Anda di halaman 1dari 5

Hipotensi merupakan salah satu efek samping anestesia spinal yang dilakukan pada wanita hamil

dengan angka kejadian sekitar 80%.1,2 Efek kardiovaskular akibat tindakan anestesia spinal
berhubungan erat dengan level blokade simpatis yang mencapai persarafan setinggi torakal 1
sampai lumbal 2 (T1–L2). Blokade simpati akibat anestesia spinal menyebabkan dilatasi pembuluh
darah sehingga menurunkan resistensi pembuluh darah sistemik yang akan menyebabkan
hipotensi.3,4 Angka kejadian dan juga derajat hipotensi setelah anestesia spinal pada wanita hamil
yang menjalani seksio sesarea dipengaruhi oleh beberapa faktor risiko, yaitu usia, tinggi dan berat
badan, body mass index (BMI), posisi uterus miring ke kiri, cairan prehidrasi, dosis bupivakain, dosis
adjuvan anestesia spinal, posisi saat anestesia spinal, lokasi penusukan anestesia spinal, lama
penyuntikan anestetik lokal, ketinggian blok anestesia spinal, jumlah perdarahan, penggunaan
efedrin sebagai vasopresor, dan manipulasi operasi.2–4 Penekanan aortokaval akibat uterus yang
membesar dan penurunan resistensi pembuluh darah sistemik karena kehamilan diketahui sebagai
penyebab penurunan tekanan darah sistemik pada wanita hamil. Penatalaksanaan yang dapat
dilakukan untuk menurunkan dan juga mencegah hipotensi setelah anestesia spinal, yaitu menjaga
posisi uterus miring ke kiri serta prehidrasi dengan kristaloid ataupun koloid. Hipotensi yang terjadi
dapat diatasi dengan posisi trendelenberg, pemberian cairan melalui kateter intravena, terapi
oksigen, dan pemberian obat-obat vasopresor.5,6 Pemberian dosis kecil anestetik lokal dengan
penambahan opioid intratekal dapat meningkatkan potensi analgetika tanpa meningkatkan level
blokade simpatis sehingga angka kejadian hipotensi dapat berkurang.2,7,8 Berdasarkan hasil
penelitian tahun 2001 dinyatakan bahwa angka kejadian hipotensi selama anestesia spinal pada
seksio sesaria mencapai 80%, meskipun telah dilakukan prehidrasi cairan, posisi uterus miring ke kiri,
dan penggunaan vasopresor.5,9

Penelitian tahun 2004 melaporkan bahwa angka kejadian hipotensi dengan pemberian prehidrasi
cairan Ringer laktat sebanyak 15 mL/kgBB sebelum anestesia spinal pada suatu grup kontrol yang
menjalani seksio sesaria dengan teknik anestesi spinal adalah 43,33%.10 Hasil penelitian tahun 2008
di Chulalongkorn, Thailand menunjukkan insidensi hipotensi pada pasien yang menjalani seksio
sesarea dengan anestesia spinal sebesar 52,6% dari 722 pasien. Masalah serius yang paling sering
terjadi akibat anestesi spinal adalah hipotensi berat setelah onset obat tercapai.3 Tujuan penelitian
ini adalah mengetahui insidensi hipotensi setelah tindakan anestesia spinal pada pasien yang
menjalani operasi seksio sesarea dan faktor-faktor risiko yang memengaruhi hipotensi selama
anestesi spinal di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin (RSHS) Bandung.

Penelitian ini merupakan observasional potong lintang yang dilakukan setelah mendapatkan
persetujuan dari Komite Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas
Padjadjaran/Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung. Penelitian dilakukan pada bulan April–Mei
2015 dengan kriteria inklusi adalah wanita hamil yang akan dilakukan operasi seksio sesarea dengan
teknik anestesi spinal di Instalasi Bedah Sentral Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung. Kriteria
eksklusi adalah kontraindikasi dilakukan anestesia spinal dan kriteria pengeluaran adalah pasien
yang gagal spinal. Penentuan besar sampel menggunakan batas waktu penelitian dalam periode
April– Mei 2015 dan diperoleh jumlah sampel 90 orang. Penelitian dilaksanakan dengan melakukan
pencatatan data pasien yang dicatat dalam lembar penelitian oleh residen anestesia yang bertugas
di Instalasi Bedah Sentral Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung dan tidak ada intervensi perlakuan
dari peneliti terhadap pasien. Data yang dicatat adalah nama, usia, tinggi badan, dan berat badan.
Variabel yang dicatat adalah diagnosis pasien, status fisik(Rustini et al., 2016)
Penyakit ginjal kronis merupakan gangguan fungsi ginjal yang progresif dan irreversibel dimana
tubuh mengalami kegagalan untuk mempertahankan metabolisme, keseimbangan cairan dan
elektrolit, sehingga menyebabkan terjadinya uremia. Hemodialisis dilakukan untuk menghilangkan
gejala yaitu mengendalikan uremia, kelebihan cairan dan ketidakseimbangan elektrolit yang terjadi
pada pasien penyakit ginjal kronik. Selain manfaatnya hemodialisis juga tak jarang memiliki berbagai
komplikasi, salah satu komplikasi yang cukup umum terjadi adalah hipotensi Intradialisis (IDH), kasus
hipotensi intradialisis mencapai 20 % hingga 30% dalam sesi hemodialisis. Metode yang digunakan
adalah penelitian literature review dengan membandingkan beberapa literatur dari penelusuran
situs jurnal terakreditasi seperti Sciencedirect, National Center for Biotechnology Information dan
Google Scholar dengan kata kunci Hypotension Intradialytic Factor dalam kurun waktu 2015-2020.
Hasil Penelitian :. Hipotensi Intradialisis (IDH) terjadi karena multifaktorial baik faktor non teknis
maupun faktor teknis hemodialisa. Faktor non teknis terdiri dari jenis kelamin, usia, riwayat
hipertensi, jantung, anemia dan lama hemodialisa pasien. Faktor teknis terdiri dari laju ultrafiltrasi,
suhu cairan dialisat, dan konsentrasi cairan dialisat. Kesimpulan : Hipotensi Intradialisis terjadi
karena diawali dengan faktor-faktor yang multifaktorial, IDH terjadi karena berkurangnya volume
sirkulasi darah yang agresif selama sesi hemodialisa.

(Putri, H. W. S. P., & Hudiyawati, 2019)

Hemodialisis dilakukan pada pasien dengan gagal ginjal akut atau gagal ginjal yang sudah tidak dapat
untuk diperbaiki dan juga pada pasien yang mengalami ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
(Black & Hawks, 2014). Tindakan hemodialisis berfungsi untuk mengendalikan uremia, menghindari
kelebihan cairan dan ketidakseimbangan elektrolit pasien dengan penyakit ginjal kronik. Selain
manfaatnya hemodialisis juga tak jarang memiliki berbagai komplikasi, antara lain hipertensi,
hipotensi, aritmia, demam, menggigil, muntah, mual, nyeri dada, nyeri kepala, kram otot, dan pusing
(Dewi & Parut, 2017). Salah satu komplikasi yang cukup umum terjadi adalah hipotensi Intradialisis
(IDH), kasus hipotensi intradialisis mencapai 20 % hingga 30% dalam sesi hemodialisis (Geng et al,
2020). Hipotensi Intradialisis didefinisikan oleh National Kidney Foundation Disease Outcomes
Quality Initiative (KDOQI) sebagai penurunan tekanan darah sistol sebanyak ≥20 mmHg atau tekanan
rata-rata arteri (MAP) ≥ 10 mmHg, terjadinya iskemia organ akhir dan membutuhkan intervensi
untuk meningkatkan tekanan darah. Kasus hipotensi intradialisis di Indonesia mengalami kenaikan
setiap tahunnya dari data Indonesian Renal Registry (2018) jumlah kejadian hipotensi intradialisis
pada tahun 2017 sebanyak 21.412 dan meningkat menjadi 32.911 pada 2018. Frekuensi dan
keparahan IDH beresiko menyebabkan hasil klinis yang merugikan. Pada IDH dengan tekanan darah
sistolik

Hipotensi Intradialisis (IDH) terjadi karena multifaktorial baik faktor non teknis maupun faktor teknis
hemodialisa. Faktor non teknis terdiri dari jenis kelamin, usia, riwayat penyakit DM, hipertensi,
jantung, anemia dan lama hemodialisa pasien. Faktor jenis kelamin tidak berdampak langsung pada
kejadian IDH namun jenis kelamin laki-laki berisiko lebih tinggi dalam angka kejadian gagal ginjal
kronik, hal ini secara tidak langsung otomatis akan turut meningkatkan terjadinya IDH. Banyaknya
jumlah laki-laki dengan gagal ginjal disebabkan aktivitas fisik yang tinggi, konsumsi suplemen, alkohol
dan rokok yang menyebabkan hipertensi dan diabetes mellitus. Penyebab lain dikarenakan anatomis
saluran kemih laki-laki lebih panjang menyebabkan endapan zat terkandung dalam urin yang
menyebabkan obstruksi dan infeksi saluran kemih yang pada akhirnya mengakibatkan kerusakan
kandung kemih, ureter, bahkan ginjal (Sahran, 2018). Faktor usia menunjukkan semakin tua usia
seseorang semakin berpotensi mengalami IDH, hal ini disebabkan karena meningkatnya frekuensi
Cardiovascular Disease (CVD) dengan penuaan. Selain itu kekakuan pada arteri pada lanjut usia
mengakibatkan perubahan respon vaskuler terhadap penurunan volume plasma.(Sidiq, 2021)
Seiring dengan berkembangnya zaman, industri manufaktur juga kian berkembang di berbagai
bidang. Salah satu industri manufaktur yang sudah banyak berkembang di Indonesia adalah industri
farmasi. Begitu banyak perusahaan yang bergerak di bidang pembuatan dan distribusi obat sehingga
persaingan pada industri ini meningkat, dimana tiap perusahaan berusaha memberikan produk
terbaik untuk konsumen. PT. Merck, Tbk. merupakan salah satu perusahaan yang bergerak di
industri manufaktur bidang farmasi yang telah memulai proses produksinya di Indonesia sejak tahun
1974. Sebagai salah satu perusahaan manufaktur obat yang besar di Indonesia, menuntut PT. Merck,
Tbk.

Dalam industri manufaktur obat, tentunya kualitas merupakan hal yang sangatlah penting dan kritis
mengingat kualitas dari obat yang diproduksi tersebut dapat mempengaruhi kesehatan dari orang
yang mengkonsumsinya. Oleh karena itu, seluruh proses produksi dari obat, dimulai dari pengadaan
material hingga pengemasan dan pendistribusian harus sangat diperhatikan agar kualitas dari
produk tidak terganggu. Namun, pada Packaging Work Sheet dari salah satu produknya yaitu produk
“X”, ditemukan deviasi pada rekonsiliasi finished products. Rekonsiliasi merupakan assessment
perbedaan antara jumlah material yang diterima dengan jumlah material yang dihasilkan. Selain
menyebabkan produk bervariasi pada beratnya dan turunnya kualitas, hal ini juga dapat
menyebabkan kerugian material bagi perusahaan. Pada PWS ini ditemukan rekonsiliasi sebesar lebih
dari 101%, dimana seharusnya batas rekonsiliasi adalah 100%. Rekonsiliasi didapatkan dari seluruh
jumlah tablet yang diproduksi dibagi dengan jumlah tablet yang diterima. Jumlah tablet ini
didapatkan dari berat tablet keseluruhan dibagi berat per tablet, dimana berat per tablet merupakan
rata-rata yang diasumsikan dapat mewakili keseluruhan tablet. Namun, berat tablet memiliki variasi
sehingga perlu diketahui proses manakah yang menyebabkan variasi terbesar karena kemungkinan
besar proses inilah yang menyebabkan rekonsiliasi. Untuk mengetahui penyebabnya, maka perlu
dilakukan penelitian dengan hipotesis statistik dengan menggunakan Independent Sample T-Test
untuk meneliti lebih lanjut dari data yang dimiliki agar dapat diketahui apa yang menyebabkan
deviasi ini untuk kemudian dianalisis dan didapatkan solusi yang dapat mengatasinya. Dari penelitian
yang dilakukan ini, penulis akan memberikan saran dan masukan untuk PT. Merck, Tbk. untuk
mengatasi rekonsiliasi finished goods yang terjadi

Packing atau pengemasan merupakan proses untuk mengemas suatu produk menggunakan material
kemas dengan tujuan melindungi produk tersebut dari kontaminasi dan juga agar produk tidak rusak
saat proses pendistribusian Proses pengemasan memiliki keterkaitan dengan rekonsiliasi, karena jika
ditinjau pada formula rekonsiliasi, terdapat unsur F, yaitu jumlah tablet yang ditolak selama proses
blister. Karena adanya tablet yang di reject maka jumlah tablet yang telah menjadi produk jadi juga
akan berubah dari perhitungan teoritisnya sehingga berpengaruh pada rekonsiliasi (Magdalena &
Angela Krisanti, 2019)
subjek yang diperlukan, seringkali menjadi permasalahan dalam merencanakan suatu penelitian.
Tidak ada aturan pasti berapa banyak agar sampel dapat mewakili populasi. Akan tetapi, secara
umum dapat dikatakan bahwa semakin besar sampel semakin besar kemungkinan dapat
mencerminkan populasi. Secara statistika dinyatakan bahwa ukuran sampel yang semakin besar
diharapkan akan memberikan hasil yang semakin baik. Dengan sampel yang besar, mean dan
standar deviasi yang diperoleh mempunyai probabilitas yang tinggi untuk menyerupai mean dan
standar deviasi populasi. Hal ini karena jumlah sampel ada kaitannya dengan pengujian hipotesis
statistika. Meskipun sampel yang besar akan semakin baik, sampel yang kecil bila dipilih secara acak
dapat mencerminkan pula populasi dengan akurat (Hajar, 1996: 147). Membahas masalah ukuran
sampel, maka dapat dikemukakan suatu teorema tentang variabel tunggal atau univariat, yaitu
teorema limit sentral, yang menyatakan statistik rata-rata mempunyai distribusi normal untuk
ukuran sampel yang mendekati tak berhingga. Akan tetapi dalam praktek, teorema limit sentral
telah dapat diterapkan untuk ukuran sampel minimal 30. Bahkan dinyatakan untuk ukuran sampel
lebih besar dari 20, distribusi normal telah dapat dipakai untuk mendekati distribusi binomial
(Agung, 2006: 83). Ukuran sampel lebih besar daripada 30 dan lebih kecil daripada 500, cocok
dipakai untuk kebanyakan penelitian. Jika sampel harus dibagi dalam dua kategori seperti lakilaki
dan perempuan, maka diperlukan ukuran sampel minimal 30 untuk setiap kategori

113) Menurut Gay, Mills dan Airasian (2009: 133) untuk penelitian metode deskriptif, minimal 10%
populasi, untuk populasi yang relatif kecil minimal 20%, sedangkan untuk penelitian korelasi
diperlukan sampel sebesar 30 responden. Untuk penelitian eksperimen dan komparatif diperlukan
sampel 30 responden untuk setiap kelompok yang akan dibandingkan. Khusus untuk penelitian
eksperimen dan komparatif, menurut Borg and Gall (2007: 176) diperlukan sampel 15-30 responden
setiap kelompok. Menurut Krejcie dan Morgan dalam Schreiber dan Asner-Self (2011: 92) untuk
populasi di bawah 100 diambil semua, bila populasi berjumlah 500 diambil 50%, bila populasi
berjumlah 5000 diambil 357 responden, bila populasi berjumlah 100.000 diambil 384 responden.
Menurut Agung, secara empiris statistik rata-rata mempunyai distribusi normal dengan memakai
1000 buah sampel yang dipilih secara random. Akan tetapi, untuk data atau variabel multivariat
belum terdapat kesepakatan dan masih merupakan ketentuan yang sangat subjektif. Dalam
penelitian multivariat, maka ukuran sampel harus beberapa kali lebih besar daripada jumlah variable
penelitian yang ditinjau. Untuk eksperimen sederhana dengan kendali ketat keberhasilan penelitian
dapat dicapai dengan memakai sampel berukuran 10 sampai dengan 20

. Dalam penelitian pendidikan, terutama dalam penelitian eksperimen, probabilitas sampling tidak
selalu diperlukan atau mungkin tidak dapat dilakukan pemilihan subjek dari populasi yang lebih
besar. Dalam hal yang demikian, peneliti biasanya menggunakan sampling tersedia (availability
sampling), yakni peneliti memanfaatkan subjek yang tersedia, misalnya sekelompok siswa dalam
kelas tertentu. (Hajar, 1996: 147) Penggunaan jumlah sampel yang berbeda dari populasi yang sama
tidak menghasilkan perbedaan yang berarti. Hasil dari sampel yang hanya dua persen tidak jauh
berbeda dengan hasil yang menggunakan sampel sepuluh persen dari populasi. Pada penelitian
eksperimen yang dikontrol secara ketat, bila masing-masing kelompok terdiri antara 8 sampai 10
subjek sudah dianggap memadai untuk mendapatkan hasil yang akurat, walaupun pengujian statistik
selalu memperlihatkan signifikansi apabila ukuran sampel cukup besar(Hamonangan et al., 2017)
Hamonangan, R., Alwi, I., Wahyudi, E. R., & Setiati, S. (2017). Proporsi dan Faktor-Faktor yang
Berhubungan dengan Kejadian Hipotensi Postprandial pada Usia Lanjut. Jurnal Penyakit Dalam
Indonesia, 1(1), 15. https://doi.org/10.7454/jpdi.v1i1.33
Magdalena, R., & Angela Krisanti, M. (2019). Analisis Penyebab dan Solusi Rekonsiliasi Finished
Goods Menggunakan Hipotesis Statistik dengan Metode Pengujian Independent Sample T-Test
di PT.Merck, Tbk. Jurnal Tekno, 16(2), 35–48. https://doi.org/10.33557/jtekno.v16i1.623
Putri, H. W. S. P., & Hudiyawati, D. (2019). Faktor Faktor Yang Mempengadruhi Kualitas Hidup Pada
Penderita Gagal Jantung Di Rsud Sukoharjo. Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2.
Rustini, R., Fuadi, I., & Surahman, E. (2016). Insidensi dan Faktor Risiko Hipotensi pada Pasien yang
Menjalani Seksio Sesarea dengan Anestesi Spinal di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung.
Jurnal Anestesi Perioperatif, 4(1), 42–49. https://doi.org/10.15851/jap.v4n1.745
Sidiq, M. N. (2021). Faktor-faktor yang Menyebabkan Hipotensi Intradialisis : Literature Review.
Jurnal Berita Ilmu Keperawatan, 14(1), 49–56. https://doi.org/10.23917/bik.v14i1.11601

Anda mungkin juga menyukai