NPM: 191210190
2. Bagaimana perlakukan terhadap Biaya Pendirian maupun Biaya Pra Operasi Perusahaan baik
secara akuntansi maupun secara perpajakan?
Jawab:
Pengeluaran untuk biaya pendirian suatu perusahaan dibebankan pada tahun terjadinya
pengeluaran atau amortisasi sesuai kelompok harta tak berwujud, masa manfaat, dan tarif yang
ditetapkan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 A ayat (2) UU PPh No. 36
Tahun 2008. Amortisasi atas biaya pendirian tersebut dapat dilakukan dengan straight line
method maupun declining balance method dan pada akhir tahun masa manfaat diamortisasi
sekaligus (close end).
4) Bentuk Usaha Tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang PPh
atau sebagaimana diatur dalam Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) terkait;
5) Wajib Pajak yang mendaftarkan emisi sahamnya baik sebagian maupun seluruhnya di
bursa efek luar negeri;
6) Kontrak Investasi Kolektif (KIK) yang menerbitkan reksadana dalam denominasi satuan
mata uang Dolar Amerika Serikat dan telah memperoleh Surat Pemberitahuan Efektif
Pernyataan Pendaftaran dari Lembaga independen yang melakukan pengaturan dan
pengawasan jasa keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di
bidang Otoritas Jasa Keuangan;
7) Wajib Pajak yang berafiliasi langsung dengan perusahaan induk di luar negeri, yaitu
perusahaan anak (subsidiary company) yang dimiliki dan/atau dikuasai oleh perusahaan
induk (parent company) di luar negeri yang mempunyai hubungan istimewa
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) huruf a dan huruf b Undang-Undang
PPh; atau
8) Wajib Pajak yang menyajikan laporan keuangan dalam mata uang fungsionalnya
menggunakan satuan mata uang Dolar Amerika Serikat sesuai dengan Standar Akuntansi
Keuangan yang berlaku di Indonesia.
B. Untuk akumulasi penyusutan dan atau amortisasi harta menggunakan kurs sebenarnya
berlaku pada saat perolehan harta tersebut
C. Untuk harta lainnya dan kewajiban menggunakan kurs yang sebenarnya berlaku pada
akhir tahun buku sebelumnya, berdasarkan sistem pembukuan yang dianut yang
dilakukan secara taat asas.
D. Apabila terjadi revaluasi aktiva tetap, disamping menggunakan nilai historis, atas nilai
selisih lebih dikonversi ke dalam satuan mata uang USD dengan menggunakan kurs yang
sebenarnya berlaku pada saat dilakukan revaluasi.
E. Untuk laba ditahan atau sisa kerugian dalam satuan mata uang IDR dari tahun-tahun
sebelumnya, dikonversi ke dalam satuan mata uang USD dengan menggunakan kurs
yang sebenarnya berlaku pada akhir tahun buku sebelumnya yakni kurs tengah BI dan
berdasarkan sistem pembukuan yang dianut yang dilkukan secara taa asas.
F. Untuk modal saham dan ekuitas lainnya menggunakan kurs yang sebenarnya berlaku
pada saat terjadinya transaksi.
G. Dalam hal terdapat selisih laba atau rugi sebagai akiibat konversi dari sauan mata uang
IDR ke satuan mata uang USD sebagaimana dimaksud pada huruf a, b, c , d, dan e, selisih
laba atau rugi tersebut dibebankan pada rekening laba ditahan.
Keuntungan atau kerugian selisih kurs mata uang asing yang berkaitan langsung dengan
usaha Wajib Pajak yang: dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final; atau tidak
termasuk objek pajak, tidak diakui sebagai penghasilan atau biaya.
Keuntungan atau kerugian selisih kurs mata uang asing yang tidak berkaitan langsung
dengan usaha Wajib Pajak yang: dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final; atau
tidak termasuk objek pajak, diakui sebagai penghasilan atau biaya sepanjang biaya
tersebut dipergunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan.
Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing termasuk penghasilan yang menjadi
Objek Pajak Penghasilan. Pengenaan pajaknya dikaitkan dengan sistem pembukuan
yang dianut oleh Wajib Pajak dengan syarat dilakukan secara taat asas. Oleh karena itu
keuntungan selisih kurs yang diperoleh Wajib Pajak badan maupun orang pribadi harus
dilaporkan dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan.
Kerugian karena selisih kurs mata uang asing merupakan unsur pengurang penghasilan
bruto. Kerugian selisih kurs mata uang asing akibat fluktuasi kurs, pembebanannya
dilakukan berdasarkan pembukuan yang dianut oleh Wajib Pajak dan dilakukan secara
taat asas. Apabila Wajib Pajak menggunakan sistem pembukuan berdasarkan : 1) .Kurs
tetap, pembebanan selisih kurs dilakukan pada saat terjadinya realisasi perkiraan mata
uang asing tersebut. 2). Kurs tengah Bank Indonesia atau kurs yang sebenarnya berlaku
pada akhir tahun, pembebanannya dilakukan pada setiap akhir tahun berdasarkan kurs
tengah Bank indonesia atau kurs yang sebenarnya berlaku pada akhir tahun. Kerugian
yang terjadi karena selisih kurs, dapat diakui sebagai pengurang penghasilan sepanjang
Wajib Pajak tersebut mempunyai sistem pembukuan yang diselenggarakan secara taat
asas, sesuai dengan bukti dan keadaan yang sebenarnya, dan dalam rangka kegiatan
usahanya atau berkaitan dengan usahanya.
Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang memilih mempergunakan norma penghitungan
penghasilan netto kerugian karena selisih kurs tidak dapat diakui sebagai pengurang
penghasilan.
7. Jelaskan apa yang dimaksud dengan ketidak adilan vertikal dan ketidak adilan horizontal dalam
kebijakan perpajakan UMKM!
Jawab:
Kebijakan penurunan/diskon tarif PPh hingga 50% dalam Pasal 31E UU PPh bertentangan
dengan prinsip horizontal equity hal ini karena dengan penghasilan kena pajak yang sama akan
dihasilkan pajak terutang yang tidak sama
1) WP berada dalam kondisi penghasilan kena pajak yang sama diperlakukan sama (equal
treatment for the equals)
2) Semua orang yang mempunyai tambahan ekonimi yan sama dengan tanggungan yang
sama tanpa membedakan jenis atau sumber penghasilan, harus membayar pajak dalam
jumlah yang sama.
b. Dalam kondisi penghasilan kena pajak yang tidak sama akan dihasilkan pajak
terutang yang tidak sama pula. Jumlah pajak yang dibayar semakin besar,
sebanding dengan semakin besarnya kemampuan badan UMKM membayar
pajak