Anda di halaman 1dari 21

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Kehamilan

1. Pengertian

Menurut Federasi Obstetri Ginekologi Internasional, kehamilan

didefinisikan sebagai fertilisasi atau penyatuan dari spermatozoa dan ovum

dan dilanjutkan dengan nidasi atau implantasi (Adriaansz & Hanafiah

dalam Saifudin, 2010)

Kehamilan adalah proses dimana sperma menembus ovum

sehingga terjadi konsepsi atau fertilisasi sampai lahirnya janin. Lamanya

hamil normal adalah 280 hari (40 minggu atau 9 bulan), dihitung dari hari

pertama haid terakhir (Saifuddin, 2010).

2. Pembagian masa kehamilan

Bila dihitung dari saat fertilisasi hingga lahirnya bayi, kehamilan

normal akan berlangsung dalam waktu 40 minggu atau 9 bulan menurut

kalender internasional. Kehamilan terbagi dalam 3 trimester, dimana

trimester pertama berlangsung 12 minggu, trimester kedua 15 minggu

(minggu ke-13 hingga ke-27), dan trimester ketiga 13 minggu (minggu ke-

28 hingga ke-40) (Adriaansz & Hanafiah dalam Saifudin, 2010).

a. Trimester pertama

Setelah terlambat satu periode menstruasi, perubahan fisik

berikutnya biasanya adalah nyeri dan pembesaran payudara diikuti

11
12

oleh rasa kelelahan yang kronis atau menetap dan sering kencing serta

morning sickness atau mual dan muntah yang biasanya dimulai sekitar

8 minggu dan mungkin berakhir sampai 12 minggu.(Pusdiknakes,

2003)

b. Trimester kedua

Uterus akan terus tumbuh. Pada usia kehamian 16 minggu

uterus biasanya berada pada pertengahan simpisis pubis dan pusat.

Pertambahan berat badan sekitar 0,4-0,5 kg/minggu. Pada usia

kehamilan 20 minggu fundus berada dekat dengan pusat. Payudara

mulai mengeluarkan koostrum. Ibu merasakan gerakan janinnya, dan

mengalami perubahan yang normal pada kulitnya meliputi adanya

cloasma, linea nigra, dan striae gravidarum. Biasanya terjadi

konstipasi, ukuran jantung membesar karena adanya peningkatan

beban kerja yang disebabkan oleh meningkatnya cardiac output.

Ibu mulai merasakan gerakan (quickening) bayinya selama

bulan kelima atau keenam, beberapa ibu dapat merasakan gerakan

bayinya lebih awal. Jika bayi tidur gerakan akan melemah. Bayi harus

bergerak paling sedikit tiga kali dalam satu jam jika ibu berbaring atau

beristirahat dan jika ibu makan dan minum dengan baik

(Pusdiknakes, 2003).

c. Trimester ketiga

Pada usia kehamilan 28 minggu fundus berada pada pertengan

pusat dan prosesus xiphoideus. Pada usia kehamilan 32- 36 minggu


13

fundus mencapai prosesus xiphoideus. Payudara penuh dan nyeri

.tekan. Sering kencing kembali terjadi. Sekitar usia kehamilan 38

minggu janin masuk ke dalam panggul sehingga menimbulkan sakit

punggung dan sering kencing. Ibu mulai menjadi sulit tidur. Kontraksi

Braxton Hicks meningkat (Pusdiknakes, 2003).

3. Kebijákan Program

Ibu hamil sebaiknya dianjurkan mengunjungi bidan atau dokter.

sedini mungkin semenjak ia merasa dirinya hamil untuk mendapatkan

pelayanan/asuhan antenatal. Tujuan pemberian asuhan antenatal di

antaranya:

a. Memantau kemajuan kehamilan untuk memastikan kesehatan ibu dan

tumbuh kembang bayi.

b. Meningkatkan dan mempertahankan kesehatan fisik, mental, dan

sosial ibu dan bayi.

c. Mengenali secara dini adanya ketidaknormalan atau komplikasi yang

mungkin terjadi selama hamil, termasuk riwayat penyakit secara

umum, kebidanan, dan pembedahan.

d. Mempersiapkan persalinan cukup bulan, melahirkan dengan selamat,

ibu maupun bayinya dengan trauma seminimal mungkin.

e. Mempersiapkan ibu agar masa nifas berjalan normal dan pemberian

ASI eksklusif.

f. Mempersiapkan peran ibu dan keluarga dalam menerirria kelahiran

bayi agar dapat tumbuh kembang secara normal.


14

Untuk mencapai tujuan tersebut- di atas, maka dibuatlah kebijakan

program rnengenai kunjungan antenatal. Kunjungan antenatal sebaiknya

dilakukan paling sedikit empat kali selama kehamilan dengan jadwal

sebagai berikut:.

a) Satu kali pada triwulan pertama.

1) Penapisan dan pengobatan anemia.

2) Perencanaan persalinan.

3) Pengenalan komplikasi akibat kehamilan dan pengobatannya.

b) Satu kali pada triwulan kedua.

1) Pengenalan komplikasi akibat kehamilan dan pengobatannya.

2) Penapisan pre-eklampsia, gemelli, infeksi alat reproduksi dan

saluran perkemihan.

3) Mengulang perencanaan persalinan.

c) Dua kali pada triwulan ketiga.

1) Sama dengan triwulan kedua.

2) Mengenali adanya kelainan letak dan presentasi.

3) Memantapkan rencana persalinan.

4) Mengenali tanda-tanda persalinan.

Selain dilakukan penjadwalan, juga terdapat standar

pelayanan/asuhan minimal, yaitu timbang berat badan, ukur tekanan darah,

ukur tinggi fundus uteri, pemberian imunisasi Tetanus Toxoid (TT)

lengkap, pemberian tablet zat besi, minimum 90 tablet selama kehamilan,


15

tes terhadap penyakit menular seksual, dan temu wicara dalam rangka

persiapan rujukan.

Pelayanan/asuhan antenatal ini hanya dapat diberikan oleh tenaga

kesehatan profesional dan tidak dapat diberikan oleh dukun bayi

(Saifuddin, 2009).

B. Intrauterine Fetal Death (IUFD)

1. Pengertian

Menurut WHO dan The American College of Obstetricians and

Gynecologist Intrauterine Fetal Death atau kematian janin dalam rahim

adalah janin yang mati dalam rahim dengan berat badan 500 gram atau

lebih atau kematian janin dalam rahim pada kehamilan 20 minggu atau

lebih. Intrauterine Fetal Death (IUFD) merujuk pada kematian janin di

dalam rahim setelah 20 minggu usia kehamilan. Kematian janin

merupakan hasil akhir dari gangguan pertumbuhan janin,

kegawatdaruratan janin, atau akibat infeksi (Saifuddin, 2010; 732)

2. Diagnosis

Riwayat dan pemeriksaan fisik memiliki nilai terbatas dalam

menegakkan diagnosis IUFD. Pada kebanyakan pasien, satu-satunya

keluhan adalah berkurangnya pergerakan janin dan pada pemeriksaan fisik

tidak terdengar denyut jantung janin. Diagnostik pasti ditegakkan dengan

pemeriksaan ultrasonografi.
16

Melalui anamnesis didapatkan gerakan janin menghilang. Pada

pemeriksaan pertumbuhan janin didapatkan tinggi fundus uteri tidak sesuai

usia kehamilan, berat badan ibu menurun, dan lingkar perut ibu mengecil.

Selain itu, jika diperiksa dengan fetoskopi dan doppler tidak dapat

didengar adanya bunyi jantung janin. Jika dilihat menggunakan USG maka

didapatkan gambaran janin tanpa tanda kehidupan. Dengan foto radiologik

setelah 5 hari tampak tulang kepala kolaps, saling tumpang tindih, tulang

belakang hiperfleksi, edema sekitar tulang kepala, gambaran gas pada

jantung dan pembuluh darah. Jika dilakukan pemeriksaan Hcg maka

didapatkan kadarnya akan negatif setelah beberapa hari kematian janin

(Saifuddin, 2010; 733).

Untuk diagnosis pasti penyebab kematian sebaiknya dilakukan

otopsi janin dan pemeriksaan plasenta serta selaput. Diperlukan evaluasi

secara komprehensif untuk mencari penyebab kematian janin termasuk

analisis kromosom, kemungkinan terpapar infeksi untuk mengantisipsi

kehamilan selanjutnya. Pengelolaan kehamilan selanjutnya bergantung

pada penyebab kematian janin. Meskipun kematian janin berulang jarang

terjadi, demi kesejahteraan keluarga, pada kehamilan berikut diperlukan

pengelolaan yang lebih ketat tentang kesejahteraan janin.

Pemantauan kesejateraan janin dapat dilakukan dengan anamnesis,

ditanyakan aktivitas gerakan janin pada ibu hamil, bila mencurigakan

dapat dilakukan pemeriksaan kardiotolografi (Saifuddin, 2010; 733)


17

3. Klasifikasi

Kematian janin dapat dibagi dalam 4 golongan, yaitu:

a. Golongan I : kematian sebelum masa kehamilan mencapai 20

minggu penuh.

b. Golongan II : kematian sesudah ibu hamil 20 hingga 28

minggu.

c. Golongan Ill : kematian sesudah masa kehamilan lebih dan 28

minggu.

d. Golongan IV : kematian yang tidak dapat digolongkan pada

ketiga golongan di atas (Wiknjosastro, 2006).

4. Etiologi

Pada 25-60% kasus penyebab kematian janin tidak jelas. Kematian

janin dapat disebabkan oleh faktor maternal, fetal, atau kelainan patologik

plasenta.

a. Faktor maternal

1) Postterm (>42 minggu)

Gawat janin atau kematian perinatal menunjukkan angka

meningkat setelah kehamilan 42 minggu atau Lebih, sebagian

besar terjadi intrapartum. Umumnya disebabkan oleh

makrosomia, insufisiensi plasenta, dan cacat bawaan.

Kematian janin akibat kehamilan postterm terjadi pada 30%

sebelum persalinan,k 55% dalam persalinan, dan 15% pascanatal

(Mochtar & Kristanto dalam Saifuddin, 201 0).


18

2) Diabetes Mellitus tidak terkontrol

Diabetes mellitus gestasional adalah intoleransi glukosa

yang dimulai atau baru ditemukan pada waktu hamil. Tidak dapat

dikesampingkan kemungkinan adanya intoleransi glukosa yang

tidak diketahui yang muncul seiring kehamilan. Setelah ibu

melahirkan, keadaan Diabetes Mellitus Gestasional sering akan

kembali ke regulasi glukosa normal

Komplikasi yang mungkin terjadi pada kehamilan dengan

diabetes sangat bervariasi. Pada ibu akan meningkatkan risiko

terjadinya preeklampsia, seksio sesarea, dan terjadinya diabetes

mellitus tipe 2 di kemudian han, sedangkan pada janin

meningkatkan risiko teradinya makrosomia, trauma persalinan,

hiperbilirubinemia, hipoglikemi, hipokalsemia, polisitemia,

hiperbilirubnemia neonatal, sindroma distres respirasi, serta

meningkatnya mortalitas atau kematian janin (Sukarya dalam

Saifuddin, 2010).

3) Sistemik Lupus Eritematosus (SLE)

Nasib kehamilan penderita SLE sangat ditentukan dan

aktivitas penyakitnya. Konsepsi yang terjadi pada saat remisi

memiliki luaran kehamilan yang baik.

Beberapa komplikasi yang bisa terjadi pada kehamilan

yaitu kematian janin meningkat 2-3 kali dibandingkan perempuan

hamil normal. Bila didapatkan hipertensi dan k&ainan ginja,


19

mortalitas janin menjadi 50%. Kelahran prematur juga bisa terjadi

sekitar 30-50% kehamilan dengan SLE yang sebagian besar

akibat preeklampsia atau gawat janin. lnfark plasenta yang terjadi

pada penderita SLE dapat meningkatkan risiko terjadinya

pertumbuhan janin terhambat sekitar 25% demikian juga risiko

terjadinya preeklampsia eklampsia meningkat sekitar 25-30%

pada penderita SLE yang disertai lupus nefritis dan kejadian

preeklampsia menjadi 2 käli lipat (Kusumadalam Saifuddin,

2010).

4) Infeksi

Infeksi dapat menyebabkan morbiditas maupun mortalitas

pada ibu dan bayi. Asal infeksi servikal-vaginal flora dan saluran

kencing menuju kehamilan dan janin melaui transplasental

(hematogen), asending infeksi intrauterin pada ketuban pecah

dini, dan infeksi neonatus (Manuaba, 2001).

Infeksi dapat disebabkan oleh bakteri, virus, dan parasit,

sedangkan penularan dapat terjadi intrauterin, pada waktu

persalinan, atau pascalahir. Transmisi bisa secara transplàsental

ataupun melalui aliran darah atau cairan amnion. lnfeksi dapat

menyebabkan kelainan kongenital, pertumbuhan janin terhambat

hingga kematian janin dalam kandungan (Surya dalam Saifuddin,

2010).
20

5) Hipertensi, preeklampsia dan eklampsia

Hipertensi, preeklampsia, dan eklampsia memberi pengaruh

buruk pada kesehatan janin yang disebabkan oleh menurunnya

perfusi utero plasenta, hipovolemia, vasospasme, dan kerusakan

sel endotel pembuluh darah plasenta.

Dampaknya pada janin diantaranya intrauteine growth

restriction (IUGR) dan oligohidramnion serta kenaikan

morbiditas dan mortalitas janin secara tidak langsung akibat

IUGR, prematuritas, oligohidramnion, dan solusio plasenta

(Angsàr dalam Saifuddin, 2010).

Hipertensi merupakan suatu gangguan pada pembuluh

darah yang mengakibatkan suplai oksigen dan nutrisi yang

dibawa oleh darah terhambat sampai ke jaringan tubuh yang

membutuhkannya. Hipertensi gestasional merupakan penyebab

terjadinya kematian ibu dan janin. Hipertensi dapat menyebabkan

kekurangan O2 pada janin yang disebabkan oleh berkurangnya

suplai darah ibu ke plasenta yang disebabkan oleh spasme dan

kadang-kadang thrombosis dari pembuluh darah ibu (Saifuddin,

2010; 531). Hipertensi juga mengakibatkan pembuluh darah

mengalami vasokontriksi (penyusutan/penyempitan). Akibatnya

suplai darah ke jaringan tubuh akan berkurang. Organ akan

kehilangan asupan nutrisi dan oksigen, sehingga lambat laun

mengakibatkan organ tidak berfungsi dan bahkan kematian organ,


21

nutrisi dan oksigen bagi pertumbuhan janin disuplai dari ibu. Bila

suplai terganggu, janin bisa meninggal dan kurang gizi.

Paritas primigravida dapat mempengaruhi peningkatan

tekanan darah, karena pada ibu primigravida cenderung

mengalami tingkat kecemasan yang lebih berat dari pada

multigravida sehingga mudah terjadi hipertensi dan preeklampsi.

Menurut Bobak (2006) banyak ibu hamil terutama primigravida

mengalami kecemasan karena takut akan proses persalinan yang

akan dihadapi sehingga akan menimbulkan peningkatan tekanan

darah.

Stress emosi yang terjadi pada primigravida menyebabkan

peningkatan pelepasan Corticotrophic Releasing Hormone (CRH)

oleh hypothalamus, sehingga menyebabkan peningkatan kortisol

dan hormon adrenalin yang dapat merespon simpatis termasuk

respon untuk meningkatkan curah jantung dan tekanan darah

(Bobak, 2006).

Hipertensi pada kehamilan sangat menentukan tingkat

kematian perinatal karena dapat terjadi gangguan tumbuh

kembang janin intra uterine (IUGR) akibat pertumbuhan plasenta

yang terlalu kecil atau terjadi infark yang luas. Selain itu juga

dapat disebabkan oleh menurunnya perfusi uteroplasenta,

hipovolemia, vasospasme, dan kerusakan sel endotel pembuluh

darah plasenta. Ibu dengan riwayat hipertensi memiliki peluang


22

terjadinya IUFD 3,396 kali dibandingkan dengan tidak memiliki

riwayat hipertensi (OR = 3,396) (Saridevi, 2016)

Preeklampsia didefinisikan sebagai hipertensi disertai

proteinuria, merupakan suatu gangguan multisistem yang terjadi

setelah usia kehamilan 20 minggu. Eklampsia adalah

preeklampsia yang disertai dengan kejang. Preeklampsia dan

eklampsia berkontribusi terhadap 10-15% dari total kematian ibu

di dunia. Sebagian besar kematian di negara berkembang

diakibatkan oleh eklampsia, sementara di negara maju lebih

sering disebabkan oleh komplikasi dari preeclampsia (Turner,

2010)

Preeklampsia merupakan salah satu faktor resiko IUFD,

dimana preeklampsia merupakan faktor penyakit yang diderita

oleh ibu. Pada preeklampsi terjadi spasme pembuluh darah

disertai dengan retensi garam dan air. Jika semua arteriola dalam

tubuh mengalami spasme, maka tekanan darah akan naik, sebagai

usaha untuk mengatasi kenaikan tekanan perifer agar oksigen

jaringan dapat dicukupi. Maka aliran darah menurun ke plasenta

dan menyebabkan gangguan pertumbuhan janin dan karena

kekurangan oksigen terjadi gawat janin (Mochtar, 2004).

Menurut Kotweg dkk (2008), penyebab yang paling penting

untuk IUFD adalah keterbatasan pertumbuhan janin, hal ini


23

menekankan pentingnya peran plasenta dalam mengoptimalkan

pertumbuhan janin.

Sebuah penelitian di India yang dilakukan oleh Jayashree

dkk (2017) mengungkapkan bahwa preeklampsia merupakan

penyebab paling umum pada kematian janin intrauterin.

Sehingga, pada wanita hamil yang terdeteksi mengalami

preeklampsia harus diterapi dengan tepat. Terapi meliputi

pemantauan tekanan darah secara teratur, disertai dengan

pemantauan parameter lain seperti pertumbuhan janin, fungsi hati

dan fungsi ginjal, serta fungsi koagulasi. Dengan adanya

pemantauan ini, diharapkan preeklampsia dapat dideteksi pada

tahap awal dan jika diperlukan, dapat merujuk ke pusat kesehatan

yang lebih memadai sehingga komplikasi dari preeklampsia dapat

dihindari.

6) Penyebab lain seperti hemogiobinopati, umur ibu tua, penyakit

rhesus, ruptura uteri, antifosfolipid sindrom, hipotensi akut ibu,

kematian ibu (Saifuddin, 2010).

b. Faktor fetal

1) Hamil kembar

Kehamilan kembar yang terdeteksi pada kehamilan

trimester I harus selalu dievaluasi, untuk mengetahui

kemungkinan terjadinya reduksi spontan atau gangguan lainnya

selama masa kehamilan. Sekitar 21% kehamilan kembar akan


24

mengalami reduksi spontan (vanishing twin) pada kehamilan

trimester II. Kematian perinatal terutama terjadi pada kembar

monokorionik (Karsono dalam Saifuddin, 2010).

2) Hamil tumbuh terhambat

Pertumbuhan janin terhambat kini merupakan suatu

hal yang membutuhkan perhatian bagi kalangan

luas, mengingat dampak yang ditimbulkan jangka pendek

berupa risiko kematian 6-10 kali lebih tinggi jika dibandingkan

dengan bayi normal. Dalam jangka panjang terdapat dampak

berupa hipertensi, arterioskierosis, stroke, diabetes, obesitas,

resistensi insulin, kanker, dan sebagainya. Hal tersebut terkenal

dengan Barker hipotesis yaitu penyakit pada orang dewasa

telah terprogram sejak dalam uterus (Wiknjosastro dalam

Saifuddin, 2010).

3) Kelainan genetik

Penyakit genetik yang menyebabkan kematian hasil konsepsi

(abortus, kematian janin, atau kematian bayi segera setelah lahir),

seperti hidrops fetalis, kelainan kromosom, spinal muscular

atrophy (SMA), dan thanathophoric dysplasia (TD). Penyakit

jenis ini umumnya dilakukan diagnosis pranatal dan dilanjutkan

dengan terminasi kehamilan, terutama untuk penyakit yang dapat

menyebabkan morbiditas pada ibu selàma hamil seperti hidrops


25

fetalis yang dapat menyebabkan preeklampsia, dan perdarahan

pascapersalinan (Setianingsih dalarn Saifuddin, 2010).

4) Penyebab lain seperti kelainan kongenital dan infeksi.

c. Faktor plasental

Kelainan tali pusat, lepasnya plasenta (solusio plasenta), ketuban

pecah dini, dan vasa previa.

d. Faktor risiko

Usia ibu >40 tahun, pada ibu infertil, kemokonsentrasi pada ibu,

riwayat bayl dengan berat badan lahir, kegemukan, ayah berusia lanjut

(Soewarto dalam Saifuddin, 2010).

Usia di bawah 16 tahun atau di atas 35 tahun mempredisposisi

wanita terhadap sejumlah komplikasi. Usia di bawah 16 tahun

meningkatkan insiden preeklamsia. Usia di atas 35 tahun

meningkatkan insiden diabetes, hipertensi kronis, persalinan lama, dan

kematian janin (Varney, 2008; 691)

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nurzia (2016)

didapatkan hasil terdapat hubungan yang bermakna antara usia ibu

saat kehamilan dengan kejadian plasenta previa. Wanita yang hamil di

atas usia tiga puluh lima tahun menghadapi resiko yang lebih besar

untuk mengalami masalah medis seperti tekanan darah tinggi, diabetes

gestasional, masalah pada pertumbuhan janin, masalah plasenta dan

komplikasi persalinan. Hal ini merupakan faktor resiko terjadinya

Intrauterine fetal death (Saifuddin, 2010; Kliman, 2004).


26

Pada umur ibu yang masih muda (< 16 tahun) organ-organ

reproduksi dan emosi belum cukup matang sehingga mengakibatkan

rasa takut terhadap kehamilan dan persalinan dikarenakan diusia

tersebut ibu belum siap untuk hamil. Kehamilan diusia tua (> 35

tahun) menimbulkan kecemasan terhadap kehamilan dan persalinan

serta alat-alat reproduksi ibu yang fungsinya mulai menurun

(Gerungan, dkk, 2016)

Wanita yang hamil usia dibawah 16 tahun dan diatas 35 tahun

memiliki risiko yang lebih tinggi mengalami kematian janin dalam

rahim terutama pada usia ≤16 tahun. Selain itu, terdapat peningkatan

risiko kematian janin pada ibu dengan usia >35 tahun sebesar 1,5 kali

namun mekanisme biologis yang menyebabkan peningkatan risiko

masih belum jelas. Hal ini mungkin berhubungan dengan penurunan

perfusi uteroplasenta yang disebabkan oleh vaskularisasi yang

semakin berkurang pada wanita usia >35 tahun dan juga berhubungan

dengan penyakit kronis serta komplikasi kehamilan yang terjadi pada

wanita hamil usia tua (Liu dalam Luqyana,dkk, 2017)

Usia ibu saat kehamilan >35 tahun meningkatkan risiko

terjadinya fetal loss, abortus spontan, kematian janin dalam rahim,

abnormalitas kromosom dan peningkatan resiko komplikasi penyakit

pada ibu seperti hipertensi, diabetes gestasional serta meningkatkan

resiko terjadinya plasenta previa, proses kelahiran dengan operasi


27

caesar dan abruptio plasenta.Hal ini merupakan faktor resiko

terjadinya Intrauterine fetal death (Liu dalam Luqyana,dkk 2017).

5. Patofisiologi

Apabila janin mati pada keharnilan yang telah lanjut, terjadilah

perubahan-perubahan sebagai berikut :

a. Rigior mortis (tegang mati): berlangsung 2,5 jam setelah mati,

kemudian lemas kembali.

b. Stadium maserasi I: timbulnya Iepuh-Iepuh pada kulit. Lepuh mula-

mula terisi cairan jernih, tetapi kemudian menjadi merah. Berlangsung

sampal 48 jam setelah anak mati.

c. Stadium maserasi II: timbul lepuh-lepuh pecah dan mewarnai air

ketuban menjadi merah cokiat. Terjadi 48 jam setelah anak mati.

d. Stadium maserasi III: terjadi kira-kira 3 minggu setelah anak mati.

Badan janin sangat lemas dan hubungan antara tulang-tulang sangat

longgar. Edema di bawah kulit (Sastrawinata, 2005).

6. Penilaian Klinik

Menurut Saifuddin (2009, 335), penilaian klinik pada kematian janin atau

IUFD secara rinci adalah:

a. Pertumbuhan janin berkurang, bahkan janin mengecil sehingga tinggi

fundus uteri menurun.

b. Bunyi jantung janin tidak terdengar dengan fetoskop dan dipastikan

dengan Doppler

c. Keluhah ibu berupa menghilangnya gerak janin.


28

d. Berat badan ibu menurun.

e. Tulang kepala kolaps

f. Hasil USG sebagai sarana penunjang menujukan kematian janin

dimana gambarnya menunjukan janin tanda tanda kehidupan.

g. Pemerikasaan radiologi dapat menimbulkan masalah dan tidak perlu.

Bila dilakukan 5 hari setelah kematian janin, akan tampak gambar

sebagai berikut:

1) Tulang kepala janin timpamg tindih satu sama lain

2) Tulang belakang mengalami hiperfleksi

3) Tampak gambaran gas pada jantung dan pembuluh darah

4) Edema disekitar tulang kepala

h. HCG urin menjadi negative. Hasil ini terjadi beberapa hari setelah

kematian janin (Saifuddin, 2009; 335)

7. Komplikasi

Beberapa komplikasi yang dapat terjadi antara lain:

a. Trauma emosional yang berat apabila waktu antara kematian janin dan

persalinan cukup lama.

b. Infeksi apabila ketuban pecah.

c. Koagulopati apabila kematian janin berlangsung lebih dari 2 minggu

(Saifuddin, 2009; 336).

8. Pengelolaan

Apabila diagnosis kematian janin telah ditegakkan, penderita harus

segera diberikan informasi mengenai kemungkinan penyebab dan rencana


29

penatalaksanaannya serta direkomendasikan untuk segera diintervensi.

Bila kematian janin lebih dari 3 – 4 minggu kadar fibrinogen dengan

kecenderungan koagulopati, akan lebih rumit apabila kematian terjadi pada

salah satu bayi kembar (Saifuddin, 2010; 734).

Apabila diagnosis kematian janin telah ditegakkan maka dilakukan:

a. Pemeriksaan tanda-tanda vital.

b. Pemeriksaan darah perifer, fungsi pembekuan, golongan darah ABO,

Rhesus, dan gula darah.

c. Menjelaskan seluruh prosedur pemeriksaan dan hasilnya sertarencana

tindakan yang akan dilakukan kepada pasien dankeluaraganya. Bila

belum ada kepastian penyebab kematian,hindari memberikan informasi

yang tidak tepat.

d. Memberikan dukungan mental dan emosional kepada

pasien.Sebaiknya pasien didampingi oleh orang terdekatnya dan

yakinkan bahwa besar kemungkinan dapat lahir pervaginam.

e. Membicarakan rencana persalinan pervaginam dengan cara induksi

maupun ekspektatif pada keluarga pasien sebelumpengambilan

keputusan.

f. Bila pilihan ekspektatif: tunggu persalinan spontan hingga 2minggu

dan yakinkan bahwa 90% persalinan spontan terjaditanpa komplikasi.

g. Bila pilihan manajemen aktif: induksi persalinan menggunakan

oksitosin atau misoprostol. Seksio sesarea dipilih jika bayi letak

lintang.
30

h. Memberikan kesempatan pada keluarga untuk melihat dan melakukan

ritual keagamaan pada janin yang meninggal (Saifuddin, 2009; 336)

Pada kematian janin usia kehamilan 24-28 minggu dapat digunakan

misoprostol pervaginam sebanyak 50 – 100 μg tiap 4 –6 jam dan induksi

oksitosin. Sedangkan pada kehamilan di atas 28 minggu dosis misoprostol

diberikan sebanyak 25 μg pervaginam setiap 6 jam. Setelah bayi lahir

dapat dilakukan ritual keagamaan merawat bayi dan dapat dilakukan

otopsi atau pemeriksaan patologi plasenta yang akan membantu

mengungkap penyebab kematian janin (Saifuddin, 2010; 734).

9. Pencegahan

Upaya mencegah kematian janin, khususnya yang sudah atau

mendekati aterm adalah bila ibu merasakan gerakaan janin menurun, tidak

bergerak, atau gerakan janin terlalu keras, perlu dilakukan pemeriksaan

ultrasonografi. Perlu diperhatikan adanya solusio plasenta. Pada gemelli

dengan T + T (twin to twin transfusion) pencegahan dilakukan dengan

koagulasi pembuluh anastomosis (Saifuddin, 2010; 734).


31

C. Kerangka Teori
Kehamilan Usia ibu < 16 tahun < 16 tahun organ reproduksi dan emosi belum
cukup matang dan meningkatnya resiko
 Faktor maternal
> 35 tahun preeklamsi
Usia ibu<16 > 35 tahun penurunan perfusi utero plasenta
Tahun>35 th karena vaskularisasi berkurang, penyakit
Usia kehamilan kronis, komplikasi kehamilan IUFD
Preeklamsi
Post Term
Oligohidramnion, air ketuban bercampur ( Intra Uterine
Penyakit kronis mekoneum, makrosomia, penurunan fungsi Fetal Death)
plasenta

Pre Eklamsi Berkurangnya suplay darah ibu keplasenta


(spasme, vasokontriksi, trombosis)

 Faktor Fetal
Tumbuh janin
terhambat
Kehamilan kembar Kehamilan Kembar Reduksi spontan (vanishing twin)
Kelainan kongenital
Kelainan genetik
Infeksi
 Faktor plasenta
Kelainan tali pusat
Lepaasnya plasenta
Ketuban pecah dini
Vasa previa

Gambar 2.1 Kerangka Teori ( Saifudin 2010 & Manuaba )

Anda mungkin juga menyukai