampel 100 siswa untuk diwawancarai.

Cara di atas secara teknis dikenal dengan sampling sistematis dengan permulaan acak. Selain itu, ada
dua istilah yang sering digunakan jika merujuk pada pengambilan sampel sistematik. Interval
pengambilan sampel adalah jarak dalam daftar antara masing-masing individu yang dipilih untuk sampel.
Pada contoh di atas, jumlahnya adalah 10. Rumus sederhana untuk menentukannya adalah:

Ukuran populasi
Ukuran sampel yang diinginkan

Rasio sampling adalah proporsi individu dalam populasi yang dipilih sebagai sampel. Pada contoh di
atas, nilainya adalah 0,1 atau 10%. Cara sederhana untuk menentukan rasio sampling adalah:

Ukuran sampel
Ukuran populasi

Ada bahaya dalam pengambilan sampel sistematis yang terkadang diabaikan. Jika populasi telah
diurutkan secara sistematis—yaitu, jika susunan individu-individu dalam daftar berada dalam pola yang
kebetulan bertepatan dengan interval pengambilan sampel—sampel akan menjadi sangat bias. Hal ini
kadang-kadang disebut periodisitas. Misalkan siswa sekolah menengah pada contoh sebelumnya tidak
diurutkan berdasarkan abjad melainkan berdasarkan wali kelas dan guru wali kelas sebelumnya telah
mendaftarkan siswa di ruangan mereka berdasarkan nilai rata-rata, dari tinggi ke rendah. Itu berarti bahwa
siswa yang lebih baik akan berada di urutan teratas dalam setiap daftar wali kelas. Misalkan juga setiap
wali kelas mempunyai 30 orang siswa. Jika kepala sekolah memulai pemilihannya terhadap setiap siswa
kesepuluh dengan siswa pertama, kedua, atau ketiga dalam daftar, sampelnya akan terdiri dari siswa-
siswa yang lebih baik di sekolah tersebut daripada perwakilan seluruh siswa. (Apakah kamu paham
alasannya? Karena di setiap wali kelas, siswa termiskin adalah mereka yang berjumlah antara 24 dan 30,
dan mereka tidak akan pernah terpilih.)
Oleh karena itu, ketika berencana untuk memilih sampel dari suatu daftar, peneliti harus memeriksa
daftar tersebut dengan cermat untuk memastikan tidak ada pola siklus yang ada. Jika daftar tersebut
disusun dalam urutan tertentu, peneliti harus memastikan bahwa susunan tersebut tidak akan membiaskan
sampel sehingga dapat merusak hasil. Jika hal tersebut terjadi, langkah-langkah harus diambil untuk
memastikan keterwakilan—misalnya, dengan memilih individu secara acak dari masing-masing bagian
siklus. Faktanya, jika suatu daftar populasi diurutkan secara acak, maka sampel sistematis yang diambil
dari daftar tersebut adalah sampel acak.

CONVENIENCE SAMPLING

Seringkali sangat sulit (bahkan terkadang tidak mungkin) untuk memilih sampel acak atau sampel
non-acak yang sistematis. Pada saat seperti itu, peneliti dapat menggunakan convenience sampling.
Sampel kemudahan (convenience sample) adalah sekelompok individu yang (dengan nyaman) bersedia
untuk diteliti (Gambar 6.5). Jadi, seorang peneliti mungkin memutuskan untuk mempelajari dua kelas
kelas tiga di sekolah dasar terdekat karena kepala sekolah meminta bantuan dalam mengevaluasi
efektivitas buku teks ejaan yang baru. Berikut adalah beberapa contoh contoh kenyamanan:

• Untuk mengetahui bagaimana perasaan mahasiswa mengenai layanan makanan di


perkumpulan mahasiswa di sebuah universitas di Pantai Timur, pada suatu Senin pagi, seorang
manajer berdiri di luar pintu utama kafetaria dan mewawancarai 50 mahasiswa pertama yang
keluar dari kafetaria.
• Seorang konselor sekolah menengah mewawancarai semua siswa yang datang kepadanya untuk
mendapatkan konseling mengenai rencana karir mereka.
• Seorang reporter berita di sebuah stasiun televisi lokal menanyakan pendapat orang-orang yang
lewat di jalan pusat kota mengenai rencana pembangunan stadion bisbol baru di pinggiran kota
terdekat.
• Seorang profesor universitas membandingkan reaksi mahasiswa terhadap dua buku teks berbeda
di kelas statistikanya.
Dalam masing-masing contoh di atas, sekelompok orang tertentu dipilih untuk dipelajari karena
mereka tersedia. Keuntungan nyata dari pengambilan sampel jenis ini adalah kenyamanan. Namun yang
jelas, hal ini juga mempunyai kelemahan besar karena kemungkinan besar sampelnya akan bias. Ambil
contoh kasus reporter TV yang mewawancarai orang yang lewat di sudut jalan pusat kota. Ada banyak
kemungkinan sumber bias. Pertama-tama, tentu saja, siapa pun yang tidak berada di pusat kota pada hari
itu tidak mempunyai kesempatan untuk diwawancarai. Kedua, individu yang tidak bersedia memberikan
pandangannya tidak akan diwawancarai. Ketiga, mereka yang setuju untuk diwawancarai mungkin adalah
individu-individu yang mempunyai pendapat kuat mengenai stadion tersebut. Keempat, tergantung pada
waktunya, mereka yang diwawancarai kemungkinan besar adalah pengangguran atau mempunyai
pekerjaan yang tidak mengharuskan mereka berada di dalam rumah. Dan seterusnya.

Secara umum, sampel praktis tidak dapat dianggap mewakili populasi mana pun dan harus dihindari
jika memungkinkan. Sayangnya, terkadang hal tersebut merupakan satu-satunya pilihan yang dimiliki
peneliti. Jika hal ini terjadi, peneliti harus sangat berhati-hati dalam memasukkan informasi mengenai
demografi dan karakteristik lain dari sampel yang diteliti. Penelitian juga harus direplikasi, yaitu diulangi,
dengan sejumlah sampel yang serupa untuk mengurangi kemungkinan bahwa hasil yang diperoleh hanya
terjadi satu kali saja. Kita akan membahas replikasi secara lebih mendalam pada bab selanjutnya.

PURPOSIVE SAMPLING

Kadang-kadang, berdasarkan pengetahuan sebelumnya mengenai suatu populasi dan tujuan spesifik
penelitian, penyelidik menggunakan penilaian pribadi untuk memilih sampel. Peneliti berasumsi bahwa
mereka dapat menggunakan pengetahuan mereka tentang populasi untuk menilai apakah suatu sampel
tertentu akan mewakili atau tidak. Berikut beberapa contohnya:

• Seorang guru IPS kelas delapan memilih 2 siswa dengan nilai rata-rata tertinggi di
kelasnya, 2 siswa yang nilai rata-rata nilainya berada di tengah-tengah kelas, dan 2 siswa dengan
nilai rata-rata nilai terendah untuk mengetahui bagaimana kinerjanya. kelas merasa memasukkan
diskusi tentang peristiwa terkini sebagai bagian rutin dari aktivitas kelas. Sampel serupa di masa
lalu telah mewakili sudut pandang seluruh kelas dengan cukup akurat.
• Seorang mahasiswa pascasarjana ingin mengetahui bagaimana perasaan para pensiunan
berusia 65 tahun ke atas tentang “tahun emas” mereka. Ia telah diberitahu oleh salah satu
profesornya, seorang pakar mengenai penuaan dan populasi lanjut usia, bahwa Asosiasi
Pensiunan Pekerja setempat merupakan perwakilan dari seluruh pensiunan yang berusia 65 tahun
ke atas. Dia memutuskan untuk mewawancarai sampel 50 orang yang tergabung dalam asosiasi
untuk mendapatkan pandangan mereka.
Dalam kedua contoh ini, informasi sebelumnya membuat peneliti yakin bahwa sampel yang dipilih
akan mewakili populasi. Ada pula bentuk pengambilan sampel purposif yang kedua, yang tidak
diharapkan bahwa orang-orang yang dipilih merupakan perwakilan dari populasi, namun mereka
memiliki informasi yang diperlukan tentang populasi tersebut. Misalnya:

• Seorang peneliti diminta untuk mengidentifikasi hierarki kekuasaan tidak resmi di sekolah
menengah tertentu. Dia memutuskan untuk mewawancarai kepala sekolah, perwakilan serikat
pekerja, sekretaris kepala sekolah, dan penjaga sekolah karena dia memiliki informasi
sebelumnya yang membuatnya yakin bahwa merekalah yang memiliki informasi yang dia
butuhkan.
• Selama lima tahun terakhir, para pemimpin asosiasi guru di sebuah distrik sekolah di wilayah
barat tengah telah mewakili pandangan tiga perempat guru di distrik tersebut mengenai sebagian
besar permasalahan utama. Oleh karena itu, tahun ini pemerintah kabupaten memutuskan untuk
mewawancarai pimpinan asosiasi saja dibandingkan memilih sampel dari seluruh guru di
kabupaten tersebut.
Pengambilan sampel purposif berbeda dengan pengambilan sampel kemudahan (convenience
sampling) karena peneliti tidak hanya mempelajari siapa pun yang ada, melainkan menggunakan
penilaian mereka untuk memilih sampel yang mereka yakini, berdasarkan informasi sebelumnya, akan
menyediakan data yang mereka perlukan. Kerugian utama dari pengambilan sampel purposif adalah
bahwa penilaian peneliti mungkin salah—dia mungkin tidak tepat dalam memperkirakan keterwakilan
sampel atau keahlian mereka mengenai informasi yang dibutuhkan. Dalam contoh kedua di atas,
pimpinan asosiasi guru tahun ini mungkin memiliki pandangan yang sangat berbeda dengan anggotanya.
Gambar 6.6 mengilustrasikan metode pengambilan sampel yang mudah, bertujuan, dan sistematik.

Tinjauan Metode Pengambilan Sampel

a. Simple random sampling: teknik ini merupakan pengambilan sampel yang paling sederhana
karena pengambilan anggota sampel dari populasi dilakukan secara acak tanpa memperhatika
strata yang ada di dalam populasi. Kesulitannya di sini adalah memakan waktu lama untuk
mengidentifikasi jika populasi dalam jumlah yang sangat besar.
b. Cluster random sampling: Teknik sampling ini digunakan untuk menentukan sampel jika
objek/subjek yang akan diteliti atau sumber data sangat luas, misalnya siswa dari suatu negara,
provinsi, atau kota. Teknik ini biasanya dilakukan secara bertahap dengan menentukan daerah
mana yang akan dijadikan sebagai sampel secara acak.
Pengambilan sampel acak cluster (cluster random sampling) jauh lebih layak untuk
diterapkan dibandingkan pengambilan sampel acak sederhana (simple random sampling),
namun hal ini terbatas karena penggunaan hanya empat sekolah, meskipun harus dipilih secara
acak. Misalnya, pemilihan hanya empat sekolah mungkin mengecualikan pemilihan siswa
sekolah swasta.
c. Stratified random sampling: Teknik ini digunakan untuk menentukan jumlah sampel dengan
cara pembagian populasi ke dalam starata, memilih sampel secara acak setiap stratum, dan
menggabungkannya untuk menaksirkan parameter populasi. Stratifikasi dapat digunakan untuk
memastikan bahwa sampel juga mewakili variabel lain. Kesulitan dalam metode ini adalah bahwa
stratifikasi mengharuskan peneliti mengetahui proporsi di setiap strata populasi, dan hal ini juga
menjadi semakin sulit jika semakin banyak variabel yang ditambahkan.

d. Two-stage random sampling: teknik pengambilan sampel dilakukan dengan dua tahap, yaitu
tahap pertama, memilih beberapa kluster dalam populasi secara acak sebagai sampel dan tahap
kedua memilih elemen dari tiap kluster terpilih secara acak. Metode ini jauh lebih layak
dibandingkan pengambilan sampel acak sederhana dan lebih representatif dibandingkan
pengambilan sampel klaster. Ini mungkin merupakan pilihan terbaik.

e. Convenience sampling: teknik pengambilan sampai sebagai responden berdasarkan siapa saja
yang secara kebetulan bertemu dengan peneliti dapat digunakan sebagai sampel. Bila orang yang
kebetulan ditemui cocok sebagai sumber data dengan kriteria utamanya.
f. Porposive sampling: teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu dan bergantung
pada kebutuhan dari penelitian yang akan dilakukan.

g. Systematic sampling: teknik pengambilan sampel berdasarkan urutan dari anggota populasi
yang telah diberi nomor urut. Pengambilan sampel secara sistematis dapat dilakukan dengan cara
mengambil samoek dengan nomor urut genap saja, ganjil saja atau kelipatan dari bilangan
tertentu, misalnya bilangan kelipatan 7.

Ukuran sampel

Menarik kesimpulan tentang suatu populasi setelah mempelajari suatu sampel tidak pernah
sepenuhnya memuaskan, karena peneliti tidak pernah dapat yakin bahwa sampel mereka benar-benar
mewakili populasi. Beberapa perbedaan antara sampel dan populasi pasti ada, namun jika sampel dipilih
secara acak dan berukuran cukup, perbedaan-perbedaan ini cenderung tidak signifikan dan bersifat
insidentil. Oleh karena itu, pertanyaannya adalah mengenai ukuran sampel yang memadai atau cukup.
Suatu sampel dikatakan memadai jika dapat mewakili atau menggambarkan keadaan populasinya
(representative). Makin besar ukuran sampel mendekati populasi, maka peluang kessalahan generalisasi
semakin kecil dan sebaliknya makin kecil ukuran sampelnya yang menjaugi populasi, maka semakin
besar kesalahan generalisasi.

Validitas Eksternal: Generalisasi dari Sampel

Generalisasi adalah sejauh mana peneliti dapat menerapkan hasil penelitian ke konteks yang
lebih luas. Hasil penelitian dianggap dapat digeneralisasikan jika temuannya dapat diterapkan pada
sebagian besar konteks, sebagian besar orang, dan hampir sepanjang waktu. Seluruh gagasan sains
dibangun di atas gagasan generalisasi. Setiap ilmu pengetahuan berupaya menemukan prinsip-prinsip atau
hukum-hukum dasar yang dapat diterapkan pada berbagai macam situasi dan, dalam kasus ilmu-ilmu
sosial, pada banyak orang. Kebanyakan peneliti ingin menggeneralisasi temuan mereka pada populasi
yang sesuai.

Namun kapan generalisasi diperlukan? Kapan peneliti dapat mengatakan dengan yakin bahwa apa
yang telah mereka pelajari tentang suatu sampel juga berlaku untuk populasinya? Baik sifat sampel
maupun kondisi lingkungan, latar belakang dimana penelitian berlangsung harus dipertimbangkan dalam
memikirkan kemampuan generalisasi. Sejauh mana hasil suatu penelitian dapat digeneralisasikan
menentukan validitas eksternal penelitian tersebut.

GENERALISASI POPULASI

Generalisasi populasi mengacu pada kemampuan untuk mengambil kesimpulan atau


inferensi dari suatu studi dan menerapkannya pada populasi yang lebih besar daripada sampel
yang diteliti dan mengacu pada sejauh mana sampel mewakili populasi yang diteliti. Jika hasil suatu
penelitian hanya berlaku pada kelompok yang diteliti dan jika kelompok tersebut cukup kecil atau
didefinisikan secara sempit, maka kegunaan temuan apa pun akan sangat terbatas. Inilah sebabnya
mengapa upaya mendapatkan sampel yang representatif sangatlah penting. Karena melakukan suatu
penelitian memerlukan banyak waktu, tenaga, dan (seringkali) uang, peneliti biasanya menginginkan hasil
penyelidikan dapat diterapkan seluas mungkin.
Namun ketika kita berbicara tentang keterwakilan, kita hanya mengacu pada karakteristik penting
atau relevan dari suatu populasi. Apa yang kami maksud dengan relevan? Hanya saja ciri-ciri yang
dimaksud mungkin bisa menjadi faktor pendukung terhadap hasil apa pun yang diperoleh. Contoh
karakteristiknya seperti usia, jenis kelamin, atau ketajaman penglihatan, sebaliknya, mungkin (secara
logis) mempunyai pengaruh dan karenanya harus terwakili secara tepat dalam sampel.

Setiap kali sampel yang bertujuan atau sampel yang mudah digunakan digunakan, generalisasi
menjadi lebih masuk akal jika data disajikan untuk menunjukkan bahwa sampel tersebut mewakili
populasi yang dituju setidaknya pada beberapa variabel yang relevan. Namun prosedur ini tidak pernah
menjamin keterwakilan seluruh variabel yang relevan.

Salah satu aspek generalisasi yang sering diabaikan dalam studi “metode” atau “perlakuan”
berkaitan dengan guru, konselor, administrator, atau pihak lain yang mengelola berbagai perlakuan. Kita
harus ingat bahwa penelitian semacam itu tidak hanya melibatkan sampel siswa, klien, atau penerima
perlakuan lainnya, tetapi juga sampel dari mereka yang menerapkan berbagai perlakuan. Oleh karena itu,
sebuah penelitian yang memilih siswa secara acak namun tidak memilih guru hanya berhak untuk
menggeneralisasikan hasilnya pada populasi siswa, jika mereka diajar oleh guru yang sama. Untuk
menggeneralisasikan hasil pada guru lain, sampel guru juga harus dipilih secara acak dan harus cukup
besar.

KETIKA PENGAMBILAN RANDOM TIDAK DAPAT DILAKUKAN

Seperti yang telah kami tunjukkan, terkadang tidak mungkin atau bahkan tidak mungkin untuk
memperoleh sampel acak. Jika hal ini terjadi, peneliti harus mendeskripsikan sampel selengkap mungkin
(merinci, misalnya, usia, jenis kelamin, etnis, dan status sosial ekonomi) sehingga pihak lain yang
berkepentingan dapat menilai sendiri sejauh mana temuan tersebut berlaku, dan kepada siapa dan di
mana. Ini jelas merupakan prosedur yang lebih rendah dibandingkan dengan pengambilan sampel secara
acak, namun terkadang ini merupakan satu-satunya alternatif yang dimiliki.

Ada kemungkinan lain ketika sampel acak tidak mungkin diperoleh: Ini disebut replikasi. Peneliti
(atau peneliti lain) mengulangi penelitian dengan menggunakan kelompok subjek yang berbeda dalam
situasi yang berbeda. Dalam sebagian besar penelitian yang dilakukan di bidang pendidikan, sampel acak
belum digunakan. Tampaknya ada dua alasan dalam hal ini. Pertama, peneliti pendidikan mungkin tidak
menyadari bahaya yang ada dalam generalisasi jika seseorang tidak memiliki sampel acak. Kedua, dalam
banyak penelitian, tidak mungkin bagi peneliti untuk menginvestasikan waktu, uang, atau sumber daya
lain yang diperlukan untuk memperoleh sampel acak. Agar hasil penelitian tertentu dapat diterapkan,
maka peneliti harus mempertahankan dan meyakinkan bahwa sampel yang digunakan, meskipun tidak
dipilih secara acak, pada kenyataannya mewakili populasi sasaran, tergantung pada situasi dan tujuan
penelitian.

GENERALIZABILITAS EKOLOGI

Generalisabilitas ekologi (ecological generalizability) mengacu pada kemampuan untuk


mengambil kesimpulan atau inferensi dari penelitian yang dilakukan dalam suatu lingkungan atau
ekosistem tertentu dan menerapkannya pada lingkungan atau ekosistem yang serupa. Kondisi-kondisi ini
harus sama dalam semua hal penting dalam setiap situasi baru di mana peneliti ingin menegaskan bahwa
temuan mereka dapat diterapkan. Misalnya, jika sebuah penelitian dilakukan di hutan hujan tropis untuk
memahami interaksi antara spesies tertentu, maka generalisabilitas ekologi akan mencakup kemampuan
untuk menyimpulkan bahwa temuan dari studi ini juga berlaku untuk hutan hujan tropis lainnya dengan
karakteristik serupa.

Contoh generalisasi ekologi yang tidak tepat terjadi dalam sebuah penelitian yang menemukan
bahwa metode pengajaran tertentu yang diterapkan pada membaca peta menghasilkan transfer yang lebih
besar ke interpretasi peta umum pada siswa kelas lima di beberapa sekolah. Oleh karena itu, peneliti
merekomendasikan agar metode pengajaran digunakan dalam bidang konten lain, seperti matematika dan
sains, dengan mengabaikan perbedaan dalam konten, materi, dan keterampilan yang terlibat, selain
kemungkinan perbedaan dalam sumber daya, pengalaman guru, dan sejenisnya. Generalisasi ekologi yang
tidak tepat seperti ini masih menjadi kutukan bagi banyak penelitian pendidikan.

Sayangnya, penerapan teknik pengambilan sampel acak yang kuat hampir tidak pernah mungkin
dilakukan sehubungan dengan generalisasi ekologi. Meskipun dapat dibayangkan bahwa seorang peneliti
dapat mengidentifikasi “populasi” dari pola organisasi, materi, kondisi ruang kelas, dan sebagainya, dan
kemudian secara acak memilih sejumlah besar kombinasi dari semua kemungkinan kombinasi, logistik
untuk melakukan hal tersebut mengejutkan pikiran. Oleh karena itu, peneliti harus berhati-hati dalam
menggeneralisasikan hasil dari suatu penelitian. Hanya ketika hasilnya telah terbukti serupa melalui
replikasi pada kondisi lingkungan tertentu, barulah kita dapat menggeneralisasi kondisi tersebut.

Anda mungkin juga menyukai