Anda di halaman 1dari 31

MANAJEMEN PERPAJAKAN

TAX PLANNING
&endalian
 FOREIGN EXCHANGE LOSS

 CAPITAL EXPENDITURE VERSUS REVENUE EXPENDITURE

 PEMILIHAN METODE PERSEDIAAN

 PEMILIHAN METODE PENYUSUTAN

 MENYIASATI SE-46/PJ.4/1995

 CADANGAN KERUGIAN PIUTANG TAK TERTAGIH

 BIAYA ENTERTAINMENT

 PERSYARATAN BEBAN PROMOSI SESUAI PERATURAN PERPAJAKAN

 PENGUJIAN UNTUK MENGUJI KEBENARAN BEBAN POKOK PENJUALAN

 EKUALISASI BEBAN POKOK PENJUALAN DENGAN DPP PPN MASUKAN


PEMBAHASAN
1. Foreign Exchange Loss

Dalam menghitung besarnya keuntungan sebagai penghasilan kena pajak Wajib Pajak
harus menghitung juga adanya keuntungan selisih kurs mata uang asing dari harta dan kewajiban
moneter yang dimilikinya seperti kas, bank, utang, dan piutang. Jika ternyata selisihnya timbul
kerugian maka kerugian tersebut merupakan beban yang dapat dikurangkan dari keuntungan
Wajib Pajak.
Selama ini pajak mengenal dua macam metode pengakuan keuntungan atau kerugian
selisih kurs, yaitu menggunakan kurs tetap dan menggunakan kurs akhir tahun. Kurs akhir tahun
yang dipakai umumnya adalah kurs tengah BI.
Ada perbedaan mendasar dari kedua penerapan kurs tersebut. Pada kurs tetap terjadinya fluktuasi
kurs mata uang asing tidak mempengaruhi keuntungan atau kerugian selisih kurs. Keuntungan
atau kerugian baru diakui pada saat direalisasikan yaitu pada saat utang atau piutang dilunasi
atau saat saldo kas atau bank mata uang asing benar-benar dikonversikan atau dituarkan dengan
mata uang rupiah.
Sedangkan dengan kurs tengah BI akhir tahun fluktuasi kurs mata uang asing diakui
setiap akhir tahun buku yang dapat menimbulkan keuntungan atau kerugian. Wajib Pajak harus
menyesuaikan saldo perkiraan moneter dalam mata uang asing dengan menggunakan kurs tengah
BI yang berlaku pada tanggal tutup buku tersebut.

Pengakuan Selisih Kurs Dalam UU Perpajakan


Dalam UU Pajak Penghasilan sebelum diperbaharui dengan UU No. 36 Tahun 2008, Pajak
menerapkan dua azas dalam menghitung keuntungan atau kerugian selisih kurs yaitu azas
realisasi dan azas konservatif. Penggunaan kurs tetap merupakan implementasi dari azas realisasi
dan penggunaan kurs tengah BI akhir tahun merupakan implementasi dari azas konservatif.
Wajib Pajak boleh memilih azas yang dikehendaki asalkan diterapkan secara konsisten.
Keharusan bahwa keuntungan selisih kurs diakui sebagai penghasilan diatur dalam Pasal 4 ayat 1
huruf L, sedangkan kerugian selisih kurs diakui sebagai pengurang penghasilan diatur dalam
Pasal 6 ayat 1 huruf (e). Mengenai metode pengakuannya dijelaskan dalam penjelasan pasal
tersebut.

Manajemen Perpajakan – Tax Planning Page 2


Dengan berlakunya UU No. 36 Tahun 2008 telah terjadi perubahan ketentuan perpajakan
mengenai penghitungan selisih kurs yaitu dicabutnya penerapan azas realisasi murni dan
menghendaki Wajib Pajak untuk segera mengakui adanya keuntungan atau kerugian selisih kurs
pada setiap tanggal neraca terhadap aktiva dan kewajiban moneter yang dimilikinya.
Untuk lebih jelasnya dapat kita lihat perbandingan antara bunyi penjelasan pasal 4 ayat (1) huruf
l dan penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf e dalam UU PPh lama dan UU PPh No. 36 Tahun 2008.
1. Bunyi Penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf l dan Pasal 6 ayat (1) huruf e dalam UU Lama:
Penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf l:
“Keuntungan karena selisih kurs dapat disebabkan fluktuasi kurs mata uang asing atau adanya
kebijaksanaan Pemerintah di bidang moneter. Atas keuntungan yang diperoleh karena fluktuasi
kurs mata uang asing, pengenaan pajaknya dikaitkan dengan sistem pembukuan yang dianut
oleh Wajib Pajak dengan syarat dilakukan secara taat azas.”
Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf e:
“Kerugian karena selisih kurs mata uang asing dapat disebabkan oleh adanya fluktuasi kurs yang
terjadi sehari-hari, atau oleh adanya kebijaksanaan Pemerintah di bidang moneter. Kerugian
selisih kurs mata uang asing yang disebabkan oleh fluktuasi kurs, pembebanannya dilakukan
berdasarkan sistem pembukuan yang dianut, dan harus dilakukan secara taat asas. Apabila Wajib
Pajak menggunakan sistem pembukuan berdasarkan kurs tetap (kurs historis), pembebanan
kerugian selisih kurs dilakukan pada saat terjadinya realisasi atas perkiraan mata uang asing
tersebut. Apabila Wajib Pajak menggunakan sistem pembukuan berdasarkan kurs tengah
Bank Indonesia atau kurs yang sebenarnya berlaku pada akhir tahun, pembebanannya
dilakukan pada setiap akhir tahun berdasarkan kurs tengah Bank Indonesia atau kurs yang
sebenarnya berlaku pada akhir tahun.”

Perhatikanlah kalimat yang dicetak tebal di atas terutama pada penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf
e bahwa pengakuan selisih kurs bisa menggunakan kurs tetap (histories) dan kurs tengah BI akhir
tahun. Apabila menggunakan kurs tetap kerugian diakui pada saat realisasi. Sedangkan kurs
tengah BI mengakui adanya keuntungan pada akhir tahun.
Dari penjelasan tersebut dapat dicontohkan sebagai berikut:
1. Pada tanggal 1 September 2008 perusahaan membeli mata uang US sebanyak $50.000 dengan
kurs Rp 10.000,-. Dalam hal ini perusahaan akan mencatat uang tunai dalam mata uang asing
sebesar Rp 500.000.000,-

Manajemen Perpajakan – Tax Planning Page 3


2. Pada tanggal 31 Desember 2008, kurs tengah BI yang berlaku untuk 1$ mata uang US adalah
Rp. 10.100,-
Dengan kurs tetap: Wajib Pajak tidak melakukan penyesuaian saldo mata uang asing,
Dengan kurs tengah BI akhir tahun: Wajib Pajak melakukan penyesuaian saldo mata uang
asing dengan kurs pada tanggal neraca sebesar Rp 10.100,- sehingga nilai saldo mata uang
asingnya menjadi Rp 50.500.000,-. Dalam hal ini Wajib Pajak mengakui adanya keuntungan
atas kenaikan selisih kurs sebesar Rp 500.000,-.
3. Pada tanggal 31 Maret 2009, seluruh mata uang US sebanyak $50.000,- dijual dengan kurs Rp
9.750,-
Dengan kurs tetap: Wajib Pajak mengakui adanya penurunan mata uang dari Rp 10.000
menjadi Rp 9.750,- sehingga Wajib Pajak mengakui adanya kerugian sebesar Rp 1.250.000,-
Dengan kurs tengah BI akhir tahun: Wajib Pajak mengakui kerugian kurs sebesar Rp
1.750.000,- yaitu penurunan kurs dari Rp 10.100,- menjadi Rp 9.750,-.

2. Penjelasan Dalam UU baru (UU No. 36 Tahun 2008):


Sebagaimana diuraikan di atas bahwa telah terjadi perubahan dalam penjelasan pasal-pasal yang
mengatur keuntungan dan kerugian selisih kurs. Adapun bunyi penjelasan pasal-pasal tersebut
adalah sebagai berikut:
Penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf l:
Keuntungan yang diperoleh karena fluktuasi kurs mata uang asing diakui berdasarkan sistem
pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat asas sesuai dengan Standar Akuntansi
Keuangan yang berlaku di Indonesia.
Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf e:
Kerugian karena fluktuasi kurs mata uang asing diakui berdasarkan sistem pembukuan yang
dianut dan dilakukan secara taat asas sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku
di Indonesia.

Kedua cara mempunyai keuntungan dan kerugian masing-masing,yang dalam hal ini
wajib pajak harus konsisten memilih salah satu dari kedua cara tersebut.Apabila wajib pajak
telah memilih menggunakan kurs tetap,pengakuan penghasilan atau kerugian ini dilakukan setiap
kali terjadi perubahan nilai kurs dan setiap terjadi realisasi pembayaran.Dengan demikian untuk

Manajemen Perpajakan – Tax Planning Page 4


menunda pengakuan penghasilan atau kerugian kurs hanya dapat dilakukan pada akhir tahun
karena pada prinsipnya pengusaha tidak menghendaki adanya pengunduran pembayaran atas
piutangnya.
Sedangkan bagi wajib pajak yang telah memilih menggunakan kurs tengah BI,maka tidak
ada alasan lagi untuk menunda pengakuan penghasilan ataupun kerugian.Perubahan selisih kurs
yang menyebabkan keuntungan atau kerugian bagi wajib pajak harus diakui,walaupun belum
direalisasi,seperti yang masih menjadi piutang.
Sedangkan untuk penghasilan yang sudah dikenakan pph final,adanya perubahan kurs
yang menyebabkan keuntungan atu kerugian bagi wajib pajak bukan lagi merupakan penghasilan
atupun biaya bagi wajib pajak karena sudah dikenakan PPh final.

2. Capital Expenditure VS Revenue Expenditure

Dalam hal ini pendekatan yang dibahas mengenai kebijakan memperoleh aset dengan cara
membeli atau melalui leasing.Apabila wajib pajak membeli suatu aset maka akn menjadi capital
expenditure.Dengan capital expenditure wajib pajak akan dapat mengurangi penghasilan bruto
melalui beban penyusutan yang dibebankan berdasarkan masa manfaat yang diatur dalam UU
perpajakan.Sedangkan apabila wajib pajak memilih leasing,yaitu financial lease wajib pajak
dapat memanfaatkan pembayaran angsuran leasing sebagai pengurang penghasilan bruto.Yang
menjadi pertimbangan dalam perencanaan pajak adalah : jika jangka waktu leasing lebih pendek
daripada masa manfaat aset maka lebih baik memilih leasing karena akan mendapatkan angsuran
leasing lebih besar daripada beban penyusutan sehingga meningkatkan biaya dan mengurangi
hutang pajak.Pertimbangan lainnya:apabila wajib pajak ingin memanfaatkan rugi fiskal pilih
biaya yang menghasilkan biaya pajak rendah,sedangkan jika wajib pajak ingin mengurangi pajak
wajib pajak dapat memilih metode yang menghasilan biaya pajak lebih besar.

3. Pemilihan metode persediaan

Persediaan adalah suatu jenis aktiva atau barang yang dimiliki oleh suatu perusahaan atau
badan usaha (saat) tertentu, yang akan dijual kembali atau akan dikonsumsi (dipakai) dalam
operasi normal perusahaan. (F.X. Sudarsono ; 1996,106). Metode yang dapat dipakai untuk
menentukan besarnya nilai persediaan ada beberapa macam. Nilai persediaan mempunyai
pengaruh yang sangat besar terhadap penyusunan laporan keuangan baik dalam neraca maupun

Manajemen Perpajakan – Tax Planning Page 5


laporan perhitungan laba rugi. Nilai persedian yang tercantum dalam neraca menunjukkan nilai
kekayaan yang berdasarkan prinsip hati-hati menghendaki nilai mana yang terendah. Sedangkan
nilai persediaan untuk kepentingan perhitungan laba rugi dihadapkan kepada kepentingan
penentuan laba yang diperoleh perusahaan.

Perhitungan harga pokok penjualan selalu berkaitan dengan perhitungan bahan baku
maupun bahan bantu serta persediaan barang dalam proses dan barang jadi. Perhitungan
persediaan juga terkait dengan metode perhitungan persediaan.

Menurut UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan dalam pasal 6 metode
persediaan yang diperkenalkan dalam perpajakan hanya ada 2 yaitu metode rata-rata (average)
atau metode FIFO (First In First Out). Kedua metode tersebut mempunyai kelebihan dan
kekurangan, yang secara finansial menjadi pertimbangan bagi wajib pajak mana yang akan
dipilih. Pertimbangan secara fiskal dari pemakaian metode perhitungan persediaan ini sama
dengan pertimbangan secara finansial. Wajib pajak tentu akan memilih untuk memakai metode
yang menghasilkan PPh terutang yang lebih rendah.

1. Metode Rata – Rata (Average)


Metode harga pokok rata-rata adalah suatu metode penilaian persediaan yang didasari atas
harga rata-rata dalam periode yang bersangkutan. Besar kecilnya nilai persediaan yang masih ada
dan harga pokok barang yang dijual, dipengaruhi oleh metode yang dipakai dalam metode rata-
rata adalah : (1) sistem fisik yang dibagi menjadi metode rata-rata sederhana dan metode rata-
rata tertimbang ; (2) sistem perpetual (metode rata-rata bergerak). Rumus yang digunakan pada
metode rata-rata adalah sebagai berikut :
a. Metode rata – rata sederhana
Biaya perunit = Total harga perunit pembelian
Frekuensi pembelian
Nilai persediaan akhir = Persediaan akhir x biaya perunit
Harga pokok penjualan = unit yang dikeluarkan x biaya perunit

b. Metode rata – rata tertimbang


Biaya perunit = Jumlah harga perunit x banyaknya unit
Banyaknya Unit

Manajemen Perpajakan – Tax Planning Page 6


Nilai persediaan akhir = persediaan akhir x biaya perunit
Harga pokok penjualan = unit yang dikeluarkan x biaya perunit

c. Metode rata – rata bergerak


Metode ini diselenggarakan dengan kartu persediaan dan harga pokok perunit
persediaan selalu berubah setiap terjadi pembelian barang baru.
Harga pokok rata-rata = harga perolehan lama + harga perolehan baru

Unit barang lama + unit barang baru

2. Metode Firts In Firts Out (FIFO)


Metode First In First Out (FIFO) adalah metode penilaian persediaan yang menganggap
barang yang pertama kali masuk diasumsikan keluar pertama kali pula. Pada umumnya
perusahaan menggunakan metode ini, sebab metode ini perhitungannya sangat sederhana baik
sistem fisik maupun sistem perpetual akan menghasilkan penilaian persediaan yang sama.

Cara menghitung persediaan akhir adalah sebagai berikut :

Persediaan awal xxx

Pembelian xxx +

Tersedia untuk dijual xxx

Penjualan xxx –

Persediaan akhir xxx

Metode FIFO yang didasarkan atas sistem fisik, nilai persediaan akhir ditentukan dengan
cara saldo fisik yang ada dikalikan harga pokok perunit barang yang terakhir kali masuk, bila
saldo fisik ternyata lebih besar dari jumlah unit terakhir masuk maka sisanya diambilkan dari
harga pokok perunit yang masuk sebelumnya. Sedangkan pada sistem perpetual pencatatan
persediaan dilakukan secara terus menerus dalam kartu persediaan. Pada sistem ini apabila ada
transaksi penjualan maka akan dijurnal dua kali, pertama mencatat harga pokok penjualan dan
yang kedua mencatat harga pokok barang yang dijual, seperti berikut ini :

Manajemen Perpajakan – Tax Planning Page 7


Kas/ Piutang Dagang xxx

Penjualan xxx

HPP xxx

Persediaan barang xxx

Simulasi

PT. Dirgantara bergerak pada industri elektronik, dalam menghitung pemakaian


persediaan bahan menggunakan metode rata-rata seperti berikut :

Pembelian HPP Penjualan Sisa


No. Kw @ Rp Kw @ Rp Kw @ Rp
1. 100 400.000 40.000.000
2. 50 415.000 20.750.000 150 405.000 60.750.000
3. 50 420.000 21.000.000 200 408.750 81.750.000
4. 60 408.750 24.525.000 140 408.750 57.225.000
5. 60 408.750 24.525.000 80 408.750 32.700.000
6. 50 430.200 21.510.000 130 417.000 54.210.000
7. 50 438.600 21.930.000 180 423.000 76.140.000
8. 60 423.000 25.380.000 120 423.000 50.760.000
9. 60 423.000 25.380.000 60 423.000 25.380.000
85.190.000 240 99.810.000

Namun apabila dihitung mempergunakan metode FIFO maka akan menghasilkan angka seperti
berikut:

No. Pembeliaan HPP Penjualan Sisa


Kw @ Rp Kw @ Rp Kw @ Rp
1. 100 400.000 40.000.000
2. 50 415.000 20.750.000 100 400.000 40.000.000
50 415.000 20.750.000
3. 50 420.000 21.000.000 100 400.000 40.000.000
50 415.000 20.750.000
50 420.000 21.000.000
4. 60 400.000 24.000.000 40 400.000 16.000.000
50 415.000 20.750.000

Manajemen Perpajakan – Tax Planning Page 8


50 420.000 21.000.000
5. 40 400.000 16.000.000 30 415.000 12.450.000
20 415.000 8.300.000 50 420.000 21.000.000
6. 50 430.200 21.510.000 30 415.000 12.450.000
50 420.000 21.000.000
50 430.200 21.510.000
7. 50 438.600 21.930.000 30 415.000 12.450.000
50 420.000 21.000.000
50 430.200 21.510.000
50 438.600 21.930.000
8. 30 415.000 12.450.000 20 420.000 8.400.000
30 420.000 12.600.000 50 430.200 21.510.000
50 438.600 21.930.000
9. 20 420.000 8.400.000 10 430.200 4.302.000
40 430.200 17.208.000 50 438.600 21.930.000
85.190.000 240 98.958.000 26.232.000

Dari perhitungan tersebut tampak bahwa penggunaan metode FIFO pada kondisi harga
bahan yang cenderung naik terus akan menghasilkan biaya pemakaian bahan yang rendah
sebesar Rp. 99.810.000 – Rp. 98.958.000 atau sebesar Rp. 852.000

Pada kasus ini sebaiknya dipilih metode rata-rata karena akan menghasilkan HPP yang lebih
besar sehingga laba berkurang dan pembayaran pajak semakin rendah.

4.Pemilihan metode penyusutan

Berdasarkan Pasal 11 UU Pajak Penghasilan terdapat dua metode penyusutan yang dapat
digunakan untuk melakukan penyusutan terhadap aktiva tetap bukan bangunan, yaitu metode
garis lurus dan metode saldo menurun. Tarif penyusutan untuk kedua metode tersebut diatur
dalam Pasal 11 ayat (6) sebagai berikut :

Manajemen Perpajakan – Tax Planning Page 9


Dari kedua metode penyusutan tersebut, metode mana yang paling menguntungkan untuk
diterapkan dalam perhitungan pajak penghasilan ?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut di atas, simak ilustrasi berikut ini :
PT X membeli sebuah mesin dan ditempatkan pada bulan Januari 2000 dengan harga perolehan
Rp 1 Milyar. Mesin tersebut termasuk dalam kelompok I dan masa manfaat 4 tahun.

Dengan menggunakan tarif sesuai Pasal 11 ayat (6) UU PPh, dapat dilakukan perhitungan
dan perbandingan besarnya penyusutan antara metode garis lurus dan saldo menurun (dalam Rp)
sebagai berikut :

Dari tabel perbandingan ini ternyata besarnya biaya penyusutan untuk setiap tahunnya berbeda
tetapi akumulasinya pada akhir tahun masa manfaat yaitu tahun ke-4 jumlahnya sama yaitu Rp 1
Milyar. Perbedaan ini dalam perpajakan dikenal sebagai beda waktu/beda sementara (timing
difference/temporary difference).
Adanya perbedaan jumlah biaya penyusutan yang merupakan perbedaan waktu dapat
dimanfaatkan untuk melakukan perencanaan pajak. Kalau kita memperkirakan Penghasilan Kena
Pajak pada tahun pertama besar, dan tahun-tahun berikutnya akan mengecil, maka penggunaan
metode saldo menurun lebih menguntungkan karena akan memperkecil Penghasilan Kena Pajak
tersebut sebesar Rp 250 Juta untuk tahun pertama. Sedangkan kalau kita menggunakan metode

Manajemen Perpajakan – Tax Planning Page 10


garis lurus, beban penyusutannya adalah sama. Sehingga kalau variabel lainnya adalah sama,
dengan tarif pajak 25% maka penghematan pajak yang diperoleh pada tahun pertama adalah
sebesar 25% x Rp 250 Juta atau Rp 62,5 Juta. Dari segi cashflow dan time value of money hal ini
cukup menggiurkan.Walaupun secara keseluruhan pada akhir tahun ke-4 jumlah akumulasinya
adalah sama, tetapi kita telah dapat memanfaatkan penghematan pajak ini.

Demikian pula dari sudut pandang time value of money, jika kita hitung dalam nilai tunai
(present value) dengan discount factor tertentu misalnya 20%, maka nilai akumulasi kedua
metode tersebut pada tahun ke-4 tidak sama. Tabel di bawah ini (dalam Rp) memperlihatkan
perbedaan tersebut.

Dari tabel tersebut terlihat bahwa nilai tunai dari akumulasi biaya penyusutan mesin dengan
menggunakan metode garis lurus adalah sebesar Rp 647.175.000, dan menggunakan metode
saldo menurun sebesar Rp 722.875.000. Dengan demikian, nilai tunai akumulasi penyusutan
dengan metode saldo menurun lebih besar daripada garis lurus. Ini berarti biaya penyusutan yang
dibebankan dengan metode saldo menurun akan lebih besar nilainya dari metode garis lurus,
sehingga pajak yang harus dibayar jika menggunakan metode saldo menurun lebih sedikit
daripada menggunakan metode garis lurus.

Dengan tarif pajak 25% maka besarnya penghematan pajak yang dapat diperoleh perusahaan
kalau menggunakan metode saldo menurun adalah:
25% x Rp.722.875.000,- = Rp.216.862.500,-
25% x Rp.647.175.000,- = Rp.194.152.500,-
Penghematan pajak = Rp. 22.710.000,-

Manajemen Perpajakan – Tax Planning Page 11


5. Menyiasati SE-46/PJ.4/1995
Berikut adalah pasal 1-5 dari SE-46/PJ.4/1995:

1. Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1994, maka atas bunga deposito,
tabungan, serta diskonto SBI yang diterima atau diperoleh baik oleh Wajib Pajak badan
maupun oleh Wajib Pajak orang pribadi dipotong Pajak Penghasilan yang bersifat final.
2. Berdasarkan Pasal 2 huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1994, untuk
menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk
Usaha tetap (BUT), biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang
pengenaan pajaknya bersifat final yang diatur tersendiri berdasarkan Pasal 4 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1994, tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto.
3. Dapat terjadi bahwa dana yang ditempatkan dalam bentuk deposito berjangka atau tabungan
lainnya langsung atau tidak langsung berasal dari pinjaman atau dana yang berasal dari
pihak ketiga yang dibebani biaya bunga. Apabila hal tersebut terjadi Wajib Pajak dapat
memperkecil Penghasilan Kena Pajak secara tidak wajar, karena bunga yang terutang atau
dibayar atas pinjaman tersebut dikurangkan sebagai biaya, sedangkan bunga yang diterima
atau diperoleh yang berasal dari penempatan dana dalam bentuk deposito berjangka atau
tabungan lainnya tidak ditambahkan dalam penghitungan Penghasilan Kena Pajak karena
telah dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final sebesar 15%.
4. Sehubungan dengan hal-hal tersebut diatas, dengan ini diberikan penegasan sebagai berikut :
a. Apabila jumlah rata-rata pinjaman sama besarnya dengan atau lebih kecil dari jumlah rata-
rata dana yang ditempatkan sebagai deposito berjangka atau tabungan lainnya, maka bunga
yang dibayar atau terutang atas pinjaman tersebut seluruhnya tidak dapat dibebankan
sebagai biaya.
b. Apabila jumlah rata-rata pinjaman lebih besar dari jumlah rata-rata dana yang ditempatkan
dalam bentuk deposito atau tabungan lainnya, maka bunga atas pinjaman yang boleh
dibebankan sebagai biaya adalah bunga yang dibayar atau terutang atas rata-rata pinjaman
yang melebihi jumlah rata-rata dana yang ditempatkan sebagai deposito berjangka atau
tabungan lainnya.

Manajemen Perpajakan – Tax Planning Page 12


Contoh :
Pada tahun 1995 PT. A mendapat pinjaman dari pihak ketiga dengan batas maksimum
sebesar Rp 200.000.000,00 dan tingkat bunga pinjaman 20%. Dari jumlah tersebut telah
diambil pada bulan Pebruari sebesar Rp 125.000.000,00, pada bulan Juni diambil lagi
sebesar Rp 25.000.000,00 dan sisanya (Rp 50.000.000,00) diambil pada bulan Agustus.
Disamping itu Wajib Pajak mempunyai dana yang ditempatkan dalam bentuk deposito
dengan perincian sebagai berikut:

bulan Pebruari s/d Maret sebesar Rp. 25.000.000,00


bulan April s/d Agustus sebesar Rp. 46.000.000,00
bulan September s/d Desember sebesar Rp. 50.000.000,00
Dengan demikian bunga yang dapat dibebankan sebagai biaya adalah sebagai berikut:

Rata-rata pinjaman Pinjaman Jangka Waktu


Bulan Januari Rp 0 1 bulan = Rp 0
Rp
bulan Pebruari s/d Maret 4 bulan = Rp 500.000.000,00
125.000.000,00
Rp
bulan Juni s/d Juli 2 bulan = Rp 300.000.000,00
150.000.000,00
Rp
bulan Agustus s/d Desember 5 bulan = Rp 1.000.000.000,00
200.000.000,00
Jumlah Rp 1.800.000.000,00
Rata-rata pinjaman perbulan Rp 1.800.000.000,00 : 12 = Rp 150.000.000,00

Rata-rata Dana Berupa


Pinjaman Jangka Waktu
Deposito
Bulan Januari Rp 0 1 bulan = Rp 0
Rp
bulan Pebruari s/d Maret 2 bulan = Rp 50.000.000,00
25.000.000,00
Rp
bulan April s/d Agustus 5 bulan = Rp 230.000.000,00
46.000.000,00
bulan September s/d Rp
4 bulan = Rp 200.000.000,00
Desember 50.000.000,00
Jumlah Rp 480.000.000,00
Rata-rata deposito perbulan = Rp 480.000.000,00 : 12 = Rp 40.000.000,00

Bunga yang dapat dibebankan sebagai biaya = 20% x (Rp 150.000.000,00 - Rp


40.000.000,00) = Rp 22.000.000,00

5. Menyimpang dari ketentuan tersebut pada butir 4, bunga yang dibayarkan atau terutang atas
pinjaman Wajib Pajak dari pihak ketiga dapat dibebankan sebagai biaya sesuai dengan Pasal

Manajemen Perpajakan – Tax Planning Page 13


6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994, dalam hal :
a. dana pinjaman tersebut disimpan/ditempatkan dalam bentuk rekening giro yang atas jasanya
dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final,
b. adanya keharusan bagi Wajib Pajak untuk menempatkan dana dalam jumlah tertentu pada
suatu bank dalam bentuk deposito berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku,
sepanjang jumlah deposito dan tabungan tersebut semata-mata untuk memenuhi keharusan
tersebut: misalnya cadangan biaya reklamasi yang harus ditempatkan dalam bentuk deposito
atau tabungan di Bank Pemerintah,
c. dapat dibuktikan bahwa penempatan deposito atau tabungan tersebut dananya berasal dari
tambahan modal dan sisa laba setelah kena pajak.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 131 tahun 2000, atas bunga
deposito dipotong pajak penghasilan yang bersifat final sebesar 20%. Bila perusahaan tidak
mempunyai utang, hal ini tidak menjadi masalah. Akan tetapi, bila perusahaan tersebut
mempunyai utang dengan tingkat bunga yang lebih besar dari tingkat bunga deposito,
perusahaan tersebut akan mengalami kerugian karena berdasarkan Surat Edaran Dirjen Pajak
Nomor SE-46/PJ.42/1995, sebagian bunga atas utang tersebut tidak dapat dikurangkan sebagai
biaya.

Untuk menghindari masalah tersebut, beberapa cara yang dapat ditempuh perusahaan, antara
lain:

a. Perusahaan sebaiknya menempatkan dana yang belum dipergunakan dalam bentuk


rekening giro, tidak dalam bentuk deposito. Jika memungkinkan dilakukan negosiasi
dengan bank yang bersangkutan agar bunga gironya lebih besar dari biasanya karena
saldo yang kita miliki cukup besar.
b. Alternatif lain yang dapat diambil adalah dengan memanfaatkan dana tersebut di dalam
instrumen keuangan yang tidak terkena pajak final, misalnya promes, didepositokan di
luar negeri, atau dipinjamkan pada perusahaan afiliasi.

Manajemen Perpajakan – Tax Planning Page 14


6. Cadangan kerugian piutang tak tertagih

Menurut peraturan perundang-undangan perpajakan, penyisihan piutang macet/cadangan


untuk mengantisipasi kerugian piutang tak tertagih/kerugian lainnya hanya diperbolehkan
untuk jenis perusahaan tertentu, yaitu:

a. Perbankan.
b. Sewa Guna Usaha (leasing) dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan konsumen
ataupun perusahaan anjak piutang.
c. Perusahaan asuransi termasuk cadangan bantuan sosial yang dibentuk oleh Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial juga cadangan penjaminan untuk Lembaga
Penjamin Sosial.
d. Cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan termasuk cadangan biaya
reboisasi untuk usaha kehutanan.
e. Cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah industri
untuk usaha pengolahan limbah industri.

Menurut UU PPH Pasal 6 (1) huruf H, piutang yang nyata – nyata tidak dapat ditagih
dapat dibebankan sebagai biaya dengan syarat :
 Telah dibebankan sebagai biaya dalam penghitungan rugi – laba komersial.
 Telah diajukan perkaranya ke Pengadilan Negeri atau Badan Urusan Piutang dan
Lelang Negara (BUPLN) atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan
piutang / pembebasan utang antar kreditur dan debitur bersangkutan.
 Telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus.
 WP harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Dirjen
Pajak.

Keempat syarat tersebut bersifat kumulatif. Syarat kedua dapat dilakukan dengan
memberikan bukti publikasi yang sudah didapatkan. Alternatif lain adalah menjual
piutang kepada pihak lain (debt factoring) dengan harga yang telah dikurangi dengan
penghapusan piutang tak tertagih dan mengurangkan kerugian penjualan sebagai beban.

Manajemen Perpajakan – Tax Planning Page 15


7. Biaya Entertainment

Biaya yang diperuntukan untuk menjamu relasi atau rekanan bisnis perusahaan. Pada
dasarnya biaya ini diakui sebagai biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara
penghasilan sepanjang pengeluaran tersebut sesuai dengan kelaziman dan kewajaran
dalam praktek dunia usaha sesuai dengan adat kebiasaan pedagang yang baik.
Biaya entertainment menjadi pengurang penghasilan bruto jika dipergunakan untuk
mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang merupakan objek pajak serta
dapat dibuktikan kebenarannya, sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Direktur
Jenderal Pajak Nomor SE-27/PJ.22/1986 tentang biaya entertainment dan sejenisnya (seri
PPh Umum 18) yang menyebutkan bahwa :

Biaya "entertainment", representasi, jamuan dan sejenisnya untuk mendapatkan,


menagih dan memelihara penghasilan pada dasarnya dapat dikurangkan dari
penghasilan bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-
undang Pajak Penghasilan 1984.
Wajib Pajak harus dapat membuktikan, bahwa biaya-biaya tersebut telah benar-
benar dikeluarkan (formal) dan benar ada hubungannya dengan kegiatan
perusahaan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan perusahaan
(materiil).
Oleh karena itu, Wajib Pajak yang mengurangkan biaya-biaya tersebut dari
penghasilan brutonya, sejak tahun pajak 1986 agar melampirkan pada Surat
Pemberitahuan Tahunan daftar nominatif

Perusahaan seringkali melakukan koreksi fiscal positif atas biaya entertainment dalam
laporan keuangan fiskalnya, sehingga mereka akan membayar pajak lebih besar dari
biaya total entertainment yang dikoreksi positif. Perusahaan dapat mengurangi beban
pajak dengan membuat daftar nominative dan melampirkannya dalam SPT Tahunan PPh
Badan dan menyimpan bukti pendukung pengeluaran entertainment tersebut. Hal ini akan
menghemat pajak dari biaya entertainment yang boleh dikurangkan.

Manajemen Perpajakan – Tax Planning Page 16


Daftar nominative berisi :
 Nomor Urut
 Tanggal “entertainment” dan sejenisnya yang telah diberikan.
 Nama tempat “entertainment” dan sejenisnya yang telah diberikan.
 Alamat “entertainment” dan sejenisnya yang telah diberikan.
 Jenis“entertainment” dan sejenisnya yang telah diberikan.
 Jumlah (Rp) “entertainment” dan sejenisnya yang telah diberikan.
 Relasi usaha yang diberikan “entertainment” dan sejenisnya sesuai dengan nomor
urut tersebut di atas (nama, posisi, nama perusahaan, dan jenis usaha).

Perusahaan kadangkala membebankan juga pemberian uang tips, pengurusan dokumen


atau izin, dan jamuan pemimpin proyek ke dalam biaya entertainment atau biaya lain –
lain, sementara yang tidak didukung daftar nominative harus dikoreksi ketika menghitung
PPh Badan pada akhir tahun. Perusahaan dapat mereklasifikasi biaya tersebut ke dalam
pemberian honor atau imbalan kepada pihak ketiga untuk menghemat PPh. Penghitungan
pajak dilakukan dengan cara gross-up, sehingga penghematan pajak dapat optimal. Akan
tetapi, bila perusahaan merugi, maka PPh Badannya akan nihil, sehingga pembebanan ke
biaya entertainment dapat dilakukan untuk menghemat pajak.

Perlakuan pemberian uang tips yang dicatat ke dalam biaya entertainment menggunakan
tariff 5% untuk PPh pasal 21 didasarkan pada asumsi bahwa setiap orang menerima uang
tips tidak lebih dari Rp. 25 juta. Sesuai dengan ketentuan pasal 5 huruf e, angka 6 dan
pasal 11, Keputusan Dirjen Pajak No. KEP-545/PJ/2000 jo Per-15/PJ/2006, honorarium,
uang saku, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, komisi,
beasiswa, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan
kegiatan yang dilakukan oleh WP dalam negeri, diantaranya terdiri dari pemberi jasa
dalam segala bidang termasuk teknik, computer dan system aplikasinya, telekomunikasi,
elektronika, fotografi, ekonomi dan social, dipotong PPh pasal 21 bedasarkan pasal 17
UU PPh, yaitu 5%.

Manajemen Perpajakan – Tax Planning Page 17


8. Persyaratan – persyaratan beban promosi sesuai peraturan perpajakan
BIAYA PROMOSI YANG DAPAT DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BRUTO
diatur di dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 02/PMK.03/2010.

Biaya promosi adalah bagian dari biaya penjualan yang dikeluarkan oleh Wajib Pajak
dalam rangka memperkenalkan dan/atau menganjurkan pemakaian suatu produk baik
langsung maupun tidak langsung untuk mempertahankan dan/atau meningkatkan
penjualan.

Besarnya biaya promosi yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto merupakan
akumulasi dari biaya periklanan (media cetak, elektronik dan/atau media lainnya), biaya
pameran produk, biaya pengenalan produk baru dan/atau biaya sponsorship yang
berkaitan dengan promosi produk.

Berikut ini adalah biaya promosi yang tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto
dalam menghitung penghasilan neto :

 pemberian imbalan berupa uang dan/atau fasilitas, dengan nama dan dalam
bentuk apapun, kepada fihak lain yang tidak berkaitan langsung dengan
penyelenggaraan kegiatan promosi.
 biaya promosi untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang
bukan merupakan objek pajak dan yang telah dikenai pajak bersifat final.

Dalam hal promosi dilakukan dalam bentuk pemberian sampel produk, besarnya biaya
yang dapat dikurangkan adalah sebesar harga pokok sampel produk yang diberikan
sepanjang belum dibebankan dalam perhitungan harga pokok penjualan.

Kewajiban Pemotongan PPh

Kewajiban pemotongan Pajak Penghasilan ditegaskan dalam Pasal 5 Peraturan Menteri


Keuangan ini di mana jika biaya promosi dibebankan kepada fihak lain dan merupakan
objek pemotongan Pajak Penghasilan, maka wajib dilakukan pemotongan sesuai
ketentuan yang berlaku.

Manajemen Perpajakan – Tax Planning Page 18


Kewajiban pemotongan PPh ini misalnya jika biaya promosi berupa iklan maka harus
dilakukan pemotongan PPh Pasal 23 sebesar 2% dari jumlah bruto sesuai ketentuan
dalam Pasal 23 UU PPh dan peraturan pelaksanaannya. Contoh lain misalnya jika
promosi dilakukan berupa kegiatan pameran atau acara yang dilakukan dengan
menggunakan jasa event organizer, maka atas jasa tersebut wajib dilakukan pemotongan
PPh Pasal 23 atau PPh Pasal 21 sesuai dengan ketentuan yang sesuai.

Daftar Nominatif

Untuk dapat mengurangkan biaya promosi yang dibayarkan kepada pihak lain, Wajib
Pajak harus membuat daftar nominatif yang yang paling sedikit memuat informasi nama,
NPWP dan alamat penerima serta tanggal, bentuk dan jenis biaya promosi, besarnya
biaya, nomor bukti pemotongan dan besarnya PPh yang dipotong. Bentuk daftar
nominatif ini sudah diatur dalam lampiran Peraturan Menteri Keuangan ini.

Daftar nominatif ini nantinya dilaporkan sebagai lampiran SPT Tahunan yang
disampaikan Wajib Pajak. Apabila ketentuan di atas tentang daftar nominatif ini tidak
dipenuhi maka biaya promosi tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.

9. Berbagai pengujian untuk menguji kebenaran beban pokok penjualan

Menurut pasal 29 ayat 1 UU KUP tujuan pemeriksaan adalah untuk menguji kepatuhan
pemenuhan kewajiban perpajakan/SPT wajib pajak. Dalam prakteknya, pengujian SPT
PPh badan misalnya, akan meliputi antar lain:
 Kebenaran peredaran usaha
 Kebenaran harga pokok penjualan
 Kebenaran hasil lain dari luar usaha
 Kebenaran pengurangan hasil bruto
 Kebenaran penghitungan pajak yang terutang, kebenaran perhitungan/kredit pajak
 Kebenaran kewajiban perpajakan lain.

Manajemen Perpajakan – Tax Planning Page 19


Yang keseluruhannya diuji apakah:
a) Penerapan Undang-undang pajak oleh wajib pajak sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan.
b) Kebenaran material huruf a s/d f tersebut diatas benar-benar sesuai dengan
dokumen pembukuan dan keabsahannya.
1. Penting bagi si pemeriksa pajak untuk memahami teknik-teknik dalam pemeriksaan.
Hal ini bertujuan agar hasil pemeriksaan dapat terbukti dengan baik dan benar. Ada
beberapa teknik dalam melakukan pemeriksaan pajak, yaitu:
Melakukan Evaluasi khususnya terhadap kebenaran formal SPT mengenai informasi
umum kegiatan usaha, kelengkapan SPT beserta lampiran-lampirannya dan juga
Sistem pengendalian intern untuk pemisahan fungsi rangkap (penentuan apakah
terdapat duplikasi/multi fungsi pada satu/beberapa orang)
2. Analisis Angka-angka
 SPT vs Laporan keuangan
 Perbandingan beberapa tahun terakhir (komparasi antarwaktu)
 Perbandingan dengan standar yang berlaku (komparasi di dalam perusahaan
sendiri atau dengan perusahaan lain yang sejenis)
 Rasio (nisbah) biaya terhadap penjualan, produksi, dll
3. Melacak dan Memeriksa Dokumen
 Dokumen intern & ekstern (bila pengendalian intern sudah baik, tidak perlu
dilakukan pelacakan & pemeriksaan atas dokumen intern)
 Pihak yang menerbitkan dokumen
 Keabsahan dokumen (vouching)
 Proses dokumen
4. Pengujian Kaitan (Re-test atas proses dokumen)
DO (delivery order) yang merupakan bukti pengiriman barang.
 Dokumen dasar. Contoh: faktur penjualan (commercial/pajak)
 Arus barang. Rumusnya adalah persediaan awal ditambah pembelian
dikurangi persediaan akhir lalu dicocokkan dengan buku penjualan.

Manajemen Perpajakan – Tax Planning Page 20


 Arus uang. Rumusnya adalah saldo awal kas/bank + penerimaan –
pengeluaran = saldo akhir atau saldo akhir + pengeluaran – saldo awal =
penerimaan. Lalu dicocokkan antara cash opname dengan buku kas.
 Arus utang-piutang. Untuk utang akan diuji kaitannya dengan pembelian
kredit. Rumusnya adalah saldo akhir utang + pelunasan utang – saldo awal
utang = pembelian kredit. Sedangkan untuk piutang akan diuji kaitannya
dengan penjualan kredit. Rumusnya adalah saldo akhir piutang + penerimaan
piutang – saldo awal piutang = penjualan kredit
5. Pengujian atas Mutasi Setelah Tanggal Neraca
Penekanan terhadap pos-pos yang sangat relevan dengan kelengkapan penjualan &
utang-piutang  pembelian.
6. Pemanfaatan Informasi dari Pihak Ketiga
 Hasil pemeriksaan pajak WP lain
 Data dari berbagai instansi pemerintah, BUMN/BUMD
 Pihak ketiga lainnya : WP lain dan pengaduan masyarakat
7. Pengujian Fisik
 stock opname Barang dagang
 Kascash opname
 Inventaris/aktiva tetapuntuk mendeteksi apakah ada pencatatan fiktif/ganda,
terutama untuk perusahaan group
8. Peninjauan ke Tempat-tempat Produksi, Penyimpanan, dan Penjualan
Untuk mengetahui proses produksi, uji atas metode penilaian persediaan barang
dagang, dan mengetahui arus barang
9. Rekonsiliasi
Adalah upaya mencocokkan angka-angka dari 2 (dua) atau lebih sumber yang
terpisah mengenai hal yang sama. Contoh :
 Penjualanantara pencatatan pembukuan penjualan dengan SPT Masa PPN
 Biaya karyawan antara pencatatan pembukuan (audit report) dengan SPT
Tahunan PPh Pasal 21
 Rekonsiliasi bankantara saldo rekening koran dengan buku kas/bank
perusahaan

Manajemen Perpajakan – Tax Planning Page 21


10. Konfirmasi
 Upaya mendapatkan keterangan dari pihak ketiga untuk meyakinkan
kebenaran atau keabsahan data atau informasi dari WP yang diperiksa melalui
korespondensi (surat, facsimile atau bukti tertulis lain)
 Melakukan pemeriksaan keterkaitan terhadap pihak ketiga yang berhubungan
dengan WP yang sedang diperiksa (dimintakan kepada Instansi pemeriksa
pajak)
11. Sampling
 Pengujian sebagian bukti-bukti yang dipilih berdasarkan metode tertentu
(statistical & non statitistical sampling) dan representative (mewakili)
 Perencanaan. Dalam penentuan sampel harus dilihat hubungan antar sampel
yang akan dipilih dengan tujuan pemeriksaan
 Seleksi. Sampel yang dipilih harus dapat mewakili populasi
 Tujuan. Untuk menghemat waktu & tenaga dalam menentukan sampai sejauh
mana penyimpangan/deviasi dapat ditolerir.
 Pemakaian teknik sampling, dapat ditentukan oleh pemeriksa
12. Pemeriksaan WP yang pembukuannya menggunakan sistem computer
 Tanpa menggunakan computer (audit around the computer)
Contoh : pemeriksaan dokumen konvensional untuk faktur pajak
dibandingkan dengan output computer
 Menggunakan computer (audit through the computer)

Ada 2 metode dalam pemeriksaan pajak yaitu metode langsung dan tidak langsung.

a) Metode langsung
Pengujian kebenaran/validitas angka-angka SPT secara langsung terhadap:
 Laporan keuangan
 Sistem akuntansi/pembukuan (catatan, jurnal, buku besar/ledger/trial
balance, dsb)
 Dokumen-dokumen pendukung pencatatan

Manajemen Perpajakan – Tax Planning Page 22


b) Metode tidak langsung
Pengujian kebenaran/validitas angka-angka SPT secara tidak langsung melalui
perhitungan tertentu, antara lain:
 Digunakan untuk melengkapi metode metode langsung, apabila metode
langsung tidak sepenuhnya dapat dilaksanakan. Indikatornya antara lain :
- Pembukuan/catatan WP tidak lengkap/tidak dipercaya kebenarannya
- Buku/catatan/dokumen pendukung tidak ada/hilang
- Diketemukan ketidakberesan dalam pembukuan/catatan WP
(pengendalian intern lemah)
- Antara penghasilan dengan pengeluaran pribadi tidak serasi
- WP memilih untuk menggunakan norma penghitungan
 Hasil perhitungan metode tidak langsung merupakan petunjuk awal
(sehingga masih perlu dilakukan pembuktian secukupnya untuk dapat
mengambil kesimpulan) ketidakbenaran angka-angka dalam SPT

Metode tidak langsung dibagi lagi menjadi beberapa jenis, yaitu


 Metode transaksi tunai
1. Landasan/dasar pemakaian metode ini adalah perkiraan kas secara sederhana :
 Debet  semua penerimaan
 Kredit  seluruh pengeluaran
Catatan: Didalam penerimaan & pengeluaran tsb, termasuk yang
bukan obyek pajak dan pengeluaran yang tidak dapat dikurangkan
2. Sumber data :
 SPT
 Buku kas/buku bank
 Salinan rekening Koran
 Hasil wawancara (tanya-jawab) dengan WP
3. Informasi lain yang perlu diperoleh :
 Pinjaman : bank, relasi dagang, afiliasi, lainnya
 Pengeluaran yang bersifat pribadi
 Pemilikan harta

Manajemen Perpajakan – Tax Planning Page 23


 Jumlah tanggungan keluarga
4. Hasil perhitungan :
 Jika jumlah kredit lebih besar daripada jumlah debet maka ada indikasi
WP tidak melaporkan penghasilan yang sebenarnya
 Jika jumlah debet lebih besar daripada jumlah kredit maka perlu
penelitian yang lebih seksama karena kemungkinan WP tidak
melaporkan seluruh pengeluarannya (khususnya yang memiliki
implikasi pemotongan/pemungutan pajak)
5. Untuk keperluan Perhitungan PKP :
 Penghasilan yang bukan obyek pajak akan dikurangkan
 Pengeluaran yang tidak boleh dikurangkan akan ditambahkan
6. Saldo awal/akhir piutang & utang akan dimasukkan dalam perkiraan kas
(dalam hal WP menggunakan sistem pembukuan akrual basis) :
 Piutang merupakan sumber uang tunai. Saldo awal dicatat di debet &
saldo akhir dicatat di kredit
 Utang merupakan kewajiban. Saldo awal dicatat dikredit (akan
menjadi pengeluaran) & saldo akhir dicatat didebet (karena merupakan
pengeluaran yang ditunda)
 Metode transaksi bank
1. Dasar Pemakaian :
 Jika sebagian besar penerimaan dan pengeluarannya melalui bank
 Tidak sepenuhnya menyelenggarakan pembukuan
2. Formula perhitungan :
Jumlah semua setoran ke bank = A
Setoran yang bukan obyek pajak = B
Setoran yang merupakan obyek pajak C = A-B
Peneriman yang tidak disetorkan ke Bank = D
Peredaran usaha/penerimaan bruto seharusnya E = C+D
Peredaran usaha/penerimaan bruto menurut SPT = F
Koreksi peredaran usaha (yang tidak dilaporkan) G = E-F

Manajemen Perpajakan – Tax Planning Page 24


3. Sumber data: Semua rekening bank, baik atas nama pribadi maupun atas nama
badan usahanya
 Metode sumber dan penggunaan dana
1. Mekanisme: Debet merupakan sumber dana sedangkan kredit merupakan
penggunaan dana
2. Sumber dana, terdiri dari :
 Penurunan dalam pos-pos harta
 Kenaikan pos-pos utang
 Penghasilan baik yang menjadi obyek pajak maupun yang
 bukan obyek pajak
 kas/bank  Biaya-biaya yang tidak memerlukan penggunaan uang
penyusutan/amortisasi
 Kompensasi kerugian tahun lalu
3. Penggunaan dana, terdiri dari :
 Kenaikan dalam pos-pos harta
 Penurunan pos-pos utang
 Pengeluaran pribadi
 Kerugian dari penjualan aktiva tetap
 Metode perbandingan kekayaan bersih
1. Persamaan Akuntansi: Harta – Utang = Kekayaan Bersih
2. Formula perhitungan :
Kekayaan bersih akhir tahun = A
Kekayaan bersih awal tahun = B
Selisih kekayaan bersih C = A-B
Biaya yang tidak boleh dikurangkan = D
Penghasilan yang bukan obyek pajak = E
Penghasilan yang merupakan obyek pajak F = C+D-E
3. Baik harta maupun utang, tidak ada yang fiktif atau yang ditinggikan nilainya
4. Harta dan utang milik/kewajiban pribadi masuk dalam perhitungan (bagi
WPOP)

Manajemen Perpajakan – Tax Planning Page 25


5. Baik kenaikan maupun penurunan kekayaan bersih, harus diteliti sebab-
sebabnya.
 Metode perhitungan presentase
Perbandingan angka-angka prosentase dengan prosentase pada perusahaan sejenis
berdasarkan :
 Publikasi komersial
 Hasil pemeriksaan pada perusahaan sejenis
 Data-data tahun-tahun sebelumnya yang ada pada perusahaan itu sendiri

Indikator yang dapat dijadikan bahan perbandingan :

 Jenis komoditinya sejenis


 Besarnya kegiatan usaha relatif sama
 Letak usaha
 Masa (tahun) yang diperiksa
 Kebijaksanaan perdagangan umum
 Metode satuan dan volume
1. Digunakan dalam hal:
 Jenis komoditi yang diusahakan terbatas
 Harga relatif stabil sepanjang tahun
 Umumnya dilakukan untuk perusahaan perdagangan & industri (kurang
lazim diterapkan atas perusahaan jasa)
2. Contoh penerapan:
 Peredaran usaha menurut SPT = Rp 120.000.000,-
 Laba kotor menurut SPT = Rp 12.000.000,-
 Rasio laba kotor terhadap peredaran usaha = 10%
Data tersedia:
 Komoditi yang terjual sebanyak 150 satuan
 Harga jual rata-rata setiap komoditi @ Rp 1.250.000,-
Perhitungan kembali:
 Peredaran usaha = 150 X Rp 1.250.000,- = Rp 187.500.000,-
 Laba kotor = 10% x Rp 187.500.000,- = Rp 18.750.000,-

Manajemen Perpajakan – Tax Planning Page 26


 Metode pendekatan produksi
1. Inti: Penghitungan jumlah produk atau barang yang dapat diproduksi
berdasarkan kapasitas yang tersedia atau terpasang dan/atau rendemen
setelah memperhitungkan persediaan awal
2. Biasanya diterapkan terhadap perusahaan pabrikasi/manufaktur/industry
 Pendekatan biaya hidup
1. Diterapkan terhadap WP OP yaitu untuk menguji kewajaran jumlah
penghasilan yang dilaporkan dalam SPT dibandingkan dengan biaya
hidupnya
2. Rumusnya adalah: Penghasilan neto dikurangi dengan PPh terutang
(dengan memperhitungkan PTKP dan sumber penerimaan lainnya yang
bukan obyek pajak atau yang telah dipungut PPh yang bersifat final) lalu
dikurangi dengan pengeluaran biaya hidup. Hasilnya merupakan koreksi
penghasilan (dianggap penghasilan yang belum dilaporkan)
3. Faktor yang perlu diperhatikan dalam penentuan jumlah biaya hidup yang
wajar adalah jumlah tanggungan WP, pola dan gaya hidup WP dan
keadaan tempat tinggal WP. Hal-hal lain yang dianggap mempengaruhi
besarnya biaya hidup (misalnya: kebijakan pemerintah atas patokan
minimal biaya hidup untuk masing-masing daerah

10. Ekualisasi beban pokok penjualan dan beban operasional dengan DPP PPN
Masukan
Analisis Perolahan Barang Kena Pajak (Pajak Masukan) yang harus dibayarkan oleh
Perusahaan atau Pengusaha Kena Pajak apabila Perusahaan melakukan transaksi
pembelian Barang Kena Pajak yang terutang Pajak Pertambahan Nilai. Pajak Masukan
dapat dibedakan menjadi dua yaitu Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dan yang tidak
dapat dikreditkan.

Manajemen Perpajakan – Tax Planning Page 27


Efisiensi pajak masukan :
 Memastikan faktur pajak standar yang diterima dari pemasok tidak cacat.
 Memintakan faktur pajak masukan dengan segera agar dapat dikreditkan denga
pajak keluaran pada saat pelaporan SPT Masa PPN.
 Melakukan transaksi dengan pemasok yang telah dikukuhkan sebagai PKP agar
seluruh pajak masukan dapat dikreditkan dan tanggung jawab renteng yang diatur
dalam pasal 33 UU KUP dapat dihindari (pasal 33 tersebut sudah dihapus dalam
UU No.18/2007)
 Menuangkan di dalam klausul perjanjian, bahwa PPN yang dipungut oleh
pemasok, disetorkan dan dilaporkan sesuai dengan ketentuan perpajakan yang
berlaku; bila tidak, maka sanksi dapat dikenakan terhadap pemasok yang wan
prestasi. Upaya ini perlu dilakukan, karena pada saat pemeriksaan petugas selalu
menempuh prosedur konfirmasi atas setiap PPN yang telah dipungut. Konfirmasi
dilakukan pada KPP tempat pemasok tersebut terdaftar. Bila jawaban konfirmasi
negative, pemeriksa pajak tidak dapat mengakui pengkreditan yang telah
dilakukan oleh PKP yang tengah diperiksa.

Ekualisasi atau rekonsiliasi adalah mencocokkan saldo 2 (dua) atau lebih angka yang
mempunyai hubungan satu dengan yang lainnya. Apabila hasilnya terdapat perbedaan,
maka perbedaan tersebut harus dapat dijelaskan.

Prosedur Pemeriksaan yang dapat ditempuh :


 Tentukan saldo-saldo atau pos-pos yang akan dicocokkan (misalnya penjualan,
penyerahan DPP PPN, pembelian);
 Gunakan saldo-saldo:
1) peredaran usaha dan penghasilan lain-lain dengan jumlah penyerahan menurut SPT
Masa PPN;
2) peredaran usaha dengan objek PPh Pasal 22 Kegiatan Usaha di Bidang Lain;
3) pembelian (bahan baku, barang jadi, dan aktiva) dengan Dasar Pengenaan Pajak PPN
Masukan;
4) pembelian dengan objek PPh Pasal 22 pedagang pengumpul;

Manajemen Perpajakan – Tax Planning Page 28


5) biaya yang merupakan objek pemotongan dan pemungutan Pajak Penghasilan dengan
objek PPh Pemotongan Pemungutan;
6) objek pemotongan PPh dengan DPP PPN Masukan;
7) objek PPh Pasal 26 dengan objek PPN jasa luar negeri;
8) buku besar bank dengan rekening koran;
9) dan sebagainya, untuk meyakini kebenaran angka dengan melakukan penghitungan
berdasarkan formula;
 Lakukan permintaan data/keterangan Wajib Pajak atas perbedaan yang terjadi;
 Pastikan pemfakturan antara waktu telah dilakukan tepat waktu;
 dan sebagainya.
Formula yang digunakan untuk menuangkan hasil ekualisasi Objek PPN Dalam Negeri
dalam rangka menghitung Objek PPN Dalam Negeri:

Manajemen Perpajakan – Tax Planning Page 29


PENUTUP

Kesimpulan

1. Menurut pajak hanya 2 metode yang diperkenankan yaitu : kurs tetap dan kurs tengah BI
dan wajib pajak diharuskan menerapkan secara konsisten.
2. Apabila jangka waktu leasing lebih pendek dibanding masa manfaat sebaiknya memilih
jalan leasing dalam memperoleh aset karena akan mengurangi laba.
3. Metode persediaan yang diakui di pajak hanya 2, yaitu : metode rata-rata dan metode
FIFO.Untuk persediaan dengan tingkat kecenderungan harga meningkat disarankan
menggunakan metode rata-rata karena akan menghasilkan HPP yang lebih besar.
4. Metode penyusutan yang diperbolehkan di pajak adalah garis lurus dan saldo
menurun.Dari sisi time value of money sebaiknya perusahaan menggunakan saldo
menurun.
5. Apabila perusahaan memiliki pinjaman pada pihak ketiga dan memiliki dana lebih
sebaiknya tidak menempatkan dana tersebut dalam bentuk deposito.
6. Piutang yang secara nyata tidak dapat ditagih dapat dibebankan sebagai pengurang
penghasilan bruto, namun harus memenuhi syarat yang berlaku, atau dengan alternative
lain dengan debt factoring.
7. Biaya entertainment dapat dijadikan sebagai pengurang penghasilan bruto dengan
membuat daftar nominative biaya entertainment, hal ini dapat menghemat pajak WP.
8. Biaya promosi dapat dijadikan pengurang penghasilan bruto dengan membuat daftar
nominative biaya promosi, dan terdapat kewajiban pemotongan PPh sesuai dengan
ketentuan berlaku.
9. Pengujian untuk menguji kebenaran beban pokok penjualan melalui serangkaian metode
dan teknik yang mencakup secara luas, baik secara langsung maupun tidak langsung.
10. Ekualisasi beban pokok penjualan dan beban operasional dengan DPP Masukan
merupakan proses pencocokan 2 saldo yang saling berhubungan dan melalui prosedur
yang dapat ditempuh.

Manajemen Perpajakan – Tax Planning Page 30


Manajemen Perpajakan – Tax Planning Page 31

Anda mungkin juga menyukai