Anda di halaman 1dari 31

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN


HIPOTESIS

A. Kajian Pustaka
1. Hakikat Kecerdasan Intelektual (IQ)
a. Pengertian Kecerdasan
Satu hal yang membedakan antara insan menggunakan mahluk lain
ialah kemampuan berfikir yang dimilikinya. akal budi tersebut tercangkup
pada aspek kognitif yang sering dianggap kecerdasan atau intelegensi
(intelligence) (Izzaty, 2008). Beberapa pakar juga mengemukakan
pengertian intelegensi. Charles Spearman (dalam Izzaty, 2008)
menyatakan bahwa intelegensi merupakan suatu kemampuan yang adalah
kemampuan tunggal merupakan seluruh tugas serta prestasi mental hanya
menuntut dua macam kualitas saja yaitu intelegensi awam serta
ketrampilan individu pada hal eksklusif. Sedikit tidak sama menggunakan
Charles Spearman, Weschler (dalam Izzaty, 2008) mengatakan bahwa
intelegensi sebagai keseluruhan kemampuan individu buat berpikir serta
bertindak secara terarah dan kemampuan memasak dan menguasai
lingkungan secara efektif. Lebih lanjut Sugihartono (2007) menyatakan
bahwa intelegensi menjadi kemampuan buat memahami serta berfikir
wacana inspirasi-inspirasi, symbol-simbol atau hal-hal tertentu yg bersifat
tak berbentuk.
Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, nampak sangat bervariasi,
namun bisa disimpulkan bahwa intelegensi merupakan kemampuan dalam
banyak sekali bidang yang dalam fungsinya saling bekerjasama dan dapat
diamati pada sikap individu.
b. Pengertian Kecerdasan Intelektual (IQ)
Witherington (dalam Izzaty, 2008) mengidentifikasi beberapa ciri
perilaku integensi sebagai manifestasi dari kemampuan intelegensi sebagai
berikut.

38
39

1) Kemampuan dalam menggunakan bilangan (facility in the use of


numbers)
2) Efisensi dalam berbahasa (language efficieny)
3) Kecepatan dalam pengamatan (speed of perception)
4) Kemudahan dalam mengingat (facility in memorizing)
5) Kemudahan dalam memahami hubungan (facility in comprehending
relationship)
6) Imaginasi (imagination)
Lebih lanjut Danah Zohar dan Ian Marshall (Alfian, 2012)
menyebutkan ada tiga ragam kecerdasan yang dimiliki manusia, yaitu IQ
(Intelegence Quotient), EQ (Emotional Quotient), dan SQ (Social
Quotient). IQ memungkinkan manusia berpikir secara rasional dan logis.
EQ memungkinkan manusia untuk menggunakan perasaan yang terwujud
dalam tingkah laku dan emosi. SQ memungkinkan manusia untuk berpikir
bahwa ada hal-hal yang tidak bisa dicapai dengan logika dan perasaan.
Berdasarkan dari ketiga macam jenis kecerdasan di atas kecerdasan
intelektual merupakan kecerdasan manusia yang paling utama. Kecerdasan
ini ditemukan oleh William Stern pada tahun 1912. Kecerdasan intelektual
adalah sebuah kecerdasan yang memberikan manusia kemampuan untuk
berhitung, beranalogi, berimajinasi, berkreasi, serta berinovasi (Alfian,
2012).
c. Faktof-faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Intelektual
Purwanto, (2010) menyatakan bahwa kecerdasan intelektual
manusia dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor:
1) Pembawaan
Pembawaan ditentukan oleh sifat-sifat dan ciri-ciri yang dibawa
sejak lahir. “Batas kesanggupan kita” yakni dapat tidaknya
memecahkan suatu soal, pertama-tama ditentukan oleh pembawaan
kita. Orang itu ada yang pintar dan ada yang bodoh. Meskipun
menerima latihan dan pelajaran yang sama, perbedaan itu masih tetap
ada.
2) Kematangan
Tiap organ dalam tubuh manusia mengalami pertumbuhan dan
perkembangan. Tiap organ (fisik maupun psikis) dapat dikatakan telah
40

matang jika ia telah mencapai kesanggupan menjalankan fungsinya


masing-masing. Anak-anak tidak dapat memecahkan soal-soal
tertentu, karena soal-soal itu masih terlampau sukar baginya. Organ-
organ tubuhnya dan fungsi-fungsi jiwanya masih belum matang untuk
melakukan mengenai soal itu. Kematangan berhubungan erat dengan
umur.
3) Pembentukan
Pembentukan ialah segala keadaan diluar diri seseorang yang
mempengaruhi perkembangan intelegensi. Dapat kita bedakan
pembentukan sengaja (seperti yang dilakukan di sekolah-sekolah) dan
pembentukan tidak disengaja.
4) Minat dan pembawaan yang khas
Minat mengarahkan perbuatan kepada suatu tujuan dan merupakan
dorongan bagi kegiatan itu. Dalam diri manusia terdapat dorongan-
dorongan (motif-motif) yang mendorong manusia berinteraksi dengan
dunia luar. Motif menggunakan dan menyelidiki dunia luar
(manipulate and exploring motives). Dari manipulasi dan eksplorasi
yang dilakukan terhadap dunia luar itu, lama kelamaan timbullah
minat terhadap sesuatu. Apa yang menarik minat seseorang
mendorongnya untuk berbuat lebih giat dan lebih baik.
5) Kebebasan
Kebebasan berarti bahwa manusia dapat memilih metode-metode
yang tertentu dalam memecahkan masalah-masalah. Manusia
mempunyai kebebasan memilih metode, juga bebas dalam memilih
masalah sesuai dengan kebutuhannya. Dengan adanya kebebasan ini
berarti bahwa minat itu tidak selamanya menjadi syarat dalam
perbuatan intelegensi.

Semua faktor tersebut di atas bersangkut paut satu sama lain. Untuk
menentukan intelegen atau tidaknya seorang anak, kita tidak dapat hanya
berpedoman kepada salah satu faktor tersebut di atas. Intelegensi adalah
faktor total. Seluruh pribadi turut serta menentukan dalam perbuatan
intelegensi seseorang.
d. Penggolongan Kecerdasan Intelektual
Tingkat kecerdasan intelektual seseorang dapat diukur dengan
menggunakan tes yang disebut dengan tes IQ. menurut Anne Anastasia
dan Susana Urbina (Alfian, 2012), seorang ilmuwan bernama Terman di
tahun 1926 memperkenalkan sebuah tes (indera ujian) yang digunakan
untuk mengukur IQ seseorang. Indera uji digunakan untuk mengukur IQ
didasarkan pada temuan skala yang diperkenalkan oleh Stanford dan Binet.
41

Tes IQ yang digunakan ialah Tes IQ yang diselenggarakan sang forum


psikologi Manusmara Pinasthika.
Tes IQ Manusmara Pinasthika berisi pertanyaan-pertanyaan dengan
tujuan agar testor berfikir yang akan terjadi dari tes ini berupa skor
kemudian diklasifikasika sesuai tingkat kecerdasannya. Unit Pelayanan
Psikologi Manusmara Pinasthika menggolongkan kecerdasan kedalam
sembilan kriteria sebagai berikut. pembagian terstruktur mengenai
kecerdasan:
1) Nilai 140-ke atas tergolong tinggi sekali.
2) Nilai 130- 139 tergolong tinggi.
3) Nilai 120-129 tergolong rata-rata atas.
4) Nilai 110-119 tergolong rata-rata.
5) Nilai 90-109 tergolong rata-rata bawah.
6) Nilai 80-89 tergolong kurang.
7) Nilai 70-79 tergolong kurang sekali.
8) Nilai 50-69 tergolong terbelakang (moron/debil).
9) Nilai 49-kebawah tergolong ideot. (Lembaga Psikologi Manusmara
Pinasthika)
2. Pembelajaran Renang
Renang memiliki sejarah yang selaras dengan sejarah kehidupan
manusia. Sejarah renang ini perlu diketahui oleh para olahragawan renang.
Renang pada jaman dahulu dilakukan oleh seseorang yang digunakan untuk
menyelamatkan diri dari ancaman kebakaran hutan, melarikan diri dari kejaran
musuh (Marlina, 2008). Renang tidak menentukan suatu pola tangan atau kaki
yang harus bergerak sesuai irama sehingga dapat mengapung serta bergerak
berpindah tempat. Perenang dapat melakukan kombinasi gerakan dan
mengelompokkan kombinasi-kombinasi tertentu dalam gaya-gaya renang.
Kombinasi gerakan disusun secara sistematis menjadi gaya renang seperti yang
sekarang banyak dilihat. Arena perlombaan baik tingkat nasional, regional
maupun internasional, terdapat empat gaya yang selalu dipertandingkan, gaya-
gaya tersebut antara lain yaitu gaya bebas (The Crawl Stroke), Gaya Punggung
42

(The Back CrawlStroke), Gaya Dada (The Breast stroke), dan Gaya Kupu-kupu
(The Dolphin Butterfly Stroke) (Marlina, 2008). Berikut beberapa hal yang
perlu diperhatikan dalam materi renang:
a. Prinsip Pembelajaran Renang
Cabang olahraga renang digunakan sebagai sarana untuk merajut
prestasi, hal ini dibuktikan dengan banyaknya klub-klub renang dan
banyaknya lomba-lomba renang yang diadakan dari tingkat daerah sampai
dengan tingkat internasional. Untuk renang prestasi harus mengetahui
prinsip-prinsip renang untuk menunjang prestasi yang diinginkan. Ada
beberapa prinsip renang yang harus diketahui oleh para pelatih renang
maupun atletnya, yaitu:
1) Prinsip Hambatan dan Dorongan
Setiap saat kecepatan maju perenang adalah hasil dari dua
kekuatan. Satu kekuatan cenderung untuk menahannya, ini disebut
tahanan atau hambatan yang disebabkan oleh air yang harus didesaknya
atau yang harus dibawanya. Yang kedua kekuatan yang mendorongnya
maju disebut dorongan yang diciptakan oleh gerakan lengan dan
gerakan tungkai. Usaha yang bisa dilakukan oleh perenang untuk
memperoleh kecepatan renang optimal adalah membuat letak badan
perenang di air supaya streamline dan tidak menimbulkan banyak
tahanan, baik depan maupun belakang, keberhasilan perenang untuk
mencapai kemenangan pada suatu perlombaan dasarnya berasal dari
kemampuan perenang untuk menghasilkan daya dorong dengan
menghilangkan hambatan. Meningkatkan daya dorong dapat dilakukan
dengan menambah tenaga dorong yaitu melakukan kekuatan otot
sedangkan untuk mengurangi hambatan dapat dilakukan sesuai bentuk
hambatan (T. T. Setiawan, 2004).
2) Prinsip Hukum Aksi-Reaksi
Hukum Newton Tiga mengatakan bahwa setiap aksi
mengakibatkan reaksi yang sama dan berlawanan arah. Jika perenang
mendorong lengannya ke belakang dengan kekuatan 30 kg dan
43

mendorong kakinya ke belakang dengan kekuatan 5 kg, maka kekuatan


resultant sebesar 35 kg digunakan untuk mendorongnya maju. Newton
menunjukkan bahwa reaksi yang ditimbulkan besarnya sama persis
dengan aksi dan arahnya 180 terhadapnya. Jika perenang menekan air
ke bawah maka reaksinya akan mendorongnya ke atas, begitu pula jika
perenang mendorong air ke belakang, maka reaksinya berupa dorongan
ke depan (Setiawan, 2004)
3) Prinsip Pemindahan Momentum
Prinsip pemindahan momentum sering digunakan dalam renang.
Gerakan lengan saat melakukan Start dan gerakan lengan saat
pemulihan atau recovery pada gaya bebas, gaya kupu-kupu, dan gaya
punggung serta gaya dada merupakan penerapan prinsip pemindahan
momentum pada renang. Pada saat start, momentum yang ditimbulkan
oleh lengan selama mengayun dipindahkan ke seluruh tubuh dan
membantu perenang meloncat lebih jauh (Setiawan, 2004).
4) Prinsip Teori Hukum Kuadrat
Hambatan yang muncul dalam cairan dan gas berubah kira-kira
menurut kuadrat kecepatannya. Penerapan hukum ini pada renang
adalah dalam hal kecepatan masuknya lengan ke dalam air saat
recovery atau pemulihan. Jika perenang menjulurkan lengannya ke
depan dengan kecepatan dua kali kecepatan sebelumnya, ia akan
mengalami hambatan empat kali lipat. Dengan demikian gerakan
lengan saat recovery tidak hanya mengganggu irama gerakan lengan,
tetapi juga meningkatkan hambatan untuk maju. Olehkarena itu
majunya lengan perenang saat recovery perlu diperlambat. Tetapi
perenang juga sulit untuk menahan lengan saat recovery terlalu lama di
dalam air agar dapat menghasilkan hambatan yang kecil, sebab
kecepatan kedua lengan harus serasi, teratur dan bergantian. Keserasian
kedua lengan merupakan faktor penting dalam irama renang (Setiawan,
2004).
44

5) Prinsip Daya Apung


Asas Archimides menyatakan bahwa sebuah benda padat yang
dimasukkan ke dalam zat cair akan diapungkan ke atas oleh gaya yang
besarnya sama dengan zat cair yang dipindahkan. Jadi, gaya apung
seseorang besarnya sama dengan berat air yang dipindahkan oleh badan
saat mengapung. Untuk bisa mengapung orang harus memikirkan dua
gaya yaitu gaya ke bawah dari berat badan dan gaya apung ke atas dari
air. Jika kedua gaya yang bekerja pada badan resultant nya sama dengan
nol, gaya itu dalam keadaan seimbang dan badan dapat mengapung
tanpa gerakan. Perenang yang ringan mempunyai daya apung yang
lebih tinggi dan menimbulkan hambatan lebih sedikit dibanding
perenang yang lebih berat. Faktor-faktor yang mempengaruhi daya
apung dan posisi perenang antara lain adalah bentuk tubuh, ukuran
tulang, perkembangan otot, berat badan, jumlah relatif jaringan lemak,
kapasitas paru dan sebagainya (Setiawan, 2004).
b. Renang Gaya Dada
Renang gaya dada adalah gaya yang tidak sulit dan nyaman untuk
dilakukan. Jika dilakukan dengan benar, gaya dada memerlukan
pernapasan yang teratur dengan wajah terbenam pada waktu meluncur
(Thomas, 2006). Menurut David, (2010) renang gaya dada ialah gaya
yang pertama-tama dipelajari oleh orang-orang pada waktu mereka mulai
belajar renang.
Teknik gaya dada seperti gaya renang yang lain terdiri dari
beberapa gerakan, yaitu: start, posisi tubuh, gerakan lengan (sapuan luar
dan sapuan dalam), gerakan tungkai, pengambilan nafas, dan koordinasi
antara gerakanlengan, gerakan tungkai dan gerakan pengambilan nafas.
1) Start Renang Gaya Dada
Start adalah salah satu kecakapan yang paling mudah untuk
diajarkan. Start gaya dada hampir sama dengan start gaya crawl
maupun gaya kupu- kupu, yang membedakannya adalah sudut
masuknya ke air. Sudut masuk ke air pada gaya dada sekitar 20°,
45

sedangkan pada gaya crawl atau gaya kupu- kupu sekitar 15°. Tiga
kualitas yang diperlukan untuk menjadi starter yang baik adalah ialah
waktu reaksi yang baik, kekuatan otot tungkai dan mekanika yang baik.
Waktu reaksi yang baik ialah salah satu dari kualitas yang
merupakan bawaan. Seorang perenang dapat belajar untuk
meninggalkan tempat lebih cepat untuk mengambil posisi start yang
betul dan melakukan koreksi. Kekuatan ialah kemampuan otot untuk
menciptakan tegangan. Sedangkan power yaitu kecepatan dari koreksi
otot. Seorang dengan power eksplosif yang baik dan mekanika yang
jelek sering kali dalam start dapat mengalahkan orang dengan kombinasi
yang sebaliknya tetapi jangan salah tafsir kalauwaktu reaksi dan power
yang baik, sudah cukup tanpa mengajar mekanika yang baik. Ia
mungkin akan dapat start lebih baik lagi jika mempunyai kualitas yang
baik dari ketiganya. Power dapat diperbaiki dalam batas-batas tertentu,
dengan latihan beban dan kontraksi-kontraksi isometris. Mekanika yang
baik dapat diajarkan dan mekanika yang jelek dapat diperbaiki dengan
latihan, coaching yang baik, dan memahami prinsip-prinsip yang baik
(Setiawan, 2004).

Gambar 1 Analisis sudut tolakan start atas


Sumber: Setiawan (2004)
2) Posisi Tubuh Saat Meluncur Renang Gaya Dada
Tubuh sejajar dengan permukaan air dan pinggang dekat
dipermukaan air dan tungkai di bawah permukaan air. Wajah atau
46

kepala selalu dibawah permukaan air selama kayuhan lengan dan


diangkat ke atas permukaan air selama pengambilan nafas. Tubuh lebih
rendah dari kepala dan tungkai lebih rendah dari tubuh saat tungkai
melakukan recovery (Setiawan, 2004).

Gambar 2 Posisi badan saat meluncur renang gaya dada


Sumber: Setiawan (2004)
3) Gerakan Lengan Renang Gaya Dada
Gerakan lengan gaya dada terdiri dari menarik (pull) dan
memulihkan (recovery). Tarikan lengan pada gaya dada dimulai
dengan awal tarikan yang dalamnya sekitar enam inchi di bawah
permukaan air. Jika perenang memulai tarikannya pada permukaan,
ada kecenderungan untuk naik terlalu tinggi dan tenaga akan
dihamburkan dalam gerakan naik turun (Setiawan, 2004). Jadi gerakan
lengan dalam renang gaya dada sedikit menambah daya dorong maju,
karena pada gerakan lengan digunakan untuk gerakan naik turun
dalam pengambilan nafas atau memecah permukaan air. Gerakan
lengan pada renang gaya dada terdiri dari tiga bagian yaitu gerakan
lengan sapuan luar, gerakan lengan sapuan dalam, dan pemulihan
(recovery). Berikut gambar dari ketiga gerakan lengan tersebut 1-2
gerakan sapuan luar, 2-3 gerakan sapuan dalam dan 3-4 gerakan
recovery (Setiawan, 2004).
47

Gambar 3 Gerakan lengan gaya dada


Sumber: (Setiawan, 2004)
Gerakan lengan sapuan luar berfungsi untuk menempatkan
tangan pada posisi untuk melakukan sapuan dalam yang efektif.
Tangan mulai bergerak ke arah luar-dalam sampai melewati garis
bahu. Tangan harus tetap melebar selama sapuan luar sampai mencapai
kedalaman 50-80 cm. Tangan di gerakan ke luar hampir membentuk
sudut 30°-40° relatif terhadap arah luar dari gerakan tangan.

Gambar 4 Sapuan luar


Sumber: (T. T. Setiawan, 2004)
Gerakan lengan sapuan dalam merupakan sapuan yang
menghasilkan daya dorong terbesar pada gaya dada. Gerakan ini
dimulai ketika tangan mendekati titik terdalam pada gerakan catch.
Sapuan tangan harus berubah dari arah luar-bawah ke arah dalam-atas
dengan sudut serangan 30°. Kecepatan sapuan dalam harus di tambah
menjadi 5-6 m/detik. Sapuan dalam berakhir saat tangan mulai
48

bergerak ke atas-depan untuk gerakan recovery. Recovery dimulai saat


tangan hampir bersamaan sampai di bawah dagu. Lengan di gerakan
ke depan-atas secara bersama-sama dan simetris, dapat dilakukan
dengan tiga cara yaitu tangan diatas permukaan air, tepat di garis
permukaan air, atau dibawah permukaan air (Setiawan, 2004).

Gambar 5 Awal sapuan dalam


Sumber: (Setiawan, 2004)
4) Gerakan Tungkai Renang Gaya Dada
Ada dua teori mengenai gerakan tungkai gaya dada, yaitu teori
wedge action (baji) dan teori whip action (cambuk). Kedua teori ini
mengemukakan suatu pendapat yang berbeda, yaitu sumber kekuatan
saat melakukan gerakan menendang. Pada teori wedge action sumber
kekuatan berasal dari menekan air diantara kedua tungkai pada saat
melakukan pelurusan. Sedangkan teori whip action sumber kekuatan
diperoleh dari mendesak air ke belakang dengan telapak kaki. Pada
tahun 1947, Counsilman melakukan eksperimen terhadap kedua
gerakan kaki itu dan menyimpulkan bahwa tenaga dorongan berasal
dari menekan air ke belakang dengan tungkai bagian bawah dan ujung
kaki.
Gerakan cambuk lebih menguntungkan dibandingkan dengan
gerakan baji dilihat dari segi kecepatan, tenaga dorongan, efisiensi
gerakan, dan tempo gerakan (Setiawan, 2004).
49

Gambar 6 Gerakan tungkai gaya dada


Sumber: (Setiawan, 2004)
Selanjutnya penjelasan teknik gerakan tungkai renang gaya
dada yang berdasarkan teori whipaction. Gerakan tungkai gaya dada
dibagi menjadi dua yaitu: tendangan luar dan tendangan dalam.
Gerakan tendangan luar dimulai ketika tungkai mendekati pemulihan.
Pinggang dan lutut dilengkungkan dan tumit harus didekatkan pantat.
Ketika tumit mendekati pantat maka kaki diputar ke arah luar belakang
dengan telapak kaki menghadap belakang-atas-luar. Hempasan yang
benar didapat oleh putaran ke arah dalam pada pinggul. Jari kaki
merupakan bagian ujung dari bilah pendorong.

Gambar 7 Tendangan luar dan awal tendangan dalam


Sumber: (Setiawan, 2004)
Ketika mendekati pelebaran, kaki mulai menyapu ke bawah.
Kaki harus dihempaskan ke luar dan ke bawah hingga air terhempas ke
belakang. Perenang harus menekan ke bawah dari pada ke
belakang, hal ini akan meningkatkan kekuatan pendorong selama
50

sapuan dalam. Ketika kaki hampir pada pelebaran yang maksimal,


secara perlahan berubahan arah dari arah bawah ke arah dalam
sehingga kedua kaki menyatu bersama dan serentak. Kaki harus
dihempaskan ke arah dalam sekuat mungkin sehingga air menyibak ke
belakang dari batas kaki bagian luar kedalam (Setiawan, 2004).
5) Gerakan Pengambilan Nafas Renang Gaya Dada
Pengambilan nafas pada renang gaya dada dilakukan dengan
cara mengangkat kepala ke atas permukaan air. Kepala mulai
digerakkan ke atas ketika lengan melakukan gerakan awal sapuan luar
dan mencapai titik tertinggi ketika lengan melakukan akhir sapuan
dalam. Kepala kembali dimasukan kedalam air pada saat lengan
melakukan recovery (Setiawan, 2004).

Gambar 8 Pengambilan napas


Sumber: (Setiawan, 2004)
6). Gerakan Koordinasi Renang Gaya Dada
Gerakan koordinasi ialah gerak perpaduan antara gerakan
lengan, gerakan tungkai dan pengambilan nafas. Untuk melaju
kedepan dimulai dari gerakan tangkai kemudian dilanjutkan dengan
gerakan lengan yang bersamaan dengan gerakan pengambilan nafas.
Jadi untuk gerakan koordinasi renang gaya dada adalah satu gerakan
tungkai, satu gerakan lengan dan satu gerakan pengambilan nafas
(Setiawan, 2004).
51

Gambar 9 Gerakan koordinasi renang gaya dada


Sumber: Setiawan (2004)

c. Peraturan- Peraturan Renang Gaya Dada


Renang gaya dada memiliki beberapa peraturan yang harus ditaati.
Ke dua tangan harus didorong ke depan beserta-sama, dari dada pada atas
atau di bawah permukaan air dan dibawa ke belakang secara beserta- sama
serta simetris. Badan harus betul-betul datar serta kedua bahu dalam
bidang horisontal. ke 2 kaki harus ditarik bersama-sama serta simetris ke 2
lutut menekuk serta terbuka. Gerakan wajib dilanjutkan menggunakan
cambukan kaki memutar serta kearah luar membawa kedua kaki
bersatu.Gerakan naik turun dari tungkai dalam bidang vertikal.
Dilarang memecah bagian atas air dengan ujung kaki tak
mengakibatkan diskualifikasi kecuali hal ini disebabkan sang gerakan
tungkai pada bidang vertikal. jika menyentuh pada pembalikan atau finish
dalam suatu perlombaan, sentuhan itu wajib dilakukan dengan ke 2 tangan
bersama-sama dengan tinggi yg sama. ke 2 bahu harus pada posisi
horisontal segaris menggunakan bagian atas air. Adapun catatan pada
gerakan ini yaitu suatu sentuhan yang sah bisa dilakukan di atas atau di
bawah permukaan air. Setiap perenang yg menggunakan gerakan gaya
samping akan di diskualifikasikan atau dibatalkan. Renang dibawah bagian
atas air tidak boleh, kecuali satu gerakan lengan serta satu gerakan tungkai
sehabis start serta pembalikan. Posisi start berasal perenang gaya dada
52

harus dengan lengan- lengan beserta serta direntangkan ke depan dan


menggunakan tungkai bersama serta direntangkan ke belakang. ketika ke 2
lengan tidak lagi pada posisi terentang maka suatu gerakan baru telah
dimulai. Bila gerakan lengkap atau tidak lengkap berasal lengan atau
tungkai asal posisi start wajib dianggap menjadi satu gerakan tungkai
lengkap. di gaya dada, asal saat ketika seorang perenang, sehabis start atau
membalik, memulai gerakan ke 2, sebagian berasal ketua harus selalu pada
atas bagian atas air (Isnanini & Sababrini, 2010).
3. Gambaran Umum Culture Fair Intelegency Test (CFIT)
a. Sejarah CFIT
Raymond Bernard Cattell (20 March 1905-2 Februari 1998) (dalam
Nur’aeni, 2012) adalah seorang psikolog Inggris dan Amerika dengan
eksplorasinya di berbagai wilayah psikologi. Wilayah tersebut antara lain
dimensi dasar kepribadian dan temperamen, berbagai kemampuan kognitif,
dinamika dimensi motivasi dan emosi, dimensi klinis kepribadian, pola
kelompok dan perilaku sosial, aplikasi penelitian kepribadian untuk
psikoterapi dan teori pembelajaran, prediktor kreativitas dan prestasi, dan
metode penelitian banyak ilmiah untuk menjelajahi dan mengukur daerah-
daerah. Cattell meruapakan tokoh yang dikenal dengan produktifitasnya
selama 92 tahun yang juga merupakan authoring dan co-authoring lebih
dari 50 buku dan 500 artikel, dan lebih dari 30 tes standar. Cattel merupakan
peringkat 16 psikolog yang paling berpengaruh dan terkemuka dari abad ke-
20. Sebagai psikolog, Cattell dikenal dengan kekhususannya tentang metode
ilmiah yang merupakan seorang pendukung awal penggunaan metode
analisis faktor. Cattel juga merupakan tokoh penemu "berteori verbal" untuk
menjelajahi dimensi dasar kepribadian, motivasi, dan kemampuan kognitif.
Cattell merupakan tokoh psikologi yang paling dikenal yang
mempelajari identifikasi dimensi kepribadian. Dia juga mempelajari dimensi
dasar domain kecerdasan lain seperti kecerdasan, motivasi, dan minat
kejuruan. Cattell memiliki pendapat bahwa terdapat kecerdasan cairan dan
mengkristal untuk menjelaskan kemampuan kognitif manusia, dan menulis
53

Culture Fair Intelligence Test (CFIT) untuk meminimalkan bias bahasa


tertulis dan latar belakang budaya dalam pengujian intelijen. Prestasi utama
Cattell adalah tentang kepribadian, kecerdasan, dan statistik.
b. Teori Culture Fair Intelegency Test (CFIT)
Culture Fair Intelegency Test (CFIT) dikembangkan oleh Raymond
B. Cattel (1949) yang digunakan untuk mengukur intelegensi individu
dalam suatu cara yang direncanakan untuk mengurangi pengaruh kecakapan
verbal, iklim budaya, dan tingkat pendidikan (Kaplan & Dennis, 2009).
Alasannya yaitu perbedaan kebudayaan dapat mempengaruhi performance
test (hasil) sehingga dikembangkan tes yang adil budaya (culture fair)
antara lain CFIT. Di Indonesia dikenal dengan nama :
1) Tes G skala 2A (A7A)
2) Tes G skala 2B (A7B)
3) Tes G skala 3A
4) Tes G skala 3B
Test Culture Fair Intelligence atau disingkat Tes CFIT terdiri dari 3
(tiga) skala yang disusun dalam Form A dan Form B secara paralel. Tes ini
dibuat oleh Raymond B. Cattel dan A. Karen S. Cattel serta sejumlah staff
penelitian dari Institute of Personality and Ability Testing (IPAT) di
Universitas Illinois, Champaign, Amerika Serikat tahun 1949. Tes ini adalah
bentuk skala 3 Form A dan B yang biasanya digunakan untuk tes klasikal
bagi subjek-subjek berusia 13 tahun sampai dengan dewasa.
Culture Fair Intelligence Test dimaksudkan untuk mengukur
kemampuan umum (General Ability) atau di sebut dengan G-Factor.
Menurut teori kemampuan yang dikemukakan oleh Raymond B. Cattell,
Culture Fair Intelligence Test adalah untuk mengukur Fluid Ability
seseorang. Fluid Ability adalah kemampuan kognitif seseorang yang bersifat
herediter. Kemampuan kognitif ini pada perkembangan individu selanjutnya
mempengaruhi kemampuan kognitif lainnya sebagai Cristalized Ability.
Cristalized Ability seseorang merupakan kemampuan kognitif yang
diperoleh dalam interaksi individu dengan lingkungan disekitarnya.
54

Kemampuan kognitif seseorang tergantung dari sampai berapa jauh keadaan


Fluid Ability nya dan bagaiamana perkembangan Cristalized Ability-nya.
Berdasarkan dasar pengertian ini, maka penggunaan Culture Fair
Intelligence Test akan lebih lengkap apabila disertai dengan penggunaan tes
intelegensi umum lainnya yang mengukur Cristalized Ability, misalnya tes
intelegensi umum 69 (TINTUM 69) atau Tintum bentuk A atau bentuk B.
Greogry, (2007) menyatakan bahwa Culture Fair Intelligence Test
(CFIT) mempunyai 3 skala, yaitu sebagai berikut :
1) Skala 1
Pada skala 1 di khususkan untuk anak usia 4-8 tahun dan penderita
retardasi mental, yang terdiri atas 1 formulir dengan 8 sub-tes.
Tabel 1 Skala 1 CFIT

TES ITEM WAKTU


Substitution 12 3 menit
Classification 12 2 menit
Mazes 12 2 ½ menit
Selecting Named Object 12 2 ½ menit
Following Directions 12 4 menit
Wrong Pictures 12 2 ½ menit
Riddles 12 3 ½ menit
Similarities 12 2 menit

2) Skala 2
Pada skala 2 di khususkan untuk 8-14 tahun dan dewasa, yang
terdiri dari 2 formulir isian dengan masing-masing 4 sub-tes.
Tabel 2 Skala 2 CFIT

TES ITEM WAKTU


Series 12 3 menit
Clasification 14 4 menit
Matrices 12 3 menit
Topology 8 2 ½ menit
55

3) Skala 3
Pada skala 3 di khususkan untuk dewasa, yang terdiri dari 2formulir
isian dengan masing-masing 4 sub-tes.
Tabel 3 Skala 3 CFIT

TES ITEM WAKTU


Series 13 3 menit
Clasification 14 4 menit
Matrices 13 3 menit
Topology 10 2 ½ menit

c. Klasifikasi IQ berdasarkan Culture Fair Intelegency Test (CFIT)


Greogry (2007) menyatakan bahwa klasifikasi tingkat IQ
manusia menurut skala Culture Fair Intelligence Test (CFIT) Raymond B.
Cattell adalah sebagai berikut :
Tabel 4. Kategori IQ CFIT oleh Cattel

d. Administrasi
Adapun beberapa administrasi dalam pelaksanaan tes CFIT yang
harus diperhatikan sebagai berikut:
1) Waktu
Waktu yang di tentukan untuk seluruh penyajian bentuk tes
membutuhkan waktu sekitar 20 – 40 menit, tergantung pada daya faham
56

2) Instruksi
Setiap sub-tes memiliki instruksi yang berbeda-beda. Masing-
masing-instruksi untuk tiap-tiap sub-tes adalah sebagai berikut.
a) Sub-tes 1 Series Di sebelah atas, Anda akan menemukan sederet kotak
yang berisi urutan gambar. Namun, kotak terakhir belum ada isinya.
Tugas Anda adalah mengisi kotak tersebut dengan gambar yang sesuai,
yang bisa dipilih dari enam pilihan jawaban yang tersedia, yaitu A, B,
C, D, E, dan F. Perlu diingat bahwa gambar-gambar pada soal
memiliki pola tertentu sehingga untuk mengisinya, Anda perlu
mengetahui pola dari urutan gambar tersebut.
b) Sub-tes 2 Clasification Pada setiap soal, Anda akan menemukan 5 buah
gambar yang disusun secara berdampingan. Telitilah gambar-gambar
tersebut. Tugas Anda adalah menemukan 2 gambar yang tepat yang
memiliki karakteristik yang sama. 3 gambar lainnya berfungsi sebagai
pengecoh, sehingga berhati- hatilah dalam menentukan pilihan.
c) Sub-tes 3 Matrices Di bagian sebelah kiri, Anda akan menemukan
sebuah kotak besar, yang di dalamnya terdapat kotak-kotak kecil
bergambar. Di dalam kotak besar terdapat kotak kecil bergambar garis
tebal miring. Perhatikan bahwa bagian sebelah kanan bawah masih
kosong. Tugas Anda adalah melengkapi bagian kosongtersebut dengan
salah satu dari 5 pilihan jawaban di sebelah kanan (A, B, C, D, E, dan
F).
d) Sub-tes 4 Topology Perhatikan contoh soal. Pada contoh nomor 1,
terdapat kotak yang berisikan gambar dan mempunyai titik hitam tebal.
Tugas Anda adalah mencari gambar yang mempunyai titik hitam,
dimana titik hitam tersebut berada pada 2 gambar sekaligus.
Roberto Colom, Botella, Santacreu (2002) melaporkan bahwa
Culture Fair Intelligence Scale (CFIT) merupakan tes yang mengukur
intelegensi fluid yang terdiri dari empat bagian yang dibagi perwaktu
pengerjaan yakni series, classification, matrices, dan topology. Keempat
bagian tersebut terdiri atas problem pilihan ganda dengan taraf kesukaran
57

yang semakin meningkat, serta termasuk di dalamnya aspek-aspek dari


pemahaman visual spasial. Skor mentah kemudian dijumlahkan untuk
memperoleh skor komposit yang kemudian dikonversikan dalam IQ yang
terstandarisasi (Naderi & Abdullah, 2014).

4. Belajar Motorik (Motoric Learning)


a. Pengertian Belajar motorik (Motoric Learning)
Pengertian belajar motorik (motoric learning) menurut Drowatzky,
(1981) adalah belajar yang dilakukan melalui respon maskuler yang
dilakukan dengan gerakan tubuh atau bagian tubuh seseorang. Oxendine,
(1984) menyatakan bahwa melajar motorik adalah suatu proses terjadinya
perubahan yang memiliki sifat tetap dalam perilaku motorik sebagai hasil
dari latihan dan pengalaman. Schmidt, (1988) menyatakan bahwa belajar
motorik adalah seperangkat proses yang berkaitan dengan latihan atau
pengalaman yang mengantarkan kearah perubahan permanen dalam
perilaku terampil. Rahantoknam, (1988) memberikan definisi
belajar motorik sebagai peningkatan dalam suatu keahlian
keterampilan motorik yang disebabkan oleh kondisi-kondisi latihan atau
diperoleh dari pengalaman, dan bukan karena proses kematangan atau
motivasi temporer dan fluktuasi fisiologis.
Schmidt (1988) menjelaskan tentang karakteristik belajar motorik
sebagai berikut: (1) Belajar motorik merupakan serangkaian proses, (2)
Belajar motorik menghasilkan kemampuan untuk merespon, (3) Belajar
motorik tidak dapat diamati secara langsung, (4) Belajar motorik relatif
permanen, (5) Belajar motorik adalah karena hasil latihan, dan (6) Belajar
motorik dapat menimbulkan efek negatif.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan sebagai
berikut: (l) belajar motorik merupakan suatu proses, (2) belajar motorik
merupakan hasil latihan, (3) kapabilitas bereaksi sebagai hasil belajar
58

motorik, (4) hasil belajar motorik bersifat relatif permanen, (5) belajar
motorik dapat menimbulkan efek negatif.
b. Faktor yang mempengaruhi proses dan hasil belajar motorik (Motoric
Learning)
Pendapat para ahli menyatakan bahwa terdapat faktor yang
mempengaruhi proses dan hasil belajar. Menurut Suryabrata, (2006)
terdapat beberapa faktor yang berpengaruh terhadap proses dan hasil
belajar, faktor-faktor tersebut adalah: (l) bahan yang dipelajari; (2) faktor
lingkungan yaitu: lingkungan alami dan lingkungan sosial; (3) faktor
instrumental, baik seperangkat alat keras maupun seperangkat alat lunak;
(4) kondisi individu siswa meliputi, minat, motivasi, kecerdasan, bakat dan
kemampuan kognitif.
Singer, (1982) menjelaskan, dalam proses belajar motorik perlu
mempertimbangkan tiga faktor utama yaitu: (l) Faktor proses belajar,
artinya bagaimana siswa mengolah informasi sehingga terjadi otomatisasi
dalam melakukan gerakan; (2) Faktor-faktor personal meliputi, ketajaman
berpikir, persepsi, intelegensi, ukuran fisik, pengalaman, emosi,
kapabilitas, motivasi, sikap, jenis kelamin dan usia; (3) Faktor-faktor
situasi meliputi, situasi alami dan sosial. Khusus untuk anak usia delapan
sampai sembilan tahun perbedaan jenis kelamin belum banyak
berpengaruh terhadap proses belajar motorik.
5. Anak Dengan Hambatan Pendengaran
Anak dengan hambatan pendengaran adalah individu yang mengalami
Hambatan pada pendengarannya. menggunakan hambatan telinga umumnya
diikuti menggunakan tunawicara karena mereka sulit buat belajar perihal kata
dan suara sebagai akibatnya sulit juga buat mengeluarkan kata dan bunyi tadi.
Kurniawati et al., (2022) menyatakan bahwa anak dengan hambatan
pendengaran merupakan individu yang mengalami Hambatan pendengaran,
baik sebagian (sulit mendengar) atau menyeluruh, penyebabnya indra
pendengaran mereka hingga tidak memiliki nilai fungsional dalam kehidupan
sehari-hari. Menurut Murtie, (2016), terdapat dua jenis Hambatan pendengaran
59

yaitu Hambatan pendengaran total (deaf) dan Hambatan pendengaran


sebagian (hard of hearing).
a. Klasifikasi Hambatan Pendengaran
Terdapat beberapa pengertian / definisi dan klasifikasi yang
berkenaan menggunakan tunarungu atau dengan Hambatan telinga, sesuai
menggunakan pandangan dan kepentingan masing-masing. Kendati
demikian, pada hakekatnya beberapa definisi tentang problem tersebut
memiliki kesamaan makna, yaitu adalah suatu kata yang mengarah pada
kondisi tidak berfungsinya organ telinga secara normal. Kendati demikian
banyak pula para ahli pada pendidikan anak tunarungu menyampaikan
batasan atau pengertian ihwal tunarungu.Murtie, (2016) mengklasifikasi
tentang penyandang tunarungu sebagai berikut:
1) Klasifikasi Berdasarkan Waktu Terjadi
Pada klasifikasi berdasarkan waktu terjadinya maka
penyandang tuna rungu dibagi menjadi dua, yaitu:
a) Prelingual merupakan penyandang ganggguan pendengaran yang
mengalami kekurangan semenjak lahir. Oleh karena terjadi
semenjak lahir biasanya ganggguan pendengaran jenis ini diikuti
dengan kekurangan pada saat berbicara/tunawicara. Secara
otomatis penyandang ganggguan pendengaran semenjak lahir tak
pernah mendengar pembicaraan orang lain sehingga membuat
mereka kesulitan pula untuk berkata-kata.
b) Postlingual merupakan penyandang ganggguan pendengaran
yang mengalami kekurangan tersebut berangsur-angsur secara
bertahap karena ketajaman pendengarannya berkurang.
Penyandang ganggguan pendengaran jenis ini kebanyakan masih
bisa bicara dengan normal karena masih sempat mendengar kata-
kata dan suara lain disekitarnya. Namun, tentu saja tetap
membutuhkan terapi khusus agar mampu berbicara dengan lancar
dan jika memungkinkan bisa mendengar kembali meskipun
dengan menggunakan alat bantu (Murtie, 2016).
60

2) Klasifikasi Berdasarkan Tingkatan Pendengaran


Klasifikasi berdasarkan tingkatan pendengarannya sesuai
tahapan/level, tunarungu atau ganggguan pendengaran dibagi
menjadi:
a) Tunarungu ringan (Mild Hearing Loss)
b) Tunarungu sedang (Moderte Hearing Loss)
c) Tunarungu agak berat (Moderately Hearing Loss)
d) Tunarungu berat (Severe Hearing Loss)
e) Tunarungu berat sekali (Profound Hearing Loss) (Murtie, 2016).
Pada ganggguan pendengaran jenis ringan dan sedang masih
bisa dibantu dengan alat bantu dengar dan keberhasilan yang
diperoleh lebih dari 70%. Individu tersebut cenderung masih bisa
bercakap atau berkomunikasi dengan orang lain. Sedangkan untuk
level selanjutnya dibutuhkan kesabaran dan terapi khusus untuk bisa
berkomunikasi dengan orang lain. Meskipun demikian, mereka tetap
bisa berkomunikasi menggunakan tulisan dan bahasa isyarat.
Selain itu, secara pedagogis ganggguan pendengaran dapat
diartikan sebagai suatu kondisi ketidakmampuan seseorang dalam
mendapatkan informasi secara lisan, sehingga membutuhkan
bimbingan dan pelayanan khusus dalam belajarnya di sekolah.
Pengertian ini lebih menekankan pada upaya pengembangan potensi
penyandang tunarungu melalui proses pendidikan khusus. Dengan
begitu penyandang tunarungu dapat mengembangkan dirinya secara
optimal dan bertanggung jawab dalam kehidupannya sehari-hari.
Dilihat dari sisi perkembangannya, Suparno, (2001) menyatakan
bahwa anak dengan ganggguan pendengaran memiliki pola yang
bervariasi dalam beberapa segi, yang umumnya berbeda dengan
anak-anak normal. Secara rinci, beberapa perkembangan yang
spesifik diantaranya adalah sebagai berikut:
1) Perkembangan bahasa
Perkembangan fisik anak ganggguan pendengaran tidak
61

banyak mengalami hambatan, kecuali organ keseimbangan yang


mengalami sedikit Hambatan. Hal ini terjadi karena adanya kelainan,
baik organik maupun fungsional pada telinga tengah yang
menyebabkan terganggunya organ keseimbangan. Kendati demikian,
masih ada sebagian kecil anak-anak dengan ganggguan pendengaran
yang mengalami hambatan dalam perkembangan fisiknya, yang
disebabkan faktor- faktor genetik, obat-obatan, serta adanya tekanan-
tekanan psikologis.
Kondisi ganggguan pendengaran juga menyebabkan hambatan
dalam perkembangan bahasa seorang anak. Kemampuan pendengaran
sangat penting artinya dalam perkembangan bahasa seseorang,
sementara untuk anak dengan ganggguan pendengaran hal ini tidak
dilakukan dengan baik. Pola perkembangan bahasa untuk anak dengan
ganggguan pendengaran, menurut Suparno, (2001) secara singkat dapat
dijelaskan sebagai berikut:
a) Pada awal masa meraban tidak terjadi hambatan pada mereka,
karena meraban merupakan kegiatan alamiah mototorik dari
pernapasan dan pita suara. Pada akhir masa meraban mulai terjadi
perbedaan perkembangan bahasa antara anak dengan ganggguan
pendengaran dan anak- anak normal. Anak-anak pada umumnya
merasakan adanya kenikmatan dalam meraban, karena dapat
mendengarkan adanya suara-suara yang keluar dari mulutnya.
Sebaliknya, untuk anak- anak tunarungu hal-hal seperti itu tidak
dapat dilakukan, karena adanya hambatan pendengaran. Dengan
demikian, perkembangan bahasa anak dengan ganggguan
pendengaran umumnya berhenti pada tahap meraban.
b) Pada tahap meniru, anak dengan ganggguan pendengaran terbatas
pada peniruan bahasa secara visual (penglihatan), yaitu melalui
gerak-gerik dan isyarat. Sedangkan peniruan bahasa melalui
pendengaran (auditif) umumnya tidak dapat dilakukan. Bagi anak
dengan ganggguan pendengaran, bahasa isyarat merupakan bahasa
62

ibu, sementara bahasa lisan adalah bahasa yang asing bagi dirinya.
Di dalam kondisi yang demikian, perkembangan bahasa anak-anak
dengan ganggguan pendengaran pada tahap berikutnya sangat
memerlukan bimbingan khusus, sesuai dengan derajat ketunaan
dan kemampuannya masing-masing. Secara umum, tahapan
perkembangan bahasa anak adalah tahap motorik (menangis,
bernafas), tahap meraban, tahap meniru, tahap yangon, dan tahap
perkembangan bahasa yang sebenarnya.
2) Perkembangan inteligensi anak dengan hambatan pendengaran
Perkembangan inteligensi sangat dipengaruhi oleh perkembangan
bahasa, sehingga hambatan perkembangan bahasa pada anak dengan
ganggguan pendengaran mengakibatkan perkembangan inteligensinya
juga terhambat. Kerendahan tingkat inteligensi anak dengan ganggguan
pendengaran, bukan karena kemampuan potensial yang rendah, namun
pada umumnya disebabkan karena inteligensinya tidak mendapat
kesempatan berkembang secara optimal.
Adanya bimbingan yang teratur, terutama dalam kecakapan
berbahasa akan dapat membantu perkembangan inteligensi anak
dengan ganggguan pendengaran., aspek yang mengalami hambatan
adalah yang berkenaan dengan kemampuan verbal, seperti
merumuskan pengertian, mengasosiasikan, menarik kesimpulan dan
meramalkan kejadian. Sedang aspek yang berkenaan dengan numerik
dan motorik cenderung berkembang lebih cepat.
Selain itu kemampuan intelektual anak dengan ganggguan
pendengaran juga tergantung dari faktor kebahasaan, sesuai derajat
ketunaan yang disandangnya. Hal ini didasarkan adanya kenyataan,
bahwa berat ringannya kelainan akan mempunyai pengaruh yang
berbeda terhadap kemampuan berbahasa penyandang pada anak
dengan ganggguan pendengaran, sebagaimana dilaporkan Hallahan
(1988) (Munir Amin, 2015) berikut:
63

Tabel 5 Tingkat Ketunarunguan Anak

Tingkat
Pengaruh Terhadap Pemahaman Bahasa
Ketunarunguan

RINGAN 27-40 Kemungkinan mengalami kesulitan pendengaran


Db (ISO) ringan dalam jarak tertentu. Selain itu juga
mengalami kesulitan dalam beberapa bidang
bahasa.

SEDANG Memahami pembicaraan pada jarak 3-5 kaki

41-55 dB (ISO) (tatap muka). Mereka kehilangan sebanyak 50%


aktivitas diskusi kelas apabila suara tidak
diperjelas atau tidak didukung visual. Mereka
memiliki keterbatasan kosa kata atau
pembicaraan-pembicaraan tertentu.

NYATA Pembicaraan harus diperkeras untuk dapat

56-70 dB (ISO) dipahami. Mereka akan mengalami penignkatan


kesulitan dalam kelompok diskusi, dan
pembicaraannya cenderung kurang sempurna.
Selain itu juga memiliki kelemahan dalam
pemahaman bahasa, serta kosa katanya terbatas.

BERAT Kemungkinan hanya dapat mendengar suara

71-90 dB (ISO) yang diperkeras dalam jarak satu kaki dari


telinga. Namun kemungkinan masih mampu
mengidentifikasi asal suara, serta membedakan
vokal dan beberapa konsonan saja, tidak
semuanya. Pembicaraan dan bahasanya tidak
teratur dan cenderung kacau.

EKSTREM Sudah tidak dapat mendengar meskipun terhadap

91 dB atau lebih suara yang diperkeras, namun masih ada


(ISO) kesadaran adanya getaran atau vibrasi suara.
64

Mereka lebih mengandalkan penglihatannya dari


pada pendengarannya, demikian pula bicara dan
bahasanya cenderung kacau.

3) Perkembangan Emosi
Keterbatasan kecakapan berbahasa mengakibatkan adanya
kesulitan berkomunikasi bagi anak tunarungu, yang pada gilirannya
akan menghambat perkembangan emosi. Emosi berkembang karena
adanya pengalaman berkomunikasi antara anak dengan anak yang
lain, dengan orang tua atau dengan lingkungannya. Selain adanya
kesulitan berkomunikasi, keterbatasan berbahasa, sikap masyarakat,
dan kegagalannya dalam banyak hal menyebabkan emosi anak
tunarungu tidak stabil. Umumnya mereka selalu ragu-ragu, dan segala
perilakunya senantiasa disertai perasaan cemas. Kesempatannya
untuk melihat kejadian, ketidakmampuannya untuk memahami
kejadian secara menyeluruh menyebabkan perkembangan perasaan
curiga terhadap lingkungan dan kurang percaya diri.
4) Perkembangan Kepribadian
Perkembangan kepribadian terjadi pada pergaulan, perluasan
pengalaman yang terfokus pada anak sendiri. Kombinasi antara
faktor-faktor dalam diri anak dengan hambatan pendengaran, seperti
presesi auditori, kemiskinan berbahasa, ketidak stabilan emosi,
kelambatan perkembangan intelektual, dan sikap lingkungan sekitar,
menyebabkan terhambatnya perkembangan kepribadian anak dengan
hambatan pendengaran (Suparno, 2001). Rasa frustasi dan kecewa,
dalam interaksi sosialnya menyebabkan mereka sering putus asa dan
berkembangnya rasa curiga. Seorang anak dengan hambatan
pendengaran berusaha berkomunikasi secara verbal dengan orang lain
dan ditertawakan, atau sering diisolir dari pergaulan masyarakat
umum, menjadikan mereka enggan berkomunikasi, berlatih bicara
dan berinteraksi dengan masyarakat umum.
65

Tindakan–tindakan semacam itu, seringkali mengakibatkan


perasaan bersalah, merasa malu, dan ketakutan yang menetap,
kepribadian anak dengan hambatan pendengaran dapat berkembang
secara wajar apabila ada pengertian dan perhatiaan dari lingkungan
untuk membantunya, terutama yang sangat diharapkan adalah
lingkungan keluarga atauorang tua dirumah.
b. Karakteristik Anak dengan Hambatan Pendengaran
Suparno, (2001) menyatakan bahwa terdapat beberapa
karakteristik yang umumnya dimiliki oleh anak dengan hambatan
pendengaran antara lain adalah sebagai berikut :
1) Segi fisik
a) Cara berjalannya agak kaku dan cenderung membukuk
b) Pernapasanya pendek
c) Gerakan matanya cepat dan beringas
d) Gerakan tangan dan kakinya
2) Segi bahasa
a) Miskin kosa kata
b) Sulit mengartikan ungkapan-ungkapan dan kata-kata yang abstrak
(idiomatik)
c) Sulit memahami kalimat-kalimat yang kompleks atau kalimat
panjang serta bentuk kiasan-kiasan.
d) Kurang menguasai irama dan gaya bahasa.
Dalam bahasa, anak dengan ganggguan pendengaran banyak
mengalami kelemahan. Mereka melihat alam ini sebagai sesuatu yang
bisu, meskipun sebenarnya pada diri anak dengan hambatan
pendengaran ada garis khayal dalam pikiranya, namun mereka tidak
dapat mengungkapkannya. Disebabkan putusnya garis khayal
pendengaran, mereka umumnya hanya dapat mengekpresikan bentuk
dan manfaatnya, dan ini merupakan salah satu keterbatasan berbahasa
bagi anak dengan hambatan pendengaran.
Bahasa isyarat adalah bahasa yang digunakan oleh para
66

penyandang kelemahan pendengaran dan wicara dan tunawicara untuk


berkomunikasi dengan orang lain. Bahasa isyarat di katakan sebagai
bahasa yang tidak menggunakan suara atau pola bunyi untuk
menyatakan sesuatu /berkomunikasi tetapi dengan menggunakan
gerakan tangan, tubuh, dan bibir. Kemampuan menggunakan bahasa
isyarat mutlak di perlukan oleh orang tua dan pendidik dengan peserta
didik berkebutuhan khusus yang memiliki kelemahan pendengaran dan
wicara dan tunanetra. Di dunia ini bahasa isyarat memiliki keragaman
sesuai dengan adat dan budaya masing-masing.
Secara garis besar, ada beberapa bahasa isyarat yang bisa
digunakan (Suparno, 2001), yaitu :
1) American Sign Languange, bahasa isyarat ini dikembangkan di
Amerika Serikat dan banyak di pakai di sana.
2) British Sign Language, bahasa isyarat ini merupakan pengembangan
dari American Sign Language, dan banyak digunakan di negara-
negara Eropa.
3) Indonesia Sign Language, bahasa isyarat ini merupakan gabungan dari
versi bahasa isyarat ASL dan BSL dengan penyempurnaan sesuai
dengan adat dan kebiasaan masyarakat Indonesia. Pada umumnya,
di Indonesia pendidik SLB B menggunakan bahasa isyarat jenis
Indonesia Sign Language yang dituangkan dalam SIBI (Sistem
Isyarat Bahasa Indonesia). Kamus SIBI terdiri dari huruf, angka, dan
penyebutan berbagai benda/objek dengan bahasa isyarat Indonesia.
Bahasa Isyarat memang banyak membantu anak berkebutuhan
khusus terutama bagi mereka dengan hambatan pendengaran dan Tuna
Wicara untuk menyampaikan dan menerima informasi dari orang lain
selain tulisan. Namun, bagi penyandang tunarungu yang masih
dimungkinkan untuk dapat mendengar, biasanya di gunakan alat bantu
dan dilatih agar mampu bercakap-cakap secara verbal seperti
kebanyakan orang lain.
67

B. Kerangka Berpikir
SLB Negeri Surakarta merupakan sekolah milik pemerintah di bawah
naungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang menyelenggakan
pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Sekolah Luar Biasa atau dikenal
istilah SLB adalah sebuah lembaga pendidikan yang khusus diperuntukan bagi
anak berkebutuhan khusus agar mendapatkan layanan pendidikan yang sesuai
dengan kekhususannya. Sistem pendidikan di SLB menganut sistem segregasi
yakni pemisahan anak berkebutuhan khusus dari anak umumnya dalam
memperoleh layanan pendidikan. Penekanan keterampilan hidup kepada anak
berkebutuhan khusus sebagai bekal mereka untuk mandiri adalah kelebihan yang
di miliki SLB dibandingkan sekolah lain untuk ABK. Mata pelajaran program
khusus adalah mata pelajaran yang hanya ada dalam kurikulum di SLB.
Salah satu materi pembelajaran yang dipelajarai oleh peserta didik SLB
Negeri Surakarta adalah berenang gaya dada. Pembelajaran materi ini meliputi
beberapa fase yaitu (1) Fase Start, (2) Fase Posisi Tubuh Saat Meluncur, (3) Fase
Gerak lengan, (4) Fase Gerak Tungkai, (5) Fase Pengambilan Napas (6) Fase
Gerak Koordinasi. Pelaksanaan kegiatan peningkatan hasil belajar di SLB Negeri
Surakarta dilakukan oleh peserta didik dengan keterbatasan pendengaran.
Keterbatasan kemampuan pendengaran yang dimiliki peserta didik ini dapat
mempengaruhi Intelligence Quotient (IQ) sehingga memberikan hasil yang
kurang maksimal terhadap pelatihan peserta didik. Oleh karena itu peneliti
mengajukan kerangka penelitian sebagai berikut :

Intelligence Quotient (IQ) Pembelajaran Renang


Gaya Dada

Kontribusi Intelligence Quotient (IQ) dalam


pembelajaran Renang Gaya Dada

Gambar 10. Bagan Kerangka Berpikir


68

C. Hipotesis
1. Ada hubungan Intelligence Quotient (IQ) dengan keterampilan renang gaya
dada pada peserta didik dengan hambatan pendengaran SLB Negeri Surakarta
tahun 2023
2. Ada kontribusi Intelligence Quotient (IQ) dengan keterampilan renang gaya
dada pada peserta didik dengan hambatan pendengaran SLB Negeri Surakarta
tahun 2023

Anda mungkin juga menyukai