Anda di halaman 1dari 81

MOTIF BLAUE BLUME DALAM ROMAN ERA ROMANTIK

“HEINRICH VON OFTERDINGEN” KARYA NOVALIS

oleh

INDAH CAHYANI
NPM 180810160009

SKRIPSI

diajukan untuk memenuhi salah satu syarat ujian


guna memperoleh gelar sarjana Humaniora
pada Program Studi Sastra Jerman
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran

PROGRAM STUDI SASTRA JERMAN


FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2023
LEMBAR PENGESAHAN

MOTIF BLAUE BLUME DALAM ROMAN ERA ROMANTIK


“HEINRICH VON OFTERDINGEN” KARYA NOVALIS

Oleh:
INDAH CAHYANI
NPM 180810160009

SKRIPSI
diajukan untuk memenuhi salah satu syarat ujian
guna memperoleh gelar Sarjana Humaniora
pada Program Studi Sastra Jerman
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran

Telah disetujui oleh tim pembimbing pada tanggal seperti tertera di bawah ini:
Jatinangor, Juli 2023

Dosen Pembimbing

Kamelia Gantrisia, M.Hum.


NIP. 19720721 199603 2 001

Dekan Fakultas Ilmu Budaya Ketua Program Studi Sastra Jerman


Universitas Padjadjaran Fakultas Ilmu Budaya

Prof. Aquarini Priyatna, M.A., M.Hum., Ph.D. Dr. Cicu Finalia, S.S.,M.Hum.
NIP. 19680601 199403 2 003 NIP. 19780625 201012 2 001

ii
LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:


1. Skripsi ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk mendapatkan
gelar
akademik sarjana di universitas/perguruan tinggi mana pun.
2. skripsi ini adalah murni gagasan, rumusan, dan penelitian saya sendiri,
tanpa
bantuan pihak lain, kecuali arahan dari tim pembimbing.
3. Dalam skripsi ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis
untuk
dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dicantumkan sebagai
acuan dalam naskah dengan disebutkan nama pengarang dan dicantumkan
dalam referensi
4. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila di kemudian
hari
terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka
saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang
telah diperoleh karena karya tulis ini, serta sanksi lainnya sesuai dengan
norma yang berlaku di perguruan tinggi ini.

Bandung, 14 Juli 2023


Yang membuat pernyataan,

INDAH CAHYANI
180810160009

iii
PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan
rahmat-Nya, sehingga penulis diberikan kemudahan kelancaran dalam
menyelesaikan skripsi yang berjudul " Motif Blaue Blume dalam Roman Era
Romantik “Heinrich von Ofterdingen” Karya Novalis". Selama proses menulis
skripsi ini, penulis mendapatkan banyak bantuan serta dukungan dari banyak
pihak. Maka dari itu, dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima
kasih yang tak terhingga kepada:
1. Dekan Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran, Prof. Aquarini
Priyatna. M.A., M.Hum., Ph. D.;
2. Ketua Program Studi Sastra Jerman Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Padjadjaran, Dr. Cicu Finalia, M. Hum;
3. Dosen Pembimbing, Kamelia Gantrisia, M. Hum., yang telah menuntun dan
mendampingi dalam mengurus segala urusan akademik penulis;
4. Dosen Wali, Dr. Phil. N. Rinaju Purnomowulan, M. A. yang telah
memberikan bimbingan, bantuan serta dukungan moral keapada penulis
selama proses penyusulan ini;
5. Dosen-dosen Program Studi Sastra Jerman Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Padjadjaran (Dr. Dian Indira, M. Hum., Dr. phil. Dian Ekawati, M. A., Dr.
Rinaju Purnomowulan, M. A., Damayanti Priatin, M. Hum, Dr. Cicu Finalia,
M. Hum, Kamelia Gantrisia, M. Hum., Dr. Dewi Ratnasari, M.Hum) dan juga
staf-staf Prigram Studi Sastra Jerman Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Padjadjaran;
6. Keluarga penulis, yang selalu memberikan nasihat dan doa serta dukungan
penuh kepada penulis untuk segera menyelesaikan studi.

iv
7. Sahabat-sahabat penulis, yang memberikan dukungan dan selalu ada
membantu penulis dalam melewati masa-masa sulit menyusun skripsi.
Semoga segala bentuk kebaikan yang telah diberikan oleh berbagai pihak
mendapatkan balasan yang berlipat ganda oleh Allah SWT.

Menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna, penulis dengan
tangan terbuka akan menyambut segala bentuk kritik untuk memperbaiki
kesalahan dan kekurangan yang ada. Tiada lain harapan penulis bahwa karya tulis
ilmiah, meski secara terbatas, dapat memberikan manfaat bagi yang
memerlukannya.

Jatinangor, 14 Juli 2023

Penulis

v
ABSTRAK

Blaue Blume atau bunga biru sering diartikan sebagai sebuah ekspresi perasaan
seseorang dan selalu memiliki makna. Dalam Kesusastraan Jerman, bunga biru
dengan kekhasannya kerap diangkat menjadi tema dalam periode kesusastraan,
yaitu era Romantik yang mana pada era tersebut bunga biru menjadi simbol
kerinduan Romantik. Dalam penelitian ini berjudul “Motif Blaue Blume dalam
Roman era Romantik “Heinrich von Ofterdingen” Karya Novalis” akan dikaji
bagaimana kemunculan motif Blaue Blume dalam karya kajian. Untuk mencapai
tujuan dari skripsi ini, dilakukan analisis terhadap tiga fokus masalah yaitu,
memaparkan penanda pada motif Blaue Blume dalam roman, sarana estetika yang
membangun motif Blaue Blume pada roman, dan representasi makna melalui
kemunculan motif Blaue Blume yang dikaitkan dengan kekhasan era Romantik
pada roman. Metode yang digunakan adalah Motyvanalyse. Melalui analisis yang
dibantu oleh metode dan teori-teori pendukung, dapat disimpulkan bahwa: (1)
terdapat lima penanda motif Blaue Blume; (2) Sarana estetika yang dimanfaatkan
untuk memunculkan motif Blaue Blume adalah Tokoh, alur, latar, dan sudut
pandang;(3) Terdapat lima macam representsi makna yang muncul pada motif
Blaue Blume yang dikaitkan dengan kekhasan era Romantik

Kata kunci: Blaue Blume, Roman, Era Romantik

vi
ABSTRACT

Blaue Blume or blue flowers are often interpreted as an expression of one's


feelings and always have meaning. In German literature, the blue flower with
its uniqueness is often used as a theme in the literary period, namely the
Romantic era in which the blue flower became a symbol of Romantic longing.
In this study entitled "Blaue Blume motifs in the Romance era "Heinrich von
Ofterdingen" by Novalis" we will examine how the Blaue Blume motif appears
in the study. To achieve the objectives of this thesis, an analysis of three focus
issues is carried out, namely, describing markers on Blaue Blume motifs in
romance, aesthetic means that build Blaue Blume motifs in romance, and
representation of meaning through the emergence of Blaue Blume motifs which
are associated with the peculiarities of the Romantic era in romance. The
method used is Motyvanalyse. Through analysis assisted by methods and
supporting theories, it can be concluded that: (1) there are five markers of
Blaue Blume's motives; (2) The aesthetic means used to create the Blaue
Blume motif are figures, plot, setting, and point of view; (3) There are five
kinds of representations of meaning that appear in the Blaue Blume motif
which are associated with the uniqueness of the Romantic era.

Keywords: Blaue Blume, novel, Romantic Era

vii
ABSTRACT

Blaue Blume oder blaue Blumen werden oft als Ausdruck der eigenen Gefühle
interpretiert und haben immer eine Bedeutung. In der deutschen Literatur wird
die blaue Blume mit ihrer Einzigartigkeit häufig als Thema der Literaturperiode
verwendet, nämlich der Romantik, in der die blaue Blume zum Symbol
romantischer Sehnsucht wurde. In dieser Studie mit dem Titel „Blaue-Blume-
Motive in der Romantik „Heinrich von Ofterdingen“ von Novalis“ untersuchen
wir, wie das Blaue-Blume-Motiv in der Studie erscheint. Um die Ziele dieser
Arbeit zu erreichen, wird eine Analyse von drei Schwerpunktthemen durchgeführt,
nämlich der Beschreibung von Markern für Blaue-Blume-Motive in
Liebesromanen, ästhetischen Mitteln, die Blaue-Blume-Motive in Liebesromanen
konstruieren, und der Darstellung von Bedeutung durch die Entstehung von
Blaue-Blume-Motiven die mit den Besonderheiten der Romantik in
Liebesromanen verbunden sind. . Die verwendete Methode ist die Motyvanalyse.
Durch eine durch Methoden und unterstützende Theorien unterstützte Analyse
kann der Schluss gezogen werden, dass: (1) es fünf Marker für die Motive der
Blauen Blume gibt; (2) Die zur Schaffung des Blaue-Blume-Motivs verwendeten
ästhetischen Mittel sind Figuren, Handlung, Schauplatz und Standpunkt; (3) Im
Blaue-Blume-Motiv erscheinen fünf Arten von Bedeutungsdarstellungen, die mit
der Einzigartigkeit von verbunden sind die Romantik.

Schlüsselwörter: Blaue Blume, Roman, Romantik

viii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN..................................................................................II
LEMBAR PERNYATAAN................................................................................III
PRAKATA...........................................................................................................IV
ABSTRAK............................................................................................................VI
ABSTRACT.........................................................................................................VII
ABSTRACT........................................................................................................VIII
DAFTAR ISI........................................................................................................IX
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................1
1.1 Latar Belakang Penelitian...............................................................................1
1.2 Identifikasi Masalah.......................................................................................2
1.3 Tujuan Penelitian............................................................................................3
1.4 Kerangka Pemikiran.......................................................................................3
BAB II KAJIAN LITERATUR............................................................................5
2.1 Penelitian Terdahulu.......................................................................................5
2.2 Kajian Teori....................................................................................................7
2.2.1 Era Romantik...............................................................................................7
2.2.1.1 Latar Belakang Historis............................................................................9
2.2.1.2 Kekhasan................................................................................................10
2.2.2 Roman........................................................................................................12
2.2.2.1 Ciri-ciri...................................................................................................13
2.2.2.2 Unsur Sarana Estetika.............................................................................14
2.2.2.2.1 Tokoh dan Penokohan.........................................................................14
2.2.2.2.2 Alur......................................................................................................16
2.2.2.2.3 Latar.....................................................................................................18
2.2.2.2.4 Sudut Pandang.....................................................................................19
2.2.3 Motif dalam Karya Sastra..........................................................................20
2.2.3.1 Jenis-Jenis Motiv....................................................................................20
2.2.3.2 Fungsi Motif...........................................................................................21
2.2.3.3 Motif Blaue Blume dalam Karya Sastra.................................................22
BAB III OBJEK DAN METODE PENELITIAN.............................................24
3.1 Objek Penelitian...........................................................................................24
3.1.1 Biografi Singkat Novalis...........................................................................24
3.1.2 Ringkasan Cerita Roman Heinrich von Ofterdingen.................................25
3.2 Metode Penelitian.........................................................................................27
3.2.1 Metode dan Teknik Pengambilan Data.....................................................28
3.2.2 Metode dan Teknik Analisis Data.............................................................28
3.2.3 Metode dan Tekhnik Penyajian Hasil Analisis Data.................................28

ix
BAB IV PEMBAHASAN.....................................................................................29
4.1 Penanda Motif Blaue Blume.........................................................................29
4.1.1 Perasaan Heinrich melihat Bunga Biru dalam Mimpi...............................29
4.1.2 Perasaan Cinta Heinrich kepada Mathilde................................................30
4.1.3 Bunga Biru sebagai Simbol Keterbatasan dan Jarak.................................31
4.1.4 Perasaan Kehilangan Heinrich kepada Ayahnya.......................................31
4.1.5 Perasaan Rindu kepada Mathilde..............................................................32
4.2 Sarana Estetika Pembangun Motif Blaue Blume..........................................34
4.2.1 Tokoh dan Penokohan...............................................................................34
4.2.2 Alur............................................................................................................45
4.2.3 Latar...........................................................................................................47
4.2.4 Sudut Pandang Penceritaan.......................................................................50
4.3 Representasi Makna kemunculan Motif Blaue Blume yang Terkandung
dalam Roman yang dikaitkan dengan Kekhasan Era Romantik........................50
4.3.1 Melalui Dunia Fantasi dan Mimpi.............................................................51
4.3.2 Kerinduan akan kematian..........................................................................51
4.3.3 Kerinduan akan alam.................................................................................53
4.3.4 Pada Penekanan Batin Individu.................................................................54
4.3.5 Pada Ironi Romantis..................................................................................55
BAB V SIMPULAN.............................................................................................58
BAB VI ZUSAMMENFASSUNG........................................................................62
REFERENSI.........................................................................................................68
RIWAYAT HIDUP PENULIS............................................................................70

x
1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian
Motif adalah salah satu unsur penting yang memiliki fungsi untuk menyampaikan
gagasan dan pesan moral yang ingin disampaikan oleh pengarang dalam sebuah
karya sastra. Menurut Hartoko (dalam Rokhmansyah, 2014:67) secara umum,
motif merupakan sebuah unsur yang penuh arti dengan pola yang di ulang-ulang
dalam satu atau sejumlah karya sastra.
Dalam suatu karya, motif merupakan unsur arti yang paling kecil di dalam
sebuah cerita. Sementara dari kutipan dalam buku Themen und Motive in der
Literatur karya Horst S. und Inggrit G. Daemmrich (1987) dijelaskan bahwa,
masyarakat pada umumnya mengenal kata motif melalui fenomena-fenomena
alam yang ada dalam kehidupan sehari-hari.
Motif memiliki kaitan yang sangat erat dengan era kesusastraan. Motif
yang muncul dalam suatu karya sastra akan memiliki ciri khasnya masing-masing
di karenakan setiap era kesusastraan memiliki latar belakang dan sejarah yang
berbeda-beda. Salah satunya adalah dalam era Romantik. Era Romantik
merupakan periode kesusastraan Jerman yang berlangsung pada tahun 1795 higga
tahun 1830. Kemunculan era Romantik ini dianggap sebagai suatu reaksi terhadap
pemikiran yang telah ada yaitu era Klasik, para sastrawan lebih menerapkan
segala sesuatu yang sifatnya beraturan dan pasti, sedangkan dalam era Romantik
sebaliknya. Di zaman ini aliran sastra semakin berbeda dengan aliran-aliran
sebelumnya. Pada periode sastra zaman Romantik, para sastrawan akan
menampilkan karya-karya sastra yang lebih memberi tekanan pada perasaan,
emosi, imajinasi serta pengalaman pribadi yang di peroleh dari kehidupaan sehari-
hari. Beberapa motif dalam karya sastra era Romantik yaitu alam, keindahan
malam, kematian dan kemurungan. Sebagai contoh, dalam novel Aus dem Leben
eines Taugenichts karya Joseph von Eichendorf ditemukan begitu banyak motif
fantasi yang merupakan ciri khas kesusastraan zaman Romantik. Dalam puisi
Mondnacht karya Joseph Freiherr von Eichendorf muncul motif-motif alam
seperti Himmel ‘langit’, Erde ‘bumi’, Luft ‘udara’, yang merupakan motif-motif
khas pada era Romantik. Orang-orang di era Romantik juga biasanya gemar akan
2

rahasia kehidupan rohani yang belum dikenal seperti alam bawah sadar yang
terdapat dalam mimpi dan dunia nafsu.
Mimpi merupakan sebuah gejala psikologis seseorang yang terjadi akibat
suatu ketidaksadaran. Arti mimpi juga sering kali diartikan sebagai keinginan
terpendam dari diri seseorang yang dapat muncul melalui mimpi. Sigmund Freud
dalam bukunya Interpretation of Dream (1914) menuliskan, mimpi merupakan
jembatan antara dunia eksternal dengan perasaan, kesan maupun keinginan
terpendam (terepsesi). Mimpi adalah harapan dari sesuatu yang tidak mampu di
wujudkan di dunia eksternal. Fenomena ini penulis temukan dalam roman
Heinrich von Ofterdingen karya Novalis.
Roman Heinrich von Ofterdingen di terbitkan pada tahun 1802 dan
merupakan karya Novalis yang terakhir. Roman tersebut menceritakan tentang
seorang pemuda berumur 20 tahun bernama Heinrich yang memimpikan bunga
biru. Hal ini membuat Heinrich terobsesi dengan mimpinya tersebut. Ia pun
menceritakan mimpinya kepada orang tuanya, dan ternyata ayahnya pun
bermimpi tentang hal yang serupa setahun sebelumnya tentang bunga biru. Pada
akhir cerita, Heinrich bertemu dengan seorang wanita bernama Mathilda yang
merupakan anak dari seorang anak dari penyair bernama Klingsohr. Heinrich
akhirnya jatuh cinta dengan Mathilda. Hal ini dikarenakan Heinrich selalu
memimpikan bunga biru. Bunga biru merupakan simbol sebuah kerinduan yang
tidak dapat terpenuhi yang di ceritakan dalam kisah perjalanan Heinrich, dan
sekaligus merupakan simbol di era Romantik.
Berdasarkan hal tersebut penulis tertarik untuk mengkaji lebih jauh
bagaimana motif Blaue Blume atau bunga biru di era Romantik dapat
terepresentrasikan dalam roman Heinrich von Oftergingen karya Novalis dan
menelitinya dalam sebuah skripsi yang berjudul “Motif Blaue Blume dalam
Roman era Romantik Heinrich von Ofterdingen karya Novalis”.

1.2 Identifikasi Masalah


Berdasarkan uraian latar belakang masalah yang telah dijelaskan di atas, maka
penulis mengidentifikasikan masalah sebagai berikut:
1. Apa saja penanda motif Blaue Blume yang muncul dalam Roman tersebut?
3

2. Sarana estetika apa saja yang muncul sebagai pembangun motif Blaue
Blume dalam Roman tersebut?
3. Bagaimana motif Blaue Blume dapat terepresentasikan pada roman yang
dikaitkan dengan kekhasan era Romantik?

1.3 Tujuan Penelitian


Adapun tujuan penulisan skripsi ini berdasarkan uraian latar belakang masalah
dan rumusan masalah yang telah dijelaskan di atas, yaitu sebagai berikut:
1. Memaparkan penanda motif Blaue Blume dalam Roman karya Novalis.
2. Mengidentifikasi motif Blaue Blume melalui kemunculan sarana estetika
dalam Roman.
3. Merepresentasikan makna kemunculan motif Blaue Blume yang dikaitkan
dengan kekhasan era Romantik dalam roman.

1.4 Kerangka Pemikiran


Pada penelitian ini penulis akan menggunakan Motivanalyse atau analisis motif
untuk menelaah masalah-masalah yang telah dipaparkan di identifikasi masalah.
Metode ini dijelaskan oleh Daemmrich & Daemmrich (1987) dalam buku Themen
und Motive in der Literatur sebagai berikut:
Motivuntersuchungen erhielten in ihren Anfängen nicht nur starke
Anregungen von der Volkskunde und Märchenforschung, sondern
konzentierten sich auch in der Auswertung des Materials auf seine
stoffgeschichtliche Bedeutung. Dieser Ansatz führte zu der eigentümlichen
Situation, daß sich jede theoretische Grundlegung mit dem
Weschselverhaltnis von stofflichem Gehalt und seiner Gestaltung
auseinandersetze.

“Penelitian-penelitian motif mulanya tidak hanya mendapatkan dorongan


yang kuat dari ilmu kebudayaan masyarakat dan penelitian dongeng,
melainkan dapat difokuskan dalam penilaian material berdasarkan makna
dan bahan sejarahnya. Pendekatan ini membawa pada situasi khusus bahwa
setiap pertimbangan latar belakang teoritis merupakan hubungan timbal
balik antara bahan cerita dengan perwujudannya.”

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode Motivanalyse untuk


mengidentifikasi bagaimana motif Blaue Blume tergambarkan secara literaris dan
mampu merepresentasikan kemunculan motif Blaue Blume yang dikaitkan dengan
4

kekhasan era Romantik dalam roman Heinrich von Ofterdingen karya Novalis.
Menurut Frenzel (1966: 26), yang dimaksud dengan Motivanalyse adalah sebagai
berikut: “Ein Textverfahren, das entwickelt wurde, um Motive zuverlässig
identifizieren zu können." (Suatu analisis teks yang dikembangkan untuk
mengidentifikasi motif dengan andal). Dengan pendekatan ini penulis akan
meneliti lebih lanjut karakteristik serta keterlibatan motif Blaue Blume dalam
roman pilihan.
Setelah proses analisis data dengan menggunakan metode penelitian yang telah
dipaparkan, maka akan ditarik sebuah kesimpulan dari hasil analisis tersebut.
Sehingga penulis berharap pertanyaan mengenai bagaimana motif Blaue Blume
digambarkan secara literaris dalam roman pilihan dapat dijawab secara
komprehensif atau menyeluruh, dan sesuai dengan tujuan yang akan dicapai
dalam penelitian ini.
5

BAB II
KAJIAN LITERATUR
2.1 Penelitian Terdahulu
Pada bagian ini peneliti mencantumkan daftar hasil penelitian sebelumnya dengan
tujuan untuk memperoleh bahan perbandingan, referensi, dan juga untuk
menghindari anggapan persamaan dengan penelitian sebelumnya, kemudian
membuat ringkasannya. Berikut merupakan penelitian terdahulu yang masih
berkaitan dengan tema yang penulis kaji.

1. Hasil penelitian Hana Matoušková (2012)

Penelitian karya Hana Matoušková yang berjudul “Der Traum als Motiv in den
ausgewählten Werken der deutschen Romantik”, dalam penelitian ini ditemukan
hasil bahwa konsep mimpi dicirikan bersama dengan bentuk-bentuknya yag
tampak dalam karya-karya dari penulis era Romantik, yaitu William Shakespeare
dan Miguel de Cervantes Saavedra. Selain mencirikan karakteristik era Romantik,
ada juga hasil puisi dari penulis Romantis, yaitu Novalis dan ETA Hoffmann
mengenai motif mimpi. Motif mimpi di analisis dari dua karya puisi, yang
berjudul Heinrich von Ofterdingen karya Novalis dan The Golden Pot karya ETA
Hoffmann. Puisi-puisi tersebut memperjelas arti dan pentingnya mimpi dalam
karya Romantis. Dalam analisis ini, terdapat perbandingan fungsi mimpi dalam
kedua karya puisi tersebut. Dalam puisi karya Novalis yang berjudul “Heinrich
von Ofterdingen”, Fungsi dari motif mimpi menunjukan jalan dan tujuan serta
membangkitkan minat kepada Heinrich. Hal ini di artikan sebagai bentuk nyata
dari bunga biru yang terwujud pada sosok Mathilde sebagai wanita yang ia cintai,
dan sekaligus membuat Heinrich memiliki minat untuk menjadi seorang penyair.
Sedangkan dalam The Golden Pot karya ETA Hoffmann, motif mimpi sebagian
besar berfungsi sebagai transisi antara dua dunia. Kedua penulis ini
memnggunakan motif mimpi sebagai ungkapan penyangkal kebenaran. Hal ini
berhubungan dengan ciri khas era Romantik, yaitu kerinduan akan kebebasan dan
ketidakpastian, serta bebas dalam mengekspresikan diri.
6

2. Hasil Penelitian Arga Sinta Herjuna Putri (2015)

Penelitian karya Arga Sinta Herjuna Putri yang berjudul “Pesan Moral dalam
Roman Heinrich von Ofterdingen karya Novalis melalui analisis lima kode
semiotik Roland Barthes” memfokuskan pada kemunculan makna pesan moral
dari tanda-tanda yang terdapat dalam roman Heinrich von Ofterdingen karya
Novalis. Penulis menggunakan pendekatan semiotik menggunakan teori semiologi
Roland Barthes yang menawarkan lima kode semiotik untuk mengalasi makna
pada tanda. Penulis membagi teks ke dalam satuan-satuan leksia untuk
menganalisis dan menemukan pesan moral dalam roman Heinrich von
Ofterdingen. Hasil dari analisis tujuh belas leksia menunjukan bahwa seluruh
leksia tersebut mengandung pesan moral. Pesan moral tersebut adalah cerminan
dri lima keutamaan moral yaitu kejujuran, tanggung jawab, kemandirian moral,
keberanian moral dan kerendahan hati. Kode semiotik yang ditemukan dalam
penelitian ini adalah Kode Hermeneutik (HER), Kode Semik (SEM), Kode
Simbolik (SIM), Kode Proairetik (PRO), Kode Kultural (KUL).

Dari kedua peneletian terdahulu yang telah dipaparkan, terdapat berbagai


informasi yang didapat sebagai acuan untuk mendukung analisis pada penelitian
ini. Aspek yang mendukung pada penelitian ini seperti informasi mengenai ciri
khas pada zaman Romantik serta makna yang terkandung dalam pesan moral
dalam roman Heinrich von Ofterdingen karya Novalis. Dari informasi yang
didapat dari kedua penelitian tersebut, dapat memperkuat analisis data yang belum
dikaji dari sisi motif Blaue Blume yang akan mengidentifikasi penanda apa yang
dapat memunculkan motif Blaue Blume dan roman pilihan, sarana estetika apa
saja yang membangun motif Blaue Blume dan bagaimana motif Blaue Blume
dapat terepresentasikan maknanya dalam roman yang dikaitkan dengan era
Romantik. Maka dari itu penulis menemukan celah penelitian dalam
memunculkan motif Blaue Blume pada era Romantik dalam roman Heinrich von
Ofterdingen karya Novalis yang akan dikaji menggunakan metode Motivanalyse.
7

2.2 Kajian Teori


2.2.1 Era Romantik
Menurut Elena Weber Romantik adalah era yang memengaruhi istilah
romantis “Romantisch”. Era Romantik adalah era yang dimulai dari tahun 1786
hingga 1832. Istilah "Romantik" berasal dari "lingua romana" yaitu bahasa
roman. Ini merujuk pada tulisan-tulisan yang ditulis dalam bahasa Romawi dan
tidak pada bahasa latin seperti biasanya. Era Romantik muncul sebagai reaksi
terhadap rasionalisme yang menganggap segala rahasia alam dapat diselidiki dan
diterangkan oleh akal pikiran. Masyarakat pada era Romantik menganggap
perasaan dan imajinasi lebih penting dari pada aturan formal dan fakta. Motif-
motif utama yang menjadi kekhasan era Romantik adalah ungkapan perasaan,
gairah, keinginan untuk berkelana dan rasa cinta pada alam. Menurut beberapa
sumber(https://www.literaturwelt.com/romantik.html,https://www.pohlw.de/
literatur/epochen/romantik.htm) era ini terbagi menjadi tiga periode yaitu
Frühromantik (berpusat di kota Jena pada tahun 1798-1804), Hochromantik
(berpusat di kota Heidelberg pada tahun 1804-1818), Spätromantik (berpusat di
kota Berlin pada tahun 1816-1835).

1. Frühromantik
Apresiasi novel di era Romantik pada abad ke-18 merupakan upaya dalam
membiasakan diri dengan adanya gagasan bahwa teks tanpa bentuk syair dapat
menjadi puisi yang serius meskipun novel sangat popular di kalangan mayarakat
dengan ketidakadaan konteks fiksi. Novel pada masa tersebut tidak cukup untuk
di akui sebagai genre estetika dalam waktu yang lama. Frühromantik adalah
periode awal era Romantik (1798-1804). Periode ini dikenal dengan Jenaer
Romantik dikarenakan berpusat di kota Jena. Terdapat dua tokoh yang membawa
pengaruh besar pada pemikiran romantik, yaitu August Wihelm Schiegel (1767-
1845) dan Friedich Schlegel (1772-1829). Pada tahun (1796), Johann Gottfried
Herder menekankan kekayaan pengetahuan dari berbagai jenis pengetahuan yang
dapat di serap novel sebagaimana Johann Gottfried Herder menggabungkan
objek-objek dari ilmu dengan minat masyarakat dan representasi yang nyata di
atas segalanya sebagai mediator terhadap budaya masyarakat pada novel ini
8

tampaknya tidak tergantikan. Jenis karya sastra yang khas pada periode ini yaitu
roman bertema sejarah dari abad pertengahan, emansipasi wanita, dan cinta yang
bebas. Penyair ternama pada era ini yaitu Ludwig Tieck dan Novalis.

2. Hochromantik
Era Hochromantik berpusat di kota Heidelberg dan dikenal dengan sebutan
Heidelberg Romantik. Periode ini dimulai sekitar tahun (1804-1835). Penyair
penting di era ini adalah Achim von Arnim dan Clemens Brentano. Keduanya
datang ke Heidelberg pada 1808 dengan tujuan untuk menyelesaikan koleksi lagu
yaitu “Des Knaben Wunderhorn”. Mereka mengumpulkan orang-orang yang
berpikiran sama disekitar mereka dan menerbitkan majalah yang mereka sebut
“Zeitung für Einsiedler”, yang artinya koran untuk pertapa. Era ini merupakan
masa kepekaan dan kerinduan yang luar biasa. Fase ini memiliki kesamaan
dengan fase Frühromantik, yaitu berorientasi pada karya-karya abad pertengahan.
Selain itu, fase ini juga ditandai melalui kemunculan puisi-puisi rakyat
(Volkspoesie) (Becker, 2005:55) dan saga serta dongeng (Alkemper dan Ekke,
2006:215). Selain itu, terdapat beberapa tokoh Penyair diantaranya Friedrich
Holderlin (1770), Jean Paul (1763), dan Novalis (1772). Jean Paul dan Novalis
muncul dengan karya novel Die unsichtbare, (1793; The invisible Lodge),
Blutenstaub (1798; Polen) Glauben, dan sains dalam interpretasi alegoris dunia.
Romansa mistisnya Heinrich von Ofterdigen (1802) karya Novalis yang di
atur dalam visi ideal pada abad pertengahan, menggambarkan pencarian mistis
dan romantik dari seorang penyair muda. Gambar sentral dari penglihatannya
yaitu bunga biru, menjadi simbol kerinduan romantik yang diakui secara luas
diantara sesama orang romantik. Beberapa tokoh penyair tersebut adalah
penggagas utama romantisisme, berdasarkan tulisan sejarah dan teoretis mereka
yang berpengaruh.

3. Spätromantik
Era Sptäromantik berpusat di Berlin dan dikenal dengan sebutan Berliner
Romantik. Dalam laman online ( https://www.lerntippsammlung.de/Epoche-der-
Romantik.html ) dijelaskan mengenai era Sptäromantik, yaitu sebagai berikut:
9

Berlin gehört zu den Zentren der Spätromantik, darum auch


Berlinerromantik. In der letzten Phase der Romantik ging es
hauptsächlich um die Industrialisierung und den Hintergrund der
Restaurationen. Werke und Gedichte aus der Spätromantik waren
bedeutend für die Gesamte Epoche. Joseph von Eichendroff gehört
zu den wichtigsten Dichtern der Spätromantik

Berlin adalah salah satu pusat Spätromantik, oleh sebab itu disebut dengan
Romantik Berlin. Fase Spätromantik berkaitan dengan industrialisasi dan
latar belakang restorasi. Karya dan puisi dari periode Spätromantik
memiliki peran penting untuk zaman Romantik. Joseph von Eichendroff
adalah salah satu penyair Spätromantik yang paling berpengaruh pada
periode ini.

Spätromantik (1816-1835) adalah periode Romantik akhir. Penyair ternama di


zaman ini yaitu Karl Gutzkow, Joseph von Eichendorff, Heirich Heine, Heinrich
Heine, Theodor Mündt, dan E. T. A Hoffmann. Karya sastra yang sering diangkat
di era ini di tulis dalam bentuk novel dan cerita pendek yang memiliki ciri khas
yang kuat dalam hal-hal mistis, menyeramkan dan irasional. Fase Spätromantik
adalah perubahan yang lebih mendekati pada arah mistisme dan banyak penyair
yang kembali pada kepercayaan agama Katolik. (Becker, 2005:550)

2.2.1.1 Latar Belakang Historis


Romantik merupakan gerakan kesusastraan di Eropa yang dimulai dari
kesusastraan Inggris, namun berpusat dalam waktu yang lama di Jerman. Di
Jerman gerakan ini memiliki pengaruh kuat dalam era kesusastraan. Jenis karya
sastra yang sering ditulis pada era ini yaitu puisi, novel, dongeng dan roman yang
dapat mengungkapkan dan mengekspresikan perasaan dan suasana hati. Para
seniman Jerman di era ini banyak menampilkan objek manusia beserta alam yang
dapat menggambarkan keinginannya.
Zaman Romantik ini muncul sebagai protes terhadap rasionalisme dan
tatanan masyarakat pada zaman Klasik sekaligus juga ekspresi dari kekecewaan
masyarakat terhadap Revolusi Perancis. Hal ini dijelaskan oleh Hana dan Svatava
(2003: 73) sebagai berikut:
Die Romantik ist eine europäische Bewegung, deren Quellen in der
englischen Literatur sind, aber in deren Mittelpunkt lange Zeit
Deutschland stand. Diese neue Strömung war die Reaktion auf die
Deutsche Klassik, ein Protest gegen deren Rationalismus und
10

bürgerlichen Pragmatismus und zugleich Ausdruck der Enttäuschung über


die Franzosische Revolution. Eines der Hauptmerkmale der Romantik ist
der Konflikt zwischen Ideal und Wirklichkeit, Individuum und
Gesellschaft.

Romantik merupakan gerakan Eropa yang bersumber dari kesusastraan


Inggris, namun berpusat dalam kurun waktu yang lama di Jerman. Aliran
ini sebagai respon rakyat terhadap zaman klasik di Jerman, sebuah
perlawanan terhadap rasionalisme dan pragmatisme kerakyatan dan
sekaligus juga merupakan ekspresi kekecewaan terhadap Revolusi
Perancis. Salah satu karakterstik utama Romantik adalah konflik antara
ideal dan realitas, individu, dan masyarakat.

Dalam dunia yang semakin ilmiah dan teknologi, kaum Romantik ingin
melestarikan mitos dan misteri yang semakin dapat dipecahkan oleh sains dan
ilmu alam. Mereka merindukan yang misterius, renungan, dan tidak bisa
dijelaskan, sehingga mereka mencoba melarikan diri dari kekacauan politik dan
gerakan sosial. Era Romantik juga mengedepankan kehidupan batin individu
(Weber 2022). Revolusi Perancis (1787–1799) memiliki dampak yang
menentukan pada penulis Romantik Jerman. Perang Napoleon yang dimulai pada
tahun 1792 dan diakhiri dengan Kongres Wina pada tahun 1814–15, membawa
banyak penderitaan dan akhirnya menyebabkan restrukturisasi besar-besaran di
Jerman. Pergolakan periode ini memunculkan keinginan baru akan gerakan
budaya khas Jerman yang secara tegas menentang rasionalisme Prancis.
Karya sastra pada zaman Romantik merupakan sebuah simbol kerinduan
pengarang terhadap kehidupan setelah kematian. Hal-hal yang tidak bisa
dilakukan didunia nyata dicurahkan melalui suatu karya. Bahasa yang terdapat
dalam karya sastra terkesan berlebihan dan tidak masuk akal dan hanya
merupakan angan-angan atau khayalan.

2.2.1.2 Kekhasan
Dalam banyak karya, dunia mimpi, perasaan, mistis, keajaiban, dan alam menjadi
ciri utama yang menyebabkan era Romantik menjadi gerakan yang dipandang
sebagai pelarian dari kenyataan. Fakta bahwa orang-orang di era Romantik sadar
bahwa mereka tidak dapat mencapai keinginannya membuat mereka ingin
melupakan kondisi kehidupan mereka yang menyedihkan dan merindukan dunia
yang lebih baik yang mereka ciptakan sendiri. Hal ini dijelaskan oleh Ruttkowski
11

(1974: 128) mengenai karakteristik zaman Romantik, yaitu: Charakteristisch für


die Romantik sind: Idealismus, Irrationalismus, Subjektivismus und Historismus.
Dazu kommen: Liebe zur Natur, das Interesse am Psychologischen, Religiosen,
Magischen und Okkulten, und schließlich am Nationalen und Völkischen.
(Kekhasan Romantik adalah: idealisme, irasionalisme, subjektivisme, dan
historisme. Terdapat juga: kecintaan pada alam, ketertarikan terhadap hal-hal
psikologis, religius, magis dan gaib, nasonal dan kerakyatan). Sedangkan menurut
Elena Weber (2022) menjelaskan bahwa ciri khas era Romantik tercermin dalam
tema dan karakteristik yang dapat ditemukan di semua bidang seni dan karya
sastra sebagai berikut:

a. Weltflucht (Pelarian Dunia)


Die Romantiker lehnten die gesellschaftlichen Entwicklungen ihrer Zeit
bewusst ab. Sie hatten Angst vor dem Verlust von Geborgenheit und
flüchteten sich in Melancholie und fantastische Welten, um sich aus dem
gesellschaftlichen Leben zurückzuziehen. (Kaum Romantik menolak
perkembangan sosial pada masanya. Mereka takut kehilangan keaamanan
dan berlindung di dunia melankolis dan fantasi untuk menarik diri dari
kehidupan social).
b. Hinwendung zur Natur (Beralih ke Alam)
Die Natur spielt in der Romantik eine große Rolle. Sie war nicht nur der
Gegenpol zu den als lebensfeindlich wahrgenommenen, durch die
Industrialisierung immer voller werdenden Städten. Vielmehr war sie
auch der Ort, an dem die Romantiker ihre Sehnsucht nach dem
Geheimnisvollen und Schönen ausschöpfen konnten. Deswegen ist die
Idealisierung der Natur typisch für die Romantik. (Alam memiliki
pengaruh yang sangat besar dlam era Romantik. Kaum RomantiK dapat
menghabiskan kerinduan mereka akan hal-hal yang misterius dan indah.
Ini menjadi penyebab idealisasi alam menjadi ciri khas era Romantik).
c. Verklärung des Mittelalters (Transfigurasi Abad Pertengahan)
Nicht nur die Idealisierung der Natur ist ein charakteristisches
Epochenmerkmal. Die romantische Weltflucht zeigte sich auch in einer
starken Verklärung des Mittelalters. Bis dahin hatte das Mittelalter ein
schlechtes Image. Die Umwälzungen im 19. Jahrhundert führten dazu,
dass man die damalige Kunst und Architektur plötzlich schätzte und sich
der mittelalterlichen Sagenwelt zuwandte. (Pergolakan di abad ke-19
membuat orang-orang di era Romatik akan menghargai seni dan arsitektur
pada zaman ini dan beralih ke legenda abad pertengahan).
d. Rückzug in Fantasie- und Traumwelten (Terlena dalam Dunia Fantasi dan
Mimpi)
In ihrem Ausmaß einzigartig in der Literaturgeschichte ist der in der
Romantik betriebene Rückzug in Fantasie- und Traumwelten. Statt wie die
Wissenschaft alles mit dem Verstand zu erklären, sollte die Fantasie
herrschen und Grenzen sprengen: die Grenzen des Verstandes, die
12

Grenzen zwischen Wissenschaft und Poesie und die Grenzen zwischen den
verschiedenen Literaturformen. (Dunia fantasi dan mimpi menjadi ciri
khas era Romantik dalam sejarah sastra. Di zaman ini imajinasi dapat
mengatur dan mendobrak batasan nalar, batasan antara sains dan puisi, dan
batasan antara berbagai bentuk sastra).
e. Betonung des Individuums (Penekanan pada Individu)
Das Innenleben des Einzelnen steht im Vordergrund romantischer Werke,
subjektive Gefühle stehen über dem Verstand. (Kehidupan batin individu
menjadi bagian dari cerita pada masalah tempat dan waktu terjadinya
peristiwa pada karya era Romantik).
f. Romantische Ironie (Ironi Romantis)
Die romantische Ironie besagt, dass der Autor über seinem Werk steht.
Dies gibt ihm die "Macht", die von ihm geschaffenen Bilder und
Geschichten zu zerstören. (Ironi Romantis mengatakan bahwa pengarang
berada di atas karyanya. Ini memberikan kekuatan untuk menghancurkan
gambar dan cerita yang di ciptakan dalam suatu karya).
2.2.2 Roman
Roman merupakan karya sastra berbentuk prosa dalam kesusastraan Jerman. Hal
ini didukung dengan pernyataan dari Dieter Burdorf, Christoph Fasbender dan
Burkhard Moenninghoff (2007:658), yaitu:

Roman ist der Großform der Fiktionalen Erzählung in die Prosa. Der
Roman unterscheidet sich durch die Prosaform vom der antiken Epos:
durch seinen fiktionalen Charakter von anderen erzählerischen
Großformen wie der Autobiographie, der Biographie und der
Geschichtsschreibung; und durch seinen Umfang von kleineren
Erzählformen wie der Erzählung oder der Novelle.
“Roman merupakan bentuk utama dari narasi fiksi untuk prosa. Roman
berbeda dari epos kuno pad bentuk prosanya; melalui karakter fiksinya
dari bentuk naratif utama lainnya seperti otobiografi, biografi dan
historiografi; dan dengan cakupannya berbentuk lebih kecil seperti naratif
atau novella.”
Istilah roman berasa dari genre romance dari abad pertengahan. Roman diartikan
sebagai cerita panjang yang membahas tentang kepahlawanan dan percintaan
namun pada akhirnya mengalami perkembangan.
Roman adalah cerita prosa yang melukiskan pengalaman-pengalaman
batin dari beberapa orang yang berhubungan antara satu dengan yang lain dalam
suatu keadaan. Roman juga lebih banyak melukiskan suatu kehidupan pelaku,
mendalami sifat dan watak, serta menggambarkan lingkungan sekitar tempat
hidup (Nurgiyantoro: 2007). Dalam pengertian modern, sebagaimana di
kemukakan van Leeuwen (Jassin, 1961: 70) roman merupakan cerita prosa yang
13

melukiskan pengalaman batin dari beberapa orang yang berhubungan satu dengan
yang lain dalam suatu keadaan dan dan lebih banyak menceritakan seluruh
kehidupan tokoh, mendalami sifat watak, dan menceritakan tempat hidup.
Sedangkan roman menurut Krell dan Fiedler (1968: 441) arti roman adalah “Der
Roman entrollt vor uns das ganze weile Schicksal eines Menschen, wmoglich von
seiner Geburt bis zum Grabe, in seiner Verflechtung mit anderen Menschen und
ganzen Ständen”. Dalm pengertian tersebut roman memaparkan selruh kejadian
yang di alami seseorang dari semenjak ia lahir sampai meninggal, dalam menjalin
hubungan dengan orang lain atau seluruh lapisan. Sementara Haerkötter (1971 :
169) mengemukakan arti roman sebagai berikut:

Der Roman hat sich aus den Epos des Mittelalters entwickelt. Zunächst
wird die Form verändert (13.Jahrhundert): der Vers wird zu Prosa. Dann
geschieht die innere Wandlung: der Dichter erzählt nicht mehr das
Schicksal eines typisierten Helden oder eines Volkes, sondern die
seelische Entwicklung eines einzelnen Menschen. Die seelische
Entwicklung geschieht in der Auseinandersetzung mit der Gesellschaft:
deshalb beschreibt der Roman meist auch eine bestimmte Epoche.

“Dalam pengertian tersebut dikatakan bahwa roman berkembang pada


masa abad pertengahan, bermula dari puisi kemudian diubah menjadi
prosa. Pengarang tidak lagi bercerita tentang nasib tokoh utama tetapi
menceritakan perkembangan jiwa seseorang, perkembangan kejiwaan itu
berlangsung dalam pertentangannya dengan masyarakat. Itulah sebabnya
roman biasanya juga melukiskan masa tertentu.”

Dapat disimpulkan bahwa roman merupakan karya sastra berbentuk prosa yang
menekankan pada pengalaman serta peristiwa dari berbagai konflik kehidupan,
mendeskripsikan secara panjang kehidupan tokoh utama dengan segala
permasalahan yang di hadapinya. Roman juga memunculkan konflik batin
maupun fisik, yang diceritakan dalam satu peristiwa ke peristiwa lain dalam satu
waktu tertentu.

2.2.2.1 Ciri-ciri
Kayser (1960:316) menjelaskan bahwa ciri-ciri pada roman terdiri dari tiga bagian
dalam isi ceritanya, yaitu Geschehnis (peristiwa), Figuren (tokoh-tokkoh), dan
Raum (latar).
14

Menurut Lahn & Meister (2008:116) pada roman ada yang disebut narator
yang dapat memberikan ungkapan secara verbal atau hanya berfikir di dalam
hatinya tokohnya dengan cara yang berbeda, yaitu sebagai berikut:
1. Erzählerbericht (berita narator), yaitu narator yang berbicara. Memiliki
fungsi naratif berupa ungkapan, deskripsi, penggambaran setiap bagian
cerita, ringkasan cerita, menghubungkan dan mengurutkan setiap
peristiwa.
2. Die Figurenrede (ungkapan tokoh) terdiri dari bentuk ungkapn langsung
(direkt) dan ungkapan tidak langsung (indirekt). Dalam ungkapan
langsung ditandai dengan tanda kutip pada ungkapan narator. Sedangkan
dalam ungkapan tidak langsung pernyataan atau ungkapan tokoh
diungkapkan sebagai narasi oleh narator.
3. Erlebe Rede (ungkapan pengalaman). Semua cerita pribadi pengarang
dapat masuk kedalam karakter tokoh, sehingga diperlukan teknik untuk
menggambarnya ke dalam cerita.
4. Innerer Monolog (monolog batin). Hal ini berkaitan dengan ungkapan
yang didasarkan pada pengalaman, akan tetapi pada dasarnya berbeda dari
pemikiran atau kesadaran, refleksi, pertanyaan yang tidak terungkapkan
dan perasaan dari tokoh dalam dalam monolog.
5. Bewusstseinsstrom (kesadaran), yaitu mempresentasikan suatu urusan
yang kompleks, terkadang tidak sering berisi dari asosiatif tokoh, dimana
perasaan, kebencian, ingatan, refleksi, persepsi dan reaksi terhadap kesan
pada lingkungan masuk dalam tatanan mental mereka.

2.2.2.2 Unsur Sarana Estetika


Dalam suatu karya sastra, terdapat unsur sarana estetika yang berperan sebagai
elemen-elemen penting yang mendukung jalannya suatu cerita. Unsur sarana
estetika yang terdapat dalam roman berupa tokoh dan penokohan, alur, latar, serta
sudut pandang pada penyampaian isi dalam roman.
2.2.2.2.1 Tokoh dan Penokohan
Tokoh merupakan salah satu unsur yang sangat penting dalam karya sastra,
khususnya roman. Tokoh dalam karya sastra akan menjadi jembatan antara
penulis dan pembaca untuk masuk ke dalam isi cerita, sehingga peristiwa-
peristiwa yang ada dalam cerita dapat tergambarkan dengan baik. Dalam
membangun isi cerita, tokoh tidak harus selalu berwujud manusia, bisa dalam
wujud makhluk lain juga seperti hewan, tumbuhan, maupun makhluk mitologi
yang bersifat fantasi. Marquaß (1997: 36) menyatakan definisi tokoh sebagai
berikut:
15

Die Figuren stehen im Zentrum des Leserinteresses. Ihr Verhalten und ihr
Schiksal finden die größte Aufmerksamkeit. Mit dem Begriff, Figur”
bezeichnet man in erzählenden Texten neben den Menschen alle Wesen,
die ein menschenahnliches Bewusstsein zeigen (Fabeltiere, sprechende
Dinge im Märchen usw).

Tokoh sebagai fokus dari ketertarikan pembaca, dimana kelakuan dan


takdir mereka di dalam cerita telah mendapatkan perhatian terbesar untuk
diikuti kisahnya. Selain itu penggunaan kata “tokoh” di dalam teks naratif
berlaku untuk segala jenis makhluk hidup yang menunjukan sifat seperti
manusia, hewan-hewan mitologi, makhluk di dalam dongeng, dan
semacamnya.

Tokoh memiliki sifat-sifat tertentu, sehingga pembaca dapat membedakan


beberepa tokoh dalam isi cerita. Tokoh memiliki karakterisasi penokohan seperti
yang dipaparkan oleh Marquaß (1997: 36) sebagai berikut:
a. Direkte Charakterisierung (karakterisasi langsung):
 durch den Erzöhler, der sie vorstellt (melalui narator yang
memperkenalkan mereka);
 durch andere Figuren, die über sie sprechen (melalui tokoh lain
yang berbicara tentang mereka);
 durch die Figur selbst, die über sich spricht oder nachdenkt
(melalui tokoh yang berbicara atau berpikir tentang dirinya
sendiri).
b. Indirekte Charakterisierung (karakterisasi tidak langsung):
 durch die Schilderung ihres verhaltens ( melalui deskripsi perilaku
mereka);
 durch die Beschreibung ihres Äußeren ( melalui deskripsi
penampilan mereka);
 durch die Darstellung ihrer Beziehungen ( melalui gambaran
hubungan mereka).
Menurut Dieter Burdorf, Christoph Fasbender dan Burkhard Moennighoff (2007:
254), penokohan dapat diidentifikasi dengan cara-cara berikut:
1. Darstellung im Text (direkte und indirekte, Eigen- und Fremd-
Charakterisierung); yaitu berdasarkan penggambaran dalam teks, seperti
penokohan langsung dan tidak langsung, penokohan dari sudut pandang
karakter sendiri maupun karakter lain.
16

2. Eigenschaften und Strukturen (Körperbild, Persönlichkeit,


Dimensionalität, Entwicklung), yaitu berdasarkan sifat dan struktur seperti
tampilan tubuh, kepribadian, dimensi, serta perkembangan.
3. Verhaltnis zu anderen extelementen (Diegese, Plot), yaitu memiliki
hubungan dengan elemen teks lain, seperti diegesis yang hanya bertumpu
pada kesadaran batin personal pengarangnya serta plot atau alur dalam
karya sastra.
4. Rezeption (Empathie, Identifikation), yaitu penerimaan melalui empati dan
identifikasi dari sudut pandang penulis dan pembaca.
5. Zusammenhang mit soziokulturellen Kontexten (Menschenbilder,
Stereotype), yaitu hubungan dengan konteks sosial budaya, seperti citra
manusia dan stereotype.

Kemudian menurut Maria Magdolna Davidesz dalam jurnal berjudul


Figurenkonzeption und Figurenkonstellation im Opernzyklus ,,Der Ring des
Nibelungen” von Richard Wagner, untuk lebih memahami konstelasi tokoh maka
harus dijelaskan konsep dari tokoh itu sendiri. Konsepsi tokoh adalah tingkat
analisis dari suatu desain tokoh oleh penulisnya. Desain tokoh dalam pengertian
ini merupakan tahap pertama dari abstraksi yang tak terelakan yang dapat
digunakan sebagai sarana untuk analisis lebih lanjut.
Kontelasi tokoh berkaitan dengan berbagai jenis hubungan yang dijalis oleh satu
tokoh dengan tokoh lainnya. Menurut Marquaß (1997:38), terdapat beberapa
pertanyaan sebagai sebagai acuan untuk memahami konstelasi tokoh, yaitu:
1. Tokoh mana saja yang terlihat dalam hubungan persekutuan? serta atas
dasar kesamaan apa saja?
2. Tokoh atau kelompok mana saja yang memiliki posisi sebagai pihak
bertentangan? Atas tujuan apa mereka melakukannya?
3. Apakah konstelasi/hubungan ini bersifat stabil? Lalu apakah ada perubahn
yang terjadi diantara relasi persekutuan pertentangan, ataupun hubungan
atas dasar kekuasaan?
Berdasarkan teori yang digunakan dalam penjelasan mengenai penokohan dan
kontelasi tokoh, maka dapat disimpulkan bahwa kedua unsur sarana estetika
tersebut memiliki kesinmbungan untuk menganalisis tokoh dalam karya sastra.

2.2.2.2.2 Alur
Alur adalah susunan peristiwa dalam sebuah karya sastra yang mengarah pada
suatu penyelesaian. Alur cerita menjadi komponen penting dalam sebuah karya
17

sastra, karena menentukan bagaimana cerita dapat disampaikan dan dipahami oleh
pembaca. Dengan kata lain, alur merupakan rangkaian sebab akibat yang
membentuk cerita secara keseluruhan. Reihand Marquaß (2006:31) memaparkan
tentang alur sebagai berikut:
In einer Geschichte werden einzelne Geschhehnisse darstellt; dabei kann
es sich um Handlungen von Figuren oder auch um figurenunabhängige
Ereignisse (Erdbeben) handeln. Diese Abfolge des Geschehens. auch
“Fabel) genannt, wirdin der Inhaltsangabe erfasst. - Erzälhandlungen
laufen gewöhnlich in drei Schritten ab: (a) Ausgangssituation, di für die
Figur Möglichkeiten zum Handeln bietet, (b) Verhalen (Handeln) der
Figur, die eine der Möglichkeiten ergreift oder auch nicht und (c)
Ergebnis des Verhaltens (Handelns), Erfolg oder Misserfolg der Figur.

Dalam sebuah cerita semua peristiwa digambarkan: bisa berupa alur dri
tokoh atau peristiwa-peristiwa yang tidak bergantung pada tokoh (gempa
bumi). Urutan peristiwa ini juga disebut “fabel”, dicatat dalam ringkasan, -
Alur narasi biasanya berlangsung dalam tiga langkah: (a) situasi awal,
yang kemungkinan menawarkan tindakan tokoh, (b) perilaku tokoh, yang
memberikan kemungkinan pada tokoh untuk merebut atau juga tidak, dan
(c) hasil dari tindakan, keberhasilan, atau kegagalan dari tokoh.

Dapat disimpulkan bahwa, alur cerita berfungsi untuk mengenalkan peranan


setiap tokoh dalam cerita. Konflik akan muncul ketika tokoh mulai berperan dan
bertindak di tengah-tengah cerita. Di tahap akhir, akan muncul dampak atau hasil
dari tindakan tokoh dalam melihat sebuah konflik. Alur dibuat sedemikan dalam
cerita untuk bisa memainkan emosi pembaca, sehingga pembaca tidak merasa
bosan dan ikut terbawa suasana dalam cerita. Nurgiyantoro (1995: 153-155) telah
membedakan alur menjadi tiga jenis sebagai berikut:
1. Alur Maju
Alur maju ditandai dengan munculnya peristiwa dalam roman yang saling
berurutan satu sama lain, jalan ceritanya dimulai dari peristiwa awal untuk
kemudian dikuti oleh peristiwa-peristiwa berikutnya dalam latar waktu
yang semakin ke depan.
2. Alur Mundur
Alur mundur biasa di sebut sebagai flashback, alur ini akan menyuguhkan
sejumlah elemen konflik di awal sebagai pembuka dari suatu roman. Jenis
alur ini akan difokuskan pada pembaca untuk mengenal penyebab dari
18

konflik tersebut, sehingga alur cerita akan mengalir secara mundur dari
latar waktu sebelum konflik dalam cerita terjadi.
3. Alur Campuran
Alur campuran adalah gabungan dari alur maju dan alur mundur untuk di
padukan dalam rangkaian plot yang sama. Biasanya alur ini akan lebih
fokus untuk berjalan seperti alur maju, namun ada kalanya terdapat
kemunculan alur mundur untuk menjelaskan situasi yang terjadi di dalam
alur maju tersebut.

2.2.2.2.3 Latar
Burhan Nurgiyantoro (1995:217), menjelaskan bahwa latar berfungsi untuk
menjadikan cerita yang konkret dan jelas. Hal ini diperuntukan dalam
memberikan kesan yang realistis dan masuk akal kepada pembaca, sehingga latar
turut berperan dalam menciptakan suasana tertentu dalam cerita menjadi
sungguhan untuk dibayangkan. Menurut Abrams (1979:158), latar cerita
merupakan tempat terjadinya sebuah peristiwa dan waktu berlangsungnya suatu
tindakan. Latar tempat terbagi menjadi empat, yaitu:
1. Lebensraum (ruang tempat tinggal), mencakup keadaan rumah seorang
tokoh serta tempat ia bekerja dan beraktivitas.
2. Stimmungsraum (ruang perasaan), ini menunjukan perasaan hati seorang
tokoh.
3. Kontrastraum (ruang kontras), yaitu sebuah pertentangan yang nyata
antara tempat alur cerita dan peristiwa yang di ceritakan. Contohnya desa
dan kota.
4. Symbolraum (ruang simbol), yaitu bukan hanya tempat terjadinya sebuah
peristiwa, namun memiliki keterkaitan dengan cerita seperti tempat
kecelakaan, elemen alam tertentu, dan lainnya.

Latar merupakan keseluruhan hubungan waktu, tempat, dan lingkungan sosial


terjadinya peristiwa. Latar waktu berhubungan dengan kapan terjadinya suatu
peristiwa. Hal ini berhubungan dengan hari, tahun, zaman dan seterusnya yang
berhubungan dengan waktu. Latar waktu saling berkaitan dengan latar sosial,
karena keadaan suatu plot yang di ceritakan dapat berubah seiring dengan adanya
perubahan waktu (Nurgiyantoro, 1995: 230).
Latar sosial berkaitan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di
suatu tempat yang diceritakan dalam karya sastra. Hal ini berhubungan dengan
19

tata cara kehidupan sosial masyarakat seperti kebiasaan hidup, adat istiadat,
tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir, dan cara bersikap. Peran latar
sosial dinilai mampu untuk mendeskripsikan tingkah laku kehiduan sosial
masyarakat di tempat yang bersangkutan.

2.2.2.2.4 Sudut Pandang


Karya sastra selalu dibuat dengan mengedepankan aspek yang didalamnya
mengandung nilai serta keindahan. Karya sastra juga tidak lepas dari amanat
mengenai moral yang dapat membentuk suatu kepribadian. Penulis akan
memanfaatkan karyanya dalam mengembangkan imajinasi dan kreativitasnya
dalam suatu karya. Salah satu unsur penting dalam cerita adalah sudut pandang
tokoh. Sudut pandang merupakan cara atau pandangan yang digunakan pengarang
sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa
yang membentuk cerita dalam sebuah karya sastra (Abrams, 1981:142). Sudut
pandang adalah arah pandang seorang pengarang dalam menyampaikan sebuah
cerita, sehingga cerita menjadi lebih hidup serta dapat disampaikan dengan baik
kepada pembacanya. Dalam sudut pandang, pengarang seolah-olah menjadi
pelaku utama atau menjadi orang lain dalam sebuah cerita yang di buat. Marquaß
(1997:55) berpendapat bahwa:

Der Erzähler kann in zwei Gestalten auftreten, nämlich als Ich-Erzähler


oder Er-Erzähler. Und er kann unterschiedliche Verhaltensweisen zeigen,
auktoriales oder personelles bzw. neutrales Verhalten.
penulis muncul dalam dua bentuk, yaitu sebagai sudut pandang orang
pertama atau sebagai sudut pandang orang ketiga. Dan ia dapat
menunjukkan perilaku yang berbeda, sebagai pengarang, pribadi atau
perilaku yang netral.
Pada sudut pandang “ich-Erzähler”, si pencerita (Erzähler) menjadi tokoh utama
“ich” adalah salah satu tokoh dalam cerita tersebut. Hal yang diceritakan
bergantung pada sudut pandang “ich” sehingga bersifat subjektif. Pada “er-
Erzähler”, pencerita menjadi tokoh yang fiktif. Pada “auktoriales
Erzählerverhalten”, si pencerita mengetahui segala sesuatu yang terjadi dalam
karya tersebut, walaupun tokoh utama berada di suatu tempat namun dapat
menceritakan tokoh lain di tempat yang berbeda. Pencerita juga mengetahui
20

dengan baik perasaan setiap tokohnya. Pada “personales Erzählerverhalten”,


pencerita seperti halnya bayang-bayang tokoh utama yang menceritakan tentang
apa yang dialami dan dirasakan oleh tokoh utama. Dengan kata lain, sudut
pandang memungkinkan kita untuk membayangkan pengalaman seorang karakter,
disamping memahami pengalaman si pengarang.

2.2.3 Motif dalam Karya Sastra


Pengertian motif menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yaitu pola,
corak, salah satu dari beberapa gagasan yang dominan di dalam karya sastra.
Motif tersebut dapat berupa peran, citra yang berulang, atau pola pemakaian kata.
Sedangkan menurut Frenzel dalam Stoff un Motivgesischte (1966):
Im Deutschen bezeichnet das Wort Motiv eine kleinere stoffiche Einheit,
die zwar noch nicht eine ganzen Plot, eine Fabel, umfasst, aber doch
bereits ein einheitlisches, situationmäßiges Element darstellt.

Dalam Bahasa Jerman, kata motif mengacu pada kesatuan yang lebih
kecil, yang belum mencakup pada keseluruhan alur cerita, tetapi sudah
berperan sebagai suatu elemen yang terpadu yang berkaitan dengan situasi.

Sedangkan menurut Gigl (2005:81) Motif adalah suatu unsur yang sering muncul
sebagai pembangun sebuah karya sastra, yaitu sebagai berikut:
unter einem Motiv versteht man die typische Grundsituation, aufdenen ein
Text aufbaut. Motive warden erkennbar, wenn man die Schlüsselwörter
herausarbeitet und nach Themen ordnet.

Motif diartikan sebagai situasi dasar khas yang dapat membangun sebuah
teks. Motif dapat dikenali, ketika kita menemukan kata kunci dan
menggabungkannya menjadi tema.
Motif memiliki peran penting untuk membentuk karakteristik dalam suatu karya
sastra. Motif adalah suatu penghubung dan berfungsi untuk menyampaikan pesan
atau gambaran dalam sebuah karya sastra sehingga isi dalam suatu karya dapat
disampaikan oleh penulis.

2.2.3.1 Jenis-Jenis Motiv


Dalam sebuah karya sastra, terdapat berbagai macam motif yang dapat
membentuk tema atau alur cerita. Menurut Frenzel (1966:27), jenis-jenis motif
dapat dibedakan menjadi Hauptmotiv, Nebenmotiv, Leitmotiv, stumpfes Motiv, dan
blindes Motiv.
21

1. Hauptmotiv, yaitu motif utama yang disebut juga sebagai motif sentral
(Zentralmotive) atau motif inti (Kernmotive) yang dapat menentukan ide
atau tema pada teks dan membangun teks secara substansial.
2. Nebenmotiv, yaitu motif sampingan yang disebut juga sebagai motif
pinggiran (Randmotive). Motif ini merupakan jenis motif yang
memperkaya teks dengan elemen bermakna dan membuat teks serta
strukturnya lebih kompleks.
3. Leitmotiv, disebut juga sebagai motif berulang (wiederkehrenden Motive)
merupakan istilah yang berasal dari seni musik dan merujuk pada sebuah
motif yang kembali muncul pada teks dengan cara yang sama.
4. Stumpfes Motive, merujuk pada motif yang terbungkus atau terisolasi
dalam teks sehingga mengarahkan pembaca kejalan yang salah. Motif ini
biasanya ditemukan dalam cerita kriminal dan dongeng. Dalam teks-teks
lain motif ini sering mengganggu karena memunculkan harapan yang
kemudian tidak dapat terpenuhi.
5. Blindes Motiv, yaitu jenis motif yang dapat mengalihkan perhatian dari
alur sesungguhnya. Motif ini berfungsi sebagai hiasan yang menjadi ciri
khas penulis dalam sebuah cerita.

2.2.3.2 Fungsi Motif


Motif merupakan salah satu unsur dalam karya sastra yang sifatnya saling
berkaitan. Motif membutuhkan unsur-unsur karya sastra lain untuk tercapainya
maksud dan tujuan yang ingin disampaikan. Dalam buku Themen und Motive in
der Literatur, Daemmrich (1995:XVIII) menjelaskan fungsi-fungsi motif dalam
suatu karya sastra adalah sebagai berikut:
1. Schein (Kesan)
Motif berfungsi untuk menggambarkan isi pesan dari sifat-sifat yang
konkrit berupa tempat atau topografi, objek atau gambar, perbandingan
atau metafora, figure atau ciri-ciri karakter dan mengambil alih fungsi
dalam relasi atau sifat-sifat struktur yang urutan sinyalnya dapat ditangkap
dalam susunan atau alur cerita.
2. Stellenwert (Status/Makna)
Motif memilki fungsi sebagai elemen-elemen penghubung. Dalam struktur
kronologis sebuah teks, motif-motif akan muncul di posisi sambungan dan
mengontrol pengolahan informasi dalam proses persepsi. Motif menjamin
proses penyampaian informasi sehingga dapat tersampaikan dengan baik.
3. Polarstruktur (Struktur Polar)
Diolah dalam sebuah teks yang di dalamnya mengandung penggambaran-
penggambaran konkrit tentang informasi dan kemungkinan variasi dalam
jumlah banyak.
4. Spannung (Ketegangan)
Ketegangan berkaitan erat dengan struktur polar, keduanya bisa
mempengaruhi struktur teks yang akan meyeabkan ketegangan yang kuat.
Setiap penggolangan pada prinsipnya membangun harapan yang
bertentangan dengan penyelesaian teks yang bersifat individual, maka
22

muncul harapan-harapan yang memicu perdebatn mental yang intens.


Disini konflik antara leinginan dan keharusan memainkan peran penting
dalam proses tersebut.
5. Schematisierung (Skematisasi)
Skematisasi menggambarkan kecenderungan pembentukan pola dari
penggunaan motif naratif yang terus menerus dalam periode waktu
yang lama. Penggunaan motif secara berulang ini dapat mengembangkan
urutan tindakan yang skematis. Skema dapat mendorong respons pembaca
terhadap pola tersebut.
6. Themenverflechtung (Jalinan Tema)
Motif mendukung, menggarisbawahi, mewakili dan menjelaskan
tema dengan memberikan detail konkret terhadap teks secara tematis.
7. Gliederung des Textes (Susunan Teks)
Motif adalah 'pembawa makna dan struktur' yang menghubungkan
untaian naratif, merujuk pada peristiwa yang akan datang, meringkas
plot, memberikan resolusi, dan lainnya. Semua fungsi ini kemudian
digabungkan untuk menciptakan kualitas teks yang dinamis.
8. Deutungmuster (Pola Petunjuk)
Motive kennzeichen existentielle Grundsituationen, die einerseits
mit einzelnen Figuren verknüpft sind, anderseits mit keener bestimmten
Figur in Verbindung stehen. (Motif menandai situasi eksistensial
mendasar, yang di satu sisi berkaitan dengan para tokoh, di sisi lain tidak
berkaitan dengan tokoh tertentu.)

2.2.3.3 Motif Blaue Blume dalam Karya Sastra


Bunga biru dianggap sebagai simbol penting romantisme dan karena itu juga
disebut sebagai bunga biru romantisme. Bunga biru melambangkan kerinduan
romantis akan yang tak terjangkau, tak terbatas, dan tak bersyarat. Hal ini juga
diartikan sebagai hubungan manusia dan alam dan menggabungkan kenyataan
dengan mimpi. Menurut Daemmrich & Demmrich (1995) dalam buku Themen
und Motive in der Literatur, menjelaskan bahwa:
Literaturwissenchaftliche Untersuchungen betonen grundsätzlich den
Symbolgehalt der blauen Blume. Sie bildet seit der intuitiven Weltschau
und der Bemühung um Erkenntnis der Natur. Das symbol übernimmt
Motivfunktion, indem es zum Orientierungspunkt der Suche wird und die
Wanderung begründet.

Kajian sastra umumnya menekankan pada kandungan simbolik bunga


biru. Sejak Romantisme Jerman, ia telah menjadi pusat pandangan dunia
yang intuitif dan upaya untuk memahami alam. Simbol ini mengambil
fungsi motif dengan menjadi titik orientasi pencarian dan alasan
pendakian.
23

Menurut Schweiger Sandra (2002), warna biru merupakan ketidak terbatasan,


keluasan dan jarak, serta merupakan indikasi kecerdasan dan ketenangan dalam
penafsiran mimpi. Warna biru adalah salah satu warna dingin antara air dan langit.
Penggabungan air atau jarak dan langit yang tampak berwarna biru merupakan
hilangnya atau kaburnya cakrawala yang menciptakan kesan tak terhingga.
Sedangkan bunga merupakan simbol struktur alami, halus dan mudah rusak.
Menurut budaya, bunga di anggap sebagai simbol kecantikan. Namun demikian,
bunga dianggap bersifat sementara, memudar setelah kurun waktu tertentu, dan
karenanya dapat menjadi simbol kehidupan dengan masa kanak-kanak (tumbuh
dewasa), remaja (berbunga), dewasa (berbunga), dan usia tua (memudar). Bunga
juga dianggap sebagai simbol cinta, sehingga sering dijadikan sebagai sebuah
hadiah yang istimewa. Hal ini sangat berkaitan dengan ciri khas zaman Romantik
yang identik dengan sebuah perasaan yang tidak terhingga dan kerinduan yang
mendalam.
Pada Abad Pertengahan, manusia dan alam adalah satu, dan alam dianggap
sebagai kekuatan yang tak terhankan dan tak ada habisnya. Selain itu, Abad
Pertengahan dianggap oleh kaum Romantik sebagai zaman sejarah yang ideal,
karena saat ini semua orang dipersatukan dalam mitos kepercayaan Kristen dan
warisan budaya Jerman yang hidup melalui mitos dan legenda bukan melalui
sains dan agama. Motif ini dapat ditelusuri kembali ke legenda Jerman kuno yang
mengatakan bahwa bunga ajaib berwarna biru terlihat di temukan pada malam
hari dan sangat dihargai oleh kaum Romantik. Selain itu, Bunga Biru berkembang
menjadi simbol pengembaraan yang juga menjadi ciri khas zaman Romantik. Oleh
karena itu, bunga ajaib ini merupakan penyebab yang sulit dicapai, tetapi
dirindukan banyak orang. Motif ini diambil oleh Novalis , seorang penyair
Jerman, yaitu terdapat dalam penggalan romannya Heinrich von Ofterdingen .
Salah satu karya paling terkenal selain roman karya Novalis yaitu puisi The Blue
Flower (1818) karya Joseph von Eichendorff, seorang penyair dan penulis
Romantisisme Jerman. Puisi pendek tersebut terdiri dari tiga bait yang masing-
masing terdiri dari empat bait dan mengikuti skema rima dari sajak silang. Selain
itu, Adelbert von Chamisso mencatat bahwa dia yakin telah menemukan bunga
biru Romantisme di Pegunungan Harz, dimana Heinrich Zschokke
24

menggunakannya sebagai simbol cinta dan kerinduan dalam novel Der Freihof
von Aarau.
25

BAB III
OBJEK DAN METODE PENELITIAN

3.1 Objek Penelitian


Pada penelitian ini yang menjadi objek penelitian adalah Roman Heinrich von
Ofterdingen karya Novalis yang didalamnya memunculkan motif Blaue Blume
untuk menggambarkan pikiran dan emosi pada tokoh dalam Roman tersebut.
Penggambaran motif Blaue Blume pada roman pilihan menjelaskan keadaan alam
dan perasaan seseorang. Pada Roman pilihan ini juga digambarkan ekspresi
mengenai keinginan yang ingin dicapai, suasana hati, dan mengatur suatu ingatan
yang pernah terjadi.

3.1.1 Biografi Singkat Novalis


Friedrich Leopold, Freiherr von Hardenberg (Novalis) lahir pada 2 Mei 1772 di
Oberwiederstedt, Prusia Saxony. Novalis adalah penyair dan ahli teori Romantis
Jerman awal yang sangat mempengaruhi pemikiran Romantis. Novalis lahir dari
keluarga Protestan Hilir Saxon dan mngambil nama samarannya dari “de Novali”
yaitu nama yang dulu digunakan keluarganya. Novalis mempelajari hukum di
Universitas Jena pada tahun 1790, kemudian melanjutkan studinya di Leipzig dan
dipertemukan dengan Friedrich von Schlegel. Novalis mulai mengenal tentang ide
filosofis Immanuel Kant dan Johann Gotlieb Fichte setelah bertemu dengan
Friedrich von Schlegel. Novalis menyelesaikan studinya di Wittenberg pada tahun
1793. Novalis ditunjuk sebagai auditor di pabrik garam pemerintah Saxon di
Weissenfels pada tahun 1796.
Novalis bertunangan dengan Sophie von Kühn pada tahun 1795 tetapi ia
meninggal karena penyakit TBC dua tahun kemudian. Novalis mengungkapkan
kesedihannya dalam Hymnen an die Nacht (Hymns to the Night), yang terdiri dari
enam puisi prosa diselingi syair. Dalam karya ini Novalis merayakan malam dan
kematian sebagai jalan masuk ke kehidupan yang lebih tinggi dan menyelami
persatuan mistik yang penuh kasih dengan Sophie dan dengan alam semesta
secara keseluruhan setelah kepergian Sophie. Novalis pergi ke akademi Freiberg
untuk belajar pertambangan pada tahun 1797. Pada tahun 1798, Novalis
26

bertunangan dengan Julie von Charpentier dan setahun kemudian Novalis menjadi
inspektur tambang di pabrik garam di Weissenfels. Novalis meninggal pada 25
Maret 1801 di Weissenfels, Saxony Jerman.
Di akhir hidupnya, Novalis penuh dengan ide-ide kreatif. Novalis
membuat studi ensiklopedia, rancangan sistem filosofis berdasarkan idealisme,
dan karya-karya puitis. Dua kumpulan fragmen yang muncul semasa hidupnya
yaitu Blütenstaub (1798; “Pollen”) dan Glauben und Liebe (1798; “Faith and
Love”), menunjukan upayanya menyatukan puisi, filsafat dan sains dalam
interpretasi alegoris dunia. Karyanya yang memiliki unsur romansa mistis yaitu
Heinrich von Ofterdingen (1802), diatur dalam visi ideal abad pertengahan Eropa.
Dalam karyanya yang berjudul “Heinrich von Ofterdingen”, Novalis
menggambarkan pencarian mistis dan romantis dari seorang penyair muda.
Gambar sentral dari penglihatannya yaitu bunga biru menjadi simbol kerinduan
romantis yang diakui secara luas diantara sesama orang romantis. Dalam esai die
Christenheit oder Europa (1799; “Kekristenan atau Eropa”) Novalis menyerukan
gereja Kristen universal untuk memulihkan Eropa di zaman baru yang pada saat
itu kesatuan budaya, sosial, dan intelektual abad pertengahannya telah
dihancurkan oleh reformasi dan pencerahan.

3.1.2 Ringkasan Cerita Roman Heinrich von Ofterdingen


Suatu malam, ketika orang tua Heinrich sudah tertidur, ia terbenam dalam
fantasinya hingga akhirnya tertidur dan bermimpi melihat bunga berwarna biru
yang bercahaya dan mempesona. Dalam mimpinya ia mengembara melewati
lembah dan gunung, berkeliaran di lautan dan mengalami berbagai peristiwa. Ia
bisa melihat binatang aneh dan tinggal dengan berbagai macam orang, kadang ia
berada dalam suasana perang, kadang hidup dalam keramaian dan kadang hidup
dalam gubuk yang sunyi. Ia menjalani hidup yang berwarna, meninggal dan hidup
kembali, merasa di cintai sampai ketitik gairah tertinggi lalu kemudian terpisah
selamanya dari kekasihnya. Heinrich merasa seolah-olah ia sedang berjalan jauh
sampai akhirnya ia melihat cahaya yang sangat terang bersinar dari kejauhan.
Sinarnya seperti emas yang menyala. Ia mendekati kolam, lalu di sebuah dinding
gua terlihat cahaya berwarna biru yang ternyata adalah bunga berwarna biru yang
27

indah. Di sekelilingnya ada banyak sekali bunga dari semua warna yang memiliki
aroma yang enak. tetapi ia hanya memperhatikan dan menatap bunga biru dengan
kelembutan yang tak terlukiskan. Heinrich sangat ingin mendekati bunga biru itu,
namun belum sampai ia meraihnya, mimpinya berakhir karena ia mendengar suara
ibunya membangunkan tidurnya.
Ayah Heinrich meceritakan tentang mimpi yang sangat indah juga seperti
yang di mimpikan oleh Heinrich. Ayahnya melihat pohon-pohon besar dengan
daun-daun besar yang berkilau membuat bayangan yang jauh dan luas. Mata air
dan bunga dimana-mana, namun hanya satu yang menjadi pusat perhatiannya.
Sang Ibu mengajaknya untuk mengunjungi rumah ayahnya di Ausburg.
Ibunya telah memperhatikan Heinrich jauh lebih pendiam dan tertutup dari
biasanya selama beberapa waktu semenjak kepergian ayahnya. Dalam perjalanan
panjang, Heinrich melihat orng-orang di negara-negara baru dan akhirnya mampu
menghilangkan suasana suram didalam dirinya. Heinrich sangat senang datang ke
negara yang menurut ibunya banyak berdatangan pengelana di negara tersebut.
Heinrich dan Ibunya berangkat ke Ausburg bersamaan dengan sahabat ayahnya
dan sepasang saudagar yang juga ingin mengunjungi Ausburg. Dalam
perjalannya, Heinrich banyak mendapatkan pengalaman hidup dari cerita yang
didengarnya melalui orang-orang yang di jumpainya maupun dari peristiwa-
peristiwa yang di alaminya.
Setelah menempuh perjalanan panjang yang mengesankan, akhirnya
Heinrich dan yang lainnya sampai di Ausburg. Heinrich dan ibunya bertemu
dengan kakeknya yang bernama Schwaning. Kakek Heinrich merupakan orang
terhormat di daerahnya. Heinrich di perkenalkan dengan sahabat kakeknya yang
merupakan seorang pengarang, yaitu Klingsohr. Heinrich menambah pengetahuan
seni dari Klingsohr dan pada akhirnya juga Klimgsohr menjadi guru Heinrich.
Heinrich jatuh cinta pada anak Klingsohr yang bernama Mathilde, yaitu seorang
gadis cantik yang pandai memainkan gitar. Namun akhirnya Mathilde meninggal
dunia dan pergi meninggalkan Heinrich. Heinrich measa sangat kehilangan sejak
kepergian Mathilde. Kemudian Heinrich memutuskan untuk pergi mengembara
berharap ia mampu mendapatkan yang diinginkannya. Sampai pada suatu ketika
ia bertemu dengan Mathilde yang telah berada di alam lain. Heinrich sangat
28

terpana dan ia berharap bisa segera ikut bersama Mathilde, namun keinginannya
tidak dapat terwujud karena Heinrich dan Mathilde sudah berbeda alam. Akhirnya
Heinrich mengembara kembali melanjutkan perjalanannya untuk mewujudkan
keinginannya, namun tak pernah dapat terwujud.

3.2 Metode Penelitian


Metode dibutuhkan untuk menganalisis sebuah penelitian agar tujuan dari
penelitian tersebut dapat tercapai. Penulis menganalisis dan mengkaji lebih lanjut
mengenai motif Blaue Blume yang muncul dalam roman Heinrich von Ofterdingen
karya Novalis.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode Motivanalyse atau
analisis motif. Metode ini membahas motif yang menjadi unsur untuk membentuk
sebuah tema dalam karya sastra. Dalam buku Horst S. und Inggrid G. Daemmrich
yang berjudul Themen und Motive in der Literatur di jelaskan tentang motif sebagai
berikut:

Motivuntersuchungen erhielten in ihren Anfängen nicht nur starke


Anregungen von der Volkskunde und Märchenforschung, sondern
konzentierten sich auch in der Auswertung des Materials auf seine
stoffgeschichtliche Bedeutung. Dieser Ansatz führte zu der eigentümlichen
Situation, daß sich jede theoretische Grundlegung mit dem
Weschselverhaltnis von stofflichem Gehalt und seiner Gestaltung
auseinandersetze. (Daemmrich, 1995:XVII)

Penelitian-penelitian motif mulanya tidak hanya mendapatkan dorongan


yang kuat dari ilmu kebudayaan masyarakat dan penelitian dongeng,
melainkan dapat difokuskan dalam penilaian material berdasarkan makna
dan bahan sejarahnya. Pendekatan ini membawa pada situasi khusus, bahwa
setisp pertimbangan latar belakang teoritis merupakan hubungan timbal
balik antara bahan cerita dengan perwujudannya.

Dapat disimpulkan jika metode Motivanalyse digunakan untuk mengidentifikasi


latar belakang suatu karya serta makna yang tercantum didalamnya. Dalam
penelitian ini, penulis menggunakan metode Motivanalyse untuk mengidentifikasi
kemunculan motif Blaue Blume secara literalis dan menganalisi sarana estetika
yang tercantum pada roman Heinrich von Ofterdingen karya Novalis.
29

3.2.1 Metode dan Teknik Pengambilan Data


Metode yang digunakan dalam pengambilan data pada penelitian ini
menggunakan teknik observasi. Teknik tersebut berupa pengumpulan data yang
dilakukan melalui pengamatan pada objek penelitian. Pada teknik ini pengambilan
data berupa tokoh dan penokohan, alur dan latar yang terdapat dalam roman
Heinrich von Ofterdingen karya Novalis yang berkaitan erat dengan Blaue Blume
atau bunga biru.

3.2.2 Metode dan Teknik Analisis Data


Pada penelitian ini analisis data yang digunakan sebagaimana didasari pada sifat
kuantitatif dan kualitatif. Karena itu data akan dianalisis berupa kemunculan
sarana estetika yang membangun motif Blaue Blume dalam roman pilihan.
Kemudian analisis data secara pemaknaan meliputi representasi motif Blaue
Blume dalam roman yang berkaitan dengan era Romantik.

3.2.3 Metode dan Tekhnik Penyajian Hasil Analisis Data


Setelah melakukan analisis data. Adapun tahap selanjutnya berupa hasil analisis
data. Pada tahap ini data yang sudah diidentifikasi akan dipaparkan berupa
penanda motif Blaue Blume dalam roman, sarana estetika apa saja yang
membangun motif Blaue Blume dalam roman Heinrich von Ofterdingen, dan
kemunculan makna pada motif Blaue Blume yang terepresentasikan dalam roman
yang dikaitkan dengan era Romantik, lalu setelah memaparkan identifikasi
tersebut akan ditarik simpulan berupa makna yang terkandung pada motif Blaue
Blume dalam roman Heinrich von Ofterdingen karya Novalis.
30

BAB IV
PEMBAHASAN
Dalam bab ini akan di paparkan analisis dari tiga pokok permasalahan yang
telah dirumuskan dalam identifikasi masalah pada subbab 1.2. Pembahasan
masalah dalam subbab ini diawali dengan mengetahui penanda motif Blaue
Blume. Selanjutnya akan ditunjukan sarana estetika sebagai pembangun
motif Blaue Blume, dan terakhir akan dipaparkan tentang representasi
makna pada motif Blaue Blume dalam roman yang akan dikaitkan dengan
era Romantik.
4.1 Penanda Motif Blaue Blume
Dalam subbab 2.2.3.3 dijelaskan mengenai bunga biru yang melambangkan
perasaan dan hubungan manusia dengan alam. Oleh karena itu, penanda motif
Blaue Blume yang muncul dalam roman ,,Heinrich von Ofterdingen” dapat
dimunculkan pada bagian awal cerita yaitu perasaan Heinrich bermimipi melihat
bunga biru, perasaan cinta Heinrich kepada Mathilde, bunga biru sebagai simbol
keterbatasan dan jarak, dan perasaan kehilangan Heinrich kepada ayahnya juga
perasaan rindu kepada Mathilde dalam bagian akhir cerita.

4.1.1 Perasaan Heinrich melihat Bunga Biru dalam Mimpi


Penanda bunga biru digambarkan pada saat Heinrich pertama kali melihat bunga
biru yang sangat berkilau dalam mimpinya.

Rund um sie her standen unzählige Blumen von allen Farben, und der
köstlichste Geruch erfüllte die Luft. Er sah nichts als die blaue Blume, und
betrachtete sie lange mit unnennbarer Zärtlichkeit. Endlich wollte er sich
ihr nähern, als sie auf einmal sich zu bewegen und zu verändern anfing;
die Blätter wurden glänzender und schmiegten sich an den wachsenden
Stengel, die Blume neigte sich nach ihm zu, und die Blüthenblätter zeigten
einen blauen ausgebreiteten Kragen, in welchem ein zartes Gesicht
schwebte. (Hlm.4)
31

“Di sekelilingnya ada banyak sekali bunga dari semua warna, dan aroma
yang paling enak memenuhi udara.Dia tidak melihat apa-apa selain bunga
biru, dan menatapnya untuk waktu yang lama dengan kelembutan yang tak
terlukiskan. Akhirnya ia ingin mendekatinya ketika dia tiba-tiba mulai
bergerak dan mulai berubah; daun menjadi lebih berkilau dan bersandar
pada batang yang tumbuh, bunga itu membungkuk ke arahnya, dan
kelopaknya menunjukkan warna biru yang menyebar pada kerah di mana
wajah halus melayang.”

Heinrich berkelana dalam dunia mimpinya. Ia melihat banyak sekali keanehan


dalam mimpinya. Dalam kutipan tersebut muncul penanda motif bunga biru yang
digambarkan dalam perasaan Heinrich ketika melihat bunga biru dalam
mimpinya. Ia melihat berbagai macam bunga yang begitu indah, namun matanya
hanya tertuju dan terpukau pada satu bunga, yaitu bunga biru yang membuat ia
penasaran dan ingin mendekatinya. Ia kagum pada warna biru yang berkilau dan
membungkuk ke arahnya.

4.1.2. Perasaan Cinta Heinrich kepada Mathilde


Heinrich bertemu dengan sosok wanita yang ia cintai yang bernama Mathilde.
Mathilde merupakan anak dari seorang penyair sahabat kakeknya Heinrich. Ia
sangat terkagum pada kecantikan Mathilde. Rasa cintanya Heinrich kepada
Mathilde membuat ia kembali mengingat bunga biru yang selalu datang pada
mimpinya. Hal ini digambarkan dalam kutipan sebagai berikut:

Heinrich fühlte die entzückenden Weissagungen der ersten Lust und Liebe
zugleich. Auch Mathilde ließ sich willig von den schmeichelnden Wellen
tragen, und verbarg ihr zärtliches Zutrauen, ihre aufkeimende Neigung zu
ihm nur hinter einem leichten Flor. Es war tief in der Nacht, als die
Gesellschaft auseinanderging. Daserste und einzige Fest meines Lebens,
sagte Heinrich zu sich selbst, als er allein war, und seine Mutter sich
ermüdet zur Ruhe gelegthatte. Ist mir nicht zu Muthe wie in jenem
Traume, beym Anblickder blauen Blume? Welcher sonderbare
Zusammenhang ist zwischen. Mathilden und dieser Blume? Jenes Gesicht,
das aus dem Kelchesich mir entgegenneigte, es war Mathildens
himmlisches Gesicht,und nun erinnere ich mich auch, es in jenem Buche
gesehn zu haben. (Hlm.92-93)

“Heinrich merasakan ramalan mempesona tentang nafsu dan cinta pertama


pada saat bersamaan. Sudah larut malam ketika pesta bubar. Perayaan
pertama dan satu-satunya dalam hidupku, kata Heinrich pada dirinya
sendiri ketika dia sendirian dan ibunya sudah pergi tidur, kelelahan.
32

Bukankah aku merasa seperti dalam mimpi itu ketika aku melihat bunga
biru? Apa hubungan aneh antara Mathilde dan bunga ini? Wajah yang
condong ke arahku dari piala itu adalah wajah surgawi Mathilde, dan
sekarang aku juga ingat pernah melihatnya di buku itu.”

Disebutkan dalam subbab 2.2.3.3 mengenai motif bunga biru sebagai simbol
cinta. Dari kutipan diatas, penanda cinta ada pada saat Heinrich memiliki perasaan
nafsu cinta pada Mathilde. Rasa cintanya kepada Mathilde mengingatkan ia pada
bunga biru dalam mimpinya. Keduanya terlihat sama mengagumkannya dalam
pandangan Heinrich. Ia begitu mengagumi bunga biru, dan juga sangat mencintai
Mathilde. Ia melihat bunga biru seperti ada pada sosok Mathilde yang memiliki
wajah surgawi.

4.1.3 Bunga Biru sebagai Simbol Keterbatasan dan Jarak


Menurut Schweiger Sandra (2002), warna biru merupakan ketidak terbatasan,
keluasan dan jarak, serta merupakan ketenangan dalam penafsiran mimpi. Hal ini
muncul pada kutipan sebagai berikut:

Da träumte ihm erst von unabsehlichen Fernen, und wilden, unbekannten


Gegenden. Er wanderte über Meere mit unbegreiflicher Leichtigkeit;
wunderliche Thiere sah er; er lebte mit mannichfaltigen Menschen, bald
im Kriege, in wildem Getümmel, in stillen Hütten. Er durchlebte ein
unendlich buntes Leben; starb und kam wieder, liebte bis zur höchsten
Leidenschaft, und war dann wieder auf ewig von seiner Geliebten
getrennt. (Hlm.2-3)

“Kemudian dia pertama kali memimpikan jarak yang tak terduga dan liar
di daerah yang tidak diketahui. Dia berkeliaran di lautan dengan tidak
mudah dimengerti; dia melihat binatang aneh; dia tinggal dengan berbagai
macam orang, terkadang berperang, dalam kekacauan liar, di gubuk yang
sunyi. Dia menjalani kehidupan yang penuh warna; meninggal dan
kembali, dicintai sampai ke titik gairah tertinggi, dan kemudian terpisah
selamanya dari kekasihnya.”

Heinrich berkelana dalam dunia mimpi dan fantasinya. Ia melihat binatang yang
tidak pernah dilihatnya dan hidup dalam kekacauan yang liar hingga berperang
dengan orang-orang dalam mimpinya. Penanda bunga biru dalam keterbatasan
dan jarak muncul sebagai sesuatu yang tidak ada dalam dunia nyata, adanya jarak
dan keterbatasan duniawi menjadi perbedaan dengan dunia mimpi.
33

4.1.4 Perasaan Kehilangan Heinrich kepada Ayahnya


Johannis, yaitu ayahnya Heinrich meninggal dunia ketika ia menginjak usia 20
tahun. Ibunya memutuskan untuk membawa Heinrich pergi ke Ausburg untuk
menenangkan rasa kehilangan ditinggalkan ayahnya.

Er sah sich an der Schwelle der Ferne, in die er oft vergebens von den
nahen Bergen geschaut, und die er sich mit sonderbaren Farben
ausgemahlt hatte. Er war im Begriff, sich in ihre blaue Flut zu tauchen.
Die Wunderblume stand vor ihm, und er sah nach Thüringen, welches er
jetzt hinter sich ließ mit der seltsamen Ahndung hinüber, als werde er
nach langen Wanderungen von der Weltgegend her, nach welcher sie jetzt
reisten, in sein Vaterland zurückkommen, und als reise er daher diesem
eigentlich zu. (Hlm.12)

“Dia melihat dirinya di ambang kejauhan, yang sering dia lihat dengan sia-
sia dari pegunungan terdekat, dan yang dia lukis dengan warna-warna
aneh. Dia akan terjun ke gelombang birunya. Bunga ajaib berdiri di
depannya, dan dia melihat ke seberang ke Thuringia, yang sekarang dia
tinggalkan, dengan firasat aneh bahwa, setelah lama mengembara dari
bagian dunia yang sekarang mereka tuju, dia akan kembali ke rumahnya.”

Dalam perjalannya menuju Ausburg, Heinrich terlihat suram dan murung karena
merasakan ksedihannya. Dalam suasana melankolis, ia meninggalkan kampung
halamannya. Penanda bunga biru muncul pada warna-warna aneh dan bunga ajaib
yang ia lihat dari kejauhan lamunannya. Bunga ajaib disana dilambangkan sebagai
bunga biru yang ia lihat dalam pandangannya sebagai sosok ayahnya yang akan
pergi jauh meninggalkannya.
4.1.5 Perasaan Rindu kepada Mathilde
Pada bagian pemenuhan, yaitu akhir dari roman ,,Heinich von Ofterdingen” yang
ceritanya tidak selesai, Mathilde telah meninggal dunia. Hal ini digambarkan
dalam kutipan sebagai berikut:

Auf dem schmalen Fußsteige, der ins Gebürg hinauflief, gieng ein
Pilgrimm in tiefen Gedanken. Ein starker Wind sauste durch die blaue
Luft. Er wollte sich in die Ferne verweinen, daß auch keine Spur seines
Daseyns übrig bliebe.[…] Der arme Pilgrimm gedachte der alten Zeiten,
und ihrer unsäglichen Entzückungen – Aber wie matt gingen diese
köstlichen Errinnerungen vorüber. Der breite Hut verdeckte ein
jugendliches Gesicht. Es war bleich, wie eine Nachtblume. In Thränen
hatte sich der Balsamsaft des jungen Lebens, in tiefe Seufzer sein
34

schwellender Hauch verwandelt. In ein fahles Aschgrau waren alle seine


Farben verschossen. (Hlm.137-138)

“Di jalan setapak sempit yang menuju pegunungan, masuk peziarah dalam
pikiran yang mendalam. Angin kencang bertiup melalui udara biru. Dia
ingin menangisi diri sendiri di kejauhan, yang juga tidak ada jejak
keberadaannya akan ditinggalkan.[...] Peziarah yang malang memikirkan
masa lalu, dan kesenangan mereka yang tak terkatakan - Tapi betapa
lemahnya kenangan berharga ini berlalu. Topi lebar menyembunyikan
wajah awet muda. Itu pucat, seperti bunga malam. Balsem kehidupan
muda telah berubah menjadi air mata, dan napasnya yang membengkak
menjadi desahan yang dalam. Semua warnanya telah memudar menjadi
abu-abu pucat.”

Dalam kutipan diatas, peziarah yang dimaksud adalah Heinrich yang sedang
mengunjungi makam Mathilde. Ia kembali mengingat masalalunya dan semua
kenangan yang indah akhirnya harus berlalu. Dalam kutipan ini terdapat penanda
bunga pada ungkapan perasaan mendalam Heinrich karena kehilangan membuat
wajahnya menjadi sepucat bunga malam.

Ganz vorn stand die Geliebte des Pilgers und hatt' es das Ansehn, als
wolle sie mit ihm sprechen. Doch war nichts zu hören und betrachtete der
Pilger nur mit tiefer Sehnsucht ihre anmuthigen Züge und wie sie so
freundlich und lächelnd ihm zuwinkte, und die Hand auf ihre linke Brust
legte. Der Anblick war unendlich tröstend und erquickend und der Pilger
lag noch lang in seliger Entzückung, als die Erscheinung wieder
hinweggenommen war. Der heilige Strahl hatte alle Schmerzen und
Bekümmernisse aus seinem Herzen gesogen, so daß sein Gemüth wieder
rein und leicht und sein Geist wieder frey und fröhlich war, wie vordem.
Nichts war übriggeblieben, als ein stilles inniges Sehnen und ein
wehmüthiger Klang im Aller Innersten. (Hlm.140)

“Tepat di depan berdiri kekasih peziarah dan tampak seolah ingin


berbicara dengannya. Tapi tidak ada yang terdengar dan peziarah hanya
melihat wajahnya yang anggun dengan kerinduan yang dalam dan
bagaimana dia melambai padanya dengan begitu ramah dan tersenyum dan
meletakkan tangannya di dada kirinya. Pemandangan itu sangat menghibur
dan menyegarkan, dan peziarah berbaring lama dalam ekstase bahagia
ketika penampakan itu diambil. Sinar suci telah menyedot semua rasa sakit
dan kesedihan dari hatinya, sehingga jiwanya kembali murni dan ringan,
dan jiwanya bebas dan ceria lagi, seperti sebelumnya. Tidak ada yang
tersisa selain suara sunyi, kerinduan yang dalam dan melankolis di dalam
diri yang paling dalam.”
35

Pada kutipan diatas menggambarkan penanda rindu pada ungkapan saat Heinrich
melihat wajah seorang wanita yang anggun dengan kerinduan yang mendalam.
Sosok wanita yang digambarkan dalam kutipan diatas adalah Mathilde yang
Heinrich lihat dri kejauhan. Ia tidak bisa bersama dengan Mathilde lagi karena
jarak yang tidak terjangkau yaitu dua dunia yang sudah berbeda. Meskipun
demikian, setelah melihat Mathilde walaupun tidak ada yang bisa ia lakuakan,
rasa rindu Heinrich bisa terobati. Ia kembali ceria dengan jiwanya yang tenang.
Yang tersisa hanya suara sunyi akan keriduannya kepada Mathilde yang paling
dalam.

4.2 Sarana Estetika Pembangun Motif Blaue Blume


4.2.1 Tokoh dan Penokohan
Tokoh memiliki peran penting sebagai sarana esttika yang membangun
sebuah karya sastra sebagaimana yang telah di paparkan pada subbab 2.2.2.2.1.
Selain itu, konstelasi tokoh merupakan hubungan antar tokoh dalam suatu cerita,
baik hubungan antarindividu didalam keluarga ataupun individu dengan
lingkungannya. Konstelasi tokoh menunjukan bagaimana tokoh-tokoh dalam
suatu cerita saling berhubungan serta memiliki peran dalam membangun tema
suatu cerita. Berikut akan dipaparkan hubungan tokoh utama Heinrich, dengan
tokoh pendukung lainnya.

1. Heinrich dengan Ayahnya


Heinrich merupakan anak tunggal di keluarganya. Keluarganya terdiri dari
ayah, ibu, dan Heinrich. Ia baru berusia 20 tahun dan tinggal bersama ayah dan
ibunya. Hubungan antara Heinrich dengan orang tuanya terlihat harmonis, ayah
dan ibunya selalu peduli atas apa yang terjadi pada Heinrich. Ketika Heinrich
menceritakan tentang mimpinya kepada orang tuanya, ayah dan ibunya
menunjukan rasa keingin tahuan sebagai bentuk peduli kepada anaknya.
Penggambaran tokoh Heinrich pada cerita pilihan dimunculkan melalui
karakterisasi tokoh secara tidak langsung (indirekte Charakterisierung). Kondisi
keluarga digambarkan seperti pada kutipan berikut:
Lieber Vater, antwortete Heinrich, werdet nicht unwillig über meinen langen
Schlaf, den ihr sonst nicht an mir gewohnt seid. Ich schlief erst spät ein, und
36

habe viele unruhige Träume gehabt, bis zuletzt ein anmuthiger Traum mir
erschien, den ich lange nicht vergessen werde, und von dem mich dünkt, als
sey es mehr als bloßer Traum gewesen.[...] Die Mutter ging hinaus, der Vater
arbeitete emsig fort und sagte:
Träume sind Schäume,[...]Damals muß es eine andere Beschaffenheit mit den
Träumen gehabt haben, so wie mit den menschlichen Dingen. (Hlm.5)

“Ayah terkasih, jawab Heinrich, jangan marah pada tidur panjang saya, yang
biasanya tidak biasa Anda lakukan dengan saya. Aku tertidur larut malam dan
mengalami banyak mimpi gelisah, sampai akhirnya sebuah mimpi
menyenangkan muncul yang tidak akan kulupakan untuk waktu yang lama
dan yang menurutku lebih dari sekedar mimpi belaka.[...]Sang ibu pergi, sang
ayah terus bekerja dengan rajin dan berkata: Mimpi adalah buih,[...] Pada
masa itu, mimpi pasti memiliki sifat yang berbeda dari hal-hal manusia.”

Dalam kutipan ini, Heinrich mengatakan kepada orang tuanya alasan dia tertidur
lelap sampai tidak bisa bangun dengan cepat. Heinrich merasa terkesan dengan
mimpinya yang membuat ia menjadi gelisah namun pada akhirnya bisa menjadi
mimpi yang begitu menyenangkannya. Heinrich menganggap mimpinya bukan
hanya sekedar mimpi belaka yang tiada artinya. Ia sangat yakin ada maksud di
balik mimpi yang ia alami dalam tidurnya tersebut. Namun ayahnya menyangkal,
menurut ayahnya mimpi hanyala sebuah buih yang artinya hanya gelembung-
gelembung busa pada cairan yang nantinya akan menghilang begitu saja dan tidak
memiliki arti lebih. Hal tersebut digambarkan pada kutipan berikut:

Die Zeiten sind nicht mehr, wo zu den Träumen göttliche Gesichte sich
gesellten, und wir können und werden es nicht begreifen, wie es jenen
auserwählten Männern, von denen die Bibel erzählt, zu Muthe gewesen ist.
[...] wo wir leben, findet der unmittelbare Verkehr mit dem Himmel nicht
mehr Statt. Die alten Geschichten und Schriften sind jetzt die einzigen
Quellen, durch die uns eine Kenntniß von der überirdischen Welt,[...] und
statt jener ausdrücklichen Offenbarungen redet jetzt der heilige Geist
mittelbar durch den Verstand kluger und wohlgesinnter Männer und durch
die Lebensweise und die Schicksale frommer Menschen zu uns. [...]wenn Ihr
zuerst in Eurem Leben einen Traum hättet, wie würdet Ihr nicht erstaunen,
[...] Mich dünkt der Traum eine Schutz- wehr gegen die Regelmäßigkeit und
Gewöhnlichkeit des Lebens, eine freye Erholung der gebundenen Fantasie,
[...] (Hlm. 5-6)

“Tidak ada lagi zaman ketika mimpi disertai dengan penglihatan ilahi, dan
kita tidak dapat dan tidak akan memahami bagaimana perasaan orang-orang
pilihan yang disebutkan dalam Alkitab. [...] di mana kita tinggal, komunikasi
langsung dengan surga tidak lagi terjadi. Kisah-kisah dan tulisan-tulisan kuno
37

sekarang adalah satu-satunya sumber yang kita memiliki mengenai


pengetahuan tentang dunia adiduniawi,[...] dan alih-alih wahyu eksplisit itu,
Roh Kudus sekarang berbicara secara tidak langsung melalui pikiran orang
bijak dan bermaksud baik dan melalui cara hidup dan Takdir orang saleh
kepada kita.[...] jika Anda bermimpi untuk pertama kali dalam hidup Anda,
bagaimana Anda tidak akan terkagum-kagum[...]Bagi saya, mimpi itu tampak
sebagai pertahanan terhadap keteraturan dan kelaziman hidup, kelonggaran
bebas dari imajinasi yang terikat,[...]”

Dalam kutipan ini, ayah Heinrich menyampaikan pendapatnya mengenai mimpi.


Menurutnya, saat ini tidak ada yang mampu memahami mimpi seperti halnya
memahami orang-orang olihan yang ada dalam Alkitab. Ayahnya juga
mengatakan bahwa satu-satunya sumber tentang dunia dan adiduniawi yang
dimiliki manusia saat ini hanyalah melalui pikiran orang-orang bijak dan saleh
yang disampaikan kepada manusia. Namun Heinrich tetap merasa kagum pada
mimpinya. Menurutnya, mimpi adalah sebuah pertahanan hidup untuk
medapatkan kebebasan dalam berimajinasi. Namun pada akhirnya, ayahnya
meninggal dunia dan pergi meninggalkan Heinrich. Terlihat dalam kutipan
berikut:

[...]die Mutter hatte längst einmal nach Augsburg ins väterliche Haus
kommen und dem Großvater den noch unbekannten lieben Enkel mitbringen
sollen. [...]In wehmüthiger Stimmung verließ Heinrich seinen Vater und sein
Geburtsstadt. Es ward ihm jetzt erst deutlich, was Trennung sey;[...] die
Vorstellungen von der Reise waren nicht von dem sonderbaren Gefühle
begleitet gewesen, was er jetzt empfand, als zuerst seine bisherige Welt von
ihm gerissen und er wie auf ein fremdes Ufer gespült ward.Eine erste
Ankündigung des Todes, bleibt die erste Trennung unvergeßlich,[...] (Hlm
10-12)

“[...] sang ibu sudah lama seharusnya datang ke rumah ayahnya di Augsburg
dan membawa serta cucu tersayangnya, yang masih belum diketahui. [...]
Dalam suasana melankolis, Heinrich meninggalkan ayahnya dan kampung
halamannya. Baru sekarang dia menyadari apa itu perpisahan;[...] Bayangan
tentang perjalanan itu tidak disertai dengan perasaan aneh yang sekarang dia
rasakan ketika pertama kali dunia lamanya direnggut darinya dan dia hanyut
seolah-olah ke pantai asing. Pengumuman pertama tentang kematian,
perpisahan pertama tetap tak terlupakan,[...]”

Dalam kutipan ini di ceritakan bagaimana Heinrich sangat merasa kehilangan


ayahnya. Setelah kepergian ayahnya, Heinrich dan Ibunya pergi meninggalkan
38

kampung halamnnya. Mereka mengunjungi rumah kakeknya di Ausburg. Menurut


Heinrich, kematian dan perpisahan adalah sebuah peristiwa yang tidak bisa ia
lupakan karena harus merasa kehilangan.

2. Heinrich dengan Ibunya


Hubungan Heinrich dengan ibunya sangat baik. Saat ayahnya meninggal, Ibunya
mencari cara untuk bisa menenangkan Heinrich dari rasa kehilangannya.
Penggambaran kepedulian ibunya akan digambarkan dalam kutipan sebagai
berikut:

[...] und es lag ihr dieß um so mehr am Herzen, weil sie seit einiger Zeit
merkte, daß Heinrich weit stiller und in sich gekehrter war, als sonst. Sie
glaubte, er sey mißmüthig oder krank, und eine weite Reise, der Anblick
neuer Menschen und Länder, und wie sie verstohlen ahndete, die Reize einer
jungen Landsmännin würden die trübe Laune ihres Sohnes vertreiben, und
wieder einen so theilnehmenden und lebensfrohen Menschen aus ihm
machen, wie er sonst gewesen. (Hlm. 10)

“[...]dan itu semua lebih penting baginya karena dia telah memperhatikan
selama beberapa waktu bahwa Heinrich jauh lebih pendiam dan tertutup dari
biasanya. perjalanan panjang, melihat orang-orang dan negara-negara baru,
dan seperti yang dia curigai secara diam-diam, pesona seorang rekan
senegaranya yang masih muda akan menghilangkan suasana suram putranya
dan membuatnya kembali simpatik dan penuh kehidupan seperti dulu.”

Ibunya telah memperhatikan Heinrich selama beberapa waktu kebelakang setelah


kepergian ayahnya. Wajah Heinrich yang selalu terlihat pendiam dan tidak
bersemangat seperti biasanya, membuat ibunya menjadi khawatir kepadanya.
Namun dalam perjalanan panjang menuju rumah kakeknya di Ausburg, Heinrich
mulai terlihat bersemangat lagi dan seperti hidup kembali karena ia bertemu
dengan orang-orang baru di berbagai negara yang berbeda.

Heinrichs Mutter glaubte ihren Sohn aus den Träumereien reißen zu müssen,
indenen sie ihn versunken sah, und fing an ihm von ihrem Vaterlandezu
erzählen, von dem Hause ihres Vaters und dem frölichen Leben in Schwaben.
(Hlm. 12)
39

“Ibu Heinrich merasa dia harus mengeluarkan putranya dari lamunan di mana
dia melihatnya tersesat, dan mulai bercerita tentang tanah airnya, tentang
rumah ayahnya dan kehidupan bahagia di Swabia.”

Dalam kutipan tersebut menunjukan upaya ibunya yang peduli dengan Heinrich.
Ketika ia melihat putranya tersesat, ia mencoba menghiburnya dengan berbagai
cara, salah satunya dengan bercerita mengenai tanah airnya, tentang rumah
ayahnya, dan tak lupa kehidupan bahagianya saat di Swabia.

3. Heinrich dengan Kakeknya “alte Schwaning”


Kakek Heinrich yang sering disebut dengan Schwaning tua “alte Schwaning”
adalah ayah dari ibu Heinrich. Ia tinggal di Augsburg dan baru bertemu lagi
dengan putrinya, dan juga untuk pertama kalinya Heinrich bertemu dengan
kakeknya. Terlihat dalam kutipan berikut:

Der alte Schwaning kam heraus. Er kannte sie nicht gleich, und fragte nach
ihrem Namen und Anliegen. Heinrichs Mutter weinte, und fiel ihm um den
Hals. Kennt Ihr Eure Tochter nicht mehr? rief sie weinend. Ich bringe euch
meinen Sohn. Der alte Vater war äußerst gerührt. Er drückte sie lange an
seine Brust; Heinrich sank auf ein Knie, und küßte ihm zärtlich die Hand. Er
hob ihn zu sich, und hielt Mutter und Sohn umarmt. “Da bringe ich meine
Tochter und meinen Enkel aus Eisenach, rief Schwaning” [...] (Hlm. 83-84)

“Schwaning tua keluar. Dia tidak langsung mengenalnya dan menanyakan


nama dan kekhawatirannya. Ibu Heinrich menangis dan memeluk lehernya.
Apa kau tidak mengenal putrimu lagi? dia menangis menangis. Aku
membawakanmu anakku. Ayah tua itu sangat tersentuh. Dia memeluknya
untuk waktu yang lama; Heinrich berlutut dan dengan lembut mencium
tangannya. Dia mengangkatnya ke arahnya dan memeluk ibu dan anak
itu."Saya membawa putri dan cucu saya dari Eisenach,"seru Schwaning[...] ”

Ketika Heinrich dan ibunya sampai di Augsburg, mereka melihat rumah kakeknya
yang menyala sedang mengadakan sebuah pesta bersama orang-orang banyak.
Kakeknya sempat tidak mengenali Heinrich dan ibunya. Ibu Heinrich langsung
menangis dan mengatakan bahwa ia adalah putrinya. Schwaning memperkenalkan
Heinrich dan ibunya kepada semua orang yang ada di pesta. Kehidupan kakeknya
di Augsburg penuh dengan kebahagiaan, hal ini di tunjukan dalam kutipan
berikut:
40

Heinrich begriff erst jetzt, was ein Fest sey. Tausend frohe Geister schienen
ihm um den Tisch zu gaukeln, und in stiller Sympathie mit den frölichen
Menschen von ihren Freuden zu leben und mit ihren Genüssen sich zu
berauschen. Der Lebensgenuß stand wie ein klingender Baum voll goldener
Früchte vor ihm. (Hlm. 87)

“Heinrich baru sekarang mengerti apa itu festival. Ribuan roh bahagia tampak
baginya menari mengelilingi meja, hidup dalam simpati yang tenang dengan
orang-orang bahagia dari kegembiraan mereka dan memabukkan diri dengan
kesenangan mereka. Kenikmatan hidup berdiri di hadapannya seperti pohon
gemerincing penuh buah emas.”

Kehidupan kakeknya di Augsburg membuat Heinrich terkagum pada kemewahan


orang-orang disana. Untuk pertama kalinya, ia menari gembira di pesta yang
diadakan oleh kakeknya dan temannya. Heinrich melihat semua orang sangat
terlihat begitu bahagia menikmati kehidupan yang bersinar seperti surga duniawi.
Ia juga menikmati sebuah jamuan dari kakeknya. Kakek Heinrich bukanlah
sembarang orang, ia merupakan penyair yang cukup dikenal oleh banyak orang di
tempat tinggalnya.

Einige Mädchen brachten dem alten Schwaning einen frischen Kranz. [...]Er
gab der Musik ein Zeichen, und sang mit lauter Stimme:[...] Sagt selbst, was
ihr für ein Lied haben wollt. [...]riefen die Mädchen ein Weinlied, wenn es
euch ansteht. (Hlm. 87-89)

“Beberapa gadis membawakan Schwaning tua karangan bunga baru. [...]Dia


memberi tanda pada musik, dan bernyanyi dengan suara nyaring:[...]Ucapkan
lagu apa yang Anda inginkan. [...] gadis-gadis itu meneriakkan lagu anggur,
saat waktunya tiba.”

Dari kutipan diatas menunjukan bahwa Schwaning merupakan seorang penyair


lagu yang cukup digemari semua orang, baik dikalangan tua maupun kalangan
muda. Gadis-gadis yang menyaksikan Schwaning menyanyi sangat gembira
mendengarnya, hingga mereka memberikan sebuah bunga sebagai hadiah atas
penampilannya.
41

4. Heinrich dengan Klingsohr


Klingsohr adalah teman Schwaning kakek dari Heinrich. Mereka bertemu ketika
Heinrich pertama kali berkunjung ke rumah kakeknya di Augsburg. hal ini di
gambarkan pada kutipan sebagai berikut:

Unter der Gesellschaft war Heinrichen ein Mann aufgefallen, den er in jenem
Buche oft an seiner Seite gesehn zu haben glaubte. Ein heitrer Ernst war der
Geist seines Gesichts; eine offene schön gewölbte Stirn, große, schwarze,
durchdringende und feste Augen, ein schalkhafter Zug um den frölichen
Mund und durchaus klare, männliche Verhältnisse machten es bedeutend und
anziehend. Er war stark gebaut, seine Bewegungen waren ruhig und
ausdrucksvoll, und wo er stand, schien er ewig stehen zu wollen. Heinrich
fragte seinen Großvater nach ihm.[...] Es ist mein trefflicher Freund
Klingsohr, der Dichter. (Hlm. 84-85)

“Di antara rombongan, Heinrich memperhatikan seorang pria yang


menurutnya sering dilihatnya di sisinya di buku itu. Dia bertubuh kuat,
gerakannya tenang dan ekspresif, dan di mana dia berdiri dia sepertinya ingin
berdiri selamanya. Heinrich bertanya kepada kakeknya tentang dia. Dia
bertubuh kuat, gerakannya tenang dan ekspresif, dan di mana dia berdiri dia
sepertinya ingin berdiri selamanya. Heinrich bertanya kepada kakeknya
tentang dia. [...] Dia teman baik saya Klingsohr, seorang penyair.”

Dalam kutipan tersebut dikatakan jika Heinrich penasaran dengan Klingsohr


karena merasa pernah melihatnya dalam buku. Heinrich merupakan anak dan cucu
dari seorang penyair, hal ini menjadikan Heinrich terbiasa dengan berbagai
banyak buku, seperti halnya saat Heinrich beradu pendapat mengenai sebuah
mimpi. Ia membicarakan isi dari buku-buku bijak yang ia baca tentang kisah
mimpi yang dapat dipercaya maknanya oleh orang-orang. Heinrich diperkenalkan
kepada Klingsohr oleh kakeknya di sebuah pesta, saat itu Heinrich mengisi sebuah
lagu bersama temannya Schwaning. Heinrich sangat senang bisa bertemu dan
berkenalan dengan Klingsohr sang penyair. Hubungan Klingsohr dan Heinrich
berlanjut sampai akhirnya Schwaning ingin menjadikan Heinrich sebagai murid
Klingsohr.

Klingsohr sagte zu Schwaning: Euer Enkel hat ein anziehendes Gesicht.


Es zeigt ein klares und umfassendes Gemüth, und seine Stimme kommt tief
aus dem Herzen. Ich hoffe, erwiederte Schwaning, daß er euer gelehriger
Schüler seyn wird. Es hätte mehr aus ihm werden können, als ein fleißiger
und fertiger Künstler. (Hlm.85-86)
42

“Klingsohr berkata kepada Schwaning: Cucu Anda memiliki wajah yang


menarik. Itu menunjukkan pikiran yang jernih dan komprehensif, dan
suaranya terdengar jauh dari hati. Saya berharap, jawab Schwaning, bahwa
dia akan bersedia menjadi murid Anda. [...]Dia bisa menjadi lebih dari
seorang seniman yang rajin dan berprestasi.”

Klingsohr tertarik pada Heinrich dan ia meyakini bahwa Heinrich pasti bisa
menjadi seorang penyair bahkan melebihi itu ia mampu menjadi seorang seniman
yang berprestasi. Klingsohr melihat Heinrich dan beranggapan bahwa Heinrich
memang dilahirkan untuk menjadi penyair. Semangat ayahnya dan kakeknya yang
sebagai seorang penyair mampu untuk menjadikan Heinrich menjadi seorang
penyair juga. Karena keinginan einrich yang kuat untuk bisa menjadi penyair, ia
meminta Klingsohr untuk menjadikannya murid.

Unter eurer Leitung werde ich erst merken, welches edle Ziel vor mir
steht, und wie ich es nur durch euren Rath zu erreichen hoffen darf. [...]
und Heinrich fragte sie mit zärtlicher Stimme, ob sie ihn gern zum
Begleiter ihres Unterrichts und zum Schüler annehmen wollte. Ich werde
wohl ewig euer Schüler bleiben, sagte er, indem sich Klingsohr nach einer
anderen Seite wandte. Klingsohr faßte sie in seine Arme. Meine Kinder,
rief er, seyd einander treu bis in den Tod! Liebe und Treue werden euer
Leben zur ewigen Poesie machen. (Hlm. 100-101)

“Hanya di bawah kepemimpinan anda saya akan menyadari tujuan mulia


apa yang ada di hadapan saya dan bagaimana saya hanya bisa berharap
untuk mencapainya dengan nasihat Anda. [...]dan Heinrich bertanya
dengan suara lembut apakah dia ingin menerimanya sebagai guru dan
muridnya. Saya mungkin akan tetap menjadi murid anda selamanya,
katanya, sementara Klingsohr menoleh ke sisi lain. Klingsohr
memeluknya. Anak-anakku, serunya, setia satu sama lain sampai mati!
Cinta dan kesetiaan akan membuat puisimu hidup.”

Heinrich mengatakan pada Klingsohr, ia tidak hanya ingin mencapai sesuatu


hanya dari nasihatnya. Ia ingin mempelajari banyak hal terutama ingin dibimbing
untuk bisamenjadi seorang penyair. Dan pada akhirnya Klingsohr menjadikannya
murid, ia sudah menganggap Heinrich sebagai putranya yang ia sayangi dan akan
ia jaga.
43

5. Heinrich dengan Mathilde


Mathilde menjadi sosok perempuan yang sangat berarti bagi Heinrich. Mathilde
adalah anak dari Klingsohr. Awal pertemuan Heinrich dengan Mathilde adalah
saat kakeknya Schwaning mempertemukan keduanya di waktu yang sama saat
Heinrich bertemu Klingsohr di sebuah pesta. Penggambaran pertemuan Heinrich
dan mathilde muncul dalam kutipan sebagai berikut:

Nach einiger Zeit kam Schwaning wieder zu ihnen und brachte die schöne
Mathilde. Sie sahen sich einander mit Verwunderung an. Er bot ihr
schweigend seine Hand; sie gab ihm die ihrige, und sie mischten sich in
die Reihe der walzenden Paare. (Hlm. 85)

“Setelah beberapa saat Schwaning kembali kepada mereka dan membawa


Mathilde yang cantik. Mereka saling memandang dengan takjub. Dia
diam-diam menawarkan tangannya; dia memberinya miliknya, dan mereka
bergabung dengan barisan pasangan yang berdansa.”

Heinrich dan Mathilde saling memandang takjub. Heinrich terpesona dengan


wajahnya Mathilde yang cantik. dansa dimulai, dan Heinrich memberanikan
dirinya untuk menjadikan Mathilde sebagai pasangan dansanya. Mereka menari di
pesta tersebut. Dan semua orang yang melihatnya merasa senang. Hubungan
keduanya semakin dekat dan menimbulkan rasa cinta antara keduanya, seperti
dalam kutipan tersebut:

Heinrich fühlte die entzückenden Weissagungen der ersten Lust und Liebe
zugleich. Auch Mathilde ließ sich willig von den schmeichelnden Wellen
tragen, und verbarg ihr zärtliches Zutrauen, ihre aufkeimende Neigung zu
ihm nur hinter einem leichten Flor.[...] beym Anblick
der blauen Blume?[...]Mit vollem Entzücken rief Heinrich aus: Euch, ihr
ewigen Gestirne, ihr stillen Wandrer, euch rufe ich zu Zeugen meines
heiligen Schwurs an. Für Mathilden will ich leben, und ewige Treue soll
mein Herz an das ihrige knüpfen. (Hlm. 92-94)

“Heinrich merasakan ramalan mempesona tentang nafsu dan cinta pertama


pada saat bersamaan. Mathilde, juga, dengan rela membiarkan dirinya
terbawa oleh ombak yang membelai, dan hanya menyembunyikan
kepercayaan dirinya yang lembut, kasih sayangnya yang berkembang
padanya, di balik tidur siang yang ringan. [...]Apa hubungan aneh antara
Mathilde dan bunga ini?[...]Dengan penuh kegembiraan, Heinrich berseru:
Kamu, bintang abadi, pengembara yang pendiam, aku memintamu untuk
44

menyaksikan sumpah suciku. Aku ingin hidup untuk Mathilde, dan


kesetiaan abadi akan mengikat hatiku padanya.”

Perlakuan Heinrich kepada Mathilde, dari perkataan dan cara Heinrich


menunjukan cintanya kepada Mathilde, membuatnya semakin tertarik dengan
Heinrich. Hingga jalan percintaan Heinrich dengan Mathilde terlihat bagaimana
Mathilde juga mencintai Heinrich. Mereka saling mencintai hingga akhirnya
Heinrich meminta restu pada ayahnya, yaitu Klingsohr. Timbul di benak Heinrich,
ia kembali memikirkan bunga biru yang sangat mempesona yang selalu muncul
dalam mimpinya. Ia seperti melihat bunga biru itu ada pada sosok Mathilde yang
ia cintai. Hingga akhirnya ia bertanya-tanya tentang hubungan bunga biru dengan
perempuan yang ia kagumi saat ini.
Sie ist ja ein geheimnißvolles Zusammenfließen unsers geheimsten und
eigenthümlichsten Daseyns. – Heinrich, so können sich noch nie zwey
Menschen geliebt haben. – Ich kanns nicht glauben. Es gab ja noch keine
Mathilde. – Auch keinen Heinrich. – Ach! schwör es mir noch einmal, daß
du ewig mein bist; die Liebe ist eine endlose Wiederholung. – Ja,
Heinrich, ich schwöre ewig dein zu seyn, bey der unsichtbaren Gegenwart
meiner guten Mutter. – Ich schwöre ewig dein zu seyn, Mathilde, so wahr
die Liebe die Gegenwart Gottes bey uns ist. Eine lange Umarmung,
unzählige Küsse besiegelten den ewigen Bund des seligen Paars. (Hlm.
107)

“Bagaimanapun, ini adalah penggabungan misterius dari keberadaan kita


yang paling rahasia dan aneh. – Heinrich, belum pernah ada dua orang
yang saling mencintai seperti itu. - Aku tidak percaya itu. Belum ada
Mathilde. - Bahkan Heinrich pun tidak. - Oh! bersumpah padaku lagi
bahwa kamu adalah milikku selamanya; cinta adalah pengulangan tanpa
akhir. – Ya, Heinrich, aku bersumpah untuk menjadi milikmu selamanya,
dengan kehadiran tak terlihat dari ibuku yang baik. – Aku bersumpah
untuk menjadi milikmu selamanya, Mathilde, sejujur cinta adalah
kehadiran Tuhan bersama kita. Pelukan panjang dan ciuman yang tak
terhitung.

Melanjuti rasa penasaran Heinrich tentang hubungan bunga biru dan Mathilde, ia
merasa pertemuannya adalah sebuah misteri yang masih tidak mudah untuk di
jelaskan, sebuah rahasia yang sulit untuk menemukan jawabannya. Ia belum
pernah merasa jatuh cinta seperti saat Heinrich jatuh cinta pada Mathilde.
Heinrich sangat mencintai ayahnya, akan tetapi rasa cinta Heinrich kepada
Mathilde mampu melebihi rasa cintanya kepada ayahnya. Mathilde mampu
45

mengalahkan semua rasa cinta dan kagum dari sebelum-sebelumnya. Heinrich


mengucap sumpah akan mencintai Mathilde selamanya, dan Mathilde juga
bersumpah akan menjadi milik Heinrich untuk selamanya.

6. Heinrich dengan Tokoh lainnya


Perjalanan Heinrich untuk menemukan jalan hidupnya, dalam pengembaraan
mencari jawaban dari misteri yang ia alami seperti rasa penasarannya pada bunga
biru. Banyak orang-orang yang ia temui dalam perjalanannya, seperti para
pelancong, pedagang dan tokoh-tokoh lainnya yang akan digambarkan dalam
kutipan sebagai berikut:

Wir erinnern uns selbst gern, fuhren die Kaufleute fort, mancher frohen
Stunden, die wir in Welschland, Frankreich und Schwaben in der
Gesellschaft von Sängern zugebracht haben, und freuen uns, daß ihr so
lebhaften Antheil an unsern Reden nehmet. Wenn man so in Gebirgen
reist, spricht es sich mit doppelter Annehmlichkeit, und die Zeit vergeht
spielend. Vielleicht ergötzt es euch einige artige Geschichten von Dichtern
zu hören, die wir auf unsern Reisen erfuhren. (Hlm. 18)

“Kami ingin mengingat, para pedagang melanjutkan, banyak waktu


bahagia yang kami habiskan di Welschland, Prancis, dan Swabia ditemani
para penyanyi, dan kami senang Anda mengambil bagian yang begitu
hidup dalam pidato kami. Ketika seseorang melakukan perjalanan di
pegunungan seperti ini, berbicara dua kali lebih mudah, dan waktu berlalu
begitu saja. Mungkin Anda akan senang mendengar beberapa cerita bagus
tentang penyair yang telah kami pelajari dalam perjalanan kami.”

Banyak cerita-cerita tentang karya-karya yang menarik yang disampaikan pada


Heinrich oleh para pedagang yang ia jumpai. Salah satunya mengenai sebuah
nyanyian dari beberapa penyair yang mereka jumpai. Mereka kagum dengan
nyanyian-nyanyiannya. Lagu-lagunya berisi tentang keadaan alam, perasaan
manusia dari sedih dan bahagia, dan keinginan pada kebebasan menjadi isi dalam
lagu-lagunya. Semuanya selalu memiliki makna yang bisa dirasakan oleh mereka
yang mendengarkannya. Begitupun dengan cerita para pelancong yang Heinrich
dengarkan. Digambarkan pada kutipan sebagai berikut:

So sollen vor uralten Zeiten in den Ländern des jetzigen Griechischen


Kaiserthums, wie uns Reisende berichtet, die diese Sagen noch dort unter
46

dem gemeinen Volke angetroffen haben, Dichter gewesen seyn, die durch
den seltsamen Klang wunderbarer Werkzeuge das geheime Leben der
Wälder, die in den Stämmen verborgenen Geister aufgeweckt, in wüsten,
verödeten Gegenden den todten Pflanzensaamen erregt, und blühende
Gärten hervorgerufen, grausame Thiere gezähmt und verwilderte
Menschen zu Ordnung und Sitte gewöhnt, sanfte Neigungen und Künste
des Friedens in ihnen rege gemacht, reißende Flüsse in milde Gewässer
verwandelt, und selbst die todtesten Steine in regelmäßige tanzende
Bewegungen hingerissen haben. (Hlm. 18)

“Menurut para pelancong yang telah menemukan legenda-legenda ini di


antara orang-orang biasa di sana, ada zaman kuno di negara-negara
penyair Kekaisaran Yunani saat ini yang, melalui suara aneh dari alat-alat
luar biasa, menjelaskan kehidupan rahasia hutan, yang dalam kebangkitan
roh. tersembunyi di suku-suku, mengaduk benih tanaman mati di padang
pasir, daerah terpencil, dan memunculkan taman-taman mekar, binatang
buas jinak dan orang-orang biadab yang terbiasa dengan ketertiban dan
tata krama, merangsang kecenderungan lembut dan seni perdamaian di
dalamnya, sungai yang mengamuk berubah menjadi air yang
lembut , dan membangkitkan bahkan batu yang paling mematikan menjadi
gerakan menari biasa.”

Para pelancong takjub pada nyanyian penyair yang menjelaskan kehidupan pada
rasia hutan dan memunculkan tanaman-tanaman didaerah terpencil, binatang buas
yang jinak dan orang-orang biadab yang terbiasa dengan ketertiban dan tatakrama.
Unsur alam seperti sungai dan batu dijadikan sebagai perumpamaan kehidupan
yang orang-orang jalani.

4.2.2 Alur
Merujuk pada subbab 2.2.2.2.2, roman “Heinrich von Ofterdingen” memiliki alur
campuran yang dibuka dengan penulis menggambarkan kondisi keluarga Heinrich
saat Heinrich mengalami mimpi sebuah bunga berwarna biru yang ia ceritakan
pada ayah dan ibunya. Keluarganya terdiri dari tiga orang, yaitu ayah, ibu dan
Heinrich. Heinrich merupakan laki-laki muda yang baru berumur 20 tahun.
Heinrich terobsesi menjadi seorang penyair seperti ayah dan kakeknya.

Erzählt uns doch jenen seltsamen Traum, sagte der Sohn. Ich war eines
Abends, fing der Vater an, umhergestreift. Der Himmel war rein, und der
Mond bekleidete die alten Säulen und Mauern mit seinem bleichen
schauerlichen Lichte. Meine Gesellen gingen den Mädchen nach, und
mich trieb das Heimweh und die Liebe ins Freye. (Hlm.7)
47

“Beritahu kami tentang mimpi aneh itu, kata sang putra. Suatu malam,
Ayah mulai, saya berkeliaran. Langit cerah, dan bulan menyelimuti pilar
dan dinding kuno dengan cahayanya yang pucat dan mengerikan. Teman-
teman saya mengejar gadis-gadis itu, dan kerinduan serta cinta membuat
saya terbuka.”

Ketika Heinrich menceritakan tentang mimpinya, ayahnya juga sama pernah


merasakan mimpi yang Heinrich alami. Ayahnya menceritakan tentang mimpinya
yang ia alami di waktu muda. Ia melihat sebua bunga yang mengalihkan
pandangannya dari yang lainnya dan bertemu dengan seorang gadis cantik yang
dipahat dari batuan marmer dan seorang lelaki tua di dalam gua. Ia melihat pohon-
pohon yang besar, udara yang panas, serta mata air dan bunga-bunga di
sekelilingnya.
Heinrich mengembara ke berbagai negara dan bertemu banyak orang
disana. Nyanyian dari penyair yang di ceritakan oleh para pelancong dan para
pedagan membuatnya takjud dan ingin menjadi penyair sejati.
Ketika ayahnya meninggal, Ibu Heinrich membawa Heinrich pergi ke
rumah kakeknya di Augsburg dengan tujuan untuk mengobati rasa sedih karena
kehilangan ayahnya. Disana ia bertemu dengan banyak orang, terutama Klingsohr
sahabat kakeknya yang merupakan penyair, dan bertemu dengan Mathilde putri
dari Klingsohr yang juga menjadi pujaan hatinya Heinrich. Ketika ia bertemu
dengan Heinrich, timbul di benaknya akan bunga biru yang misterius yang selalu
muncul dalam mimpinya. Ia melihat Mathilde seperti wujud dari bunga biru yang
menakjubkan yang ia kagumi.Heinrich menjadi murid Klingsohr untuk menjadi
seorang penyair. Ia juga berhasil mendapatkan pujaan hatinya, yaitu Mathilde.
Namun sayangnya di akhir cerita Mathilde akhirnya pergi meninggalkan Heinrich
untuk selama-lamanya. Heinrich merasakan kegelapan yang kedua kalinya.
Digambarkan dalam kutipan sebagai berikut:

Der arme Pilgrimm gedachte der alten Zeiten, und ihrer unsäglichen
Entzückungen – Aber wie matt gingen diese köstlichen Errinnerungen
vorüber. Der breite Hut verdeckte ein jugendliches Gesicht. Es war bleich,
wie eine Nachtblume. In Thränen hatte sich der Balsamsaft des jungen
Lebens, in tiefe Seufzer sein schwellender Hauch verwandelt. In ein fahles
Aschgrau waren alle seine Farben verschossen.[...]Wie er so bey sich
dachte fieng der Baum an zu zittern. Dumpf dröhnte der Felsen und wie
48

aus tiefer, unterirrdischer Ferne erhoben sich einige klare Stimmchen und
sangen: [...]Es ist Mathildens Stimme, rief der Pilger, und fiel auf seine
Kniee, um zu beten. Da drang durch die Aeste ein langer Strahl zu seinen
Augen und er sah durch den Strahl in eine ferne, kleine, wundersame
Herrlichkeit hinein, welche nicht zu beschreiben, noch kunstreich mit
Farben nachzubilden möglich gewesen wäre. (Hlm. 138-139)

“Peziarah yang malang memikirkan masa lalu, dan kesenangan mereka


yang tak terkatakan - Tapi betapa lemahnya kenangan berharga ini berlalu.
Topi lebar menyembunyikan wajah awet muda. Itu pucat, seperti bunga
malam. Balsamic anggur kehidupan muda telah berubah menjadi air mata,
dan napasnya yang membengkak menjadi desahan yang dalam. Semua
warnanya telah memudar menjadi abu-abu pucat. [...]Saat dia berpikir
sendiri, pohon itu mulai bergetar. Batu itu bergemuruh tanpa suara dan,
seolah-olah dari jarak yang dalam, di bawah tanah, beberapa suara kecil
yang jernih muncul dan bernyanyi:[...]Itu adalah suara Mathilde, peziarah
itu menangis, dan berlutut untuk berdoa. Kemudian sinar panjang
menembus cabang-cabang ke matanya, dan melalui sinar itu dia melihat ke
dalam kemuliaan yang jauh, kecil, menakjubkan, yang tidak dapat
dijelaskan, atau dibuat dengan seni memproduksi warna yang menjadi
mungkin.”

Kehidupan Heinrich berubah setelah Mathilde pergi meninggalkannya. Ia


kehilangan wanita yang paling ia cintai. Kenangan di masalalunya yang bahagia
membuat ia berlarut-larut dalam kesedihannya. Heinrich menangis tersedu-sedu
sampai matanya sembab. Dalam suasana duka yang Heinrich rasakan, terdengar
suara kecil yang jernih bernyanyi, itu adalah suara Mathilde.Ia menangis hingga
berlutut untuk menyampaikan doa. Dari kejauhan muncul sinar yang panjang
menembus kedalam pandangannya, ia melihat sesuatu berupa warna yang mulia
dan tidak dapat dijelaskan.

4.2.3 Latar
a. Latar Tempat
Merujuk pada subbab 2.2.2.2.3, latar tempat merupakan tempat terjadinya sebuah
peristiwa, sehinnga pembaca dapat membayangkannya dengan jelas. Dalam
roman “Heinrich von Ofterdingen”,Latar tempat yang pertama muncul yaitu
ditempat tidur. Terdapat pada kutipan sebagai berikut:

Der Jüngling lag unruhig auf seinem Lager, und gedachte des Fremden
und seiner Erzählungen. (Hlm.2)
49

“Pemuda itu berbaring gelisah di tempat tidurnya dan memikirkan orang


asing itu dan ceritanya.”

Ketika orang tuanya sudah tertidur, Heinrich memikirkan cerita tentang bunga
biru dari orang asing yang pernah bertemu dengannya. Tidak lama kemudian,
Heinrich larut dalam lamunannya dan tertidur di tempat tidurnya.

Es kam ihm vor, als ginge er in einem dunkeln Walde allein. Nur selten
schimmerte der Tag durch das grüne Netz. Bald kam er vor eine
Felsenschlucht, die bergan stieg. Er mußte über bemooste Steine klettern,
die ein ehemaliger Strom herunter gerissen hatte. Je höher er kam, desto
lichter wurde der Wald. Endlich gelangte er zu einer kleinen Wiese, die
am Hange des Berges lag. Hinter der Wiese erhob sich eine hohe Klippe,
an deren Fuß er eine Öefnung erblickte, die der Anfang eines in den
Felsen gehauenen Ganges zu seyn schien. Der Gang führte ihn
gemächlich eine Zeitlang eben fort, bis zu einer großen Weitung, aus der
ihm schon von fern ein helles Licht entgegen glänzte. (Hlm.2)

“Baginya, dia seolah-olah sedang berjalan sendirian di hutan yang gelap.


Jarang sekali hari bersinar menembus jaring hijau. Segera dia sampai di
ngarai berbatu yang menjulang ke atas. Dia harus memanjat batu-batu
berlumut yang telah diruntuhkan oleh bekas sungai. Semakin tinggi dia,
semakin ringan hutannya. Akhirnya dia sampai di sebuah padang rumput
kecil di sisi gunung. Di belakang padang rumput menjulang sebuah tebing
tinggi, di kakinya dia melihat sebuah celah yang tampaknya merupakan
awal dari sebuah lorong yang diukir di batu. Lorong itu membawanya
dengan santai untuk beberapa saat, sampai ke pelebaran besar, dari mana
cahaya terang menyinari dia dari jauh.”

Latar tempat pada kutipan diatas adalah hutan. Digambarkan melalui Heinrich
menceritakan apa yang terjadi dalam mimpinya. Ia masuk ke hutan yang gelap. Ia
menyusuri batu-batu berlumut untuk sampai pada sebuah padang rumput kecil
disisi gunung. Ia melihat sebuah celah seperti lorong yang diukir dari batu. Ia pun
mengikutinya hingga akhirnya melihat cahaya terang menyinari dari jauh.
Mimpinya sangat berkesan untuk Heinrich kaena ia melihat bunga ajaib yang
bersinar gemerlap yaitu bunga biru. Namun tiba-tiba terdengar suara ibunya yang
membangunkannya, Heinrich tertidur pulas dikamar orang tuanya.

Sein süßes Staunen wuchs mit der sonderbaren Verwandlung, als ihn
plötzlich die Stimme seiner Mutter weckte, und er sich in der elterlichen
Stube fand, die schon die Morgensonne vergoldete. (Hlm.4)
50

“Keheranannya yang manis meningkat dengan transformasi aneh ketika


tiba-tiba suara ibunya membangunkannya dan dia mendapati dirinya
berada di kamar orang tua, yang sudah disepuh di bawah sinar matahari
pagi.”

Heinrich asik dengan dunia mimpinya. Memimpikan sesuatu tentang bunga ajaib,
yaitu bunga biru dan melihat banyak hal tentang alam yang menakjubkan, banyak
sekali bunga-bunga disekelilingnya. Sampai tidak sadar bahwa ia tertidur pulas
dikamar orang tuanya. Latar tempat pada kutipan ini adalah kamar tidur.

Das Haus des alten Schwaning fanden sie erleuchtet, und eine lustige
Musik tönte ihnen entgegen. Was gilt's, sagten die Kaufleute, euer
Großvater giebt ein fröhliches Fest. (Hlm.83)

“Mereka menemukan rumah tua Schwaning menyala, dan musik riang


diputar ke arah mereka. Ada apa, kata para pedagang, kakekmu
mengadakan pesta bahagia.”

Sesampainya Heinrich dan ibunya, serta para pedagang di rumah Schwaning,


yaitu kakeknya Heinrich yang tinggal di Augsburg, mereka melihat lampu yang
menyala. Tidak disangka, di waktu yang tepat Schwaning sedang mengadakan
pesta meriah. Mereka langsung bergabung dengan orang-orang yang ada di pesta
tersebut. Dalam kutpan diatas, latar tempat yang ditunjukan adalah suasana pesta.

b. Latar Waktu
Latar waktu menunjukan kapan terjadinya suatu peristiwa dalam cerita yang
berlangsung. Penggambaran pertama ditunjukan saat Heinrich dan ibunya pergi ke
Augsburg.

Es war früh am Tage, als die Reisenden aus den Thoren von Eisenach
fortritten, und die Dämmerung begünstigte Heinrichs gerührte
Stimmung.Je heller es ward, desto bemerklicher wurden ihm die neuen
unbekannten Gegenden; und als auf einer Anhöhe die verlassene
Landschaft von der aufgehenden Sonne auf einmal erleuchtet wurde, so
fielen dem überraschten Jüngling alte Melodien seines Innern in den
trüben Wechsel seiner Gedanken ein. (Hlm.12)

“Saat itu pagi-pagi sekali para pengelana meninggalkan gerbang Eisenach,


dan senja mendukung suasana emosional Heinrich. Semakin ringan,
51

semakin terlihat daerah baru yang tidak dikenal baginya; dan ketika
lanskap terpencil di puncak bukit tiba-tiba diterangi oleh matahari terbit,
melodi lama dari dalam diri pemuda yang terkejut memasuki pergantian
pikirannya yang suram.”

Kondisi latar waktu digambarkan dalam suasana hati yang kalut pada kesedihan
ditinggalkan oleh ayahnya, Heinrich mencoba untuk mencari kehidupan baru
bersama ibunya di Augsburg. Mereka pergi meninggalkan tempat tinggalnya di
Eisenach bersama para pedagang pada waktu pagi hari. Heinrich melihat daerah
baru yang asing baginya. Di puncak bukit, muncul matahari terbit, Heinrich
melihat dirinya di ambang kejauhan.

Das heitere Schauspiel des herrlichen Abends wiegte ihn in sanfte


Fantasieen: die Blume seines Herzens ließ sich zuweilen, wie ein
Wetterleuchten in ihm sehn. – Er schweifte durch das wilde Gebüsch und
kletterte über bemooste Felsenstücke, als auf einmal aus einer nahen Tiefe
ein zarter eindringender Gesang einer weiblichen Stimme von
wunderbaren Tönen begleitet, erwachte. (Hlm.44)

“Pemandangan ceria dari malam yang indah membuai dia ke dalam fantasi
lembut: bunga hatinya terkadang terlihat dalam dirinya seperti kilat. – Dia
berkeliaran di semak-semak liar dan memanjat bebatuan yang tertutup
lumut, ketika tiba-tiba dari kedalaman terdekat terdengar nyanyian lembut
dari suara wanita yang disertai dengan nada-nada indah.”

Kondisi latar waktu digambarkan pada saat Heinrich sedang menikmati


pemandangan menyenagkan di waktu malam hari, ia membuai kedalam fantasi. Ia
berkeliaran di semak-semak dan memanjat bebatuan berlumut. Ia mendengar
sebuah nyanyian kecapi dari suara wanita yang sangat lembut.

4.2.4 Sudut Pandang Penceritaan


Seperti yang dipaparkan pada subbab 2.2.2.2.4, sudut pandang adalah arah
pandang seorang pengarang dalam menyampaikan sebuah cerita, sehingga cerita
menjadi lebih hidup serta dapat disampaikan dengan baik kepada pembacanya.
Sudut pandang penceritaan atau Erzählperspektiv adalah cara penulis
menempatkan dirinya dalam cerita. Dalam roman “Heinrich von Ofterdingen”,
penulis menggunakan sudut pandang orang pertama atau die Ich-Erzählsituation,
dimana ia menempatkan dirinya sebagai tokoh utama dalam cerita.
52

Nicht die Schätze sind es, die ein so unaussprechliches Verlangen in mir
geweckt haben, sagte er zu sich selbst; fern ab liegt mir alle Habsucht:
aber die blaue Blume sehn' ich mich zu erblicken. (Hlm.2)

“Bukan harta karun yang membangkitkan kerinduan yang tak terkatakan


dalam diriku, katanya pada dirinya sendiri; Semua keserakahan berada
jauh dariku: tapi aku rindu melihat bunga biru.”

Melalui sudut pandang orang pertama, penulis menggambarkan langsung


peristiwa, pikiran, dan perasaan tokoh dengan menggukan bentuk “aku” (Ich-
Form).

4.3 Representasi Makna kemunculan Motif Blaue Blume yang Terkandung


dalam Roman yang dikaitkan dengan Kekhasan Era Romantik
Dalam subbab ini, penulis akan menganalisis kemunculan motif Blaue Blume
yang terepresentasikan dalam roman kajian yang dikaitkan dengan kekhasan era
Romantik. Kemunculan motif Blaue Blume akan dianalisis dengan bantuan
paparan di subbab 2.2.3.3, yaitu tentang bunga biru yang melambangkan
kerinduan romantis akan yang tak terjangkau, tak terbatas, dan tak bersyarat. Hal
ini juga diartikan sebagai hubungan manusia dan alam dan menggabungkan
kenyataan dengan mimpi. Dan juga akan merujuk pada subbab 2.2.1.2 yang
menjelaskan ciri khas era Romantik.

4.3.1. Melalui Dunia Fantasi dan Mimpi


Dalam hidupnya, Heinrich mengembara untuk memperoleh apa yang ia inginkan.
Dari Eisenach, Heinrich pergi ke Augsburg untuk memperoleh pelajaran tentang
sastra dan keagamaan. Salah satu pengalaman Heinrich yang mengungkapkan
kerinduan kaum Romantik akan tempat yang jauh adalah ketika Heinrich
bermimpi mengembara untuk mendapatkan bunga idamannya yaitu bunga biru.

Der Jüngling verlohr sich allmählich in süßen Fantasien und


entschlummerte. Da träumte ihm erst von unabsehlichen Fernen, und
wilden, unbekannten Gegenden. Er wanderte über Meere mit
unbegreiflicher Leichtigkeit;[...] (Hlm.2)

“Pemuda itu secara bertahap kehilangan dirinya dalam fantasi manis dan
tertidur. Baru pada saat itulah dia memimpikan jarak yang tak terukur dan
53

wilayah liar yang tidak dikenal. Dia berkeliaran di lautan dengan tidak bisa
mudah dimengerti;[...]”

Makna kata “liar” adalah tidak terpelihara, sedangkan makna kata “tidak bisa
mudah dimengerti” adalah sesuatu yang sulit dicapai dalam kehidupan. Heinrich
terus mengembara ke lembah, gunung, dan lautan untuk mendapatkan bunga biru
yang ia dambakan dalam mimpinya.
Representasi makna pada kutipan diatas mengungkapkan keyakinan kaum
Romantik, yaitu usaha dan kemampuan untuk memiliki keinginan, bukan
keinginan itu sendiri. Hal ini menjadi penyebab mengapa era Romantik memiliki
ciri khas rindu akan satu tempat yang jauh seolah tanpa akhir.

4.3.2. Kerinduan akan kematian


Seperti yang telah dipaparkan pada subbab 2.2.3.3 mengenai motif bunga biru
yang melambangkan kerinduan, dan juga pada subbab 2.2.1.2 mengenai idealisme
sebagai ciri khas era Romantik. Kematian merupakan salah satu idealisme era
Romantik. Hal ini digambarkan pada kutipan sebagai berikut:
Kummervoll führte ich meine trostlose Gattin nach meiner Heymath. Ein
stiller Gram mochte den Faden ihres Lebens mürbe gemacht haben. Auf
einer Reise, die ich bald darauf unternehmen mußte, auf der sie mich wie
immer begleitete, verschied sie sanft und plötzlich in meinen Armen. Es
war hier nahe bey, wo unsere irdische Wallfahrt zu Ende ging. Mein
Entschluß war im Augenblicke reif. Ich fand, was ich nie erwartet hatte;
eine göttliche Erleuchtung kam über mich, und seit dem Tage, da ich sie
hier selbst begrub, nahm eine himmlische Hand allen Kummer von
meinem Herzen. Das Grabmal habe ich nachher errichten lassen. Oft
scheint eine Begebenheit sich zu endigen, wenn sie erst eigentlich beginnt,
und dies hat bey meinem Leben statt gefunden. Gott verleihe euch allen
ein seliges Alter, und ein so ruhiges Gemüth wie mir. (Hlm.77)

“Dengan sedih saya membawa istri saya yang sunyi ke Heymath saya.
Kesedihan yang tenang mungkin telah membuat benang kehidupannya
berkeping-keping. Dalam perjalanan yang harus segera saya lakukan, di
mana dia menemani saya seperti biasa, dia lewat dengan lembut dan tiba-
tiba dalam pelukan saya. Di sinilah dekat tempat ziarah duniawi kita
berakhir. Keputusan saya sudah matang saat ini. Saya menemukan apa
yang tidak pernah saya duga; pencerahan ilahi menimpaku, dan sejak hari
aku menguburkannya sendiri di sini, tangan surgawi mengambil semua
kesedihan dari hatiku. Saya memiliki makam yang dibangun sesudahnya.
Seringkali suatu peristiwa tampaknya berakhir ketika sebenarnya dimulai,
54

dan ini telah terjadi dalam hidup saya. Tuhan memberi Anda semua usia
tua yang bahagia dan pikiran yang tenang seperti saya.”

Einsiedler bercerita kepada Heinrich tentang pengalaman hidupnya. Ia


mengatakan bahwa ia adalah seorang ksatria perang yang mempunyai istri
bernama Marie. Ksatria ini sering mengembara dari satu negara kenegara lainnya.
Karena perjalanan yang cukup jauh, istrinya kelehan dan akhirnya meninggal
dunia dalam pangkuannya. Einsiedlear pergi memakamkan sendiri istrinya dengan
tujuan agar ia bisa selalu dekat dengan istrinya.
Kisah hidup Einsiedler dan Marie merupakan makna kerinduan pada era
Romantik akan kematian untuk mencapai sebuah keabadian. Ketika ia
mengatakan ingin selalu dekat dengan istrinya, ini memiliki makna bahwa ia akan
ingin segera menyusul istrinya, Marie. Lalu selanjutnya tergambar juga pada kisah
hidup Heinrich dan Mathilde.

Wenn du ein Lied zu meinen Ehren auf deiner Laute spielen wirst, so wird
ein armes Mädchen herfürkommen. Nimm sie mit und laß sie nicht von
dir. Es ist Mathildens Stimme, rief der Pilger, und fiel auf seine Kniee, um
zu beten. Da drang durch die Aeste ein langer Strahl zu seinen Augen und
er sah durch den Strahl in eine ferne, kleine, wundersame Herrlichkeit
hinein, welche nicht zu beschreiben, noch kunstreich mit Farben
nachzubilden möglich gewesen wäre. (Hlm.139-140)

“Jika Anda akan memainkan lagu untuk menghormati saya dengan kecapi
Anda, seorang gadis malang akan muncul. Bawa dia bersamamu dan
jangan biarkan dia pergi. Itu adalah suara Mathilde, peziarah itu menangis,
dan berlutut untuk berdoa. Kemudian sinar panjang menembus cabang-
cabang ke matanya, dan melalui sinar itu dia melihat ke dalam kemuliaan
yang jauh, kecil, menakjubkan, yang tidak dapat dijelaskan, atau
disaksikan secara berseni denga sebuah warna.”

Representasi motif bunga biru yang muncul dalam kisah Heinrich yang
ditinggalkan Mathilde adalah sebagai ungkapan kerinduan akan kematian di era
Romantik. Heinrich ingin tinggal bersama Mathilde dan ikut dengannya,
meskipun Mathilde sudah meninggal.

4.3.3. Kerinduan akan alam


Sesuai dengan ciri khas era Romantik, Novalis mengungkapkan keindahan yang
didambakan dengan simbol sekuntum bunga biru yang sangat cantik dan sering
55

muncul dalam mimpi Heinrich. Selain itu Novalis juga menggambarkan


keindahan alam dari bentuk yang lainnya seperti kecantikan seorang gadis sebagai
keindahan dari bentuk alam. Seperti pada penggambaran berikut:
Rund um sie her standen unzählige Blumen von allen Farben, und der
köstlichste Geruch erfüllte die Luft. Er sah nichts als die blaue Blume, und
betrachtete sie lange mit unnennbarer Zärtlichkeit. Endlich wollte er sich
ihr nähern, als sie auf einmal sich zu bewegen und zu verändern anfing;
die Blätter wurden glänzender und schmiegten sich an den wachsenden
Stengel, die Blume neigte sich nach ihm zu, und die Blüthenblätter zeigten
einen blauen ausgebreiteten Kragen, in welchem ein zartes Gesicht
schwebte. (Hlm.4)

“Di sekelilingnya ada banyak sekali bunga dari semua warna, dan aroma
yang paling enak memenuhi udara. Dia tidak melihat apa-apa selain bunga
biru, dan menatapnya lama sekali dengan kelembutan yang tak terlukiskan.
Akhirnya dia ingin mendekatinya ketika dia tiba-tiba mulai bergerak dan
berubah; daun menjadi lebih berkilau dan menempel pada batang yang
tumbuh, bunga membungkuk ke arahnya, dan kelopaknya menunjukkan
warna biru yang menyebar di mana wajah halus melayang.”

Representasi makna dalam kutipan ini adalah bunga biru sebagai keindahan yang
menjadi dambaan kaum Romantik. Namun hal ini sama seperti dengan ciri khas
kaum Romantik yang tidak pernah merasakan dan menikmati keindahan yang
mereka ciptakan. Hal tersebut tergambarkan saat Heinrich sangat mengagumi
bunga biru, namun tidak pernah bisa unuk memilikinya.

Sie schilderte den Edelmuth derselben, und ihre reine starke


Empfänglichkeit für die Poesie des Lebens und die wunderbare,
geheimnißvolle Anmuth der Natur. Sie beschrieb die romantischen
Schönheiten der fruchtbaren Arabischen Gegenden, die wie glückliche
Inseln in unwegsamen Sandwüsteneien lägen, wie Zufluchtsstätte der
Bedrängten und Ruhebedürftigen, wie Kolonien des Paradieses, voll
frischer Quellen, die über dichten Rasen und funkelnde Steine durch alte,
ehrwürdige Haine rieselten, voll bunter Vögel mit melodischen Kehlen
und anziehend durch mannichfaltige Überbleibsel ehemaliger
denkwürdiger Zeiten. (Hlm.47)

“Dia menggambarkan dengan lengkap keindahan romantis dari wilayah


Arab yang subur, yang terhampar seperti pulau-pulau bahagia di padang
pasir yang tidak dapat dilewati, seperti tempat perlindungan bagi yang
tertindas dan mereka yang membutuhkan istirahat, seperti koloni surga,
penuh dengan mata air segar yang mengalir melalui kebun-kebun tua yang
terhormat. rerumputan yang lebat dan bebatuan yang berkilauan burung
56

berwarna-warni dengan tenggorokan yang merdu, dan menarik dengan


berbagai sisa-sisa masa lalu yang tak terlupakan.”

4.3.4. Pada Penekanan Batin Individu


Kekhasan era Romantik yang selanjutnya yaitu kehidupan batin individu yang
menjadi bagian dari cerita pada masalah tempat dan waktu terjadinya peristiwa
pada karya era Romantik. Hal ini digambarkan dalam kutipan sebagai berikut:

Auch schafft sie nichts mit Werkzeugen und Händen; das Auge und das
Ohr vernehmen nichts davon: denn das bloße Hören der Worte ist nicht
die eigentliche Wirkung dieser geheimen Kunst. Es ist alles innerlich, und
wie jene Künstler die äußern Sinne mit angenehmen Empfindungen
erfüllen, so erfüllt der Dichter das inwendige Heiligthum des Gemüths mit
neuen, wunderbaren und gefälligen Gedanken. Er weiß jene geheimen
Kräfte in uns nach Belieben zu erregen, und giebt uns durch Worte eine
unbekannte herrliche Welt zu vernehmen. Wie aus tiefen Höhlen steigen
alte und künftige Zeiten, unzählige Menschen, wunderbare Gegenden, und
die seltsamsten Begebenheiten in uns herauf, und entreißen uns der
bekannten Gegenwart. (Hlm.17)

“Dia juga tidak menciptakan apa pun dengan alat dan tangan; mata dan
telinga tidak mendengarnya: karena sekadar mendengar kata-kata
bukanlah efek sebenarnya dari seni rahasia ini. Itu semua ke dalam, dan
ketika para seniman itu mengisi indra luar dengan sensasi yang
menyenangkan, demikian pula penyair mengisi tempat perlindungan batin
dengan pikiran baru, indah, dan menyenangkan. Dia tahu bagaimana
membangkitkan kekuatan rahasia itu di dalam diri kita sesuka hati, dan
melalui kata-kata memberi kita dunia mulia yang tidak dikenal untuk
didengar. Masa lalu dan masa depan, orang yang tak terhitung banyaknya,
daerah yang indah, dan kejadian paling aneh muncul di dalam diri kita
seolah-olah dari gua yang dalam, memisahkan kita dari masa kini yang
sudah dikenal. Seseorang mendengar kata-kata asing dan belum tahu apa
artinya.”

Kemunculan motif bunga biru yang dikaitkan dengan kekhasan era Romantik
terepresentasikan pada saat Heinrich bertemu dengan para pedagang di perjalanan
menuju Augsburg. Para pedang menceritakan bagaimana penyair menyampaikan
lagu-lagunya dalam kata-kata yang tidak biasa dan terkesan sangat indah. Para
pedagang mengatakan bahwa kata-kata yang dibuat oleh penyair tidak hanya
sekedar dibuat oleh tangan saja, melinkan mereka selalu melibatkan tempat
perlindungan batin dan pikirannya. Hal ini disebabkan karena pengalaman hidup
57

seeorang yang tak terhitung banyaknya, dari mulai kejadian yang tidak diinginkan
atau menyedihkan sampai kejadian yang menyenangkan yang telh dialami.
Pengalaman dari masa lalu mampu memberikan pelajaran yang berharga untuk
kedupan di masa kini.

4.3.5. Pada Ironi Romantis


Pada subbab 2.2.1.2 dijelaskan bahwa kekhasan era Romantik yang lainnya adalah
Romantische Ironie atau ironi Romantis. Ironi Romantis yaitu, pengarang berad
diatas karyanya yang memberikan kekuatan pada gambar dan cerita yang
diceritakan dalam suatu karya. Dalam kutipan tberikut tergambarkan mengenai
ironi Romantis yang dimaksud dalam penjelasan tersebut.
Zukunft und Vergangenheit hatten sich in ihm berührt und einen innigen
Verein geschlossen. Er stand weit außer der Gegenwart und die Welt
ward ihm erst theuer, wie er sie verlohren hatte, und sich nur als
Fremdling in ihr fand, der ihre weiten, bunten Säle noch eine kurze Weile
durchwandern sollte. Es war Abend geworden, und die Erde lag vor ihm,
wie ein altes, liebes Wohnhaus, was er nach langer Entfernung verlassen
wiederfände. (Hlm.140)

“Masa depan dan masa lalu telah menyentuh dirinya dan membentuk
persatuan yang intim. Dia jauh dari masa kini, dan dunia hanya menjadi
sayang baginya ketika dia telah kehilangannya dan hanya menemukan
dirinya di dalamnya sebagai orang asing yang berkeliaran di aula yang luas
dan berwarna-warni untuk sementara waktu. Saat itu malam, dan bumi
terbentang di hadapannya seperti sebuah rumah tua yang tersayang, yang
dia temukan telah ditinggalkan setelah jarak yang jauh.”

Dalam kutipan diatas, Heinrich menyadari bahwa di masa depan ia telah


mengalami banyak kehilangan orang yang ia sayangi, dari mulai ayahnya hingga
saat ia kehilangan Mathilde wanita yang dicintainya.Tokoh Heinrich adalah
representasi dari pengalaman hidup Novalis yang ia tuangkan melalui
roman ,,Heinrich von Ofterdingen” yang menjelaskan rasa berdukanya atas
kematian kekasihnya yaitu Sophie von Kühn. Hal ini juga tergambarkan pada
nyanyian yang ada dalam roman sebagai berikut:

Gottes Mutter und Geliebte


Der Betrübte
Wandelt nun verklärt von hinnen.
58

Ewge Güte, ewge Milde,


O! ich weiß du bist Mathilde
Und das Ziel von meinen Sinnen.

Ohne mein verwegnes Fragen


Wirst mir sagen,
Wenn ich zu dir soll gelangen.
Gern will ich in tausend Weisen
Noch der Erde Wunder preisen,
Bis du kommst mich zu umfangen.

Alte Wunder, künftige Zeiten


Seltsamkeiten,
Weichet nie aus meinem Herzen. (Hlm.142)

“Ibu dan kekasih Allah


Yang menderita
Berjalanlah sekarang berubah rupa dari dalam.
Kebaikan abadi, kelembutan abadi,
Hai! Aku tahu kamu Mathilde
Dan tujuan indra saya.

Tanpa pertanyaan berani saya


akan memberitahu saya
Jika aku harus menemuimu
Saya akan dengan senang hati dalam seribu cara
masih memuji keajaiban bumi,
Hingga kau datang memelukku

Keajaiban kuno, masa depan


keanehan,
Jangan pernah pergi dari hatiku.”

Dalam nyanyian tersebut, perasaan Heinrich mengungkapkan kesedihannya


pada Mathilde. Ia begitu merindukan Mathilde namun ia sadar dunianya sudah
berbeda karena kehendak Tuhan. Namun Heinrich akan tetap mencintai Mathilde,
perasaannya tetap utuh pada perempuan yang ia cintai, dan Heinrich akan selalu
merindukan Mathilde dan semua kenangan manisnya. Novalis dikenal sebagai
penyair cinta yang penuh gairah yang berduka atas kematian kekasihnya dan
merindukan akhirat. Ia dikenal sebagai penyair bunga biru yang merupakan
simbol kerinduan Romantik pada roman ,,Heinrich von Ofterdingen” yang belum
selesai dan menjadi ciri khas era Romantik Jerman yaitu sesuatu yang tidak
pernah selesai karena hanya mengutamakan keinginan tanpa harus mencapainya.
59

BAB V
SIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis yang sudah dipaparkan dalam pembahasan yang
terdapat pada bab IV menggunakan Metodeanalyse dalam penelitian ini, maka
peneliti mendapati beberapa hasil dalam penelitian motif Blaue Blume dalam
roman kajian Novalis diantaranya penanda motif Blaue Blume, Sarana estika
sebagai pembangun roman kajian, dan makna yang muncul dalam motif Blaue
Blume yang dikaitkan dengan era Romantik. Hasil dalam penelitian tersebut dapat
disimpulkan sebagai berikut:

1. Penanda motif Blaue Blume yang muncul melalui situasi dan kondisi, serta
pengalaman yang dialami oleh tokoh utama. Terdapat lima komponen
yang merepresentasikan situasi dan kondisi motif Blaue Blume yang
dialami tokoh Heinrich berupa: (1) Perasaan Heinrich saat bermimpi
bunga biru. (2) Perasaan cinta Heinrich kepada Mathilde. (3) Motif Blaue
Blume atau bunga biru yang muncul sebagai simbol keterbatasan da jarak.
(4) Perasaan kehilangan Heinrich kepada ayahnya. (5) Di akhir cerita di
temukan penanda melalui perasaan rindu Heinrich kepada Mathilde.
2. Sarana Estetika roman sebagai pembangun motif Blaue Blume yaitu:
 Tokoh dan Penokohan, hubungan antara Heinrich dengan orang
tuanya terlihat harmonis, ayah dan ibunya selalu peduli atas apa
yang terjadi pada Heinrich. Ketika Heinrich menceritakan tentang
mimpinya kepada orang tuanya, ayah dan ibunya menunjukan rasa
keingin tahuan sebagai bentuk peduli kepada anaknya. Kakek
Heinrich yang sering disebut dengan Schwaning tua “alte
Schwaning” adalah ayah dari ibu Heinrich. Ia tinggal di Augsburg
dan baru bertemu lagi dengan putrinya, dan juga untuk pertama
kalinya Heinrich bertemu dengan kakeknya.Heinrich bertemu
dengan Mathilde. Mathilde menjadi sosok perempuan yang sangat
berarti bagi Heinrich. Mathilde adalah anak dari Klingsohr. Awal
pertemuan Heinrich dengan Mathilde adalah saat kakeknya
Schwaning mempertemukan keduanya di waktu yang sama saat
Heinrich bertemu Klingsohr di sebuah pesta. Dalam perjalanan
60

pengembaraannya, Heinrich bertemu dengan banyak orang.


Banyak cerita-cerita tentang karya-karya yang menarik yang
disampaikan pada Heinrich oleh para pedagang yang ia jumpai.
Salah satunya mengenai sebuah nyanyian dari beberapa penyair
yang mereka jumpai. Mereka kagum dengan nyanyian-
nyanyiannya. Lagu-lagunya berisi tentang keadaan alam, perasaan
manusia dari sedih dan bahagia, dan keinginan pada kebebasan
menjadi isi dalam lagu-lagunya. Semuanya selalu memiliki makna
yang bisa dirasakan oleh mereka yang mendengarkannya.
 Alur, roman “Heinrich von Ofterdingen” memiliki alur campuran
yang dibuka dengan penulis menggambarkan kondisi keluarga
Heinrich saat Heinrich mengalami mimpi sebuah bunga berwarna
biru yang ia ceritakan pada ayah dan ibunya. Keluarganya terdiri
dari tiga orang, yaitu ayah, ibu dan Heinrich. Heinrich merupakan
laki-laki muda yang baru berumur 20 tahun. Di akhir cerita
Kehidupan Heinrich berubah setelah Mathilde pergi
meninggalkannya. Ia kehilangan wanita yang paling ia cintai.
Kenangan di masalalunya yang bahagia membuat ia berlarut-larut
dalam kesedihannya. Heinrich menangis tersedu-sedu sampai
matanya sembab.
 Latar tempat dan waktu, latar tempat digambarkan pada tempat
tdur dan kamar tidur orang tua dari Heinrich, dan rumah tempat
pesta saat Heinrich dan ibunya pergi mengunjungi kakeknya ke
Agsburg. Latar waktu digambarkan pada pagi dan malam hari.
Pada pagi hari digambarkan saat Heinrich pergi dari kampong
halamannya. Sedangkan pada malam hari digambarkan pada saat
Heinrich sedang menikmati pemandangan menyenagkan di waktu
malam hari, ia membuai kedalam fantasi. Ia berkeliaran di semak-
semak dan memanjat bebatuan berlumut.
 Sudut Pandang, penulis menggunakan sudut pandang orang
pertama atau die Ich-Erzählsituation, dimana ia menempatkan
dirinya sebagai tokoh utama dalam cerita. Penulis menggambarkan
61

langsung peristiwa, pikiran, dan perasaan tokoh dengan


menggunakan bentuk “aku” (Ich-Form).
3. Representasi makna yang muncul pada motif Blaue Blume yang dikaitkan
dengan kekhasan Era Romantik. Terdapat lima komponen representasi
makna yang mucul, yaitu:
 Dunia fantasi dan mimpi, mengungkapkan keyakinan kaum
Romantik, yaitu usaha dan kemampuan untuk memiliki keinginan,
bukan keinginan itu sendiri. Hal ini menjadi penyebab mengapa era
romantik memiliki ciri khas rindu akan satu tempat yang jauh
seolah tanpa akhir.
 Kerinduan akan kematian, Kisah hidup Einsiedler dan Marie
merupakan makna kerinduan pada era Romantik akan kematian
untuk mencapai sebuah keabadian. Ketika ia mengatakan ingin
selalu dekat dengan istrinya, ini memiliki makna bahwa ia akan
ingin segera menyusul istrinya, Marie. Lalu, representasi makna
yang muncul dalam kisah Heinrich yang ditinggalkan Mathilde
adalah sebagai ungkapan kerinduan akan kematian di era
Romantik. Heinrich ingin tinggal bersama Mathilde dan ikut
dengannya, meskipun Mathilde sudah meninggal.
 Keindahan alam, sesuai dengan ciri khas era Romantik, Novalis
mengungkapkan keindahan yang didambakan dengan simbol
sekuntum bunga biru yang sangat cantik dan sering muncul dalam
mimpi Heinrich. Selain itu Novalis juga menggambarkan
keindahan alam dari bentuk yang lainnya seperti kecantikan
seorang gadis sebagai keindahan dari bentuk alam. lalu pada bunga
biru, memiliki makna keindahan yang menjadi dambaan kaum
Romantik. Namun hal ini sama seperti dengan ciri khas kaum
Romantik yang tidak pernah merasakan dan menikmati keindahan
yang mereka ciptakan.
 Pada penekanan batin individu, kemunculan motif bunga biru
yang dikaitkan dengan kekhasan era Romantik terepresentasikan
pada saat Heinrich bertemu dengan para pedagang di perjalanan
62

menuju Augsburg. Para pedang menceritakan bagaimana penyair


menyampaikan lagu-lagunya dalam kata-kata yang tidak biasa dan
terkesan sangat indah. Para pedagang mengatakan bahwa kata-kata
yang dibuat oleh penyair tidak hanya sekedar dibuat oleh tangan
saja, melinkan mereka selalu melibatkan tempat perlindungan batin
dan pikirannya. Hal ini disebabkan karena pengalaman hidup
seeorang yang tak terhitung banyaknya, dari mulai kejadian yang
tidak diinginkan atau menyedihkan sampai kejadian yang
menyenangkan yang telah dialami. Pengalaman dari masa lalu
mampu memberikan pelajaran yang berharga untuk kedupan di
masa kini.
 Pada ironi Romantis, Heinrich menyadari bahwa di masa depan ia
telah mengalami banyak kehilangan orang yang ia sayangi, dari
mulai ayahnya hingga saat ia kehilangan Mathilde wanita yang
dicintainya.Tokoh Heinrich adalah representasi dari pengalaman
hidup Novalis yang ia tuangkan melalui roman ,,Heinrich von
Ofterdingen” yang menjelaskan rasa berdukanya atas kematian
kekasihnya yaitu Sophie von Kühn. Terepresantasikan juga pada
nyanyia yang mengungkapkan perasaan Heinrich atas
kesedihannya pada Mathilde. Ia begitu merindukan Mathilde
namun ia sadar dunianya sudah berbeda karena kehendak Tuhan.
Namun Heinrich akan tetap mencintai Mathilde, perasaannya tetap
utuh pada perempuan yang ia cintai, dan Heinrich akan selalu
merindukan Mathilde dan semua kenangan manisnya. Novalis
dikenal sebagai penyair cinta yang penuh gairah yang berduka atas
kematian kekasihnya dan merindukan akhirat. Ia dikenal sebagai
penyair bunga biru yang merupakan simbol kerinduan Romantik
pada roman ,,Heinrich von Ofterdingen” yang belum selesai dan
menjadi ciri khas era Romantik Jerman yaitu sesuatu yang tidak
pernah selesai karena hanya mengutamakan keinginan tanpa harus
mencapainya.
63

BAB VI
ZUSAMMENFASSUNG
Die Romantik erstreckte sich von 1786 bis 1832. Der Begriff „Romantik“ kommt
von „lingua romana“, der Sprache der Romantik. Damit sind Schriften gemeint,
die in romanischer Sprache und nicht im üblichen Latein verfasst sind. Die
Romantik entstand als Reaktion auf den Rationalismus, der davon ausging, dass
alle Geheimnisse der Natur durch Vernunft erforscht und erklärt werden könnten.
Die Gesellschaft der Romantik hielt Gefühle und Vorstellungskraft für wichtiger
als formale Regeln und Fakten. Die Hauptmotive, die für die Romantik
charakteristisch sind, sind Ausdruck von Gefühlen, Leidenschaft, Reiselust und
Liebe zur Natur, darunter das Motiv der Blauen Blume. Die blaue Blume gilt als
wichtiges Symbol der Romantik und wird daher auch als blaue Blume der
Romantik bezeichnet. Blaue Blumen symbolisieren die romantische Sehnsucht
nach dem Unerreichbaren, Grenzenlosen und Bedingungslosen. Es wird auch als
Beziehung zwischen Mensch und Natur interpretiert und verbindet Realität mit
Träumen. Dieses Motiv stammt von Novalis, einem deutschen Dichter, der in
einem Fragment seines Romans Heinrich von Ofterdingen enthalten ist.
Dieses Werk trägt den Titel „Blaue Blumenmotive im Romanischen
Roman Heinrich von Ofterdingen von Novalis“. Als Forschungskorpus verwende
ich Roman Heinrich von Ofterdingen. Diese Arbeit besteht aus sechs Kapiteln.
Das erste Kapitel enthält den Forschungshintergrund, die Problemidentifizierung,
die Forschungsziele und den Rahmen. Das zweite Kapitel enthält frühere
Forschungen als Referenz zur Stärkung der Datenanalyse in der untersuchten
Forschung, Einblicke in die Romantik, die in drei Perioden unterteilt ist; nämlich
Frühromantik (mit Sitz in der Stadt Jena 1798-1804), Hochromantik (mit Sitz in
der Stadt Heidelberg 1804-1818), Spätromantik (mit Sitz in der Stadt Berlin
1816-1835), beschreibt die Merkmale der Romantik , beschreibt Elemente
ästhetischer Mittel bestehend aus Charakteren und Charakterisierungen,
Handlung, Schauplatz und Standpunkt, Blaue-Blume-Motive nach Daemmrich &
Demmrich (1995), Motive in literarischen Werken, die nach Frenzel (1966: 27) in
fünf Typen eingeteilt werden ), nämlich Hauptmotive, Nebenmotive, Hauptmotive,
stumpfe Motive und blinde Motive. Nach Daemmrich (1987: 231) haben Motive
64

in literarischen Werken Funktionen des Aussehens, der Bedeutung, der


Polarstruktur, der Spannung, der Schematisierung, des thematischen Gefüges und
der Textstruktur und Interpretationsmuster. Das dritte Kapitel enthält eine
Kurzbiographie von Novalis sowie eine Zusammenfassung des Romans „Heinrich
von Ofterdingen“ und Forschungsmethoden, die aus drei Teilen bestehen,
nämlich Methoden und Techniken zur Datenerhebung, Methoden und Techniken
zur Datenanalyse sowie Methoden und Techniken zur Präsentation von
Datenergebnissen. Das vierte Kapitel enthält die Datenanalyse aus dem Fokus
der Fragen. Das fünfte Kapitel enthält Schlussfolgerungen aus den Ergebnissen
der Analyse. Und das sechste Kapitel ist eine Zusammenfassung aller Kapitel der
Analyse.
Um Novalis‘ Roman „Heinrich von Ofterdingen“ unter Verwendung der
Motivanalyse als Methode zu untersuchen, wird die Hauptfrage gestellt: „Wie
wird das blaue Blumenmotiv in Novalis‘ Heinrich von Ofterdingen wörtlich
dargestellt?“ Um diese Frage zu beantworten, werde ich tiefer in die Materie
eintauchen:
1. Ein blauer Blumenmarker, der in Novalis‘ Roman Heinrich von
Ofterdingen vorkommt.
2. Identifizierung blauer Blumenmotive durch das Auftauchen ästhetischer
Mittel in Novalis‘ Roman Heinrich von Ofterdingen.
3. Darstellung der Bedeutung der Entstehung des Blaue-Blume-Motivs im
Zusammenhang mit den Besonderheiten der Romantik in Novalis‘ Roman
Heinrich von Ofterdingen.
Von der ersten Frage an bezieht sich der Autor auf die Theorie des Blaue-
Blume-Motivs und findet einen Marker für das Blaue-Blume-Motiv, der in
Situationen und Umständen sowie in den Erfahrungen der Hauptfigur zum
Vorschein kommt. Es gibt drei Komponenten, die die von Heinrich erlebte
Situation und den Zustand des Blaue-Blume-Motivs darstellen: (1) Heinrichs
Gefühle, wenn er von blauen Blumen träumt. (2) Heinrichs Liebesgefühle für
Mathilde. (3) Die Blaue Blume oder das blaue Blumenmotiv, das als Symbol für
Begrenzung und Distanz erscheint. (4) Heinrichs Verlustgefühle gegenüber
65

seinem Vater. (5) Am Ende der Geschichte findet sich ein Marker in Heinrichs
Sehnsuchtsgefühlen nach Mathilde.
Um die zweite Frage zu beantworten, verwende ich die Theorie
romantischer ästhetischer Mittel. Die Elemente ästhetischer Mittel, die blaue
Blumenmotive hervorbringen, sind Charaktere und Charakterisierungen,
Handlung, Orts- und Zeiteinstellung und Standpunkt, die wie folgt sind:
1. Charaktere und Charakterisierungen, die Beziehung zwischen Heinrich
und seinen Eltern scheint harmonisch, seinem Vater und seiner Mutter
war es immer wichtig, was mit Heinrich geschah. Als Heinrich seinen
Eltern von seinem Traum erzählte, zeigten sein Vater und seine Mutter
ihre Neugier, sich um ihren Sohn zu kümmern. Heinrichs Großvater, oft
auch als alter Schwaning „alter Schwaning“ bezeichnet, war der Vater
von Heinrichs Mutter. Er lebte in Augsburg und traf dort vor Kurzem
seine Tochter wieder, außerdem lernte Heinrich zum ersten Mal seinen
Großvater kennen. Heinrich lernte Mathilde kennen. Mathilde wurde zu
einer Frau, die Heinrich viel bedeutete. Mathilde ist die Tochter von
Klingsohr. Heinrichs erste Begegnung mit Mathilde fand statt, als sein
Großvater Schwaning sie zusammenbrachte, als Heinrich Klingsohr auf
einer Party traf. Auf seinen Wanderungen lernte Heinrich viele Menschen
kennen. Viele Geschichten über interessante Werke wurden Heinrich von
Kaufleuten, die er traf, weitergegeben. Eines davon betrifft ein Lied
einiger der Dichter, die sie trafen. Sie waren von seinen Liedern
begeistert. In seinen Liedern geht es um den Zustand der Natur,
menschliche Gefühle von Traurigkeit und Glück sowie den Wunsch nach
Freiheit. Alles hat immer eine Bedeutung, die der Zuhörer spüren kann.
2. Die Handlung des Romans „Heinrich von Ofterdingen“ hat eine
gemischte Handlung, die damit beginnt, dass der Autor den Zustand von
Heinrichs Familie beschreibt, als Heinrich von einer blauen Blume
träumt, die er seinem Vater und seiner Mutter erzählt. Seine Familie
besteht aus drei Personen, nämlich Vater, Mutter und Heinrich. Heinrich
ist ein junger Mann, der erst 20 Jahre alt ist. Am Ende der Geschichte
verändert sich Heinrichs Leben, nachdem Mathilde ihn verlassen hat. Er
66

verlor die Frau, die er am meisten liebte. Erinnerungen an seine


glückliche Vergangenheit ließen ihn in seiner Traurigkeit weiterziehen.
Heinrich schluchzte, bis seine Augen geschwollen waren.
3. Die Lage des Ortes und der Zeit, die Lage des Ortes ist auf dem Bett und
Schlafzimmer von Heinrichs Eltern abgebildet, sowie auf dem Haus, in
dem die Party stattfand, als Heinrich und seine Mutter seinen Großvater
in Agsburg besuchten. Die Zeiteinstellung wird morgens und abends
dargestellt. Der Morgen wird dargestellt, als Heinrich seine Heimatstadt
verlässt. Während es nachts dargestellt wird, wenn Heinrich die
angenehme Nachtlandschaft genießt, wird er in die Fantasie eingelullt. Es
durchstreift die Büsche und klettert auf moosige Felsen.
4. Beim Point of View nutzt der Autor die Ich-Erzählsituation, in der er sich
selbst als Hauptfigur der Geschichte darstellt. Der Autor beschreibt die
Ereignisse, Gedanken und Gefühle der Figuren direkt, indem er die Ich-
Form verwendet.
Zur Beantwortung der dritten Frage verwende ich Theorien zu den
Besonderheiten der Romantik nach Elena Weber (2022) und blauen Blumen nach
Daemmrich (1995:68). Das Ergebnis ist, dass in den blauen Blumenmotiven des
Romans „Heinrich von Ofterdingen“ fünf Bedeutungsdarstellungen auftauchen,
die mit den Besonderheiten der Romantik, nämlich der ersten Fantasie- und
Traumwelt, der Todessehnsucht, verbunden sind die Schönheit der Natur, auf
individueller innerer Betonung und auf romantischer Ironie.
1. Die Welt der Fantasie und Träume drückt den Glauben der Romantiker
aus, nämlich die Anstrengung und Fähigkeit, Wünsche zu haben, nicht die
Wünsche selbst. Aus diesem Grund zeichnet sich die romantische Epoche
dadurch aus, dass sie sich nach einem fernen Ort sehnt, als ob dieser kein
Ende hätte.
2. Sehnsucht nach dem Tod, Die Lebensgeschichte von Einsiedler und Marie
ist der Sinn der Sehnsucht nach dem Tod in der Romantik, um
Unsterblichkeit zu erlangen. Wenn er sagt, dass er seiner Frau nahe sein
möchte, bedeutet das, dass er seiner Frau Marie bald folgen möchte. Die
Bedeutung, die in der Geschichte des von Mathilde hinterlassenen
67

Heinrich erscheint, ist Ausdruck der Todessehnsucht der Romantik.


Heinrich will bei Mathilde bleiben und mit ihr kommen, obwohl Mathilde
tot ist.
3. Die für die Romantik charakteristische Schönheit der Natur drückte
Novalis mit dem Symbol einer sehr schönen blauen Blume aus, die oft in
Heinrichs Träumen auftauchte. Darüber hinaus beschreibt Novalis die
Schönheit der Natur auch in anderen Formen, beispielsweise die
Schönheit eines Mädchens als Schönheit natürlicher Formen. dann hat es
auf blauen Blumen die Bedeutung von Schönheit, die der Traum der
Romantiker ist. Aber das ist dasselbe wie die Merkmale der Romantiker,
die die von ihnen geschaffene Schönheit nie gespürt und genossen haben.
4. Betont auf das innere Individuum wird die Entstehung des blauen
Blumenmotivs, das mit den Besonderheiten der Romantik verbunden ist,
dargestellt, als Heinrich auf dem Weg nach Augsburg den Kaufleuten
begegnet. Die Schwertkämpfer erzählen, wie der Dichter seine Lieder in
ungewöhnlichen und sehr schönen Worten vermittelt. Kaufleute sagen,
dass die Worte eines Dichters nicht einfach von Hand gemacht werden,
sondern dass sie immer das innere Heiligtum seines Geistes und seiner
Seele betreffen. Dies liegt daran, dass die Lebenserfahrungen eines
Menschen unzählig sind, von unerwünschten oder traurigen Ereignissen
bis hin zu angenehmen Ereignissen, die er erlebt hat. Erfahrungen aus der
Vergangenheit können wertvolle Lehren für das Leben in der Gegenwart
liefern.
5. In romantischer Ironie erkennt Heinrich, dass er in der Zukunft den
Verlust vieler Menschen, die ihm am Herzen liegen, erlebt hat, von seinem
Vater bis zu dem Verlust von Mathilde, der Frau, die er liebte“, was seine
Trauer über den Tod seiner Freundin Sophie von erklärt Kühn. Es kommt
auch in dem Lied zum Ausdruck, das Heinrichs Gefühle für seine Trauer
um Mathilde zum Ausdruck bringt. Er vermisste Mathilde so sehr, aber er
erkannte, dass seine Welt aufgrund des Willens Gottes anders war. Aber
Heinrich würde Mathilde immer noch lieben, seine Gefühle für die Frau,
die er liebte, würden intakt bleiben und Heinrich würde Mathilde und all
68

ihre schönen Erinnerungen immer vermissen. Novalis gilt als Dichter der
leidenschaftlichen Liebe, der den Tod seiner Geliebten betrauert und sich
nach dem Leben nach dem Tod sehnt. Er gilt als Dichter der blauen
Blume, der als Sinnbild der romantischen Sehnsucht nach dem
unvollendeten Roman „Heinrich von Ofterdingen“ gilt und ein
Markenzeichen der deutschen Romantik ist, nämlich etwas, das nie zu
Ende ging, weil es nur das Verlangen in den Vordergrund stellte, ohne zu
haben um sie zu erreichen.
69

REFERENSI

Abrams, M. H. (1979). The mirror and lamp: romantic theory and the critical
tradition. New York: Oxford University Press

Becker, F (2005). Abiwissen Kompakt- Deutsh: Literaturgeschichte/epoche,


Stuttgart: Ernt Klett Verlag

Daemmrich, Horst. S., dan Daemmrich, Ingrid. (1987). Themen und Motive in der
Literatur. Tübingen: Francke.

Dieter Burdorf, Christoph Fasbender dan Burkhard Moenninghoff (2007). Metzler


Lexikon Literatur: Begriffe und Definitionen. Stuttgart: J. B. metzler

Frenzel, Elisabeth. (1966). Stoff-, Motiv- und Symbolforschung. Stuttgart: J. B.


Metzler.

Freud, Sigmund. (2001). Dream Psychology, Psychoanalysis for Beginners. New


York: The James A. Mc Cann Company. (2010). The Interpretation of
Dream: Basic Book.

Gigl, Claus. 2005. AbiWissen Kompakt; Deutsch Prosa/ Drama / Lyrik. Stuttgart:
Ernst Klett Verlag

Haerkötter, Heinrich. 1971. Deutsche Literaturgeschichte. 40. Auflage.


Darmstadt: Winklers Verlag-Gebrűder Grimm. Jacob Grimm, Wilhelm
Grimm (Brüder Grimm).

Krell, Leo und Leonhard Fiedler. 1968. Deutsche Literaturgeschichte. Kröner


Verlag. Bamberg: cc. Buchners Verlag.

Lahn, Silke; Meister, Jan Christoph. Einfuhrung in die Erzahltextanalyse.


Stuttgart J. B Metzler Verlag

Marquaβ, Reinhard. 1997. Duden-Abiturhilfen: Erzählende Prosatexte


analysieren. Mannheim: Duden Verlag

Novalis. 2016. Heinrich von Ofterdingen. Berlin: Zenodot Verlagsgesellscha.

Nurgiyantoro,B. (1995). Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada Press

Rokhmansyah, Alfian. 2014. Studi dan Pengkajian Sastra: Perkenalan awal


Terhadap Ilmu Sastra. graha Ilmu: Yogyakarta

Ruttkowski, Wolfgang dan Reichmann, Ebenhard. (1974). Das Studium der


deutschen Literatur. Philadelphia: National Carl Schurz Association.
70

Schweiger, Sandra. 2002. Die Kalendergeschichte. Munich, Bavaria: GRIN


Verlag

Weber, Elena. 2022. Romantik Literatur: Romantik: Epoche der großen Gefühle
Unicum: Unicum Abitur, 02-10-2022,
https://abi.unicum.de/epochen/romantik-epoche
71

RIWAYAT HIDUP PENULIS

A. Biodata Pribadi
1. Nama : Indah Cahyani
2. Jenis Kelamin : Perempuan
3. Tempat, Tanggal Lahir : 30 Januari 1999
4. Kebangsaan : Indonesia
5. Status : Belum Menikah
6. Agama : Islam
7. Alamat : Kp. Ciareuy RT/RW 007/003, Desa
Cijambe, KecamatanCikidang, Kabupaten
Sukabumi
8. Email : indahcahyani3001@gmail.com

B. Riwayat Pendidikan
1. SD : SD Negeri Panyindangan
2. SMP : SMPN 1 Cikidang
3. SMA : SMPN 1 Cikidang
4. Perguruan Tinggi : Universitas Padjadjaran

C. Pengalaman Organisasi dan Kepanitian


1. Paduan Suara Mahasiswa (2017-2018) sebagai Staff General Affair.
2. Paduan Suara Mahasiswa (2018) sebagai Staff Marketing Concert
Kolaborasi PSM UNPAD dengan PSM Agria Swara IPB.
3. Paduan Suara Mahasiswa Universitas Padjadjaran (2019) sebagai Staf
Bendahara Rangkaian Penerimaan Anggota Baru Paduan Suara
Mahasiswa Universitas Padjadjaran.
4. Sastra Jerman Unpad (2017) sebagai pendamping kelompok masa
bimbingan jurusan Sastra Jerman UNPAD.
5. Volunteer Earth Day Universitas Padjadjaran (2017) sebagai anggota.

Anda mungkin juga menyukai