Anda di halaman 1dari 10

STUDI KASUS

Dosen pembimbing : Nur Asiah, S. Kep., Ns., M.Biomed

Disusun oleh :

Silva Welanda (231101013)

Christina Tamba (231101039)

M. Rois Gimnastiyar (231101067)

Dwita Aprilia Panjaitan (231101091)

Nadya Amalia Tarigan (231101119)

Stevani Leni Simanjuntak (231101145)

Annisa Rezki Putri N (231101175)

Awrey Arfiandi Harahap (231101203)

Nur Hanifah (231101227)

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2023
7 TAHAPAN STUDI KASUS

1. Klasifikasi Istilah

Klasifikasi istilah adalah mencari kata atau istilah yang sulit dan yang belum
dimengerti dan mencapai kesepakatan akan arti kata yang terdapat dalam kasus atau
pemicu.

2. Identifikasi Masalah

Identifikasi masalah adalah mengidentifikasi masalah yang terdapat pada kasus.

3. Hipotesa

Hipotesa adalah dugaan atau asumsi yang akan diuji kebenarannya melalui
beberapa percobaan.

4. Analisa Masalah

Analisa masalah adalah menganalisa masalah untuk menentukan hipotesa yang


paling mungkin berdasarkan pengetahuan yang telah dimilikinya.

5. More Info

More info adalah menggali informasi sebanyak mungkin untuk mendukung


hipotesa dengan bantuan informasi tambahan yang mendukung kasus.

6. We Don’t Know

We don’t know adalah menyajikan ulang istilah-istilah yang belum diketahui pada
tahap klarifikasi istilah yang kemudian dicari dan dijelaskan.

7. Learning Issue

Learning issue adalah pembelajaran yang menjadikan masalah sebagai dasar atau
basis bagi siswa untuk belajar. Learning issue berisi tentang masalah yang sudah ditentukan
di bagian analisa masalah.
KASUS

Seorang anak perempuan berusia 5 tahun dibawa ke dokter dengan keluhan demam,
disertai perut mual dan susah makan. Selain itu, menurut ibu, anaknya terlihat lemah dan pucat
sejak dua bulan yang lalu. Kata guru TKnya, anak tidak selincah teman-temannya dan sering
tertidur di kelas. Sejak kecil anak sulit makan dan tidak suka makan daging. Pada pemeriksaan
fisik didapatkan, frekuensi nadi 120x/menit, suhu tubuh 38,5 derajat celcius, konjungtiva palpebra
inferior, mukosa bibir dan kuku pucat, hiperemi faring dan tonsil, tidak didapatkan hepatomegali
maupun splenomegali. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb 7.0 g/dL (nilai rujukan Hb
anak : 11.5 - 14.5 g/dL), MCV 52 fL (nilai rujukan 80 - 100 fL), MCH 21 pg/sel (nilai rujukan 26
- 34 pg/sel). Dokter meminta pemeriksaan labporatorium lanjutan.

PEMBAHASAN

1. Klasifikasi istilah
a. MCV 52 fL
b. MCH 21 pg/sel
c. Hiperemi faring dan tonsil
d. Hepatomegali
e. Splenomegali

2. Identifikasi masalah
a. Seorang anak perempuan berusia 5 tahun dibawa ke dokter dengan keluhan demam,
disertai perut mual dan susah makan.
b. Menurut ibunya, anaknya terlihat lemah dan pucat sejak dua bulan yang lalu.
c. Guru Tknya mengatakan, anak tidak selincah teman-temannya dan sering tertidur di
kelas.
d. Sejak kecil anak sulit makan dan tidak suka makan daging.

3. Hipotesa
a. Anak mengalami talasemia
b. Anak mengalami anemia defisiensi besi

4. Analisisa Masalah
Anak mengalami penyakit anemia defisiensi besi.
5. More Info
a. Hasil pemeriksaan fisik didapatkan takikardia.
b. Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan adanya anemia dengan MCV dan MCH
yang rendah.

6. We don’t know
a. MCV 52 fL
MCV (Mean Corpuscular Volume) atau VER (Volume Eritrosit rata-rata)
menggambarkan ukuran eritrosit dalam satuan fL (femtoliter). MCV 52 fL pada anak
usia 5 tahun termasuk dalam MCV rendah dikarenakan batas normal MCV pada anak
usia 5 tahun adalah 62-88 fL.
b. MCH 21 pg/sel
MCH (Mean Corpuscular Haemoglobin) atau HER (Hemoglobin Eritrosit Rerata)
menggambarkan jumlah rata-rata hemoglobin dalam setiap sel darah merah. MCH 21
pg/sel pada anak usia 5 tahun termasuk dalam MCH rendah dikarenakan batas normal
MCH pada anak usia 5 tahun adalah 23-31 pg/sel.
c. Hiperemi faring dan tonsil
Hiperemi faring dan tonsil adalah kondisi di mana terjadi pembengkakan dan
kemerahan pada dinding belakang tenggorokan (faring) dan amandel (tonsil). Hiperemi
faring dan tonsil dapat disebabkan oleh infeksi virus atau bakteri, dan merupakan gejala
umum dari faringitis dan tonsilitis. Gejala lain dari faringitis dan tonsilitis meliputi sakit
tenggorokan, kesulitan menelan, demam, dan pembengkakan kelenjar getah bening di
leher.
d. Hepatomegali
Hepatomegali merupakan keadaan dimana terjadi pembesaran hepar sehingga dapat
terpalpasi lebih dari sama dengan 2 cm di bawah linea marginalis costae. Perawatan
mandiri yang dapat dilakukan adalah makan makanan yang sehat, berolahraga secara
teratur, menurunkan berat badan, dan menghindari alkohol dapat membantu
mengurangi peradangan hati.
e. Splenomegali
Splenomegali adalah kondisi pembesaran pada organ limpa, yang bisa disebabkan oleh
sejumlah penyakit atau infeksi. Pada kondisi normal, limpa hanya berukuran 11-20 cm,
dengan berat hingga 500 gram. Namun pada penderita splenomegali, ukuran limpa bisa
lebih dari 20 cm, dengan berat mencapai lebih dari 1 kg.
7. Learning issues
1) Defenisi penyakit anemia defesiensi besi
2) Etiologi penyakit anemia defesiensi besi
3) Klasifikasi penyakit anemia defesiensi besi
4) Patofisiologi penyakit anemia defesiensi besi
5) Penatalaksanaan anemia defesiensi besi
6) Asuhan keperawatan pada pasien anemia defesiensi besi

Sesuai dengan tanda, gejala, dan hasil pemeriksaan berdasarkan kasus pada pemicu dan
more info, dapat disimpulkan bahwa pasien/anak tersebut mengalami anemia defesiesi besi.

1) Definisi Penyakit Anemia Defesiensi Besi

Anemia defisiensi besi (ADB) merupakan salah satu penyakit hematologi yang sering
ditemukan pada bayi, anak-anak dan perempuan usia reproduksi. Anak-anak dengan ADB
akan mengalami gangguan dalam tumbuh-kembang, perubahan perilaku serta gangguan
motorik, sehingga dapat mengurangi kemampuan belajar dan menurunkan prestasi belajar
di sekolah. anemia difesiensi besi disebabkan kurangnya ketersediaan zat besi di dalam
tubuh sehingga menyebabkan zat besi yang diperlukan untuk eritropoesis tidak cukup. Hal
ini ditandai dengan gambaran eritrosit yang hipokrommikrositer, penurunan kadar besi
serum, transferrin dan cadangan besi, disertai peningkatan kapasitas ikat besi/total iron
binding capacity (TIBC).

2) Etiologi Penyakit Anemia Defesiensi Besi

Etiologi Anemia defisiensi besi secara umum dibagi 4:

a. Diet atau Asupan Zat Besi yang kurang


Setiap hari zat besi dari tubuh yang diekskresikan melalui kulit dan epitel usus sekitar
1 mg maka diimbangi asupan zat besi melalui diet sekitar 1 mg untuk menjaga
keseimbangan asupan dan ekskresi yang berguna untuk kebutuhan produksi eritrosit.
Asupan besi yang rendah pada diet yang tidak adekuat dapat menyebabkan cadangan besi
berkurang, sehingga proses eritropoesis akan berkurang.
b. Kebutuhan yang meningkat
Kebutuhan zat besi akan meningkat pada masa pertumbuhan seperti pada bayi, anak-
anak, remaja, kehamilan dan menyusui. Pada anak-anak terutama yang mendapat susu
formula kebutuhan zat besi meningkat karena sedikit mengandung besi.
c. Gangguan Penyerapan
Diet yang kaya zat besi tidak menjamin ketersediaan zat besi di dalam tubuh
karena banyaknya zat besi yang dapat diserap sangat tergantung dari kondisi atau
makanan yang dapat menghambat maupun yang mempercepat penyerapan besi.
Penyerapan besi sangat tergantung dengan adanya asam lambung yang membantu
mengubah ion ferri menjadi ion ferro. Ganggguan penyerapan besi dapat dijumpai
pada pasien dengan sindrom malabsorbsi seperti gastrectomy, gastric bypass,
celiac disease.
d. Kehilangan Darah yang Kronis
Pada perempuan kehilangan zat besi sering karena menstruasi yang banyak dan
lama atau kondisi seperti tumor fibroid maupun malignan uterin. Selain itu,
pendarahan melalui saluran cerna bisa disebabkan ulkus, gastritis karena alkohol
atau aspirin, tumor, parasit dan hemoroid.

3) Klasifikasi Penyakit Anemia Defesiensi Besi

Dilihat dari derajat beratnya kekurangan besi dalam tubuh maka defisiensi besi dapat
dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu:

Deplesi besi (iron depleted state)

Cadangan besi menurun, dicerminkan dengan penurunan feritin serum, tetapi


penyediaan besi untuk eritropoesis belum terganggu dan pasien belum menderita
anemia.
1. Eritropoesis defisiensi besi (iron deficient erythropoiesis)
Yaitu cadangan besi kosong, penyediaan besi untuk eritropoesis terganggu, tetapi
belum timbul anemia secara laboratorik.
2. Anemia defisiensi besi
Yaitu cadangan besi kosong disertai dengan anemia defisiensi besi yang ditandai
dengan anemia hipokromik mikrositik, besi serum menurun, TIBC (total ironbinding
capacity) meningkat, saturasi transferin menurun, feritin serum menurun, pengecatan
besi sumsum tulang negatif, dan adanya respon terhadap pengobatan dengan preparat
besi.

4) Patofisiologi Penyakit Anemia Defesiensi Besi

Pada tahap deplesi besi di sumsum tulang, gambaran darah tepi masih dalam batas
normal. Pada tahap defisiensi besi kadar Hb mulai berkurang tapi gambaran eritrosit masih
normal. Oksigenasi yang berkurang akibat anemia menyebabkan kebutuhan eritropoetin
yang besar dan merangsang sumsum tulang untuk memproduksi eritrosit, Peningkatan
Jumlah lekosit pada anemia defisiensi besi sangat jarang terjadi, paling sering dijumpai
nilai Mean Corpuscular volume (MCV) yang rendah dari eritrosit. Pada morfologi darah
tepi dijumpai anisositosis dan poikilositosis (target sel). Nilai feritin serum yang rendah
merupakan diagnosis untuk defisiensi besi, tapi kadang beberapa kasus nilai feritin serum
masih dijumpai normal, Feritin serum dapat meningkat pada ondisi inflamasi akut. Serum
besi yang rendah dapat ditemui pada beberapa penyakit, sehingga serum besi, transferrin
tidak bisa menjadi indikator yang tetap untuk defisiensi besi. Khasnya bila serum besi
berkurang maka TIBC di serum juga akan meningkat. Rasio besi dan TIBC kurang dari
20% ditemukan pada tahap defisiensai besi tapi akan meningkat pada tahap anemia
defisiensi besi. Soluble Transferrin reseptor (sTfR) akan dilepaskan oleh prekursor
erythroid dan meningkat pada tahap defisiensi besi. Rasio yang tinggi antara TfR terhadap
ferritin bisa memprediksi defisiensi besi karena ferritin merupakan nilai diagnosis yang
kecil. Pemantauan respon hematologi untuk terapi dengan pemberian suplemen besi, biopsi
sumsum tulang hanya dilakukan untuk konfirmasi dalam menegakkan diagnosa defisiensi
besi.

Pasien dengan gejala anemia

Pemeriksaan Hb

Hb menurun Hb Normal

Tegakkan diagnosis anemia


Bukan anemia

Makrositik Normositik Mikrositik

Cek studi
Cek SADT besi darah

Sel Ditemukan
makrositer sel Ferritin normal Ferritin
atau mikrositer atau meningkat menurun
normositer

Bukan anemia
besi
Bukan
anemia Anemia
defisiensi campuran
TIBC TIBC menurun
besi
meningkat

Anemia Bukan anemia


Defisiensi Besi defisiensi besi
5) Penatalaksanaan Anemia Defesiensi Besi
Penatalaksanaan defisiensi besi terdiri atas:
(1). Terapi zat besi oral: pada bayi dan anak
Terapi besi elemental diberikan dibagi dengan dosis 3-6 mg/kgBB/hari diberikan
dalam dua dosis, 30 menit sebelum sarapan pagi dan makan malam. Terapi zat besi
diberikan selama 1 sampai 3 bulan dengan lama maksimal 5 bulan. Enam bulan setelah
pengobatan selesai harus dilakukan kembali pemeriksaan kadar Hb untuk memantau
keberhasilan terapi.
(2). Terapi zat besi intramuscular atau intravena
Dapat dipertimbangkan bila respon pengobatan oral tidak berjalan baik, efek
samping dapat berupa demam, mual, urtikaria, hipotensi, nyeri kepala, lemas, artragia,
bronkospasme sampai relaksi anafilaktik.
(3). Transfusi darah
Tranfusi darah diberikan apabila gejala anemia disertai risiko terjadinya gagal
jantung yaitu pada kadar Hb 5-8g/dL. Komponen darah yang diberikan berupa
suspensi eritrosit (PRC) diberikan secara serial dengan tetesan lambat.

6) Asuhan Keperawatan pada Pasien Anemia Defesiensi Besi

Pengkajian keperawatan dilakukan dengan cara pengumpulan data secara subjektif


(data yang didapatkan dari pasien/keluarga) melalui metode anamnesa dan data objektif
(data hasil pengukuran atau observasi). Menurut Biasanya data fokus yang idapatkan dari
pasien penderita anemia/keluarga seperti pasien mengatakan lemah, letih dan lesu, pasien
mengatakan nafsu makan menurun, mual dan sering haus. Sementara data objektif akan
ditemukan pasien tampak lemah, berat badan menurun, pasien tidak mau makan tidak dapat
menghabiskan porsi makan, pasien tampak mual dan muntah, bibir tampak kering dan
pucat, konjungtiva anemis serta anak rewel. Menurut Muscari (2005:284-285) dan Wijaya
(2013:138) penting untuk mengkaji riwayat kesehatan pasien yang meliputi: 1) keluhan
utama/alasan yang menyebabkan pasien pergi mencari pertolongan profesional kesehatan.
Biasanya pada pasien anemia, pasien akan mengeluh lemah, pusing, adanya pendarahan,
kadang-kadang sesak nafas dan penglihatan kabur, 2) Kaji apakah didalam keluarga ada
yang menderita penyakit yang sama dengan pasien atau di dalam keluarga ada yang
menderita penyakit hematologis; 3) Anemia juga bisa disebabkan karena adanya
penggunaan sinar-X yang berlebihan, penggunaan obat- obatan maupun pendarahan. Untuk
itu penting dilakukan anamnesa mengenai riwayat penyakit terdahulu. Untuk mendapatkan
data lanjutan, perlu dilakukan pemeriksaan fisik dan juga pemeriksaan penunjang pada
anak dengan anemia agar dapat mendukung data subjektif yang diberikan dari pasien
maupun keluarga. Pemeriksaan fisik dilakukan dengan 4 cara yaitu inspeksi, auskultasi,
palpasi dan perkusi secara head to toe sehingga dalam pemeriksaan kepala pada anak
dengan anemia didapatkan hasil rambut tampak kering, tipis, mudah putus, wajah tampak
pucat, bibir tampak pucat, konjungtiva anemis, biasanya juga terjadi perdarahan pada gusi
dan telinga terasa berdengung. Pada pemeriksaan leher dan dada ditemukan jugular venous
pressure akan melemah, pasien tampak sesak nafas ditandai dengan respiration rate pada
kanak-kanak (5-11 tahun) berkisar antara 20-30x per menit. Untuk pemeriksaan abdomen
akan ditemukan perdarahan saluran cerna, hepatomegali dan kadang-kadang splenomegali.
Namun untuk menegakkan diagnosa medis anemia, perlunya dilakukan pemeriksaan
lanjutan seperti pemeriksaan darah lengkap dan pemeriksaan fungsi sumsum tulang.
DAFTAR PUSTAKA

Kurniati, Intantri. 2020. Anemia Defesiensi Zat Besi (Fe). 4(1). 18-20. Diakses tanggal 13
November 2023 dari Universitas Lampung.

Muscari Mary. 2005. Keperawatan Pediatrik Edisi 3. Jakarta : EGC.

Amalia, Ajeng dan Agustyas Tjiptaningrum. 2016. Diagnosis dan Tatalaksana Anemia Defisiensi
Besi. 5(5). 3. Diakses tanggal 13 November 2023 dari Universitas Lampung.

Margina, Dina Sophia, dkk. Diagnosis Laboratorik Anemia Defisiensi Besi. 2. Diakses tanggal 13
November 2023 dari Universitas Udayana.

Anda mungkin juga menyukai