Anda di halaman 1dari 14

BAHASA DAN KONTEKS SOSIAL

Mata Kuliah Pragmatik


Dosen Pengampu :
Drs. Malan Lubis, M.Hum.
D

oleh:

Kelompok 3

Hosea Anderson Sirait NIM 2173210010

Boy Pratama Sembiring NIM 2172210008

Rani Feronika Simanjuntak NIM 2171210010

Sastra Indonesia Nondik – A 2017

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA


JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
MEDAN
2018
KATA PENGANTAR

Puji Syukur atas khadirat Allah SWT. karena dengan rahmat dan karunia-Nya penulis
dapat menyelesaikan makalah ini dalam mata kuliah Pragmatik. Makalah ini dibuat untuk
memenuhi salah satu tugas Tugas rutin.

Penulis sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan
serta pengetahuan kita mengenai sastra khususnya dalam bidang Pragmatik.

Penulis menyadari bahwa makalah ini mungkin belumlah sempurna. Oleh karena itu,
saran dan kritik yang membangun dari pembaca sangat dibutuhkan untuk penyempurnaan
makalah ini.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih.

Medan, 16 September 2018

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................... i

DAFTAR ISI ..................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 1


A. Latar Belakang..................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah................................................................................ 1
C. Tujuan Penulisan................................................................................. 2
D. Manfaat Penulisan............................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN .................................................................................. 3


A. Hubungan Bahasa dan Konteks Sosial............................................. 3
B. Peristiwa Tutur.................................................................................... 4
C. Tindak Tutur....................................................................................... 5
D. Tindak Tutur dan Pragmatik............................................................ 7

BAB III PENUTUP .......................................................................................... 9


A. Kesimpulan.......................................................................................... 9
B. Saran..................................................................................................... 9

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 10

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bahasa merupakan alat komunikasi yang berupa sistem lambang bunyi yang
dihasilkan alat ucap manusia. Bahasa sendiri digunakan untuk berkomunikasi antar
sesama untuk menyampaikan suatu aspirasi, gagasan atau pikiran dalam masyarakat.
Tanpa adanya bahasa, manusia sebagai makhluk sosial akan sulit untuk berkomunikasi
dengan sesamanya. Tentu kita ketahui bahwa di Indonesia memiliki berbagai macam
bahasa yang berbeda sesuai dengan wilayah yang ada. Dari wilayah Sabang sampai
Merauke jika kita jelajahi secara langsung, pasti jarang ada yang menggunakan bahasa
yang sama kecuali bahasa Nasional negara kita, namun jika kita temukan didalam
pedalaman wilayah di negara kita, pasti ada suku yang tidak mengetahui bahasa nasional
karena telah terbiasa menggunakan bahasa penghantar di wilayahnya tersebut.
Dalam penggunaan bahasa itu sendiri, ada penempatan dalam berbahasa sesuai
dengan kebutuhan masing-masing. Maka tidak jarang di kota-kota besar sekalipun,
seseorang yang berbahasa sesuai dengan konteks sosial yang ada. Dalam bahasa
mempunyai kelas sosial (social class) yang mengacu kepada golongan masyarakat yang
mempunyai kesamaan tertentu dalam bidang kemasyarakatan seperti ekonomi, pekerjaan,
pendidikan, kedudukan, kasta, dan sebagainya. Karena kita ketahui bahwa, ada dua aspek
yang mendasar dalam pengertian masyarakat. Yang pertama ialah bahwa anggota-anggota
suatu masyarakat hidup dan berusaha bersama secara berkelompok-kelompok. Aspek
yang kedua ialah bahwa anggota-anggota dan kelompok-kelompok masyarakat dapat
hidup bersama karena ada suatu perangkat hukum dan adat kebiasaan yang mengatur
kegiatan dan tindak laku mereka, termasuk tindak laku berbahasa.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana hubungan bahasa dan konteks sosial?
2. Apa peristiwa tutur dan tindak tutur?
3. Apa yang dimaksud dengan tindak tutur dan pragmatik?

1
C. Tujuan Penulisan
Dalam penulisan makalah ini, penulis mempunyai beberapa tujuan. Adapun tujuan
dari penulisan makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui hubungan bahasa dan konteks sosial.
2. Untuk menjelaskan peristiwa tutur dan tindak tutur.
3. Untuk mengetahui pengertian tindak tutur dan pragmatik.

D. Manfaat Penulisan
Melalui penjelasan dari makalah ini pembaca diharapkan dapat menambah
pengetahuan kita tentang bahasa dan konteks sosial, dapat mengetahui peristiwa tutur dan
tindak tutur, serta menambah wawasan kita untuk menggunakan bahasa yang benar,
sopan, bijaksana dan memiliki etika di kalangan sosal masyarakat.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Hubungan Bahasa dan Konteks Sosial


Manusia menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi sekaligus sebagai identitas
kelompok. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan terbentuknya berbagai bahasa di dunia
yang memiliki ciri-ciri yang unik yang menyebabkan perbedaan dengan bahasa lainnya.
Hubungan yang terdapat diantara bahasa dan masyarakat yaitu adanya hubungan antara
bentuk-bentuk bahasa tertentu, yang disebut variasi, ragam atau dialek dengan
penggunanya untuk fungsi-fungsi tertentu didalam masyarakat. Misalnya dalam dunia
pendidikan kita menggunakan ragam baku, untuk kegiatan sehari-hari dirumah kita
menggunakan ragam tak baku, untuk kegiatan berbisnis kita menggunakan ragam usaha,
dan untuk kegiatan pencipta karya sastra (puisi atau novel) kita menggunakan ragam
sastra.
Adanya tingkatan sosial dalam masyarakat dapat dilihat dari dua segi: pertama, dari
segi kebangsawanan jika ada; kedua, deri segi kedudukan sosial yang ditandai dengan
tingkatan pendidikan dan keadaan perekonomian yang dimiliki. Biasanya yang memiliki
pendidikan lebih baik memperoleh kemungkinan untuk memperoleh taraf perekonomian
yang lebih baik pula. Tetapi ini tidak mutlak.
Dalam masyarakat kota besar yang heterogen dan multietnis, tingkat status sosial
berdasarkan derajat kebangsawanan mungkin sudah tidak ada; atau walaupun ada sudah
tidak dominan lagi. Sebagai gantinya adalah lapisan tingkatan dilihat dari status sosial
ekonomi. Begitulah, dalam masyarakat ibu kota Jakarta ada dikenal istilah golongan atas,
golongan menengah, dan golongan bawah. Siapa saja yang masuk dalam golongan
tersebut adalah relative, agak sukar ditentukan; tetapi kalau di lihat golongan sosial
ekonominya, maka golongan ketiga itu bisa ditentukan.
Tahun 1966, William Labov menerbitkan hasil penelitiannya yang luas tentang tutur
kota New York, berjudul The Social Stratification of English in New York City (lapisan
sosial Bahasa Inggris di Kota New York). Ia mengadakan wawancara yang direkam, tidak
dengan sejumlah kecil informan, hanya terdiri dari 340 orang. Dengan ini Lobov
memasukkan metode sosiologi ke dalam penelitiannya. Sosiologi menggunakan metode
pengukuran kuantitatif dengan jumlah besar, dan dengan metode sampling.

3
Ada kaidah yang baku dalam bahasa Inggris. Jika subjek adalah kata ganti orang ke
tiga tunggal (she, he, it), predikat kata kerjanya harus menggunakan sifiks-s. kemudian
diadakan penelitian apakah ada hubungan antara kelompok sosial dengan gejala bahasa
ini. Penelitian diadakan di dua tempat, yaitu di Detroit (AS) dan di Norwich
(Inggris). Informannya meliputi berbagai tingkat kelas sosial, yaitu:

1. Kelas Menengah Tinggi (KMT)


2. Kelas Menengah Atas (KMA)
Dalam komunikasi dua arah, secara berganti-ganti si pengirim bisa menjadi penerima,
dan penerima menjadi pangirim. Komunikasi dua arah ini terjadi dalam rapat,
perundingan, diskusi dan sebagainya. Sebagai alat komunikasi, bahasa itu terdiri dari dua
aspek yaitu:

1. Aspek linguistik.
2. Aspek nonlinguistik atau paralinguistik.
Kedua aspek itu bekerjasama dalam membangun komunikasi bahasa. Aspek linguistik
mencakup tataran fonologis, morfologis, dan sintaksis. Ketiga tataran ini mendukung
terbentuknya yang akan disampaikan, yaitu semantik (yang di dalamnya terdapat makna,
gagasan, idea atau konsep). Aspek paralinguistik mencakup: Kualitas ujaran, yaitu pola
ujaran seseorang seperti falsetto (suara tinggi), staccato (suara terputus-putus), dan
sebagainya.
Aspek linguistik dan paralinguistik berfungsi sebagai alat komunikasi, bersama-
sama dengan konteks situasi membentuk atau membangun situasi tertentu dalam proses
komunikasi.
Bahasa dalam konteks sosial mempunyai unsur suprasegmental, yaitu tekanan
(stress), nada (pitch), dan intonasi, Jarak dan gerak-gerik tubuh, seperti gerakan tangan,
anggukan kepala, rabaan dan sebagainya. Rabaan, yakni yang berkenaan dengan indera
perasa (pada kulit).

B. Peristiwa Tutur
Yang dimaksud dengan peristiwa tutur adalah terjadinya atau berlangsungnya
interaksi linguistik dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu

4
penutur dan lawan tutur, dengan satu pokok tuturan, didalam tempat, waktu dan situasi
tertentu.
Dell Hymes (1972) mengatakan bahwa peristiwa tutur harus memenuhi delapan
komponen, yang dikenal dengan speaking. Kedelapan komponen tersebut adalah:

1. S (Setting and Scene) : Waktu,tempat dan situasi yang berbeda dapat menyebabkan


penggunaan variasi bahasa yang berbeda.

2. P (Participants) : pihak-pihak yang terlibat dalam pertuturan, bias pembicara dan


pendengar, penyapa dan pesapa atau pengirim pesan dan penerima pesan.

3. E (End : purpose and goal) : merujuk pada maksud dan tujuan pertuturan peristiwa
yang terjadi pada ruang pengadilan bermaksud untuk menyelesaikan suatu perkara,
namun para partisipan di dalam peristiwa tutur itu mempunyai tujuan yang berbeda.

4. A (Act Sequences) :Bentuk ujaran dalam perkuliahan, dalam percakapan biasa dan


dalam pesta pasti berbeda. Begitu juga dengan isi yang dibicarakan

5. K (Key : tone or spirit of Act) : mengacu pada nada, cara dan semangat dimana  suatu
pesan disampaikan

6. I  (Instrumentalities) : mengacu pada jalur bahasa yang digunakan, seperti jalur lisan,


tertulis, melalui telegraf atau telepon.

7. N (Norm of interaction and interpretation) : mengacu pada norma atau aturan dalam


berinteraksi.

8. G (Genres) : mengacu pada jenis bentuk penyampaian, seperti narasi, puisi, pepatah,


doa dan sebagainya.

C. Tindak Tutur
Tindak tutur dan peristiwa tutur merupakan dua gejala yang terdapat pada satu proses,
yakni proses komunikasi. Sebelum membicarakan teori mengenai tindak tutur itu baiknya
kita bicarakan dulu pembagian jenis kalimat yang dilakukan para ahli tata bahasa
tradisional. Ada tiga jenis kalimat, yaitu :

5
1)    Kalimat deklaratif yaitu kalimat yang isinya hanya meminta pendengar atau yang
mendengar kalimat itu untuk menaruh perhatian saja, tidak usah melakukan apa-apa,
sebab maksud si pengujar hanya untuk memberitahukan saja.
2)    Kalimat introgatif, yaitu kalimat yang isinya meminta agar pendengar atau orang yang
mendengar kalimat itu member jawaban secara lisan.
3)    Kalimat imperatif, yaitu kalimat yang isinya meminta agar pendengar atau orang yang
mendengar kalimat itu member tanggapan berupa tindakan atau perbuatan yang di
minta.
Pembagian kalimat tersebut berdasarkan bentuk kalimat itu secara terlepas.
Menurut Austin (1962) tuturan dibedakan menjadi tuturan konstatif dan
tuturan performatif.

(a) Tuturan konstatif adalah tuturan yang menyatakan sesuatu yang


kebenarannya dapat diuji benar atau salah dengan menggunakan pengetahuan
tentang dunia (Gunawan 1994: 43).
Contoh :
“Manuk Dadali adalah lagu daerah Jawa Barat.”
“Dakka ibu kota Bangladesh.”

(b) Tuturan performatif adalah tuturan yang pengutaraanya digunakan


untuk melakukan sesuatu (Wijana 1996: 23).
Contoh :
“Saya berani menjamin Milan akan memenangkan pertandingan
malam ini.”
  “Saya berjanji akan datang besok.”

Murid Austin, Searle mengembangkan dua jenis tuturan itu ke dalam tiga jenis
tindak tutur. Menurut Searle (1983) tindak tutur dapat dibedakan menjadi tindak tutur
lokusi, tindak tutur ilokusi, dan tindak tutur perlokusi.

(a) Tindak tutur lokusi adalah tindak tutur yang dimaksudkan untuk
menyatakan sesuatu.
Contoh :
”Dia kebingungan.”
“Saya sakit.”

6
“Bajunya basah.”

(b) Tindak tutur ilokusi adalah tindak tutur yang mengandung maksud dan
fungsi atau daya tuturan atau tindak tutur yang ditujukan untuk memberikan
efek atau pengaruh kepada lawan tutur. 

Contoh :
“Ban motor saya bocor.”
“Di bus itu banyak copet yang biasanya menyamar menjadi
pengamen.”

(c) Tindak tutur perlokusi adalah efek yang dihasilkan dengan


mengujarkan sesuatu bahasa. Austin (1962: 101). Efek atau daya tuturan itu
dapat ditimbulkan oleh penutur secara sengaja, dapat pula secara tidak
sengaja. Tindak tutur yang pengujarannya dimaksudkan untuk
mempengaruhi mitra tutur, inilah yang merupajan tindak perlokusi.
Contoh :
“Pukul saja!”
“Ada rampok!”

Selanjutnya, Searle mengklasifikasikan tuturan ilokusi ke dalam lima jenis


tindak tutur, yaitu: tindak tutur asertif yang disebut juga dengan tindak tutur
representatif, direktif yang disebut juga dengan tindak tutur impositif, ekspresif yang
disebut juga dengan tindak tutur evaluative, komisif, dan isbati yang disebut juga
dengan tindak tutur deklarasi.

D. Tindak Tutur dan Pragmatik


Sebagai topik yang melingkupi deiksis, presuposisi, dan implikatur percakapan,
pragmatik lazim diberi definisi sebagai “telaah mengenai hubungan diantara lambang
dengan penafsiran” (Purwo 1990 : 15). Yang dimaksud dengan lambang di sini adalah
satuan ujaran, entah berupa satu kalimat atau lebih, yang “membawa” makna tertentu,
yang didalam pragmatik di tentukan atas hasil penafsiran si pendengar.

7
Sebuah satuan ujaran dalam tindak tutur dapat dipahami pendengar dengan baik,
apabila deiksisnya jelas, presuposisinya diketahui, dan implikatur percakapannya
dipahami. Secara singkat masalah itu di bicarakan dibawah ini.
Yang dimaksud dengan deiksis adalah hubungan antar kata yang digunakan di dalam
tidak tutur dengan referensi kata itu yang tidak tetap atau dapat berubah dan berpindah.
Perhatikan contoh berikut!

A dan B sedang bercakap-cakap, bagian akhir dari percakapan itu berupa:

A : saya belum bayar SPP, belum punya uang.


B : sama, saya juga.
Jelas, dari kata saya pada percakapan itu, pertama mengacu pada A, lalu mengacu
pada B. Maka kata saya itu disebut bersifat deiksis.
Yang dimaksud dengan presuposisi dalam tindak tutur adalah makna atau informasi
tambahan yang terdapat dalam ujaran yang digunakan secara tersirat. Umpamanya, dalam
tindak tutur yang berbunyi, “Kerjakan dulu soal yang mudah, kemudian yang lebih sukar
dan yang sukar”, mempunyai presuposisi bahwa soal-soal yang harus dikerjakan ada yang
sukar dan ada pula yang mudah.
Yang dimaksud dengan implikatur percakapan, adalah adanya keterkaitan antara
ujaran-ujaran yang diucapkan antara dua orang yang sedang bercakap-cakap. Keterkaitan
ini tidak tampak secara literal,  tetapi hanya dipahami secara tersirat. Perhatikan contoh
berikut!
A.   : wah, panas sekali, ya, sore ini! kamu kok tidak keringetan, apa enggak kegerahan?
B.   : Nggak! Aku sudah mandi tadi!
Kalimat si B secara literal tidak bersangkut paut dengan kalimat pertanyaan dari A.
Tetapi yang tersirat dari kalimat jawaban itu, yakni bahwa ‘si A merasa panas karena
belum mandi’ dapat dipakai sebagai pengait bagi kelancaran atau kemasuk akalan dialog
tersebut.

8
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Manusia adalah mahkluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri melainkan selalu
berinteraksi dengan sesamanya. Hubungan antara bahasa dengan konteks sosial tersebut
dipelajari dalam bidang Sosiolinguistik, sebagaimana yang dikemukakan oleh Trudgill
bahwa “Sosiolinguistik adalah bagian linguistik yang berhubung kaitan dengan bahasa,
fenomena bahasa dan budaya. Bidang ini juga mengkaji fenomena masyarakat dan
berhubung kaitan dengan bidang sain sosial seperti Antropologi seperti sistem kerabat.
Fishman menyatakan bahwa Sosiolinguistik memiliki komponen utama yaitu ciri-ciri
bahasa dan fungsi bahasa. Fungsi bahasa dimaksud adalah fungsi sosial (regulatory) yaitu
untuk membentuk arahan dan fungsi interpersonal yaitu menjaga hubungan baik serta
fungsi imajinatif yaitu untuk menirukan alam fantasi serta fungsi emosi seperti untuk
mengungkapkan suasana hati seperti marah, sedih, gembira dan apresiasi. Konteks sosial
bahasa mempunyai kelas sosial (sosial class) yang mengacu kepada golongan masyarakat
yang mempunyai kesamaan tertentu dalam bidang kemasyarakatan seperti ekonomi,
pekerjaan, pendidikan, kedudukan, kasta, dan sebagainya.

B. Saran
Setiap individu harus menutur atau berbicara dengan menggunakan bahasa yang
benar, sopan, bijaksana dan memiliki etika dalam berbahasa, apalagi saat berada di
kalangan masyarakat. Dan hendaklah bagi penutur bahasa harus bisa menyesuaikan

9
bahasanya ketika berada di suatu tempat, baik di lingkungan formal maupun di
lingkungan non formal.

DAFTAR PUSTAKA

Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2010. “Sosiolinguisitik Perkenalan Awal”. Jakarta:
Rineka Cipta
Nadar, F.X. 2013. “Pragmatik dan Penelitian Pragmatik”. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Pangaribuan, Tagor. 2008. “Paradigma Bahasa”. Yogyakarta: Graha Ilmu.

10
11

Anda mungkin juga menyukai