Makalah Anti Korupsi
Makalah Anti Korupsi
DISUSUN OLEH :
DESYOMA OLIDYA
NIM : 233313011004
KELAS : PROGSUS ACEH
i
KATA PENGANTAR
Penyusun
ii
BAB I
PENDAHULUAN
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah korupsi di Indonesia?
2. Apa saja upaya yang dilakukan dalam mencegah dan memberantas korupsi?
C. Tujuan penulisan
1. Untuk mengetahui sejarah korupsi di Indonesia?
2. Untuk memahami arti dari korupsi itu sendiri?
3. Untuk mengetahui upaya apa saja yang harus dilakukan dalam mencegah dan
memberantas korupsi?
1
BAB II
PEMBAHASAN
Hal menarik lainnya pada fase zaman kerajaan ini adalah, mulai terbangunnya watak
opurtunisme bangsa Indonesia. Salah satu contohnya adalah posisi orang suruhan dalam
kerajaan, atau yang lebih dikenal dengan “abdi dalem”. Abdi dalem dalam sisi
kekuasaan zaman ini, cenderung selalu bersikap manis untuk menarik simpati raja atau
sultan. Hal tersebut pula yang menjadi embrio lahirnya kalangan opurtunis yang pada
akhirnya juga memiliki potensi jiwa yang korup yang begitu besar dalam tatanan
pemerintahan kita dikmudian hari.
Kedua, Fase Zaman Penjajahan. Pada zaman penjajahan, praktek korupsi telah mulai
masuk dan meluas ke dalam sistem budaya sosial-politik bangsa kita. Budaya korupsi
telah dibangun oleh para penjajah colonial (terutama oleh Belanda) selama 350 tahun.
2
Budaya korupsi ini berkembang dikalangan tokoh-tokoh lokal yang sengaja dijadikan
badut politik oleh penjajah, untuk menjalankan daerah adiministratif tertentu, semisal
demang (lurah), tumenggung (setingkat kabupaten atau provinsi), dan pejabat-pejabat
lainnya yang notabene merupakan orang-orang suruhan penjajah Belanda untuk
menjaga dan mengawasi daerah territorial tertentu. Mereka yang diangkat dan
dipekerjakan oleh Belanda untuk memanen upeti atau pajak dari rakyat, digunakan oleh
penjajah Belanda untuk memperkaya diri dengan menghisap hak dan kehidupan rakyat
Indonesia. Secara eksplisit, sesungguhnya budaya penjajah yang mempraktekkan
hegemoni dan dominasi ini, menjadikankan orang Indonesia juga tak segan menindas
bangsanya sendiri lewat perilaku dan praktek korupsi-nya.
Ketiga, Fase Zaman Modern. Fase perkembangan praktek korupsi di zaman modern
seperti sekarang ini sebenarnya dimulai saat lepasnya bangsa Indonesia dari belenggu
penjajahan. Akan tetapi budaya yang ditinggalkan oleh penjajah kolonial, tidak serta
merta lenyap begitu saja. salah satu warisan yang tertinggal adalah budaya korupsi,
kolusi dan nepotisme (KKN). Hal tersebut tercermin dari prilaku pejabat-pejabat
pemerintahan yang bahkan telah dimulai di era Orde lama Soekarno, yang akhirnya
semakin berkembang dan tumbuh subur di pemerintahan Orde Baru Soeharto hingga
saat ini. Indonesia tak ayal pernah menduduki peringkat 5 (besar) Negara yang
pejabatnya paling korup, bahkan hingga saat ini. Di Indonesia langkah- langkah
pembentukan hukum positif untuk menghadapi masalah korupsi telah dilakukan selama
beberapa masa perjalanan sejarah dan melalui bebrapa masa perubahan perundang-
undangan. Keberadaan tindak pidana korupsi dalam hukum positif indonesia
sebenarnya sudah ada sejak lama, yaitu sejak berlakunya kitab undang-undang hukum
pidana 1 januari 1918. KUHP sebagai suatu kodifikasi dan unifikasi berlaku bagi semua
golongan di Indonesia sesuai dengan asas konkordansi dan diundangkan dalam
Staatblad 1915 nomor 752, tanggal 15 Oktober 1915.
3
tidak langsung menyebabkan kerugian keuangan atau perekonomian. Masa
Undang- Undang Nomor 24/Prp/Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan,
dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi.
3. Masa Undang- Undang Nomor 3 Tahun 1971 (LNRI 1971-19, TNLRI 2958)
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
4. Masa Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 (LNRI 1999-40, TNLRI 387),
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi kemudian diubah dengan
undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 (LNRI 2001-134, TNLRI 4150), tentang
Perubahan atas Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Selanjutnya pada tanggal 27 Desember 2002 dikeluarkan
Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002 (LNRI 2002-137. TNLRI 4250) tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Jika ditinjau dari instrumen hukumnya, Indonesia telah memiliki banyak
peraturan perundang- undangan untuk mengatur pemberantasan tindak pidana
korupsi. Diantaranya ada KUHP dan KPK. Secara substansi Undang- undang
Nomor 31 Tahun 1999 telah mengatur berbagai aspek yang kiranya dapat
menjerat berbagai modus operandi tindak pidana korupsi yang semakin rumit.
Dalam Undang- Undang ini tindak pidana korupsi telah dirumuskan sebagai
tindak pidana formil, pengertian pegawai negeri telah diperluas, pelaku korupsi
tidak didefenisikan hanya kepada orang perorang tetapi juga pada korporasi,
sanksi yang dipergunakan adalah sanksi minimum sampai pidana mati, seperti
yang tercantum dalam pasal 2 dan pasal 3 undang- undang tahun 1999 tentang
pemberantasan tindak pidana korupsi dan telah pula dilengkapi dengan
pengaturan mengenai kewenangan penyidik, penuntut umumnya hingga hakim
yang memeriksa di sidang pengadilan. Bahkan, dalam segi pembuktian telah
diterapkan pembuktian tebalik secara berimbang dan sebagai kontrol, undang-
undang ini dilengkapi dengan Pasal 41 pengaturan mengenai peran serta
masyarakat, kemudian dipertegas dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah
nomor 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat
dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. Selain itu pengaturan tindak pidana korupsi dilakukan melalui
kerja sama dengan dunia Internasioanal. Hal ini dilakukan dengan cara
menandatangani konvensi PBB tentang anti korupsi yang memberikan peluang
untuk mengembalikan aset- aset para koruptor yang di bawa lari ke luar negeri.
4
Hukum pidana tentang tindak pidana korupsi yang diatur dalam KUHP dinilai
masih sangat lemah. Memang tidak perlu sampai diberlakukan hukuman mati
bagi koruptor seperti yang di berlakukan di Negara China, tapi untuk tindak
pidana korupsi yang merugikan negara dalam jumlah besar seharusnya diberi
hukuman seumur hidup dan tanpa remisi ataupun grasi. Agar terjadi efek jera dan
juga sebagai pelajaran bagi pejabat-pejabat baru.
Selain hukum yang masih lemah terjadinya korupsi di Indonesia juga didukung
dengan aparat hukum yang korup mulai dari Kepolisian, Kejaksaan, hingga
Pengadilan. Kepolisian bisa menghentikan penyelidikan bila koruptor mampu
menyuapnya. Hal ini menyebabkan mudahnya para pejabat yang terjerat kasus
korupsi untuk membebaskan diri dari jeratan hukum dengan jalan menyuap dari
hasil uang korupsi. Sehingga sebanyak apapun Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) melimpahkan kasus korupsi ke pihak kepolisian akan menjadi percuma.
Bahkan beberapa waktu lalu ada upaya pelemahan KPK oleh institusi hukum lain
yang takut diselidiki mengenai kasus korupsi di dalamnya.
Arti kata korupsi telah diterima dalam perbendaharaan dalam “Kamus Umum Bahasa
Indonesia “. Korupsi ialah perbuatan yang buruk seperti pengertian penggelapan uang,
penerimaan uang sogok dan sebagainya {Purwadarminto : 1976}
1. Korupsi adalah Perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang
sogok, dan sebagainya. (Kamus Umum Bahasa Indonesia, Poerwadarminta, 1976)
5
2. Korupsi adalah Suatu hal yang buruk dengan bermacam ragam artinya, bervariasi
menurut waktu tempat dan bangsa (Encyclopedia Americana)
3. Korupsi adalah Dengan melakukan tindak pidana memperkaya diri sendiri yang
secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan / perekonomian negara
( Kamus Hukum Prof. Raden Subekti Tjiprosudibio, SH)
4. Korupsi adalah Penawaran/pemberian dan penerimaan hadiah-hadiah berupa suap
(Corruption the Offering and Accepting of Bribes)
Dari keempat definisi diatas terdapat persamaan persepsi yaitu bahwa korupsi adalah
suatu perbuatan yang buruk yang sudah barang tentu akan menimbulkan kerugian
terhadap negara maupun masyarakat pada umumnya. Sudah tentu apa yang dimaksud
yang buruk itu ialah moral atau akhlak oknum yang melakukan perbuatan korupsi,
sebab seorang yang bermoral (berakhlak) baik tentu tidak akan melakukan korupsi.
Pengertian korupsi bisa menjadi lebih luas lagi, perbuatan seperti berbohong,
menyontek di sekolah, mark up, memberi hadiah sebagai pelicin dan sebagainya.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa tindakan korupsi merupakan sekumpulan
kegiatan yang menyimpang dan dapat merugikan orang lain.
Kasus-kasus korupsi seperti ini sangat banyak dijumpai dalam kehidupan sehari-hari
dan cenderung sudah membudaya. Jika diperhatikan, hampir disemua aspek kehidupan
bangsa ini terlibat korupsi.
Korupsi kini sudah menjadi permasalahan serius di negeri ini. Kasus korupsi tidak lagi
terhitung jumlahnya. Berkembang dengan pesat, meluas dimana-mana, dan terjadi
secara sistematis dengan rekayasa yang canggih dan memanfaatkan teknologi yang
modern. Hampir setiap hari berita tentang korupsi menghiasi berbagai media. Korupsi
dianggap biasa dan dimaklumi banyak orang sehingga masyarakat sulit membedakan
mana perbuatan korup dan mana perbuatan yang tidak korup. Meskipun sudah ada
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan beberapa instansi antikorupsi lainnya,
faktanya negeri ini masih menduduki rangking atas sebagai negara terkorup di dunia.
Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi, baik berasal dari dalam diri
pelaku atau dari luar pelaku. Sebagaimana dikatakan Yamamah bahwa ketika perilaku
materialistik dan konsumtif masyarakat serta sistem politik yang masih “mendewakan”
materi maka dapat “memaksa” terjadinya permainan uang dan korupsi (Ansari
6
Yamamah : 2009) “Dengan kondisi itu hampir dapat dipastikan seluruh pejabat
kemudian `terpaksa` korupsi kalau sudah menjabat”. Nur Syam (2000) memberikan
pandangan bahwa penyebab seseorang melakukan korupsi adalah karena
ketergodaannya akan dunia materi atau kekayaan yang tidak mampu ditahannya. Ketika
dorongan untuk menjadi kaya tidak mampu ditahan sementara akses ke arah kekayaan
bisa diperoleh melalui cara berkorupsi, maka jadilah seseorang akan melakukan
korupsi. Dengan demikian, jika menggunakan sudut pandang penyebab korupsi seperti
ini, maka salah satu penyebab korupsi adalah cara pandang terhadap kekayaan. Cara
pandang terhadap kekayaan yang salah akan menyebabkan cara yang salah dalam
mengakses kekayaan.
Secara umum faktor penyebab korupsi dapat terjadi karena faktor politik, hukum dan
ekonomi, sebagaimana dalam buku berjudul Peran Parlemen dalam Membasmi Korupsi
(ICW : 2000) mengidentifikasi empat faktor penyebab korupsi yaitu faktor politik,
faktor hukum, faktor ekonomi dan faktor organisasi.
1. Faktor Politik
2. Faktor Hukum
Faktor hukum bisa lihat dari dua sisi, di satu sisi dari aspek perundang-undangan dan
sisi lain lemahnya penegakan hukum. Tidak baiknya substansi hukum, mudah
ditemukan dalam aturan-aturan yang diskriminatif dan tidak adil; rumusan yang tidak
jelas-tegas (non lex certa) sehingga multi tafsir; kontradiksi dan overlapping dengan
peraturan lain (baik yang sederajat maupun yang lebih tinggi). Sanksi yang tidak
equivalen dengan perbuatan yang dilarang sehingga tidak tepat sasaran serta dirasa
terlalu ringan atau terlalu berat; penggunaan konsep yang berbeda-beda untuk sesuatu
7
yang sama, semua itu memungkinkan suatu peraturan tidak kompatibel dengan realitas
yang ada sehingga tidak fungsional atau tidak produktif dan mengalami resistensi.
Penyebab keadaan ini sangat beragam, namun yang dominan adalah: Pertama, tawar-
menawar dan pertarungan kepentingan antara kelompok dan golongan di parlemen,
sehingga memunculkan aturan yang bias dan diskriminatif. Kedua, praktek politik uang
dalam pembuatan hukum berupa suap menyuap (political bribery), utamanya
menyangkut perundang-undangan di bidang ekonomi dan bisnis. Akibatnya timbul
peraturan yang elastis dan multi tafsir serta tumpang-tindih dengan aturan lain sehingga
mudah dimanfaatkan untuk menyelamatkan pihak-pihak pemesan. Sering pula ancaman
sanksinya begitu ringan sehingga tidak memberatkan pihak yang berkepentingan.
3. Faktor Ekonomi
Faktor ekonomi juga merupakan salah satu penyebab terjadinya korupsi. Hal itu dapat
dijelaskan dari pendapatan atau gaji yang tidak mencukupi kebutuhan. Pendapat ini
tidak mutlak benar karena dalam teori kebutuhan Maslow, sebagaimana dikutip oleh
Sulistyantoro, korupsi seharusnya hanya dilakukan oleh orang untuk memenuhi dua
kebutuhan yang paling bawah dan logika lurusnya hanya dilakukan oleh komunitas
masyarakat yang pas-pasan yang bertahan hidup. Namum saat ini korupsi dilakukan
oleh orang kaya dan berpendidikan tinggi (Sulistyantoro : 2004). Pendapat lain yang
menyatakan bahwa kurangnya gaji dan pendapatan pegawai negeri memang merupakan
faktor yang paling menonjol dalam arti menyebabkan merata dan meluasnya korupsi di
Indonesia dikemukakan pula oleh Guy J. Pauker (1979). Terkait faktor ekoonomi dan
terjadinya korupsi, banyak pendapat menyatakan bahwa kemiskinan merupakan akar
masalah korupsi. Pernyataan demikian tidak benar sepenuhnya, sebab banyak korupsi
yang dilakukan oleh pemimpin Asia dan Afrika, dan mereka tidak tergolong orang
miskin. Dengan demikian korupsi bukan disebabkan oleh kemiskinan, tapi justru
sebaliknya, kemiskinan disebabkan oleh korupsi.
4. Faktor Organisasi
Aspek-aspek penyebab terjadinya korupsi dari sudut pandang organisasi ini meliputi:
(a) kurang adanya teladan dari pimpinan, (b) tidak adanya kultur organisasi yang benar,
(c) sistem akuntabilitas di instansi pemerintah kurang memadai, (d) manajemen
cenderung menutupi korupsi di dalam organisasinya. Karena sebuah organisasi dapat
8
berfungsi dengan baik, hanya bila anggotanya bersedia mengintegrasikan diri di bawah
sebuah pola tingkah laku (yang normatif), sehingga dapat dikatakan bahwa kehidupan
bersama hanya mungkin apabila anggota-anggota bersedia mematuhi dan mengikuti
“aturan permainan” yang telah ditentukan. Disinilah letaknya bila kurang ada teladan
dari pimpinan bisa memicu perilaku korup. Banyak kejadian justru para pengawas
tersebut terlibat dalam praktik korupsi, belum lagi berkaitan dengan pengawasan
ekternal yang dilakukan masyarakat dan media juga lemah, dengan demikian
menambah deretan citra buruk pengawasan yang sarat dengan korupsi.
Korupsi tidak hanya berdampak terhadap satu aspek kehidupan saja. Korupsi
menimbulkan efek domino yang meluas terhadap eksistensi bangsa dan negara.
Meluasnya praktik korupsi di suatu negara akan memperburuk kondisi ekonomi bangsa,
misalnya harga barang menjadi mahal dengan kualitas yang buruk, akses rakyat
terhadap pendidikan dan kesehatan menjadi sulit, keamanan suatu negara terancam,
kerusakan lingkungan hidup, dan citra pemerintahan yang buruk di mata internasional
sehingga menggoyahkan sendi-sendi kepercayaan pemilik modal asing, krisis ekonomi
yang berkepanjangan, dan negara pun menjadi semakin terperosok dalam kemiskinan.
Korupsi memiliki berbagai efek penghancuran yang hebat (an enermous destruction
effects) terhadap berbagai sisi kehidupan bangsa dan negara, khususnya dalam sisi
ekonomi sebagai pendorong utama kesejahteraan masyarakat. Mauro menerangkan
hubungan antara korupsi dan ekonomi. Menurutnya korupsi memiliki korelasi negatif
dengan tingkat investasi, pertumbuhan ekonomi, dan dengan pengeluaran pemerintah
untuk program sosial dan kesejahteraan (Mauro: 1995). Hal ini merupakan bagian dari
inti ekonomi makro. Kenyataan bahwa korupsi memiliki hubungan langsung dengan
hal ini mendorong pemerintah berupaya menanggulangi korupsi, baik secara preventif,
represif maupun kuratif. Di sisi lain meningkatnya korupsi berakibat pada
meningkatnya biaya barang dan jasa, yang kemudian bisa melonjakkan utang negara.
Pada keadaan ini, inefisiensi terjadi, yaitu ketika pemerintah mengeluarkan lebih
banyak kebijakan namun disertai dengan maraknya peraktek korupsi, bukannya
memberikan nilai positif, misalnya perbaikan kondisi yang semakin tertata, namun
justru memberikan negative value added bagi perekonomian secara umum. Misalnya,
anggaran perusahaan yang sebaiknya diputar dalam perputaran ekonomi, justru
dialokasikan untuk birokrasi yang ujung-ujungnya terbuang masuk ke kantong pribadi
pejabat. Berbagai macam permasalahan ekonomi lain akan muncul secara alamiah
9
apabila korupsi sudah merajalela dan berikut ini adalah hasil dari dampak masif
tindakan korupsi yaitu:
Dampak Ekonomi;
Dampak Sosial dan Kemiskinan masyarakat;
Dampak Biroksasi Pemerintahan;
Dampak Politik dan Demograsi;
Dampak terhadap Penegakan Hukum;
Dampak Terhadap Pertahanan keamanan; dan
Dampak kerusakan Lingkungan.
Berikut akan dibahas definisi korupsi menurut sejumlah negara (dikutip dari
“pengertian-pengertian dasar korupsi” indonesia corruption watch)
A. Meksiko
Korupsi diartikan sebagai bentuk penyimpangan ketidakjujuran berupa pemberian
sogokan, upeti, terjadinya pertentangan kepentingan , kelalaian dan pemborosan yang
memerlukan rencana dan strategi yang akan memberikan keuntungan kepada
pelakunya.
B. Nigeria
Korupsi diartikan sebagai perbuatan yang dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh
keuntungan yang tidak sesuai dengan tugas/jabatannya dan melanggar hak orang lain.
C. Uganda
Korupsi diartikan suatu praktek/perbuatan atau kelalaian yang dilakukan oleh seorang
pegawai negeri yang merupakan suatu penyimpangan dari norma dan tidak dapat
diketahui umum secara terbuka, tetapi hanya disembunyikan dari penglihatan
masyarakat. Megubah putusan yang harus diambil oleh pejabat, membuat keputusan
yang tidak harus dilakukan menjadi putusan yang dilaksanakan. Menjadikan suatu
putusan dapat dibuat berbeda-beda dan membuat suatu alternatif dalam suatu putusan,
sehingga dengan peraturan-peraturan dan prosedur tidak lagi menjadi penting
10
D. Brasilia
Korupsi yang terjadi di pemerintahan brasilia adalah menggunakan secara langsung
atau tidak langsung kekuasaan yang dimilikinya diluar bidang yang harus
dilakukannya, yang pada akhirnya bertujuan memperoleh keuntungan kepada
bawahannya, kawannya dan sebagainya. Korupsi sebagaimana meminta keuntungan
(biasanya dalam bentuk keuangan) yang disebabkan oleh kedudukannya atau
menawarkan suatu kesempatan kepada petugas pemerintah/negara dengan maksud dia
akan memperoleh sesuatu jika membantunya.
E. Kamerun
Suatu permintaan, penerimaan atau persetujuan yang dilakukan oleh seseorang pegawai
negeri atau bawahan/pembantunya, baik untuk dirinya sendiri atau orang lain atas
tawaran janji, hadiah atau untuk melakukan sesuatu pekerjaan dalam menjalankan tugas
–tugas dikantornya yang bersangkutan. Suatu tindakan yang menyalahgunakan
pemberian fasilitas karena kedudukannya tersebut, melakukan suatu tindakan tidak
sesuai atau bertentangan dengan wewenangnya. Meminta atau menerima suatu
pemberian dalam bentuk uang atau sesuatu barang oleh seorang pegawai
negeri/pembantunya untuk dirinya sendiri atau orang lain dengan imbalan untuk suatu
perbuatan atau dalam bentuk tidak melakukan perbuatan. Suatu perbuatan baik yang
berupa penawaran hadiah-hadiah, pemberian sesuatu atau sesuatu imbalan dalam
bentuk lainnya bagi suatu perbuatan yang telah dilaksanakan atau dalam hal tidak
melakukan suatu perbuatan.
F. Uni sovyet
Sebagai suatu sistem hubungan tertentu yang melanggar hukum dari suatu aparat
negara yang melanggar kepentingan negara dan masyarakat, dengan motivasi beraneka
ragam.
G. Muangthai
Perilaku yang dilarang oleh undang-undang bagi pegawai negeri (pemerintah)
H. Philipina
Korupsi dikategorikan sebagai penyalahgunaan wewenang terhadap dana masyarakat
dan pemalsuan dokumen-dokumen
11
I. India
Perbuatan dari oknum-oknum yang tidak terpuji ingin memperoleh keuntungan (uang)
secepat mungkin dengan menyalahgunakan kedudukan wewenang atau dengan taktik-
taktik yang sengaja memperlambat suatu penyelesaian dengan tujuan agar menjadi
gangguan-gangguan sehingga mau tidak mau orang yang berkepentingan harus
berurusan dengan uang dengan cara jalan belakang.
J. Argentina
Di argentina katakteristik korupsi adalah perbuatan-perbuatan yang berupa menerima
sesuatu langsung maupun melalui perantara yang berupa uang atau pemberian lain
ataupun janji untuk melakukan sesuatu dalam suatu hubungan yang berkaitan dengan
fungsi (kedudukan) sebagai seorang pejabat/pegawai negeri ataupun menggunakan
pengaruh atas kedudukannya tersebut sebelum pegawai negeri/pejabat lain melakukan
sesuatu. Penyalahgunaan dana pemerintah/negara : tindakan menggunakan dana milik
negara yang dikelola oleh pegawai/pejabat untuk tujuan yang berlainan dengan yang
dimaksudkan untuk hal tersebut.
Definisi korupsi menurut uu no. 31/1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi
Berdasarkan uu no. 31/1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dapat
ditemukan definisi korupsi menurut pasal 2 dan pasal 3 adalah sebagai berikut :
Pasal 2 uu no. 31/ 1999 berisi ketentuan : “setiap orang yang secara melawan hukum
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi
yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling
lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit rp. 200.000.000,- (dua ratus juta
rupiah) dan paling banyak rp .1.000.000.000,-(satu milyar)
Pasal 3 uu no. 31/1999 berisi ketentuan : “setiap orang yang dengan tujuan
menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi, menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan
12
yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit rp. 50.000.000,- (lima
puluh juta rupiah) dan paling banyak rp 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).
Secara hukum pengertian “korupsi” adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi. Menurut
mti pengertian korupsi lebih ditekankan pada perbuatan yang merugikan kepentingan
publik atau masyarakat luas untuk kepentingan pribadi atau golongan.
13
A. Pengertian Kolusi
Definisi kolusi adalah permfakatan atau kerja sama secara melawan hukum
antarpenyelenggara negara atau antara penyelenggara negara dengan pihak lain yang
mana kerja sama tersebut dapat merugikan orang lain, masyarakat ataupun negara.
Dalam KBBI kolusi adalah kerjasama secara diam-diam (rahasia) untuk maksud tidak
terpuji dan/atau persekongkolan.
B. Pengertian Nepotisme
14
pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa. Selain itu untuk lebih menjamin
kepastian hukum, menghindari keragaman penafsiran hukum dan memberikan perlindugan
terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, serta perlakuan secara adil dalam
memberantas tindak pidana korupsi, perlu diadakan perbahan atas UU no.31 tahun 1999
tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
b. UU no. 28 tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN
c. UU no. 3 tahun 1971 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi
d. UU no. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi
e. Ketetapan MPR no. X/MPR/1998 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan
bebas KKN
f. UU no. 25 tahun 2002 tentang tindak pidana pencucian uang
g. UU no. 30 tahun 2002 tentang komisi pemberantasan tindak pidana korupsi (KPK)
h. Intruksi Presiden Republik Indonesia no. 5 tahun 2004 tentang percepatan
pemberantasan korupsi
i. Peraturan pemerintah no. 71 tahun 2000 tentang cara pelaksanaan peran serta serta
masyarakat dan pemberian penghargaan dalam pencegahan dan pemberantasan tindak
pidana korupsi
j. Peraturan pemerintah no. 63 tahun 2005 tentan sistem manajemen sumber daya manusia
KPK
k. Lembaga Negara/ Pemerintah dalam Upaya Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
15
Pada akhir 1967 Presiden Soeharto membentuk Tim Pemberantasan Korupsi (TPK)
dengan Kepres No. 228/1967 tanggal 2 Desember 1967 dan dasar hukumnya masih
tetap UU 24/1960. Para anggota tim ini merangkap jabatan lain seperti Jaksa Agung,
Kapolri, Menteri Kehakiman, dan Panglima ABRI. Hasil kerja tim ad-hoc ini kemudian
berhasil menyeret 9 orang yang diindikasikan “koruptor”.
Presiden Soeharto juga membentuk Komisi Empat pada Januari 1970, untuk
memberikan “penilaian obyektif” terhadap langkah yang telah diambil pemerintah, dan
memberikan “pertimbangan mengenai langkah yang lebih efektif untuk memberantas
korupsi”. Mantan Wakil Presiden M. Hatta diangkat sebagai penasihat Komisi Empat.
Anggota-anggotanya adalah mantan perdana menteri Wilopo, I.J.Kasimo, Prof.
Johannes dan Anwar Tjokroaminoto dan Kepala BAKIN Mayjen Sutopo Yuwono
menjadi sekretaris.
Selama periode 1970-1977 hanya satu pejabat tinggi yang dipenjara karena korupsi,
yaitu Deputi Kapolri Letjen Pol Siswadji (1977, divonis 8 tahun). Pegawai negeri yang
diganjar hukuman paling berat adalah Kepala Depot Logistik Kaltim Budiadji, yang
divonis penjara seumur hidup (grasi Presiden menguranginya menjadi 20 tahun). Selain
Komisi Empat, dimasa pemerintahan orde baru juga pernah berdiri Komisi Anti
Korupsi (KAK) pada tahun 1970. Anggota KAK terdiri dari aktivis mahasiswa
eksponen 66 seperti Akbar Tanjung, Thoby Mutis, Asmara Nababan dkk. Namun
belum terlihat hasil yang telah dicapai, Komisi ini dibubarkan pada 15 Agustus 1970
atau hanya dua bulan sejak terbentuk.
Ketika Abdurrahman Wahid menjadi presiden, dibentuk Tim Gabungan Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK). Tim ini berada di bawah Jaksa Agung Marzuki
Darusman. TGPTPK dibentuk sebagai lembaga sementara sampai terbentuknya Komisi
Pemberantasan Korupsi yang merupakan amanat UU No.31 tahun 1999 tentang
pemberantasan korupsi. Sayang, TGPTPK yang beranggotakan jaksa, polisi dan wakil
dari masyarakat tidak mendapat dukungan. Bahkan oleh Jaksa Agung sendiri.
Permintaan TGPTPK untuk mengusut kasus BLBI yang banyak macet prosesnya
ditolak oleh Jaksa Agung. Akhirnya, TGPTPK dibubarkan tahun 2001 ketika gugatan
judicial review tiga orang Hakim Agung pernah diperiksa oleh TGPTPK dikabulkan
oleh Mahkamah Agung.
Pada tahun 1999 juga pernah terbentuk Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggaran
Negara (KPKPN) berdasarkan UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Komisi yang
16
dipimpin oleh Yusuf Syakir ini bertugas menerima dan memeriksa laporan kekayaan
para penyelenggara negara.
Pada era Megawati sebagai Presiden, berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 2002 dibentuk
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK). Komisi superbody yang memiliki 5 tugas dan 29 wewenang yang luar biasa ini
dipimpin oleh Taufiqurahman Ruki, Sirajudin Rasul, Amien Sunaryadi, Erry Riyana
Harjapamengkas, Tumpak Hatorang. Belum genap satu tahun berdiri, KPK telah
menerima 1.452 laporan masyarakat mengenai praktek korupsi. Sepuluh kasus
diantaranya ditindaklanjuti dalam proses penyidikan dan sudah dua kasus korupsi yang
berhasil dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor (Abdullah Puteh dan Harun Let Let dan
keduanya telah divonis). Kasus korupsi besar yang telah ditangani KPK adalah korupsi
yang terjadi di Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hasil penyelidikan dan penyidikan
KPK berhasil menjebloskan ketua dan anggota KPU serta beberapa pegawai Setjen
KPU ke penjara. Meskipun seringkali menuai kritik dari berbagai kalangan namun apa
yang telah dilakukan oleh KPK sedikit banyak memberikan harapan bagi upaya
penuntasan beberapa kasus korupsi di Indonesia.
Setelah Megawati lengser dan digantikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY), program 100 hari pemerintahannya ditandai dengan pembentukan Tim Pemburu
Koruptor yang dipimpin oleh oleh Wakil Jaksa Agung , Basrief Arief dibawah
koordinasi Wakil Presiden Jusuf Kalla. Tim yang terdiri dari Kejaksaan dan Kepolisian
bertugas memburu terpidana dan tersangka kasus korupsi yang melarikan diri keluar
negeri. Meskipun belum terlihat hasil yang telah dicapai, namun Tim Pemburu koruptor
diberitakan sudah menurunkan tim ke lima negara, yaitu Singapura, Amerika Serikat,
Hongkong, Cina dan Australia. Selain itu Tim pemburu koruptor juga telah
mengidentifikasi jumlah aset yang terparkir di luar negeri sebanyak Rp 6-7 triliun.
17
2. Kebijakan Pemerintah Dalam Pemberantasan Korupsi:
a. Mewujudkan keseriusan pemerintah dalam upaya memberantas korupsi, Telah di
keluarkan berbagai kebijakan. Di awali dengan penetapan anti korupsi sedunia
oleh PBB pada tanggal 9 Desember 2004, Presiden susilo Budiyono telah
mengeluarkan instruksi Presiden Nomor 5tahun 2004 tentang Percepatan
Pemberantasan Korupsi, yang menginstruksikan secara khusus Kepada Jaksa
Agung Dan Kapolri:
b. Mengoptimalkan upaya – upaya penyidikan/Penuntutan terhadap tindak pidana
korupsi.
c. Meningkatkan Kerjasama antara kejaksaan dgn kepolisian Negara RI, selain
denagan BPKP,PPATK,dan intitusi Negara yang terkait denagn upaya penegakan
hukum.[3]
18
4. Upaya yang Dapat Ditempuh dalam Pemberantasan Korupsi
a. Upaya Pencegahan (Preventif)
Menanamkan semangat nasional yang positif dengan mengutamakan pengabdian pada
bangsa dan negara melalui pendidikan formal, informal dan agama, melakukan
penerimaan pegawai berdasarkan prinsip keterampilan teknis, para pejabat dihimbau
untuk mematuhi pola hidup sederhana dan memiliki tang-gung jawab yang tinggi,
para pegawai selalu diusahakan kesejahteraan yang memadai dan ada jaminan masa
tua, menciptakan aparatur pemerintahan yang jujur dan disiplin kerja yang tinggi,
sistem keuangan dikelola oleh para pejabat yang memiliki tanggung jawab etis tinggi
dan dibarengi sistem kontrol yang efisien.
b. Upaya Penindakan (Kuratif)
Upaya penindakan, yaitu dilakukan kepada mereka yang terbukti melanggar dengan
diberikan peringatan, dilakukan pemecatan tidak terhormat dan dihukum pidana.
c. Upaya Edukasi Masyarakat/Mahasiswa:
1. Memiliki tanggung jawab guna melakukan partisipasi politik dan kontrol sosial
terkait dengan kepentingan publik.
2. Tidak bersikap apatis dan acuh tak acuh.
3. Melakukan kontrol sosial pada setiap kebijakan mulai dari pemerintahan desa
hingga ke tingkat pusat/nasional.
4. Membuka wawasan seluas-luasnya pemahaman tentang penyelenggaraan peme-
rintahan negara dan aspek-aspek hukumnya.
5. Mampu memposisikan diri sebagai subjek pembangunan dan berperan aktif
dalam setiap pengambilan keputusan untuk kepentingan masyarakat luas.
d. Upaya Edukasi LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat):
Indonesia Corruption Watch (ICW) adalah organisasi non-pemerintah yang meng-
awasi dan melaporkan kepada publik mengenai korupsi di Indonesia dan terdiri dari
sekumpulan orang yang memiliki komitmen untuk memberantas korupsi melalui
usaha pemberdayaan rakyat untuk terlibat melawan praktik korupsi. ICW lahir di
Jakarta pada tanggal 21 Juni 1998 di tengah-tengah gerakan reformasi yang
menghendaki pemerintahan pasca Soeharto yang bebas korupsi.
19
untuk memberantas korupsi. Tak pelak ini terjadi karena korupsi terus terjadi
menggerus hak rakyat atas kekayaan negara. Kekayaan negara yang berlimpah, nyaris
tak tersisa untuk kesejahteraan masyarakat.
Di masa awal Orde Baru, pemerintah menerbitkan Keppres No.28 Tahun 1967 tentang
Pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi. Dalam pelaksanaannya, tim tidak bisa
melakukan pemberantasan korupsi secara maksimal, bahkan bisa dikatakan hampir
tidak berfungsi. Peraturan ini malahan memicu berbagai bentuk protes dan demonstrasi
mulai tahun 1969 dan puncaknya di tahun 1970 yang kemudian ditandai dengan
dibentuknya Komisi IV yang bertugas menganalisa permasalahan dalam birokrasi dan
mengeluarkan rekomendasi untuk mengatasinya.
20
Masih di tahun yang sama, mantan wakil presiden pertama RI Bung Hatta
memunculkan wacana bahwa korupsi telah membudaya di Indonesia. Padahal, lanjut
Hatta, korupsi telah menjadi perilaku dari sebuah rezim baru yang dipimpin Soeharto,
padahal usia rezim ini masih begitu muda. Hatta seperti merasakan cita-cita pendiri
Republik ini telah dikhianati dalam masa yang masih sangat muda. Ahli sejarah JJ
Rizal mengungkapkan, “Hatta saat itu merasa cita-cita negara telah dikhianati dan lebih
parah lagi karena korupsi itu justru seperti diberi fasilitas. Padahal menurut dia, tak ada
kompromi apapun dengan korupsi.”
Orde baru bisa dibilang paling banyak mengeluarkan peraturan karena masa Orde Baru
yang cukup panjang. Namun sayangnya tidak banyak peraturan yang dibuat itu berlaku
efektif dan membuat korupsi sedikit berkurang dari bumi Indonesia. Menyambung
pidatonya di Hari Kemerdekaan RI 17 Agustus 1970, pemerintahan Soeharto
mengeluarkan UU No.3 tahun 1971 tentang PemberantasanTindak Pidana Korupsi.
Aturan ini menerapkan pidana penjara maksimum seumur hidup serta denda maksimum
Rp 30 juta bagi semua delik yang dikategorikan korupsi.
Organ-organ negara seperti parlemen yang memiliki fungsi pengawasan dibuat lemah.
Anggaran DPR ditentukan oleh pemerintah sehingga fungsi pengawasan tak ada lagi.
Lembaga yudikatif pun dibuat serupa oleh rezim Orde Baru, sehingga taka da kekuatan
yang tersisa untuk bisa mengadili kasus-kasus korupsi secara independen. Kekuatan
masyarakat sipil dimandulkan, penguasa Orde Baru secara perlahan membatasi ruang
gerak masyarakat dan melakukan intervensi demi mempertahankan kekuasaannya.
Berikut ini beberapa peraturan yang terbit di masa Orde Baru berkaitan dengan
pemberantasan korupsi :
• GBHN Tahun 1973 tentang Pembinaan Aparatur yang Berwibawa dan Bersih dalam
Pengelolaan Negara;
21
• GBHN Tahun 1978 tentang Kebijakan dan Langkah-Langkah dalam rangka Penertiban
Aparatur Negara dari Masalah Korupsi, Penyalahgunaan Wewenang, Kebocoran dan
Pemborosan Kekayaan dan Kuangan Negara, Pungutan-Pungutan Liar serta Berbagai
Bentuk Penyelewengan Lainnya yang Menghambat Pelaksanaan Pembangunan;
• Undang-Undang No.3 Tahun 1971 tentang Tindak Pidana Korupsi;
• Keppres No. 52 Tahun 1971 tentang Pelaporan Pajak Para Pejabat dan PNS;
• Inpres Nomor 9 Tahun 1977 tentang Operasi Penertiban;
• Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap.
Berganti rezim, berganti pula harapan rakyat Indonesia untuk bisa mengenyahkan
koruptor dari Indonesia. Orde Baru kandas, muncul pemerintahan baru yang lahir dari
gerakan reformasi pada tahun 1998. Di masa pemerintahan Abdurrahman Wahid
Muncul Tap MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Pengelolaan Negara yang Bersih dan
Bebas KKN. Pemerintahan Gus Dur kemudian membentuk badan-badan negara untuk
mendukung upaya pemberantasan korupsi, antara lain: Tim Gabungan Penanggulangan
Tindak Pidana Korupsi, Komisi Ombudsman Nasional, Komisi Pemeriksa Kekayaan
Pejabat Negara dan beberapa lainnya.
Pada masa itu, ada beberapa catatan langkah radikal yang dilakukan oleh pemerintahan
Gus Dur. Salah satunya, mengangkat Baharudin Lopa sebagai Menteri Kehakiman
yang kemudian menjadi Jaksa Agung. Kejaksaan Agung RI sempat melakukan
langkah-langkah kongkret penegakan hukum korupsi. Banyak koruptor kelas kakap
yang diperiksa dan dijadikan tersangka pada saat itu.
Di masa kepemimpinan Megawati Soekarno Putri, berbagai kasus korupsi menguap dan
berakhir dengan cerita yang tidak memuaskan masyarakat. Masyarakat mulai
meragukan
22
Di tengah kepercayaan masyarakat yang sangat rendah terhadap lembaga negara yang
seharusnya mengurusi korupsi, pemerintahan Megawati kemudia membentuk Komisi
Pemberantasan TIndak Pidana Korupsi (KPTPK). Pembentukan lembaga ini
merupakan terobosan hukum atas mandeknya upaya pemberantasan korupsi di negara
ini. Ini yang kemudian menjadi cikal bakal Komisi Pemberantasan Korupsi.
Di era Presiden SBY, visi pemberantasan korupsi tercermin dari langkah awal yang
dilakukannya dengan menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 dan
kemudian dilanjutkan dengan penyiapan Rencana Aksi Nasional Pemberantasan
Korupsi (RAN) yang disusun oleh Bappenas. RAN Pemberantasan Korupsi itu berlaku
pada tahun 2004-2009. Dengan menggunakan paradigma sistem hukum, pemerintah
Susilo Bambang Yudhoyono diuntungkan sistem hukum yang mapan, keberadaan KPK
melalui Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
(Tipikor) yang terpisah dari pengadilan umum, dukungan internasional (structure), dan
instrument hukum yang saling mendukung antara hukum nasional dan hukum
internasional.
23
ditunjukkan untuk mendukung lembaga pemberantas korupsi di negeri ini yang
nantinya akan dicatat sebagai sejarah baik atas panjangnya upaya pemberantasan
korupsi yang selama ini sudah dilakukan. Semoga!
1.Kotawaringin Timur
KPK resmi menetapkan Bupati Kotawaringin Timur Supian Hadi sebagai tersangka
atas kasus korupsi penerbitan Izin Usaha Pertambanga (IUP) di daerah itu. Dalam kasus
ini, negara tercatat mengalami kerugian hingga Rp 5,8 triliun dan 711 ribu dolar AS.
Supian yang juga kader PDIP ini diduga menguntungkan diri sendiri dan korporasi
dalam pemberian IUP kepada tiga perusahaan yakni PT. Fajar Mentaya Abadi (PT.
FMA), PT. Billy Indonesia (PT. BI) dan PT. Aries Iron Maining (PT. AIM) pada
periode 2010-2015.
Peneliti Indonesian Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho menyebut kasus korupsi
Bupati Kotawaringin Timur menjadi salah satu kasus korupsi terbesar yang ditangani
oleh KPK.
"Jadi ini satu kerugian negara paling besar yang kami tahu yang ditangani KPK," kata
Emerson.
2. Kasus BLBI
Kasus korupsi Bantuan Likuiditas Nak Indonesia (BLBI) yang telah bergulir sejak lebih
dari satu dasawarsa ini juga menjadi salah satu kasus korupsi terbesar yang pernah ada di
Tanah Air. Hingga kini, kasus yang membelit sejumlah petinggi negara dan perusahaan
besar ini masih juga belum menemui titik terang.
BLBI adalah program pinjaman dari Bank Indonesia kepada sejumlah bank yang
mengalami masalah pembayaran kewajiban saat menghadapi krisis moneter 1998. Bank
yang telah mengembalikan bantuan mendapatkan Surat Keterangan Lunas (SKL), namun
belakangan diketahui SKL itu diberikan sebelum bank tertentu melunasi bantuan.
24
Menurut keterangan KPK, kerugian negara akibat kasus megakorupsi ini mencapai Rp 3,7
triliun. Penyelesaian kasus besar yang ditargetkan rampung 2018 ini pun kembali molor
hingga 2019.
3. Kasus E-KTP
Kasus pengadaan E-KTP menjadi salah satu kasus korupsi yang paling fenomenal. Kasus
yang menyeret Mantan Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto ini telah bergulir sejak
2011 dengan total kerugian negara mencapai Rp 2,3 triliun.
Setidaknya ada sekitar 280 saksi yang telah diperiksa KPK atas kasus ini dan hingga kini
ada 8 orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka.
Mereka adalah pengusaha Made Oka Masagung, Keponakan Setya Novanto yakni Irvanto
Hendra Pambudi, Mantan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan
Dirjen Dukcapil Kemendagri Sugiharto, Mantan Dirjen Kependudukan dan Pencatatan
Sipil Kemendagri Irman, pengusaha Andi Narogong, Mantan Ketua Umum Golkar Setya
Novanto, Anggota DPR Markus Nari, dan Direktur PT Quadra Solution Anang Sugiana
Sudiharjo.
4. Proyek Hambalang
Kasus proyek pembangunan Pusat Pendidikan, Pelatihan, dan Sarana Olahraga Nasional
(P3SON) di Hambalang juga tercatat menjadi salah satu kasus korupsi besar yang pernah
ada. Nilai kerugiannya mencapai Rp 706 miliar.
Pembangunan proyek Hambalang ini direncanakan dibangun sejak masa Menteri Pemuda
dan Olahraga Andi Malarangeng dengan menghabiskan anggaran sebesar Rp 1,2 triliun.
Proyek yang ditargetkan rampung dalam waktu 3 tahun ini mangkrak hingga akhirnya
aliran dana korupsi terendus KPK.
Aliran dana proyek ini masuk ke kantong beberapa pejabat. Di antaranya Mantan Menpora
Andi Malarangeng, Sekretaris Kemenpora Wafid Muharram, Ketua Umum Partai
Demokrat Anas Urbaningrum, Direktur Utama PT Dutasari Citra Laras Mahfud Suroso,
Anggota DPR Angelina Sondakh.
25
5. Soeharto
Mantan Presiden Kedua Soeharto disebut-sebut telah melakukan tindak pidana korupsi
terbesar dalam sejarah dunia. Kekayaan negara yang diduga telah dicuri oleh Soeharto
berkisar antara 15 hingga 35 miliar dolar AS atau sekitar Rp 490 triliun.
Peneliti ICW Emerson Yuntho meminta agar pemerintah dapat segera mengusut tuntas
kasus korupsi terbesar ini. Sebab penyelesaian kasus ini merupakan mandate reformasi.
"Agenda reformasi sebagaimana yang dimuat dalam TAP MPR Nomor XI Tahun 1998
yang bicara soal penyelenggaraan negara bebas korupsi. Nah bagi kami, upaya penuntasan
kasus Soeharto ini salah satu bentuk menjalankan amanat Reformasi yang belum tuntas,"
kata Emerson.
26
BAB III
A. KESIMPULAN
Korupsi adalah penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaaan) dan
sebagainya untuk keuntungan pribadi atau orang lain serta selalu mengandung unsur
“penyelewengan” ataudishonest(ketidakjujuran).
Korupsi di Indonsia dimulai sejak era Orde Lama sekitar tahun 1960-an bahkan sangat
mungkin pada tahun-tahun sebelumnya. Korupsi di Indonesia semakin banyak sejak
akhir 1997 saat negara mengalami krisis politik, sosial, kepemim-pinan dan
kepercayaan yang pada akhirnya menjadi krisis multidimensi.
Pelajaran yang didapat dari uraian diatas sebenarnya korupsi yang terjadi di Indonesia
disebabkan mental pemimpin yang buruk. Jadi walaupun sebaik apapun sistem
pemerintahan, setegas apapun hukum, dan sebersih apapun aparat akan percuma bila
mental pemimpin dan pejabat negeri ini masih buruk dan korupsi pasti masih akan terus
lestari. Untuk itu sekarang kita harus menyadarkan para pemimpin untuk memperbaiki
mentalnya, dan apabila sudah tidak dapat diperbaiki maka sebaiknya untuk diganti
dengan pemimpin yang amanah dan bermental baik serta siap susah demi rakyat. Kita
sebagai generasi muda calon pemimpin bangsa sudah seharusnya menjaga hati dan
mental agar tetap jujur dan tidak berubah menjadi mental koruptor.
26
B. DAFTAR PUSTAKA
http://andsbarcaboy.blogspot.com/2016/03/sejarah-korupsi-di-indonesia.html.
http://polmas.wordpress.com/2016/03/03/sejarah-penegakkan-hukum-tindak-pidana-korupsi-
di-indonesia.
http://makalahsekolah.com/2016/03/03/makalah-upaya-pemberantasan-korupsi-di-indonesia.
http://fikriarahman-smkwadaya.blogspot.co.id/2016/03/peran-pemerintah-dalam-
memberantas.html.
http://nurulsolikha.blogspot.com/2016/03/upaya-pemberantasan-korupsi-di.html.
[1] http://andsbarcaboy.blogspot.com/2016/03/sejarah-korupsi-di-indonesia.html.
[2] http://polmas.wordpress.com/2016/03/03/sejarah-penegakkan-hukum-tindak-pidana-
korupsi-di-indonesia.
[3] http://makalahsekolah.com/2016/03/03/makalah-upaya-pemberantasan-korupsi-di-
indonesia.
[4] http://fikriarahman-smkwadaya.blogspot.co.id/2016/03/peran-pemerintah-dalam-
memberantas.html.
[5] http://nurulsolikha.blogspot.com/2016/03/upaya-pemberantasan-korupsi-di.html.
Wijayanto ; Zachrie, Ridwan [ed.]. 2009. Korupsi Mengorupsi Indonesia. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Muslim, Mahmuddin ; Mahbub, Agus Sahlan ; Erwin, Ahmad Yulden [ed.]. 2004. Jalan
Panjang Menuju KPTK. Jakarta: Gerak Indonesia dan Yayasan Tifa.
Chalid, Hamid ; Johan, Abdi Kurnia. 2010. Politik Hukum Pemberantasan Korupsi Tiga
Zaman : Orde Lama, Orde Baru dan Era Reformasi. Jakarta: Masyarakat Transparansi
Indonesia.
27