Oleh:
Yosia Theo N1), Dr. Bambang Setyobudi I, M.Si, Ak2), Rini Widianingsih, SE,
M.Acc, Ak2)
E-mail: Ri3n.wibowo@gmail.com
1)
Economics and Business Faculty, Universitas Jenderal Soedirman
ABSTRACT
PENDAHULUAN
424
jumlah penetapan (LHA) yang ditolak/dibatalkan oleh pengadilan pajak
sebesar 4,75% sedangkan yang dikabulkan/dimenangkan oleh auditee sebesar
0,25% sedangkan sisanya sebesar 95% masih belum mendapatkan keputusan.
Berdasarkan penelitian sebelumnya (Lowensohn et al., 2007) salah satu
ukuran kualitas audit yaitu dengan menggunakan proksi kualitas audit, misalnya
ukuran auditor (Mansi, S.A. et al., 2004), kualitas laba (Kim J. et al., 2002),
reputasi KAP (Beatty R.P., 1989), besarnya audit fee (Copley P.A., 1989),
adanya tuntutan hukum pada auditor (Palmrose Z., 1988), dan lain-lain. Dalam
audit kepabeanan dan cukai, kualitas audit dapat diukur dengan pendekatan
proksi kualitas audit yaitu adanya tuntutan hukum (Palmrose Z., 1988) pada
auditor atas laporan audit (LHA). Tuntutan hukum yang dimaksud yaitu berupa
keberatan dan banding atas LHA di pengadilan pajak.
Kemampuan auditor dalam mendeteksi kesalahan pada laporan
keuangan dan melaporkannya pada pengguna laporan keuangan adalah definisi
kualitas audit (DeAngelo, 1981). Peluang mendeteksi kesalahan tergantung pada
kompetensi auditor, sedangkan keberanian auditor melaporkan adanya
kesalahan pada laporan keuangan tergantung pada independensi auditor.
Kompetensi diukur dari kemampuan auditor, misalnya tingkat pengalaman,
spesialisasi auditor, jam audit, dan lain-lain (Fitriany, 2010). Kompetensi dan
independensi sudah disyaratkan dalam Standar Pemeriksaan Keuangan Negara
(SPKN) sebagai patokan bagi pemeriksa dalam melaksanakan pemeriksaan atas
pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara.
Penelitian sebelumnya Efendy (2010) mendapatkan hasil penelitian bahwa
kompetensi berpengaruh positif terhadap kualitas audit. Sejalan dengan hal itu,
Sujana (2012) menemukan bahwa kinerja auditor akan maksimal apabila
ditunjang oleh kemampuan dan keterampilan yang baik, adanya persepsi
kesesuaian peran dan adanya motivasi yang tinggi. Senada dengan penelitian
tersebut, penelitian Kanfer et. al, (2010) juga menemukan bahwa keperibadian
dan motivasi sangat mempengaruhi kinerja individu dalam bekerja.
Sedangkan kemampuan personal (ability) berpengaruh positif terhadap kinerja
425
akademik. Kemampuan auditor dalam melakukan tugas sangat ditentukan
oleh kompetensi individu yang dimiliki. Kompetensi individual meliputi;
kompetensi intelektual, kompetensi emosional, dan kompetensi sosial
(Spencer & Spencer, 1993). Namun tidak sejalan dengan Zamroni (2015) yang
mengatakan bahwa kompetensi auditor tidak berpengaruh signifikan terhadap
kualitas audit, dalam penelitiannya dengan objek Direktorat Audit DJBC
merupakan objek yang sama dengan penelitian ini.
Penelitian Suprianto (2012) dan Priyambudhi (2012) memberikan hasil
pengujian hipotesis bahwa variabel penetapan sasaran berpengaruh terhadap
kinerja pegawai, sedangkan variabel sistem remunerasi tidak berpengaruh
signifikan terhadap kinerja pegawai pada KPPN Percontohan Surabaya II
dan KPPN Malang. Berbeda dengan penelitian Sancoko (2011) yang
membuktikan bahwa remunerasi mempunyai pengaruh yang signifikan
terhadap kualitas pelayanan pegawai KPPN Jakarta I yang dirasakan oleh
pelanggan. Senada dengan fakta tersebut, Palagia et al. (2012) membuktikan
bahwa remunerasi berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap kinerja
pegawai pada Kantor Pelayanan Pajak di Kota Makassar.
Berdasarkan Baron (1986) kebijakan remunerasi dapat dijadikan sebagai
salah satu bentuk variabel moderator yang dapat memperkuat dan
memperlemah hubungan antara dua variabel bebas dan terikat. Sedangkan
menurut Lina (2014) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa sistem
reward tidak mempengaruhi hubungan antara kepemimpinan dan budaya
organisasi terhadap kinerja pegawai biro UMSU. Dengan demikian sistem reward
bukan merupakan variabel moderating.
Teori harapan memprediksi bahwa karyawan akan mengeluarkan tingkat
usaha yang tinggi apabila mereka merasa bahwa ada hubungan yang kuat
antara usaha dan kinerja, kinerja dan penghargaan, serta penghargaan dan
pemenuhan tujuan-tujuan pribadi. Kinerja karyawan adalah sebuah fungsi (f) dari
interaksi kemampuan (A) dan motivasi (M); yaitu kinerja = f(A x M).
Apabila salah satu dari keduanya tidak memadai, kinerja akan dipengaruhi
426
secara negatif. Jadi selain motivasi, kemampuan (berupa kecerdasan dan
keterampilan) seorang individu harus dipertimbangkan ketika menjelaskan
dan memprediksi kinerja karyawan dengan akurat. Tetapi, ternyata masih ada
faktor peluang untuk bekerja (opportunity to perform, O), sehingga terbentuk
fungsi kinerja = f(A x M x O).
Sesuai dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan,
Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 200/PMK.04/2011 dan Peraturan Direktur
Jenderal Bea dan Cukai Nomor: Per-9/BC/2012 tentang Tatalaksana Audit
Kepabeanan dan Audit Cukai, pengertian audit kepabeanan adalah kegiatan
pemeriksaan laporan keuangan, buku, catatan, dan dokumen yang menjadi
bukti dasar pembukuan dan surat yang berkaitan dengan kegiatan usaha,
termasuk data elektronik, serta surat yang berkaitan dengan kegiatan di bidang
kepabeanan, dan/atau sediaan barang dalam rangka pelaksanaan ketentuan
perundang-undangan di bidang kepabeanan. Menurut Anwar (2015a) audit
kepabeanan dan cukai merupakan sebuah proses pemeriksaan terstruktur pada
sistem transaksi perdagangan internasional seperti kontrak jual-beli, laporan
keuangan/non keuangan, barang persediaan, dan berbagai aset perusahaan untuk
mengukur kepatutan dan ketaatan pada aturan kepabeanan.
1. Kompetensi
Pernyataan standar umum pertama dalam SPKN adalah: “Pemeriksa secara
kolektif harus memiliki kecakapan profesional yang memadai untuk
melaksanakan tugas pemeriksaan”. Berdasarkan pernyataan standar
pemeriksaan ini semua organisasi pemeriksa bertanggung jawab untuk
memastikan bahwa setiap pemeriksaan dilaksanakan oleh para pemeriksa yang
secara kolektif memiliki pengetahuan, keahlian, dan pengalaman yang
dibutuhkan untuk melaksanakan tugas tersebut.
Menurut Trotter (1986) dalam Saifuddin (2004) mendefinisikan bahwa
seorang yang berkompeten adalah orang yang dengan ketrampilannya
mengerjakan pekerjaan dengan mudah, cepat, intuitif dan sangat jarang atau
427
tidak pernah membuat kesalahan. Lee dan Stone (1995) mendefinisikan
kompetensi sebagai keahlian yang cukup yang secara eksplisit dapat digunakan
untuk melakukan audit secara objektif. Adapun Bedard (1986) dalam Lastanti
(2005) mengartikan keahlian atau kompetensi sebagai seseorang yang
memiliki pengetahuan dan ketrampilan prosedural yang luas yang ditunjukkan
dalam pengalaman audit. Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik
kesimpulan bahwa kompetensi auditor adalah pengetahuan, keahlian, dan
pengalaman yang dibutuhkan auditor untuk dapat melakukan audit secara
objektif, cermat dan seksama.
2. Kinerja Auditor
Secara umum dapat juga dikatakan bahwa kinerja merupakan prestasi
yang dapat dicapai oleh organisasi dalam periode tertentu (Bastian, 2001).
Sementara Mangkunegara (2000) mengemukakan kinerja adalah hasil kerja
secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh pegawai dalam melaksanakan
tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Dari
pengertian tersebut, kinerja dinyatakan dengan standar yaitu pengukuran kinerja
mempertimbangkan kualitas, kuantitas, dan ketepatan waktu kerja. Kualitas,
yaitu mutu yang dihasilkan. Kuantitas, yaitu jumlah yang harus diselesaikan.
Ketepatan waktu yaitu kesesuaian dengan waktu yang telah direncanakan.
Rikawati (2012) berargumen bahwa kinerja (prestasi kerja) adalah suatu
hasil karya yang dicapai oleh seseorang dalam melaksanaan tugas-tugas yang
dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman dan
kesungguhan waktu yang diukur dengan mempertimbangkan kuantitas,
kualitas dan ketepatan waktu. Trisnaningsih (2007) menyatakan kinerja adalah
suatu hasil karya yang dicapai oleh seseorang dalam melaksanakan tugas-
tugas yang dibebankan kepadanya. Kinerja (prestasi kerja) dapat diukur
melalui pengukuran tertentu (standar) dimana kualitas adalah jumlah hasil
kerja yang dihasilkan dalam kurun waktu tertentu, dan ketepatan waktu adalah
kesesuaian waktu yang telah direncanakan.
3. Kebijakan Remunerasi
428
Remunerasi mempunyai pengertian berupa ‘sesuatu’ yang diterima
pegawai sebagai imbalan dari kontribusi yang telah diberikannya kepada
organisasi tempat bekerja (Surya, 2004:8). Lebih lanjut Surya (2004)
menyatakan prinsip dasar sistem remunerasi yang efektif mencakup prinsip
individual equity atau keadilan individual artinya apa yang diterima oleh
pegawai harus setara dengan apa yang diberikan oleh pegawai terhadap
organisasi. Internal equity atau keadilan internal dalam arti adanya keadilan
antara bobot pekerjaan dan imbalan yang diterima serta external equity atau
keadilan eksternal dalam arti keadilan imbalan yang diterima pegawai dalam
organisasinya dibandingkan dengan organisasi lain yang memiliki kesetaraan.
Beberapa kesimpulan penelitian terdahulu adalah Zamroni (2015)
menyimpulkan bahwa kompetensi auditor tidak berpengaruh terhadap kualitas
audit. Lain halnya dengan Efendy (2010) yang menemukan hasil penelitian
bahwa kompetensi berpengaruh positif terhadap kualitas audit dimana hal
itu sejalan dengan penelitian Sujana (2012) hasil penelitiannya telah berhasil
menunjukkan bahwa kompetensi, motivasi, kesesuaian peran, dan komitmen
organisasi berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja. Sancoko (2010)
berpendapat bahwa pemberian remunerasi akan meningkatkan kinerja pegawai
sehingga kualitas pelayanan yang diberikan akan meningkat. Sementara
Lina (2014) berpendapat bahwa sistem reward tidak mempengaruhi
hubungan antara kepemimpinan dan budaya organisasi terhadap kinerja
pegawai biro Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU). Kompetensi
merupakan variabel independen, kinerja auditor sebagai variabel dependen dan
kebijakan remunerasi sebagai variabel pemoderasi, dengan hipotesis yaitu:
H1 : Terdapat pengaruh antara kompetensi terhadap kinerja auditor.
H2 : Terdapat peran kebijakan remunerasi dalam memoderasi pengaruh
kompetensi terhadap kinerja auditor.
METODE PENELITIAN
429
dari penelitian ini adalah auditor dan sampel penelitian yaitu auditor ketua tim
dan anggota tim audit pada Direktorat Audit DJBC dimana berdasarkan data
per Januari
2016 berjumlah 216 orang, sesuai dengan rumus Slovin jumlah sampel yang
memberikan respon berjumlah
142 responden. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini data primer &
sekunder.
1. Uji Regresi Linear
Pengujian hipotesis pertama menggunakan regresi linear sederhana karena
variabel independen yang digunakan hanya satu variabel. Model persamaannya
adalah:
= + +
keterangan :
Y : variabel dependen (Kinerja Auditor)
X : variabel independen (Kompetensi)
α : konstanta
b : koefisien regresi
e : error
2. Uji Interaksi
Pengujian hipotesis kedua dilakukan dua kali pengujian regresi. Hal
ini bertujuan untuk menguji keberadaan Z apakah benar-benar sebagai Pure
Moderator, Quasi Moderator, Homologizer Moderator atau variabel lainnya.
a. Pertama, uji regresi dari variabel X dan Z ke variabel Y.
= + + +
= + + + +
Keterangan
430
X : variabel independen (Kompetensi)
Z : variabel moderating (Kebijakan Remunerasi)
XZ : interaksi antara X dan Z
α : konstanta
b1 : koefisien regresi untuk X
b2 : koefisien regresi untuk Z
b3 : koefisien regresi interaksi antara X dan Z
e : error
1. Pengujian Hipotesis 1
431
Pada pengujian hipotesis 1 (H1) yaitu untuk mengetahui pengaruh
kompetensi terhadap kinerja auditor, dimana dalam penelitian ini metode yang
digunakan adalah analisis regresi linear sederhana. Adapun ringkasan hasil
penghitungannya dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 2. Hasil Perhitungan Regresi Linear Sederhana
Variabel Koefisien (Beta) t hitung t tabel P value
Kompetensi 0,690 11,288 1,977 0,000
Konstanta 1,174
Koefisien determinasi 0,473
Sumber : Diolah dari data primer
Tabel 2. menyatakan bahwa persamaan regresi untuk hipotesis 1 (H1) sebagai
berikut:
= . + . +
2. Pengujian Hipotesis 2
432
Pengujian ini dilakukan dalam 2 (dua) tahapan yaitu: tahapan
pertama, uji regresi variabel Kompetensi (X) dan variabel moderasi
Kebijakan Remunerasi (Z) terhadap variabel Kinerja Auditor (Y). Tahapan
kedua, dilakukan uji regresi variabel Kompetensi (X), variabel moderasi
Kebijakan Remunerasi (Z), dan interaksi variabel Kompetensi dan Kebijakan
Remunerasi (XZ) terhadap variabel Kinerja Auditor (Y). Ringkasan hasil
penghitungannya dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 3. Hasil Perhitungan Regresi Linear X, Z terhadap Y
433
=− . + . + . − . +
434
kinerja auditor dimana hal ini menguatkan hipotesis yang diambil dalam
penelitian.
Hasil ini mendukung penelitian sebelumnya Arini (2010) yang
menyatakan bahwa persepsi auditor internal atas kode etik yang terdiri atas
integritas, obyektivitas, kerahasiaan, dan kompetensi secara simultan
berpengaruh signifikan terhadap kinerja auditor internal. Pengujian variabel
independen terhadap variabel dependen secara parsial menunjukkan bahwa
dari empat variabel independen yaitu integritas, obyektivitas, kerahasiaan, dan
kompetensi, hanya variabel obyektivitas dan kompetensi yang secara parsial
berpengaruh signifikan terhadap kinerja auditor internal. Selain itu penelitian
ini sejalan juga dengan hasil penelitian Efendy (2010) yang menyatakan
bahwa kompetensi berpengaruh positif terhadap kualitas audit dimana kualitas
audit merupakan salah satu indikator yang digunakan dalam menilai kinerja
auditor internal.
b. Kebijakan Remunerasi tidak memoderasi pengaruh Kompetensi terhadap
Kinerja Auditor
Berdasarkan hasil uji interaksi diperoleh hasil bahwa tidak ada interaksi
antara variabel moderator dan variabel prediktor dengan kata lain bahwa
kebijakan remunerasi tidak memoderasi pengaruh antara kompetensi terhadap
kinerja auditor. Melalui instrumen penelitian atau kuesioner yang
diberikan mengungkapkan bahwa auditor tidak mempunyai sikap positif
terhadap kebijakan remunerasi dalam memoderasi pengaruh kompetensi
terhadap kinerja auditor.
435
Hasil pengujian ini sejalan dengan penelitian Lina, (2014) yang
menunjukkan bahwa sistem reward tidak mempengaruhi hubungan antara
kepemimpinan dan budaya organisasi terhadap kinerja pegawai biro UMSU.
Dengan demikian sistem reward bukan merupakan variabel moderating.
Sistem reward bukanlah faktor memperlemah ataupun memperkuat hubungan
antara kepemimpinan dan budaya organisasi terhadap kinerja pegawai. Hal ini
dimungkinkan karena reward yang diberikan UMSU kepada pegawainya
bukan berdasarkan kinerja pegawai tetapi berdasarkan pada masa kerja,
golongan dan jabatan serta tingkat kehadiran pegawai.
Berdasarkan penelitian Fessler (2003), subyek penelitian yang awalnya
menerima tugas kompleks sebagai hal yang menarik, kompensasi berbas
insentif justru menurunkan daya tarik tugas tersebut. Hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa kompensasi berbasis insentif dapat, dalam kondisi
tertentu, berinteraksi dengan dan bahkan berdampak negatif terhadap persepsi
tugas tarik dan kinerja tugas. Selain itu penelitian tersebut menemukan bahwa
terdapat hubungan positif antara persepsi daya tarik tugas dan kinerja.
Beberapa teori yang menjadi pertimbangan sejalan dengan hasil
pembahasan tersebut adalah kompensasi berdasarkan kinerja dapat merusak
daya tarik tugas (task attractiveness) dalam bentuk motivasi untuk melakukan
tugas tersebut. Contoh, motivasi dari luar (ekstrinsik), dalam bentuk
kompensasi berdasarkan kinerja mengungguli motivasi dari dalam diri
(intrinsik), Frey, B. S., and R. Jegen, (2000). Sementera itu R. Koestner, (1999)
dalam penelitiannya membuktikan bahwa ketergantungan terhadap
insentif/reward mengurangi daya tarik tugas bahkan ketika pada awalnya tugas
tersebut dianggap menarik. Activation theory menyatakan bahwa daya tarik
yang dirasakan merupakan fungsi dari tingkat gairah individu (tingkat stres)
selama melakukan tugas. Gairah yang sedang mengarah ke maksimumnya daya
tarik yang dirasakan, sementara terlalu banyak atau terlalu sedikit gairah
menyebabkan berkurangnya daya tarik Gardner (1988).
Berdasarkan wawancara terhadap beberapa auditor, kebijakan remunerasi
yang terjadi saat ini dirasa tidaklah terlalu signifikan jika dibandingkan
436
dengan pegawai non fungsional. Sebagai contoh adalah pemberian unsur
tunjangan fungsional auditor sebesar Rp 260.000,00 tidak jauh berbeda dengan
tunjangan umum untuk pelaksana lainnya sebesar Rp 180.000,00. Selain itu
faktor penempatan, dengan adanya sentralisasi maka auditor tidak merasa
dikhawatirkan dengan isu mutasi atau perpindahan ke unit lain sehingga
mereka dapat fokus terhadap pelaksanaan tugas audit serta membangun
kehidupan keluarganya dengan lebih baik. Penelitian ini sejalan dengan
pandangan Pasaribu, (2015) bahwa saat ini fungsional di Direktorat Audit
DJBC ditetapkan oleh kepegawaian, dimana secara umum pegawai yang
difungsionalkan mungkin hanya tertarik kepada fungsional karena berlokasi di
Jakarta/pusat. Hanya itu yang menjadi daya tarik fungsional audit. Ketika
karyawan menganggap suatu penugasan menarik, kompensasi berbasis insentif
dapat mengurangi anggapan tersebut dan memperburuk kinerja. Selain itu
penolakan kebijakan remunerasi dalam memoderasi pengaruh kompetensi
terhadap kinerja auditor dapat dijelaskan dalam beberapa kemungkinan
lainnya yaitu auditor di Direktorat Audit DJBC merupakan auditor yang
berstatus Aparatur Sipil Negara atau sebelumnya disebut Pegawai Negeri Sipil
yang berbeda dengan auditor di badan usaha/jasa atau kantor akuntan publik,
atau lembaga jasa audit swasta lainnya yang memberikan remunerasi, upah dan
reward lainnya berdasarkan kinerja yang diberikan, sedangkan di sektor
pemerintah penerapannya tidak demikian. Selain itu beberapa hal lainnya
seperti jam kerja yang berbeda dengan pegawai lainnya (non auditor) karena
intensitas pelaksanaan tugas di luar kantor cukup sering, jika pemanfaatan waktu
pengerjaan tugas dapat dilaksanakan dengan efektif dan efisien maka auditor akan
memiliki waktu lebih untuk keperluan pribadi atau keluarga dibanding pegawai
lainnya. Sementara untuk penghasilan tetap berupa gaji dan tunjangan
sebenarnya tidak memiliki perbedaaan yang terlalu signifikan antara auditor
dengan pegawai lainnya seperti, tunjangan fungsional auditor tidak jauh
berbeda dengan tunjangan umum pada pegawai lainnya (non auditor). Namun
dari beberapa penjelasan tersebut diatas, hal itu bukanlah berarti bahwa
437
penerapan kebijakan remunerasi tidak memberi pengaruh sama sekali terhadap
auditor, tetapi karena faktor lainnya tersebut diatas dianggap lebih berperan.
4. Kesimpulan
a. Kompetensi berpengaruh (positif) signifikan terhadap kinerja auditor.
Hal ini menunjukkan bahwa semakin baik kompetensi auditor maka akan
meningkatkan kinerja auditor tersebut;
b. Kebijakan remunerasi tidak memoderasi pengaruh kompetensi terhadap
kinerja auditor. Hal ini menunjukkan bahwa penerapan kebijakan
remunerasi di Direktorat Audit DJBC tidak memberi pengaruh positif
terhadap hubungan kompetensi dan kinerja auditor.
5. Implikasi
a. Direktorat Audit DJBC sebaiknya tetap meningkatkan perhatian terhadap
kompetensi auditor baik dengan peningkatan pengetahuan, keahlian dan
pengalaman audit yang didapat baik dari pendidikan formal dan non
formal.
b. Oleh karena kebijakan remunerasi sebagai potensial moderator, maka
sebaiknya dalam penerapannya di Direktorat Audit agar perlu ditinjau
ulang dan dilakukan perbaikan agar mampu meningkatkan kompetensi
dan kinerja auditor.
6. Keterbatasan Penelitian
a. Penelitian ini hanya dilakukan pada tingkatan ketua dan anggota tim pada
Direktorat Audit DJBC.
438
a. Peneliti berharap agar penelitian selanjutnya dapat memeperluas sampel
seperti penambahan sampel mulai dari Pengendali Teknis Audit (PTA)
bahkan Pengawas Mutu Audit (PMA), sehingga diharapkan hasil penelitian
lebih merata dan menyeluruh ke setiap tingkatan jabatan fungsional.
b. Penelitian selanjutnya diharapkan dapat melaksanakan survei dan
wawancara secara langsung person to person, chating ataupun media lainnya
guna mengurangi kekurangcermatan atas jawaban responden.
c. Penelitian selanjutnya juga diharapkan dapat menambah variabel-variabel
lain yang mempengaruhi kinerja auditor seperti variabel perencanaan audit,
kompleksitas tugas, manajemen risiko audit, dll.
DAFTAR PUSTAKA
Arini, T. F. (2010, Mei). Pengaruh Persepsi Auditor Internal Atas Kode Etik
Terhadap Kinerja Auditor Internal: Studi pada Auditor di Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Propinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta. Surakarta, Jawa Tengah.
Beatty R.P. (1989). Auditor Reputation and The Pricing of Initial Public
Offerings. The Accounting Review 64 (4).
439
Carcello J.V., et al. (1992). Audit Quality Attributes: The Perceptions of
Audit Partners, Preparers and Financial Statement Users. Auditing: A
Journal of Practice and Theory 11 (Spring),.
440
G.T. Milkovich, J.M. Newman. (2002). Compensation, Seventh Edition.
Boston: The McGraw Hill Companies, Inc.
Mansi, S.A. et al. (2004). Does Auditor Quality and Tenure Matter to Investor?
Evidence from Bond Market. Journal of Accounting Research 42 (4),
755-793.
441
Mathilda, T. (2008). Pengaruh Partisipasi dalam Penyusunan Anggaran terhadap
Kinerja Manajerial dengan Reward sebagai Variabel Moderating pada
Asian Agri Group. Tesis. Medan: Universitas Sumatera Utara.
Mondy R., Wayne & Noe III, Robert M. (1992). Human Resources Management
Fifth Edition. USA: Allyn and Bacon.
O'Keefe T.B., et al. (1994). The Production of Audit Services; Evidence from
a Major Public Accounting Firm. Journal of Accounting Research 32 (2),
241-261.
442
Setyaningrum, D. (n.d.). Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kualitas
Audit BPK RI.
The Center for Audit Quality. (2014). CAQ Approach to Audit Quality
Indicators.
Uma, S. (n.d.). Research Methods for Bussiness; A Skill Building Approach 4rd
Edition. John Wiley & Sons Inc.
Werther, William B. & Davis, Keith. (1996). Human Resources and Personel
Mangement. Boston: McGraw Hill, Inc.
443
World Customs Organization (WCO). (2012). Guidelines for Post Clearance
Audit (PCA). Brussels.
444