BAHASA INDONESIA
Wacana
Disusun Oleh:
Zakiah
Dosen Pengampu :
Refril Dani, M.Pd
Penyusun
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................................i
DAFTAR ISI...............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................1
A. Latar Belakang..............................................................................................................1
B. Rumusan Masalah........................................................................................................2
C. Tujuan Penulisan..........................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................3
A. Pengertian Wacana.......................................................................................................3
B. Koherensi dan Kohesi...................................................................................................4
C. Konteks Wacana...........................................................................................................9
1. Berbahasa sebagai Tindakan........................................................................................9
2. Tindak Tutur dalam Konteks......................................................................................12
3. Prinsip Kerja Sama dan Implikatur Percakapan.........................................................15
4. Skemata dan Topik Wacana.......................................................................................18
D. Jenis-jenis Wacana.....................................................................................................22
1. Berdasarkan Jenis Media yang Digunakan.................................................................22
2. Berdasarkan Sifatnya..................................................................................................23
3. Berdasarkan Segi Penutur (Jumlah Penutur)..............................................................23
4. Berdasarkan Cara Pemaparannya...............................................................................23
BAB III PENUTUP................................................................................................26
A. Kesimpulan.................................................................................................................26
B. Saran ......................................................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................27
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di era globalisasi seperti sekarang ini, dimana kita dituntut untuk bisa
menjalani keseharian dengan cepat, tepat, dan sosialis, sudah barang tentunya
semua itu membutuhkan komunikasi yang juga sekaligus menunjukkan kalau
manusia itu merupakan makhluk sosial. Makhluk yang saling membutuhkan satu
sama lain, dan untuk menunjukkan itu, maka komunikasi tentunya menempati
tempat yang sangat penting dalam kehidupan manusia.
Dalam berkomunikasi tentunya dibutuhkan banyak aspek untuk bisa
menciptakan suatu sistem atau tataran komunikasi yang baik. Agar pesan yang
akan disampaikan bisa diterima dengan jelas dan baik oleh lawan bicara kita. Hal
tersebut diantaranya adalah bahasa. Di dalam bahasa ada banyak aspek lagi yang
perlu kita pahami agar komunikasi bisa tersampaikan sesuai dengan yang kita
harapkan. Dan media untuk menyampaikan pesan dalam berbahasa pun itu ada
banyak jenisnya, mulai dari puisi, novel, lagu, dan wacana.
Penyampaian pesan ataupun argumen dalam bentuk puisi, novel, dan lagu
merupakan cara penyampaian pesan yang dapat dilakukan tanpa menggunakan
tata bahasa yang baku, karena semua itu merupakan karya sastra. Namun,
berbeda dengan puisi, novel, dan lagu, wacana merupakan media
penyampaian pesan atau argumen yang memiliki aturannya tersendiri karena
wacana masuk sebagai golongan karya ilmiah yang memiliki aturan baku. Oleh
karena itu, pada makalah ini, kami akan mencoba menjelaskan mengenai cara
penyampaian pesan ataupun argumen melalui wacana. Baik itu dari
peneganalan wacana,
sistem penulisan wacana, maupun sampai kepada macam-macam wacana itu
sendiri.
1
2
B. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang diatas, maka rumusan masalah yang ingin kami
pecahkan yaitu, bagaimana cara penyampaian pesan atau argumen melalui media
wacana yang sesuia dengan aturan baku kepenulisan.
C. Tujuan Penulisan
Merujuk kepada rumusan masalah diatas, tujuan yang ingin kami capai
adalah untuk mengetahui cara penyampaian pesan atau argumen melalui media
wacana yang sesuai dengan aturan baku kepenulisan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Wacana
Bahasa tidak boleh ditafsirkan sebagai satuan-satuan yang terpisah-pisah.
Satuan- satuan bahasa –morfem, kata, kelompok kata, klausa, kalimat- bukanlah
satuan-satuan yang terpisah-pisah, melainkan bagian dari bahasa sebagai suatu
sistem simbolik yang digunakan untuk berkomunikasi di dalam konteks sosial.
Penggunaan bahasa untuk berkomunikasi dalam konteks sosial itulah yang
disebut dengan istilah Wacana, sedangkan ilmu yang mempelajarinya disebut
analisis wacana.
Perhatikan perkataan “pengunaan bahasa” dalam definisi singkat wacana di
atas. Perkataan “pengunaan bahasa” mengandung pengertian bahwa wacana itu
bukanlah pertama-tama persoalan bentuk bahasa, melainkan persoalan fungsi
(pengunaan) bentuk bahasa tersebut dalam kegiatan berbahasa. Hendaknya
dipahami bahwa bentuk bahasa merupakan perhatian utama tatabahasa
(gramatika); berbeda dengan tatabahasa, analisa wacana terutama
memperhatikan fungsi bahasa. Tatabahasa akan menerangkan kedua kalimat
berikut:
a. Dian melamar Ayu kemarin pagi.
b. Ayu dilamar (oleh) Dian kemarin pagi.
Sebagai dua bentuk kalimat yang berbeda, yaitu bentuk aktif dan pasif;
sedangkan analisis wacana akan menerangkan bahwa kedua bentuk kalimat
tersebut digunakan dalam konteks yang berbeda. Misalnya, kalimat (a.) akan
lebih tepat digunakan sebagai jawaban atas pertanyaan “Apa yang dilakukan
Dian kemarin pagi?” daripada kalimat (b.), sedangkan kalimat (b.) akan lebih
tepat digunakan sebagai jawaban atas pertanyaan “Ayu dilamar siapa kemarin
pagi?” daripada kalimat (a.).
Selain itu perhatikan pula perkataan “untuk berkomunikasi dalam konteks sosial”
dalam definisi di atas. Perkataan tersebut menerangkan lebih lanjut bahwa
3
4
penggunaan bahasa itu tidak terjadi dalam ruang hampa, melainkan dalam
suatu konteks tertentu. Manusia adalah makhluk sosial yang senantiasa
berkomunikasi dalam konteks sosial yang berbeda-beda, misalnya konteks
rumah tangga, konteks kelas, konteks pemerintahan desa, dan lain sebagainya.
Makna konteks dalam kaintanya dengan wacana adalah bahwa konteks itu
memberikan kerangka makna dan keutuhan wacana. Wacana lisan berikut ini
akan tamak masuk akal jika konteksnya adalah suatu tempat di Jakata.
A: Mobil saya mogok, mas. B: Mau didorong, ya, Pak?
Namun, akan kurang masuk akal kalau konteksnya adalah suatu tempat
pemukiman di Amerika Serikat. Sesuai dengan konteks budaya di sana, wacana
yang lebih masuk akal adal sebagai berikut.
A: Excuse me, my car stalled.
B: The garage is three blocks down this road.
Selain terdiri atas unsur fungsi dan konteks, tentu saja wacana juga terdiri
atas unsur- unsur kebahasaan. Dari segi tekahir ini, wacana sering didefinisikan
sebagai satuan bahasa yang lebih besar daripada kalimat. Aspek “lebih besar dari
kalimat” ini juga perlu diperhatikan karena memang, dalam berkomunikasi, baik
secara lisan maupun tertulis, jarang kita menggunakan hanaya sebuah kalimat;
paling tidak, kita menggunakan beberapa kalimat. Malahan kalimat yang
digunakan bisa banyak sekali, misalnya dalam bercakap- cakap, berpidato, dsb.
Walaupun demikian, perlu dipahami bahwa yang menyebabkan serangkaian
kalimat menjadi wacana bukanlah jumlanya yang banyak, melainkan adanya
kesatuan makna yang mengikat berbagai kalimat yang digunakan.
Tentu saja, cara menyatakan direktif dapat berbeda dari satu bahasa ke bahasa
yang lain.
Tindak komisif adalah penggunaan Bahasa untuk menyatakan janji
melakukan tindakan atau penolakan melakukan tindakan. Seperti halnya direktif,
komisif juga dapar diungkapkan dengan cara berbeda-beda dalam hal
kekuatannya (kepastiannya). Bandingkanlah contoh-contoh kalimat berikut:
a. Mungkin besok saya akan melakukan hal itu.
b. Jangan cemas, saya pasti akan melakukan hal itu.
c. Saya bersumpah besok saya akan melakukan hal itu.
Tindak representatif adalah penggunaan Bahasa untuk menyatakan fakta.
Cirinya adalah dapat dikenai benar-salah. Namun, dalam representatif juga ada
variasi dalam hal kekuatannya, misalnya dengan pembatasan-pembatasan
tertentu. Perhatikanlah contoh- contoh berikut:
a. Barangkali dia ada di kampus..
b. Tampaknya sekarang hujan di luar.
c. Sudah pasti dia sekarang bermain musik di studio.
Tindak deklaratif adalah penggunaan bahasa untuk mengubah atau
menciptakan suatu keadaan, seperti menyatakan bersalah (oleh hakim),
menikahkan (oleh penghulu), meresmikan penggunaan bangunan, dan
sebagainya. Tentu ada persyaratan tentang peran dari orang yang
mengucapkannya. Inilah beberapa contoh dekoratif:
a. Dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia.
b. Dengan ini kami nyatakan seminar nasional ... secara resmi dibuka.
c. Dengan ini kami angkat Saudara sebagai kepala bagian ...
Tindak ekspresif adalah pengguanaan bahasa untuk mengungkapkan
perasaan pembicara. Suka dan tidak suka merupakan ungkapan perasaan yang
utama.
Klasifikasi tindak tutur di atas hendaknya tidak dipahami sebagai klasifikasi
yang sempurna, karena masih ada klasifikasi-klasifikasi lain lagi. Sebagai
contoh, dalam bidang pengajaran bahasa, telah dikembangkan salah satu
klasifikasi tindak tutur yang sangat terperinci untuk keperluan pengembangan
12
komunikasi. Oleh karena itulah, uraian selanjutnya akan diarahkan pada unsur-
unsur konteks.
b. Unsur-unsur Konteks
Konteks meliputi apa saja yang ada bersama-sama dengan teks (context =
con 'bersama-sama', text 'teks' ), baik yang ada sebelum teks maupun sesudahnya.
Dengan demikian, konteks meliputi baik unsur-unsur situasional nonbahasa
maupun unsur-unsur tekstual (berhubungan dengan bahasa). Kedudukan sosial
orang yang berbicara dan waktu pembicaraan, misalnya, adalah faktor
situasional nonkebahasaan, sedangkan bahasa resmi atau bahasa santai (tidak
resmi) yang digunakannya faktor kebahasaan. Faktor-faktor tersebut disebut
konteks karena memang sungguh-sungguh hadir bersama teks dan
mempengaruhi makna dan penafsiran teks.
Pentingnya konteks dapat dilihat pada contoh yang diberikan dalam
tatabahasa Baku Bahasa Indonesia tentang perbedaan makna ungkapan "Nurdin
memang pemberani" yang diungkapkan pada konteks yang berbeda. Pada
konteks pertama kata "pemberani" mengandung pengertian yang sebenarnya,
yaitu 'orang yang tak gentar'; namun pada konteks kedua kata tersebut
mengandung pengertian yang sebaliknya, yaitu 'penakut' atau 'pemalu'.
a. Konteks 1
Pembicara: Seorang anggota regu kamping Pendengar: Anggota-anggota
kamping yang lain Tempat: Sebuah hutan yang lebat
Waktu: Sore Hari
Situasi/peristiwa: regu itu telah lama mencari jalan ke lereng sebuah bukit
tempat berkemah. Mereka sekarang harus menempuh hutan yang lebat. Mula-
mula mereka ragu-ragu, tetapi pemimpin regu itu laju maju dan mendahului
kawan-kawannya menebas kayu-kayuan untuk membuat jalan. Seorang anggota
regu berkata, "Nurdin memang pemberani."
b. Konteks 2
Pembicara: Seorang siswa SMU Pendengar: Kawan-kawannya sekelas Tempat:
Halaman sekolah
Waktu: Sesuai pelajaran pertama
14
variasi penggunaan kode tersebut untuk berbagai situasu nada resmi, gurauan,
cemooh, dan sebagainya. Ini pernah disebut kunci (Key) untuk memahami
makna.
Yang juga erat dengan kode adalah genre, yaitu konvensi-konvensi tertentu
dalam menggunakan bahasa sesuai dengan konteks, misalnya ada genre
karangan ilmiah, ada pula genre karya sastra; karya sastra selanjutnya mengenal
genre puisi dan prosa fiksi dan dan drama; lebih lanjut puisi sendiri mengenal
genre seperti sonata, pantun, atau ode. Seperti genre mengandung kaidah atau
kode menjadi kunci pemahaman.
Yang juga mempengruhi komunikasi adalah saluran, yaitu penggunaan alat-
alat tertentu untuk mengemas pesan (Instrumentalities). Kita mengenal
pembicaraan langsung, pembicaraan memalui telefon, khotbah memalui televise,
dan sebagainya.
Akhirnya perlu diperhatikan juga adanya norma-norma social yang berlaku
dalam suatu masyarakat bahasa (Norms). Yang paling relvan dengan penggunaan
bahsa adalah norma-norma mengenai interaksi social serta norma-norma
penafsiran.
Prinsip kerja sama meliputi kaidah-kaidah (yang juga disebut maksim) yang
berhubungan dengan kuantitas, kualitas, hubungan, dan cara. Maksim kuantitas
menyatakan bahwa pembicara harus berbicara sebanyak yang diperlukan, jangan
terlalu banyak (“royal”) atau terlalu sedikit (“pelit”). Maksim kualitas
menyatakan bahwa pembicara harus mengemukakan sesuatu yang benar, dengan
kata lain harus berkata dengan jujur, dan menghindari ungkapan-ungkapan yang
tidak mempunyai dasar. Maksim hubungan (relasi) menyatakan bahwa
“melantur”. Akhirnya, maksim cara menyatakan bahwa pembicara hendaknya
berbicara dengan jelas dan teratur dan menghindari kekaburan dan makna ganda
(ambiguitas).
b. Implikatur konvensional dan Implikatur Percakapan
Yang menarik perhatian dalam penggunaan bahasa adalah bahwa kadang-
kadang, malahan sering, makna yang dimaksudkan oleh pembicara berbeda
dengan makna lahiriah kalimat yang diucapkan. Dengan kata lain, apa yang
dimaksudkan oleh si pembicara itu tersirat saja di dalam perkataannya. Inilah
yang disebut dengan implikatur. Implikatur meliputi 2 macam yaitu implikatur
konvensional dan implikatur percakapan.
Implikatur konvensional adalah makna tersirat yang dikemukakan dengan
bersandar pada konvensi-konvensi tentang penggunaan ungkapan-ungkapan
bahasa pada konteks dan sesuai dengan tujuan tertentu. Konvensi-konvensi ini di
antaranya meliputi entailment (implikasi logis), metafora konvensional, dan
presupposisi (pengandaian). Konsep-konsep ini dapat dipahami dengan menelaah
contoh-contoh dialog berikut.
A: Ali itu aktif, lho, di Senat Mahasiswa
B: Wah, kalai begitu ia benar-benar mahasiswa ideal, ya.
Dari perkataan si B, kita dapat menyimpulkan (menarik implikatur) bahwa si
B mempunyai anggapan tertentu tentang mahasiswa ideal, yaitu bahwa menjadi
mahasiswa ideal itu haruslah aktif dalam organisasi intrakampus. Walaupun
anggapan itu tidak dikatakan secara eksplisit pada kalimat yang diucapkan B,
anggapan tersebut sudah implicit di dalam perkataannya.
Perhatikan juga dialog singkat berikut. A: Siapa sih si Ali itu?
17
Perhatikan bahwa implikatur ini (celaan) tidak muncul karena konvensi tertentu,
melainkan karena terjadi pelanggaran terhadap maksim kualitas. Menurut
maksim kualitas, ibu harus berbuat jujur; namun si ibu memilih “tidak jujur”,
mungkin karena si ibu tidak ingin terlalu melukai perasaan anaknya.
dewasa atau anak-anak; latar dapat berupa pasar, took atau kantor. Mirip dengan
pentas, skemata juga terdiri atas variabel-variabel yang dapat diisi dengan nilai-
nilai tertentu. Skema membeli, misalnya, terdiri atas variable pelaku (penjual
dan pembeli), variabel tempat (toko, pasar), variabel waktu (pagi, malam),
variabel barang dagangan (buah-buahan, sabun cuci), variabel alat tukar (uang),
dan variabel tindakan (menawar, membayar).
2) Skemata sebagai Sarana Pemahaman Wacana
Bagaimanakah skema itu dimanfaatkan oleh pembaca dalam memahami
wacana? para ahli analisis wacana menyimpulkan bahwa dalam memahami
wacana skema diaktifkan dengan 2 cara/strategi yang berbeda namun saling
melengkapi, yaitu strategi pengaktifan bawah-ke atas (buttom-up) dan atas-ke
bawah (top down). Strategi bawah- ke atas terjadi ketika pembaca memahami
makna keseluruhan wacana melalui pemahaman kalimat-kalimat yang menyusun
wacana itu secara bertahap dengan menggunakan kaidah tatabahasa dan makna
leksikal. Strategi ini sering kita lakukan ketika kita memasuki situasi
pembicaraan tidak dari awal, tetapi langsung di tengah- tengah, misalnya ketika
kita terlambat. Dalam keadaan ini, secara perlahan-lahan kita menerka apa yang
sedang dibicarakan. Dengan proses itulah pembaca secara perlahan- lahan
membangun skema untuk menafsirkan wacana yang dihadapinya.
Strategi atas-ke bawah terjadi ketika pembaca memahami wacana dengan
terlebih dahulu memahami makna keseluruhannya. Hal ini terjadi, misalnya,
ketika judul suatu wacana sekaligus menggambarkan apa yang dituliskan. Judul
yang demikian secara langsung mengaktifkan skema mental pembaca, sehingga
pembaca menafsirkan bagian- bagian wacana sesuai dengan skema tersebut.
Pengetahuan tentang konteks wacana sekaligus membangkitkan skema mental
yang ada pada diri pembaca dan hal itu digunakan dalam memahami wacana.
judul. Dalam buku tersebut sama sekali tidak diberi petunjuk bagaimana
mengidentifikasi tema pada suatu karangan; hanya diberi contoh tentang tema
kegiatan yang dibagi menjadi topik-topik. Penjelasan seprti itu mungkin agak
membingungkan. Untuk menghindari kebingungan ini, dapat diusulkan dua
jalan keluar: pertama, topik dan tema disamakan saja sebagai pokok
pembicaraan; atau, kedua, kalau memang ada gunanya, tema dan topik
dibedakan dengan mencari dasar pembedaan yang lebih mirip.
Istilah lain lagi yang berdekatan dengan topik dan tema adalah tesis. Secara
etimologis kata ini mempunyai asal-usul yang sama dengan kata “tema”, yang
berasal dari pengertian ‘menempatkan’. Dalam karang-mengarang, tesis adsalah
suatu pendapat atau sikap yang ingin disampaikan/dipertahankan/dibuktikan oleh
penulis/pembicara dalam karangannya. Tesis selalu dikaitkan dengan orang,
bukan dengan karangan; kalau dikaitkan dengan karangan, tesis biasanya
dikemukakan dalam karangan argumentasi. Agak berbeda dengan tesis, tema
terutama digunakan untuk menyebut pendapat atau sikap yang dikemukakan
dalam karangan, dan karangannya tidak terbatas pada argumentasi. Dengan
demikian, tesis dan tema mempunyai pengertian yang sama, namun mempunyai
penggunaan yang agak berbeda. Untuk memahami perbedaan tesis dan tema,
perhatikanlah penggunaan kata “tema” dan “tesis” pada kalimat-kalimat Tanya
berikut ini. (tanda bintang [*] menunjukkan bahwa kalimat tersebut kurang tepat
atau kurang tegas dalam menyampaikan konsep).
a. Apa tema artikel ini?
b. *Apa tesis artikel ini?
c. Tesis apa yang ingin dipertahankan penulis dalam artikelnya?
d. *Tema apa yang ingin dipertahankan penulis dalam artikelnya?
2) Topik dan Koherensi Wacana
Dari keempat konsep diatas – judul, topik, tema, tesis – konsep topik
mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam analisis wacana, karena
semua konsep lain berpangkal pada konsep topik. Fungsi pokok topik dalam
wacana seperti sudah dikemukakan diatas adalah menciptakan koherensi
wacana, untuk menjamin bahwa wacana mempunyai kesatuan makna. Ditinjau
22
2. Berdasarkan Sifatnya
a. Wacana Transaksional
Wacana Transaksional adalah jenis wacana yang dalam penyampaiannya
lebih mementingkan komunikatif atau sifat penyampaian yang tidak
menimbulkan komunikasi simbal balik (tanya jawab). Contoh: pidato,
ceramah, makalah, cerita, tesis, dsb.
b. Wacana Interaksional
Wacana Interaksional adalah jenis wacana yang dalam penyampaiannya
lebih kepada sistem komunikasi atau dua orang atau lebih (komunikasi timbal
balik). Contoh : percakapan, debat, diskusi, surat-menyurat, dsb.
3. Berdasarkan Segi Penutur (Jumlah Penutur)
a. Wacana Monolog
Wacana yang melibatkan seorang penutur. Dalam wacana monolog hanya
terdapat peran tunggal pada diri pelaksana wacana, yaitu peran penyapa
(speaker) dan pesapa (addresser), tanpa ada pergantian dari peran satu ke yang
lain.
Contoh: Pidato kenegaraan presiden, Pengumuman resmi pemerintah, dan
Ceramah-ceramah tidak diikuti diskusi.
b. Wacana Dialog
Wacana dialog melibatkan dua orang penutur, yang secara pergantian atau
bergiliran bisa berperan ganda, yaitu sebagai penyapa dan sebagai pesapa.
c. Wacana Polilog
Wacana yang melibatkan pelaku wacana lebih dari dua orang. Dalam
wacana polilog ini juga terjadi pertukaran informasi karena setiap pelaku pada
wacana ini memiliki peran ganda secara bergantian.
4. Berdasarkan Cara Pemaparannya
a. Wacana Narasi
Rangkaian tuturan yang menceritakan atau menyajikan melalui penonjolan
24
A. Kesimpulan
Penyamapain pesan di era yang modern ini sudah sangat fariatif, baik itu
media yang digunakan, seperti e-mail, sms, internet, dan pidato, maupun cara
yang digunakan, seperti diskusi, ceramah, dsb. Cara penyampaian pesan yang
sangat umum adalah melalui karya sastra seperti novel, lagu, maupun puisi.
Namun, semua itu bersifat bebas karena terikat dengan dengan statusnya sebagai
karya sastra atau arya yang bebas. Berbeda dengan puisi, lagu, dan novel,
Wacana muncul sebagai salah satu media penyampaian pesan, pendapat, maupun
argumentasi yang memiliki aturan baku yang sangat jelas dan kompleks.
Wacana salah satu media yang sangat efektif untuk menyampaikan pesan,
karena sangat fleksibel dalam kegunaannya. Dalam penggunaan wacana ada
banyak jenis dan macamnya. Ketika itu ditinjau dari segi media yang digunakan,
ada wacana lisan dan ada wacana tertulis, begitupun ketika wacana ditinjau dari
segi cara pemamparannya, ada Narasi, Persuasi, Argumentasi, Eksposisi, dan
Deskripsi. Dengan adanya berbagai macam wacana ini, membuat wacana selalu
digunakan oleh banyak orang dalam penyampaian pesan atau argumen mereka.
Kami berharap dengan adanya makalah yang membahas lengkap
mengenai wacana ini, dapat memberikan pemahaman yang baik kepada para
pembaca, sehingga bisa mengaplikasikan dan mengetahui wacana itu sendiri.
B. Saran
Pada akhirnya kami akan memberikan saran, guna membangun tatanan
berbahasa yang lebih baik lagi, khususnya pada bagian Wacana itu sendiri.
1. Penggunaan wacana haruslah sesuai dengan macam atau jenisnya.
2. Penggunaan wacana harus selalu disesuaikan dengan konteksnya.
3. Selalu menggunakan Bahasa Indonesia yang benar dan baik.
26
DAFTAR PUSTAKA
27