TAX PLANNING
&endalian
FOREIGN EXCHANGE LOSS
MENYIASATI SE-46/PJ.4/1995
BIAYA ENTERTAINMENT
Dalam menghitung besarnya keuntungan sebagai penghasilan kena pajak Wajib Pajak
harus menghitung juga adanya keuntungan selisih kurs mata uang asing dari harta dan kewajiban
moneter yang dimilikinya seperti kas, bank, utang, dan piutang. Jika ternyata selisihnya timbul
kerugian maka kerugian tersebut merupakan beban yang dapat dikurangkan dari keuntungan
Wajib Pajak.
Selama ini pajak mengenal dua macam metode pengakuan keuntungan atau kerugian
selisih kurs, yaitu menggunakan kurs tetap dan menggunakan kurs akhir tahun. Kurs akhir tahun
yang dipakai umumnya adalah kurs tengah BI.
Ada perbedaan mendasar dari kedua penerapan kurs tersebut. Pada kurs tetap terjadinya fluktuasi
kurs mata uang asing tidak mempengaruhi keuntungan atau kerugian selisih kurs. Keuntungan
atau kerugian baru diakui pada saat direalisasikan yaitu pada saat utang atau piutang dilunasi
atau saat saldo kas atau bank mata uang asing benar-benar dikonversikan atau dituarkan dengan
mata uang rupiah.
Sedangkan dengan kurs tengah BI akhir tahun fluktuasi kurs mata uang asing diakui
setiap akhir tahun buku yang dapat menimbulkan keuntungan atau kerugian. Wajib Pajak harus
menyesuaikan saldo perkiraan moneter dalam mata uang asing dengan menggunakan kurs tengah
BI yang berlaku pada tanggal tutup buku tersebut.
Perhatikanlah kalimat yang dicetak tebal di atas terutama pada penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf
e bahwa pengakuan selisih kurs bisa menggunakan kurs tetap (histories) dan kurs tengah BI akhir
tahun. Apabila menggunakan kurs tetap kerugian diakui pada saat realisasi. Sedangkan kurs
tengah BI mengakui adanya keuntungan pada akhir tahun.
Dari penjelasan tersebut dapat dicontohkan sebagai berikut:
1. Pada tanggal 1 September 2008 perusahaan membeli mata uang US sebanyak $50.000 dengan
kurs Rp 10.000,-. Dalam hal ini perusahaan akan mencatat uang tunai dalam mata uang asing
sebesar Rp 500.000.000,-
Kedua cara mempunyai keuntungan dan kerugian masing-masing,yang dalam hal ini
wajib pajak harus konsisten memilih salah satu dari kedua cara tersebut.Apabila wajib pajak
telah memilih menggunakan kurs tetap,pengakuan penghasilan atau kerugian ini dilakukan setiap
kali terjadi perubahan nilai kurs dan setiap terjadi realisasi pembayaran.Dengan demikian untuk
Dalam hal ini pendekatan yang dibahas mengenai kebijakan memperoleh aset dengan cara
membeli atau melalui leasing.Apabila wajib pajak membeli suatu aset maka akn menjadi capital
expenditure.Dengan capital expenditure wajib pajak akan dapat mengurangi penghasilan bruto
melalui beban penyusutan yang dibebankan berdasarkan masa manfaat yang diatur dalam UU
perpajakan.Sedangkan apabila wajib pajak memilih leasing,yaitu financial lease wajib pajak
dapat memanfaatkan pembayaran angsuran leasing sebagai pengurang penghasilan bruto.Yang
menjadi pertimbangan dalam perencanaan pajak adalah : jika jangka waktu leasing lebih pendek
daripada masa manfaat aset maka lebih baik memilih leasing karena akan mendapatkan angsuran
leasing lebih besar daripada beban penyusutan sehingga meningkatkan biaya dan mengurangi
hutang pajak.Pertimbangan lainnya:apabila wajib pajak ingin memanfaatkan rugi fiskal pilih
biaya yang menghasilkan biaya pajak rendah,sedangkan jika wajib pajak ingin mengurangi pajak
wajib pajak dapat memilih metode yang menghasilan biaya pajak lebih besar.
Persediaan adalah suatu jenis aktiva atau barang yang dimiliki oleh suatu perusahaan atau
badan usaha (saat) tertentu, yang akan dijual kembali atau akan dikonsumsi (dipakai) dalam
operasi normal perusahaan. (F.X. Sudarsono ; 1996,106). Metode yang dapat dipakai untuk
menentukan besarnya nilai persediaan ada beberapa macam. Nilai persediaan mempunyai
pengaruh yang sangat besar terhadap penyusunan laporan keuangan baik dalam neraca maupun
Perhitungan harga pokok penjualan selalu berkaitan dengan perhitungan bahan baku
maupun bahan bantu serta persediaan barang dalam proses dan barang jadi. Perhitungan
persediaan juga terkait dengan metode perhitungan persediaan.
Menurut UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan dalam pasal 6 metode
persediaan yang diperkenalkan dalam perpajakan hanya ada 2 yaitu metode rata-rata (average)
atau metode FIFO (First In First Out). Kedua metode tersebut mempunyai kelebihan dan
kekurangan, yang secara finansial menjadi pertimbangan bagi wajib pajak mana yang akan
dipilih. Pertimbangan secara fiskal dari pemakaian metode perhitungan persediaan ini sama
dengan pertimbangan secara finansial. Wajib pajak tentu akan memilih untuk memakai metode
yang menghasilkan PPh terutang yang lebih rendah.
Pembelian xxx +
Penjualan xxx –
Metode FIFO yang didasarkan atas sistem fisik, nilai persediaan akhir ditentukan dengan
cara saldo fisik yang ada dikalikan harga pokok perunit barang yang terakhir kali masuk, bila
saldo fisik ternyata lebih besar dari jumlah unit terakhir masuk maka sisanya diambilkan dari
harga pokok perunit yang masuk sebelumnya. Sedangkan pada sistem perpetual pencatatan
persediaan dilakukan secara terus menerus dalam kartu persediaan. Pada sistem ini apabila ada
transaksi penjualan maka akan dijurnal dua kali, pertama mencatat harga pokok penjualan dan
yang kedua mencatat harga pokok barang yang dijual, seperti berikut ini :
Penjualan xxx
HPP xxx
Simulasi
Namun apabila dihitung mempergunakan metode FIFO maka akan menghasilkan angka seperti
berikut:
Dari perhitungan tersebut tampak bahwa penggunaan metode FIFO pada kondisi harga
bahan yang cenderung naik terus akan menghasilkan biaya pemakaian bahan yang rendah
sebesar Rp. 99.810.000 – Rp. 98.958.000 atau sebesar Rp. 852.000
Pada kasus ini sebaiknya dipilih metode rata-rata karena akan menghasilkan HPP yang lebih
besar sehingga laba berkurang dan pembayaran pajak semakin rendah.
Berdasarkan Pasal 11 UU Pajak Penghasilan terdapat dua metode penyusutan yang dapat
digunakan untuk melakukan penyusutan terhadap aktiva tetap bukan bangunan, yaitu metode
garis lurus dan metode saldo menurun. Tarif penyusutan untuk kedua metode tersebut diatur
dalam Pasal 11 ayat (6) sebagai berikut :
Dengan menggunakan tarif sesuai Pasal 11 ayat (6) UU PPh, dapat dilakukan perhitungan
dan perbandingan besarnya penyusutan antara metode garis lurus dan saldo menurun (dalam Rp)
sebagai berikut :
Dari tabel perbandingan ini ternyata besarnya biaya penyusutan untuk setiap tahunnya berbeda
tetapi akumulasinya pada akhir tahun masa manfaat yaitu tahun ke-4 jumlahnya sama yaitu Rp 1
Milyar. Perbedaan ini dalam perpajakan dikenal sebagai beda waktu/beda sementara (timing
difference/temporary difference).
Adanya perbedaan jumlah biaya penyusutan yang merupakan perbedaan waktu dapat
dimanfaatkan untuk melakukan perencanaan pajak. Kalau kita memperkirakan Penghasilan Kena
Pajak pada tahun pertama besar, dan tahun-tahun berikutnya akan mengecil, maka penggunaan
metode saldo menurun lebih menguntungkan karena akan memperkecil Penghasilan Kena Pajak
tersebut sebesar Rp 250 Juta untuk tahun pertama. Sedangkan kalau kita menggunakan metode
Demikian pula dari sudut pandang time value of money, jika kita hitung dalam nilai tunai
(present value) dengan discount factor tertentu misalnya 20%, maka nilai akumulasi kedua
metode tersebut pada tahun ke-4 tidak sama. Tabel di bawah ini (dalam Rp) memperlihatkan
perbedaan tersebut.
Dari tabel tersebut terlihat bahwa nilai tunai dari akumulasi biaya penyusutan mesin dengan
menggunakan metode garis lurus adalah sebesar Rp 647.175.000, dan menggunakan metode
saldo menurun sebesar Rp 722.875.000. Dengan demikian, nilai tunai akumulasi penyusutan
dengan metode saldo menurun lebih besar daripada garis lurus. Ini berarti biaya penyusutan yang
dibebankan dengan metode saldo menurun akan lebih besar nilainya dari metode garis lurus,
sehingga pajak yang harus dibayar jika menggunakan metode saldo menurun lebih sedikit
daripada menggunakan metode garis lurus.
Dengan tarif pajak 25% maka besarnya penghematan pajak yang dapat diperoleh perusahaan
kalau menggunakan metode saldo menurun adalah:
25% x Rp.722.875.000,- = Rp.216.862.500,-
25% x Rp.647.175.000,- = Rp.194.152.500,-
Penghematan pajak = Rp. 22.710.000,-
1. Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1994, maka atas bunga deposito,
tabungan, serta diskonto SBI yang diterima atau diperoleh baik oleh Wajib Pajak badan
maupun oleh Wajib Pajak orang pribadi dipotong Pajak Penghasilan yang bersifat final.
2. Berdasarkan Pasal 2 huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1994, untuk
menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk
Usaha tetap (BUT), biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang
pengenaan pajaknya bersifat final yang diatur tersendiri berdasarkan Pasal 4 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1994, tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto.
3. Dapat terjadi bahwa dana yang ditempatkan dalam bentuk deposito berjangka atau tabungan
lainnya langsung atau tidak langsung berasal dari pinjaman atau dana yang berasal dari
pihak ketiga yang dibebani biaya bunga. Apabila hal tersebut terjadi Wajib Pajak dapat
memperkecil Penghasilan Kena Pajak secara tidak wajar, karena bunga yang terutang atau
dibayar atas pinjaman tersebut dikurangkan sebagai biaya, sedangkan bunga yang diterima
atau diperoleh yang berasal dari penempatan dana dalam bentuk deposito berjangka atau
tabungan lainnya tidak ditambahkan dalam penghitungan Penghasilan Kena Pajak karena
telah dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final sebesar 15%.
4. Sehubungan dengan hal-hal tersebut diatas, dengan ini diberikan penegasan sebagai berikut :
a. Apabila jumlah rata-rata pinjaman sama besarnya dengan atau lebih kecil dari jumlah rata-
rata dana yang ditempatkan sebagai deposito berjangka atau tabungan lainnya, maka bunga
yang dibayar atau terutang atas pinjaman tersebut seluruhnya tidak dapat dibebankan
sebagai biaya.
b. Apabila jumlah rata-rata pinjaman lebih besar dari jumlah rata-rata dana yang ditempatkan
dalam bentuk deposito atau tabungan lainnya, maka bunga atas pinjaman yang boleh
dibebankan sebagai biaya adalah bunga yang dibayar atau terutang atas rata-rata pinjaman
yang melebihi jumlah rata-rata dana yang ditempatkan sebagai deposito berjangka atau
tabungan lainnya.
5. Menyimpang dari ketentuan tersebut pada butir 4, bunga yang dibayarkan atau terutang atas
pinjaman Wajib Pajak dari pihak ketiga dapat dibebankan sebagai biaya sesuai dengan Pasal
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 131 tahun 2000, atas bunga
deposito dipotong pajak penghasilan yang bersifat final sebesar 20%. Bila perusahaan tidak
mempunyai utang, hal ini tidak menjadi masalah. Akan tetapi, bila perusahaan tersebut
mempunyai utang dengan tingkat bunga yang lebih besar dari tingkat bunga deposito,
perusahaan tersebut akan mengalami kerugian karena berdasarkan Surat Edaran Dirjen Pajak
Nomor SE-46/PJ.42/1995, sebagian bunga atas utang tersebut tidak dapat dikurangkan sebagai
biaya.
Untuk menghindari masalah tersebut, beberapa cara yang dapat ditempuh perusahaan, antara
lain:
a. Perbankan.
b. Sewa Guna Usaha (leasing) dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan konsumen
ataupun perusahaan anjak piutang.
c. Perusahaan asuransi termasuk cadangan bantuan sosial yang dibentuk oleh Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial juga cadangan penjaminan untuk Lembaga
Penjamin Sosial.
d. Cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan termasuk cadangan biaya
reboisasi untuk usaha kehutanan.
e. Cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah industri
untuk usaha pengolahan limbah industri.
Menurut UU PPH Pasal 6 (1) huruf H, piutang yang nyata – nyata tidak dapat ditagih
dapat dibebankan sebagai biaya dengan syarat :
Telah dibebankan sebagai biaya dalam penghitungan rugi – laba komersial.
Telah diajukan perkaranya ke Pengadilan Negeri atau Badan Urusan Piutang dan
Lelang Negara (BUPLN) atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan
piutang / pembebasan utang antar kreditur dan debitur bersangkutan.
Telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus.
WP harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Dirjen
Pajak.
Keempat syarat tersebut bersifat kumulatif. Syarat kedua dapat dilakukan dengan
memberikan bukti publikasi yang sudah didapatkan. Alternatif lain adalah menjual
piutang kepada pihak lain (debt factoring) dengan harga yang telah dikurangi dengan
penghapusan piutang tak tertagih dan mengurangkan kerugian penjualan sebagai beban.
Biaya yang diperuntukan untuk menjamu relasi atau rekanan bisnis perusahaan. Pada
dasarnya biaya ini diakui sebagai biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara
penghasilan sepanjang pengeluaran tersebut sesuai dengan kelaziman dan kewajaran
dalam praktek dunia usaha sesuai dengan adat kebiasaan pedagang yang baik.
Biaya entertainment menjadi pengurang penghasilan bruto jika dipergunakan untuk
mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang merupakan objek pajak serta
dapat dibuktikan kebenarannya, sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Direktur
Jenderal Pajak Nomor SE-27/PJ.22/1986 tentang biaya entertainment dan sejenisnya (seri
PPh Umum 18) yang menyebutkan bahwa :
Perusahaan seringkali melakukan koreksi fiscal positif atas biaya entertainment dalam
laporan keuangan fiskalnya, sehingga mereka akan membayar pajak lebih besar dari
biaya total entertainment yang dikoreksi positif. Perusahaan dapat mengurangi beban
pajak dengan membuat daftar nominative dan melampirkannya dalam SPT Tahunan PPh
Badan dan menyimpan bukti pendukung pengeluaran entertainment tersebut. Hal ini akan
menghemat pajak dari biaya entertainment yang boleh dikurangkan.
Perlakuan pemberian uang tips yang dicatat ke dalam biaya entertainment menggunakan
tariff 5% untuk PPh pasal 21 didasarkan pada asumsi bahwa setiap orang menerima uang
tips tidak lebih dari Rp. 25 juta. Sesuai dengan ketentuan pasal 5 huruf e, angka 6 dan
pasal 11, Keputusan Dirjen Pajak No. KEP-545/PJ/2000 jo Per-15/PJ/2006, honorarium,
uang saku, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, komisi,
beasiswa, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan
kegiatan yang dilakukan oleh WP dalam negeri, diantaranya terdiri dari pemberi jasa
dalam segala bidang termasuk teknik, computer dan system aplikasinya, telekomunikasi,
elektronika, fotografi, ekonomi dan social, dipotong PPh pasal 21 bedasarkan pasal 17
UU PPh, yaitu 5%.
Biaya promosi adalah bagian dari biaya penjualan yang dikeluarkan oleh Wajib Pajak
dalam rangka memperkenalkan dan/atau menganjurkan pemakaian suatu produk baik
langsung maupun tidak langsung untuk mempertahankan dan/atau meningkatkan
penjualan.
Besarnya biaya promosi yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto merupakan
akumulasi dari biaya periklanan (media cetak, elektronik dan/atau media lainnya), biaya
pameran produk, biaya pengenalan produk baru dan/atau biaya sponsorship yang
berkaitan dengan promosi produk.
Berikut ini adalah biaya promosi yang tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto
dalam menghitung penghasilan neto :
pemberian imbalan berupa uang dan/atau fasilitas, dengan nama dan dalam
bentuk apapun, kepada fihak lain yang tidak berkaitan langsung dengan
penyelenggaraan kegiatan promosi.
biaya promosi untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang
bukan merupakan objek pajak dan yang telah dikenai pajak bersifat final.
Dalam hal promosi dilakukan dalam bentuk pemberian sampel produk, besarnya biaya
yang dapat dikurangkan adalah sebesar harga pokok sampel produk yang diberikan
sepanjang belum dibebankan dalam perhitungan harga pokok penjualan.
Daftar Nominatif
Untuk dapat mengurangkan biaya promosi yang dibayarkan kepada pihak lain, Wajib
Pajak harus membuat daftar nominatif yang yang paling sedikit memuat informasi nama,
NPWP dan alamat penerima serta tanggal, bentuk dan jenis biaya promosi, besarnya
biaya, nomor bukti pemotongan dan besarnya PPh yang dipotong. Bentuk daftar
nominatif ini sudah diatur dalam lampiran Peraturan Menteri Keuangan ini.
Daftar nominatif ini nantinya dilaporkan sebagai lampiran SPT Tahunan yang
disampaikan Wajib Pajak. Apabila ketentuan di atas tentang daftar nominatif ini tidak
dipenuhi maka biaya promosi tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.
Menurut pasal 29 ayat 1 UU KUP tujuan pemeriksaan adalah untuk menguji kepatuhan
pemenuhan kewajiban perpajakan/SPT wajib pajak. Dalam prakteknya, pengujian SPT
PPh badan misalnya, akan meliputi antar lain:
Kebenaran peredaran usaha
Kebenaran harga pokok penjualan
Kebenaran hasil lain dari luar usaha
Kebenaran pengurangan hasil bruto
Kebenaran penghitungan pajak yang terutang, kebenaran perhitungan/kredit pajak
Kebenaran kewajiban perpajakan lain.
Ada 2 metode dalam pemeriksaan pajak yaitu metode langsung dan tidak langsung.
a) Metode langsung
Pengujian kebenaran/validitas angka-angka SPT secara langsung terhadap:
Laporan keuangan
Sistem akuntansi/pembukuan (catatan, jurnal, buku besar/ledger/trial
balance, dsb)
Dokumen-dokumen pendukung pencatatan
10. Ekualisasi beban pokok penjualan dan beban operasional dengan DPP PPN
Masukan
Analisis Perolahan Barang Kena Pajak (Pajak Masukan) yang harus dibayarkan oleh
Perusahaan atau Pengusaha Kena Pajak apabila Perusahaan melakukan transaksi
pembelian Barang Kena Pajak yang terutang Pajak Pertambahan Nilai. Pajak Masukan
dapat dibedakan menjadi dua yaitu Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dan yang tidak
dapat dikreditkan.
Ekualisasi atau rekonsiliasi adalah mencocokkan saldo 2 (dua) atau lebih angka yang
mempunyai hubungan satu dengan yang lainnya. Apabila hasilnya terdapat perbedaan,
maka perbedaan tersebut harus dapat dijelaskan.
Kesimpulan
1. Menurut pajak hanya 2 metode yang diperkenankan yaitu : kurs tetap dan kurs tengah BI
dan wajib pajak diharuskan menerapkan secara konsisten.
2. Apabila jangka waktu leasing lebih pendek dibanding masa manfaat sebaiknya memilih
jalan leasing dalam memperoleh aset karena akan mengurangi laba.
3. Metode persediaan yang diakui di pajak hanya 2, yaitu : metode rata-rata dan metode
FIFO.Untuk persediaan dengan tingkat kecenderungan harga meningkat disarankan
menggunakan metode rata-rata karena akan menghasilkan HPP yang lebih besar.
4. Metode penyusutan yang diperbolehkan di pajak adalah garis lurus dan saldo
menurun.Dari sisi time value of money sebaiknya perusahaan menggunakan saldo
menurun.
5. Apabila perusahaan memiliki pinjaman pada pihak ketiga dan memiliki dana lebih
sebaiknya tidak menempatkan dana tersebut dalam bentuk deposito.
6. Piutang yang secara nyata tidak dapat ditagih dapat dibebankan sebagai pengurang
penghasilan bruto, namun harus memenuhi syarat yang berlaku, atau dengan alternative
lain dengan debt factoring.
7. Biaya entertainment dapat dijadikan sebagai pengurang penghasilan bruto dengan
membuat daftar nominative biaya entertainment, hal ini dapat menghemat pajak WP.
8. Biaya promosi dapat dijadikan pengurang penghasilan bruto dengan membuat daftar
nominative biaya promosi, dan terdapat kewajiban pemotongan PPh sesuai dengan
ketentuan berlaku.
9. Pengujian untuk menguji kebenaran beban pokok penjualan melalui serangkaian metode
dan teknik yang mencakup secara luas, baik secara langsung maupun tidak langsung.
10. Ekualisasi beban pokok penjualan dan beban operasional dengan DPP Masukan
merupakan proses pencocokan 2 saldo yang saling berhubungan dan melalui prosedur
yang dapat ditempuh.