Anda di halaman 1dari 11

BAB V

PEMBAHASAN

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui peranan dari faktor-faktor risiko


stroke dan mencari faktor risiko yang paling dominan untuk menyebabkan stroke
iskemik. Hasil penelitian ini menunjukkan hubungan yang kuat untuk obesitas,
penyakit jantung, riwayat stroke, merokok, hipertensi, hiperkolesterolemia, dan
hipertrigliserida. Faktor usia dan jenis kelamin digunakan sebagai matching untuk
mengurangi bias dalam penelitian.
Pada penelitian ini dilaporkan bahwa mayoritas pasien stroke iskemik berusia
 45 tahun (91,9%). Penelitian Gao et al, tahun 2022 yang melibatkan 343 pasien
melaporkan rerata usia pasien stroke iskemik mayoritas > 45 tahun dengan rerata
usia 56,3 ± 9,6 tahun.34. Pertambahan usia berkaitan erat dengan kekakuan
pembuluh darah. Seiring dengan bertambahnya usia, jumlah elastin pada
pembuluh darah berkurang. Pembuluh darah dengan serabut elastin yang sedikit
akan kehilangan fungsinya dalam menahan beban dan kemudian mengalihkannya
pada serabut kolagen yang lebih kaku sehingga kekakuan pembuluh darah
meningkat secara drastis. Selain itu, pada pembuluh darah yang menua akan
terjadi perubahan komposisi protein dalam matriks ekstraseluler yang akan
menyebabkan terjadinya disfungsi endotel dan dimulainya proses aterosklerosis.7
Wang dalam penelitiannya mengemukakan bahwa laki-laki memiliki tingkat
risiko yang tinggi mengalami kejadian stroke sebesar 1,20 kali dibandingkan
dengan wanita. Jumlah pasien laki-laki yang menderita stroke lebih banyak
daripada perempuan, dengan frekuensi umur tersering >60 tahun. Estrogen diduga
berperan dalam mencegah proses atherosclerosis. Oleh sebab itu, perempuan pada
masa pramenopause memiliki proteksi terhadap berbagai penyakit vascular,
termasuk stroke, yang timbul akibat sumbatan pembuluh darah oleh plak
atherosklerotik. Pada masa pramenopause, perempuan memiliki risiko lebih kecil
untuk terkena stroke dibandingkan dengan laki-laki. Akan tetapi pada masa
postmenopause produksi estrogen akan menurun sehingga efek proteksinya juga
menurun.8 Didukung penelitian dari Vyas, pada usia >85 tahun, yang menyatakan

69
70

bahwa perempuan mempunyai insiden stroke yang lebih tinggi dibandingkan laki-
laki.35 Namun, dikarenakan dalam penelitian ini faktor usia dan jenis kelamin
dijadikan kriteria matching, sehingga tidak bisa dilakukan analisisnya.
Aktivitas fisik didefinisikan sebagai gerakan tubuh yang dihasilkan oleh
kontraksi otot rangka yang mengeluarkan energi. Ada beberapa cara aktivitas fisik
dapat mengurangi risiko stroke. Aktivitas fisik dapat menurunkan tekanan darah
dengan cara meningkatkan fungsi sel endotel, yang meningkatkan fungsi
vasomotor di pembuluh darah. Selain itu, aktivitas fisik dapat memainkan peran
antitrombotik dengan mengurangi viskositas darah, kadar fibrinogen, dan agregasi
trombosit dan dengan meningkatkan fibrinolisis, yang semuanya dapat
mengurangi gangguan pada pembuluh darah jantung dan otak. Aktivitas fisik
memiliki efek yang memperbaiki kadar lipid plasma dengan cara meningkatkan
kemampuan jaringan otot untuk mengambil dan mengoksidasi asam lemak yang
tidak terhidrolisis dan meningkatkan aktivitas lipoprotein lipase dalam otot.
Ditambah, dengan meningkatkan aktvitas fisik, maka akan menurunkan berat
badan yang bermanfaat dengan menurunkan tekanan darah, penanda inflamasi,
kolesterol LDL dan kadar trigliserida, dengan meningkatkan kadar kolesterol
HDL. Serta aktivitas fisik yang tinggi dapat meningkatkan sensitivitas insulin di
sel dan penurunan HbA1c yang berperan penting pada penyakit diabetes melitus.
36
Hasil yang berbeda didapatkan pada penelitian ini, aktivitas fisik yang tidak
aktif merupakan faktor protektif untuk terjadinya stroke iskemik, dengan
persentase pasien yang beraktivitas tidak aktif 61,3% pada kelompok kasus dan
persentase lebih besar pada pada kelompok kontrol, yakni 80,6%. Hal ini
menyebabkan kurangnya akivitas fisik terlihat seperti faktor protektif.
Dari hasil sebuah meta-analisis menunjukkan bahwa individu yang aktif
memiliki risiko 27% lebih rendah terkena stroke atau kematian (RR = 0,73)
daripada individu yang kurang aktif.37 Namun, ada penelitian yang menunjukkan
hasil yang tidak signifikan. Dalam penelitian ARIC (The atherosclerosis Risk in
Communities Study), di antara 14.575 orang yang diikuti selama rata-rata 7,2
tahun, melaporkan tidak ada penurunan risiko stroke yang signifikan sebagai
38
akibat dari aktivitas fisik. Dalam penelitian lain oleh Harmsen dkk, sebuah
kelompok yang terdiri dari 7.495 pria dari sampel populasi umum yang terdiri dari

70
71

9.998 pria berusia 47-55 tahun yang diamati selama sekitar 12 tahun, menemukan
aktivitas fisik di waktu senggang, serta indeks massa tubuh, penyalahgunaan
alkohol, dan jenis pekerjaan yang tergolong rendah tidak ditemukan sebagai faktor
risiko stroke.39 Selain itu, dalam studi case control oleh Elekjaer dkk., penulis
tidak mengidentifikasi faktor gaya hidup apa pun, termasuk aktivitas fisik, yang
memiliki dampak signifikan terhadap risiko stroke iskemik, kecuali merokok. 40
Adanya perbedaan dalam hasil ini disebabkan definisi dari aktivitas rendah,
sedang, dan tinggi sangat bervariasi di antara penelitian yang satu dan lainnya,
sehingga sulit untuk menentukan secara spesifik tentang jumlah dan jenis aktivitas
fisik yang diperlukan untuk mencegah stroke. Dalam sebuah meta analisis
International journal of Stroke tahun 2021, menyebutkan bahwa klasifikasi dari
aktivitas fisik sampai saat ini masih bervariasi, bahkan dalam 1 penelitian kohort
sekalipun.41 Pada penelitian ini, klasifikasi untuk jenis aktivitas dibagi
berdasarkan Kemenkes Republik Indonesia. Tentunya hal ini akan sedikit berbeda
dengan penelitian diluar.
Penyebab lainnya adalah adanya kemungkinan recall bias saat pengumpulan
data, baik pada kelompok kasus maupun kelompok kontrol, dimana peneliti
mengumpulkan data melalui pengisian kuesioner yang sangat mengandalkan
ingatan dari pasien. Namun hal ini bukannya tanpa alasan, sebagian besar
penelitian bersifat retrospektif dan desain kasus-kontrol dan mengandalkan
laporan fisik menggunakan kuesioner untuk mengingat aktivitas pra-stroke.
Kuesioner dipilih karena relatif murah, nyaman untuk dikelola, dan ideal untuk
pengaturan klinis. Jenis penelitian kohort prospektif memiliki kapasitas untuk
memasukkan pengukuran objektif dari aktivitas fisik, dengan menggunakan
akselerometer dan pedometer, untuk untuk mengurangi risiko bias dan
meningkatkan akurasi pengukuran aktivitas fisik. Namun, desain kohort
prospektif adalah sering kali mahal dan memakan waktu karena masa tindak lanjut
yang lama yang panjang dan sampel yang besar yang diperlukan untuk kejadian
penyakit. Oleh karena itu, hanya sedikit studi kohort prospektif yang telah
dilakukan, termasuk penilitian kohort Physician’s Health Study dan Women’s
Health Initiative cohorts, dan sayangnya tidak ada dari penelitian tersebut yang
menyertakan ukuran objektif dari aktivitas fisik.42

71
72

Lalu, kelompok kontrol yang dipilih pada penelitian ini diambil dari pasien
yang di rawat inap di RSMH bagian penyakit dalam yang sedari awal memang
memiliki berbagai komorbid lain seperti penyakit diabetes melitus, penyakit
jantung, dan penyakit kronis lainnya. Stephanie dkk, dalam penelitiannya pada
tahun 2021, melaporkan orang yang obesitas dan diabetes memiliki prevalensi
ketidakaktifan fisik yang lebih tinggi daripada mereka yang tidak mengalami
obesitas dan diabetes.43 Secara global, ketidakaktifan fisik dilaporkan sebagai
dilaporkan lazim di banyak negara.1 Sebagai contoh, prevalensi ketidakaktifan
fisik adalah 79%, 56,2%, 43,7% dan 43,3% di Arab Saudi, Cina, Malaysia, dan
Nepal, secara berurutan. Prevalensi yang tinggi dari ketidakaktifan fisik juga telah
dilaporkan di negara-negara Afrika dengan 60,5%, 53,2%, dan 31,4% di Afrika
Selatan, Mali, dan Nigeria. Transisi gaya hidup yang dihubungkan dengan
urbanisasi yang cepat, pola makan yang tidak sehat, dan perubahan dalam pola
kerja telah berkontribusi pada kurangnya aktivitas fisik terutama di kalangan
orang dewasa di negara berkembang.44 Hal ini sejalan dengan hasil penelitian ini,
dimana jumlah sampel yang mengalami diabetes melitus pada kelompok kontrol
lebih banyak dibandingkan dengan kelompok kasus.
Selanjutnya Stephanie dkk juga melaporkan hasil analisis regresi logistiknya
bahwa faktor usia lanjut, tingkat pendidikan yang rendah, dan pendapatan rumah
tangga yang rendah juga merupakan faktor risiko ketidakaktifan fisik. Pengaruh
pengangguran (tidak bekerja) juga mengindikasikan probabilitas yang lebih tinggi
untuk tidak aktif secara fisik. Seirama dengan jenis pekerjaan dari kelompok
kontrol penelitian ini, dimana didapatkan 24 orang bekerja sebagai ibu rumah
tangga dan 11 orang tidak bekerja.43
Pada penelitian ini didapatkan merokok merupakan faktor risiko kejadian
stroke iskemik dimana pasien yang merokok secara signifikan berisiko 2,72 kali
untuk menderita stroke iskemik dibandingkan pasien yang tidak merokok.
Merokok meningkatkan risiko kejadian kardiovaskular melalui dua efek utama
yaitu efek aterosklerotik dan protrombotik. Merokok mengganggu proses
vasodilatasi dan menginduksi peradangan yang akhirnya menyebabkan
aterosklerosis. Efek protrombotik dari merokok dimediasi oleh disfungsi
trombosit dan perubahan faktor antitrombotik dan protrombotik. Hasil ini sejalan

72
73

dengan penelitian Markidan et al., tahun 2018 yang melibatkan sampel yang
terdiri dari 615 kasus dan 530 kontrol, didapatkan hubungan yang signifikan
antara merokok dan stroke iskemik dengan rasio odds pada kelompok merokok
dibandingkan dengan kelompok yang tidak pernah merokok adalah 1,88. Lebih
jauh lagi, ketika kelompok merokok dikelompokkan berdasarkan jumlah batang
rokok yang dihisap, terdapat hubungan dosis-respons untuk rasio odds, berkisar
antara 1,46 untuk mereka yang merokok <11 batang rokok per hari hingga 5,66
untuk mereka yang merokok lebih dari 40 batang rokok per hari. 45 Penelitian lain
yang dilakukan Falkstedt et al., tahun 2017 melaporkan kejadian stroke sebelum
usia 45 tahun >6 kali lebih tinggi pada laki-laki yang merokok >20 batang per hari
dibandingkan laki-laki yang tidak merokok berdasarkan model multivariabel,
kebiasaan merokok berhubungan erat dengan stroke sebelum usia 45 tahun. 46
Lebih lanjut Masita menjelaskan dalam penelitiannya pada tahun 2016, dari
analisis bivariat didapatkan bahwa lama merokok berkorelasi kuat dengan derajat
stenosis intrakranial pada stroke prone person (p value 0,000 dan koefisien
korelasi 0,689).47 Stroke prone person adalah pasien yang telah didiagnosis satu
atau lebih dari hipertensi, diabetes melitus, dislipidemia, dan penyakit jantung.
Namun hal ini, berbeda dengan penelitian oleh Rini (2019) dimana faktor risiko
merokok tidak berhubungan dengan stenosis intrakranial pada (p value 0,583 dan
OR : 0,758).48
Obesitas adalah kelebihan sel adiposa yang berkorelasi dengan kelebihan
berat badan. Indeks massa tubuh (BMI) adalah ukuran obesitas yang mudah
diperoleh yang mewakili kelebihan berat badan, dan menunjukkan hubungan yang
kuat dengan kematian dan prognosis kardiovaskular. Goodarz Danaei
menjelaskan pada obesitas, terdapat peningkatan ukuran sel lemak (sel adiposa),
tetapi sel ini sedikit mengandung reseptor insulin. Akibatnya sel kurang bereaksi
terhadap pengaruh insulin yang berguna dalam pengaturan metabolisme karbohidrat
dan lemak. Peningkatan penguraian lemak menyebabkan banyaknya asam lemak
dalam darah. Asam lemak bebas ini selanjutnya diangkut ke hati dan bersama
kolesterol akan dibuat menjadi bentuk lipoprotein VLDL. Hal tersebut berakibat
kolesterol dan trigliserida dalam darah juga meningkat. Selain itu, sel adiposa juga
memproduksi sitokin inflamasi yang nantinya akan menyebabkan stroke.29
Pada penelitian ini didapatkan hasil mayoritas pasien stroke iskemik memiliki

73
74

obesitas (71%) dan merupakan faktor risiko yang paling berperan terhadap
kejadian stroke iskemik dimana pasien obesitas berisiko 6,5 kali untuk menderita
stroke iskemik dibandingkan pasien yang tidak obesitas. Hasil ini sejalan dengan
penelitian Mitchell et al., tahun 2015 yang melaporkan bahwa dalam analisis
dimana faktor usia, jenis kelamin, dan etnis telah disesuaikan, faktor obesitas
(BMI > 30 kg/m2) dikaitkan dengan peningkatan risiko stroke (rasio odds, 1,57,
95% C.I. = 1,28–1,94).49 Selain itu, penelitian Aigner et al., tahun 2017
melaporkan bahwa obesitas (BMI > 30 kg/m2) dikaitkan dengan peningkatan
risiko stroke (rasio odds, 1,2 ; 95% C.I. = 1,00–1,50).50
Hipertensi adalah penyebab utama dari stroke hemoragik dan stroke iskemik.
Prevalensi hipertensi meningkat sesuai dengan pertambahan usia dan lebih dari
dua pertiga individu yang berusia lebih dari 65 tahun menderita hipertensi. Pasien
yang memiliki riwayat penyakit atau memiliki tekanan darah tinggi (TD) >
160/190 mmHg memiliki predisposisi untuk mengalami stroke sebesar 54%.
Menurunkan tekanan darah sebesar 5-6 mmHg menurunkan risiko stroke sebesar
42%.10
Pada penelitian ini mayoritas pasien stroke iskemik memiliki riwayat
hipertensi (67,7%). Secara bivariat terdapat hubungan yang bermakna antara
hipertensi dan stroke iskemik, namun secara multivariat dengan
mempertimbangkan faktor risiko lain, hipertensi tidak berperan terhadap kejadian
stroke iskemik. Penelitian Aigner et al., tahun 2017 melaporkan bahwa hipertensi
dikaitkan dengan peningkatan risiko stroke (rasio odds, 2,3 ; 95% C.I. = 2,00–
2,60).50 Penelitian lain yang dilakukan Laily tahun 2017 melaporkan bahwa
terdapat hubungan antara hipertensi (p=0,000; OR=129,000; 95%CI=15,848–
1050,034) dengan kejadian stroke iskemik.51 Masita dalam penelitiannya juga
menyebutkan hasil analisis bivariatnya, bahwa lama hipertensi memiliki korelasi
yang lemah dengan derajat stenosis intracranial pada stroke prone person (p value
0,037 dan koefisien korelasi 0,371).47
Diabetes melitus merupakan istilah komprehensif untuk mengidentifikasi
suatu kondisi hiperglikemia kronis yang penyebabnya berasal dari kelainan
metabolik yang ditandai dengan gangguan dari sekresi insulin, atau kesalahan
efek insulin terhadap sel target, atau seringkali kedua mekanisme tersebut terjadi

74
75

secara bersamaan. Stroke dan diabetes melitus adalah dua kondisi berbeda yang
memiliki banyak kesamaan dan berkontribusi terhadap meningkatnya beban
penyakit kardiovaskular dan kematian di seluruh dunia. Hiperglikemia telah
dikaitkan dengan ekspresi berlebih dari faktor nuklir κB (NF-κB) dan
pengurangan inhibitornya κB (IκB). NF-κB adalah faktor transkripsi sitoplasma.
Saat terjadi peradangan, NF-κB bermigrasi ke dalam nukleus. Proses ini
mendorong ekspresi sitokin proinflamasi, seperti protein chemoattractant monosit
(MCP-1) dan tumor necrosis factor-α (TNF-α), mendorong leukosit untuk
mencapai parenkim serebral. Selain itu, keberadaan glukosa berkorelasi dengan
ekspresi berlebih dari metalloproteinase (MMP), terutama MMP-9 yang mampu
merusak sawar darah-otak (BBB), menyebabkan peradangan dan edema lebih
lanjut.52
Pada penelitian ini tidak didapatkan hubungan yang signifikan antara diabetes
mellitus dan stroke iskemik, dengan p value 0,151 dan OR 1,795. Hal ini berarti
pada penelitian ini, diabetes mellitus bukan faktor risiko kejadian stroke iskemik.
Hasil yang sama juga disebutkan dalam penelitian Rini di RSMH tahun 2019,
yang menyebutkan hasil analisis bivariatnya, tidak didapatkan satupun faktor
risiko yang secara statistik bermakna mempengaruhi kejadian stenosis intracranial
pada penderita stroke iskemik yang diteliti, termasuk diabetes melitus dengan OR
1,94 dan p value 0,167.48 Berbeda dengan hasil yang didapat dari penelitian Sumit
dkk, tahun 2019, yang sama-sama menggunakan desain case control, dengan
kelompok kontrol pasien yang dirawat di rumah sakit bukan dengan diagnosis
stroke iskemik. Dalam penelitiannya, didapatkan diabetes mellitus secara
signifikan merupakan faktor risiko dari stroke iskemik, dengan nilai OR 1,75 dan
p value 0,02.53
Perbedaan hasil yang didapat pada penelitian ini dikarenakan di Indonesia
persentase diabetes mellitus saat ini semakin meningkat dikarenakan perubahan
gaya hidup, pola makan dan kurangnya aktivitas fisik. Didukung data dari
Kemenkes pada tahun 2018, yang menyatakan bahwa saat ini penderita kencing
manis, menjadi penyakit mematikan ketiga di Indonesia setelah stroke dan
jantung, berjumlah sekitar 10 juta orang. Jumlahnya bahkan sekitar 10 tahun
mendatang dapat meningkat dua sampai tiga kali lipat. Hal ini juga dijelaskan

75
76

oleh Ukegbu dkk dalam penelitiannya, bahwa obesitas dan ketidakaktifan fisik
terus meningkat di negara-negara berkembang.44
Pada penelitian ini didapatkan hasil mayoritas pasien stroke iskemik memiliki
riwayat penyakit jantung (58,1%) dan didapatkan hubungan yang signifikan
antara penyakit jantung dan stroke iskemik. Penyakit jantung merupakan faktor
risiko yang berperan terhadap kejadian stroke iskemik dimana pasien dengan
riwayat penyakit jantung berisiko 3,6 kali menderita stroke iskemik dibandingkan
pasien yang tidak memiliki riwayat penyakit jantung. Dari studi INTERSTROKE
diketahui bahwa etiologi jantung berhubungan dengan peningkatan risiko stroke
iskemik (OR 2,74, 99% CI 2,03-3,72).13 Penelitian Aigner et al., tahun 2017
melaporkan bahwa riwayat penyakit jantung dikaitkan dengan peningkatan risiko
stroke (rasio odds : 1,2 ; 95% C.I. = 0,90–1,60).Sejumlah kondisi jantung
berpotensi menjadi sumber emboli, seperti miokardiopati dilatasi, penyakit katup
jantung (katup prostetik mekanis, stenosis rematik mitral, endokarditis menular,
endokarditis marantic), hipertrofi ventrikel kiri, miksoma atrium, dan penyakit
jantung bawaan (seperti foramen paten). ovale, aneurisma septum atrium, dan
defek septum ventrikel).50 Kishore menyebutkan prevalensi atrial fibrilasi (AF)
meningkat seiring bertambahnya usia. Telah terbukti bahwa 5% subjek yang
berusia lebih dari 70 tahun menderita AF (usia rata-rata pasien dengan AF adalah
75 tahun), dan sekitar seperempat stroke akut pada pasien yang sangat tua (> 80
tahun) juga disebabkan oleh AF. Pada pasien tanpa riwayat serangan iskemik
transien (TIA) atau stroke, AF memiliki risiko stroke sebesar 2%-4% per tahun.54
Selanjutnya, dari penelitian ini didapatkan hasil pasien stroke iskemik yang
memiliki riwayat stroke sebelumnya sebanyak 33,9% dan didapatkan hubungan
yang signifikan antara riwayat stroke sebelumnya dan stroke iskemik. Riwayat
stroke sebelumnya merupakan faktor risiko yang berperan terhadap kejadian
stroke iskemik dimana pasien dengan riwayat stroke sebelumnya berisiko 3 kali
menderita stroke iskemik dibandingkan pasien yang tidak memiliki riwayat stroke
sebelumnya. Pasien dengan riwayat stroke sebelumnya (HR = 1,63, 95% CI 1,18-
2,24) secara independen berhubungan dengan kekambuhan. 20 Penelitian Qin et al.,
tahun 2020 menyimpulkan bahwa berdasarkan analisis multivariabel
menunjukkan bahwa pasien dengan riwayat stroke memiliki risiko kekambuhan

76
77

sebesar 1,47 kali (OR 1,47, 95% CI 1,31-1,65). Studi tersebut menyimpulkan
bahwa riwayat stroke sebelumnya merupakan faktor risiko independen untuk
prognosis stroke iskemik sehingga penting untuk pencegahan sekunder stroke
iskemik.22
Namun, riwayat stroke pada keluarga tidak berhubungan signifikan dengan
kejadian stroke iskemik (p value = 0,222, OR = 2,065). Hal ini berarti riwayat
stroke keluarga bukan faktor risiko kejadian stroke iskemik. Riwayat stroke dalam
keluarga diduga menjadi salah satu factor risiko stroke meskipun penelitian
menunjukkan hubungan yang inkonsisten di antara keduanya. Family Heart Study
menemukan peningkatan risiko stroke yang signifikan pada keturunan tingkat
pertama dari penderita stroke. Sedangkan Framingham Offsping Study tidak
menemukan hubungan yang signifikan antara Riwayat stroke pada orang tua
dengan risiko stroke pada keturunannya.25
Pourasgari dan Mohamadkhani menjelaskan dalam sebuah literature review,
Beberapa penelitian kohort prospektif dan studi case control menyatakan adanya
hubungan yang tidak konsisten antara riwayat stroke dalam keluarga dan kejadian
stroke. Hasil penelitian tersebut merupakan konsekuensi dari perbedaan dalam
desain penelitian, pendekatan terhadap pengetahuan tentang stroke pada anggota
keluarga, ukuran sampel yang tidak signifikan atau pemilihan populasi
penelitian.55 Sebuah studi kohort prospektif berbasis populasi telah menunjukkan
riwayat keluarga yang positif sebagai faktor risiko terjadinya stroke Dimana
riwayat keluarga lebih kuat dikaitkan dengan stroke hemoragik dan iskemik yang
terjadi pada usia muda. Dan seiring bertambahnya usia, efek riwayat keluarga dan
faktor genetik terhadap risiko stroke semakin berkurang. Tian Tian dkk, dalam
sebuah penelitian kohort di China, menyatakan dibandingkan dengan peserta
tanpa riwayat stroke dalam keluarga, hazard ratio stroke untuk peserta dengan
riwayat stroke dalam keluarga adalah 1,50 (1,46-1,55). Hazard ratio sebesar 1,57
(95% CI: 1,50-1,66) untuk saudara kandung dan 1,49 (95% CI: 1,45-1,54) untuk
riwayat orang tua.56
Mekanisme dimana dislipidemia menginduksi stroke melibatkan proses
aterosklerosis, yang menyebabkan aliran darah serebral menurun, dan
menginduksi apoptosis saraf. Di samping itu, dislipidemia meningkatkan risiko

77
78

stroke dengan menginduksi hipertensi, resistensi insulin, obesitas, dan penyakit


kardiovaskular. Trigliserida adalah jenis lemak yang diserap oleh usus setelah
dihidrolisis. Trigliserida kemudian masuk ke plasma dalam dua bentuk, yaitu
kilomikron yang dihasilkan oleh penyerapan usus setelah lemak dikonsumsi, dan
Very Low Density Lipoprotein (VLDL) yang dibentuk oleh hati dengan bantuan
insulin. Jika kadar trigliserida dalam tubuh terlalu tinggi maka kadar glukosa
darah akan ikut meningkat, sehingga menyebabkan resistensi insulin yang akan
mengganggu metabolisme glukosa darah. Berdasarkann penelitian yang dilakukan
di negara Korea menemukan bahwa trigliserida yang lebih tinggi >200 mg/dL,
dan HDL-C yang lebih rendah, secara signifikan terkait dengan kejadian stroke
iskemik dan miocard infark.57 Dan berdasarkan hasil penelitian Zhang dkk, juga
menemukan bahwa indeks trigliserida-glukosa (Tyg) yang lebih tinggi dikaitkan
dengan resistensi insulin berpengaruh terhadap kekambuhan, keparahan stroke
selama 12 bulan, perburukan neurologis dan mortalitas pada pasien stroke
iskemik.58
Daniel dan Robert menjelaskan dalam review-nya 2019, bahwa terdapat
hubungan yang kompleks antara kadar kolesterol serum dan risiko stroke. Kadar
kolesterol rendah merupakan faktor risiko untuk perdarahan intraserebral,
sedangkan kolesterol tinggi merupakan prediktor untuk atherothrombotik dan
infark serebral lakunar. Sebagai contoh, memiliki kolesterol total dengan rata-
rata, 290 mg/dL atau 7,5 mmol/L, dikaitkan dengan peningkatan risiko stroke
iskemik (rasio odds [OR], 1,6; 95% CI, 1,3-1,9) dan penurunan risiko pendarahan
intraserebral (OR, 0,6; 95% CI, 0,4-1,0). Hubungan yang kontras ini telah
dilaporkan dalam beberapa penelitian lainnya.
Selanjutnya, Daniel dan Robert juga menyebutkan bahwa dalam penelitian
yang dilakukan Amarenco dkk menemukan bahwa kadar peningkatan kadar
LDL>100mg/dl meningkatkan risiko stroke lakunar 2,71 kali lipat (95% CI, 1,60-
4,55). Dan Bezerra dkk mengamati bahwa lesi lakunar yang lebih besar (8-20 mm
pada pencitraan resonansi magnetik), yang mungkin disebabkan oleh
mikroaterom, dikaitkan dengan LDL (rasio prevalensi, 1,27 per SD; 95% CI,
1,06-1,52). Peningkatan kadar kolesterol dapat menjadi predisposisi stroke
lakunar dengan meningkatkan pembentukan mikroaterom atau pecahnya plak.59

78
79

Pada penelitian ini didapatkan hasil secara bivariat terdapat hubungan yang
bermakna antara LDL dan trigliserida dengan stroke iskemik, walaupun secara
multivariat dengan mempertimbangkan faktor risiko lain, LDL dan trigliserida
tidak berperan terhadap kejadian stroke iskemik. Hal tersebut kemungkinan
dikarenakan faktor lain seperti obesitas, penyakit jantung, riwayat stroke dan
merokok lebih besar pengaruhnya sehingga dislipidemia tidak menjadi faktor
yang berperan terhadap kejadian stroke iskemik pada penelitian ini. Hasil yang
berbeda didapatkan pada penelitian Rini pada tahun 2019, dimana tidak
didapatkan adanya hubungan antara dislipidemia dan stenosis intracranial pada
pasien stroke iskemik.48 Masita dalam penelitiannya, menjelaskan dari hasil
analisis regersi linier, didapatkan hubungan yang signifikan antara lama
dislipidemia dengan nilai risiko stroke untuk terjadinya stenosis intracranial pada
stroke prone person (p = 0,000, r = 0, 645). 47

Keterbatasan Penelitian
1. Pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner menyebabkan
kemungkinan terjadinya recall bias. Hal ini sulit dihindari mengingat
terdapat beberapa faktor risiko yang membutuhkan daya ingat pasien atau
keluarga (bagi pasien yang mengalami gangguan kesadaran atau gangguan
komunikasi) dalam mengisi data di kuesioner
2. Data mengenai aktivitas fisik memang sampai saat ini belum ada definisi
baku mengenai jenis aktivitas dan standar untuk pengukurannya. Apakah
cukup dengan menggunakan kuesioner, atau apakah harus dengan
menggunakan latihan fisik terukur di treadmill. sehingga penelitian-
penelitian yang dilakukan hingga saat ini masih mendapatkan hasil yang
berbeda-beda.

79

Anda mungkin juga menyukai