Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

LEGALITAS HUKUM TERAPI KOMPLEMENTER DALAM PRAKTIK


KEBIDANAN
Dosen Pengampu : Ketut Resmaniasih, SST., M.Kes

Disusun Oleh:

Nama : SRI FITRIA


NIM : PO.62.24.217.388

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES PALANGKA RAYA


SARJANA TERAPAN KEBIDANAN
REGULER IV
2020

1
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya ucapkan panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa atas berkatnya
saya bisa menyelesaikan makalah yang berjudul “LEGALITAS HUKUM TERAPI
KOMPLEMENTER DALAM PRAKTIK KEBIDANAN”.
Makalah ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi kita semua, terutama mahasiswa
Kebidanan.
Saya menyadari dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, masih
banyak kekurangan dan kelemahan didalam penulisan makalah ini, baik dalam segi bahasa
dan pengolahan maupun dalam penyusunan. Untuk itu, saya sangat mengharapkan saran yang
sifatnya membangun demi mencapainya suatu kesempurnaan dalam makalah ini terimaksih.

Palangka Raya, Agustus 2020

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................................2
DAFTAR ISI.........................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................4
A. Latar Belakang...........................................................................................................4
B. Rumus Masalah..........................................................................................................5
C. Tujuan.........................................................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN....................................................................................................6
A. Aspek Hukum Dalam Pelayanan Komplementer.........................................................6
B. Pentingnya Landasan Hukum Dalam Pelayanan Terapi Komplementer.....................6
C. Legalitas Hukum Terapi Komplementer Dalam Praktik Kebidanan............................8
BAB III PENUTUP............................................................................................................19
A. Kesimpulan................................................................................................................19
B. Saran...........................................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Terapi komplementer dikenal secara luas dan digunakan dalam pelayanan kesehatan Barat.
Namun, dalam banyak survei yang telah dilakukan tentang penggunaan terapi komplementer
lingkupnya masih terbatas. Meningkatkan pengetahuan perawat tentang pengobatan terapi
komplementer yang dilakukan olehorang-orang di beberapa budaya di seluruh dunia sangat
penting untuk kesehatandan kompetensi perawat. Untuk mengetahui penggunaan terapi
komplementer dari perspektif secara global, perawat diseluruh dunia di pandang perlu
mengetahui danmembahas bagaimana terapi komplementer yang digunakan di negara-
negara(Lindquist, Snyder, & Tracy, 2014).
Model filosofi holistik dan peduli (caring ) dalam pemberian terapikomplementer menjadi
aspek penting dalam perawatan. Merawat diri sendiri bahkanlebih penting dalam perawatan
kesehatan di mana hal ini dilatih oleh perawat dan profesional kesehatan lainnya hari ini
(Lindquist, Snyder, & Tracy, 2014).
Perkembangan terapi komplementer pada beberapa tahun terakhir menjadisorotan oleh
banyak negara. Terapi komplementer atau pengobatan alternatifmenjadi bagian penting
dalam pelayanan kesehatan baik di Amerika Serikatmaupun di negara lainnya (Snyder &
Lindquis, 2010). Estimasi di AmerikaSerikat 627 juta orang adalah pengguna terapi alternatif
dan 386 juta orangyang mengunjungi praktik konvensional. Data lain menyebutkan terjadi
peningkatan jumlah pengguna terapi komplementer di Amerika dari 33% padatahun 1991
menjadi 42% di tahun 1997 (Snyder & Lindquist, 2010).
Komponen dalam terapi komplementer yang sangat penting yaitu kehadirandan komunikasi.
Banyak pasien dan keluarga mengharapkan seorang perawat yang benar-benar hadir saat
memberikan pelayanan. Pada beberapa aspek komunikasi, baik verbal dan nonverbal, adalah
kunci penting untuk memberikan perawatanholistik yang merupakan bagian dari filosofi yang
mendasari penggunaan terapikomplementer. Komunikasi nonverbal menjadi lebih penting
ketika berinteraksidengan orang-orang yang bukan dari budaya Barat (Lindquist, Snyder, &
Tracy,2014).
Kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan, menyebabkan munculkannya berbagai
metode perawatan dimana salah satu cara yang dilakukanadalah dengan melakukan terapi
komplementer atau pengobatan alternatif. Sebagai seorang tenaga kesehatan khususnya
seorang perawat yang memiliki batasan-batasan berdasarkan aspek legal etik dalam

4
keilmuannya dipandang perlu mengetahui lebih banyak aspek-aspek legal secara hukum dan
etik dalammemberikan pengobatan altenatif atau terapi komplementer kepada pasien
B. Tujuan Penulisan
1. Apa saja aspek hukum pelayanan terapi komplementer ?
2. Apa saja legalitas hukum terapi komplementer dalam praktik kebidanan ?

C. Manfaat Penulisan
1. Untuk mengetahui aspek hukum pelayanan terapi komplementer
2. Untuk Mengetahui legalitas hukum terapi komplementer dalam praktik kebidanan

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Aspek Hukum Dalam Pelayanan Komplementer


Pelayanan Kesehatan Tradisional Komplementer harus memenuhi Kriteria:
a. dapat dipertanggungjawabkan keamanan dan manfaatnya mengikuti kaidah-kaidah
ilmiah bermutu dan digunakan secara rasional dan tidak bertentangan dengan norma
agama dan norma yang berlaku di masyarakat;
b. tidak membahayakan kesehatan Klien;
c. memperhatikan kepentingan terbaik Klien; dan memiliki potensi pencegahan
penyakit, peningkatan kesehatan, penyembuhan, pemulihan kesehatan, dan
meningkatkan kualitas hidup Klien secara fisik, mental, dan sosial.
d. Tidak bertentangan dengan norma agama sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a, berupa tidak memberikan pelayanan dalam bentuk mistik/klenik, dan/atau
menggunakan pertolongan makhluk gaib.
e. Tidak bertentangan dengan norma yang berlaku di masyarakat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a berupa tidak melanggar nilai-nilai kesusilaan, kesopanan, hukum,
dan budaya.

B. Pentingnya Landasan Hukum Dalam Pelayanan Terapi Komplementer

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor


299/MENKES/SK/VIII/2013 Tentang Kelompok Kerja Nasional Kesehatan
Tradisional,Alternatif Dan Komplementer
KESATU : Kelompok Kerja Nasional Kesehatan Tradisional, Alternatif dan
Komplementer merupakan lembaga non struktural Kementerian Kesehatan.
KEDUA : Kelompok Kerja Nasional Kesehatan Tradisional, Alternatif dan
Komplementer mempunyai fungsi memberikan pertimbangan kepada Menteri
Kesehatan dalam menetapkan kebijakan di bidang pelayanan kesehatan tradisional,
alternatif dan komplementer.
KETIGA : Kelompok Kerja Nasional Kesehatan Tradisional, Alternatif, dan
Komplementer mempunyai
tugas:
1. memberikan rekomendasi atas metode pelayanan kesehatan tradisional, alternatif, dan
komplementer yang dapat dikembangkan;

6
2. mediasi dan advokasi stakeholders terkait untuk kepastian integrasi pelayanan
kesehatan tradisional, alternatif, dan komplementer di fasilitas pelayanan kesehatan;
3. memberikan rekomendasi atas komitmen internasional dan kerjasama luar negeri;
4. pengembangan jaringan informasi dan dokumentasi pelayanan kesehatan tradisional,
alternatif, dan komplementer;
5. memberi masukan pengembangan model-model inovasi penerapan pengobatan
tradisional;
6. memberi masukan untuk strategi pengawasan dan pembinaan pengobatan tradisional
termasuk asing;
7. memberi masukan untuk pengembangan standar pendidikan dalam mencapai
kompetensi sumber daya manusia penyelenggara pelayanan kesehatan tradisional,
alternatif dan komplementer;
8. memberi masukan mengenai standar pelayanan kesehatan tradisional, alternatif dan
komplementer;
9. memberi masukan mengenai usulan Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) atas
bahan, teknologi, dan produk pelayanan kesehatan tradisional, alternatif dan
komplementer; dan 10. memberi masukan mengenai penyelesaian masalah/konflik
dalam pelayanan kesehatan tradisional, alternatif dan komplementer.
KEEMPAT : Susunan dan Tugas Unsur Organisasi Kelompok Kerja Nasional
Kesehatan Tradisional, Alternatif, dan Komplementer terdiri atas:
a. Pelindung. b. Penasehat dengan tugas memberi nasehat dan arahan tentang materi
yang perlu dibahas oleh Kelompok Kerja Nasional Kesehatan Tradisional, Alternatif,
dan Komplementer. c. Penasehat Teknis yang bertugas memberikan nasehat dan arahan
mengenai pelaksanaan teknis kegiatan Kelompok Kerja Nasional Kesehatan Tradisional,
Alternatif, dan Komplementer. d. Pelaksana Harian bertugas :
1. mengidentifikasi isu strategis di bidang pelayanan kesehatan tradisional, alternatif dan
komplementer;
2. melakukan kajian dan memberikan rekomendasi terhadap isu strategis baik atas
permintaan Kementerian Kesehatan ataupun atas inisiatif Kelompok Kerja Nasional
Kesehatan Tradisional, Alternatif, dan Komplementer;
3. melaksanakan tugas dari Kelompok Kerja Nasional Kesehatan Tradisional Alternatif
dan Komplementer sebagaimana Diktum Ketiga Surat Keputusan ini; dan

7
4. membuat laporan kegiatan setiap 6 (enam) bulan. e. Sekretariat bertugas memberi
dukungan pada kegiatan Kelompok Kerja Nasional Kesehatan Tradisional Alternatif dan
Komplementer.
KELIMA : Alur penyampaian rekomendasi dan laporan Kelompok Kerja Nasional
Kesehatan Tradisional Alternatif dan Komplementer dari Ketua Pelaksana Harian
kepada Menteri Kesehatan melalui Direktur Jenderal Bina Gizi dan KIA.
KEENAM : Susunan dan personalia Kelompok Kerja Nasional Kesehatan Tradisional,
Alternatif, dan Komplementer sebagaimana dimaksud pada Diktum Kesatu tercantum
dalam lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Keputusan Menteri ini.
KETUJUH : Penyelenggaraan fungsi dan tugas Kelompok Kerja Nasional Kesehatan
Tradisional, Alternatif, dan Komplementer difasilitasi oleh Direktorat Bina Pelayanan
Kesehatan Tradisional, Alternatif, dan Komplementer.
KEDELAPAN : Segala biaya yang timbul dalam rangka pelaksanaan Keputusan ini
dibebankan pada Daftar Isian Pelaksana Anggaran (DIPA) Satuan Kerja Direktorat Bina
Pelayanan Kesehatan Tradisional, Alternatif, dan Komplementer.
KESEMBILAN : Dengan berlakunya Keputusan ini, maka Keputusan Menteri
Kesehatan Nomor 120/Menkes/SK/III/2012 Tentang Kelompok Kerja Nasional
Pelayanan Kesehatan Tradisional, Alternatif dan Komplementer dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku lagi. KESEPULUH : Keputusan ini berlaku untuk Tahun Anggaran 2013.

C. Legalitas Hukum Terapi Komplementer Dalam Praktik Kebidanan

Komplementer adalah penggunaan terapi tradisional ke dalam pengobatan modern


(Andrews, 1999 dalam Widyatutui, 2006). Terapi komplementer juga ada yang
menyebutnya dengan pengobatan holistik, hal ini karena bentuk terapi yang dapat
mempengaruhi individu (pikiran, badan, dan jiwa dalam kesatuang fungsi).
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO, 2002) mendefinisikan terapi kompelementer
adalah praktek kesehatan dengan pendekatan pengetahuan dan keyakinan tentang
pengelolaan tanaman, hewan, mineral, dan spritual yang dikombinasi untuk
mempertahakn kesejahteraan dan mencegah penyakit.
KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR
299/MENKES/SK/VIII/2013 Tentang Kelompok Kerja Nasional Kesehatan Tradisional,
Alternatif Dan Komplementer.

8
PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA Nomor 37
Tahun 2017 Tentang Pelayanan Kesehatan Tradisional Integrasi.
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Pelayanan Kesehatan Tradisional Integrasi adalah suatu bentuk pelayanan kesehatan
yang mengombinasikan pelayanan kesehatan konvensional dengan pelayanan
kesehatan tradisional komplementer, baik bersifat sebagai pelengkap maupun
pengganti dalam keadaan tertentu.
2. Pelayanan Kesehatan Konvensional adalah suatu sistem pelayanan kesehatan yang
dilakukan oleh dokter dan/atau tenaga kesehatan lainnya berupa mengobati gejala
dan penyakit dengan menggunakan obat, pembedahan, dan/atau radiasi.
3. Fasilitas Pelayanan Kesehatan adalah suatu alat dan/atau tempat yang digunakan
untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif,
kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah
dan/atau masyarakat.
4. Pusat Kesehatan Masyarakat yang selanjutnya disebut Puskesmas adalah fasilitas
pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan
upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan upaya
promotif dan preventif, untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-
tingginya di wilayah kerjanya.
5. Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan
pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan
rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat.
6. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan
pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan
menteri sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
7. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan
Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan daerah otonom.
8. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
kesehatan.
Pasal 2
Pengaturan Pelayanan Kesehatan Tradisional Integrasi bertujuan untuk:

9
a. Terselenggaranya pelayanan kesehatan tradisional komplementer yang terintegrasi
di Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang aman, bermutu, efektif dan sesuai dengan
standar;
b. Memberikan acuan bagi tenaga kesehatan dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan dalam
penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Tradisional Integrasi;
c. Mewujudkan manajemen yang terpadu dalam Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan
Tradisional Integrasi;
d. Terlaksananya pembinaan dan pengawasan secara berjenjang oleh Pemerintah Pusat
dan Pemerintah Daerah.
Pasal 3
(1) Pelayanan Kesehatan Tradisional Integrasi dilakukan secara bersama oleh tenaga
kesehatan tradisional dan tenaga kesehatan lain untuk pengobatan/perawatan pasien.
(2) Pelayanan Kesehatan Tradisional Integrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus diselenggarakan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan.

Pasal 4
(1) Tenaga kesehatan tradisional dan tenaga kesehatan lain yang memberikan
Pelayanan Kesehatan Tradisional Integrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(1) wajib memiliki SIP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2)
Pelayanan Kesehatan Tradisional Integrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
dilaksanakan berdasarkan standar profesi, standar pelayanan kesehatan, dan standar
prosedur operasional.
Pasal 5
(1) Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Tradisional Integrasi di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) harus: a. menggunakan
pelayanan kesehatan tradisional komplementer yang memenuhi kriteria tertentu; b.
terintegrasi paling sedikit dengan satu Pelayanan Kesehatan Konvensional yang ada di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan; c. aman, bermanfaat, bermutu, dan sesuai dengan
standar; dan d. berfungsi sebagai pelengkap Pelayanan Kesehatan Konvensional; (2)
Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi: a. terbukti
secara ilmiah; b. dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan terbaik pasien; dan c. memiliki
potensi promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, dan meningkatkan kualitas hidup
pasien secara fisik, mental, dan sosial. Bagian Kedua Pelayanan
Pasal 6

10
Pelayanan Kesehatan Tradisional Integrasi harus dilakukan dengan tata laksana: a.
pendekatan holistik dengan menelaah dimensi fisik, mental, spiritual, sosial, dan
budaya dari pasien. b. mengutamakan hubungan dan komunikasi efektif antara tenaga
kesehatan dan pasien; c. diberikan secara rasional; d. diselenggarakan atas persetujuan
pasien (informed consent); e. mengutamakan pendekatan alamiah; f. meningkatkan
kemampuan penyembuhan sendiri; dan g. pemberian terapi bersifat individual.
Pasal 7
(1) Pelayanan Kesehatan Tradisional Integrasi hanya dapat dilakukan dengan
menggunakan jenis pelayanan kesehatan tradisional komplementer yang telah
ditetapkan oleh Menteri. (2) Dalam menetapkan jenis pelayanan kesehatan tradisional
komplementer yang dapat diintegrasikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
Menteri membentuk Tim. (3) Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas
unsur Kementerian Kesehatan, organisasi profesi, praktisi, dan pakar kesehatan
tradisional. (4) Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Menteri. (5)
Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus melakukan penapisan terhadap jenis
pelayanan kesehatan tradisional komplementer, modalitas yang digunakan dalam
pelayanan kesehatan komplementer, dan tenaga kesehatan tradisional yang dapat
diintegrasikan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan. (6) Tim sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) harus menyampaikan hasil penapisan dalam bentuk rekomendasi kepada
Menteri. Bagian Ketiga Fasilitas Pelayanan Kesehatan Penyelenggara Paragraf 1
Umum
Pasal 8
(1) Fasilitas Pelayanan Kesehatan penyelenggara Pelayanan Kesehatan Tradisional
Integrasi meliputi Rumah Sakit dan Puskesmas. (2) Pimpinan Fasilitas Pelayanan
Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menetapkan pelayanan kesehatan
tradisional yang akan diintegrasikan di Fasilitas Pelayanan Kesehatannya. Paragraf 2
Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Tradisional Integrasi pada Rumah Sakit
Pasal 9
(1) Penetapan Pelayanan Kesehatan Tradisional Integrasi pada Rumah Sakit
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dilakukan oleh kepala atau direktur Rumah Sakit
berdasarkan rekomendasi komite medik. (2) Rekomendasi Komite Medik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berisi: a. hasil kredensial terhadap staf medis dan tenaga
kesehatan tradisional yang akan melakukan Pelayanan Kesehatan Tradisional Integrasi;

11
b. jenis dan modalitas pelayanan kesehatan tradisional yang akan diintegrasikan; dan c.
area klinis/indikasi Pelayanan Kesehatan Tradisional Integrasi.
Pasal 10
(1) Penetapan Pelayanan Kesehatan Tradisional Integrasi oleh kepala atau direktur
Rumah Sakit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) meliputi: a. penetapan jenis
dan modalitas pelayanan kesehatan tradisional komplementer yang diintegrasikan; b.
penetapan standar prosedur operasional Pelayanan Kesehatan Tradisional Integrasi; c.
penetapan unit Pelayanan Kesehatan Tradisional Integrasi; d. pembentukan dan
penetapan tim yang akan memberikan pelayanan; dan e. penerbitan kewenangan klinik
tenaga kesehatan yang menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan Tradisional Integrasi.
(2) Unit Pelayanan Kesehatan Tradisional Integrasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf c merupakan tempat Pelayanan Kesehatan Tradisional Integrasi dapat berupa
unit tersendiri, instalasi rawat jalan, atau berada di bawah instalasi pelayanan kesehatan
lainnya. (3) Unit Pelayanan Kesehatan Tradisional Integrasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dipimpin dokter yang ditetapkan oleh kepala atau direktur Rumah Sakit.
Pasal 11
(1) Pelayanan Kesehatan Tradisional Integrasi pada Rumah Sakit dilakukan oleh tim
kesehatan tradisional integrasi. (2) Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas
mengidentifikasi masalah, menentukan langkah terapi selanjutnya, dan melakukan
evaluasi terhadap Pelayanan Kesehatan Tradisional Integrasi yang diberikan kepada
pasien. (3) Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bersifat ad hoc dan dipimpin oleh
dokter yang memahami pelayanan kesehatan tradisional komplementer. (4)
Keanggotaan tim sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit terdiri atas: a.
dokter yang memahami konsep pengobatan integratif sebagai koordinator (case
manager); b. tenaga kesehatan tradisional profesi; dan
Pasal 12
(1) Pelayanan Kesehatan Tradisional Integrasi pada Rumah Sakit dilakukan sesuai
dengan alur Pelayanan Kesehatan Tradisional Integrasi yang merupakan bagian dari
alur Pelayanan Kesehatan Konvensional. (2) Alur pelayanan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus tertuang dalam standar prosedur operasional yang ditetapkan oleh
kepala atau direktur Rumah Sakit. (3) Alur pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus mudah dilihat/diakses oleh pengguna dan/atau masyarakat. (4) Alur pelayanan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk memberikan pelayanan yang
aman dan bermutu.

12
Pasal 13
(1) Pelayanan Kesehatan Tradisional Integrasi pada Rumah Sakit dilaksanakan setelah
pasien melakukan pendaftaran berdasarkan alur Pelayanan Kesehatan Konvesional, dan
mendapatkan pemeriksaan dan diagnosis berdasarkan Pelayanan Kesehatan
Konvensional oleh Dokter Penanggung Jawab Pelayanan (DPJP). (2) Dokter
Penanggung Jawab Pelayanan (DPJP) yang melakukan pemeriksaan dan diagnosis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memberikan informasi kepada pasien
mengenai pelayanan kesehatan tradisional komplementer sebagai pelengkap
pengobatan/ perawatan yang akan diberikan. (3) Dalam hal pasien memberikan
persetujuan, pengobatan/perawatan selanjutnya dilakukan oleh tim dengan Dokter
Penanggung Jawab Pelayanan (DPJP) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap
sebagai penanggung jawab pasien. (4) Dalam hal pasien menolak, Dokter Penanggung
Jawab Pelayanan (DPJP) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus melanjutkan
pengobatan/perawatan dengan Pelayanan Kesehatan Konvensional. Paragraf 2
Penyelenggaraan Pelayanaan Kesehatan Tradisional Integrasi pada Puskesmas.
Pasal 14
(1) Penetapan Pelayanan Kesehatan Tradisional Integrasi pada Puskesmas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 dilakukan oleh kepala Puskesmas, setelah mendapatkan
rekomendasi dari tim yang dibentuk oleh kepala dinas kesehatan kabupaten/kota. (2)
Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit terdiri atas unsur dinas
kesehatan kabupaten/kota, organisasi profesi terkait, dan praktisi bidang terkait. (3)
Selain unsur dalam tim sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinas kesehatan
kabupaten/kota dapat melibatkan pakar bidang kesehatan tradisional komplementer
atau orang yang memiliki pengetahuan di bidang kesehatan tradisional. (4) Penetapan
kepala puskesmas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilaporkan kepada kepala
dinas kesehatan kabupaten/kota. (5) Penetapan kepala puskesmas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat: a. penetapan penyelenggaran Pelayanan
Kesehatan Tradisional Integrasi di Puskesmas; b. jenis dan modalitas pelayanan
kesehatan tradisional komplementer yang akan diintegrasikan; dan c. pembentukan dan
penetapan tim yang akan memberikan pelayanan.
Pasal 15
(1) Pelayanan Kesehatan Tradisional Integrasi pada Puskesmas dilakukan oleh tim
kesehatan tradisional integrasi. (2) Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas
mengidentifikasi masalah, menentukan langkah terapi selanjutnya, dan melakukan

13
evaluasi terhadap Pelayanan Kesehatan Tradisional Integrasi yang diberikan kepada
pasien. (3) Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bersifat ad hoc dan dipimpin oleh
dokter yang memahami pelayanan kesehatan tradisional komplementer. (4)
Keanggotaan tim sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit terdiri atas: a.
dokter yang memahami konsep pengobatan integratif sebagai koordinator (case
manager); dan b. tenaga kesehatan tradisional profesi. (5) Dalam hal tenaga kesehatan
tradisional profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b belum tersedia,
keanggotaan tim kesehatan tradisional integrasi dapat digantikan oleh tenaga kesehatan
tradisional vokasi.
Pasal 16
(1) Pelayanan Kesehatan Tradisional Integrasi pada Puskesmas dilakukan sesuai
dengan alur Pelayanan Kesehatan Tradisional Integrasi yang merupakan bagian dari
alur Pelayanan Kesehatan Konvensional. (2) Alur pelayanan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus tertuang dalam standar prosedur operasional yang ditetapkan oleh
kepala Puskesmas. (3) Alur pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
mudah dilihat/diakses oleh pengguna dan/atau masyarakat. (4) Alur pelayanan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk memberikan pelayanan yang
aman dan bermutu.
Pasal 17
(1) Pelayanan Kesehatan Tradisional Integrasi pada Puskesmas dilaksanakan setelah
pasien melakukan pendaftaran berdasarkan alur Pelayanan Kesehatan Konvensional,
dan mendapatkan pemeriksaan dan diagnosis berdasarkan Pelayanan Kesehatan
Konvensional oleh Dokter pemberi pelayanan kesehatan. (2) Dokter pemberi pelayanan
kesehatan yang melakukan pemeriksaan dan diagnosis sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat memberikan informasi kepada pasien mengenai pelayanan kesehatan
tradisional komplementer sebagai pelengkap pengobatan/ perawatan yang akan
diberikan. (3) Dalam hal pasien memberikan persetujuan, pelayanan kesehatan
selanjutnya dilakukan oleh tim Pelayanan Kesehatan Tradisional Integrasi. (4) Dalam
hal pasien menolak, Dokter pemberi pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) harus melanjutkan pelayanan kesehatan dengan Pelayanan Kesehatan
Konvensional.
PENCATATAN DAN PELAPORAN
Pasal 18

14
(1) Setiap tenaga kesehatan pemberi Pelayanan Kesehatan Tradisional Integrasi di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan harus melakukan pencatatan dan pelaporan secara
berkala kepada dinas kesehatan kabupaten/kota. (2) Pelaporan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) terintegrasi dengan sistem informasi kesehatan. (3) Pencatatan dan
pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan sistem
pelaporan yang berlaku di masing-masing Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 19
(1) Menteri, kepala dinas kesehatan provinsi, dan kepala dinas kesehatan
kabupaten/kota melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan
Pelayanan Kesehatan Tradisional Integrasi di Fasilitas Pelayanan Kesehatan sesuai
dengan tugas dan kewenangannya. (2) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk: a. mewujudkan Pelayanan Kesehatan
Tradisional Integrasi yang aman dan tidak bertentangan dengan norma yang berlaku;
dan b. memenuhi kebutuhan masyarakat akan Pelayanan Kesehatan Tradisional
Integrasi yang memenuhi persyaratan keamanan dan kemanfaatan.
Pasal 20
(1) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam. Pasal 19
ayat (1) dilaksanakan terhadap: a. tenaga kesehatan pemberi Pelayanan Kesehatan
Tradisional Integrasi; b. sarana dan prasarana, obat, alat, dan teknologi kesehatan
tradisional yang digunakan oleh tenaga kesehatan pemberi Pelayanan Kesehatan
Tradisional Integrasi; dan c. tindakan yang diberikan dalam Pelayanan Kesehatan
Tradisional Integrasi terhadap pasien. (2) Dalam rangka pengawasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) Menteri, kepala dinas kesehatan provinsi, dan kepala dinas
kabupaten/kota, dapat mengambil tindakan administratif terhadap Fasilitas Pelayanan
Kesehatan dan tenaga kesehatan yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan
Peraturan Menteri ini sesuai dengan kewenangan masingmasing. (3) Tindakan
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: a. teguran lisan; b.
teguran tertulis; c. penghentian sementara pelayanan kesehatan tradisional
komplementer; d. rekomendasi pencabutan STR; dan/atau e. pencabutan SIP.
Pasal 21
(1) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dilaksanakan melalui: a.
advokasi, sosialisasi, dan bimbingan teknis; dan b. monitoring dan evaluasi. (2)
Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pemberian bimbingan,

15
supervisi, konsultasi, penyuluhan kesehatan, pendidikan, dan pelatihan. (3) Dalam
melakukan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Menteri, kepala dinas
kesehatan provinsi, dan kepala dinas kesehatan kabupaten/kota dapat melibatkan
organisasi profesi.

16
LATIHAN SOAL SEBANYAK 10 BUTIR SOAL MULTIPLE CHOICE
1. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2017 Tentang…
a. Kelompok Kerja Nasional Kesehatan Tradisional, Alternatif Dan Komplementer
b. Izin Dan Penyelenggaraan Praktik Akupunktur Terapis
c. Pelayanan Kesehatan Tradisional Integrasi.
d. Kelompok Kerja Nasional Kesehatan Tradisional, Alternatif Dan Komplementer
2. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 299/MENKES/SK/VIII/2013
tentang….
a. Kelompok Kerja Nasional Kesehatan Tradisional, Alternatif Dan Komplementer
b. Kelompok Kerja Nasional Kesehatan Tradisional, Alternatif Dan Komplementer
c. Izin Dan Penyelenggaraan Praktik Akupunktur Terapis
d. Pelayanan Kesehatan Tradisional Integrasi.
3. Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dilaksanakan melalui:
a. teguran lisan
b. teguran tertulis
c. penghentian sementara pelayanan kesehatan tradisional komplementer
d. advokasi, sosialisasi, dan bimbingan teknis; dan monitoring evaluasi
4. Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dilaksanakan terhadap
a. tenaga kesehatan pemberi Pelayanan Kesehatan Tradisional Integrasi
b. Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1)
c. penghentian sementara pelayanan kesehatan tradisional komplementer
d. advokasi, sosialisasi, dan bimbingan teknis; dan monitoring evaluasi
5. Dalam rangka pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Menteri, kepala dinas
kesehatan provinsi, dan kepala dinas kabupaten/kota, dapat mengambil tindakan
a. administratif terhadap Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan tenaga kesehatan yang
melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Peraturan Menteri ini sesuai dengan
kewenangan masingmasing
b. advokasi, sosialisasi, dan bimbingan teknis
c. monitoring
d. evaluasi
6. Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa?
a. Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1)
b. penghentian sementara pelayanan kesehatan tradisional komplementer
c. advokasi, sosialisasi, dan bimbingan teknis; dan monitoring evaluasi

17
d. teguran lisan dan teguran tertulis
7. Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa
a. pemberian bimbingan, supervisi, konsultasi, penyuluhan kesehatan, pendidikan, dan
pelatihan
b. teguran lisan dan teguran tertulis
c. penghentian sementara pelayanan kesehatan tradisional komplementer
d. advokasi, sosialisasi, dan bimbingan teknis
8. Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk:
a. tenaga kesehatan pemberi Pelayanan Kesehatan Tradisional Integrasi
b. Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1)
c. mewujudkan Pelayanan Kesehatan Tradisional Integrasi yang aman dan tidak
bertentangan dengan norma yang berlaku
d. penghentian sementara pelayanan kesehatan tradisional komplementer
9. Penetapan Pelayanan Kesehatan Tradisional Integrasi pada Puskesmas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 dilakukan oleh
a. dokter
b. perawat
c. kepala puskesmas
d. d, masyarakat
10. sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap sebagai penanggung jawab pasien. (4) Dalam
hal pasien menolak, Dokter Penanggung Jawab Pelayanan (DPJP) sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus
a. melanjutkan pengobatan/perawatan dengan Pelayanan Kesehatan Konvensional.
Paragraf 2 Penyelenggaraan Pelayanaan Kesehatan Tradisional Integrasi pada
Puskesmas.
b. penghentian sementara pelayanan kesehatan tradisional komplementer
c. teguran lisan dan teguran tertulis
d. advokasi, sosialisasi, dan bimbingan teknis; dan monitoring evaluasi

18
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarakan pembahasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa
Komplementer adalah penggunaan terapi tradisional ke dalam pengobatan modern
(Andrews, 1999 dalam Widyatutui, 2006). Terapi komplementer juga ada yang
menyebutnya dengan pengobatan holistik, hal ini karena bentuk terapi yang dapat
mempengaruhi individu (pikiran, badan, dan jiwa dalam kesatuang fungsi).
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
299/MENKES/SK/VIII/2013 Tentang Kelompok Kerja Nasional Kesehatan Tradisional,
Alternatif Dan Komplementer.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2017 Tentang
Pelayanan Kesehatan Tradisional Integrasi.
B. Saran
Mengingat pentingnya legalitas hukum terapi komplementer dalam praktik kebidanan
dan makalah ini masih banyak kekurangan.
Maka dari itu saya mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak baik dosen
ataupun mahasiswa demi kesempurnaan makalah yang saya buat.

19
DAFTAR ISI
file:///C:/Users/ACER/Documents/Terapi%20komplementer/KMK%20No.%20299%20ttg
%20POKJANAS%20Kestrad,%20Alternatif,%20Komplementer.pdf
https://www.jurnal.stikes-aisyiyah.ac.id/index.php/gaster/article/view/84/79
file:///C:/Users/ACER/Downloads/84-164-1-SM.pdf
file:///C:/Users/ACER/Downloads/Permenkes%20Nomor%2037%20Tahun%202017.pdf
https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/111926/permenkes-no-24-tahun-2018

20

Anda mungkin juga menyukai