Anda di halaman 1dari 56

I.

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bawang merah merupakan komoditas hortikultura yang tergolong sayuran

rempah. Sayuran rempah ini banyak dibutuhkan terutama sebagai pelengkap

bumbu masakan guna menambah cita rasa dan kenikmatan makanan. Hampir

setiap masakan menggunakan bawang merah sebagai pelengkap bumbu

penyedapnya. Selain sebagai bumbu masak, bawang merah juga digunakan

sebagai obat tradisional yang banyak bermanfaat untuk kesehatan (Rahayu dan

Berlian, 2004). Sebagai bahan obat, bawang merah dapat menyembuhkan luka

luar maupun dalam, penyakit maag, masuk angin, menurunkan kadar gula dan

kolesterol (Samadi dan Bambang, 2005).

Pusat Data dan Informasi Pertanian (2014) menyebutkan bahwa, konsumsi

bawang merah dalam rumah tangga selama periode tahun 2002 - 2016 relatif

berfluktuasi namun cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.

Selama periode tahun 2002 – 2016, konsumsi bawang merah terbesar terjadi pada

tahun 2007 yang mencapai 3,014 kg/kapita/tahun, sedangkan konsumsi terendah

terjadi pada tahun 2013 sebesar 2,065 kg/kapita/tahun. Tahun 2015 besarnya

konsumsi bawang merah sekitar 0,441 kg/kapita/minggu atau 2,300

kg/kapita/tahun atau naik 0,04% dari tahun 2014. Dari data di atas dapat dilihat

bahwa budidaya bawang merah memiliki prospek pasar yang baik karena

kebutuhannya selalu meningkat setiap tahunnya.

Produksivitas bawang merah di Indonesia pada tahun 2010 masih tergolong

rendah yaitu dari luas lahan 109.634 ha produksinya hanya 1.048.934 ton, rata-

rata produksi per hektarnya yaitu 9,57 ton (Departemen Pertanian, 2012). Salah

1
satu penyebab rendahnya produksivitas bawang merah adalah ketersediaan benih

bermutu yang belum mencukupi secara tepat, baik waktu maupun jumlahnya

(Wiguna, 2013). Menurut Rubatzky dan Yamaguchi (1998), bawang merah

memiliki masa dormansi yang berlangsung 4 hingga 9 minggu, sehingga

umumnya dilakukan penyimpanan beberapa bulan sebelum ditanam. Maemunah

(2010) menyatakan bahwa kondisi dan lama penyimpanan berpengaruh terhadap

kualitas benih setelah ditanam di lapangan, berkaitan dengan habisnya masa

dormansi benih itu sendiri.

Hasil percobaan Soedomo (1992), umbi bawang merah yang telah disimpan

selama 3 bulan tanpa pemotongan ujung umbi, menghasilkan pertumbuhan dan

bobot hasil yang terbaik, dibandingkan dengan penyimpanan selama 1, 2, dan 4

bulan. Lama penyimpanan erat kaitanya dengan pecahnya masa dormansi dalam

waktu tertentu. Salah satu kegiatan yang ada di BALITSA adalah budidaya

produksi umbi benih bawang merah. Menurut Maemunah (2010), penggunaan

benih yang bermutu tinggi merupakan langkah awal peningkatan produksi.

Keterbatasan benih sumber yang dibutuhkan oleh petani menyebabkan petani

menanam benih apa adanya dengan mutu rendah, akibatnya kualitas dan produksi

umbi yang dihasilkan pun rendah.

B. Tujuan Praktik Kerja Lapangan


1. Mengetahui struktur organisasi dan kegiatan utama di Balai Penelitian

Tanaman Sayuran Lembang, Bandung.

2
2. Mengetahui teknik budidaya produksi umbi benih bawang merah di Balai

Penelitian Tanaman Sayuran Lembang, Bandung.


3. Mengetahui kendala yang dihadapi dalam produksi umbi benih bawang

merah di Balai Penelitian Tanaman Sayuran Lembang, Bandung.

C. Manfaat Praktik Kerja Lapangan

1. Mendapatkan pengetahuan tentang teknik produksi umbi benih bawang

merah yang dilakukan di Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Lembang,

Bandung.

2. Mendapatkan pengetahuan tentang kendala dan permasalahan dari produksi

umbi benih bawang merah serta cara mengatasinya.

3. Mendapatkan informasi tentang teknik pengujian kualitas umbi benih bawang

merah secara langsung oleh petani dan pembimbing PKL di lapangan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Sejarah Tanaman Bawang Merah

3
Di kawasan Eropa Barat dan Eropa Timur, diduga tanaman ini

dibudidayakan 1.000 tahun yang lalu, kemudian menyebar ke Amerika terutama

Amerika Serikat. Dalam penyebaran selanjutnya, bawang merah ini berkembang

sampai ke timur jauh dan Asia Selatan. Pada tahun 1975, Jepang memproduksi

bawang merah sebanyak 1 juta ton dari 30 ribu hektar, sehingga menjadi produsen

nomor dua di dunia. Bawang merah menjadi salah satu tanaman komersial di

berbagai negara di dunia antara lain Jepang, USA, Rumania, Italia, dan Meksiko

(Dewi, 2012). Wibowo (2005) menambahkan bahwa Eropa Barat dan Eropa

Timur terlambat dalam mengenal bawang merah. Ada yang menduga, sekitar abad

ke-8. dari belahan benua ini bawang merah mulai menyebar luas hingga daratan

Amerika, Asia Timur, dan Tenggara. Penyebaran ini berhubungan dengan

perburuan rempah-rempah oleh bangsa Eropa ke wilayah timur jauh, yang

kemudian sampai dengan pendudukan kolonial Belanda di Indonesia.

Di Indonesia, sentra budidaya dan juga sebagai daerah penyebaran bawang

merah adalah Tegal, Cirebon, Pekalongan, Wates, Brebes dan Solo.

Perkembangan selanjutnya, bwang merah menyebar luas dengan cukup pesat,

hampir diusahakan di seluruh propinsi di Indonesia kecuali Riau, DKI Jakarta,

Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur. Pada tahun 1991, luas panen bawang

merah menempati urutan ketiga dari 18 jenis sayuran komersial di Indonesia,

yakni setelah cabai dan kacang panjang (Rukmana, 1994).

B. Botani Tanaman Bawang Merah


1. Taksonomi

4
Menurut Rahayu dan Berlian (1999) tanaman bawang merah dapat

diklasifikasikan sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Divisio : Spermatophyta

Subdivisio : Angiospermae

Kelas : Monocotyledonae

Ordo : Liliales

Family : Liliacea

Genus : Allium

Spesies : Allium ascalonicum L.

Bawang merah tergolong genus Allium, yang mempunyai lebih dari 500

spesies. Namun, yang selama ini dikenal dan banyak dibudidayakan adalah

Allium cepa L. (bawang bombai), Allium sativum L. (bawang putih), Allium

ampeloprasum L. (bawang prei), Allium schoenoprasum L. (bawang Kucai), dan

Allium fistulosum L. (bawang bakung) (Samadi dan Bambang, 2005).

2. Morfologi

Bawang merah termasuk jenis tanaman semusim berumur pendek dan

berbentuk rumpun. Tinggi tanaman berkisar antara 15-25 cm, berbatang semu,

berakar serabut pendek yang berkembang di sekitar permukaan tana, sehingga

bawang merah tidak tahan terhadap kekeringan (Samadi dan Bambang, 2005).

Secara morfologis, bagian-bagian tanaman bawang merah terdiri dari akar, batang,

daun, bunga, buah dan biji.

5
Akar. Tanaman bawang merah berakar serabut dengan sistem perakaran

dangkal dan bercabang terpencar, pada kedalaman antara 15-20 cm di dalam

tanah. Jumlah perakaran tanaman bawang merah dapat mencapai 20-200 akar.

Diameter bervariasi antara 2-5 mm. Akar cabang tumbuh dan terbentuk antara 3-5

akar (AAK, 2004). Menurut Pitojo (2003) akar tanaman bawang merah terdiri

atas akar pokok (primary root) yang berfungsi sebagai tempat tumbuh akar

adventif (adventitious root) dan bulu akar yang berfungsi untuk menopang tubuh

tanaman serta menyerap air dan zat-zat hara dari dalam tanah.

Batang. Tanaman bawang merah batangnya berbentuk seperti cakram

(discus), beruas-ruas, dan diantara ruas-ruas terdapat kuncup-kuncup. Bagian

bawah cakram merupakan tempat tumbuh akar. Bagian atas batang sejati

merupakan batang semu, berupa umbi lapis (bulbus) yang berasal dari modifikasi

pangkal daun bawang merah. Pangkal dan sebagian tangkai daun menebal, lunak,

dan berdaging yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan makanan (Pitojo,

2003).

Daun. Tanaman bawang merah daunnya berbentuk silindris kecil

memanjang antara 50-70 cm, berlubang dan bagian ujungnya runcing, berwarna

hijau muda sampai tua, dan letak daun melekat pada tangkai yang ukurannya

relatif pendek (Dewi, 2012). Setelah tua daun menguning, tidak lagi setegak daun

yang masih muda dan akhirnya mengering dimulai dari bagian bawah tanaman.

Setelah kering dijemur, daun tanaman bawang merah melekat relatif kuat dengan

umbi sehingga memudahkan pengangkutan dan penyimpanan (Pitojo, 2003).


Bunga. Bunga bawang merah terdiri atas tangkai bunga dan tandan bunga.

Tangkai bunga berbentuk ramping, bulat, dan berukuran panjang lebih dari 50 cm.

6
Pangkal tangkai bunga bagian bawah agak menggelembung dan tangkai bagian

atas berukuran lebih kecil. Pada bagian ujung tangkai terdapat bagian yang

berbentuk kepala dan berujung agak runcing, yaitu tanda bunga yang masih

terbungkus seludang. Setelah seludang terbuka, secara bertahap tandan akan

tampak dan muncul kuncup-kuncup bunga dengan ukuran tangkai kurang dari 2

cm (Pitojo, 2003). Dewi (2012) menambahkan bahwa setiap ujung tangkai bunga

terdapat 50-200 kuntum bunga yang tersusun melingkar seolah berbentuk payung.

Tiap kuntum bunga terdiri atas satu putik dengan 5-6 helai daun bunga berwarna

putih atau kekuning-kuningan dan bakal buah berbentuk hampir segitiga.


Buah dan Biji. Bakal buah bawang merah tampak seperti kubah, terdiri atas

tiga ruang yang masing-masing memiliki dua bakal biji. Buah bawang merah

berbentuk bulat, di dalamnya terdapat biji yang berbentuk agak pipih dan

berukuran kecil. Pada waktu masih muda biji berwarna putih bening dan setelah

tua berwarna hitam (Pitojo, 2003).

3. Varietas Bawang Merah

Beberapa varietas bawang merah yang dominan diusahakan petani di

daerah-daerah sentra produksi maupun daerah pengembangan adalah varietas

Bima Brebes, Medan, Kling dan Maja Cipanas. Sedangkan varietas bawang merah

unggul lokal yang banyak diusahakan petani adalah Kuning, Kuning Gombong,

dan Sumenep (Putrasamedja dan Suwandi, 1996).

Varietas Bima Brebes. Varietas ini berasal dari daerah lokal Brebes. Umur

tanaman 60 hari setelah tanam. Tinggi tanaman 25-44 cm, banyak umbi 7-12 per

rumpun. Produksi umbi 9,9 ton/ha. Susut bobot umbi 21,5%. Cukup tahan

terhadap penyakit busuk umbi (Botrytis alli). Peka terhadap penyakit busuk ujung

7
daun (Phytophthora porri). Varietas ini baik dibudidayakaan di dataran rendah

(Putrasamedja dan Suwandi, 1996).

Varietas Medan. Varietas ini berasal dari lokal Samosir, umur panen adalah

70 hari. Tinggi tanaman berkisar antara 26,9-41,3 cm dengan jumlah umbi

berkisar antara 6-12 per rumpun. Umbi berbentuk bulat dengan ujung meruncing.

Warna umbi merah, produksi umbi kering 7,4 ton per hektar. Susut umbi 24,7%.

Cukup tahan terhadap penyakit busuk umbi (Botritis alli). Peka terhadap penyakit

busuk daun (Phytophthora porri). Varietas ini baik untuk dataran rendah dan

dataran tinggi (Putrasamedja dan Suwandi, 1996).

Varietas Keling. Varietas ini berasal dari lokal Maja, dipanen pada umur 70

hari setelah tanam. Tinggi tanaman berkisar antara 30,2-40,4 cm dengan

banyaknya umbi 7-13 per rumpun. Warna umbi merah muda. Produksi umbi 7,9

ton per hektar umbi kering. Susut bobot umbi 14,9%. Cukup tahan terhadap

penyakit busuk umbi (Botritis alli). Peka terhadap penyakit busuk ujung daun

(Phytophthora porri). Varietas ini baik diusahakan di dataran rendah

(Putrasamedja dan Suwandi, 1996).

Varietas Maja Cipanas. Varietas ini berasal dari lokal Cipanas, masa

panennya mencapai umur 60 hari setelah tanam. Tinggi tanaman berkisar antara

24,3-43,7 cm, dengan jumlah umbi 6-12 per rumpun. Bentuk umbi bulat dengan

warna merah tua. Produksi umbi kering 10.9 ton/ha dan susut bobot umbi 24,9%.

Cukup tahan terhadap busuk umbi (Botrytis alli). Peka terhadap penyakit busuk

ujung daun (Phytophthora porri). Varietas ini baik untuk dataran rendah dan

dataran tinggi (Putrasamedja dan Suwandi, 1996).

8
Varietas Kuning. Varietas ini telah lama dibudidayakan petani di daerah

Brebes, Jawa Tengah sebagai varietas lokal setempat. Umur tanaman mulai saat

tanam sampai panen berkisar antara 56-66 hari. Tinggi tanaman berkisar antara

33,7-36,9 cm. Produksi umbi berkisar antara 14,4-20 1 ton/ha, umbi berwarna

merah gelap dan susut bobot umbi 21,5-22,0%. Cukup tahan terhadap penyakit

busuk umbi (Botritis sp.) tetapi peka terhadap penyakit bercak ungu (Alternaria

porrii) maupun antraknose (Colletotrichum sp.). Varietas ini baik untuk

diusahakan di dataran rendah sampai dataran medium pada musim kemarau

(Putrasamedja dan Suwandi, 1996).

Varietas Kuning Gombong. Varietas ini berasal dari daerah Sidapurna,

Brebes, Jawa Tengah. Umur tanaman dari saat tanam sampai panen adalah 59-65

hari. Tinggi tanaman berkisar antara 36-45 cm, produksi umbi kering berkisar

antara 11,2-17,3 ton/ha kering dan susut bobot umbi dari basah ke kering 22,5%.

Bentuk umbi bulat lonjong dengan bagian leher agak besar, warna umbi merah

muda. Tahan terhadap penyakit busuk umbi (Botritis sp.), tetapi peka terhadap

penyakit bercak ungu (Alternaria porri) dan antraknose (Colletotrichum sp.).

Varietas ini cocok untuk ditanam di dataran rendah pada musim kemarau

(Putrasamedja dan Suwandi, 1996).

Varietas Sumenep. Varietas ini berasal dari kultivar lokal yang diduga

berasal dari daerah Sumenep, Madura. Umur tanaman sekitar 90 hari dan sedikit

bervariasi tergantung lokasi tempat penanaman di dataran rendah sampai dataran

tinggi. Rataan jumlah umbi di lapangan berkisar antara 7-14 setiap rumpun.

Bentuk umbi lonjong memanjang dan warna umbi merah pucat. Produksi umbi

9
kering berkisar antara 12,3-19,7 ton/ha dengan susut bobot umbi sekitar 23,5

persen. Tanaman bawang merah ini tahan terhadap penyakit Fusarium, bercak

ungu (Alternaria porri) dan antraknose (Colletotrichum spp.) dan cocok ditanam

di dataran rendah sampai dataran medium atau dataran tinggi (Putrasamedja dan

Suwandi, 1996).

C. Ekologi Tanaman Bawang Merah


Menurut Samadi dan Bambang (2005), tanaman bawang merah tidak dapat

tumbuh dan berproduksi dengan baik di sembarang tempat atau daerah. Tanaman

menuntut persyaratan-persyaratan tertentu, terutama persyaratan ekologi.

Kegagalan akan terjadi apabila budidaya yang dilakukan tidak memperhatikan

lingkungan yang sesuai dengan sifat tanaman.


1. Tanah

Tanaman bawang merah menyukai tanah yang subur, gembur dan banyak

mengandung bahan organik. Tanah yang gembur dan subur akan mendorong

perkembangan umbi sehingga hasilnya lebih maksimal. Jenis tanah yang paling

baik untuk bawang merah adalah tanah lempung berpasir atau lempung berdebu.

Jenis tanah ini mempunyai aerasi dan drainase yang baik karena mempunyai

perbandingan yang seimbang antara fraksi liat, pasir dan debu (Rahayu dan

Berlian, 1999). Dewi (2012) mengatakan bahwa tanaman bawang merah tumbuh

baik pada tanah yang subur, gembur dan banyak dan banyak mengandung bahan

organik dengan jenis tanah lempung berpasir atau lempung berdebu. Derajad

kemasaman tanah (pH) tanah antara 5,5-6,5, tata air dan tata udara dalam tanah

berjalan baik, tidak boleh tergenang.

2. Iklim

10
Di Indonesia bawang merah dapat ditanam di dataran rendah sampai

ketinggian 1000 m di atas permukaan laut. Ketinggian tempat yang optimal untuk

pertumbuhan dan perkembangan bawang merah adalah 0-450 m di atas

permukaan laut. Tanaman bawang merah masih dapat tumbuh dan berumbi di

dataran tinggi, tetapi umur tanamnya menjadi lebih panjang 0,5-1 bulan (Sutarya

dan Grubben 1995). Tanaman bawang merah lebih cocok tumbuh di daerah

beriklim kering. Tanaman bawang merah peka terhadap curah hujan yang tinggi,

serta cuaca berkabut. Tanaman ini membutuhkan penyinaran cahaya matahari

minimal 70%, suhu udara 25-32°C, dan kelembaban nisbi 50-70% (Nazaruddin,

1999). Menurut Samadi dan Bambang (2005), curah hujan yang sesuai untuk

pertumbuhan tanaman bawang merah adalah antara 300-2500 mm per tahun.

Tanaman bawang merah dapat membentuk umbi di daerah yang suhu

udaranya rata-rata 22°C, tetapi hasil umbinya tidak sebaik di daerah yang suhu

udara lebih panas. Bawang merah akan membentuk umbi lebih besar bilamana

ditanam di daerah dengan penyinaran lebih dari 12 jam. Oleh karena itu, tanaman

bawang merah lebih menyukai tumbuh di dataran rendah dengan iklim yang cerah

(Rismunandar 1986). Angin merupakan faktor iklim yang berpengaruh terhadap

pertumbuhan tanaman bawang merah. Sistem perakaran yang sangat dangkal,

maka angin kencang yang berhembus terus-menerus secara langsung dapat

merusak tanaman (Dewi, 2012).

D. Teknik Budidaya Produkssi Umbi Benih Bawang Merah

11
Berikut merupakan langkah-langkah dalam teknik produksi umbi benih

bawang merah:

1. Persiapan Media Tanam

Menurut Dewi (2012), pengolahan tanah dilakukan dengan tujuan untuk

menciptakan lapisan tanah yang gembur, memperbaiki drainase dan aerasi tanah,

meratakan permukaan tanah, dan mengendalikan gulma. Samadi dan Bambang

(2005), pengolahan tanah dilakukan dengan cara dibajak atau dicangkul pada

kedalaman 15 cm, kemudian dibuat bedengan selebar 80-100 cm, tinggi 20-30

cm, jarak antar bedengan 25-30 cm sebagai jalan. Panjang bedengan disesuaikan

dengan kondisi lahan. Apabila pH tanah kurang dari 5,6 diberi dolomit dengan

dosis 1,5 ton/ha, disebarkan di atas bedengan dan diaduk rata dengan tanah lalu

biarkan 2 minggu. Menurut Hidayat (2004), pemberian pupuk dasar dilakukan

setelah pengolahan tanah. Pupuk dasar yang digunakan adalah pupuk organik

yang sudah matang seperti pupuk kandang sapi dengan dosis 10-20 ton/ha atau

pupuk kandang ayam dengan dosis 5-6 ton/ha, atau pupuk kompos dengan dosis

4-5 ton/ha. Pemberian pupuk organik tersebut untuk memelihara dan

meningkatkan produktivitas lahan.

2. Umbi Benih

Umbi yang baik untuk benih berukuran sedang 5-10 g. Penampilan umbi

benih harus segar dan sehat, bernas, padat, tidak keriput, dan warnanya cerah.

Umbi benih sudah siap ditanam apabila telah disimpan selama 2 – 4 bulan sejak

panen, dan tunasnya sudah sampai ke ujung umbi. Cara penyimpanan umbi yang

12
baik adalah disimpan dalam bentuk ikatan di atas para-para dapur atau disimpan

di gudang khusus dengan pengasapan (Nazaruddin, 1999).

Sebelum ditanam, kulit luar umbi benih yang mengering dibersihkan. Umbi

benih yang umur simpannya kurang dari 2 bulan biasanya dilakukan pemotongan

ujung umbi, kurang lebih ¼ bagian dari seluruh umbi. Tujuannya untuk

mempercepat pertumbuhan tunas (Hidayat, 2004). Banyaknya umbi benih yang

diperlukan dapat diperhitungkan berdasarkan jarak tanam dan bobot umbi benih.

Kebutuhan umbi benih untuk setiap hektarnya berkisar antara 600 – 1200 kg

(Sutarya dan Grubben 1995).

3. Penanaman

Cara penanaman bawang merah unuk umbi benih sama dengan penanaman

untuk konsumsi. Akan tetapi, jarak tanam yang digunakan lebih rapat, yaitu 10 cm

x 10 cm. Penanaman dengan jarak tanam tersebut akan menghasilkan lebih

banyak umbi yang berukuran sedang dan hasil umbi per satuan luas lebih banyak

(Rahayu dan Berlian, 2004). Penanaman dilakukan dengan cara, umbi benih

direndam dulu dalam larutan fipronil + air (dosis 5 ml/1lt air) minimal 15 menit,

kemudian disimpan selama 2 hari sebelum tanam. Saat ditanam, seluruh bagian

umbi benih yang telah siap tanam dibenamkan ke dalam permukaan tanah, tiap

lubang ditanam satu umbi benih. Umbi benih bawang merah dimasukan ke dalam

lubang yang sebelumnya dibuat dengan tugal. Penanaman diusahakan jangan

terlalu dalam karena umbi mudah busuk. Setelah proses penanaman selesai

dilakukan penyiraman (Dewi, 2012).

4. Pemeliharaan

13
Pemeliharaan tanaman dilakukan dengan tindakan-tindakan untuk menjaga

pertumbuhan tanaman. Kegiatan-kegiatan pemeliharaan yang dilakukan adalah

penyiraman, penyulaman, pemupukan, penyiangan, pengendalian hama dan

penyakit.

Penyiraman. Pada musim kemarau tanaman bawang merah membutuhkan

penyiraman yang cukup, biasanya satu kali sehari pagi atau sore sejak tanam

sampai menjelang panen. Penyiraman yang dilakukan pada musim hujan

umumnya hanya ditujukan untuk membilas daun tanaman, yaitu untuk

menghilangkan percikan tanah yang menempel pada daun bawang merah (Dewi,

2012).

Penyulaman. Penyulaman dilakukan pada benih yang mati/busuk umur 7 hari

setelah tanam, dengan cara menggantinya dengan umbi benih baru. Hal ini

dilakukan agar produksi dari suatu lahan tetap maksimal walau akan mengurangi

keseragaman umur tanaman (Dewi, 2012).

Pemupukan. Pemupukan susulan yang dilakukan dalam produksi umbi benih

menggunakan pupuk tunggal Urea atau ZA, SP-36 dan KCl yang rendah, pupuk N

95 kg/ha, P2O5 46 kg/ha dan K2O 60 kg/ha. Masing-masing diberikan tiga kali

pada umur 15, 30 dan 45 hari setelah tanam dengan dosis 1/3 dari dosis yang telah

ditentukan (Sumarni, 2012). Kelebihan nitrogen menyebabkan ukuran umbi

menjadi besar dan kandungan air tinggi, namun kurang bernas dan mudah

keropos (Pitojo, 2003).

Penyiangan dan Pembumbunan. Penyiangan pertama dilakukan umur 7-10

hari setelah tanam secara teratur satu minggu sekali. Penyiangan dilakukan

14
dengan cara mekanik untuk membuang gulma atau tumbuhan liar. Pembumbun

dilakukan agar perakaran bawang merah selalu tertutup tanah. Selain itu bedengan

yang rusak atau longsor perlu dirapikan kembali dengan cara memperkuat tepi-

tepi selokan dengan lumpur dari dasar saluran (Rahayu dan Berlian, 2004).

Pengendalian hama dan penyakit. Masalah terpenting dalam budidaya

bawang merah adalah hama dan penyakit. Hama dan penyakit menyerang mulai

dari akar, umbi, batang dan daun. Tidak hanya menyerang di kebun, beberapa

hama dan penyakit juga menyerang di tempat penyimpanan. Penyakit yang harus

diwaspadai pada awal pertumbuhan adalah penyakit layu Fusarium dan penyakit

Trotol (Perenospora destructor), sedangkan hama yang sering menyerang

tanaman bawang merah antara lain ulat bawang (Spodoptera exigua Hbn.), ulat

tanah (Agrotis ipsilon) dan hama putih atau trips (Thrips tabaci).

Fusarium. Gejala penyakit fusarium ditandai dengan menguningnya daun

bawang, daun layu dengan cepat, daun terpelintir dan pangkal batang

membusuk. Tanaman yang terserang dicabut lalu dibuang atau dibakar di

tempat yang jauh (Dewi, 2012). Selain penyakit layu Fusarium, salah satu

penyakit yang paling berbahaya bagi bawang merah adalah cendawan

Perenospora destructor, yang menyebabkan penyakit embun upas yang

sering juga disebut penyakit blorok atau trotol. Cendawan ini biasanya

menyerang dengan hebat jika pada waktu suhu panas pada musim kemarau

tiba-tiba turun hujan. Sebenarnya penyakit ini sulit untuk dikendaliakan,

namun jika belum terlambat dapat dikendalikan dengan penyemprotan

Dithane M-45 0,2% (Wibowo, 2005). Dewi (2012) menambahkan,

15
Pengendalian penyakit fusarium dapat menggunakan fungisida efektif,

contohnya Antracol 70WP dan Daconil 70WP.

Ulat Bawang. Menurut Rauf (1999) gejala serangan yang ditimbulkan

oleh ulat bawang adalah dengan adanya lubang – lubang pada daun, mulai

dari tepi daun permukaan atas atau bawah. Serangan tertinggi biasanya terjadi

pada umur 5 – 8 minggu setelah tanam (Korlina, 1999). Pengendalian ulat

bawang dapat dilakukukan secara fisik atau mekanik. Caranya dengan

mengumpulkan kelompok telur dan larva pada saat tanaman bawang merah

berumur 7 – 35 hari kemudian dimusnahkan, memasang lampu perangkap

dan pemasangan perangkap feromonoid seks untuk ngengat. Selain itu,

pengendalian ulat bawang dapat menggunakan bahan kimia insektisida yang

berbahan aktif sipermetrin deltametrin, beta siflutrin, profenofos, dan

spinosad (Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura, 2008).

Ulat Tanah. Ulat tanah (Agrotis ipsilon) menyebabkan daun tanaman

muda menjadi terpotong karena ulat memotong daun satu demi satu sehingga

tanaman menjadi rebah. Gejala dapat terlihat pada pangkal daun bawang

merah yang menunjukkan bekas gigitan ulat, pangkal daun terpotong

sehingga rebah, rusak dan bercereran. Larva pada siang hari berada di dalam

tanah, sedangkan pada malam hari menyerang tanaman (Sasmito, 2010).

Menurut Wibowo (2005), Pengendalian dengan insektisida tanah formulasi

WP, SP, atau G (granular) dengan cara pencelupan bibit (rizoma) dan ditanam

didalam lubang atau disebar dengan bahan aktif insektisida yang dianjurkan

terhadap hama sasaran yang bersifat selektif dan aman.

16
Hama Putih atau Trips. Thrips tabaci dapat menyerang tanaman bawang

merah sejak fase pertumbuhan vegetatif (11–35 hari setelah tanam) sampai

dengan fase pematangan umbi (51–65 hari setelah tanam). Serangan berat

dapat mengakibatkan umbi saat panen kecil dengn kualitas rendah. Trips

dapat dijumpai pada umbi saat panen, sehingga dapat terbawa ke tempat

penyimpanan dan dapat merusak bagian lembaga umbi bawang merah

(Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura, 2008). Gejala yang

disebabkan trips yaitu terdapat noda pada daun yang berwarna putih

mengkilat seperti perak, seluruh daun brwarna putih jika sudah parah, dan

umbi berukuran kecil (Sasmito, 2010). Pengendalian trips antara lain dengan

cara penyiraman tanaman bawang yang terserang pada siang hari untuk

menurunkan suhu disekitar pertanaman dan menghilangkan nimfa,

penggunaan mulsa plastik, penggunaan perangkap, menanam tanaman

penghalang contohnya jagung. Pengendalian biologi menggunakan

pemanfaatan musuh alami seperti predator Coccinella sp., patogen serangga

Beauveria bassiana, Aspergillus sp. Penggunaan bahan kimia menggunakan

pestisida yang berbahan aktif kartap hidroklorida, contohnya Kardan 50 SP

dan Padan 50 SP (Direktorat Perlindungan tanaman Hortikultura, 2008).

5. Panen

Pemanenan bawang merah yang dibudidayakan untuk keperluan

penangkaran benih dapat dilakukan setelah tanaman bawang merah cukup tua.

Umur panen antara 60-90 hari, tergantung pada varietas bawang merah yang

ditanam. Adapun tanda-tanda yang dapat dilihat dari tanaman yang sudah tua

17
adalah sebagian besar daun menguning, layu dan kering. Tanda lain yang dapat

dilihat adalah batang tanaman tampak lemah, umbi tampak padat dan sebagian

umbi berada di atas permukaan tanah (Pitojo, 2003).

6. Penyimpanan
Proses penyimpanan dalam produksi umbi benih bawang merah bertujuan

untuk mematahkan masa dormansi umbi hasil panen. Menurut Rubatzky dan

Yamaguchi (1998), bawang merah memiliki masa dormansi yang berlangsung 4

hingga 9 minggu, sehingga umumnya dilakukan penyimpanan beberapa bulan

sebelum ditanam. Penyimpanan umbi benih bawang merah dapat dilakukan

dengan beberapa cara diantaranya dengan cara tradisional di atas tungku dapur,

penyimpanan dengan suhu rendah dan penyimpanan di gudang khussus

penyimpanan (Samadi dan Bambang, 2005). Pada umumnya petani menggunakan

cara tradisional untuk menyimpan umbi bawang merah yang telah kering.

Caranya dengan menggantungkan umbi-umbi tersebut pada para-para yang berada

di atas tungku dapur tempat menanak nasi, supaya mendapatkan asap udara

kering. Umbi bawang merah yang disimpan dengan cara ini dapat disimpan

sampai 6 bulan tanpa mengalami serangan penyakit busuk umbi (Samadi dan

Bambang, 2005).
Mempertahankan mutu dan memperpanjang umur simpan umbi bawang

merah, dapat menggunakan teknik penyimpanan dengan pengaturan suhu dan

kelembaban pada tempat penyimpanan. Penyimpanan pada suhu rendah dapat

memperlambat proses metabolisme sehingga akan memperpanjang umur simpan,

mengurangi kehilangan air, kerusakan karena aktifita mikroba dan pertumbuhan

yang tidak dikehendaki. Penyimpanan umbi bawang merah pada suhu rendah (0-

18
7.5°C) dan suhu tinggi (25-30°C) dengan RH lingkungan 65-80% dapat menunda

pertunasan bawang merah (Soedomo, 2006).


Penyimpanan umbi benih juga dapat dilakukan pada gudang khusus

penyimpanan. Gudang penyimpanan benih bawang merah harus memenuhi

persyaratan sebagai berikut: kering, memiliki aerasi yang baik, dan terbuka.

Sebelum disimpan, sebaiknya umbi bawang merah disemprot dengan pestisida

untuk menghindari gangguan hama dan penyakit di dalam gudang penyimpanan.

Bawang merah digantung atau diletakkan di atas para-para yang disusun rapih

sehingga memudahkan pemeliharaan. Penyimpanan dan perawatan calon umbi

bawang merah di dalam gudang penyimpanan berlangsung selama 2-4 bulan.

Selama berada di dalam gudang penyimpanan tersebut calon benih harus terus

dipelihara (Pitojo, 2003).

III. METODE PRAKTIK KERJA LAPANGAN


A. Waktu dan Tempat

Praktik Kerja Lapangan dilaksanakan selama 25 hari kerja. Pelaksanaan

mulai dari bulan Juli sampai dengan bulan Agustus 2015. Tempat pelaksanaan

Praktik Kerja Lapangan di Balai Penelitian Tanaman Sayuran Lembang, Bandung.

B. Materi Praktik Kerja Lapangan

19
Materi yang dikaji dalam Praktik Kerja Lapangan meliputi berbagai hal

yang berkaitan dengan teknik produksi umbi benih bawang merah di Balai

Penelitian Tanaman Sayuran Lembang, Bandung. Materi diperoleh dengan

menggunakan metode pelaksanaan Praktik Kerja Lapangan. Materi yang telah

didapat digunakan sebagai bahan pembahasan dalam laporan Praktik Kerja

Lapangan.

C. Metode Pelaksanaan Praktik Kerja Lapangan


Metode yang digunakan adalah metode observasi dan praktik lapangan

untuk memperoleh data dan informasi yang berhubungan dengan teknik produksi

umbi benih bawang merah. Pengambilan data primer melalui pengamatan, praktik

langsung, dan wawancara dengan staff atau petugas lain yang turut dalam proses

budidaya. Data sekunder diambil dari arsip atau dokumen yang ada kaitannya

dengan produksi umbi benih bawang merah di Balai Penelitian Tanaman Sayuran

Lembang, Bandung. Studi pustaka dilakukan guna mendukung laporan Praktik

Kerja Lapangan ini.

20
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Profil Balai Penelitian Tanaman Sayur

1. Sejarah
Balai Penelitian Tanaman Sayuran (BALITSA) berdiri pada tahun 1940 di

bawah naungan Balai Penelitian Teknologi Pertanian Bogor. Kegiatan penelitian

mulai dilaksanakan pada tahun 1940 sampai tahun 1942 di Kebun Percobaan

Margahayu Lembang. Tahun 1962 Kebun Percobaan Margahayu Lembang

dialihkan di bawah Lembaga Penelitian Hortikultura yang berkedudukan di Pasar

Minggu Jakarta Selatan. Kebun Percobaan berganti nama menjadi Lembaga

21
Penelitian Hortikulura Cabang Lembang pada tahun 1968. Lembaga tersebut

mulai tahun 1973 memiliki tenaga peneliti di bidang pemuliaan tanaman, sosial

ekonomi, agronomi, hama penyakit dan pasca panen.


Lembaga Penelitian Hortikulura Cabang Lembang berganti nama menjadi

Balai Penelitian Tanaman Pangan pada tahun 1980. Sejak dikeluarkannya

Keputusan Menteri Pertanian No. 861/kpts/org/12/1982 pada tahun 1982, status

lembaga diubah menjadi Balai Penelitian Hortikultura (BPH) Lembang. Tanggal

1 April 1995, menyusul terjadinya reorganisasi di Balai Penelitian dan

Pengembangan Pertanian, terutama menyangkut tugas Balai serta Keputusan

Menteri Pertanian RI No. 796/kpts/ot.210/12/1994, Balai Penelitian Hortikultura

Lembang kembali berganti nama menjadi Balai Penelitian Tanaman Sayuran

Lembang. Saat ini kedudukan Balitsa Lembang bernaung di bawah Kementerian

Pertanian Republik.
2. Kondisi Wilayah

Letak Geografis. BALITSA Lembang terletak 1.250 meter di atas

permukaan laut. Letak geografis BALITSA berada pada 107,30º BT dan 6,30º LS,

memiliki areal seluas ±40 hektar yang terletak di Jl. Tangkuban Parahu No. 517

desa Cikole, kecamatan Lembang, kabupaten Bandung Barat Propinsi Jawa Barat.

Batas wilayah BALITSA sebagai berikut:

Timur : berbatasan dengan jalan raya Lembang-Subang.


Selatan : berbatasan dengan lahan petani Cibogo.
Barat : berbatasan dengan sungai kecil kampung Cibedug.
Utara : berbatasan dengan jalan Cibedug-Cikole.

Topografi. Keadaan Topografi BALITSA memiliki tipe tanah Andisol yang

berasal dari abu vulkanik Gunung Tangkuban Parahu, dengan struktur tanah

remah dan gembur. Tekstur tanah berupa debu, lempung berdebu dan lempung.

22
Warna tanah di lahan Balitsa adalah hitam, abu-abu dan coklat dengan pH tanah

sebesar 5,5-6. Lokasi ini mempunyai suhu 19-24oC dengan curah hujan 2.207

mm/tahun, sedangkan kelembaban udara berkisar antara 70-90%.

3. Visi dan Misi


Visi dan Misi dari Balai Penelitian Tanaman Sayuran Lembang (BALITSA)

pada tahun 2015 adalah sebagai berikut : Visi. Menjadi lembaga penelitian

sayuran berkelas dunia pada tahun 2015 yang menghasilkan dan mengembangkan

inovasi teknologi sayuran untuk mewujudkan industrial yang memanfaatkan

sumber daya lokal untuk meningkatkan kemandirian pangan, nilai tambah, ekspor,

dan kesejahteraan petani. Misi. (1) Merakit, menghasilkan dan mengembangkan

teknologi inovasi sayuran yang secara ilmiah dan teknis dapat meningkatkan

produktivitas, daya saing dan nilai tambah, serta sesuai dengan kebutuhan

pengguna. (2) Meningkatkan diseminasi teknologi dalam mendukung

pengembangan kawasan hortikultura. (3) Meningkatkan kompetensi sumber

daya manusia, sarana dan prasarana dalam pelayanan terhadap pengguna

teknologi inovasi yang efektif dan efisien. (4) Menjalin jejaring kerjasama dalam

negeri dan luar negeri dalam membangun kemitraan untuk membangun dan

memecahkan masalah rawan pangan dan gizi komunitas dunia.


4. Tujuan
BALITSA mempunyai tugas pokok sesuai dengan keputusan menteri

Pertanian RI (Kep. Mentan No.74/Kpts/OT.210/1/2002) untuk melaksanakan

Penelitian Sayuran. Dalam melaksanakan tugas, BALITSA memiliki 6 tujuan

utama. Tujuan untuk melaksanakan penelitian genetika, pemuliaan, pembenihan

dan pemanfaatan plasma nuftah tanaman sayuran. Melaksanakan penelitian

morfologi, ekologi, entomologi dan fitopatologi tanaman sayuran. Melaksanakan

23
penelitian komponen teknologi sistem dan usaha agribisnis tanaman sayuran.

Memberikan pelayanan teknik kegiatan penelitian tanaman sayuran. (5)

Menyiapkan kerjasama, informasi dan dokumentasi serta penyebarluasan dan

pendayagunaan hasil penelitian tanaman sayuran. (6) Melaksanakan urusan tata

usaha dan rumah tangga.


5. Struktur Organisasi
Struktur Organisasi BALITSA merupakan susunan kepengurusan yang

dipimpin oleh seorang kepala balai. Tugas kepala balai adalah membawahi

seluruh pegawai dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan kegiatan

penelitian balai. Susunan atau struktur organisasi BALITSA secara umum dibagi

ke dalam beberapa divisi seperti seksi jasa penelitian, seksi tata usaha, seksi

pelayanan publik dan kelompok peneliti spesifik bidang. Adapun struktur

organisasinya sebagai berikut:


Kepala Balai
Kepala Balai
Ka. Sub Tata Usaha
Ka. Sub Tata Usaha
Seksi Jasa Penelitian
Seksi Jasa Penelitian

KepegawaianRumah TanggaKeuangan
Rumah TanggaKeuangan
Kepegawaian

Seksi Pelayanan Teknik


Kerjasama Seksi Pelayanan Teknik
Kerjasama Diseminasi IT dan Pustaka
Diseminasi IT dan Pustaka

Kebun
Kebun UPBS Laboratorium
UPBS Laboratorium

Kelompok Kelompok Peneliti, Ekofisiologi


Kelompok Peneliti, Hama dandan
Penyakit
KelompokPeneliti,
Peneliti,Pemuliaan,
Pemuliaan,&
&Plasma
PlasmaNutfah
Kelompok Peneliti, Ekofisiologi
Nutfah Kelompok Peneliti, Hama Penyakit
24
Gambar 1. Struktur Organisasi BALITSA.

Keterangan Struktur Organisasi

Kepala Balai : Dr. Liferdi, S.P., M.Si.


Ka. Sub Tata Usaha : Mastur, S.P.
Kepegawaian : Sugyartini, A.Md.
Rumah Tangga : Gunawan
Keuangan : Wida Rahayu, S.E.
Seksi Jasa Penelitian : Drs. Luthfy
Kerjasama : Hadis Jayanti, S.P., M.P.
Diseminasi IT : Ir. Tonny Koestoni Moekasan
Pustaka : Suaibatul Aslamiah, B.Sc.
Seksi Pelayanan Teknik : Rinda Kirana, S.P., M.P.
Kebun : Subarlan
UPBS : Rinda Kirana, S.P., M.P.
Laboratorium : Imas Suraya Dewi
Kelti Pemuliaan, & Plasma Nutfah : Kusmana, S.P.
Kelti Ekofisiologi : Dr. Nikardi Gunadi, M.S.
Kelti Hama dan Penyakit : Dr. Laksminiwati Prabaningrum, M.S.

6. Jumlah Staff dan Kualifikasi Staff

Sumber daya manusia yang ada di BALITSA terdiri atas Struktural yang

berjumlah 4 Orang, peneliti yang terdiri dari S1 = 42 orang; S2 = 15 orang; S3=

25
10 orang, teknisi = 40 orang dan administrasi = 85 orang. BALITSA Lembang

dipimpin oleh seorang Kepala dan terdiri dari Sub Bagian Tata Usaha, Seksi Jasa

Penelitian, Seksi Pelayanan Teknik, dan Kelompok Jabatan Fungsional. Setiap sub

bagian memiliki tugas pokok masing-masing.

Sub bagian Tata Usaha adalah bagian yang melaksanakan urusan tata usaha

dan rumah tangga. Tugas pokok sub bagian tata usaha yaitu memberikan

pelayanan tekhnis dan administrasi. Pelayanan tersebut diberikan kepada semua

satuan unit dibidang ketatausahaan meliputi perencanaan, pelaporan,

kepegawaian, keuangan rumah tangga, perlengkapan serta peralatan kantor.

Seksi Jasa Penelitian adalah bagian yang mempunyai tugas melakukan bahan

penyiapan kerjasama, informasi dan dokumentasi serta penyebarluasan dan

pendayagunaan hasil penelitian tanaman sayuran. Konsumen benih yang

diproduksi oleh BALITSA yaitu BPTP, Dinas Pertanian, perusahaan untuk

dipasarkan, serta perorangan untuk penelitian. Benih yang dihasilkan oleh

BALITSA tidak dijual semuanya, tetapi disisakan sebagian untuk produksi tahun

berikutnya dan untuk dikembangkan atau diteliti. Benih yang dipasarkan oleh

Balitsa tidak memiliki kriteria tertentu, benih tersebut langsung bisa dipasarkan

apabila telah lolos standar dan sertifikasi dari BPSB. Selain itu, seksi Jasa

Penelitian juga membawahi bagian Pranata Komputer dan Pustakawan. Pranata

komputer bertugas mengurusi bagian ilmu teknologi dan juga sistem

komputerisasi di BALITSA. Pustakawan mengurus bagian perpustakaan

mengenai buku-buku yang ada di BALITSA dan juga mengurus tentang

peminjaman buku serta mendata para pengunjung yang datang ke perpustakaan

26
untuk kebutuhan membaca. Perpustakaan BALITSA sendiri sudah memiliki

banyak koleksi buku, jurnal, serta laporan-laporan hasil penelitian.

Seksi Pelayanan Teknis adalah bagian yang memberikan pelayanan teknis

pada penelitian tanaman sayuran. Pelayanan Teknis terdiri dari kebun,

laboratorium, dan juga UPBS. Laboratorium terdiri dari : Entomologi dan

Fitopatologi, Virologi, Kultur Jaringan, Benih, Fisiologi Hasil, Ekofisiologi.

Balitsa memiliki 3 kebun percobaan yang terletak di Lembang (±1.250 m dpl)

seluas 40,5 ha, Subang (±100 m dpl) seluas 109,7 ha dan Berastagi (±1.340 m dpl)

seluas 25 ha.

Kelompok Jabatan fungsional adalah bagian yang melaksanakan kegiatan

fungsional yang dilakukan di BALITSA berupa kegiatan penelitian yang

didukung oleh kelompok peneliti pemuliaan dan plasma nutfah, hama dan

penyakit, ekofisiologi dan pasca panen. Fasilitas penunjang utama yang tersedia

yaitu kebun percobaan seluas 50 hektar, laboratorium, rumah kasa atau kaca,

gudang tempat penyimpanan benih dan ruangan lainnya.

Kegiatan yang dilakukan di BALITSA meliputi kegiatan penelitian yang

menyangkut permasalahan-permasalahan dalam bercocok tanam tanaman sayur.

Hasil penelitian tersebut nantinya akan disosialisasikan kepada petani sayur yang

ada di seluruh Indonesia. Kegiatan penelitian tersebut meliputi Kegiatan Peneliti

Pemuliaan dan Plasma Nutfah, Kegiatan Peneliti Hama dan Penyakit, Kegiatan

Peneliti Ekofisiologi dan Kegiatan Peneliti Pascapanen.

Kegiatan Peneliti Pemuliaan dan Plasma Nutfah adalah kegiatan yang

dilakukan oleh kelompok peneliti pemuliaan dan plasma nutfah. Melakukan

27
perbaikan tanaman yang merupakan salah satu upaya peningkatan produksi dan

keberlanjutannya usahatani daerah. Balitsa berusaha meminimalkan kendala

biotik dan abiotik yang berpengaruh terhadap kuantitas dan kualitas hasil melalui

pendekatan konvensional dan bioteknologi. Balitsa merupakan balai penelitian

yang memproduksi berbagai varietas benih sayuran. Salah satu lembaga yang

bertugas untuk mendayagunakan hasil penelitian tanaman sayuran adalah Unit

Produksi Benih Sumber (UPBS). UPBS berfungsi untuk memproduksi dan

menyediakan benih sumber. Beberapa benih sayuran yang diproduksi oleh Balitsa

yaitu bawang merah, cabai, caisin, kangkung, bayam, kentang, buncis dan lain-

lain.

Kegiatan Peneliti Hama dan Penyakit. Kelompok ini menekankan pada suatu

teknik pengendalian hama dan penyakit yang menerapkan suatu kombinasi dari

strategi yang bersandar pada faktor penyebab kematian alami dan strategi

penggunaan pestisida.

Kegiatan Peneliti Ekofisiologi. Kelompok ini merupakan gabungan antara

agronomi dan sosial ekonomi pertanian. Kegiatannya yaitu merancang suatu paket

teknologi untuk menanggulangi masalah yang ada dalam budidaya antara lain

budidaya sayuran di luar musim, budidaya kentang dataran medium, budidaya di

lahan marginal dan pemupukan berimbang. Peneliti Ekofisiologi melaksanakan

pula penelitian mengenai sosial ekonomi pertanian.

Kegiatan Peneliti Pascapanen. Penanganan pascapanen merupakan rantai

terakhir yang dapat memberikan intensif terhadap peningkatan kuantitas hasil dan

nilai tambah komoditas sayuran. Kegiatan yang dilakukan antara lain penanganan

28
tanaman segar serta mendapatkan hasil olahan yang bermutu, teknik pengendalian

berbagai komoditas sayuran, penyimpanan kentang di ruang terang dan teknik

penyimpanan umbi bawang merah untuk memperlambat pertunasan.

7. Komoditas

Komoditas utama/unggulan. Komoditas utama yang diproduksi dan

dibudidayakan di Balai Penelitian Tanaman Sayuran antara lain : 1) Kentang,

varietas tanaman kentang yang diproduksi dan dibudidayakan di BALITSA antara

lain Margahayu, GM 05, Pink 06, GM 08, Tanggo, Granola, Amudra, Manohara,

Merbabu 17, Repita, Krespo, dan Balsa. 2) Cabai merah, varietas tanaman cabai

merah yang diproduksi dan dibudidayakan di BALITSA antara lain varietas

Lembang 1, Lembang 2, Tanjung 1 dan Tanjung 2, Lingga, Kencana, Ciko.

3) Bawang Merah, varietas tanaman bawang merah yang diproduksi dan

dibudidayakan di BALITSAantara lain Pikatan, Trisula, Pancasona, Mentes,

Kramat 1, Kramat 2, Kuning, Sembrani, Ajiba 1 dan Katumi.

Komoditas Potensial. Komodiitas potensial yang diproduksi dan

dibudidayakan di Balai Penelitian Tanaman Sayuran antara lain : 1) Kubis,

varietas tanaman kubis belum ada yang diproduksi dari Balai Penelitian Tanaman

Sayuran, namun untuk budidaya umumnya digunakan antara lain Green cup,

Mammoth Red Rock. 2) Tomat, varietas tanaman tomat yang diproduksi dan

dibudidayakan di BALITSA antara lain Tosca, Ruby, Topaz, Mirah, Opal dan

Zamrud. 3) Buncis, varietas tanaman buncis yang diproduksi dan dibudidayakan

di BALITSA antara lain Horti 1, Horti 2, Horti 3, Balitsa 1, Balitsa 2, Balitsa 3,

Flo, Monel, Rich Green dan Dowel. 4) Kacang Panjang, kacang panjang yang

29
dibudidayakan di BALITSA antara lain varietas kacang panjang 1 (KP 1) atau No.

1090 dan varietas kacang panjang 2 (KP 2) atau No. 1018. 5) Mentimun, varietas

mentimun yang dibudidayakan di BALITSA antara lain Mars, Pluto dan Saturnus.

6) Terong, terong yang dibudidayakan dan dikembangkan di BALITSA adalah

jenis terong ungu. Sementara, tanaman terong hanya dibudidayakan dalam jumlah

yang sedikit.

8. Mitra

Balitsa merupakan lembaga pemerintah yang fokus mengarah ke penemuan

teknologi pertanian seperti pembenihan, pestisida, herbisida, fungisida dan

perlakuan yang tepat untuk memperoleh hasil panen yang maksimal sehingga

tidak memiliki kewenangan langsung dalam memasarkan secara langsung benih

varietas tanaman sayuran. Dalam penyebaran benih produksi, Balitsa bekerja

sama dengan beberapa mitra kerja yang memasarkan benih-benih sayuran yang

telah diproduksi. Benih varietas tanaman sayuran yang dihasilkan oleh Balitsa

disalurkan pada penangkar (perusahaan) untuk dikontrak dan dipasarkan. Benih

varietas tanaman sayuran yang dihasilkan Balitsa digunakan hampir di seluruh

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) di Indonesia. Benih sayuran yang

diproduksi Balitsa sebelum disebarluaskan, diuji BPTP sehingga dapat diketahui

kesesuaiannya dengan daerah BPTP tersebut berada.

Pemasaran hasil panen sayuran, Balitsa bekerja sama dengan beberapa

pengepul dan juga bandar sayuran. PT Bimandiri Lembang juga merupakan mitra

Balitsa yang bergerak di bidang packaging sayuran dan juga mitra dalam

pelatihan dan pengembangan sayuran. Bimandiri sendiri menjual hasil panen

30
petani langsung ke supermarket besar seperti Hero, Hypermart, Carrefour, Giant,

Lottemart untuk kawasan Jakarta, Bandung, Cirebon, Pekalongan, dan Semarang.

Produk yang dipasarkan oleh Bimandiri adalah produk sayuran yang memiliki

grade A.

Beberapa perusahaan benih besar seperti Panah Merah dan Riawan Tani

termasuk mitra Balitsa. Selain perusahaan besar, kelompok tani di sekitar

Lembang juga menggunakan benih tanaman sayuran dari Balitsa, kelompok tani

tersebut antara lain Ikamaja, Pasir Langu, Jaya Makmur, Lembang Agri, dan lain-

lain. Kelompok tani yang juga bermitra dengan Balitsa adalah kelompok tani

Mekar Jaya. Mekar Tani Jaya bergerak dalam bidang agribisnis dan dalam

pelaksanaannya diusahakan secara kolektif. Mekar Tani Jaya sendiri terdiri dari

beberapa anggota kelompok seperti Lentera Asri, Madya Tani Sejahtera, Mekar

Tani Jaya, Mekar Tani I, Mekar Tani II, Gapura Tani, Yan’s Fruit, Jhotani, Bakti

Mandiri, Mekar Rahayu, Mekar Saluyu, Prima Tani, Jian Agro, Saung Organik,

Wargi Harum, Lembang Fresh. Sampai sekarang jumlah keanggotaannya adalah

372 orang.

Selain mitra dalam pemasaran benih, Balitsa bekerja sama pula dengan

berbagai pihak dalam hal penelitian. Mitra kerja sama internasional Balitsa antara

lain Centro International de Potatoes/International Potato Center (CIP) yang

merupakan sebuah lembaga bertaraf international, yang mana fungsi CIP adalah

untuk menyediakan bahan genetika kentang. Selain CIP adapula HORTIN dan

Australian Centre for International Agricultural Reserch (ACIAR) yang

31
merupakan kerja sama yang dilakukan oleh Balitsa-Balitbio dan Queensland

University di Australia.

B. Teknik Produksi Umbi Benih Bawang Merah (Allium ascalonicum L.)

Di Balai Penelitian Tanaman Sayuran

Bawang merah merupakan salah satu jenis tanaman sayuran utama yang

dibudidayakan di Balai Penelitian Tanaman Sayuran (BALITSA). Meskipun

bawang merah merupakan tanaman yang umumnya ditanam di dataran rendah

namun kenyataannya di BALITSA dengan kondisi tempat yang berada pada

ketinggian 1250 mdpl tanaman bawang merah dapat dibudidayakan dengan baik

namun umur panennya lebih lama dibandingkan dengan bawang merah yang

ditanam di dataran rendah. Semua kegiatan budidaya bawang merah yang ada di

BALITSA diusahakan untuk mendapatkan umbi benih bawang merah, tidak untuk

umbi konsumsi. Umbi benih bawang merah yang dihasilkan nantinya akan dijual

kepada penangkar atau didistribusikan ke dinas provinsi yang membutuhkan.

Kegiatan produksi umbi benih bawang merah di BALITSA juga bertujuan untuk

menjaga ketersediaan benih varietas-varietas yang digunakan untuk bahan

persilangan atau bahan penelitian. Teknik produksi umbi benih bawang merah di

BALITSA secara umum meliputi persiapan lahan, persiapan benih, penanaman,

pemeliharaan, panen dan pasca panen.

1. Persiapan Lahan

Persiapan lahan untuk produksi umbi benih bawang merah yang ada di

Balai Penelitian Tanaman Sayuran dimulai dengan membersihkan rerumputan

32
pada lahan bekas pertanaman sebelumnya. Hal ini bertujuan agar lahan yang

akan digunakan sebagai pertanaman bawang merah benar-benar bersih dari

tanaman lain terutama bersih dari gulma. Pembersihan tersebut juga dapat

digunakan untuk memutus siklus hidup penyakit atau hama yang berasal dari

pertanaman sebelumnya yang memanfaatkan rerumputan sebagai inang

sementaranya. Suwandi (1989), menyatakan bahwa beberapa jenis gulma

dapat menjadi inang bagi hama dan penyakit tanaman.


Pengolahan tanah dilakukan setelah lahan bersih dari gulma yaitu

dengan menggunakan cangkul atau menggunakan traktor roda empat dengan

implemen bajak piring dan singkal pada kekalaman 30 cm. Tujuan

pengolahan tanah adalah membalik dan memecah lapisan top soil tanah

menjadi tanah yang remah dan gembur untuk memperbaiki aerase dan

drainase tanah, selain itu juga untuk mencabut akar gulma yang masih

33
tertinggal.

Gambar 2. Pengolahan tanah dengan traktor roda empat.


Luas lahan keseluruhan yang diolah dilapangan yaitu 250 m2. Bedengan

dibuat dengan lebar 1 m dan panjang 10 m menyesuaikan keadaan lahan, jarak

antar bedengan (parit) 50 cm dengan kedalaman 40 cm, sehinga dihasilkan 20

bedengan. Luas lahan efektif yang ditanam adalah 1m X 10 m X 20 bedengan

= 200 m2. Bedengan yang telah terbentuk kemudian diberi pupuk dasar berupa

pupuk kandang kuda 15-20 ton/ha dan SP-36 dengan dosis 200 kg/ha,

sehingga untuk lahan dengan luas 200 m2 dibutuhkan dosis pupuk kandang 4

kwintal dan pupuk SP-36 sebanyak 4 kg. Bedengan yang telah diberi pupuk

dasar, selanjutnya di aduk menggunakan cangkul sampai merata.

34
Gambar 3. Proses pembuatan bedengan dan pemberian pupuk dasar.
Bedengan untuk budidaya produksi umbi

benih dapat

menggunakan mulsa

atau pun tidak. Jenis

mulsa yang

digunakan di

BALITSA adalah Mulsa Plastik Hitam Perak (MPHP). Warna perak pada

mulsa akan memantulkan cahaya matahari sehingga proses fotosintesis

menjadi lebih optimal, kondisi pertanaman tidak terlalu lembab, mengurangi

serangan penyakit, dan mengusir serangga-serangga penggangu tanaman.

Sedangkan warna hitam pada mulsa akan menyerap panas sehingga suhu di

perakaran tanaman menjadi hangat. Akibatnya, perkembangan akar akan

optimal selain itu warna hitam juga mencegah sinar matahari menembus ke

dalam tanah sehingga benih-benih gulma tidak akan tumbuh. Bedengan yang

telah dipasang mulsa selanjutnya dibuat lubang tanam dengan jarak tanam

tertentu, jarak tanam 15 cm X 25 cm untuk umbi besar berdiameter 3,5-4 cm

dan jarak tanam 15 cm X 20 cm untuk umbi kecil berdiameter 1,5-3 cm.

35
Gambar 4. Proses pemasangan mulsa.

Pemasangan mulsa yang dilakukan saat praktik di lapangan menggunkan

mulsa bekas pertanaman sebelumnya, karena kondisi mulsa masih baik untuk

digunakan. Lubang tanam yang digunakan menyesuaikan lubang tanam yang

telah dibuat pertanaman sebelumnya, yaitu 15 X 20 cm. Mulsa plastik hitam

perak untuk produksi umbi benih bawang merah dapat digunakan 2-3 kali

pertanaman.

2. Persiapan Benih
Benih yang digunakan dalam produksi umbi benih adalah benih dengan

mutu yang baik. Persyaratan benih bawang merah yang bermutu baik antara

lain telah memenuhi umur simpan yaitu 3-4 bulan, umur panen 70-85 hari,

bobot umbi sedang 3-5 gram, umbi benih berwarna cerah, padat, tidak keropos,

bernas (tidak lunak), tidak terserang hama dan penyakit. Benih bermutu

merupakan salah satu kunci utama dalam keberhasilan suatu usahatani.

Tahapan persiapan benih yang akan ditanam yaitu memilih varietas sesuai

dengan yang akan dihasilkan, membersihkan benih dari kulit kering yang

menempel, memotong bagian ujung umbi dan menghitungan benih sesuai

kebutuhan lubang tanam yang telah dibuat. Pemotongan pada bagian ujung

umbi benih dimaksudkan untuk mendapatkan pertumbuhan tunas yang

seragam. Pemotongan umbi juga banyak dilakukan petani dengan tujuan untuk

mempercepat pertunasan pada umbi, namun apabila waktu tanam pada musim

hujan maka tidak perlu pemotongan karena akan menyebabkan benih busuk

saat ditanam di lahan.

36
Gambar 5. Proses persiapan benih.
Benih yang digunakan pada saat praktik dilapangan yaitu benih bawang merah

varietas Bima, Katumi, Kuning, Pikatan, Trisula, Pancasona dan varietas

Mentes. Masing-masing varietas tersebut disiapkan 400 benih untuk ditanam di

lahan yang telah disiapkan. Benih tersebut merupakan sisa dari gudang

penyimpanan bawang merah BALITSA. Tujuan dari penanaman ini adalah

untuk menjaga ketersediaan umbi benih 7 varietas tersebut di gudang

penyimpanan.
3. Penanaman
Sehari sebelum dilakukan penanaman, lubang tanam pada bedengan di

siram terlebih dahulu agar memudahkan proses penanaman. Penenaman

dilakukan dengan cara membenamkan benih ke dalam lubang tanam yang telah

dibuat pada bedengan. Biasanya dalam proses penenaman sering terjadi

kesalahan. Kesalahan dalam proses penanaman adalah peletakan umbi benih

yang terbalik, sehingga proses pertunasan akan terganggu. Benih yang ditanam

terbalik masih dapat bertunas, tetapi tunasnya akan tumbuh kebawah terlebih

dahulu kemudian akan mencari celah untuk tumbuh keatas sehinnga

pertumbuhannya akan tertinggal.

37
Gambar 6. Penanaman bawang merah.
4. Pemeliharaan
Pemeliharaan merupakan salah satu tahapan penting dalam produksi umbi

benih bawang merah. Pemeliharaan bertujuan untuk meberikan kondisi

lingkungan yang optimal untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman.

Proses pemeliharaan dalam produksi umbi benih bawang merah di BALITSA

meliputi penyiraman, penyulaman, pemupukan susulan, penyiangan,

pengendalian hama penyakit, dan pruning.


Penyiraman. Penyiraman tanaman dilakukan untuk menjaga ketersediaan

air bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Penyiraman dilakukan

sesuai kondisi cuaca yang ada, pada saat dilapangan penyiraman dilakukan

setiap hari pada pagi hari karena kondisinya pada musim kemarau. Penyiraman

38
dilakukan dengan mengalirkan air dari sumbernya ke lubang tanam pada

bedengan.

Gambar 7. Penyiraman tanaman bawang merah.


Penyulaman. Penyulaman merupakan kegiatan mengganti benih yang

tidak tumbuh di lahan dengan benih yang baru. Sebelum dilakukan

penyulaman, dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu pada benih yang tidak

tumbuh, jika benih busuk atau mati maka langsung dilakukan penyulaman,

tetapi jika benih ternyata terbalik maka dilakuakn perbaikan posisi benih.

Penyulaman dilakukan 7 hari setelah tanam, pada umur tersebut umbi benih

yang ditanam telah bertunas.

Gambar 8. Penyulaman.
Saat praktik penyulaman dilapangan ditemukan benih yang terlihat tidak

tumbuh, setelah diperiksa ternyata benih tersebut kondisinya terbalik. Posisi

39
tunas yang tumbuh berada dibagian bawah sedangkan akar berada dibagian

atas. Dilakukan perbaikan posisi benih agar pertumbuhannya kembali normal.

Benih terbalik terjadi karena kesalahan dalam proses penanaman, kemungkinan

karena tidak teliti atau terburu-buru saat menanam.

Gambar 9. Benih terbalik.

Pemupukan susulan. Pemupukan susulan untuk produksi umbi benih

bawang merah berbeda dengan pemupukan susulan untuk produksi umbi

bawan merah konsumsi. Pemupukan menggunakan pupuk NPK (16-16-16)

pada budidaya umbi konsumsi sebanyak 350 kg/ha ditambah dengan pupuk ZA

50 kg. Pemupukan untuk produksi umbi benih bawang merah menggunakan

setengah dosis pemupukan untuk umbi konsumsi yaitu pupuk NPK sebanyak

200 kg/ha. Unsur hara N, P, dan K merupakan unsur hara makro primer yang

diperlukan oleh tanaman dalam jumlah yang cukup banyak, sedangkan

ketersediaan ketiga hara tersebut dalam tanah umumnya rendah, sehingga

tanaman membutuhkan penambahan hara dari luar untuk dapat hidup optimal

(Hidayat dan Rosliani, 1996). Pelaksanaan di lapangan, karena luas lahan

efektif yang ditanam 200 m2 maka kebutuhan pupuk NPK sebanyak 4 kg.

Aplikasi pupuk susulan dilakukan sebanyak 2 kali selama pertanaman yaitu

40
pada umur 10-15 hari dan 30-35 hari setelah tanam dengan cara melarutkan 2

kg NPK ke dalam 120 liter air untuk sekali aplikasi.

Gambar 10. Pemupukan susulan.


Dalam peroduksi umbi benih bawang merah, hasil umbi yang diinginkan

adalah umbi dengan ukuran yang sedang, padat, bernas dan tahan lama untuk

disimpan digudang penyimpanan. Untuk mendapatkan umbi yang seperti itu

maka pada saat pemberian pupuk susulan dosis yang diberikan jangan terlalu

banyak terutama jika menggunakan pupuk tunggal N. Menurut Rajiman (2009)

pemupukan N yang berlebih akan menyebabkan ukuran urnbi menjadi besar

dan kandungan air tinggi, namun kurang bernas dan mudah keropos sehingga

menurunkan daya simpan bawang merah. Untuk itu pada saat praktik di

lapangan, pupuk yang digunakan adalah pupuk majemuk NPK dengan

41
kandungan N yang tidak terlalu besar yaitu 16% dan dosis aplikasi setengah

dari dosis untuk konsumsi yaitu 200 kg/ha.


Penyiangan. Penyingan merupakan kegiatan membuang tumbuhan lain

selain tanaman yang kita tanam. Penyiangan dilakukan 2 minggu sekali selama

pertanaman, dengan cara mekanik yaitu mencabut langsung gulma yang ada di

lubang pertanaman. Penyiangan ini bertujuan agar tidak ada persaingan

perebutan air, unsur hara dan sinar matahari, sehingga pertumbuhan dan

perkembangan tanaman budidaya tidak terganggu. Penyiangan gulma juga

dilakukan pada parit-parit antar bedengan agar saluran air tidak tersumbat.

Gambar 11. Penyiangan gulma.


Saat melakukan praktik penyiangan dilapangan, ditemukan beberapa jenis

gulma yang tumbuh di lubang pertanaman bawang merah. Dari sekian

banyak jenis gulma yang ditemukan, babandotan (Ageratum conyzoides)

dan teki (Cyperus rotundus) merupakan jenis gulma yang paling banyak

ditemukan. Rumput teki adalah jenis gulma yang paling meresahkan, karena

memiliki kemampuan tumbuh menembus mulsa plastik sehingga mulsa

menjadi sobek. Mulsa yang terlalu banyak sobek nantinya tidak dapat

digunakan kembali untuk pertanaman berikutnya. Tumbuhnya rumput teki

42
pada mulsa disebabkan karena proses pengolahan tanah yang tidak

maksimal, akar-akar rumput teki masih banyak tertinggal pada bedengan

yang telah dibuat, sehingga pada saat pengolahan tanah sebaiknya dilakukan

pembuangan akar gulma yang masih tertinggal sampai benar-benar bersih

atau dilakukan penyemprotan herbisida sistemik berbahan aktif glifosat

sebelum dilakukannya pengolahan tanah untuk mematikan gulma sampai

keakarnya.

Gambar 12. Rumput teki menembus mulsa


Pengendalian Hama dan Penyakit. Hama yang ditemukan dilahan adalah

hama ulat daun bawang Spodoptera exigua dengan gejala serangan yang

nampak adalah terdapat larva S. exigua didalam daun, terdapat butiran-butiran

hitam yang merupakan kotoran dari larva S. exigua, larva memakan jaringan

daun bawang merah bagian dalam tanpa memakan epidermis bagian luar daun

sehinga terlihat daun seperti transparan.

43
Gambar 13. Larva Spodoptera exigua.
Penyakit yang ditemukan dilapang adalah layu Fusarium oxysporum,

bagian tanaman yang terserang adalah bagian dasar dari umbi lapis, umbi akan

membusuk dimulai dari bagian pangkal bagian bawah umbi menyebar

kebagian atas umbi akibatnya pertumbuhan akar maupun umbi terganggu.

Gejala visual dapat dilihat, daun menguning dan cenderung terpelintir

(terputar). Tanaman sangat mudah tercabut karena pertumbuhan akar terganggu

bahkan membusuk.

Gambar 14. Layu Fusarium

oxysporum.
Pengendalian hama yang dilakukan dilapangan yaitu menggunakan cara

mekanik dengan cara mengambil daun tanaman yang didalamnya terdapat

ulat S.exigua dan setelah itu ulat-ulat yang masih tersisa dilahan disempot

44
dengan insektiida berbahan aktif emamektin benzoat 22 g/l dengan merek

dagang Abenz 22 EC. Insektisida ini merupakan insektisida racun kontak

dan lambung, artinya insektisida jenis ini akan bekerja dengan baik jika

terkena atau kontak langsung dengan hama sasaran dan juga akan bekerja

jika bagian tanaman yang telah disemprot dimakan oleh hama sasaran

nantinya bagian tanaman itulah yang akan masuk ke lambung untuk

meracuni hama sasaran. Sedangkan untuk pengendalian penyakit layu

Fusarium, dilakukan dengan mencabut tanman yang terserang dan

menyemprotkan fungisida pada lubang tanam tanaman yang dicabut serta

untuk mencegah penularan dengan menyemprokan fungisida berbahan aktif

difenokonazol 250 g/l dengan merek dagang Score 250 EC ke seluruh

tanaman bawang merah.

Gambar 15. Pengendalian hama dan penyakit bawang merah.


Pruning. Pruning merupakan kegiatan pembuangan bagian tanaman yang

tidak diinginkan dan bagian tanaman yang tidak produktif. Pruning di

lapangan, dilakukan dengan membuang daun-daun yang kering dan membuang

bunga-bunga bawang merah yang terbentuk, karena tujuan produksi umbi

benih adalah mendapatkan umbi bawang merah yang masak fisiologis sebagai

benih, sehingga organ generatif (bunga) yang tidak dibutuhkan dipotong,

45
tujuan dilakukanya pruning adalah agar penyerapan nutrisi tanaman digunakan

untuk pertumbuhan dan perkembangan umbi.

Gambar 16. Proses pruning


5. Panen
Proses panen memegang peran penting dalam menghasilkan benih yang

berkualitas. Pemanenan bawang merah haruslah dengan hati-hati, jangan

sampai merusak umbi. Hal ini dikarenakan kerusakan pada umbi seperti memar

dan luka akan menurunkan kualitas. Umbi bawang merah yang akan dijadikan

benih dipanen pada saat sudah masak fisiologis. Umbi bawang merah yang

sudah mengalami masak fisiologis biasanya bisa dilihat dari umur tanaman.

Panen bawang merah yang sudah cukup masak fisiologi biasanya dilakukan

pada umur 60-70 hari di dataran rendah dan 70-90 hari didataran tinggi, dua

minggu lebih lama dari umur panen untuk umbi konsumsi. Umbi bawang

merah yang telah masak fisiologis dapat dilihat dari tanda-tanda sebagai

berikut: leher umbi kosong atau hampa, 70-80 % daun berwarna kuning dan

rebah, sudah terjadi pembentukan pigmen merah dan timbulnya bau bawang

yang khas, sebagian umbi tersembul diatas permukaan tanah dan warna umbi

merah tua, merah keunguan atau merah muda.

46
Gambar 17. Bawang

merah siap panen.


6. Pasca Panen
Langkah pertama penanganan pasca panen adalah membersihkan umbi

bawang merah dari dari kotoran yang melekat setelah proses pemanenan yang

telah dilakukan sebelumnya kemudian bersama daunnya masing masing diikat

sebanyak 10-15 rumpun dan dijemur beralaskan rikar bambu (gedheg) atau

karung kandi. Proses penjemuran dilakukan dalam 2 tahap. Tahap pertama

adalah proses pelayuan yang dilakukan selama 2-3 hari pertama setelah panen

dengan bagian daun berada di bagian atas. Tujuan penjemuran tahap pertama

ini adalah untuk mengeringkan daun. Tahap kedua, penjemuran dilakukan

selama 7-14 hari dengan bagian umbi menghadap ke atas, yang harus

diperhatikan adalah hindari penjemuran di bawah matahari langsung karena

sengatan radiasi sinar matahari langsung akan merusak umbi benih, umbi jadi

keriput dan tidak timbulnya warna mengkilat sehingga warna kulit menjadi

pudar. Tujuan penjemuran kedua adalah mengurangi kadar air umbi bawang

merah sehingga kadar air umbi tersebut berada pada batas dimana

perkembangan mikroorganisme dan kegiatan enzimatis dapat terhambat

sehingga tidak terjadi kerusakan benih. Proses penjemuran dihentikan apabila

umbi sudah mencapai kondisi kering askip dengan kadar air umbi 80-85 % atau

dapat ditandai dengan kulit bawang merah yang terlihat mengkilap dan jika

digesekkan satu sama lain terdengar suara gemersik.

47
Gambar 18. Penjemuran umbi bawang merah.
Langkah kedua penanganan pasca panen adalah proses sortasi dan

pengikatan bawang merah. Kegiatan sortasi bertujuan untuk memisahkan umbi

bawang merah yang utuh, sehat dan tidak kriput dari umbi yang mengalami

kerusakan. Sortasi dilakukan secara manual yaitu dengan menggunakan tangan

dan selanjutnya setelah disortasi bawang dibersihkan dari kulit umbi yang telah

kering lalu dikelompokan untuk diikat menggunakan tali rafia. Pembersihan

dan pengikatan tersebut bertujuan agar bawang terlihat rapih dan untuk

memudahkan dalam proses pengangkutan serta penyimpanan.

Gambar 19. Sortasi dan pengikatan bawang merah.


Langkah ketiga dalam proses pasca panen adalah pengapuran. Umbi benih

bawang merah yang telah diikat selanjutnya diberi kapur dolomit dengan cara

ditaburkan pada ikatan bawang secara merata. Tujuan dari pengapuran tersebut

adalah untuk menurunkan kelembaban di sela-sela bagian dalam ikatan bawang

48
merah pada saat proses penyimpanan, kelembaban yang tinggi dapat

mengakibatkan umbi benih bawang merah busuk. Sifat kapur yang panas akan

dapat menurunkan kelembaban ikatan bawang merah.

Gambar 20. Pengapuran bawang merah.

Langkah keempat atau langkah terakhir dalam proses pasca panen adalah

penyimpanan. Menurut Santoso (2008) benih bawang merah mempunyai masa

dormansi 2-4 bulan, sehingga umbi yang dipanen tidak dapat langsung

digunakan sebagai bahan tanam. Tujuan dilakukan penyimpanan adalah untuk

memtahkan masa dormansi benih sehingga benih siap untuk ditanam. Di

BALITSA, umbi benih bawang merah disimpan di gudang khusus

penyimpanan dengan suhu dan kelembaban yang dijaga. Penyimpanan

dilakukan dengan meletakan ikatan-ikatan bawang merah dengan cara

digantungkan pada bambu-bambu yang telah disusun seperti rak. Suhu dan

kelembaban dalam ruang penyimpanan disesuaikan dengan alat heater pada

suhu 30-340 C dan kelembaban 65-77 %. Untuk mengendalikan hama didalam

gudang, digunakan perangkap lampu yang bagian bawahnya diletakkan sebuah

nampan berisi air. Penyimpanan dilakukan selama 2-4 bulan dan setiap 1 bulan

49
sekali selama proses penyimpanan dilakukan sortasi untuk memisahkan

bawang yang rusak, busuk dan kropos. Sortasi tersebut juga bertujuan untuk

memperbaiki ikatan bawang merah yang renggang atau rusak.

Gambar 21. Penyimpanan bawang merah dan alat penghangat ruangan.

Gambar 22. Perangkap lampu.

V. PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Struktur Organisasi Balai Penelitian Tanaman Sayuran Lembang merupakan

susunan kepengurusan yang dipimpin oleh seorang kepala balai yang bertugas

50
membawahi seluruh pegawai yang secara umum dibagi ke dalam beberapa

divisi seperti seksi jasa penelitian, seksi tata usaha, seksi pelayanan publik dan

kelompok peneliti spesifik bidang. Kegiatan utama yang ada di BALITSA

adalah melaksankan penelitian, memproduksi benih sumber beberapa

komoditas hortikultura dan melakukan sosialisasi terhadap teknologi baru yang

telah ditemukan.
2. Teknik produksi umbi benih bawang merah di BALITSA meliputi prsiapan

lahan, persiapan benih, penanaman, pemeliharaan, panen dan pasca panen.

Proses persiapan lahan meliputi pengolahan tanah, pembuatan bedengan,

pemberian pupuk dasar dan pemasangan mulsa. Proses persiapan benih

meliputi pemilihan varietas, pemilihan benih yang baik, pemotongan ujung

umbi benih dan perhitungan jumlah benih yang dibutuhman. Proses

pemeliharaan meliputi penyiraman, penyulaman, penyiangan, pemupukan

susulan, pengendalian hama penyakit dan pruning. Proses pasca panen meliputi

penjemuran, sortasi, pengikatan, pengapuran dan penyimpanan.


3. Perbedaan budidaya produksi umbi benih bawang merah dengan umbi untuk

konsumsi adalah pemberian dosis pupuk sususlan, umur panen dan lama

penyimpanan. Dosis pupuk susulan yang diberikan adalah setengah dari dosis

pupuk susulan untuk budidaya umbi bawang merah konsumsi. Umur panen

untuk produksi umbi benih bawang merah adalah 60-70 hari untuk dataran

rendah dan 70-85 hari untuk dataran tinggi, lebih lama dua minggu dengan

umur panen untuk konsumsi. Penyimpanan untuk umbi benih bawang merah

dilakukan selama 2-4 bulan.


4. Kendala yang dihadapi dalam produksi umbi benih bawang merah di

BALITSA adalah adanya hama ulat daun bawang (Spodoptera exigua) dan

51
penyakit layu fusarium (Fusarium oxysporum) yang mengakibatkan tanaman

sakit atau mati serta adanya gulma teki yang dapat merusak mulsa plastik

sehingga mulsa tidak dapat digunakan untuk pertanaman bawang merah

selanjutnya.

B. Saran

Sebaiknya pembimbing lapangan PKL menyediakan lebih banyak waktu

untuk kegiatan diskusi, agar mahasiswa yang telah melaksanakan kegiatan praktik

di lapangan lebih mengerti dan paham tentang apa yang telah dilakukannya.

DAFTAR PUSTAKA

AAK. 2004. Pedoman Bertanam Bawang. Kanisius, Yogyakarta. 101 Halaman.


Dewi, N. 2012. Untung Segunung Bertanam Aneka Bawang. Pustaka Baru Press,
Yogyakarta. 195 Halaman.
Departemen Pertanian. 2012. Perkembangan Luas Panen, Produksi dan
Produkrivias Bawang Merah Nasional Tahun 2000-2010. Direktorat Jendral
Horikultura, Jakarta. 63 Halaman.

52
Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura. 2008. Pengenalan dan
Pengendalian Hama Tanaman Sayuran Prioritas. Direktorat Jendral
Hortikultura, Jakarta. 164 Halaman.
Hidayat, A. 2004. Budidaya bawang merah. Beberapa hasil penelitian di
Kabupaten Brebes, Direktorat Tana Sayuran dan Bio Farmaka, Brebes. 57
Halaman.
Korlina, E. 1999. Pengendalian Hama Terpadu Pada Tanaman Bawang Putih.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Jawa Timur. 24 Halaman.
Maemunah. 2010. Viabilitas dan Vigor Benih Bawang Merah pada Beberapa
Varietas Setelah Penyimpanan. Journal Agroland. 17 (1) : 18 – 22.
Nazaruddin. 1999. Budidaya Dan Pengaturan Panen Sayuran Dataran Rendah.
Penebar Swadaya, Jakarta. 142 Halaman.
Pitojo, S. 2003. Penangkaran Benih Bawang Merah. Kanisius, Yogyakarta. 89
Halaman.
Priyantono, E., E. Andi dan Adrianton. 2013. Vigor Umbi Bawang Merah (Allium
ascallonicum L.) Varietas Palasa Dan Lembah Palu Pada Berbagai Kondisi
Simpan. Jurnal Agrotekbis. 1 (1) : 8-16.
Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian. 2014. Buletin Konsumsi Pangan.
Sekretariat Jenderal Kementerian Pertanian. 5 (1): 31-38.
Putrasamedja, S. dan Suwandi. 1996. Varietas Bawang Merah di Indonesia. Balai
Penelitian Tanaman Sayuran, Lembang. 23 Halaman.
Rahayu, E. Dan N.V.A. Berlian. 1999. Bawang Merah. Penebar Swadaya, Jakarta.
94 Halaman.
_________________________. 2004. Bawang Merah. Penebar Swadaya, Jakarta.
94 Halaman.
Rajiman. 2009. Pengaruh Pemupukan NPK Terhadap Hasil Bawang Merah Di
Lahan Pasir Pantai. Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian. 5 (1): 52-60.
Rauf, A. 1999. Dinamika Populasi Spodoptera exigua (Hubner) (Lepidoptera:
Noctuidae) Pada Pertanaman Bawang Merah di Dataran Rendah. Buletin
Hama dan Penyakit Tumbuhan II (2): 39 – 47.
Rismunandar. 1986. Membudidayakan Lima Jenis Bawang. Sinar Baru, Bandung.
128 Halaman.
Rubatzky,V.E dan Yamaguchi.1998. Sayuran Dunia, Prinsip, Produksi, dan Gizi,
alih bahasa Catur Herison. ITB, Bandung. 196 Halaman.

53
Rukmana, R. 1994. Bawang Merah Budidaya dan Pengolahan Pacapanen.
Kanisius. Yogyakarta. 72 Halaman.
Samadi, B., dan B. Cahyono. 2005. Bawang Merah Intensifikasi Usaha Tani.
Kanisius, Yogyakarta. 84 Halaman.
Santoso dan H. Budi. 2008. Ragam dan Khasiat Tanaman Obat. AgroMedia
Pustaka, Jakarta. 142 Halaman.
Sasmito, 2010. Aplikasi Sistem Pakan Untuk Simulasi Diagnosa Hama dan
Penyakit Tanaman Bawang Merah dan Cabai Menggunakan Forward
Chaining dan Pendekatan Berbasis Aturan. Tesis. Program Pasca Sarjana
Universitas Diponegoro, Semarang. 78 Halaman.
Soedomo, R. P. 1992. Pengaruh pemotongan umbi dan lamanya penyimpanan
umbi bibit bawang merah terhadap hasil umbi di Brebes, Jawa tengah.
Jurnal Hortikultura. 2:43-47.
. 2006. Pengaruh jenis kemasan dan daya simpan umbi bibit
bawang merah terhadap pertumbuhan dan hasil di lapangan. Jurnal
Hortikultura. 16 (3): 188-196.
Sutarya, R., dan G. Grubben. 1995. Pedoman Bertanam Sayuran Dataran
Rendah. Balai Penelitian Hortikultura Lembang, Bandung. 264 Halaman.
Sutopo, L. 2002. Teknologi Benih. PT Raja Grafindo, Jakarta. 247 Halaman.
Sumarni, N., R. Rosliani dan Suwandi. 2012. Jarak Tanam dan Dosis pupuk NPK
untuk Produksi Bawang Merah dari Benih Umbi Mini di Dataran Tinggi.
Jurnal Hortikultura. 22 (2): 148-155.
Suwandi, N., Nurtika, S. Sahat. 1997. Bercocok Tanam Sayuran Dataran Rendah.
Balai Penelitian Hortikultura Lembang dan Proyek ATA 395, Bandung. 3: 1-
6.
Wibowo, S. 2005. Budidaya Bawang Putih, Merah dan Bombay. Penebar
Swadaya, Jakarta. 203 Halaman.
Wiguna G., I. M. Hidayat dan C. Azmi. 2013. Perbaikan Teknologi Produksi
Benih Bawang Merah Melalui Pengaturan Pemupukan, Densitas, dan
Varietas. Jurnal Hortikultura. 23 (2): 137-142.

54
55
LAMPIRAN

56

Anda mungkin juga menyukai