Anda di halaman 1dari 10

Konvensi Hak-hak Perempuan Dalam Sorotan Hukum Islam

Siti Meftahull Jannah, Malikah Nayyirah Al Basith, Shafa Hana Shalihah


11210454000007, 112104540000065, 112104540000084

Abstrak
Ajaran Islam hakikatnya tidak membedakan antara hak perempuan dan laki-laki
dalam kehidupan berumahtangga maupun dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam Al-quran
banyak di temui ayat-ayat tentang penghormatan atas hak perempuan tersebut. Dengan
melakukan penafsiran secara textual dapat dilihat bahwa perempuan juga mempunyai hak
sebagaimana kaum laki laki, kendati pada hal-hal tertentu ada yang tidak sama, hal ini di
sebabkan fungsi dan tugas utama yang di emban kaum laki-laki. Dalam islam perempuan
juga mempunyai hak sebagaimana kaum laki-laki, namun pada hal-hal tertentu ada yang
tidak sama, hal ini disebabkan fungsi dan tugas utama yang diemban kaum laki-laki.
Diantara hak-hak perempuan itu adalah: hak mendapatkan pendidikan, hak mendapatkan
mahar dan nafkah, hak minta cerai apabila telah cukup syarat-syaratnya dan kalau
diteruskan akan menimbulkan kemudharatan, hak dalam bidang kewarisan dan hak materi.
Kata kunci : Perempuan. Hak-hak Perempuan, Perempuan dalam islam

A. PENDAHULUAN
Berbagai literature dijelaskan bagaimana buruknya kedudukan dan hak
perempuan sepanjang peradaban yang ada. Dalam peradaban Yunani misalnya
perempuan tidak di anggap sebagai manusia yang utuh dengan segala hak
kemanusiaannya perempuan bagi mereka tidak lain sebagai benda untuk mengurus
rumah bahkan di persamakan denganbenda yang dapat di perjual belikan atau di
buang begitu saja. Mereka tidak memiliki hak-hak sipil, apalagi hak waris mereka
juga tidak punya hak untuk bicara, jadi peranan perempuan di masa itu hanya sebatas
obyek untuk melampiaskan kebutuhan seksual kaum laki-laki.
Islam hakikatnya adalah agama prinsip yang menjelaskan aturan-aturan baku
yang wajib diikuti oleh penganutnya. Namun dalam ranah kejelasan prinsip yang pasti
terdapat fleksibelitas yang menjadi ruang kreatifitas dalam memandang sesuatu
terutama yang berkait dengan hak-hak perempuan. Katakan saja dalam bidang
pendidikan (menuntut ilmu), perempuan sering mendapatkan porsi kedua untuk
meraih pendidikan dengan alasan budaya bahwa perempuan tidak diizinkan berkiprah
di dunia publik sehingga tidak terlalu mementingkan pendidikan. Demikian pula
dengan paham yang mengatakan bahwa are perempuan hanya berada di seputar
rumah sehingga tidaklah penting baginya untuk mendapatkan pendidikan yang leih
baik dan tinggi.
Tulisan ini bermaksud menyajikan bagaimana Perempuan dipandang dalam
islamserta hak-hak perempuan sehingga stigma sosial budaya yang sering dilekatkan
pada agama dapat direpahami. Perempuan sebagaimana juga laki-laki memiliki
jaminan untuk mendapatkan hak nya.

1
B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Hak-hak Perempuan Dalam Islam
Dalam bahasa Arab lafal “Hak” berasal dari kata : ‫ حقا – يحق – حق‬yang
berarti nyata,pasti dan tetap (A.W.Munawwir,Hal 282). Menurut Mushtafa Az-
Zarqa, hak ialah :
َ ‫س ْل‬
ً ‫طةً أ َ ْو ت َ ْك ِليْفا‬ ُ ُ‫اص يُقَ ِر ُربِ ِه الت َّ ْرك‬
ُ ‫ص‬َ ِ‫إِ ْخت‬
“Suatu fasilitas yang ditetapkan oleh syara‟ sebagai kekuasaan atau beban
hukum.” (DRS. H. Ahmad Wardi Muslich, 2010)
Dalam definisi di atas, dikemukakan bahwa hak itu adalah suatu ikhtisas, yakni
hubungan khusus dengan orang tertentu, seperti hak penjual untuk menerima
harga barang, yang khusus dimilikinya (penjual), atau hak pembeli untuk
menerima barang yang telah dibelinya, yang khusus dimiliki olehnya dan tidak
dimiliki oleh orang lain. Sedangkan Perempuan berasal dari bahasa Arab al-
Mar’ah, jamaknya alnisaa’ sama dengan wanita, perempuan dewasa atau putri
dewasa yaitu lawan jenis pria. Kata an-nisaa’ berarti gender perempuan, sepadan,
dengan kata arab al-Rijal yang berarti gender laki-laki. Padanannya dalam bahasa
Inggris adalah woman (bentuk jamaknya women) lawan dari kata man (Nurjannah
Ismail 2003).Menurut Nugroho disebutkan bahwa: “Perempuan merupakan
manusia yang memiliki alat reproduksi, seperti rahim, dan saluran untuk
melahirkan, mempunyai sel telur, memiliki vagina, dan mempunyai alat untuk
menyusui, yang semuanya secara permanen tidak berubah dan mempunyai
ketentuan biologis atau sering dikatakan sebagai kodrat (ketentuan Tuhan)
(Nugroho 2008).
ِ ‫س ۤا ِء ن‬
ٌ‫َصيْب‬ َ َ ‫َصيْبٌ ِم َّما ا ْكت‬
َ ِ‫سب ُْوا ۗ َو ِللن‬ ٍ ‫ع ٰلى بَ ْع‬
ِ ‫ض ۗ ِل ِلر َجا ِل ن‬ َ ‫ض ُك ْم‬
َ ‫ّٰللاُ بِهٖ بَ ْع‬ َّ َ‫َو ََل تَت َ َمنَّ ْوا َما ف‬
‫ض َل ه‬
‫ع ِل ْي ًما‬
َ ٍ‫ش ْيء‬ َ ‫ّٰللاَ َكانَ ِب ُك ِل‬ ‫سبْنَ َۗوسْـَٔلُوا ه‬
ْ َ‫ّٰللاَ ِم ْن ف‬
‫ض ِلهٖ ۗ ا َِّن ه‬ َ َ ‫ِم َّما ا ْكت‬
( Dan janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang telah dilebihkan Allah
kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain. (Karena) bagi laki-laki ada
bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan (pun) ada bagian
dari apa yang mereka usahakan. Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-
Nya. Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu).
Dari ayat diatas, dapat diketahui bahwa Islam tidak membeda-bedakan
antara laki-laki dan perempuan. Semua memiliki kewajiban yang sama, hanya
saja, dalam proses menjalankannya saja yang sedikit berbeda. Islam sendiri
mengajarkan betapa pentingnya sebuah keadilan. Namun, keadilan yang dimaksud
bukan berarti sama, melainkan adil dalam porsinya masing-masing.
Hak asasi perempuan, adalah hak yang dimiliki oleh seorang perempuan,
baik karena ia seorang manusia maupun sebagai seorang perempuan, dalam
khasanah hukum hak asasi manusia dapat ditemui pengaturannya dalam berbagai
sistem hukum tentang hak asasi manusia Dalam pengertian tersebut dijelaskan
bahwa pengaturan mengenai pengakuan atas hak seorang perempuan terdapat
dalam berbagai sistem hukum tentang hak asasi manusia. System hukum tentang
hak asasi manusia yang dimaksud adalah system hukum hak asasi manusia baik
yang terdapat dalam ranah internasional maupun nasional. Hak asasi Perempuan
merupakan bagian dari Hak asasi manusia.

2
penegakan hak asasi perempuan merupakan bagian dari penegakkan hak
asasi manusia. Sesuai dengan komitmen internasional dalam Deklarasi PBB 1993,
maka perlindungan, pemenuhan dan penghormatan hak asasi perempuan adalah
tanggung jawab semua pihak baik lembaga-lembaga Negara (eksekutif, legislatif,
yudikatif) maupun Partai politik dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Bahkan warga Negara secara perorangan punya tanggung jawab untuk melindungi
dan memenuhi hak asasi perempuan .
2. Hak-hak Perempuan Dalam Piagam Madinah
Tentu seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwasanya sebelum islam
datang perempuan adalah makhluk yang kadang kala mendapat perlakuaan yang
tidak baik, setelah datang islam Allah SWT memerintahkan kepada Nabi
Muhammad SAW agar memuliakan perempuan serta terdapat surah Annisa yang
memiliki arti perempuan/wanita. Piagam Madinah adalah salah satu bentuk
perlindungan hukum yang diberikan terhadap masyarakat Madinah yang sangat
beragam pada saat itu. Para ahli sejarah memandang Piagam Madinah sebagai
sebuah naskah otentik yang dilahirkan oleh peradaban Islam dan tidak diragukan
keasliannya Isi penting dari piagam Madinah adalah upaya membentuk suatu
masyarakat yang harmonis, mengatur umat dan menegakkan sistem pemerintahan
atas dasar persamaan hak.
Negara Madinah merupakan salah satu dari sekian banyak negara yang
memiliki kontitusi secara tertulis, atau yang sering kita dengar dengan piagam
madinah atau konstitusi madinah. Hadirnya piagam Madinah ini tak lepas dari
sejarah perjalanan kepemimpinan Nabi Muhammad SAW serta masyarakat
Madinah pada waktu itu. Madinah pada saat itu merupakan negara kota yang
berhasil dirubah menjadi negara bangsa oleh Rasulullah SAW serta merupakan
tempat yang dihuni bukan hanya kelompok muslim saja, namun di luar muslim
juga menetap di Madinah seperti suku Auz dan Khazraj yang merupakan suku
terkemuka dan juga kuat dari golongan Arab yang berasal dari Arab Selatan.
Selain itu, golongan Yahudi lain juga tinggal di Madina. Terdapat lebih dari 20
suku menetap di Yastrib, yakni Bani Qaynuqa’, Bani Quraydzah Bani Nadir, bani
Tsa’labah dan Bani Hadh merupakan Bani yang terkemuka dari golongan Yahudi
(Nafis, 2003). Kemudian Peraturan Mengenai wanita diatur didalam pasal 41
piagam madinah yang artinya :
Tidak seorang pun tetangga wanita boleh diganggu ketentraman atau
kehormatannya, melainkan setiap kunjungan harus dengan izin suaminya. (Pasal
41 Piagam Madinah).
3. Hak-hak Perempuan Dalam Al-Qur’an dan Hadist
Secara umum tidak ada perbedaan hak antara laki-laki dan perempuan, hal ini
di jelaskan dalam surat An-Nisa’ ayat 32: Artinya: Bagi laki-laki ada hak/ bagian
dari apa yang diusahakannya, dan bagi perempuan ada hak/bagian dari apa yang
diusahakanya. Ayat ini menjelaskan bahwa antara laki-laki dan perempuan tidak
ada bedanya dalam apa yang diusahakannya. Perbedaan yang dijadikan ukuran
untuk meninggikan dan merendahkan derajat mereka hanyalah nilai pengabdian
dan ketaqwaanya kepada Allah (QS. Al-Hujurat:13). Bagi islam perempuan yang
baik adalah perempuan yang menjalankan kehidupan seoptimal mungkin menurut

3
Al- Quran dan Hadits, mampu menjalankan fungsi, hak, dan kewajibanya, baik
sebagai hamba Allah.Dalam hal menyiarkan agama allah atau mrnyampaikan
kebenaran, allah juga tidak melarang perempuan untuk melakukannya. Perempuan
sebagai juru dakwah dijelaskan Al-Quran ayat 104,110: Artinya: “hendaknya ada
diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh
kepada yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar. Mereka itulah orang-orang
yang beruntung. Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,
menyuruh kepada yang ma’rif dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman
kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka.
Diantara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka orang-orang yang
fasik”
Dalam ayat ini Allah tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan,
dengan arti kata bahwa berbuat amar ma’ruf nahi mungkar yang berlandaskan
iman kepada Allah SWT adalah sama-sama menjadi kewajiban bagi semua umat
muslim, tanpa ada kecualinya,sebagaimana sabda rasulullah SAW dalam kitab
shahih. Muslim: Dari Abu Sa’id al-Kudari r.a., dia berkata “saya mendengar
Rasulullah saw bersabda, “Barang siapa diantara kamu melihat kemungkaran
maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangan, jika tidak mampu maka
hendaknya dengan lisanya, dan jika tidak mampu, maka hendaklah dengan
hatinya. Ini merupakan (amalan) iman yang paling lemah” (Diriwayatkan oleh
Imam Muslim).
Dalam ajaran Islam laki-laki dan perempuan adalah kewajiban
menyampaikan kebenaran dan melarang dari kemungkaran hal inilah yang disebut
juru dakwah, lebih-lebih lagi dalam rumah tangga dan masyarakat sekitarnya.
Sebagaimana kita ketahui bahwa Siti Aisyah (Istri Rasulullah SAW) sendiri
banyak meriwayatkan hadits, berarti beliau juga sebagai juru dakwah atau
mubalighah. Sebagaimana diungkapkan Nabi Muhammad SAW: Artinya:
“Ambilah setengah pengetahuan agama kalian dari Al-Huraira” (Aisyah)
Sudah menjadi kewajiban bagi seorang muslim untuk turut menyuarakan hak-hak
perempuan. Hal itu dilandasi adanya teks hadis yang mewajibkan manusia untuk
berbuat baik kepada wanita(Daar Ibn Katsir, 1993).
4. Hak-hak Perempuan Dalam Deklarasi Kairo
Deklarasi Medinah menjadi dasar untuk dua Deklarasi Hak Asasi Manusia
dalam Islam selanjutnya. Deklarasi Universal HAM dalam Islam tahun 1981
dibuat seolah-olah sebagai saingan Deklarasi Universal HAM dari PBB tahun
1948. Deklarasi ini kurang begitu diminati para intelektual Indonesia, dan
Deklarasi itu sekarang sudah diatasi oleh Deklarasi Kairo. Maka Deklarasi Kairo
ini sangat mendesak untuk dikenal, didalami, disosialisasikan, dipromosikan dan
diimplementasikan dalam kehidupan nyata. Deklarasi Kairo haruslah dikenal
dengan baik oleh seluruh umat Islam apalagi dalam Deklarasi Cairo membahas
tentang semua hal seperti konflik bersenjata, keluarga, hak kerja, dan membahas
juga tentang hak perempuan yang dimana perempuan ini dijunjung tinggi juga
dalam Hak Asasi Manusia. Tidak ada peranan tanpa kedudukan dan tidak ada
kedudukan tanpa peranan yang memberikan hak dan kewajiban kepada orang
yang bersangkutan. Untuk menentukan hak dan kewajiban seorang perempuan,

4
terlebih dahulu harus dikaji kedudukannya (Mohammad Daud Ali dan Habibah
Daud,1995).
Maka dari itu Deklarasi cairo harus dipromosikan dan diperjuangkan untuk
implementasinya. Islam merupakan satu-satunya agama di dunia ini, yang
mempunyai dokumen mengenai HAM. Dan sudah saatnya, dokumen ini menjadi
fokus penting dan adanya gerakan untuk memperkenalkannya. Deklarasi Cairo
menjadi dokumen penting bukan hanya itu saja, tetapi harus mampu untuk
menumbuhkan budaya baru, yakni membangun budaya HAM dalam Islam.
Pengaturan Hak Asasi Manusia terhadap perempuan diatur dalam Deklarasi Cairo
1990 yaitu Pasal 6, yang berbunyi:

6 ‫المادة‬
،‫ ول ا من الحق مثل ما عل ا من الواجبات‬،‫ المراة مساو ة للرجل في الكرامة اإلنسان ة‬-‫ا‬
‫ول ا شخص ت ا المدن ة‬
‫وذمت ا المال ة المستقلة وحق اَلحتفاظ باسم ا ونسب ا‬
‫على الرجل عبء اإلنفاق على األسرة ومسؤول ة رعا ت ا‬. ‫ب‬-
Pasal 6
(A) Perempuan sama dengan laki-laki dalam martabat manusia, dan ia memiliki
hak sendiri sebagaimana ia memiliki kewajiban, dan ia memiliki entitas sipil dan
kebebasan finansialnya sendiri, serta hak untuk mempertahankan nama dan
keturunannya.
(B) Suami bertanggung jawab atas pemeliharaan dan kesejahteraan keluarga.
Dapat disimpulkan dari Deklarasi Cairo Pasal 6 ini, (A) walaupun perempuan
dan laki-laki dipandang sama dalam martabat manusia akan tetapi keduanya
memperhatikan kondisi masing-masing. Menurut Quraish Shihab dalam buku
karangan miliknya, Tabiat kemanusiaan antara laki-laki dengan perempuan hampir
dapat (dikatakan) sama, Allah telah menganugerahkan kepada perempuan
sebagaimana dianugerahkan kepada laki-laki, kepada merka berdua
dianugerahkan Tuhan potensi dan kemampuan yang cukup untuk memikul
tanggungjawab dan yang menjadikan kedua jenis kelamin ini dapa! melaksanakan
aktivitas-aktivitas yang bersifat umum maupun khusus. Karena i!u hukum-hukum
syari'at melelakkan keduanya dalam satu kerangka; yang ini (laki-Iaki) dapat
menjual, membeli, mengawinkan dan kawin. melanggar dan dihukum, menuntut
dan menyaksikan. dan yang itu (perempuan) juga demikian, dapat menjual dan
membeli. mengawinkan dan kawin, melanggar dan dihukum serta menuntut dan
menyaksikan. (Muhammad Quraish Shihab,1995) (B) Walaupun suami dan isteri
mempunyai kedudukan yang seimbang, menurut kodrat dan fttrahnya masing-
masing dan menjaga serta memelihara keseimbangan itu agar pergaulan hidup
dalam keluarga berkembang dengan baik, bahagia, saling mencintai dan sayang
menyayangi (Mohammad Daud Ali dan Habibah Daud,1998) Akan tetapi peran
suami dalam memilihara rumah tangga sangat besar hal tersebut agar menjadi
rumah tangga yang sejahtera.
5. Hak-hak Perempuan Dalam Maqoshid Syariah

5
Tujuan dari syari’at Islam (‫ )مقاصدالرشيعة‬adalah mendatangkan mashlahat
dan menghindarkan bahaya.maqâshidusy-Syarî’ah (maksud-maksud dan tujuan
syari’ah) mempunyai tujuan yang agung. Adapun tujuan pokok risalah Nabi
Muhammad saw adalah untuk kemaslahatan manusia.Di masa jahiliyah
perempuan diyakini sebagai pembawa sial, maka Islam datang mengangkat derajat
perempuan setinggi-tingginya. Teks sebuah hadis yang sangat terkenal, “al-
jannatu tahta aqdamil ummahat” telah mampu membukakan mata dan hati setiap
orang bahwa sumber kebahagiaan adalah perempuan yang shalihah, bahwa
sesungguhnya surga itu di bawah telapak kaki kaum ibu. Para ulama merumuskan
hak-hak asasi manusia yang wajib dilindungi tanpa melihatjenis kelaminnya, yaitu
“al-ushul al-khams” lima hak asasi yang harus dilindungi untuk menciptakan
kemaslahatan hidup antar manusia dan menegakkan keadilan.
Tegaknya suatu bangsa terletak pada kaum perempuan, dalam hal ini yaitu
Ibu. Karena ibu adalah sebagai pendidik pertama (al-madrasah al-Ula) dari putra-
putrinya. Dari generasi yang berkualitas, berakhlak mulia, dan berpendidikan
maka akan lahir sebuah bangsa yang maju sebagaimana disebut dalam salah satu
riwayat yang sangat populer:
“Wanita adalah tiang negara, apabila wanitanya baik, maka negara menjadi
baik. Apabila wanitanya rusak, maka negara akan rusak”
6. Hak-hak Perempuan Menurut Pandangan Ulama dan Fatwa
Beribu tahun sebelum Islam, perempuan dipandang tidak memiliki
kemanusiaan yang utuh, dan oleh karenanya tidak bersuara, berkarya, dan
berharta. Kemudian setelah Islam datang, agama ini secara bertahap mengangkat
kaum perempuan, sehingga mereka berhak menyuarakan keyakinan, berhak
mengaktualisasikan karya, dan berhak memiliki harta yang memungkinkan
mereka diakui sebagai warga masyarakat. Islam adalah agama yang abadi,
penutup semua agama. Karakterisitik Islam di antaranya adalah menyeluruh dan
moderat. Islam memberikan hak kepada setiap orang yang berhak menerimanya.
Perempuan tidak mendapat perlindungan sejak masa kecil sampai mati melainkan
dalam naungan agama Islam. Perempuan memiliki kebebasan secara penuh
terhadap hak kepemilikan dengan segala cara yang dibolehkan dan memiliki hak
secara penuh delam mengungkapkan pendapat ketika diminta menyampaikan
pendapat. Perempuan juga berhak untuk menuntut haknya jika merasa dilanggar.
Secara keseluruhan, Islam telah menjamin hidup mulia dan tenang bagi laki-laki
dan perempuan tanpa ada perbedaan antara keduanya. Masing-masing mereka
saling melengkapi. Hanya saja laki-laki lebih tinggi satu tingkatan di atas
perempuan, yaitu tingkatan kepemimpinan yang harus diemban untuk
mensukseskan kehendak mereka berdua. Semua itu tidak merendahkan hak
perempuan dan mengurangi kemuliaannya, bahkan mengangkat kedudukannya
dan menempatkannya di tempat yang layak.
Fikih berasal dari akar kata fa, qaf, dan ha yang berarti paham atau
pengetahuan tentang sesuatu. Kemudian secara istilah Abu Zahrah mendefinisikan
bahwa fikih adalah ilmu tentang hukum-hukum syariat yang bersifat amaliyah,
yang diambil dari dalil-dalilnya yang terperinci. Dalam memahami suatu obyek
hukum, hasil pemahaman fikih yang dihasilkan oleh seorang mujtahid terkadang

6
bertentangan dengan dan atau berbeda dengan pemahaman fikih yang diperoleh
mujtahid lainnya (Muhammad: 2014). KH. Husein Muhammad sebagai seorang
ahli fikih menegaskan bahwa fikih adalah rumusan (karya) pikiran cerdas yang
menjadi jawaban (respon) terhadap masalah-masalah yang berkembang.
Betapapun demikian, fikih tidak dapat diposisikan sebagaimana adanya Al-Qur’an
dan as-Sunnah. Jika Al-Qur’an dan as-Sunnah sudah final maka fikih senantiasa
berkembang dan berdinamika (Samsul: 2013). Hamkah Haq, memandang bahwa
fikih dengan syariat sungguh berbeda. Syariat dalam arti nash-nash yang
mengandung hukum adalah berasal dari Allah, sedangkan fikih sebagai upaya
memahami hukum berasal dari mujtahid. Jika syariat bersifat mutlak dan universal
berlaku untuk segala zaman dan tempat, maka fikih sebagai pemahaman dan
penafsiran dari syariat tentunya bersifat relatif, karena lahir dari ijtihad ulama
sesuai dengan potensinya serta konteks dan kondisi zaman dan lingkungannya
(Muhammad: 2014). Fikih Islam memandang bahwa setiap orang dalam
beraktivitas menghindarkan pembedaan jenis kelamin dan suku bangsanya.
Pemahaman fikih seperti ini, kelihatannya sejalan dengan UU HAM dalam
konteks keindonesiaan yang di dalamnya terdapat aturan khusus tentang hak kaum
perempuan. Secara umum, UU HAM tersebut telah mencerminkan fiqh yang
relevan dengan era kekininan. Fikih Islam telah memberikan gambaran terperinci
tentang hak-hak wanita di seluruh sisi kehidupannya, baik hak umum maupun
khusus. Hak-hak yang banyak dibahas dalam fikih Islam adalah hak-hak yang
terkait dengan hukum, karena memang di sinilah ranah fikih Islam. (Sarbini: 613-
625) Hak-hak wanita yang banyak dibahas dalam fikih Islam antara lain: 1. Hak
sholat berjamaah; 2. Hak menentukan pilihan pendamping; 3. Hak mahar; 4. Hak
nafkah; 5. Hak waris; 6. Hak jual beli atau bisnis; 7. Hak baiat. Semua hak ini
menggambarkan semua bab dalam masalah hukum yang melekat dalam
kehidupan wanita, baik di bidang publik, bidan ibadah maupun di bidang rumah
tangga dan keuangan. Salah satu contoh masalah yang seringkali menjadi sorotan
terhadap kaum perempuan di era kekinian, adalah masalah hak kepemipinan
mereka di tengah-tengah masyarakat. Di dalam Alquran dan hadis memang ada
dalil yang dipahami sebagai ajaran bahwa kaum laki-laki itu pemimpin kaum
perempuan. Tetapi hal ini menjadi kontroversial, sehingga memerlukan konsep
fikih yang lebih sesuai dengan kondisi berkembang di era kekinian. Pemahaman
fikih klasik ini menjadi kontra dengan pemahaman fikih di masa kini, sebab
perempuan di berbagai negara banyak yang tampil sebagai pemimpin.
Produk ijtihad para ulama tentu berkaitan erat dengan warna atau
kecondongan manhaj yang dianutnya. Pada ranah fikih perempuan komtemporer,
ada ulama yang cenderung sangat tekstual, ketat, dan sangat berhati-hati dalam
menetapkan hukum. Sebaliknya, ada pula yang memilih bersikap moderat dengan
mempertimbangkan perubahan kondisi dan zaman. (Mayyadah: 2021) Faridah
Haid juga mengemukakan tiga corak dalam fatwa-fatwa fikih wanita dengan
manhaj yang tidak berbeda dari apa yang diungkapkan oleh Musfir al-Qahthani.
Tiga aliran tersebut adalah mazhab al-tasyaddud atau al-ifrāṭī, mazhab al-tafrīṭ wa
al-taḥallul, serta mazhab al-wasṭ wa al-i’tidāl. Di antara karakteristik manhaj al-
tasyaddud adalah adanya klaim ijtihad mereka dengan alasan bahwa seseorang

7
tidak boleh bertaklid. Kelompok ini berpendapat bahwa taklid adalah bid’ah
dalam agama dan bukan bagian dari manhaj salaf. Ciri lain kelompok ini adalah
sangat kuat berpegang pada teks dan fanatik terhadap makna literal teks tanpa
memahami kaidah-kaidah pemaknaan teks tersebut. Di antara contoh fatwa wanita
bermanhaj tasyaddud ini adalah fatwa yang mengharamkan segala bentuk
aktivitas perempuan di luar rumahnya sehingga menyebabkan kesempitan dalam
kehidupan manusia. Kebalikan dari manhaj tasyaddud adalah manhaj al-tafrīṭ wa
al-taḥallul. Ulama yang bermanhaj ini memiliki karakteristik berlebih-lebihan
dalam‘amal bi al-maṣlaḥāt sehingga seringkali mereka mendahulukan maslahat
meski pada kasus yang bertentangan dengan nas atau konsensus ulama (ijmak).
Kelompok ini juga tak jarang mendahulukan hawa nafsu dalam berfatwa, dengan
memberikan rukhṣah tidak pada tempatnya dan menggunakan satu dalil, tanpa
melihat dalil lainnya. Beberapa produk fatwa hukum wanita manhaj ini yaitu
larangan laki-laki berpoligami, hak waris yang sama bagi perempuan, dan
bolehnya wanita membuka aurat. Selanjutnya Manhaj yang terakhir adalah al-
wasaṭiyyah wa al-i’tidāl. Al-wasaṭiyyah adalah sebuah cara atau pendekatan yang
dapat diterima baik oleh syariat maupun akal karena mendahulukan dalil-dalil
yang tetap dari syariat, dengan memperhatikan perkembangan zaman. Kelompok
manhaj ini adalah mereka yang senantiasa mempertimbangkan tradisi-tradisi
masyarakat umum, yang dibangun di atas kemaslahatan yang tidak bertentangan
dengan spirit nash. Mereka bukan hanya memperhatikan nash dari segi teks, tetapi
juga konteksnya, tanpa bersikap keras atau terlalu longgar. Mereka juga tidak
mengabaikan perbedaan pendapat para ulama dan tidak fanatik kepada satu
pendapat tertentu. Di antara contoh hukum fikih wanita yang bermanhaj
wasaṭiyyah yaitu sebagaimana yang difatwakan oleh sekelompok ulama
kontemporer tentang kebolehan bagi wanita mengemudi kendaraan. Diantara
ulama yang tergolong moderat dalam menerbitkan fatwa-fatwa seputar fikih
perempuan kontemporer yaitu Syekh Yusuf al-Qaradawi, Syekh Wahbah al-
Zuhaili, dan Syekh ‘Ali Jum’ah.
(Achmad: 2022) Pembatasan terhadap hak perempuan tidak jarang berasal
pula dari fatwa yang dikeluarkan oleh ulama. Fatwa yang dikeluarkan ulama patut
dilihat sebagai bentuk ijtihad dalam rangka menjawab permasalahan yang
berkaitan dengan hukum Islam. Karena itu sifat dari fatwa tersebut tidak mengikat
atau hanya sebagai petunjuk yang dapat dijadikan rujukan oleh setiap umat ketika
berhadapan dengan persoalan-persoalan hukum keagamaan (Islam). Meskipun
begitu tidak jarang fatwa ulama bisa pula dijadikan landasan untuk memperkuat
argumentasi hukum yang berasal dari UU negara, seperti dalam kasus penistiaan
agama yang pernah terjadi di negeri, di mana Fatwa MUI dijadikan rujukan dalam
memberikan hukuman kepada pelaku. Berkaitan dengan hak perempuan bekerja di
wilayah publik, MUI memiliki Fatwa tersendiri, yaitu Fatwa tentang Pengiriman
Tenaga Kerja Wanita Ke Luar Negeri. Fatwa ini masuk dalam kategori serupa
dengan hak perempuan bekerja di luar rumah. Dari dua kategori fatwa yang
dikeluarkan oleh MUI, terlihat bahwa kebolehan perempuan bekerja di wilayah
publik dibolehkan bila ditemani oleh mahramnya, namun menjadi haram bila
tidak disertai mahramnya kecuali dalam kondisi darurat. Tetapi yang patut

8
diperhatikan adalah, fatwa-fatwa tersebut dapat menjadi acuan bagi umat Islam
dalam sandaran hukum. Sehingga, ketika umat Islam hendak memutuskan
masalah berkaitan tentang hal-hal tersebut dapat merujuk pada fatwafatwa para
ulama yang menyampaikannya.

C. SIMPULAN
Sesungguhnya Islam itu sangat universal berlaku untuk segala zaman, dan
Islam juga tidak pernah memandang perbedaan antara laki-laki dan perempuan.
Perempuan merupakan makhluk yang mulia. Di dalam Islam sendiri, Islam tidak
pernah membeda-bedakan antara perempuan dan laki-laki. Mereka memiliki derajat
yang sama serta hak dan kewajiban masing-masing. Seorang laki-laki layaknya
seorang perempuan juga sama memiliki hukum dan batasan-batasan dalam
menjalankan sesuatu. Pada dasarnya konsep HAM itu sudah ada dalam tubuh islam
sendiri yang dimana dalam sejarah kehidupan dan perjalanan Nabi Muhammad SAW,
belia pun telah mengajarkan kita bahwa tidak ada perbedaan posisi kaum laki-laki dan
perempuan, tidak ada diskriminasi satu sama lain dan terlebih lagi dalam konteks
sekarang sejak munculnya konsep HAM pada tahun 1947-1948 yang mengusung
equality antara laki-laki dan perempuan dimata hukum dan tidak ada diskriminasi
antara satu sama lain.

D. DAFTAR REFERENSI
Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughiroh Al-Bukhari,
Shahih Bukhari (Daar Ibn Katsir, 1993), No. 4787; Abu Al-Husain Muslim bin Al-
Hajjaj bin Muslim Al-Qusyairi An-Nisabury, Shahih Muslim (Beirut: Daar al-Kutub
al-Ilmiyah, 1992), No: 2671; Ibn Majah Abu Abdullah Muhammad bin Yazid Al-
Quzwainiy, Sunan Ibn Majah (Daar Ihya’ al-Turats al-Arabiy, t.t.), No: 1841.

A.W.Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Pustaka


Progressif, Surabaya, hlm.282.

DRS. H. Ahmad Wardi Muslich,Fiqh Muamalat, AMZAH, Jakarta, 2010, Hlm.21.


Jufri, Muhammad (2014). Fiqh Perempuan (Analisis Gender dalam Fiqh Islam
Konteks keindonesiaan), Jurnal Al-Maiyyah, Vol. 7, No. 1, 2014.

Mayyadah (2021). Perbedaan Manhaj Ulama dalam Fikih Perempuan Kontemporer


dan Realitasnya di Indonesia, Jurnal Kajian Hukum Islam, Vol. 15, No. 2, 2021.

Mohammad Daud Ali dan Habibah Daud, "Lembaga-Iembaga Islam di Indonesia",


(Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1995), hal. 195-196.

Mohammad Daud Ali dan Habibah Daud, "Pendidikan Agama Islam", (Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 1998), hal. 61.

9
Muhammad Quraish Shihab, "Konsep Wanita Menurut Qur'an, Hadits dan Sumber-
sumber Islam", dalam Lies M. Marcoes-Natsir dan Hendrik, "Wanita Islam Indonesia
dalam Kajian Tekstual dan Kontektual", (Jakarta: INIS, 1993), hal. 4.

NAFIS, M. C. (2003). Piagam Madinah Dan Deklarasi Ham Studi Historis Dan
Konseptual Atas Nilai-Nilai Pluralisme Beragama. 1–154.

Nugroho, Gender dan Strategi Pengarusutamaannya di Indonesia. (Yogyakarta:


Pustaka Pelajar, 2008).

Nurjannah Ismail, Perempuan Dalam Pasungan: Bias Laki-Laki Dalam Penafsiran,


(Yogyakarta: LkiS, 2003).

Saeful, Achmad (2022). Hak-Hak Perempuan dan Anak dalam Kisaran Fatwa Ulama:
Telaah atas Hak Perempuan dalam Bekerja, menjadi Pemimpin dan Hak Anak di luar
Nikah, Jurnal Al-Fikrah, Vol. 2, No. 2, 2022.

Sarbini, Muhammad. Hak-Hak Wanita dalam Fiqih Islam, Jurnal Hukum Islam dan
Pranata Sosial Islam.

Zakaria, Samsul (2013). Kepemimpinan Perempuan dalam Perspektif Hukum Islam


(Studi Komparatif antara Pemikiran KH. Husein Muhammad dan Prof. Siti Musdah
Mulia), Jurnal Khazanah, Vol. 6, No. 1, 2013.

10

Anda mungkin juga menyukai