Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH

BAHASA INDONESIA
Wacana

Disusun Oleh:
Zakiah

Di susun oleh : Adi Syaputra

Dosen Pengampu :
Refril Dani, M.Pd

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEKOLAH DASAR


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MUARA BUNGO
2023
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT Yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melinpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga dapat
menyelesaikan makalah kami.Alhamadulillah dengan izin dan kehendak dari
Allah SWT sehingga makalah ini dapat penulis selesaikan tidak lupa kami
ucapkan terimakasih kepada Bapak Refril Dani, M.Pd selaku dosen pengampu
dan teman teman yang telah memberikan dukungan dalam menyelesaikan
makalah ini. Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah
pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, untuk kedepannya dapat
memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik
lagi.Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami. Kami yakin
masih banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu, kami sangat
mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.

Bungo, 13 Januari 2023

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................i
DAFTAR ISI...............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................1
A. Latar Belakang..............................................................................................................1
B. Rumusan Masalah........................................................................................................2
C. Tujuan Penulisan..........................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................3
A. Pengertian Wacana.......................................................................................................3
B. Koherensi dan Kohesi...................................................................................................4
C. Konteks Wacana...........................................................................................................9
1. Berbahasa sebagai Tindakan........................................................................................9
2. Tindak Tutur dalam Konteks......................................................................................12
3. Prinsip Kerja Sama dan Implikatur Percakapan.........................................................15
4. Skemata dan Topik Wacana.......................................................................................18
D. Jenis-jenis Wacana.....................................................................................................22
1. Berdasarkan Jenis Media yang Digunakan.................................................................22
2. Berdasarkan Sifatnya..................................................................................................23
3. Berdasarkan Segi Penutur (Jumlah Penutur)..............................................................23
4. Berdasarkan Cara Pemaparannya...............................................................................23
BAB III PENUTUP................................................................................................26
A. Kesimpulan.................................................................................................................26
B. Saran ......................................................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................27

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Di era globalisasi seperti sekarang ini, dimana kita dituntut untuk bisa
menjalani keseharian dengan cepat, tepat, dan sosialis, sudah barang tentunya
semua itu membutuhkan komunikasi yang juga sekaligus menunjukkan kalau
manusia itu merupakan makhluk sosial. Makhluk yang saling membutuhkan satu
sama lain, dan untuk menunjukkan itu, maka komunikasi tentunya menempati
tempat yang sangat penting dalam kehidupan manusia.
Dalam berkomunikasi tentunya dibutuhkan banyak aspek untuk bisa
menciptakan suatu sistem atau tataran komunikasi yang baik. Agar pesan yang
akan disampaikan bisa diterima dengan jelas dan baik oleh lawan bicara kita. Hal
tersebut diantaranya adalah bahasa. Di dalam bahasa ada banyak aspek lagi yang
perlu kita pahami agar komunikasi bisa tersampaikan sesuai dengan yang kita
harapkan. Dan media untuk menyampaikan pesan dalam berbahasa pun itu ada
banyak jenisnya, mulai dari puisi, novel, lagu, dan wacana.
Penyampaian pesan ataupun argumen dalam bentuk puisi, novel, dan lagu
merupakan cara penyampaian pesan yang dapat dilakukan tanpa menggunakan
tata bahasa yang baku, karena semua itu merupakan karya sastra. Namun,
berbeda dengan puisi, novel, dan lagu, wacana merupakan media
penyampaian pesan atau argumen yang memiliki aturannya tersendiri karena
wacana masuk sebagai golongan karya ilmiah yang memiliki aturan baku. Oleh
karena itu, pada makalah ini, kami akan mencoba menjelaskan mengenai cara
penyampaian pesan ataupun argumen melalui wacana. Baik itu dari
peneganalan wacana,
sistem penulisan wacana, maupun sampai kepada macam-macam wacana itu
sendiri.

1
2

B. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang diatas, maka rumusan masalah yang ingin kami
pecahkan yaitu, bagaimana cara penyampaian pesan atau argumen melalui media
wacana yang sesuia dengan aturan baku kepenulisan.

C. Tujuan Penulisan
Merujuk kepada rumusan masalah diatas, tujuan yang ingin kami capai
adalah untuk mengetahui cara penyampaian pesan atau argumen melalui media
wacana yang sesuai dengan aturan baku kepenulisan.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Wacana
Bahasa tidak boleh ditafsirkan sebagai satuan-satuan yang terpisah-pisah.
Satuan- satuan bahasa –morfem, kata, kelompok kata, klausa, kalimat- bukanlah
satuan-satuan yang terpisah-pisah, melainkan bagian dari bahasa sebagai suatu
sistem simbolik yang digunakan untuk berkomunikasi di dalam konteks sosial.
Penggunaan bahasa untuk berkomunikasi dalam konteks sosial itulah yang
disebut dengan istilah Wacana, sedangkan ilmu yang mempelajarinya disebut
analisis wacana.
Perhatikan perkataan “pengunaan bahasa” dalam definisi singkat wacana di
atas. Perkataan “pengunaan bahasa” mengandung pengertian bahwa wacana itu
bukanlah pertama-tama persoalan bentuk bahasa, melainkan persoalan fungsi
(pengunaan) bentuk bahasa tersebut dalam kegiatan berbahasa. Hendaknya
dipahami bahwa bentuk bahasa merupakan perhatian utama tatabahasa
(gramatika); berbeda dengan tatabahasa, analisa wacana terutama
memperhatikan fungsi bahasa. Tatabahasa akan menerangkan kedua kalimat
berikut:
a. Dian melamar Ayu kemarin pagi.
b. Ayu dilamar (oleh) Dian kemarin pagi.
Sebagai dua bentuk kalimat yang berbeda, yaitu bentuk aktif dan pasif;
sedangkan analisis wacana akan menerangkan bahwa kedua bentuk kalimat
tersebut digunakan dalam konteks yang berbeda. Misalnya, kalimat (a.) akan
lebih tepat digunakan sebagai jawaban atas pertanyaan “Apa yang dilakukan
Dian kemarin pagi?” daripada kalimat (b.), sedangkan kalimat (b.) akan lebih
tepat digunakan sebagai jawaban atas pertanyaan “Ayu dilamar siapa kemarin
pagi?” daripada kalimat (a.).
Selain itu perhatikan pula perkataan “untuk berkomunikasi dalam konteks sosial”
dalam definisi di atas. Perkataan tersebut menerangkan lebih lanjut bahwa

3
4

penggunaan bahasa itu tidak terjadi dalam ruang hampa, melainkan dalam
suatu konteks tertentu. Manusia adalah makhluk sosial yang senantiasa
berkomunikasi dalam konteks sosial yang berbeda-beda, misalnya konteks
rumah tangga, konteks kelas, konteks pemerintahan desa, dan lain sebagainya.
Makna konteks dalam kaintanya dengan wacana adalah bahwa konteks itu
memberikan kerangka makna dan keutuhan wacana. Wacana lisan berikut ini
akan tamak masuk akal jika konteksnya adalah suatu tempat di Jakata.
A: Mobil saya mogok, mas. B: Mau didorong, ya, Pak?
Namun, akan kurang masuk akal kalau konteksnya adalah suatu tempat
pemukiman di Amerika Serikat. Sesuai dengan konteks budaya di sana, wacana
yang lebih masuk akal adal sebagai berikut.
A: Excuse me, my car stalled.
B: The garage is three blocks down this road.
Selain terdiri atas unsur fungsi dan konteks, tentu saja wacana juga terdiri
atas unsur- unsur kebahasaan. Dari segi tekahir ini, wacana sering didefinisikan
sebagai satuan bahasa yang lebih besar daripada kalimat. Aspek “lebih besar dari
kalimat” ini juga perlu diperhatikan karena memang, dalam berkomunikasi, baik
secara lisan maupun tertulis, jarang kita menggunakan hanaya sebuah kalimat;
paling tidak, kita menggunakan beberapa kalimat. Malahan kalimat yang
digunakan bisa banyak sekali, misalnya dalam bercakap- cakap, berpidato, dsb.
Walaupun demikian, perlu dipahami bahwa yang menyebabkan serangkaian
kalimat menjadi wacana bukanlah jumlanya yang banyak, melainkan adanya
kesatuan makna yang mengikat berbagai kalimat yang digunakan.

B. Koherensi dan Kohesi


Sudah dikemukakan di atas bahwa wacana bukanlah semata-mata rangkaian
kalimat. Agar menjadi wacana, rangkaian kalimat itu haruslah mampu
menghubung-hubungkan makna dari kalimat-kalimat (bagian-bagian teks)
tersebut, sehingga membentuk kesatuan makna yang terpadu. Hubungan-
hubungan yang menghubungkan makna bagian wacana itulah yang disebut
5

dengan koherensi. Koherensi merupakan syarat mutlak wacana; tanpa


koherensi, tidak ada wacana.
Koherensi sebagai hubungan kemaknaan sering sudah jelas dengan
sendirinya bagi para peserta komunikasi. Namun, tidak jarang pula hubungan
makna wacana itu tidak tampak jelas, terutama dalam wacana yang mengandung
hubungan-hubungan makna yang kompleks seperti pidato ilmuah atau makalah
ilmiah. Ketidakjelasan hubungan makna itu tentu saja dapat mendatangkan
kebingungan pada pihak pembaca (pendengar). Dalam keadaan yang demikian
para pembaca (pendengar) akan banyak tertolong jika penulis (pembicara).
Secara lebih eksplisit memberi petunjuk kepada pembaca (pendengar) tentang
hubungan-hubungan makna (koherensi) wacana, dengan memanfaatkan sarana-
sarana kebahasaan, baik yang berupa sarana-sarana ketatabahasaan (gramatikal)
maupun makna kata-kata (lesikal). Sebagai contoh, dengan menggunakan sarana
gramatikal konjungsi, misalnya konjungtor karena atau karena itu, seperti pada
contoh berikut:
a. Ahmad tidak pernah berhenti belajar, karena ia mempunyai cita-cita yang tinggi.
b. Ahmad mempunyai cita-cita yang tinggi. Karena itu, ia tidak pernah berhenti
belajar.
Penulis (pembicara) secraa eksplisit menyatakan hubungan sebab-akibat
yang, menghubungkan kedua klausa dan kalimat tersebut. Dalam peristilahan
teknis, hubungan gramatikal dan/atau leksikal antar berbagai bagian wacana
(teks) itu disebut kohesi. Kohesi merupakan penanda lahiriah koherensi
sekaligus salah satu sarana untuk menciptakan koherensi wacana.
1. Sarana-sarana Kohesi
Sekarang, marilah kita menelaah sarana-sarana kohesi yang sering
digunakan dalam wacana. Beberapa saran kohesi sudah dibicarakan pada bab-
bab terdahulu yang membahas kalimat efektif dan paragraf. Dari bahasan-
bahasan tersebut, pokok bahsan tentang penekanan dan paralelisme merupakan
pokok bahasan yang sangat relevan dengan konsep kohesi wacana.
6

a. Penekanan, Paralelisme, dan Elipsi


Dari sudut pandang wacana, penekanan merupakan upaya
pembicara/penulis untuk memberitahu pembaca (pendengar) tentang bagan teks
yang dianggap lebih penting atau yang ditonjolkan sebagai pusat atau topik
pembicaraan. Penekanan membantu menciptakan keutuhan wacana karena
dengan demikian pembicaraan mendapat pusat yang mempersatukan berbagai
bagian teks. Penekanan dapat dilakukan di antaranya dengan menggunakan
partikel –lah, pola inversi, dan struktur topik-komen. Kata-kata yang dicetak
miring pada contoh-contoh berikut memperoleh tekanan khusus sehingga
menjadi menonjol dan menarik perhatian.
a. Dengan pengalaman-pengalaman tersebut, yakinlah saya akan keadilan Tuhan.
b. Berdatanganlah para undangan memenuhi ruangan pertemuan.
c. Mahasiswa yang berprestasi itu namanya adalah Ahmad.
Agak mirip dengan penekanan, paralelisme juga mengandung upaya
penonjolan; namun, yang ditonjolakn dalam paralelisme bukanlah unsur teks
yang menjadi pusat, melainkan keteraturan atau keterstrukturan teks. Dengan
mengulang-ulang pola kalimat
/klausa /frasa yang sama, paralelisme menimbulkan kesan terstruktur dan dengan
demikian kesan kepaduan wacana. Dalam penggalan puisi berikut, walaupun
berbagai gagasan “berhamburan” dan ditulis secara “serampangan”, tetap dapat
dirasakan adanya penstrukturan (dan tentu saja irama) berkat teknik peralelisme:
Siapa sungai yang paling derai siapa langit yang paling rumit siapa
laut yang paling larut siapa tanah yang paling pijak siapa burung yang
paling sayap siapa ayah yang paling tunggal siapa tahu yang paling tidak
siapa Kau yang paling aku kalau tak aku yang paling rindu?
(Sutradji Calzoum Bachri, “(Ah!)”)
Dengan mengulang-ulang pola “siapa ... yang paling ...” penyair
menciptakan keteraturan, keterpaduan, dan irama. Selain pengulangan struktur
sintaksis, dapat juga dilakukan pengulangan kata/kelompok kata (repetisi)
maupun pengulangan bunyi (asonansi, aliterasi).
Dari segi tertentu, elipsis merupakan kebalikan dari paralelisme. Kalau
7

dalam paralelisme dilakukan pengulangan-pengulangan struktur kalimat


sehingga keterstrukturan wacan ditonjolkan, maka dalam elipsis justru dilakukan
pelesapan atau penghilangan bagian kalimat/wacana, sehingga ada kesan
meminimalkan kestrukturan tersebut. Walaupun demikian, elipsis tetap
merupakan sarana kohesi karena bagian yang dilesapkan/dihilangkan itu
sebenarnya dapat dicari pada, dan memang merujuk ke, bagian kalimat
sebelumnya. Dengan demikian, elipsis menghubungkn bagian kalimat dengan
bagian kalimat yang lain.
Dalam wacana lisan, pelesapan merupakan praktik, yang umum, karena
bagian yang dilesapkan itu sudah diketahui oleh kedua pihak yang
berkomunikasi, misalnya pada pasangan tanya-jawab berikut.
a. Siapa yang meminjam buku?
b. Ø Andi. (Ø=Yang meminjam buku [adalah])
Dalam wacana tulis, pelesapan bagian klausa terjadi pada kalimat majemuk
yang mengandung unsur yang sama. Misalnya:
a. Semua anggota kelompok pergi ke perpustakaan, tetapi ketuanya tidak Ø. Ø =
pergi ke perpustakaan)
b. Setelah Ø menghabiskan tehnya, kemudian kakek berjalan-jalan menghirup
udara segar pagi hari. Ø = kakek)
Namun, pelesapan menjadi mengacaukan jika subjek yang dilesapkan tidak
sama dengan subjek kalimat/klausa sebelumnya atau sesudahnya, misalnya:
a. *Setelah Ø dibahas seharian, mereka mengesahkan rancangan itu.
b. *Karena Ø bertindak tidak disiplin, atasan memecat karyawan itu.
b. Konjungsi
Konjungsi merupakan cara lain lagi untuk menciptakan kohesi. Konjungsi
terutama berfungsi untuk menghubungkan bagian-bagian teks baik berupa kata,
frasa, klausa, maupun kalimat, sehingga membentuk satu kesatuan. Dilihat dari
segi fungsinya, konjungsi dapat dibagi menjadi empat, yaitu:
1. Konjungsi Koordinatif, adalah penghubung yang digunakan untuk
penambahan, pemilihan, dan perlawanan, dan yang sering digunakan adalah
“dan”, “atau”, “tetapi”, dan “sedangkan”. Contoh:
8

a. Dia lulus Ujian Nasional dan orang tuanya pun bahagia.


b. Pejabat behagia dengan uang korupsi sedangkan masyarakat menderita
kelaparan.
2. Konjungsi Korelatif, merupakan jenis konjungsi yang berbeda dengan Kojungsi
Koordinatif, yang dimana pada Konjungsi Korelatif tidak menggunakan kata/
frasa tunggal, melainkan berupa pasangan frasa, misalnya “baik..... maupun...”,
tidak hanya... tetapi juga...”, demikian... sehingga..”, dan “jangankan.... pun...”.
Contoh:
a. Reo belajar demikian rajin, sehingga dia bisa lulus Ujian Nasional.
b. Akbar tidak hanya bisa Bahasa Arab, tetapi juga bisa Bahasa Inggris.
3. Konjungsi Subordinatif, merupakan penghubung yang digunakan pada awal
subordinatif (anak kalimat) dan berfungsi untuk menghubungkan anak kalimat
itu dengan induk kalimatnya, misalnya “katika” (hubungan waktu), “jika”
(hubungan syarat), “meskipun” (hubungan konsesif), dan “karena” (hubungan
sebab). Contoh:
a. Ami terlihat cantik karena dia memakai hijab.
b. Dimas terlihat bahagia meskipun dia banyak masalah.
4. Konjungsi Antarkalimat, berfungsi untuk menghubungkan satu kalimat dengan
kalimat lain yang telah disebutkan, misalnya “selain itu” (penambahan),
“sesudah itu” (urutan waktu), “sebaliknya” (kebalikan), dan “oleh karena itu
(akibat)”. Contoh:
a. Akbar sarapan pagi bersama keluarganya. Sesudah itu, Akbar berangkat sekolah.
b. Fadhil rajin mengikuti proses pembelajaran. Oleh karena itu, dia bisa lulus Ujian
Nasional.
c. Refrensi, Subtitusi, dan Deiksis
Refrensi (pengacuan), subtitusi (penggantian), dan deiksis (penunjukan/
pengacuan) sebagai sarana kohesi berhubungan dengan hal-ihwal pengacuan,
yaitu penggunaan sarana-sarana bahasa yang digunakan untuk
menunjuk/mengacu ke bagian teks yang lain, terutama yang sebelumnya.
Deiksis digunakan untuk menunjuk kata-kata tertentu seperti “saya”, “di
sini”, “sekarang”, “nanti”, dan lain-lain yang maknanya sangat bergantung pada
9

konteks kalimat. Adapun subtitusi berfungsi untuk mengadakan refrensi tersebut,


yaitu dengan cara menggantinya, misalnya, “Amir” yang kemudian digantikan
dengan pronomina (kata ganti) “dia”.
d. Leksikal (Semantik)
Pengulangan bagian teks tidak hanya dilakukan dengan mengulang struktur
sintaksis, kata-kata, maupun bunyi. Dapat pula dilakukan pengulangan makna,
sehingga walaupun kata-kata yang digunakan berbeda dengan kata-kata yang
digunakan sebelumnya, namun karena ada aspek makna tertentu yang diulang,
maka hubungan leksikal (semantik) juga merupakan upaya untuk
menghubungkan bagian-bagian teks. Ada beberapa sarana yang dapat digunakan
untuk membuat hubungan leksikal, di antaranya, sinonim, hiponim, antonim, dan
kolokasi.
C. Konteks Wacana
Pada bagian ini akan ditunjukkan bahwa untuk membuat maupun
memahami wacana diperlukan pemahaman tentang konteks wacana. Hal ini akan
diuraikan dengan menempatkan penggunan bahasa dalam konteks tindakan
manusia yang berpusat pada individu. Setelah itu, penggunaan bahasa kemudian
ditempatkan dalam konteks yang lebih luas sambil mencatat faktor-faktor
konteks yang paling penting.
1. Berbahasa sebagai Tindakan
a. Tindak Tutur
Seperti sudah dikemukakan pada awal penjelasan, analisis wacana
memusatkan perhatian pada fungsi Bahasa, yaitu penggunaan bentuk-bentuk
Bahasa di dalam situasi komunikasi. Karena penggunaan bahasa diberi perhatian
utama, maka konsekuensinya adalah bahasa diletakkan dalam konteks tindakan
manusia. Inilah gagasan pokok dari teori tindak tutur (speech act theory). Teori
ini menyatakan bahwa bahasa merupakan bagian dari tindakan manusia dan
berbahasa tidak lain adalah melakukan tindakan tertentu dengan menggunakan
bahasa. Sebagai contoh, dengan menggucapkan kalimat “Ali lapar“ yang
ditunjukkan kepada ibunya, seorang anak kecil yang bernama Ali sebenarnya
sedang melakukan suatu tindakan, yang sangat mungkin berupa tindakan
10

meminta makan. Demikianlah fungsi Bahasa terletak pada penggunaan bentuk-


bentuk Bahasa dalam kerangka manusia.
Tidakan yang dilakukan dengan mengucapkan ungkapan Bahasa pernah
dianalisis menjadi beberapa lapis tindakan. Pertama-tama, si pembicara
melakukan tindakan lokusi atau tindakan proposisi, yakni tindakan
mengucapkan kata-kata bermakna. Dengan mengucapkan kalimat “Ali lapar“, si
pembicara menggunakan kata “Ali“ untuk mengadakan referensi pada dirinya
dan kata “lapar“ sebagai predikatnya. Pengucapan kalimat tersebut selanjutnya
oleh si pembicara digunakan untuk melakukan tindakan meminta makan kepada
ibunya. Ini disebut tindak ilokusi. Selain itu, dengan tindakan meminta itu ia juga
sedang berusaha menimbulkan perubahan pada ibunya (pendengar) agar ia
mengambilkan makanan untuknya. Ini disebut tindak perlokusi.
b. Klasifikasi Tindak Tutur
Ada berapa banyakah jumlah tindak tutur itu? Para ahli ternyata
mempunyai beberapa pendapat tentang jumlah tindak tutur. Untuk keperluan
pembahasan ini, akan diperkenalkan satu model klasifikasi yang berasal dari
keputusan awal tentang teori tindak tutur. Menurut klasifikasi ini, tindak tutur
dapat dikelompokkan menjadi lima kelompok, yaitu (1) tindak direktif, (2)
tindak komisif, (3) tindak respresentatif, (4) tindak deklaratif, dan (5) tindak
ekspresif.
Tindak direktif adalah penggunaan Bahasa untuk mengarahkan orang lain;
dengan kata lain, membuat orang lain melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
Perintah dan permohonan termasuk ke dalam tindakan direktif. Perbedaan di
Antara keduanya terletak dlam jenis hubungan kedua peserta komunikasi. Selain
itu, perbedaan berbagai macam tindakan direktif juga ditentukan berdasarkan
tingkat kelangsunganya. Perhatikan contoh- contoh berikut:
a. Ambilkan aku sepidol.
b. Tolong ambilkan aku spidol.
c. Bolehkan saya ambilkan spidol?
d. Ada spidol? Adakah kamu punya spidol?
11

Tentu saja, cara menyatakan direktif dapat berbeda dari satu bahasa ke bahasa
yang lain.
Tindak komisif adalah penggunaan Bahasa untuk menyatakan janji
melakukan tindakan atau penolakan melakukan tindakan. Seperti halnya direktif,
komisif juga dapar diungkapkan dengan cara berbeda-beda dalam hal
kekuatannya (kepastiannya). Bandingkanlah contoh-contoh kalimat berikut:
a. Mungkin besok saya akan melakukan hal itu.
b. Jangan cemas, saya pasti akan melakukan hal itu.
c. Saya bersumpah besok saya akan melakukan hal itu.
Tindak representatif adalah penggunaan Bahasa untuk menyatakan fakta.
Cirinya adalah dapat dikenai benar-salah. Namun, dalam representatif juga ada
variasi dalam hal kekuatannya, misalnya dengan pembatasan-pembatasan
tertentu. Perhatikanlah contoh- contoh berikut:
a. Barangkali dia ada di kampus..
b. Tampaknya sekarang hujan di luar.
c. Sudah pasti dia sekarang bermain musik di studio.
Tindak deklaratif adalah penggunaan bahasa untuk mengubah atau
menciptakan suatu keadaan, seperti menyatakan bersalah (oleh hakim),
menikahkan (oleh penghulu), meresmikan penggunaan bangunan, dan
sebagainya. Tentu ada persyaratan tentang peran dari orang yang
mengucapkannya. Inilah beberapa contoh dekoratif:
a. Dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia.
b. Dengan ini kami nyatakan seminar nasional ... secara resmi dibuka.
c. Dengan ini kami angkat Saudara sebagai kepala bagian ...
Tindak ekspresif adalah pengguanaan bahasa untuk mengungkapkan
perasaan pembicara. Suka dan tidak suka merupakan ungkapan perasaan yang
utama.
Klasifikasi tindak tutur di atas hendaknya tidak dipahami sebagai klasifikasi
yang sempurna, karena masih ada klasifikasi-klasifikasi lain lagi. Sebagai
contoh, dalam bidang pengajaran bahasa, telah dikembangkan salah satu
klasifikasi tindak tutur yang sangat terperinci untuk keperluan pengembangan
12

silabus (yang dikenal dengan nama silabus nasional-fungsional). Walaupun


demikian, untuk tujuan pembahasan ini kiranya klasifikasi di atas merupan
ilustrasi yang baik tentang berbagai macam tindakan yang dilakukan dengan
berbahasa.

2. Tindak Tutur dalam Konteks


a. Peristiwa Tutur
Dalam konteks yang lebih luas, yaitu komunikasi yang sebenarnya,
penggunaan bahasa seringkali tidak hanya terdiri atas satu tindak tutur, namun
melibatkan juga tindak tutur yang lain. Tindak tutur-tindak tutur tersebut
membentuk suatu struktur penggunaan bahasa yang lebih besar yang disebut
peristiwa tutur (speech event). Dengan kata lain, tindak tutur dapat dilihat
sebagai bagian dari suatu peristiwa tutur, dan suatu peristiwa tutur dapat meliputi
beberapa tindak tutur. Berkenalan, misalnya, merupan suatu peristiwa tutur yang
terdiri atas tindak tutur memperkenalkan nama, bertanya tentang pekerjaan, dan
sebagainya. Contoh lain peristiwa tutur adalah memberikan nasihat melalui
radio, yang mungkin terdiri atas pembukaan, identifikasi partisipan, pernyataan
masalah, negosiasi simptom, diagnosis, nasihat, negosiasi nasihat, penerimaan
nasihat, dan penutup. Demikianlah, konsep peristiwa tutur yang dapat dilihat
sebagai kelanjutan dari konsep tindak tutur dengan ruang lingkup yang lebih
luas.
Salah satu manfaat dari konsep peristiwa tutur adalah pengakuan akan
pentingnya konteks komunikasi dan konteks situasional (sosial-budaya) yang
lebih luas. Pengakuan akan pentingnya konteks mengeimplikasikan bahwa
makna suatu tuturan tidak hanya ditentukan oleh niat tindakan pembicara
(penulis) seperti tampaknya yang ditegaskan oleh teori tindak tutur, melainkan
juga dioengaruhi oleh penafsiran lawan bicara (pendengar, pembaca) dan unsur-
unsur konteks lainnya.
Uraian ringkas tentang peristiwa tutur ini mengisyaratkan bahwa
pemahaman penggunaan bahasa (wacana) memerlukan pengetahuan tentang
faktor-faktor situasional maupun kebahasaan yang membangun konteks
13

komunikasi. Oleh karena itulah, uraian selanjutnya akan diarahkan pada unsur-
unsur konteks.
b. Unsur-unsur Konteks
Konteks meliputi apa saja yang ada bersama-sama dengan teks (context =
con 'bersama-sama', text 'teks' ), baik yang ada sebelum teks maupun sesudahnya.
Dengan demikian, konteks meliputi baik unsur-unsur situasional nonbahasa
maupun unsur-unsur tekstual (berhubungan dengan bahasa). Kedudukan sosial
orang yang berbicara dan waktu pembicaraan, misalnya, adalah faktor
situasional nonkebahasaan, sedangkan bahasa resmi atau bahasa santai (tidak
resmi) yang digunakannya faktor kebahasaan. Faktor-faktor tersebut disebut
konteks karena memang sungguh-sungguh hadir bersama teks dan
mempengaruhi makna dan penafsiran teks.
Pentingnya konteks dapat dilihat pada contoh yang diberikan dalam
tatabahasa Baku Bahasa Indonesia tentang perbedaan makna ungkapan "Nurdin
memang pemberani" yang diungkapkan pada konteks yang berbeda. Pada
konteks pertama kata "pemberani" mengandung pengertian yang sebenarnya,
yaitu 'orang yang tak gentar'; namun pada konteks kedua kata tersebut
mengandung pengertian yang sebaliknya, yaitu 'penakut' atau 'pemalu'.
a. Konteks 1
Pembicara: Seorang anggota regu kamping Pendengar: Anggota-anggota
kamping yang lain Tempat: Sebuah hutan yang lebat
Waktu: Sore Hari
Situasi/peristiwa: regu itu telah lama mencari jalan ke lereng sebuah bukit
tempat berkemah. Mereka sekarang harus menempuh hutan yang lebat. Mula-
mula mereka ragu-ragu, tetapi pemimpin regu itu laju maju dan mendahului
kawan-kawannya menebas kayu-kayuan untuk membuat jalan. Seorang anggota
regu berkata, "Nurdin memang pemberani."
b. Konteks 2
Pembicara: Seorang siswa SMU Pendengar: Kawan-kawannya sekelas Tempat:
Halaman sekolah
Waktu: Sesuai pelajaran pertama
14

Situasi/peristiwa: Sekelompok siswa laki-laki sedang mengusik kawan-kawannya


siswa perempuan, kecuali Nurdin yang tinggal diam, tidak mau ikut-ikutan.
Semua siswa laki- laki di situ menggodanya agar dia mencubit lengan siswa
perempuan, tetapi Nurdin tetap diam. Seorang siswa laki-laki lalu berseru,
"Nurdin memang pemberani!"
Mengingat pentingnya faktor-faktor kontekstual dalam pemahaman
wacana, berikut ini didaftarkan dan diulas sepintas faktor-faktor atau unsur-unsur
konteks yang paling penting.
Latar (atau Setting) merupakan unsur konteks yang penting, yang meliputi
baik faktor tempat, waktu, situasi, peristiwa atau kejadian, maupun latar
psikologis (misalnya ketegangan atau kecurigaan).
Unsur konteks yang paling penting adalah partisipan atau peserta
komunikasi, yang meliputi baik pengirim pesan (adresser) maupun penerima
pesan (adressee) serta hubungan di antara keduanya. Addresser mungkin sama
dengan pembicara, tapi mungkin juga berbeda. Juru bicara, misalnya, adalah
pembicara, namun bukan addresser(pengirim pesan); boleh jadi ia
mengemukakan sesuatu karena tugas saja dan tidak sesuai dengan isi hatinya.
Demikian juga, addressee mungkin sama pendengar atau audiens, tetapi
mungkin juga berbeda.
Para peserta komunikasi, khususnya pembicara, mempunyai maksud dan
tujuan (Ends). Tujuan itu mempengaruhi penggunaan bahasanya. Tujuan dapat
meliputi tujuan perantara maupun tujuan akhir.
Untuk mengemukakan maksud atau tujuan itu, peserta komunikasi
melakukan serangkaian tindakan (Act sequences), khususnya tindak tutur, yaitu
mengucapkan kalimat-kalimat atau tutura-tuturan yang bermakna. Tindakan
disini meliputi bentuk- bentuk pesan seperti surat keputusan, pembicara telepon,
atau sms maupun isi pesan, yaitu topic-topik pembicaraan.
Tindak tutur yang dilakukan tentunya menggunakan kode tertentu yang
dipahami bersama-sama oleh peserta komunikasi. Kode merupakan system
lambing yang digunakan untuk menyampaikan pesan, baik lambing verbal
(bahasa) maupun non verbal (misalnya isyarat). Erat dengan kode alah gaya atau
15

variasi penggunaan kode tersebut untuk berbagai situasu nada resmi, gurauan,
cemooh, dan sebagainya. Ini pernah disebut kunci (Key) untuk memahami
makna.
Yang juga erat dengan kode adalah genre, yaitu konvensi-konvensi tertentu
dalam menggunakan bahasa sesuai dengan konteks, misalnya ada genre
karangan ilmiah, ada pula genre karya sastra; karya sastra selanjutnya mengenal
genre puisi dan prosa fiksi dan dan drama; lebih lanjut puisi sendiri mengenal
genre seperti sonata, pantun, atau ode. Seperti genre mengandung kaidah atau
kode menjadi kunci pemahaman.
Yang juga mempengruhi komunikasi adalah saluran, yaitu penggunaan alat-
alat tertentu untuk mengemas pesan (Instrumentalities). Kita mengenal
pembicaraan langsung, pembicaraan memalui telefon, khotbah memalui televise,
dan sebagainya.
Akhirnya perlu diperhatikan juga adanya norma-norma social yang berlaku
dalam suatu masyarakat bahasa (Norms). Yang paling relvan dengan penggunaan
bahsa adalah norma-norma mengenai interaksi social serta norma-norma
penafsiran.

3. Prinsip Kerja Sama dan Implikatur Percakapan


a. Prinsip Kerja-sama
Salah satu aspek dari penggunaan bahasa sebagai gejala sosial adalah bahwa
para peserta komunikasi harus bekerja sama agar percakapan dapat
dilangsungkan. Kalau kita mengamati percakapan yang lancar, kita dapat
mengamati bahwa tuturan-tuturan atau kalimat-kalimat yang diucapkan para
peserta percakapan itu saling berhubungan. Kesalinghubungan di antara tuturan
itu menunjukkan bahwa para peserta percakapan itu saling menyepakati tujuan
atau arah tertentu dari percakapan mereka sehingga tuturan-tuturan seolah-olah
berjalan pada jalur yang jelas. Inilah yang kemudian disebut dengan Prinsip kerja
sama (cooperative principle). Kerja sama merupakan suatu dasar atau prinsip
yang disepakati oleh para peserta komunikasi, sehingga kalimat-kalimat yang
diucapkan oleh kedua belah pihak membentuk satu kesatuan.
16

Prinsip kerja sama meliputi kaidah-kaidah (yang juga disebut maksim) yang
berhubungan dengan kuantitas, kualitas, hubungan, dan cara. Maksim kuantitas
menyatakan bahwa pembicara harus berbicara sebanyak yang diperlukan, jangan
terlalu banyak (“royal”) atau terlalu sedikit (“pelit”). Maksim kualitas
menyatakan bahwa pembicara harus mengemukakan sesuatu yang benar, dengan
kata lain harus berkata dengan jujur, dan menghindari ungkapan-ungkapan yang
tidak mempunyai dasar. Maksim hubungan (relasi) menyatakan bahwa
“melantur”. Akhirnya, maksim cara menyatakan bahwa pembicara hendaknya
berbicara dengan jelas dan teratur dan menghindari kekaburan dan makna ganda
(ambiguitas).
b. Implikatur konvensional dan Implikatur Percakapan
Yang menarik perhatian dalam penggunaan bahasa adalah bahwa kadang-
kadang, malahan sering, makna yang dimaksudkan oleh pembicara berbeda
dengan makna lahiriah kalimat yang diucapkan. Dengan kata lain, apa yang
dimaksudkan oleh si pembicara itu tersirat saja di dalam perkataannya. Inilah
yang disebut dengan implikatur. Implikatur meliputi 2 macam yaitu implikatur
konvensional dan implikatur percakapan.
Implikatur konvensional adalah makna tersirat yang dikemukakan dengan
bersandar pada konvensi-konvensi tentang penggunaan ungkapan-ungkapan
bahasa pada konteks dan sesuai dengan tujuan tertentu. Konvensi-konvensi ini di
antaranya meliputi entailment (implikasi logis), metafora konvensional, dan
presupposisi (pengandaian). Konsep-konsep ini dapat dipahami dengan menelaah
contoh-contoh dialog berikut.
A: Ali itu aktif, lho, di Senat Mahasiswa
B: Wah, kalai begitu ia benar-benar mahasiswa ideal, ya.
Dari perkataan si B, kita dapat menyimpulkan (menarik implikatur) bahwa si
B mempunyai anggapan tertentu tentang mahasiswa ideal, yaitu bahwa menjadi
mahasiswa ideal itu haruslah aktif dalam organisasi intrakampus. Walaupun
anggapan itu tidak dikatakan secara eksplisit pada kalimat yang diucapkan B,
anggapan tersebut sudah implicit di dalam perkataannya.
Perhatikan juga dialog singkat berikut. A: Siapa sih si Ali itu?
17

B: Itu, bintang yang tengah bersinar di kampus kita.


Kata-kata “bintang yang tengah bersinar” adalah ungkapan metaforis yang
relative sudah konvensional. Dengan mengetahui makna metafora tersebut, kita
dapat menarik kesimpulan bahwa Ali adalah orang yang terkenal karena prestasi
baiknya di kampus dan bukan terkenal karena kenakalannya. Kesimpulan
tersebut disimpulkan berdasarkan pengetahuan kita akan metafora yang di
gunakan.
Akhirnya, perhatikanlah dialog berikut.
Guru: Anak-anak, coba belajar berbicara tentang orang miskin.
Anak: Aku adalah orang miskin dan hidup di lingkungan orang miskin.
Pembantuku orang miskin; kalau bekerja ia selalu memakai sepatu but yang
butut. Sopir pribadi ayahku juga orang miskin; memang ia kelihatan seperti
orang kaya kalau sedang membawa mobil. Demikian juga petugas satpam yang
menjaga rumahku adalah orang miskin; ia sering diberi uang oleh Ayah.
Anda mungkin tersenyum membaca jawaban anak orang kaya di atas.
Walaupun ia mengatakan dirinya orang miskin, anda pasti berkesimpulan bahwa
ia sebenarnya (anak) orang kaya, karena mempunyai pembantu, tukang kebun,
sopir pribadi, dan satpam yang menjaga rumah adalah petunjuk bahwa seseorang
itu orang kaya.
Berbeda dengan implikatur-implikatur di atas, implikatur percakapan
merupakan kesimpulan yang dirumuskan berdasarkan kaidah-kaidah percakapan.
Implikatur percakapan dapat diterangkan sebagai hasil dari pelanggaran terhadap
sebagian prinsip kerja sama di atas. Perhatikanlah perkataan seorang ibu pada
anaknya seperti digambarkan berikut.
Anak: (berlonjak-lonjak di atas tempat tidur yang baru saja dirapikan ibunya
dan ibunya sudah sangat kelelahan)
Ibu: (dengan marah yang ditahan) waduh bagusnya anak ibu ini. Ayo
teruskan lonjak-lonjak, biar tempat tidurnya tambah rapi.
Jelaslah bahwa si ibu tidak sedang memuji anaknya walaupun kata-kata
yang diucapkannya kata-kata pujian. Yang ingin disampaikan justru sebaliknya,
yaitu celaan dan perintah agar anak itu segera menghentikan perbuatannya.
18

Perhatikan bahwa implikatur ini (celaan) tidak muncul karena konvensi tertentu,
melainkan karena terjadi pelanggaran terhadap maksim kualitas. Menurut
maksim kualitas, ibu harus berbuat jujur; namun si ibu memilih “tidak jujur”,
mungkin karena si ibu tidak ingin terlalu melukai perasaan anaknya.

4. Skemata dan Topik Wacana


Skemata dan Topik merupakan 2 pengertian yang sangat berbeda: skemata
merupakan struktur pengetahuan yang ada pada manusia pengguna bahasa,
sedangkan topic (dan konsep-konsep berkaitan lainnya akan segera diuraikan)
merupakan prinsip pengorganisasian wacana yang sekaligus ada pada manusia
dan juga pada wacana (teks). Walaupun demikian, kedua konsep tersebut
mempunyai keterkaitan yang erat, yaitu bahwa skemata merupakan prinsip yang
aktif dalam diri subjek pengolahan wacana, sedangkan topic wacana merupakan
prinsip yang aktif dalam diri objek, yaitu wacana (teks).
a. Skemata
1) Apakah Skemata Itu?
Skemata itu tersusun dari pengalaman yang digeneralisasikan. Sebagai
contoh, pengalaman-pengalaman kita di masa lalu mengajarkan bahwa kita dapat
membeli berbagai keperluan sehari-hari di pasar. Pengalaman juga memberitahu
kita bahwa pasar itu bermacam-macam (mulai dari pasar tradisional yang buka
seminggu sekali sampai pasar modern yang disebut supermarket atau
hypermarket), bahwa pasar-pasar tersebut menetapkan aturan berbelanja yang
berbeda, dan pengetahuan-pengetahuan lainnya. Kumpulan pengetahuan tersebut
itulah yang disebut dengan skema, dalam hal ini “skema pasar” atau “skema
berbelanja di pasar”. Selain mempunyai skema pasar, kita juga mempunyai
macam-macam skema lain, misalnya skema berdiskusi, skema pernikahan,
skema menabung di bank, dan skema beribadah.
Dalam Tatabahasa Baku Bahasa Indonesia, skema dianalogikan dengan
(naskah) pentas. Sebuah pentas dibangun oleh unsur-unsur pelaku, tindakan,
latar, serta benda- benda tertentu. Unsur-unsur tersebut merupakan variabel-
variabel yang dapat diberi nilai tertentu; misalnya, pelaku dapat berupa orang
19

dewasa atau anak-anak; latar dapat berupa pasar, took atau kantor. Mirip dengan
pentas, skemata juga terdiri atas variabel-variabel yang dapat diisi dengan nilai-
nilai tertentu. Skema membeli, misalnya, terdiri atas variable pelaku (penjual
dan pembeli), variabel tempat (toko, pasar), variabel waktu (pagi, malam),
variabel barang dagangan (buah-buahan, sabun cuci), variabel alat tukar (uang),
dan variabel tindakan (menawar, membayar).
2) Skemata sebagai Sarana Pemahaman Wacana
Bagaimanakah skema itu dimanfaatkan oleh pembaca dalam memahami
wacana? para ahli analisis wacana menyimpulkan bahwa dalam memahami
wacana skema diaktifkan dengan 2 cara/strategi yang berbeda namun saling
melengkapi, yaitu strategi pengaktifan bawah-ke atas (buttom-up) dan atas-ke
bawah (top down). Strategi bawah- ke atas terjadi ketika pembaca memahami
makna keseluruhan wacana melalui pemahaman kalimat-kalimat yang menyusun
wacana itu secara bertahap dengan menggunakan kaidah tatabahasa dan makna
leksikal. Strategi ini sering kita lakukan ketika kita memasuki situasi
pembicaraan tidak dari awal, tetapi langsung di tengah- tengah, misalnya ketika
kita terlambat. Dalam keadaan ini, secara perlahan-lahan kita menerka apa yang
sedang dibicarakan. Dengan proses itulah pembaca secara perlahan- lahan
membangun skema untuk menafsirkan wacana yang dihadapinya.
Strategi atas-ke bawah terjadi ketika pembaca memahami wacana dengan
terlebih dahulu memahami makna keseluruhannya. Hal ini terjadi, misalnya,
ketika judul suatu wacana sekaligus menggambarkan apa yang dituliskan. Judul
yang demikian secara langsung mengaktifkan skema mental pembaca, sehingga
pembaca menafsirkan bagian- bagian wacana sesuai dengan skema tersebut.
Pengetahuan tentang konteks wacana sekaligus membangkitkan skema mental
yang ada pada diri pembaca dan hal itu digunakan dalam memahami wacana.

b. Judul, Topik, Tema, dan Tesis


1) Klarifikasi Peristilahan
Pembaca dan penulis “bertemu” dalam wacana (teks). Dalam wacana tulis,
penulis tidak hadir secara fisik. Penulis tentulah menulis teksnya dengan skema
20

tertentu. Namun, berbeda dengan pembicara, penulis tidak dapat memantau


reaksi pembaca maupun membantu pembaca dalam memahami teks. Akibatnya,
karakteristik teks menjadi sandaran penting bagi pembaca dalam memahami
teks. Dalam kaitan inilah sarana-sarana kohesi yang sudah kita bahas menjadi
penting.
Selain sarana-sarana kohesi, judul juga dapat digunakan untuk menandai
koherensi wacana secara lahirlah. Judul terutama digunakan dalam wacana
tertulis seperti artikel, makalah, atau novel. Judul juga digunakan dalam
wacana lisan yang bersifat resmi, misalnya pidato ilmiah. Judul berfungsi
seperti label pada suatu produk yang berfungsi member identitas pada produk
tersebut. Sebagaimana halnya identitas-identitas lain, judul wacana mungkin
tidak benar-benar memberitahukan inti isi wacana yang diberi judul. Ini berlaku
terutama untuk karya-karya sastra. Layar Terkembang, misalnya, merupakan
judul novel yang tidak langsung memberitahukan isi novel tersebut, dan baru
setelah selesai membacanya pembaca dapat memberikan arti kepada judul
tersebut. Namun, untuk wacana-wacana nonsastra, apalagi wacana ilmiah, judul
biasanya memberitahukan isi pokok wacana bersangkutan.
Inti isi suatu wacana disebut topic wacana. Topik wacana adalah pokok
pembicaraan yang mendasari seluruh bagian wacana dan karenanya menandai
kesatuan makna wacana. Dalam buku Tatabahasa Baku Bahasa Indonesia, topic
didefinisikan sebagai “proposisi yang berwujud frasa atau kalimat yang menjadi
inti pembicaraan atau pembahasan”. Proposisi bahwa perang itu kejam,
misalnya, dapat diungkapkan dengan frasa “kejamnya perang” yang lebih
khusus. Tentu saja topik khusus juga dapat diperinci lagi menjadi topik yang
lebih khusus lagi. “kejamnya perang” dapat dikhususkan menjadi “kejamnya
perang bagi Anak-anak” atau “kejamnya Perang bagi Orang yang Lemah”.
Istilah lain yang berkaitan dengan topik dan sering dipertukarkan adalah
tema. Dalam buku tatabahasa baku Indonesia, tema tidak diberi bahasan yang
memuaskan; hanya dikatakan bahwa “tema lebih luas lingkupnya dan biasanya
lebih abstrak.” Kemudian dikatakan bahwa satu tema dapat diperinci menjadi
beberapa topik dan satu topik dapat diperinci lebih lanjut menjadi beberapa
21

judul. Dalam buku tersebut sama sekali tidak diberi petunjuk bagaimana
mengidentifikasi tema pada suatu karangan; hanya diberi contoh tentang tema
kegiatan yang dibagi menjadi topik-topik. Penjelasan seprti itu mungkin agak
membingungkan. Untuk menghindari kebingungan ini, dapat diusulkan dua
jalan keluar: pertama, topik dan tema disamakan saja sebagai pokok
pembicaraan; atau, kedua, kalau memang ada gunanya, tema dan topik
dibedakan dengan mencari dasar pembedaan yang lebih mirip.
Istilah lain lagi yang berdekatan dengan topik dan tema adalah tesis. Secara
etimologis kata ini mempunyai asal-usul yang sama dengan kata “tema”, yang
berasal dari pengertian ‘menempatkan’. Dalam karang-mengarang, tesis adsalah
suatu pendapat atau sikap yang ingin disampaikan/dipertahankan/dibuktikan oleh
penulis/pembicara dalam karangannya. Tesis selalu dikaitkan dengan orang,
bukan dengan karangan; kalau dikaitkan dengan karangan, tesis biasanya
dikemukakan dalam karangan argumentasi. Agak berbeda dengan tesis, tema
terutama digunakan untuk menyebut pendapat atau sikap yang dikemukakan
dalam karangan, dan karangannya tidak terbatas pada argumentasi. Dengan
demikian, tesis dan tema mempunyai pengertian yang sama, namun mempunyai
penggunaan yang agak berbeda. Untuk memahami perbedaan tesis dan tema,
perhatikanlah penggunaan kata “tema” dan “tesis” pada kalimat-kalimat Tanya
berikut ini. (tanda bintang [*] menunjukkan bahwa kalimat tersebut kurang tepat
atau kurang tegas dalam menyampaikan konsep).
a. Apa tema artikel ini?
b. *Apa tesis artikel ini?
c. Tesis apa yang ingin dipertahankan penulis dalam artikelnya?
d. *Tema apa yang ingin dipertahankan penulis dalam artikelnya?
2) Topik dan Koherensi Wacana
Dari keempat konsep diatas – judul, topik, tema, tesis – konsep topik
mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam analisis wacana, karena
semua konsep lain berpangkal pada konsep topik. Fungsi pokok topik dalam
wacana seperti sudah dikemukakan diatas adalah menciptakan koherensi
wacana, untuk menjamin bahwa wacana mempunyai kesatuan makna. Ditinjau
22

dalam konteks komunikasi, topik merupakan pijakan bersama yang harus


dijadikan pedoman oleh para peserta komunikasi. Karena semua peserta
komunikasi sudah mempunyai pijakan yang sama, maka dimungkinkan bagi
mereka untuk mengemukakan pendapat (tesis, tema) yang sama maupun yang
berbeda.
Pentingnya topik sebagai pijakan bersama terutama tampak dalam wacana
lisan. Dalam wacana lisan, terutama percakapan, para peserta komunikasi sering
tidak memulai dari topik yang pasti. Tidak jarang terjadi bahwa mereka
mempunyai minat, perhatian, atau kepentingan yang berbeda, sehingga topik
pembicaraan masih belum pasti. Dalam keadaan demikian, para peserta
komunikasi sering harus “bernegosiasi” dulu tentang topik pembicaraan.
Setelah diperoleh “kesepakatan” tentang topik, barulah percakapan dapat
dilanjutkan dengan lebih lancer. Kemungkinan lainnya adalah pembicaraan
berpindah dari topik yang satu ke topik yang lain secara “marathon”, sehingga
minat dan kepentingan tiap peserta percakapan terakomodasi. Dari segi
koherensi wacana, gejala ini menunjukkan bahwa setiap pembicaraan harus
mempunyai topik, baik yang dibicarakan itu topik tunggal dari awal sampai akhir
maupun topik ganda yang dibicarakan secara bergiliran.
Akhirnya perlu ditegaskan lagi bahwa topik karangan dari sudut analisis
wacana merupakan gejala kontekstual, yakni konteks komunikasi, dan karenanya
mempunyai kaitan-kaitan tertentu dengan unsur-unsur konteks yang sudah
disebut diatas, dan seperti yang disinggung diatas, topik karangan berhubungan
dengan konvensi-konvensi retorika seperti yang akan segera diuraikan berikut
ini.
D. Jenis-jenis Wacana
1. Berdasarkan Jenis Media yang Digunakan.
a. Wacana Tulis
Wacana tulis adalah sebuah wacana yang dituangkan atau disampaikan
melalui media tulis. Contohnya, koran, majalah, internet, dsb.
b. Wacana Lisan
Wacana lisan adalah media penyampaian wacana dengan menggunakan
23

media berbicara atau lisan. Contohnya, pidato, ceramah, seminar, dsb.

2. Berdasarkan Sifatnya
a. Wacana Transaksional
Wacana Transaksional adalah jenis wacana yang dalam penyampaiannya
lebih mementingkan komunikatif atau sifat penyampaian yang tidak
menimbulkan komunikasi simbal balik (tanya jawab). Contoh: pidato,
ceramah, makalah, cerita, tesis, dsb.
b. Wacana Interaksional
Wacana Interaksional adalah jenis wacana yang dalam penyampaiannya
lebih kepada sistem komunikasi atau dua orang atau lebih (komunikasi timbal
balik). Contoh : percakapan, debat, diskusi, surat-menyurat, dsb.
3. Berdasarkan Segi Penutur (Jumlah Penutur)
a. Wacana Monolog
Wacana yang melibatkan seorang penutur. Dalam wacana monolog hanya
terdapat peran tunggal pada diri pelaksana wacana, yaitu peran penyapa
(speaker) dan pesapa (addresser), tanpa ada pergantian dari peran satu ke yang
lain.
Contoh: Pidato kenegaraan presiden, Pengumuman resmi pemerintah, dan
Ceramah-ceramah tidak diikuti diskusi.
b. Wacana Dialog
Wacana dialog melibatkan dua orang penutur, yang secara pergantian atau
bergiliran bisa berperan ganda, yaitu sebagai penyapa dan sebagai pesapa.
c. Wacana Polilog
Wacana yang melibatkan pelaku wacana lebih dari dua orang. Dalam
wacana polilog ini juga terjadi pertukaran informasi karena setiap pelaku pada
wacana ini memiliki peran ganda secara bergantian.
4. Berdasarkan Cara Pemaparannya
a. Wacana Narasi
Rangkaian tuturan yang menceritakan atau menyajikan melalui penonjolan
24

tokoh pelaku dengan maksud memperluaspengetahuan pesapa. Kekuatan wacana


ini terletak pada urutan cerita berdasarkan waktu dan cara-cara bercerita yang
diatur melalui plot.
Contoh: “Hafiz terkejut mendengar suara kemenakannya itu. Dengan segera
ditariknya tali timba pengangkat tanah, tempat Abdullah bergantung. Ketika itu
tampaklah oleh Hafiz mata air berbusa-busa naik ke atas dengan cepat, besar,
dan jernih.”
b. Wacana Argumentasi
Karangan yang berisi pendapat yang disertai pembahasan logis dan
diperkuat dengan data atau fakta sehingga pendapat itu diterima kebenarannya.
Contoh: “Air yang tergenang seperti di kaleng-kaleng bekas dan di selokan
harus dibersihkan. Air yang tergenang itu tidak boleh dibiarkan karena akan
menjadi sarang nyamuk. Nyamuk akan bertelur dan berkembang biak di
genangan air tersebut.”
c. Wacana Persuasi
Karangan yang berisi imbauan atau ajakan kepada orang-orang tertentu,
kelompok, atau masyarakat tentang sesuatu. Agar hal yang disampaikan itu dapat
mempengaruhi orang lain, harus pula disertai penjelasan dan fakta.
Contoh: “Penggunaan pestisida dan pupuk kimia untuk tanaman dalam
jangka waktu lama tidak lagi menyuburkan tanaman dan memberantas hama.
Pestisida justru dapat mencemari lingkungan dan menjadikan tanah lebih keras
sehingga perlu pengolahan dengan biaya yang tinggi. Oleh sebab itu, hindarilah
penggunaan pestisida secara berlebihan.”
d. Wacana Eksposisi
Rangkaian tuturan yang bersifat memaparkan suatu pokok pikiran dengan
cara menyampaikan uraian bagian-bagian atau detailnya. Tujuan pokoknya
adalah tercapainya tingkat pemahaman akan sesuatu itu supaya lebih jelas,
mendalam, dan luas.
Contoh: “Membaca intensif merupakan kegiatan membaca secara teliti atau
membaca secara saksama bacaan berupa teks. Tujuan membaca dengan
cara ini untuk mendapatkan pemahaman isi bacaan secara tepat dan rinci.
25

Misalnya, mengetahui hal-hal yang diperlukan.”


e. Wacana Deskripsi
Rangkaian tuturan yang memaparkan sesuatu atau melukiskan sesuatu, baik
berdasarkan pengalaman maupun pengetahuan penuturnya. Tujuan yang ingin
dicapai oleh wacana deskripsi adalah tercapainya penghayatan yang agak
imajinatif terhadap sesuatu, sehingga pesapa merasakan seolah-olah ia sendiri
mengalami atau mengetahuinya secara langsung.
Contoh: “Malam itu indah sekali. Bintang-bintang di langit berkerlap-kerlip
memancarkan cahaya. Udara dingin menusuk kulit. Sesekali terdengar suara
jangkrik mengusik sepinya malam.”
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Penyamapain pesan di era yang modern ini sudah sangat fariatif, baik itu
media yang digunakan, seperti e-mail, sms, internet, dan pidato, maupun cara
yang digunakan, seperti diskusi, ceramah, dsb. Cara penyampaian pesan yang
sangat umum adalah melalui karya sastra seperti novel, lagu, maupun puisi.
Namun, semua itu bersifat bebas karena terikat dengan dengan statusnya sebagai
karya sastra atau arya yang bebas. Berbeda dengan puisi, lagu, dan novel,
Wacana muncul sebagai salah satu media penyampaian pesan, pendapat, maupun
argumentasi yang memiliki aturan baku yang sangat jelas dan kompleks.
Wacana salah satu media yang sangat efektif untuk menyampaikan pesan,
karena sangat fleksibel dalam kegunaannya. Dalam penggunaan wacana ada
banyak jenis dan macamnya. Ketika itu ditinjau dari segi media yang digunakan,
ada wacana lisan dan ada wacana tertulis, begitupun ketika wacana ditinjau dari
segi cara pemamparannya, ada Narasi, Persuasi, Argumentasi, Eksposisi, dan
Deskripsi. Dengan adanya berbagai macam wacana ini, membuat wacana selalu
digunakan oleh banyak orang dalam penyampaian pesan atau argumen mereka.
Kami berharap dengan adanya makalah yang membahas lengkap
mengenai wacana ini, dapat memberikan pemahaman yang baik kepada para
pembaca, sehingga bisa mengaplikasikan dan mengetahui wacana itu sendiri.

B. Saran
Pada akhirnya kami akan memberikan saran, guna membangun tatanan
berbahasa yang lebih baik lagi, khususnya pada bagian Wacana itu sendiri.
1. Penggunaan wacana haruslah sesuai dengan macam atau jenisnya.
2. Penggunaan wacana harus selalu disesuaikan dengan konteksnya.
3. Selalu menggunakan Bahasa Indonesia yang benar dan baik.

26
DAFTAR PUSTAKA

Evandra, Erato Dido. 2013. Pengertian Wacana. [Online]. Ditulis dalam:


http://kmbsi.blogspot.com/2013/05/makalah-pengertian-
wacana.html. Diakses pada 17 April 2014.
Hayati, Nur. 2013. Kohesi dan Koherensi. [Online]. Ditulis dalam:
http://dandelionidha.blogspot.com/2013/03/kohesi-dan-
koherensi_1709.html.
Diakses pada 17 April 2014.
Mujianto, Gigit. Sudjalil. Dkk. 2013. Bahasa Indonesia untuk Karangan
Ilmiah. Malang: UMM Press.
. 2013. Jenis Karangan/ Wacana Beserta Penjelasan dan
Contohnya. [Online]. Ditulis dalam:
http://faozi12.wordpress.com/2013/02/21/jenis-karangan- wacana-
beserta-penjelasan-dan-contohnya/. Diakses pada 17 April 2014.
. 2012. Pengertian Kohesi dan Koherensi. [Online]. Ditulis
dalam: http://ionetwo.blogspot.com/2012/12/pengertian-kohesi-
dan-koherensi.html.
Diakses pada 17 April 2014.

27

Anda mungkin juga menyukai