Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH

MANAJEMEN PERPAJAKAN
“TAX PLANNING DAN PENGENDALIAN ATAS UNSUR-UNSUR BEBAN HARGA
POKOK PENJUALAN DAN PENGURANG PENGHASILAN BRUTO”

Dosen Pembimbing:
DR. Vince Ratnawati SE., M.Si., Ak., BKP., CA.

Disusun Oleh:
KELOMPOK 2

FERBY MUTIA EDWY (1610247126)


RIZKE WILLIYANTI (1610247136)
SONIA SISCHA EKA PUTRI (1610247122)
SUPRIYONO (1610247127)

MAGISTER AKUNTANSI
UNIVERSITAS RIAU
2017

1
BAB I

PENDAHULUAN

Secara Akuntansi, pengeluaran terkait dengan perolehan aset tetap di bagi menjadi dua
yaitu capital expenditure dan revenue expenditure. Capital expenditure merupakan
pengeluaran yang bertujuan untuk memperoleh suatu aset atau untuk menambah nilai
ekonomi aset tersebut dimasa yang akan datang. Revenue expenditure merupakan
pengeluaran yang dikeluarkan dengan tujuan untuk memperoleh penghasilan pada periode di
mana pengeluaran dan beban tersebut terjadi, masa manfaatnya hanya satu periode saja.
Perlakuan akuntansinya adalah dengan mencatat biaya yang dikeluarkan sebagi beban.
Kerugian selisih kurs mata uang asing merupakan salah satu beban yang boleh dibebankan
menurut pasal 6 ayat (1e) UU Pajak Penghasilan.Hal ini juga diatur dalam Surat Edaran
Direktur Jendral Pajak Nomor SE-03/PJ.31/1997.
Dalam melakukan penyusutan aset tetap, perpajakan hanya mengizinkan penggunaan
dua jenis metode penyusutan yaitu metode garis lurus dan saldo menurun. Khusus untuk
dalam bentuk bangunan, metode yang diizinkan garis lurus saja (UU PPH Pasal 11).
Biaya promosi adalah biaya yang dikeluarkan dalam rangka memperkenalkan atau
menganjurkan pemakaian produk baik secara langsung ataupun tidak untuk mempertahankan
atau meningkatkan penjualan. Biaya promosi yang dapat dikurangkan meliputi biaya
periklanan pada media, biaya pameran produk, biaya pengenalan produk, biaya sponsorship
yang berkaitan dengan promosi produk. Sedangkan pemberian dalam bentuk uang atau
sumbangan tidak dapat dikategorikan sebagai biaya promosi demikian juga biaya untuk
mendapatkan, menagih dan memlihara penghasilan yang bukan objek pajak atau pajak final
juga tidak dapat dimasukkan sebagai biaya promosi.
Menyimpang dari ketentuan tersebut pada butir 4, bunga yang dibayarkan atau terutang atas
pinjaman Wajib Pajak dari pihak ketiga dapat dibebankan sebagai biaya sesuai dengan Pasal
6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994.

2
BAB II
PEMBAHASAN

TAX PLANNING DAN PENGENDALIAN ATAS UNSUR-UNSUR BEBAN POKOK


PENJUALAN DAN PENGURANG PENGHASILAN BRUTO

A. Foreign Exchange Loss

Kerugian selisih kurs mata uang asing merupakan salah satu beban yang boleh
dibebankan menurut pasal 6 ayat (1e) UU Pajak Penghasilan.Hal ini juga diatur dalam Surat
Edaran Direktur Jendral Pajak Nomor SE-03/PJ.31/1997. Waktu pembebanan kerugian atas
selisih kurs akibat adanya fluktuasi kurs dilakukan sesuai dengan pembukuan yang dianut
oleh wajib Pajak dan dilakukan secara taat asas :

a. Apabila wajib pajak mengunakan sistem pembukuan berdaserkan kurs tetap (kurs
historis), maka pembebanan dilakukan pada saat terjadinya realisasi atas perkiraan mata
uang asing tersebut.
b. Apabila wajib pajak menggunakan sistem pembukuan kurs tengah Bank Indonesia atau
kurs yang sebenarnya berlaku pada akhir tahun, pembebananya dilakukan pada setiap
akhir berdasarka kurs tersebut.

Wajib Pajak yang pembukuannya menggunakan mata uang rupiah tetapi terdapat
transaksi dalam mata uang asing, maka dari transaksi tersebut dapat timbul keuntungan atau
kerugian selisih kurs karena terdapat perbedaan kurs antara tanggal pengakuan
penghasilan/biaya dengan tanggal diterima/dibayarnya penghasilan atau biaya tersebut.
Keuntungan atau kerugian selisih kurs juga dapat timbul dari transaksi utang-piutang.
Selisih kurs ini timbul akibat perbedaan kurs antara tanggal pencatatan hutang atau piutang
dengan kurs tanggal neraca atau tanggal akhir periode akuntansi. Perbedaan juga timbul
akibat selisih kurs mata uang asing pada tanggal neraca dengan tanggal pelunasan.

3
Selisih Kurs Dalam Undang-undang PPh
Dalam undang-undang pajak penghasilan, keuntungan selisih kurs merupakan salah
satu bentuk penghasilan yang menjadi obyek pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1)
huruf I UU PPh. Dalam memori penjelasannya ditegaskan bahwa keuntungan yang diperoleh
karena fluktuasi kurs mata uang asing diakui berdasarkan sistem pembukuan yang dianut dan
dilakukan secara taat asa sesuai dengan PSAK yang berlaku di Indonesia.
Disisi lain, kerugian selisih kurs yang dialami oleh wajib pajak dapat dikurangkan
dalam menghitung penghasilan kena pajak bagi pajak dalam negeri dan BUT. Hal ini
ditegaskan dalam pasal 6 ayat (1) huruf e Undang-undang PPh.
Pada memori penjelasannya ditegaskan bahwa Kerugian karena fluktuasi kurs mata
uang asing diakui berdasarkan sistem pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat asas
sesuai dengan SAK yang berlaku di Indonesia.
Dari pasal 4 ayat (1) dan pasal 6 ayat (1) Undang-undang PPh dapat disimpulkan
bahwa sebenarnya keuntungan atau kerugian selisih kurs pada dasarnya merupakan obyek
pajak dan dapat dikurangkan dengan pengakuannya berdasarkan pembukuan yang dianut oleh
WP dan dilakukan secara taat asas sesuai dengan SAK.
Selisih Kurs dalam PP No. 94 Tahun 2010
Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 memperjelas perlakuan PPh atas
keuntungan atau kerugian selisih kurs ini, terutama dalam hal selisih kurs yang terkait dengan
penghasilan yang dikenakan PPh Final dan penghasilan yang bukan obyek pajak.
Pasal 9 ayat (1) menegaskan kembali prinsip umum sebagaimana sudah dinyatakan
dalam Undang-undang PPh, yaitu bahwa keuntungan atau kerugian selisih kurs mata uang
asing diakuisebagai penghasilan atau biaya berdasarkan sistem pembukuan yang dianut dan
dilakukan secara taat asa sesuai dengan SAK yang berlaku di Indonesia.
Pasal 9 ayat (2) menegaskan bahwa keuntungan atau kerugian selisih kurs yang terkait
langsung dengan kegiatan usaha wajib pajak yang dikenakan PPh final atau yang bukan
obyek pajak, tidak diakui sebagaimana penghasilan atau biaya.
Sementara itu, keuntungan atau kerugian selisih kurs yang tidak berkaitan langsung
dengan usaha Wajib Pajak yang dikenakan PPh final atau yang bukan obyek pajak, diakui

4
sebagai penghasilan atau biaya sepanjang biaya tersebut dipergunakan untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan.

B. Capital Expenditure Dan Revenue Expenditure


Secara Akuntansi, pengeluaran terkait dengan perolehan aset tetap di bagi menjadi dua
yaitu capital expenditure dan revenue expenditure.
a. Capital expenditure merupakan pengeluaran yang bertujuan untuk memperoleh suatu aset
atau untuk menambah nilai ekonomi aset tersebut dimasa yang akan datang. Perlakuan
akuntansi adalah dengan mengapitalisasikan besar biaya yang dikeluarkan sebagai aset.
b. Revenue expenditure merupakan pengeluaran yang dikeluarkan dengan tujuan untuk
memperoleh penghasilan pada periode di mana pengeluaran dan beben tersebut terjadi,
masa manfaatnya hanya satu periode saja. Perlakuan akuntansinya adalah dengan
mencatat biaya yang dikeluarkan sebagi beban.
Dalam pajak, capital expenditure tidak dapat dibebankan sekaligus dalam suatu laporan
keuangan. Untuk membebankan capital expenditure, wajib pajak harus menggunakan metode
depresiasi atau amortisasi. Hal ini diatur dalam UU pajak penghasilan (UU No.36 tahun
2008) pasal 9 ayat 2. Sementara itu, revenue expenditure sepanjang digunakan untuk
mendapatkan, menagih, memelihara penghasilan sehubungan dengan kegiatan usaha, boleh
dibebankan seluruhnya dalam suatu laporan keuangan. Dengan demikian, penting bagi Wajib
pajak untuk mengetahui jenis pengeluaran yang dilakukannya terkait dengan aset tetap.
1. Capital Expenditure

Pengeluaran modal atau yang juga dikenal dengan istilah capex (capital expenditure)
merupakan biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh aset tetap, menambah kapasitas output
aktiva tetap, menambah tingkat keefisienan aktiva tetap, juga memperpanjang umur
ekonomis suatu aktiva tetap (manfaat ekonomisnya lebih dari satu tahun buku).Apabilia
dilihat dari tingkat material, biasanya, biaya biaya ini dikeluarkan dalam nominal yang cukup
material. Selain itu tingkat keseringan pengeluaran modal ini jarang terjadi.

5
Contohnya:

 Biaya yang dikeluarkan dalam pembelian aktiva tetap.


 Biaya-biaya yang dikeluarkan dalam pembelian salah satu atau lebih komponen aktiva
tetap
 Biaya penggantian komponen-komponen aktiva yang perlu diganti.

Biaya yang dikeluarkan dengan tujuan mendapatkan manfaat ekonomis dimasa yang
akan datang, meningkatkan kapasitas produksi maupun tingkat efisiensi dan juga bisa
memperpanjang umur ekonomis atau masa manfaat atas aset tetap. Misalnya, pembelian
mesin produksi, pembelian komponen mesin produksi, meng-upgrade kapasitas mesin
produksi, yang umumnya jumlah yang dikeluarkan untuk itu sangat material.

Jadi, pengeluaran modal merupakan pengeluaran yang tidak dibebankan pada saat
periode pengeluaran itu terjadi melainkan di KAPITALISASI sebagai aset tetap dalam
Neraca.Karena pengeluaran pengeluaran ini diharapkan memberikan manfaat untuk
perusahaan di masa yang akan datang .Kemudian, secara periodik, aset tetap ini dialokasikan
sebagai beban penyusutan pada periode mendatang.

2. Revenue Expenditure

Pengertian revenue expenditure atau pengeluaran pendapatan adalah pengeluaran/biaya


biaya yang hanya memberikan manfaat ekonomis pada saat PERIODE BERJALAN
terjadinya pengeluaran. Pengeluaran ini tidak dikapitalisasi sebagai aset tetap pada neraca
tetapi LANGSUNG DIBEBANKAN pada laporan laba/rugi periode berjalan. Dilihat dari
nilai materialitasnya, pengeluaran pendapatan ini nilainya cenderung kecil, alias tidak
material bagi perusahaan. Manfaat ekonomisnya yang diperoleh tidak lebih dari satu tahun
buku. Pengeluaran ini biasanya juga sering terjadi dalam operasional perusahaan dan
berulang ulang. Contohnya seperti pengeluaran pemeliharaan mesin, pembersihan mesin,
melumasi mesin agar bisa beroperasi seperti biasanya. Pengeluaran pengeluaran seperti ini
biasanya tidak membuat umur ekonomis mesin bertambah, juga tidak bisa meningkatkan

6
kapasitas produksi mesin maupun tingkat efisiensinya, dan nominal yang dikeluarkan
cenderung tidak material dibanding perolehan mesin itu sendiri.

Pengeluaran seperti ini berulang terjadi dan pencatatannya langsung dibebankan pada
periode tersebut.Namun, jika seandainya ada salah satu komponen mesin yang rusak,
misalnya ada beberapa kabel yang harus diganti atau plank yang harus di las dan
kerusakannya tidak sampai membuat turun mesin, nilainya tidak material. Maka pengeluaran
ini dicatat sebagai beban perbaikan. Tidak dikapitalisasi.

C. Pemilihan Metode Persediaan


Menurut UU Pajak Penghasilan pasal 10 ayat (6), ada dua metode yang dapat
digunakan oleh Wajib Pajak dalam menilai persediaan barang dan pemakaianya persediaan
untuk menghitung harga pokok penjualannya yaitu first in first out (mendahulukan
persediaan yang diperoleh pertama) da weighted average (merata-rataka nilai persediaan).
Masing-masing metode ini memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing ketika
Wajib Pajak telah memilih salah satu metode diatas dalam menilai persediaannya, Wajib
Pajak tersebut harus konsisten dengan pilihannya.

1. Perbandingan metode First In First Out dan Weighted Average

Data perusahaan ABC pada tahun 2010 adalah sebagai :


Unit Harga Total
Saldo awal kas Rp 7.000.000
Saldo awal laba ditahan Rp 10.000.000
Saldo awal persediaan 4.000 Rp 3.000 Rp 12.000.000
Pembelian 6.000 Rp 4.000 Rp 24.000.000
Penjualan 5.000 Rp12.000 Rp 60.000.000
Beban operasi Rp 10.000.000
Pajak 40%

7
a) Perhitungan Harga Pokok Penjualan untuk masing-masing metode adalah sebagai
berikut
Harga Pokok Penjualan – FIFO
Unit Harga Total
Penjualan 5.000
Saldo awal persediaan 4.000 Rp 3.000 Rp 12.000.000
Pembelian 1.000 Rp 4.000 Rp 4.000.000
Harga pokok penjualan Rp 16.000.000
Harga Pokok Penjualan – Average Method
Unit Harga Total
Saldo awal persediaan 4.000 Rp 3.000 Rp 12.000.000
Pembelian 6.000 Rp 4.000 Rp 24.000.000
Total 10.000 Rp 36.000.000
Biaya per unit Rp 3.600
Harga pokok penjualan 5.000 Rp 3.600 Rp 18.000.000

b) Perhitungan Laba Bersih untuk masing – masing metode adalah sebagai berikut
Average FIFO
Penjualan Rp 60.000.000 Rp 60.000.000
Harga pokok penjualan (Rp 80.000.000) (Rp 16.000.000)
Margin laba Rp 42.000.000 Rp 44.000.000
Beban operasi (Rp 10.000.000) (Rp 10.000.000)
Laba sebelum pajak Rp 32.000.000 Rp 34.000.000
Beban pajak (Rp 12.800.000) (Rp 13.600.000)
Laba bersih Rp 19.200.000 Rp 20.400.000
c) Summary perbandingan Metode Average dan FIFO
Persediaan Margin Laba Pajak Laba Bersih Laba Kas
Ditahan
Average Rp Rp Rp 12. 800.000 Rp Rp Rp 20.200.000
18.000.000 42.000.000 19.800.000 29.200.000
Cost
FIFO Rp Rp Rp13.600.000 Rp Rp Rp 19.400.000
20.000.000 44.000.000 20.400.000 30.400.000

8
Berdasarkan tabel diatas, maka dapat terlihat bahwa :

Penggunaan metode FIFO akan menghasilkan harga pokok penjualan yang lebih kecil
dibandingkan metode Average sehingga laba bersih perusahaan akan menjadi lebih besar
dan beban pajak yang harus ditanggung Wajib Pajak juga lebih besar.
a) Penggunaan metode Average menyebabkan jumlah kas yang dimiliki perusahaan lebih
banyak dibandingkan dengan metode FIFO karena adanya penghematan dalam
pembayaran pajak
D. Pemilihan Metode Penyusutan
Dalam melakukan penyusutan aset tetap, perpajakan hanya mengizinkan penggunaan
dua jenis metode penyusutan yaitu metode garis lurus dan saldo menurun. Khusus untuk
dalam bentuk bangunan, metode yang diizinkan garis lurus saja. Hal ini diatur dalam UU
pajak pengahasilan pasal 11,
Selain metode, UU pajak penghasilan juga menentuka umur manfaat masing-masing
aset. Pajak membagi kelompok aset bukan bangunan menjadi 4 kelompok. Adapun
klasifikasi dari masing-masing kelompok aset diatur dalam PMK 96/PMK.03/2009
Baik metode garis lurus maupun saldo menurun, sama-sama memiliki kelebihan dan
kelemahan masing-masing, ketika wajib pajak telah memilih salah satu metode diatas dalam
menilai persediaannya wajib pajak harus konsisten dengan pilihannya.
Data aset perusahaan ABC adalah sebagai berikut :
Jenis Harga : Mesin
Tanggal Pembelian : 1 Januari 2008
Harga Perolehan : Rp 250.000.000
Masa Manfaat Fiskal : 8 tahun (kelompok 2)

9
Perhitungan Biaya Penyusutan Metode Garis Lurus Dan Saldo Menurun Adalah
Sebagai Berikut :
Penyusutan Fiskal Efisiensi PPh (25%)
Tahun MGL MSM MGL MSM Perbedaan
2008 31.250.000 62.500.000 7.812.500 15.625.000 7.812.500
2009 31.250.000 46.875.000 7.812.500 11.718.750 3.906.250
2010 31.250.000 35.156.250 7.812.500 8.789.063 976.563
2011 31.250.000 26.367.188 7.812.500 6.591.797 (1.220.703)
2012 31.250.000 19.775.391 7.812.500 4.943.848 (2.868.652)
2013 31.250.000 14.831.543 7.812.500 3.707.886 (4.104.614)
2014 31.250.000 11.123.657 7.812.500 2.780.914 (5.031.586)
2015 31.250.000 33.370.972 7.812.500 8.342.743 530.243
Notes
MGL : Metode Garis Lurus
MSM : Metode Saldo Menurun

Apabila ditinjau berdasarkan tabel diatas, maka dapat terlihat bahwa untuk tiga tahun
pertama, Metode Saldo Menurun menyebabkan beban penyusutan yang jauh lebih besar
dibandingkan dengan Metode Garis Lurus yang berdampak pada lebih kecilnya jumlah laba
bersih yang dihasilkan dan lebih kecilnya beban pajak yang ditanggung oleh Wajib Pajak
dibandingkan dengan Metode Garis Lurus. Penggunaan Metode Saldo Menurun dapat
membantu Wajib Pajak dalam menghemat pajak ditahun-tahun awal.
E. Menyiasati SE-46/PJ.41/1995
SE-46/PJ.4/1995 merupakan peraturan yang mengatur tentang perlakuan biaya bunga
yang dibayar atau terutang dalam hal wajib pajak memperoleh penghasilan berupa bunga
deposito atau tabungan lainnya. Menurut peraturan ini, besarnya bunga pinjaman yang boleh
dibebankan wajib pajak adalah:
1) Apabila jumlah rata rata pinjaman sama besarnya dengan atau lebih kecil dari jumlah rata
rata dana yang ditempatkan sebagai deposito berjangka atau tabungan lainnya, maka
bunga pinjaman tersebut seluruhnya tidak dapat dibebankan sebagai biaya.
2) Apabila jumlah rata rata pinjaman lebih besar dari jumlah rata rata yang ditempatkan
dalam bentuk deposito atau tabungan lainnya, maka bunga pinjaman yang boleh

10
dibebankan hanya sebesar bunga yang dibayar atau terutang atas rata rata pinjaman yang
melebihi jumlah rata rata dana yang ditempatkan dalam deposito.
Contoh :
Pada tahun 1995 PT. A mendapat pinjaman dari pihak ketiga dengan batas maksimum
sebesar
Rp 200.000.000,00 dan tingkat bunga pinjaman 20%. Dari jumlah tersebut telah diambil pada
bulan Pebruari sebesar Rp 125.000.000,00, pada bulan Juni diambil lagi sebesarRp
25.000.000,00 dan sisanya (Rp 50.000.000,00) diambil pada bulan Agustus. Disamping itu
Wajib Pajak mempunyai dana yang ditempatkan dalam bentuk deposito dengan perincian
sebagai berikut:

Bulan Pebruari s/d Maret sebesar Rp. 25.000.000,00


bulan April s/d Agustus sebesar Rp. 46.000.000,00
bulan September s/d Desember sebesar Rp. 50.000.000,00
Dengan demikian bunga yang dapat dibebankan sebagai biaya adalah sebagai berikut:
Rata-rata pinjaman Pinjaman JangkaWaktu

BulanJanuari Rp 0 1 bulan = Rp 0
bulanPebruari s/d Maret Rp 125.000.000,00 4 bulan = Rp 500.000.000,00
Bulan Juni s/d Juli Rp 150.000.000,00 2 bulan = Rp 300.000.000,00
bulanAgustus s/d
Rp 200.000.000,00 5 bulan = Rp 1.000.000.000,00
Desember
Jumlah Rp 1.800.000.000,00

Rata-rata pinjaman perbulanRp 1.800.000.000,00 : 12 = Rp 150.000.000,00


Rata-rata Dana Berupa Deposito Pinjaman JangkaWaktu
Bulan Januari Rp 0 1 bulan = Rp 0
bulanPebruari s/d Maret Rp 25.000.000,00 2 bulan = Rp 50.000.000,00
bulanJuni s/d Juli Rp 46.000.000,00 5 bulan = Rp 230.000.000,00
bulanAgustus s/d Desember Rp 50.000.000,00 4 bulan = Rp 200.000.000,00
Jumlah Rp 4.800.000.000,00
Rata-rata deposito perbulan = Rp 480.000.000,00 : 12 = Rp 40.000.000,00

11
Bunga yang dapat dibebankan sebagai biaya = 20% x (Rp 150.000.000,00 - Rp
40.000.000,00) = Rp 22.000.000,00

Menyimpang dari ketentuan tersebut pada butir 4, bunga yang dibayarkan atau terutang
atas pinjaman Wajib Pajak dari pihak ketiga dapat dibebankan sebagai biaya sesuai dengan
Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994, dalam hal :

a. dana pinjaman tersebut disimpan/ditempatkan dalam bentuk rekening giro yang atas
jasanya dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final,
b. adanya keharusan bagi Wajib Pajak untuk menempatkan dan ada dalam jumlah tertentu
pada suatu bank dalam bentuk deposito berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku, sepanjang jumlah deposito dan tabungan tersebut semata-mata untuk memenuhi
keharusan tersebut: misalnya cadangan biaya reklamasi yang harus ditempatkan dalam
bentuk deposito atau tabungan di Bank Pemerintah,
c. dapat dibuktikan bahwa penempatan deposito atau tabungan tersebut dananya berasal dari
tambahan modal dan sisa laba setelah kena pajak.

F. Cadangan Kerugian Piutang


Kerugian piutang terjadi jika debitur tidak mau atau tidak bisa/mampu melaksankan
kewajibannya. Dalam akuntansi dikenal dengan istilah seperti kerugian piutang, piutang tak
tertagih atau biaya piutang ragu-ragu.
Kerugian piutang pada dasarnya adalah hal yang normal dan dari sudut pandang
manajemen, kerugian dalam jumlah yang wajar menunjukkan kebijakan perusahaan sudah
tepat. Salah satu metode pencacatan kerugian piutang adalah metode cadangan.
Cadangan piutang tak tertagih merupakan suatu metode akuntansi yang mengacu pada
prinsip akuntansi konservatisme atau kehati-hatian, dan sebagai alat bagi perusahaan untuk
menaksir risiko atas kemungkinan tidak tertagihnya suatu potensi pendapatan yaitu piutang.
Untuk pengakuan kerugian dari piutang tak tertagih biasanya digunakan dua metode yaitu:

12
1. Metode cadangan, yang mengakui rugi piutang tak tertagih pada periode penjualan kredit
yang sedang berjalan dengan cara menaksir dan bukan pada saat periode dihapusnya
piutang.
2. Metode langsung, atau metode penghapusan langsung yang mengakui rugi pada saat
telah terjadi penghapusan piutang dengan mendebit Biaya Piutang tidak tertagih dan
mengkredit Piutang Usaha, namun metode ini hanya diperbolehkan apabila jumlahnya
tidak material.
G. Biaya Entertainment Dan Biaya Promosi
Dalam berbagai perusahaan ada kalanya ada biaya entertainment. Biaya entertainment
merupakan biaya yang dikeluarkan untuk menjamu maupun representasi, hiburan dan
fasilitas lainnya.
Tidak semua biaya entertaiment dapat mengurai penghasilan bruto. Karena ada
perbedaan yang sangat tipis antara pemberian fee dengan perjamuan yang pada dasarnya
sama sama tujuannya yaitu memperlancar jalannya proyek agar tidak ada hambatan hambatan
di kemudian hari.
Biaya entertainment menurut penjelasan SE-27/PJ 22/1986 TANGGAL 14 JUNI 1986
secara umum harus mempunyai kriteria sebagai berikut :

1. Diberikan dalam bentuk perjamuan maupun representasi lainya selain dalam bentuk uang.
2. Diberikan atas nama perusahaan bukan atas nama pegawai.
3. Wajib pajak harus dapat membuktikan, bahwa biaya-biaya tersebut telah benar-benar
dikeluarkan (formal) dan benar ada hubungannya dengan kegiatan perusahaan untuk
mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan perusahaan (materiil).
4. Supaya dapat mengurangi peredaran bruto perlu dibuatkan daftar nominatif yang
dilampirkan pada SPT tahunan.Daftar nominatif sedikitnya harus memuat :
a. Nomor urut.
b. Tanggal “entertainment” dan sejenisnya yang telah diberikan.
c. Nama tempat “entertainment” dan sejenisnya yang telah diberikan.
d. Alamat “entertainment” dan sejenisnya yang telah diberikan.
e. Jenis “entertainment” dan sejenisnya yang telah diberikan.

13
f. Jumlah (Rp) “entertainment” dan sejenisnya yang telah diberikan.
Biaya entertainment dapat dipergunakan sebagai pengurang penghasilan bruto sebelum
dikenakan pajak dengan dilengkapi daftar nomonatif. Untuk menghindari beban pajak yang
tidak seharusnya, perusahaan dapat membuat daftar nomonatif dan melampirkannya dalam
SPT tahunan PPh Badan serta menyiapkan bukti pendukung pengeluaran entertainment
tersebut. Dengan demikian, Wajib Pajak akan memperoleh penghematan pajak dari biaya
entertainment yang boleh dikurangkan
Biaya promosi adalah biaya yang dikeluarkan dalam rangka memperkenalkan atau
menganjurkan pemakaian produk baik secara langsung ataupun tidak untuk mempertahankan
atau meningkatkan penjualan. Namun demikian ada ketentuan khusus dalam perpajakan agar
biaya promosi dapat dikurangkan dari peredaran bruto.
Biaya promosi yang dapat dikurangkan meliputi biaya periklanan pada media, biaya
pameran produk, biaya pengenalan produk, biaya sponsorship yang berkaitan dengan promosi
produk. Sedangkan pemberian dalam bentuk uang atau sumbangan tidak dapat dikategorikan
sebagai biaya promosi demikian juga biaya untuk mendapatkan, menagih dan memlihara
penghasilan yang bukan objek pajak atau pajak final juga tidak dapat dimasukkan sebagai
biaya promosi.
Persyaratan yang harus dipenuhi agar biaya promosi dapat dikurangkan dari peredaran
usaha harus diberikan daftar nominatif sesuai ketentuan. Daftar nominatif ini dilampirkan
pada saat pelaporan SPT tahunan PPH badan. Dan dalam hal pemberian sample produk
pembebanan biaya promosi sebesar harga pokok produk sample tersebut dan sepanjang
belum dibebankan.
H. Pengujian Untuk Menguji Kebenaran Beban Pokok Penjualan
1) Pengujian Keabsahan Dokumen
Pengujian keabsahan dokumen adalah pengujian yang dilakukan untuk meyakini
keabsahan suatu dokumen yang akan digunakan dalam pemeriksaan. Prosedur Pemeriksaan
yang dapat ditempuh:
a. teliti keabsahan dokumen, misalnya pembubuhan tanda tangan pihak yang berwenang,
cap/stempel, dan tanggal dokumen
b. lakukan klarifikasi kepada pihak yang terkait;

14
c. minta surat pernyataan Wajib Pajak; dan sebagainya
2) Pengujian Keterkaitan
Pengujian keterkaitan adalah pengujian yang dilakukan untuk meyakini suatu
transaksi berdasarkan pengujian atas mutasi pos-pos lain yang terkait atau berhubungan
dengan transaksi tersebut. Hasil pengujian keterkaitan tidak serta-merta merupakan koreksi
atas pos yang diperiksa, misalnya:
a. apabila terdapat selisih dari hasil penghitungan dengan pengujian keterkaitan atas
penghasilan bruto, tidak serta merta dapat disimpulkan sebagai penjualan/peredaran
usaha. Sehingga perlu dipastikan berdasarkan bukti yang diperoleh apakah selisih tersebut
merupakan penjualan/peredaran usaha, penghasilan bruto luar usaha, atau tambahan
kemampuan ekonomis lainnya sebagaimana dimaksud pada Pasal 4 UU PPh.
b. apabila terdapat selisih dari pengujian keterkaitan atas penyerahan kena pajak, tidak serta
merta dapat disimpulkan sebagai penyerahan kena pajak. Sehingga perlu dipastikan
berdasarkan bukti yang diperoleh apakah selisih tersebut merupakan penyerahan kena
pajak atau tidak kena pajak.
Pengujian Keterkaitan dibagi menjadi 4 (empat), yaitu :
a. Pengujian Arus Barang
Pengujian arus barang dilakukan untuk meyakini kebenaran unit barang yang keluar dari
gudang/digunakan/dijual ataupun yang masuk ke gudang, baik berupa bahan baku, bahan
pembantu, barang dalam proses, maupun barang jadi. Pemeriksa Pajak harus memastikan
bahwa unit tersebut telah memperhitungkan pemakaian sendiri, barang rusak (spoiled
goods), sampel, pemberian cuma-cuma, retur pembelian, barang dalam pengiriman (FOB
Destination)/perjalanan (intransit).
b. Pengujian Arus Uang
Pengujian arus uang meliputi transaksi kas, bank, dan setara kas lainnya. Pengujian ini
dilakukan untuk menguji aliran uang suatu transaksi dan/atau mendapatkan jumlah
penerimaan uang dalam suatu kurun waktu dalam rangka mendukung pengujian
kebenaran penghasilan bruto yang dilaporkan Wajib Pajak berdasarkan kas (cash basis).

15
c. Pengujian Arus Piutang
Pengujian arus piutang dilakukan utnuk mendapatkan jumlah pelunasan piutang usaha
dalam suatu kurun waktu dalam rangka mendukung pengujian kebenaran penghasilan
bruto yang dilaporkan Wajib Pajak secara akrual
d. Pengujian Arus Utang
Pengujian arus utang tergantung kepada pos yang akan diyakini kebenarannya. Untuk
meyakini pembelian barang secara kredit dilakukan pengujian arus utang usaha.
Sedangkan untuk meyakini penerimaan pinjaman dilakukan pengujian arus utang
bank/afiliasi/pemegang saham.
3) Pengujian Kebenaran Fisik
Pengujian kebenaran fisik adalah pengujian yang dilakukan untuk meyakini
keberadaan, kuantitas, dan kondisi aktiva yang dilaporkan Wajib Pajak.
4) Pengujian Kebenaran Penghitungan Matematis
Pengujian kebenaran penghitungan matematis adalah pengujian yang dilakukan untuk
meyakini kebenaran penghitungan matematis, seperti penjumlahan, pengurangan, perkalian,
dan pembagian atas objek yang diperiksa.
i. Insentif PPh
Dalam era globalisasi, banyak cara yang dilakukan oleh pemerintah suatu negara
untuk menarik minat investasi dari investor asing. Salah satu instrumen kebijakan yang sering
digunakan sebagai comparative advantages adalah kebijakan tax incentives (insentif
perpajakan). Viherkenttä (1991) menyatakan bahwa “there is no universally accepted
definition of a ‘tax incentive.” Dalam studinya, pengertian tax incentives merujuk pada “a tax
reduction intended to encourage business oprations, including inward foreign investment.

Definisi Insentif pajak menurut Suandy (2003) adalah suatu pemberian fasilitas
perpajakan yang diberikan kepada investor luar negeri untuk aktifitas tertentu atau untuk
suatu wilayah tertentu. Zee, H.H, stotsky dan Ley mendefinisikan insentif pajak seperti yang
dikutip oleh Alex Easson (2004) bahwa A tax incentive can be defined either in statutory or
effective terms. In statutory term, it would be a special tax provision granted to qualified
investment projects (however determined) that represents a statutorily favorable deviation
from a corresponding provision applicable to investment projects in general (i.e. projects

16
that receive no special tax provision). An implication of this definition is that any tax
provision that is applicable to all investment projects does not consitute a tax incentive… In
effective terms, a tax incentive would be a special tax provision granted to qualified
investment project of lowering the effective tax burden-measured in some way-on those
projects, relative to the effective tax burden that would be borne by investors in the absence
of special tax provision.

Insentif pajak merupakan suatu instrumen dari sistem perpajakan yang dapat
dipergunakan untuk mempengaruhi kegiatan ekonomi. Beberapa negara di kawasan Asia
saling bersaing dalam memainkan insentif pajak untuk menarik investasi asing yang diyakini
mampu memulihkan sakit ekonomi pasca krisis ekonomi tahun 1997 dan 1998. Dalam
beberapa kasus, insentif pajak diterapkan sebagai kompensasi dari buruknya iklim investasi
dari suatu negara yang antara lain dicerminkan dari kurangnya infrastruktur, ketidakpastian
hukum dan rumitnya birokrasi (Thuronyi, 1998). Meski pada umumnya kebijakan tax
incentives ini dilakukan oleh negara-negara berkembang, namun bukan berarti negara
majupun tidak melakukannya. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Viherkenttä (1991),
”Fiscal incentives have traditionally played a central role in Third World foreign investment
policy. Although such incentives are common in industrialised countries too, they are much
widespread in developing countries. Even at the time when attitudes towards multinationals
were most critical, alarge number of LCDs granted such incentives; however, the
increasingly favourable policies toward foreign investment have also taken the form of more
generous fiscal incentives”.

Pemberian insentif pajak merupakan suatu kebijakan pemerintah. Oleh karena itu
pilihan dalam memformulasikan kebijakan tersebut harus mempertimbangkan segi positif dan
negatifnya. Segi positif adanya insentif pajak adalah kemampuan insentif pajak sebagai
perangsang terhadap investor untuk menanamkan modal sehingga dengan banyaknya
investasi yang masuk akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang sangat diperlukan
dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat. Sedangkan segi negatif adanya insentif pajak
adalah:

17
1. Insentif pajak berpotensi dalam menciptakan adanya korupsi. Pemberian insentif
pajak merupakan suatu kebijakan yang tidak berlaku untuk semua sektor usaha Wajib
Pajak. Dalam menentukan sektor usaha yang diberikan insentif sangat tergantung
kepada pejabat yang berkuasa pada periode tersebut. Pengalaman kebijakan insentif di
Indonesia pada tahun 1996 membuktikan bahwa insentif pajak diberikan tidak
transparan dan hanya kepada pengusaha yang mempunyai lobby kuat kepada
penguasa.
2. Insentif pajak dinilai tidak efektif dan efisien. Pemberian insentif pajak dinilai tidak
efektif karena faktor utama yang menentukan dalam membuat keputusan investasi
bukanlah insentif pajak. Berdasarkan penelitian diberbagai negara, faktor kondisi
ekonomi makro dan kondisi infrastruktur suatu negara lebih menentukan dibanding
insentif pajak. Ketidakefisienan insentif pajak berkaitan dengan perhitungan biaya
yang harus dikorbankan, yaitu hilangnya potensi pajak lebih besar daripada
keuntungan yang diperoleh.
3. Insentif pajak menyebabkan ketidakadilan. Pemberian insentif pajak tidak
diberlakukan kepada semua Wajib Pajak, sehingga Wajib Pajak yang tidak menikmati
insentif merasa diperlakukan tidak adil.
4. Insentif pajak menyebabkan distorsi. Tujuan dari kebijakan insentif pajak adalah
untuk mempengaruhi keputusan investasi. Oleh karena itu, distorsi yang muncul
sebagai akibat adanya kebijakan insentif pajak dapat dibenarkan dalam hal kebijakan
tersebut dimaksudkan sebagai kompensasi dari ketidaksempurnaan pasar, yaitu dalam
kondisi pasar tidak mampu untuk menghasilkan tingkat investasi optimal secara
sosial. Contoh insentif pajak yang menimbulkan distorsi yang dibenarkan adalah
insentif pajak atas kegiatan penelitian dan pengembangan atau research and
development dan insentif pajak untuk pengembangan daerah tertentu. Namun,
seringkali insentif pajak menyebabkan distorsi yang tidak disengaja.

18
1. Jenis distorsi akibat kebijakan insentif pajak

1.1 Distorsi dalam keputusan bisnis


Dalam beberapa kasus, insentif pajak merangsang suatu perusahaan untuk berperilaku
dengan cara tertentu yang menyebabkan inefisiensi dalam alokasi sumber daya. Dalam kasus
lain, insentif pajak tidak mempengaruhi perilaku perusahaan dan terhadap perusahaan
diberikan reward, padahal tanpa reward pun perusahaan tetap akan melakukan hal yang
sama. Misalnya, Insentif pajak diberikan kepada perusahaan yang mempekerjakan minimal
50 karyawan baru. Perusahaan A secara ekonomis hanya mempekerjakan 40 karyawan baru,
sedangkan perusahaan B secara ekonomis mempekerjakan 60 karyawan baru. Oleh karena
itu, Perusahaan A menambah karyawan menjadi 50 agar mendapatkan insentif pajak
meskipun tambahan 10 karyawan tersebut menyebabkan inefisiensi. Sedangkan Perusahaan B
mendapatkan ’windfall’ karena secara ekonomis karyawan yang dibutuhkan 60 orang dan
mendapatkan insentif pajak karena mempekerjakan lebih dari 50 orang.

1.2. Distorsi dalam kompetisi usaha


Distorsi jenis lain yang disebabkan oleh kebijakan insentif pajak adalah antara perusahaan
yang menerima dan yang tidak menerima insentif. Hal ini bisa menyebabkan gangguan dalam
perekonomian. Misalnya di Polandia, perusahaan manufaktur Inggris diberikan tax holiday,
sedangkan pesaingnya dari Perancis tidak diberikan. Hal ini menyebabkan perusahaan
Perancis mengancam akan menutup usahanya di Polandia. Demikian juga Toyota yang sudah
10 tahun berusaha di Philipina dan tidak diberikan tax holiday protes karena Ford yang baru
masuk ke Philipina mendapatkan insentif tax holiday.

Kebijakan pemberian insentif pajak di berbagai negara, terutama pasca krisis ekonomi
cenderung mengarah kepada kompetisi. Masing-masing negara memainkan instrumen
insentif pajak dengan melihat dan memperhatikan kebijakan negara lain dalam membuat
kebijakan insentif pajak, sehingga setiap aksi yang dilakukan negara lain akan diikuti aksi
tandingan oleh negara lainnya. Tujuannya jelas, yaitu memperebutkan kue investasi yang
bergerak mobile di dunia. Negara-negara anggota ASEAN saling bersaing tidak hanya untuk
menarik investor baru, tapi juga dalam rangka mempertahankan investor yang sudah ada agar
tidak merelokasi usahanya ke negara anggota ASEAN lainnya. Hal ini berkaitan dengan

19
penerapan ASEAN Free Trade Agreement (AFTA) yang memungkinkan pasar ASEAN
sebagai single market. Pesaing lain yang sangat besar adalah China. Berdasarkan World
Investment Report tahun 2003, dari total penanaman modal asing dunia sebesar US $ 651,2
milyar, yang masuk ke Asia adalah sebesar US $ 95 milyar. Dari jumlah yang masuk ke Asia
tersebut, US $ 52,7 milyar atau 50% lebih mengalir ke China.

Adanya kompetisi dalam pemberian insentif pajak memberikan keuntungan bagi


perusahaan multinasional sebagai investor. Sedangkan yang dirugikan tentunya adalah negara
host country. Hal ini dibuktikan dari penelitian Z. Kebonang seperti yang dikutip oleh Alex
Easson (2004) yang menyatakan bahwa kompetisi dalam pemberian insentif pajak
menyebabkan negara tuan rumah atau host country menawarkan insentif pajak yang
berlebihan. Konsekuensinya, biaya sehubungan dengan pemberian insentif pajak tersebut
dialihkan ke sektor ekonomi lain, sehingga sektor ekonomi tersebut terhambat
perkembangannya. Hal ini menggambarkan penurunan standar kesejahteraan yang diberikan
kepada masyarakat. Hasil penelitian tersebut juga mengungkapkan bahwa negara yang berada
dalam kompetisi pemberian insentif pajak terjebak dalam suatu dilema dalam memilih untuk
melanjutkan ikut dalam kompetisi dengan konsekuensi biayanya semakin besar atau
menghentikan kompetisi dengan konsekuensi investor baru tidak datang atau investor lama
akan berpindah ke negara lain.

Dalam suatu teori ekonomi manajerial, dilema yang dihadapi host country tersebut
disebut sebagai the prisoner’s dilemma, yaitu jika pemerintah menginginkan untuk menarik
modal asing yang subtansial maka pemerintah ikut dalam kompetisi dengan memberikan
insentif pajak yang mempunyai daya tarik minimal sama dengan negara rivalnya. Namun
negara lain juga akan melakukan hal yang sama, sehingga biaya yang ditimbulkan dari
adanya insentif tersebut lebih besar daripada benefit yang diperoleh. Pada kondisi yang lebih
buruk, kompetisi dalam pemberian insentif pajak memaksa setiap negara untuk mencegah
investor yang sudah ada agar tidak beralih ke negara lain, sehingga setiap negara senantiasa
meningkatkan insentif pajak tersebut. Apabila fenomena tersebut dibiarkan tanpa dikontrol
dengan baik, dikhawatirkan justru akan berakibat buruk dalam perekonomian suatu negara.
Akibat buruk tersebut terutama dapat menyebabkan distorsi dalam pola perdagangan dan

20
investasi serta mengganggu kestabilan fiskal suatu negara, karena insentif pajak berarti
mengorbankan penerimaan negara dari pajak yang semestinya diterima oleh negara.

Pada umumnya, insentif pajak yang diterapkan pada suatu negara menurut Alex
Easson (2004) dapat berupa penurunan tarif pajak penghasilan badan untuk aktifitas atau
jenis usaha tertentu, pembebasan pajak, kredit atau keringanan pajak untuk barang modal
dalam rangka investasi, penyusutan dipercepat untuk barang modal, pengakuan biaya yang
lebih besar dari biaya sebenarnya (actual cost) yang diperbolehkan sebagai pengurang
penghasilan, penurunan tarif witholding tax atas laba yang dikirimkan kembali ke negara asal,
penurunan pajak penghasilan orang pribadi dan/atau tunjangan untuk pegawai, pengecualian
atau penurunan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau Pajak Penjualan (PPn), penurunan Pajak
Bumi dan Bangunan (PBB), atau penurunan Bea Masuk dan Cukai.

Menurut Thuronyi (1998), jenis insentif pajak secara umum adalah ; tax holiday,
Investment allowance and tax credit, timing differences, dan reduced tax rates. Masing-
masing tipe dipilih sesuai dengan isu yang dihadapi.

1. Tax holidays

Insentif pajak yang berupa tax holiday merupakan insentif pajak yang diberikan
melalui pembebasan dari pajak penghasilan badan atau corporate income tax (CIT) dan/atau
pengurangan tarif pajak atas CIT. Tax holiday diberikan dalam periode waktu yang terbatas
dan hanya diperbolehkan bagi perusahaan yang baru didirikan. Jangka waktu efektif dari tax
holiday tergantung dari start awal berlakunya tax holiday. Alternatif titik awal tax holiday
antara lain tanggal perusahaan didirikan atau terdaftar secara resmi, tanggal perusahaan mulai
berproduksi atau usaha mulai dijalankan, tahun dimana perusahaan pertama kali
mendapatkan keuntungan, atau tahun dimana perusahaan pertama kali memperoleh
penghasilan kena pajak

Insentif tax holiday sangat berkaitan dengan ketentuan mengenai penyusutan dan
kompensasi kerugian. Dalam beberapa sistem pajak, Wajib Pajak dapat memilih untuk
membebankan biaya penyusutan saat mulai diperolehnya aktiva atau menunda beberapa
tahun sampai dengan kegiatan usaha dimulai dan memperoleh laba. Jika pembebanan biaya

21
penyusutan dan kompensasi kerugian dilakukan pada periode waktu tax holiday, maka
pemberian insentif tax holiday tidak menarik bagi investor karena insentif tersebut tidak
menguntungkan bagi investor sebagai Wajib Pajak.

Keuntungan insentif pajak berupa tax holiday antara lain adalah keuntungan dari segi
kesederhanaan, karena dengan tidak adanya pajak yang harus dibayar pada masa holiday
maka baik bagi kantor pajak maupun wajib pajak tidak perlu melakukan filing dan audit
pajak serta tidak ada biaya administrasi. Sedangkan kelemahannya antara lain adalah:

 The cost of tax holiday, dalam arti penerimaan pajak yang hilang bagi host country
yang tidak dapat diperkirakan didepan dengan tingkat akurasi yang cukup.
 Tax holiday sering dimanfaatkan oleh investor yang cenderung mobile dengan
memindahkan usahanya ke negara lain untuk mendapatkan tax holiday yang baru jika
masa manfaat tax holiday di suatu negara sudah habis. Dengan praktek tersebut,
negara host country kehilangan benefit dari adanya investor tersebut.
 Tax holiday menciptakan kesempatan untuk penghindaran pajak atau manipulasi
pajak.

2. Tax sparing credit

Insentif pajak berupa Tax holiday agar efektif harus didukung dengan ketentuan
mengenai tax sparing credit yaitu suatu kredit pajak semu yang disepakati oleh negara asal
investor dimana negara asal investor memperbolehkan investor mengakui adanya kredit pajak
di luar negeri dalam penghitungan pajak global di negara asal investor (the country of
resident) walaupun dalam kenyataannya tidak ada pajak yang dibayar di negara sumber
karena negara sumber memberikan insentif pajak (tax holiday). Insentif pajak berupa tax
holiday yang diberikan oleh negara sumber tidak akan efektif jika di negara asalnya, investor
harus membayar pajak atas keseluruhan penghasilan yang diterima dari seluruh dunia (world
wide income). Hal ini pernah terjadi di Indonesia pada periode pemberlakuan tax holiday
pada periode waktu tahun 1967 sampai dengan 1983.

22
3. Investment allowances and tax credits

Investment allowances and tax credits pada umumnya diterapkan pada investasi baru
yang dibuat. Investment allowances and tax credits adalah bentuk insentif pajak yang
didasarkan pada besarnya investasi. Tax allowance berarti mengurangi penghasilan kena
pajak perusahaan. Sedangkan tax credit secara langsung mengurangi jumlah pajak yang harus
dibayar. Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam mendesain investment allowance
adalah:

 Investasi yang memenuhi syarat (eligible investment), yaitu bahwa invsetment


allowance diterapkan atas semua bentuk investasi modal atau dapat pula atas kategori
khusus saja, seperti mesin atau peralatan berteknologi canggih.
 Jumlah allowance, yang pada umumnya dalam bentuk persentase dari investasi
tertentu. Di Indonesia, besarnya allowance adalah 30% dari investasi yang memenuhi
syarat.
 Jangka waktu (duration) dan batasan lainnya, yaitu batas waktu dimana investment
allowance dapat diklaim. Untuk Indonesia jangka waktunya adalah 6 tahun.

Permasalahan utama berkenaan dengan insentif jenis ini adalah dalam mendefinisikan
pengeluaran yang memenuhi syarat, pilihan tarif dari allowance atau kredit pajak, dan
perlakuan dari jumlah insentif yang tidak dapat dipergunakan dalam tahun tersebut dalam hal
penghasilan kena pajak tidak mencukupi. Sedangkan kelebihan jenis insentif ini
dibandingkan dengan tax holiday dilihat dalam perspektif host country adalah biaya
maksimal yang muncul dapat ditentukan dengan mudah; biaya tersebut berhubungan secara
langsung dengan jumlah investasi yang diberikan allowance; serta insentif tersebut tidak
membatasi khusus kepada investor baru tapi juga kepada investor lama yang meningkatkan
investasinya.

4. Accelerated depreciation (timing difference)

Perbedaan waktu dapat terjadi dalam hal pembebanan biaya yang dipercepat atau
penangguhan pengakuan penghasilan. Bentuk umum dari pembebanan biaya yang dipercepat

23
adalah penyusutan, yaitu penyusutan dibebankan dalam periode waktu yang lebih pendek dari
umur ekonomis aktiva tersebut atau melalui pembebanan khusus di periode tahun pertama.
Maksud dari insentif tipe ini adalah untuk membantu perusahaan memperoleh pengembalian
modalnya (return on investment) lebih cepat. Namun, insentif ini secara keseluruhan tidak
mempengaruhi jumlah pajak yang seharusnya dibayar ke negara, tetapi hanya menggeser
beban pajak ke belakang. Misalnya atas suatu aktiva yang mempunyai manfaat ekonomis
selama 8 tahun, seharusnya dibiayakan melalui penyusutan selama 8 tahun. Namun dengan
kebijakan insentif, penyusutan tersebut dapat dibebankan lebih pendek, misalnya menjadi 4
tahun. Namun total biaya penyusutan yang boleh dibebankan tetap sama sesuai dengan nilai
perolehan aktiva tersebut.

5. Tax rate reductions

Pengurangan tarif pajak secara umum diterapkan atas penghasilan dari sumber
tertentu atau kepada perusahaan yang memenuhi kriteria tertentu. Misalnya, kepada
perusahaan kecil di bidang manufaktur atau pertanian. Pengurangan tarif ini berbeda dengan
tax holiday sebab kewajiban pajak dari perusahaan tidak dibebaskan secara keseluruhan, dan
insentif ini dapat diperluas pada perusahaan baru termasuk penghasilan dari kegiatan yang
telah ada serta tidak dibatasi pada periode waktu tertentu. Persoalan utama dalam
menerapkan insentif tipe ini adalah dalam mengidentifikasi penghasilan yang memenuhi
syarat dan kriteria perusahaan tertentu. Seringkali dalam membuat definisi atas penghasilan
dan perusahaan tertentu yang berhak mendapatkan insentif menimbulkan peluang untuk
dimanipulasi. Untuk mencegah dimanipulasi, biasanya dibuat aturan hukum yang ketat
sehingga justru mengurangi efektifitas dari insentif tersebut.

Insentif untuk jenis Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menurut Tait (1988) dalam
bentuk tax exemption atau pembebasan pajak, dan zero rating atau pengenaan tarif nol
persen. Exemption dalam PPN berarti pengusaha yang mendapatkan fasilitas pembebasan
atas penyerahan barang atau jasanya, tidak dapat mengkreditkan PPN yang telah dibayar pada
waktu pembelian barang atau jasa sebagai pajak masukan. Sedangkan zero rate berarti
pengusaha secara penuh dapat mengkreditkan PPN yang telah dibayar, sehingga secara murni
bebas dari PPN. Karakteristik dasar dalam sistem pembebasan PPN adalah tidak adanya

24
pembebasan secara penuh dari pengenaan PPN. Pembebasan PPN hanya diterapkan pada saat
pengusaha yang mendapatkan fasilitas pembebasan melakukan penjualan atau penyerahan
barang dan atau jasa. Sedangkan semua pembelian yang dilakukan oleh pengusaha tersebut,
termasuk barang modal dikenakan pajak. Oleh karena itu, jika petani dibebaskan dari
pengenaan PPN, maka petani tersebut tidak harus berhubungan dengan petugas pajak, tetapi
petani tersebut harus membayar semua pajak masukannya pada waktu melakukan pembelian
pupuk, benih dan semua barang modal yang dipergunakan seperti mesin pertanian.
Pembebasan PPN membantu menyederhanakan administrasi perpajakan karena pengusaha
atau pedagang yang bebas PPN tidak perlu melakukan registrasi dan pencatatan untuk PPN.
Namun, pembebasan PPN dapat menimbulkan distorsi. Hal tersebut dapat terjadi misalnya
pengusaha yang bebas PPN melakukan penjualan atau penyerahan barang kepada pihak lain
selain konsumen akhir. Pengusaha yang bebas PPN akan menambahkan PPN atas pembelian
barang yang tidak dapat dikreditkan pada harga jual barang yang diserahkan kepada
pengusaha lainnya yang tidak bebas PPN. Bagi pengusaha yang tidak bebas PPN tersebut
tentunya akan memperhitungkan harga pembelian yang didalamnya terdapat PPN tersebut
sebagai bagian dari harga pokok penjualan, sehingga atas penyerahan barang tersebut akan
terjadi pengenaan PPN atas PPN. Hal ini disebut sebagai cascading efect atau efek pajak
yang kumulatif yang menimbulkan distorsi dalam pertumbuhan perekonomian karena pajak
berganda tersebut akan menyebabkan tingginya harga yang harus dibayar oleh konsumen.
Oleh karena itu, menurut Tait sebaiknya pembebasan PPN hanya diterapkan pada kondisi
tertentu dan terbatas saja serta yang paling dekat dengan konsumen akhir.

Kerugian dalam memberikan insentif pajak untuk tujuan menarik investasi adalah
hilangnya potensi pajak yang seharusnya diterima oleh negara. Kerugian tersebut dapat
dikurangi apabila insentif tersebut diterapkan pada sektor yang tepat, yaitu sektor yang
menarik investor hanya jika sektor tersebut diberikan insentif. Pemerintah telah
mengembangkan berbagai teknik untuk mencapai target yang lebih baik dalam membuat
kebijakan pemberian insentif pajak. Tehnik tersebut antara lain dengan mengkaitkan
pemberian insentif dengan pengembangan wilayah yang pertumbuhan ekonominya masih
rendah dan untuk tujuan tertentu, seperti penciptaan lapangan kerja, transfer teknologi dan
peningkatan ekspor.

25
a) Pengembangan Wilayah.
Kebijakan pemberian insentif pajak untuk tujuan pengembangan suatu wilayah
biasanya berbentuk tax holiday, investment allowance atau penyusutan yang
dipercepat. Wilayah yang menjadi target pemberian insentif pajak biasanya daerah
yang terpencil dan tingkat penganggurannya tinggi.
b) Penciptaan lapangan kerja.
Insentif pajak dapat diarahkan untuk merangsang pendirian perusahaan di bidang
industri yang mampu menyerap banyak tenaga kerja. Industri manufaktur merupakan
contoh industri padat karya yang sering menjadi target pemberian insentif.
c) Transfer Teknologi.
Banyak negara memformulasikan kebijakan pemberian insentif pajak dengan tujuan
untuk menarik investasi yang membawa teknologi yang lebih modern. Namun,
kebijakan tersebut sulit diterapkan karena kantor pajak mengalami kesulitan dalam
menentukan kriteria suatu teknologi yang canggih atau advanced. Di samping itu,
sangat jarang perusahaan asing yang membawa teknologi canggih bersedia
mengalihkan atau mentransfer teknologi tersebut kepada host country.
d) Pengembangan ekspor.
Kebijakan pemberian insentif pajak untuk menarik investasi yang berorientasi ekspor
cenderung lebih efektif dibandingkan dengan pemberian insentif pajak untuk tujuan
lain. Perusahaan berorientasi ekspor tertentu yang sensitif terhadap adanya insentif
pajak adalah perusahaan yang bergerak di bidang industri textile dan elektronika.
Alasannya, industri tersebut tidak bergantung pada bahan baku lokal dan pasar dari
produknya sebagian besar di luar negeri. Industri tersebut dikenal sebagai footloose
yang sangat tertarik dengan lingkungan yang mempunyai biaya rendah. Komponen
biaya paling besar adalah tenaga kerja dan pajak yang harus dibayar, sehingga dengan
adanya insentif pajak maka industri tersebut akan tertarik untuk berinvestasi.
Musgrave dan Musgrave (1989) berpendapat bahwa insentif perpajakan sangat
berguna bagi kegiatan ekspor. Insentif untuk kegiatan ekspor adalah kebijakan yang
populer untuk membangun pasar internasional dan memperkuat keseimbangan neraca
pembayaran. Jenis insentif pajak penghasilan yang biasa diberikan pada jenis industri

26
yang berorientasi ekspor adalah tax holiday dan tunjangan investasi khusus. Tax
holiday diberikan dalam bentuk pembebasan pajak atas bagian dari keuntungan yang
berhubungan dengan ekspor atau dapat pula berupa pembebanan biaya secara
maksimal atas biaya untuk tujuan ekspor, seperti biaya promosi ekspor.
e) Daerah perdagangan bebas atau export processing zones
Export processing zones berhubungan dekat dengan pengembangan investasi yang
berorientasi ekspor. Zona ini juga disebut sebagai customs-free zones, duty-free zones,
free trade zones, bonded zones atau special economic zones. Insentif jenis ini sudah
diterapkan lebih dari 50 negara di seluruh dunia dan telah berlangsung selama lebih
dari 30 tahun (Thuronyi, 1998). Ciri yang membedakan kawasan khusus tersebut
adalah adanya daerah terbatas atau kawasan terbatas yang terikat dengan ketentuan
tertentu dimana perusahaan yang berada di kawasan tersebut baik lokal maupun asing
dapat melakukan impor mesin, komponen dan bahan baku tanpa harus membayar bea
masuk dan pajak lainnya sepanjang barang tersebut sebagai sarana untuk merakit,
mengolah atau diolah menjadi barang untuk tujuan ekspor. Apabila barang tersebut
dijual di pasar domestik, maka atas penjualan tersebut diperlakukan sebagai impor
sehingga dikenakan pajak dan bea masuk seperti impor. Maksud dari negara yang
mendirikan export processing zone pada umumnya adalah untuk mendapatkan devisa
dari penjualan ekspor. Disamping itu juga untuk menciptakan lapangan kerja, menarik
teknologi dari luar negeri atau mendorong perkembangan wilayah tertentu.

Insentif pajak yang diberikan pada kawasan khusus tersebut terutama adalah pembebasan
bea masuk dan PPN. Pembebasan tersebut diterapkan atas bahan baku dan komponen yang
diimpor yang kemudian diekspor. Pembebasan juga berlaku atas barang modal yang
digunakan untuk proses produksi untuk tujuan ekspor tersebut. Dengan adanya insentif
berupa pembebasan atas impor barang tersebut diharapkan investor asing akan tertarik untuk
menanamkan modalnya karena insentif tersebut langsung berdampak pada rendahnya harga
pokok barang sehingga barang yang diproduksi mempunyai daya saing yang tinggi.
Pembebasan PPN atas kegiatan impor di kawasan khusus untuk tujuan ekspor disertai dengan
penerapan zero rate atas kegiatan ekspor. Dengan tarif 0% atas ekspor, berarti PPN yang
masih melekat dalam harga barang dapat dieliminasi sehingga barang tersebut dapat bersaing

27
di pasar internasional. Hal ini sesuai dengan prinsip destinasi dari PPN, yaitu bahwa PPN
dikenakan di tempat barang tersebut dikonsumsi. Dengan adanya pembebasan bea masuk dan
PPN atas impor barang untuk tujuan ekspor, perusahaan akan diuntungkan dari segi cash flow
karena tidak harus membayar pajak terlebih dahulu.

28
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Secara Akuntansi, pengeluaran terkait dengan perolehan aset tetap di bagi menjadi dua yaitu
capital expenditure dan revenue expenditure. Kerugian selisih kurs mata uang asing
merupakan salah satu beban yang boleh dibebankan menurut pasal 6 ayat (1e) UU Pajak
Penghasilan.Hal ini juga diatur dalam Surat Edaran Direktur Jendral Pajak Nomor SE-
03/PJ.31/1997.
Dalam melakukan penyusutan aset tetap, perpajakan hanya mengizinkan penggunaan
dua jenis metode penyusutan yaitu metode garis lurus dan saldo menurun. Khusus untuk
dalam bentuk bangunan, metode yang diizinkan garis lurus saja (UU PPH Pasal 11).
Dalam berbagai perusahaan ada kalanya ada biaya entertainment. Biaya entertainment
merupakan biaya yang dikeluarkan untuk menjamu maupun representasi, hiburan dan
fasilitas lainnya.
Tidak semua biaya entertaiment dapat mengurai penghasilan bruto. Karena ada
perbedaan yang sangat tipis antara pemberian fee dengan perjamuan yang pada dasarnya
sama sama tujuannya yaitu memperlancar jalannya proyek agar tidak ada hambatan hambatan
di kemudian hari.

29

Anda mungkin juga menyukai