Anda di halaman 1dari 32

MAKALAH ILMU PENYAKIT MULUT

LAPORAN KASUS MAYOR

TUBERKULOSIS ORAL PRIMER

Nur Fauziana Hayuningtyas

160112200501

Angga HB Napitupulu

160112200502

Pembimbing :

Erna Herawati, drg.,M.Kes

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2023
JUDUL : LAPORAN KASUS MAYOR ILMU PENYAKIT MULUT
NAMA : NUR FAUZIANA HAYUNINGTYAS
ANGGA H.B. NAPITUPULU
NPM : 160112200501
160112200502

Bandung, Desember 2023,

Menyetujui,
Dosen Pembimbing,

Erna Herawati, drg.,M.Kes

NIP. 195812231986032001

2
BAB I

PENDAHULUAN

Mycobacterium tuberculosis adalah penyebab kematian utama di seluruh

dunia yang disebabkan oleh bakteri patogen tunggal. WHO memperkirakan terdapat

satu juta anak yang terjangkit infeksi tuberkulosis dan lebih banyak lagi yang

mengalami infeksi berbentuk laten. Persebaran tuberkulosis pada anak mirip dengan

persebaran tuberkulosis pada orang dewasa, dengan beban berat penyakit terjadi di
1
daerah Afrika Sub Sahara dan Asia. Pada tahun 2016, dari 6.3 juta kasus baru

tuberkulosis yang dilaporkan, 6.9% terjadi pada anak-anak berusia di bawah 15


2
tahun. India menjadi salah satu negara dengan beban tuberkulosis tertinggi di seluruh

dunia. Temuan lain menyebutkan bahwa tingkat mortalitas tuberkulosis paling tinggi
3
ada pada kelompok usia 0-4 tahun dibanding kelompok usia lainnya. Balita dan

anak-anak memiliki risiko lebih tinggi terkena penyakit disseminata, termasuk


4–6
meningitis tuberkulosis dan tuberkulosis milier.

Lesi oral tuberkulosis terjadi cukup langka. Ada berbagai studi, namun

insidensi yang dilaporkan adalah kurang dari 1% dari seluruh populasi pasien
7
tuberkulosis. Baik tuberkulosis primer maupun sekunder dapat menyebabkan
8
terjadinya lesi di dalam rongga mulut. Tuberkulosis oral primer tanpa keterlibatan

paru sangat langka terjadi karena sebagian besar lesi oral merupakan infeksi sekunder
9
dari lesi paru. Ketika lesi oral menjadi satu-satunya manifestasi penyakit
tuberkulosis, dokter gigi dapat kesulitan dalam menentukan diagnosis. Tuberkulosis

oral dapat terjadi di berbagai lokasi pada mukosa oral, tetapi lidah menjadi lokasi

manifestasi lesi tersering. Lokasi lainnya mencakup palatum, bibir, mukosa bukal,

gingiva, tonsil palatina, dan dasar mulut. Tuberkulosis oral primer dapat terlihat
10
sebagai ulser asimtomatik berdurasi lama dan pembesaran kelenjar limfe regional.

Lesi oral akibat tuberkulosis dapat timbul dalam berbagai bentuk seperti ulserasi,
10–12
nodula, tuberculoma, dan granuloma periapikal.

Lesi oral tuberkulosis tergolong nonspesifik berdasarkan gambaran klinisnya

dan sering diabaikan sebagai diagnosis banding, terutama ketika lesi oral sudah ada
13
sebelum gejala sistemik muncul. Dokter gigi merupakan garda terdepan untuk

mendiagnosa lesi yang ada di dalam rongga mulut sehingga dapat memberikan

kontribusi penting dalam mengidentifikasi tuberkulosis pada pasien yang tidak

menyadari penyakit tersebut, meskipun dokter gigi sering kali kesulitan untuk

membedakan tuberkulosis oral dengan kondisi lainnya apabila hanya didasarkan pada

gambaran klinis dan gejala. Ketika mengevaluasi ulserasi kronis dengan indurasi

positif, dokter gigi harus mempertimbangkan diagnosis banding proses infeksi seperti

ulser traumatik kronis dan karsinoma sel skuamosa. Apabila tidak ada keterlibatan

sistemik, dokter gigi harus melakukan biopsy eksisi untuk diagnosis jaringan dan
13
pemeriksaan bakteriologis dengan kultur untuk diagnosis definitif. Deteksi dini dan

intervensi sangat penting untuk perawatan kasus yang sedemikian fatal. Artikel ini

membahas infeksi tuberkulosis primer oral yang disertai dengan adanya ulserasi di

dalam rongga mulut yang tidak kunjung sembuh pada pasien anak berusia 12 tahun
tanpa adanya manifestasi sistemik.

BAB II

LAPORAN KASUS

2.1. Identifikasi Pasien


Nomor Rekam Medik :-
Nama Pasien :-
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 12 tahun
Agama :-
Pekerjaan : Pelajar
Status Menikah : Belum Menikah
Alamat :-

2.2 Anamnesis

Pasien anak perempuan berusia 12 tahun datang ke Rumah Sakit Sharda

University, India dan dirujuk ke departemen gigi dan mulut dengan keluhan adanya

lesi ulser yang persisten dan tidak sembuh-sembuh pada mukosa labial bibir bawah.

Lesi tersebut pertama kali disadari oleh pasien sejak dua tahun yang lalu namun

orangtua pasien baru menyadarinya enam bulan yang lalu sehingga orangtuanya

memutuskan untuk membawa pasien anak perempuan tersebut ke dokter. Pasien tidak

menunjukkan gejala apapun. Ukuran lesi ulser tetap konstan dalam kurun waktu dua

tahun. Tidak ada riwayat batuk, demam, hemoptysis, dan penurunan berat badan.

Pasien juga tidak memiliki riwayat penyakit sistemik, alergi, dan tidak sedang dalam
pengobatan apapun.

Pasien telah berkonsultasi dengan dua orang dokter gigi di desanya dan

dirawat dengan pendekatan konservatif dengan bantuan obat topikal selama enam

bulan terakhir. Sebelumnya, pasien diresepkan dengan gel mucopain (benzocaine 1.P.

20%), zytee gel (benzalkonium chloride 0.02%, choline salicylate 9%) dan candid

mouth paint (clotrimazole 1%). Namun, tidak ada perubahan yang terlihat

(peningkatan atau penurunan ukuran ulser) atau perbaikan kondisi klinis pasien dalam

enam bulan terakhir.

2.3 Riwayat Penyakit Sistemik


Riwayat penyakit sistemik disangkal

2.4 Riwayat Penyakit Terdahulu


Riwayat penyakit terdahulu disangkal

2.5 Kondisi Umum


Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Composmentis
Suhu : 37°C
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Pernafasan : 16x/menit
Nadi : 82x/menit
Berat Badan : 33 kg
Tinggi Badan : 150 cm
Indeks Massa Tubuh : 14,7 kg/m2 (underweight)

2.6 Pemeriksaan Ekstraoral


Kelenjar Limfe :
Submandibula : Kanan : tidak teraba, kenyal, tidak sakit

Kiri : tidak teraba, kenyal, tidak sakit

Submental : Kanan : tidak teraba, kenyal, tidak sakit

Kiri : tidak teraba, kenyal, tidak sakit

Servikal : Kanan : tidak teraba, kenyal, tidak sakit

Kiri : tidak teraba, kenyal, tidak sakit

Mata : (Tidak ada informasi)

TMJ : (Tidak ada informasi)

Bibir : (Tidak ada informasi)

Wajah : (Tidak ada informasi)

Sirkum Oral : (Tidak ada informasi)

Lain-lain : (Tidak ada informasi)

2.7 Pemeriksaan Intraoral

Kebersihan Mulut : (Tidak ada informasi)

Gingiva : (Tidak ada informasi)

Mukosa Bukal : (Tidak ada informasi)

Mukosa Labial : Pada mukosa labial bibir bawah kiri ditemukan lesi ulser yang
tidak kunjung sembuh dengan ukuran 4 cm x 4 cm. Lesi ulser ini berwarna putih
keabuan dengan tepi ireguler. Tepi ulser tipis dengan sedikit indurasi pada dasarnya.
Tidak mengeluhkan adanya nyeri ketika lesi disentuh.

Palatum Durum : (Tidak ada informasi)

Palatum Mole : (Tidak ada informasi)

Frenulum : (Tidak ada informasi)

Lidah : (Tidak ada informasi)

Dasar Mulut : (Tidak ada informasi)

Odontogram : (Tidak ada informasi)

Gambar 1 Penampakan klinis lesi ulser

2.8 Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan Histopatologi :

Prosedur biopsi insisi dilakukan dengan anestesi local. Pemeriksaan

mikroskopis spesimen bibir bawah menunjukkan epitel pipih hiperplastik, granuloma


multipel yang berisi sel-sel epiteloid dan sel-sel Langhan raksasa, dikelilingi oleh

limfosit dan sel plasma. Tidak ada nekrosis kaseosa (caseous) yang terlihat pada

sampel biopsi. Diagnosis awal kasus ini adalah TB/sarcoidosis.

Gambar 2 Fotomikrograf lesi yang menunjukkan infiltrasi sel Langhan raksasa dan sel plasma

2. Pemeriksaan Hematologi :

Pemeriksaan darah menunjukkan laju pengendapan eritrosit yang normal (18

mm pada jam pertama). Tingkat angiotensin-converting enzyme serum pasien adalah

58.3 U/L. Interferon-gamma release assay (IGRA) (Quantiferon-TB [QFT]) bernilai

positif (3.43 IU/mL). Hasil tes Mantoux diinterpretasi 48 jam setelah injeksi

tuberculin (10 T.U) yang menunjukkan adanya eritema berukuran 16 mm dan

indurasi berukuran 18 mm.


3. Pemeriksaan Radiologi :

Radiograf toraks tidak menunjukkan adanya fokal infeksi yang berarti tidak

ada keterlibatan paru-paru. Oleh karena itu diagnosis TB primer terkonfirmasi.

2.9 Perawatan

Perawatan dengan obat-obatan anti tuberkulosis diinisiasi. Pasien diresepkan

dengan isoniazid 150 mg, rifampin 300 mg, pyrazinamide 750 mg, dan ethambutol

400 mg setiap hari selama dua bulan. Fase kedua dari perawatan ini terdiri dari

isoniazid 150 mg dan rifampin 300 mg setiap hari selama empat bulan. Lesi hampir

sembuh dalam tiga minggu setelah pemberian obat.

Gambar 3 Lesi mengalami kesembuhan


BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi Tuberkulosis


Tuberkulosis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh

Mycobacterium tuberculosis (Mtb) yang ditularkan melalui jalur pernafasan dan


14
paling sering menyerang paru-paru namun dapat juga merusak organ lainnya.

3.2 Tipe Tuberkulosis

3.2.1 Tuberkulosis Primer

Tuberkulosis primer adalah infeksi bakteri TB dari pasien yang belum

mempunyai reaksi spesifik terhadap bakteri TB. Bila bakteri TB terhirup dari udara

melalui saluran pernafasan dan mencapai alveoli atau bagian terminal saluran

pernafasan, maka bakteri akan ditangkap dan dihancurkan oleh makrofag yang berada

di alveoli. Jika bakteri ditangkap oleh makrofag yang lemah, maka bakteri akan

berkembang biak dalam tubuh makrofag yang lemah itu dan menghancurkan

makrofag. Dari proses ini, dihasilkan bahan kemotaksik yang menarik monosit

(makrofag) dari aliran darah membentuk tuberkel. Sebelum menghancurkan bakteri,

makrofag harus diaktifkan terlebih dahulu oleh limfokin yang dihasilkan limfosit T.

Tidak semua makrofag pada granula TB mempunyai fungsi yang sama. Ada

yang berfungsi sebagai pembunuh, pencerna bakteri, dan perangsang limfosit.

Beberapa makrofag menghasilkan protease, elastase, kolagenase, serta colony


stimulatig factor untuk merangsang produksi monosit dan granulosit pada sumsum

tulang. Bakteri TB menyebar melalui saluran pernafasan ke kelenjar getah benih

regional (hilus) membentuk epiteloid granuloma. Granuloma mengalami nekrosis 11

sentral sebagai akibat timbulnya hipersensitivitas seluler (delayed hipersensitivity)

terhadap bakteri TB. Hal ini terjadi sekitar 2-4 minggu dan akan terlihat pada tes

tuberkulin. hipersensitivitas seluler terlihat sebagai akumulasi lokal dari limfosit dan

makrofag.

3.2.2 Tuberkulosis Sekunder

Berbeda dengan TB primer, pada TB sekunder kelenjar limfe dan organ

lainnya jarang terkena, lesi leih terbatas dan terlokalisasi. Reaksi imunologis terjadi

dengan adanya pembentukan granuloma, mirip dengan yang terjadi pada TB primer.

Akan tetapi, nekrosis jaringan lebih menyolok dan menghasilkan lesi kaseosa

(perkijuan) yang luas dan disebut tuberkuloma. Protease yang dikeluarkan oleh

makrofag aktif akan menyebabkan pelunakan bahan kaseosa. Secara umum, dapat

dikatakan bahwa terbentuknya kavitas dan manifestasi lainnya dari TB sekunder

adalah akibat dari reaksi nekrotik yang dikenal sebagai hipersensitivitas seluler

(delayed hipersensitivity).

TB paru pasca primer dapat disebabkan oleh infeksi lanjutan dari sumber

eksogen, terutama pada usia tua dengan riwayat semasa muda pernah terinfeksi

bakteri TB. Hal ini terjadi biasanya pada daerah apikal atau segmen posterior lobus

superior (fokus Simon), 10-20 mm dari pleura, dan segmen apikal lobus 12 inferior.
Hal ini mungkin disebabkan oleh kadar oksigen yang tinggi di daerah ini sehingga

menguntungkan untuk pertumbuhan bakteri TB.

Lesi sekunder berkaitan dengan kerusakan paru. Kerusakan paru diakibatkan

oleh produksi sitokin (tumor necrotizing factor) yang berlebihan. Kavitas yang terjadi

diliputi oleh jaringan fibrotik yang tebal dan berisis pembuluh darah pulmonal.

Kavitas yang kronis diliputi oleh jaringan fibrotik yang tebal. Masalah lainnya pada

kavitas yang kronis adalah kolonisasi jamur seperti aspergillus yang menumbuhkan

mycetoma.

3.3 Pemeriksaan Penunjang Tuberkulosis


 X-ray thorax
Tehnik pencitraan yang cepat dan salah satu alat utama yang memiliki sensitifitas
tinggi untuk mendiagnosis TB paru. Temuan radiologis yang paling umum yaitu
infiltrat, konsolidasi, fibrosis, efusi pleura dan kavitas. Bayangan awan dan bercak
yakni infiltrate merupakan kelainan radiologi yang memang ditemukan pada kasus
TB paru. Infiltrat merupakan gambaran seperti benang- benang halus yang berwarna
radioopak dan dapat ditemukan di bagian lapangan paru tetapi paling sering terdapat
di apeks paru. Infiltrat sering ditemukan karena berdasarkan lesi awal pada penderita
TB paru adalah lesi yang berbentuk patchy dan nodular yang menunjukkan proses
penyakit yang sedang aktif setelah 10 minggu terjadi infeksi.
Konsolidasi merupakan komplikasi dari erosi bronkial dan penyebaran
bronkogenik dari penyakit TB paru karena terdesaknya bronkus akibat kelainan
parenkim termasuk akibat perubahan volume yang terlihat seperti batas-batas yang
agak kabur dan dapat ditemukan juga air-bronchogram. Fibrosis biasanya terjadi
akibat infeksi kronik yang berupa jaringan parut. Efusi pleura merupakan akumulasi
cairan yang berlebihan di ruang pleura yang menunjukkan ketidakseimbangan antara
pembentukan dan pengeluaran cairan pleura. Efusi pleura menggambarkan respon
imun dan sebagai reaksi hipersensitivitas yang berasal dari protein bakteri
tuberkulosis.

Pemeriksaan x-ray thorax perlu dilakukan untuk melihat lesi TB pada paru – paru
sebagai organ yang paling sering terkena TB. Pemeriksaan ini dapat dilakukan
walaupun dilaporkan bahwa hasil x-ray normal pada 70% pasien. 34
 Gene Xpert MTB/RIF Assay
Gene Xpert MTB/RIF Assay adalah pemeriksaan yang menggunakan amplifikasi
polymerase chain reaction (PCR) real-time multiplex. Metode ini dapat
mengidentifikasi bakteri berdasarkan teknik DNA molekular. Pemeriksaan ini
merupakan tes diagnostik yang cepat dengan sensitivitas mencapai 98%, terutama
dalam mendeteksi resistensi rifampisin. Pemeriksaan yang menggunakan RNA
ribosom dan PCR DNA ini dapat selesai dalam waktu 24 jam.35
 Kultur
Kultur sputum adalah pemeriksaan diagnostik yang sangat sensitif untuk
mengisolasi Mycobacterium dan mendeteksi minimal 10 hingga 100 basil.
Spesifisitas kultur sputum mencapai >99% dalam mendiagnosis tuberkulosis paru,
sehingga kultur merupakan pemeriksaan baku emas. Akan tetapi, pemeriksaan ini
memerlukan waktu yang lama (hingga >2 minggu) untuk mendapatkan hasil.33
 Tes tuberkulin kulit atau Tes Mantoux
Tes tuberkulin kulit atau tes Mantoux dilakukan dengan menginjeksi purified
protein derivate (PPD). Pasien dengan risiko paparan rendah (pasien yang tidak
memiliki risiko terpapar TB) memiliki hasil Mantoux positif bila terdapat indurasi
pada kulit yang diinjeksikan PPD hingga mencapai ukuran 15 mm. Pasien dengan
risiko sedang (pasien yang berasal dari negara endemik TB, tenaga kesehatan, dan
sebagainya) memiliki hasil Mantoux positif bila indurasi berukuran >10 mm. Pasien
dengan risiko tinggi (pasien dengan HIV positif, riwayat TB, dan kontak erat dengan
pasien TB lain) memiliki hasil Mantoux positif bila indurasi berukuran >5 mm.
Pembacaan hasil dilakukan 48–72 jam setelah injeksi 0,1 ml PPD secara intradermal.
Suntikan akan menimbulkan gelembung kulit pucat berdiameter 6–10 mm. Tes
Mantoux tidak dapat membedakan infeksi TB aktif dan TB laten. Pada beberapa
negara berkembang, tes ini masih rutin dilakukan sebagai bagian dari pemeriksaan
penunjang untuk TB.33
 Interferon-Gamma Release Assays (IGRA)
IGRA merupakan tes skrining tuberkulosis yang lebih spesifik dengan sensitivitas
yang serupa dengan tes Mantoux. Konversi interferon-gamma release assay yang
positif merupakan cerminan reaksi hipersensitivitas yang lambat terhadap protein
Mycobacterium tuberculosis. Kekurangan pemeriksaan IGRA bila dibandingkan
dengan tes Mantoux adalah biaya yang lebih mahal. Selain itu, tes IGRA
membutuhkan sarana laboratorium yang lebih memadai dan proses yang lebih rumit.
Sensitivitas dan spesifisitas mencapai 58% dan 77% dalam mendiagnosis TB paru
aktif dan 82%. IGRA tidak dapat membedakan infeksi TB aktif dan TB laten dan
sering menimbulkan hasil positif palsu.35

3.4 Tuberkulosis Oral

3.3. 1 Definisi dan Patofisiologi

Tuberkulosis oral pada rongga mulut jarang terjadi namun penyakit ini masih

menyumbang 0,5-1% dari kasus tuberkulosis secara keseluruhan. Hal ini

mengakibatkan tuberkulosis sering diabaikan sebagai diagnosis banding dalam lesi

mulut. Tuberkulosis oral terjadi karena dahak yang terinfeksi atau karena penyebaran

hematogen.

Tuberkulosis oral dapat terjadi secara primer atau sekunder. Lesi tuberkulosis
oral primer jarang terjadi dan jika terjadi lebih sering terlihat pada pasien berusia

muda dan berkaitan dengan pembesaran kelenjar getah bening di leher. Lesi

tuberkulosis oral sekunder biasanya muncul bersamaan dengan penyakit baru dan

dapat terjadi pada semua kelompok umur namun lebih banyak terlibat pada kelompok

usia paruh baya (40-50 tahun) dan lanjut usia (>60 tahun).

Penyebaran penyakit tuberkulosis oral dimulai dari masuknya organisme ke

dalam dahak dan melalui celah kecil di permukaan masuk ke dalam jaringan mukosa.

Organisme dapat dibawa ke jaringan mulut melalui jalur hematogen kemudian

disimpan di submukosa lalu berproliferasi serta mengalami ulserasi pada mukosa di


15
atasnya.

3.3.2 Tanda Klinis

Tuberkulosis oral sering mengenai bagian lidah dengan berbagai bentuk

seperti bisul, bintil, retakan, plak atau vesikel. Selain itu, tuberkulosis oral juga dapat

terkena pada bagian mukosa bukal, gingiva, bibir, langit-langit, tonsil palatina, dasar

mulut, kelenjar ludah, amandel, dan uvula.

Tuberkulosis oral primer biasanya terkena pada gingiva dan muncul sebagai

proliferasi jaringan gingiva yang menyebar, hiperemik, nodular atau papiler dan

biasanya berhubungan dengan limfadenopati regional. Pada lesi tuberkulosis oral

primer di gusi lebih sering terjadi pada anak-anak dibanding orang dewasa. Lesi

tuberkulosis oral primer muncul sebagai ulkus indolent tunggal tanpa rasa sakit yang

secara progresif meluas dari margin gingiva kedalam ruangan depan yang berdekatan
dan sering dikaitkan dengan pembesaran kelenjar getah bening serviks. Lesi ini bisa

tunggal atau multipel, nyeri atau tidak nyeri, dan biasanya tampak sebagai ulkus yang

tidak beraturan dan berbatas tegas dengan eritema di sekelilingnya tanpa indurasi dan

lesi satelit umumnya dtemukan. Lesi tuberkulosis oral primer menunjukan gambaran

paling umum berupa ulkus di sepanjang tepi lateral lidah dan menempel pada gigi

yang kasar, tajam, patah atau di lokasi iritasi lainnya. Pasien dengan lesi tuberkulosis

oral seringkali mempunyai riwayat trauma yang sudah ada sebelumnya. Area mana

saja yang mengalami iritasi atau peradangan kronis mendukung lokalisasi

Mycobacterium yang terkait dengan penyakit ini. Ulkus tuberkulosis pada lidah

memiliki ciri khas yaitu pada bagian dasarnya terlihat lendir yang kendal dan ditandai

dengan nyeri hebat yang progresid dan menganggu masuknya nutrisi serta waktu

istirahat pada pasien. Biasanya ulkus tuberkulosis pada lidah ditemukan pada ujung,

tepi lateral, garis tengah dan pangkal lidah. Gambaran klinis dan mikroskopis

menunjukan lesi ulkus tuberkulosis tidak beraturan, pucat, lamban dengan tepi

terbalik dan granulasi di lantai jaringan yang mengelupas.

Lesi tuberkulosis oral sekunder muncul dengan gambaran ulkus yang tidak

teratur, dangkal atau dalam, nyeri dan cenderung membesar secara perlahan. Lesi ini

sering ditemukan pada daerah trauma dan sering diduga secara klinis sebagai ulkus

traumatis sederhana bahkan karsinoma. Lesi pada mukosa menunjukkan gambaran

lesi bengkak, granular, modular atau pecah-pecah namun tidak ada ulserasi klinis

yang jelas. Tuberkulosis juga dapat menyerang tulang rahang atas atau rahang bawah.
Salah satu cara masuknya mikroorganisme ke area peradangan periapikal melalui

aliran darah atau kamar pulpa dan saluran akar gigi yang berlubang. Lesi yang

dihasilkan adalah granuloma periapikal tuberkulosis atau tuberkuloma. Keterlibatan

difus pada rahang atas atau rahang bawah bisa terjadi melalui penyebaran infeksi

secara hematogen atau setelah pencabutan gigi. Osteomielitis tuberkulosis sering

terjadi pada stadium akhir penyakit ini dan mempunyai prognosis yang kurang baik.15

Gambar 4 : Ulser tuberculosis di

lidah. 15
Gambar 5 : Ulser di vestibulum bukal. 15

3.3.3 Faktor Risiko

TB Paru (PTB) merupakan penyakit multibasiler dan dahak pasien ini

mengandung basil dalam jumlah yang lebih banyak. Di sisi lain, TB mulut

merupakan penyakit paucibacillary dan konsentrasi basil tahan asam (AFB) jauh

lebih sedikit dalam air liur. Faktor lokal di rongga mulut, yang mungkin berkontribusi

terhadap penurunan kerentanan berkembangnya TB mulut, adalah resistensi otot lurik

terhadap invasi bakteri, saprofit, dan ketebalan lapisan epitel pelindung. Faktor lain

yang sangat penting dalam kerentanan TBC mulut adalah kerusakan pada mukosa

mulut, yang dapat menyebabkan kolonisasi bakteri. Kebersihan mulut yang buruk,

trauma lokal, leukoplakia, dan iritasi akibat mengunyah cengkeh juga dapat dianggap

sebagai faktor penyebabnya

Keadaan imunokompromais, seperti HIV, diabetes mellitus, malnutrisi,

keganasan, terapi kortikosteroid yang berkepanjangan, dan gagal ginjal kronik, juga

dapat menimbulkan ancaman terhadap perkembangan TB. Kondisi umum, seperti

kepadatan penduduk, kecanduan alkohol atau merokok, ventilasi dan sumber sinar

matahari yang buruk, pernikahan dini, dan kehamilan berulang dalam jangka waktu
15
pendek, juga merupakan faktor risiko TBC.
3.3.4 Diagnosis Banding

Gambaran klinis lesi tuberkulosis oral tidak spesifik sehingga sering diabaikan

dalam diagnosis banding terutama bila lesi oral muncul sebelum gejala sistemik.

Meningkatnya kasus tuberkulosis di masyarakat membuat dokter dan dokter gigi

mewaspadai lesi oral akibat tuberkulosis dan mempertimbangkannya sebagai

diagnosis banding ulkus mulut yang mencurigakan.

Diagnosis banding dari ulkus tuberkulosis di rongga mulut diantaranya : ulkus

aftosa, ulkus traumatis, limfoma, metastasis dan karsinoma sel skuamosa yang wajib

dikonfirmasi dengan biopsi. Ketika spesimen histologi tuberkulosis menunjukan

adanya lesi granulomatosa maka perlu dipertimbangkan kondisi granulomatos

orofacial lainnya seperti sarkoidosis, penyakit Crohn, sifilis tersier dan sindrom
15
Melkersson-Rosenthal.

3.3.5 Pengobatan

Pengobatan lesi tuberkulosis oral identik dengan tuberkolis sistemik. Obat

yang paling efektif sampai saat ini menggunakan kombinasi 4 obat yaitu isoniazid

(INH), rifampisin (RIF), pirazinamid (PZA), dan etambutol (ETO) yang diberikan

setiap hari selama 2 bulan pertama diikuti oleh 4 bulan tambahan dengan 3 obat-

obatan (INH, RIF dan etambutol).


Sulitnya program ini mendorong WHO untuk meluncurkan strategi global

baru dalam pengendalian tuberkulosis yang dikenal sebagai “Terapi Pengamatan

Langsung, Kursus Singkat” (DOTS) pada tahun 1997. Komponen utama dari strategi

ini adalah observasi langsung oleh personel terlatih yang menjamin keduanya

kepatuhan pasien terhadap rejimen obat dan mengurangi kemungkinan resistensi

obat.

Penatalaksanaan tuberkulosis sangat sulit karena dua faktor utama: persistensi

dan resistensi. Meskipun antibiotik sudah tersedia, Mtb sangat persisten kemungkinan

karena bakteri memicu peradangan kronis yang disimpan di dalam jaringan sehingga

melindungi dari paparan obat. Oleh karena itu, pengobatan dengan obat harus
15
diperluas untuk menghancurkan bakteri sepenuhnya dan mencegah kekambuhan.
BAB IV

PEMBAHASAN

Tuberkulosis adalah penyakit infeksius yang disebabkan oleh bakteri basilus

Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini biasanya menyerang paru-paru namun juga

dapat mempengaruhi situs/organ lainnya. Mycobacterium tuberculosis dapat

menginfeksi seluruh bagian mulut (palatum keras dan lunak, uvula, mukosa bukal,
16
gingiva, bibir, lidah, maksila, dan mandibula). Tuberkulosis primer di dalam rongga

mulut tanpa melibatkan paru-paru adalah langka, namun lebih sering ditemukan pada
17
anak-anak dan dewasa muda. Beragam tanda klinis seperti ulser superfisial, lesi

jaringan lunak dengan indurasi, nodula, fissure, plak, granuloma, atau proliferasi
18
verrucous seringkali ditemukan. Sebagian besar (93%) lesi oral berupa ulser dan
19
hampir setengahnya terdapat pada lidah. Kasus ini menunjukkan lesi ulseratif

dengan indurasi pada mukosa labial rahang bawah. Integritas epitel oral dan efek

inhibitori saliva dianggap menjadi alasan resistensi relatif tuberkel bakteri di dalam
20
rongga mulut.

Tuberkulosis primer pada kelompok umur pediatrik jarang dilaporkan.

Literatur yang telah dipublikasi untuk kasus pada anak-anak sangat langka. Ebenezer

et al. melaporkan tuberkulosis oral pada anak perempuan berusia 7 tahun pada

gingiva sebelah kiri rahang bawah disertai dengan pembesaran kelenjar limfe
21
submandibular sebelah kiri. Perbesaran gingiva difus terlokalisir yang telah

dikonfirmasi sebagai tuberkulosis primer juga dilaporkan pada anak perempuan


berusia 11 tahun di India. 22 Spesimen tuberkulosis primer pada bibir dan uvula juga

dilaporkan terjadi pada dua orang anak-anak.6 Prasad dan Bhardwaj melaporkan

tuberkulosis yang diisolasi dari tonsil tanpa disertai tuberkulosis paru aktif pada
23
pasien anak laki-laki berusia 10 tahun. Sebuah kasus tuberkulosis primer yang

cukup langka dengan pembengkakan pada pipi telah dilaporkan pada anak berusia 4
24
tahun.

Pasien pada kasus ini tidak memiliki bukti radiograf toraks yang menunjukkan

riwayat atau tuberkulosis paru yang masih aktif. Kurang dari 50 % pasien dengan

tuberkulosis ekstrapulmoner menunjukkan keterlibatan penyakit paru pada radiograf


25
toraks. Faktor predisposisi untuk tuberkulosis oral mencakup kebersihan mulut yang

buruk, ekstraksi gigi, periodontitis, dan leukoplakia. Diagnosis banding lesi ulserasi

di dalam rongga mulut yang diakibatkan oleh tuberkulosis adalah infeksi (bakteri,

jamur, dan virus), stomatitis aftosa berukuran besar, ulser traumatik, ulser sifilitik,
9,26
atau keganasan mencakup karsinoma sel skuamosa oral dan limfoma. Pada kasus

ini, pemeriksaan histopatologis menunjukkan lesi granulomatosa. Tuberkulosis dan

sarkoidosis dipertimbangkan sebagai diagnosis yang memungkinkan. Diagnosis

definitif tuberkulosis dikonfirmasi melalui tuberculin skin test (TST) atau tes

Mantoux dan IGRA (QFT).

Karena cepat dan mudah dilakukan, TST biasanya digunakan sebagai alat

imunodiagnostik, namun tes ini tidak spesifik dikarenakan adanya reaksi silang dari

bakteri non-tuberkulosis atau vaksinasi Bacillus Calmette-Guerin (BCG). Tes IGRA

telah muncul sebagai alternatif yang lebih spesifik dibandingkan TST untuk
mendeteksi infeksi tuberkulosis, karena tes ini tidak terganggu oleh adanya vaksinasi
27
BCG yang pernah dilakukan sebelumnya. Namun kemampuan TST maupun IGRA

saja tidak cukup untuk mendiagnosis infeksi tuberkulosis aktif. Oleh karena itu, pada

pasien anak dengan suspek infeksi tuberkulosis aktif, setiap usaha harus dilakukan

untuk mendapatkan spesimen klinis yang tepat untuk tes molekuler dan

mikrobiologis, dan tes IGRA harus digunakan dengan data klinis lainnya, seperti hasil

tes TST, temuan radiograf toraks, dan riwayat kontak dengan pasien untuk
28
mendukung diagnosis tuberkulosis aktif.

Kesulitan dalam diagnosis seringkali dikarenakan tuberkulosis pada masa

kanak-kanak, tidak seperti penyakit lainnya pada orang dewasa adalah bahwa

tuberkulosis pada anak biasanya bersifat asimptomatik atau dapat muncul dengan

gejala yang tidak mengacu pada tuberkulosis. Gejala klasik seperti demam, anoreksia,

malaise, penurunan berat badan, batuk, proses meludah, dan hemoptisis jarang
29
dijumpai. Beberapa faktor yang menyembabkan terlambatnya diagnosis tuberkulosis

pada anak adalah karena dokter gigi tidak waspada terhadap kemungkinan tersebut,

kegagalan dalam melakukan anamnesis mengenai riwayat kontak dari anggota

keluarga, gejala yang tidak spesifik, tidak adanya tes diagnostik yang sederhana dan

definitive untuk mendiagnosa tuberkulosis pada anak, dan kurangnya kerjasama


30
antara dokter gigi dan dokter anak.

Pada kasus ini, perawatan pasien dilakukan secara farmakologis dengan

peresepan obat antituberculosis dalam dua fase. Pada fase pertama, pasien diresepkan

isoniazid 150 mg, rifampin 300 mg, pyrazinamide 750 mg, dan ethambutol 400 mg
setiap hari selama dua bulan. Fase kedua perawatan terdiri dari isoniazid 150 mg dan

rifampin 300 mg setiap hari selama empat bulan. Lesi hampir hilang dalam waktu

tiga minggu sejak dimulainya perawatan. Terapi pada kasus ini dapat dikatakan

berhasil karena lesi sembuh dalam tiga minggu.

Sumber lainnya menyebutkan bahwa perawatan tuberkulosis oral sama

dengan tuberkulosis sistemik. Untuk saat ini, regimen obat yang paling efektif

memerlukan kombinasi dari empat obat yaitu isoniazid, rifampicin, pyrazinamide,

dan ethambutol yang diadministasikan setiap hari selama dua bulan pertama,

kemudian dilanjutkan dengan empat bulan selanjutnya dengan dua obat saja yaitu
12
isoniazid dan rifampicin. Hal ini selaras dengan perawatan yang diterima oleh

pasien pada kasus ini.

Kontrol tuberkulosis sulit dikarenakan dua faktor primer, yaitu persistensi dan

resistensi. Meskipun sekarang sudah tersedia antibiotik, bakteri M.tuberculosis sangat

persisten, karena bakteri ini menyebabkan inflamasi kronis yang membuat bakteri ini
31
tersembunyi di dalam jaringan sehingga terhindar dari eksposur obat. Oleh karena

itu, perawatan dengan obat-obatan harus diperpanjang untuk menghancurkan bakteri

secara keseluruan dan mencegah terjadinya relaps.

Resistensi obat terjadi akibat mutasi genetik yang menyebabkan hilangnya

kepekaan terhadap obat-obatan. Meskipun resistensi terhadap satu obat tidak

membuat perawatan menjadi tidak efektif, namun strain multidrug-resistant membuat


tuberkulosis menjadi lebih sulit dan mahal untuk diobati. 31 Oleh karena itu,
32
dibutuhkan obat baru yang lebih efektif untuk meningkatkan kontrol tuberkulosis.
BAB V

KESIMPULAN

Dokter gigi anak menjadi tujuan rujukan atas setiap lesi yang mempengaruhi

mukosa oral pada anak-anak. Masalah utama diagnosis tuberkulosis pada anak adalah

dokter gigi sangat memikirkan kemungkinan diagnosis ini pada pasien anak. Dengan

tidak adanya faktor-faktor yang mendukung pencetusan diagnosis tuberkulosis,

diagnosis dan perawatan yang sesuai sering kali menjadi terlambat. Dokter gigi harus

sadar bahwa sangat jarang sebuah lesi dapat muncul dalam rongga mulut apabila

tidak disertai dengan gejala penyakit sistemik tertentu. Penting untuk

mempertimbangkan tuberkulosis sebagai diagnosis banding lesi oral non spesifik

yang persisten. Identifikasi dental terhadap lesi yang demikian dapat membantu

penegakan diagnosis tuberkulosis.

Lebih lanjut, perlu diketahui bahwa tuberkulosis adalah penyakit yang

menular. Dokter gigi wajib menjaga program control infeksi yang efektif di klinik

gigi. Penggunaan peralatan perlindungan pribadi dan universal harus dilakukan.


DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization. Global Tuberculosis Report 2016. Geneva; 2016.

2. World Health Organization. Global Tuberculosis Report 2018. Geneva; 2018.

3. FROST WH. THE AGE SELECTION OF MORTALITY FROM TUBERCULOSIS

IN SUCCESSIVE DECADES1. Am J Epidemiol. 1995 Jan 1;141(1):4–9.

4. Karande S, Gupta V, Kulkarni M, Joshi A. Prognostic clinical variables in childhood

tuberculous meningitis: An experience from Mumbai, India. Neurol India.

2005;53(2):191.

5. van Toorn R, Springer P, Laubscher JA, Schoeman JF. Value of different staging

systems for predicting neurological outcome in childhood tuberculous meningitis.

The International Journal of Tuberculosis and Lung Disease. 2012 May 1;16(5):628–

32.

6. Sharma SK, Mohan A, Sharma A, Mitra DK. Miliary tuberculosis: new insights into

an old disease. Lancet Infect Dis. 2005 Jul;5(7):415–30.

7. Prabhu SR, Wilson DF. Oral diseases in the tropics. New Delhi: Oxford University

Press; 1993.

8. Shinde SB, Sheikh NN, Nayak A, Sr A, Ka K, Sande A. Prevalence of tongue lesions

in western population of Maharashtra. International Journal of Applied Dental

Sciences [Internet]. 2017;3(3):104–8. Available from: www.oraljournal.com

9. Aoun N, El-Hajj G, El Toum S. Oral ulcer: an uncommon site in primary

tuberculosis. Aust Dent J. 2015 Mar;60(1):119–22.


10. Eng HL, Lu SY, Yang CH, Chen WJ, Jaconson J, Van Dis M. Oral tuberculosis. Oral

Surgery, Oral Medicine, Oral Pathology, Oral Radiology, and Endodontology. 1996

Apr;81(4):415–20.

11. Pekiner FN, Erseven G, Borahan MO, Gümrü B. Natural barrier in primary

tuberculosis inoculation: oral mucous membrane. Int J Tuberc Lung Dis. 2006

Dec;10(12):1418.

12. Sierra C, Fortún J, Barros C, Melcon E, Condes E, Cobo J, et al. Extra-laryngeal head

and neck tuberculosis. Clinical Microbiology and Infection. 2000 Dec;6(12):644–8.

13. Jain P. Oral Manifestations of Tuberculosis: Step towards Early Diagnosis.

JOURNAL OF CLINICAL AND DIAGNOSTIC RESEARCH. 2014;

14. Bloom BR, Atun R, Cohen T, Dye C, Fraser H, Gomez GB, et al. Tuberculosis. In:

Disease Control Priorities, Third Edition (Volume 6): Major Infectious Diseases. The

World Bank; 2017. p. 233–313.

15. Sharma S, Bajpai J, Pathak PK, Pradhan A, Singh P, Kant S. Oral tuberculosis -

Current concepts. J Family Med Prim Care. 2019 Apr;8(4):1308–12.

16. Kakisi OK, Kechagia AS, Kakisis IK, Rafailidis PI, Falagas ME. Tuberculosis of the

oral cavity: a systematic review. Eur J Oral Sci. 2010 Apr 11;118(2):103–9.

17. Ju W tong, Fu Y, Liu Y, Tan Y ran, Dong M jun, Wang L zhen, et al. Clinical and

pathologic analyses of tuberculosis in the oral cavity: report of 11 cases. Oral Surg

Oral Med Oral Pathol Oral Radiol. 2018 Jan;125(1):44–51.

18. Verma S, Mohan RPS, Singh U, Agarwal N. Primary oral tuberculosis. Case Reports.

2013 Aug 1;2013(jul31 2):bcr2013010276–bcr2013010276.


19. Dogra SS, Chander B, Krishna M. Tuberculosis of Oral Cavity: A Series of One

Primary and Three Secondary Cases. Indian Journal of Otolaryngology and Head &

Neck Surgery. 2013 Jul 22;65(3):275–9.

20. Kumar V, Singh AP, Meher R, Raj A. Primary Tuberculosis of Oral Cavity: A Rare

Entity Revisited. The Indian Journal of Pediatrics. 2011 Mar 10;78(3):354–6.

21. Ebenezer J, Samuel R, Mathew G, Koshy S, Chacko R, Jesudason M. Primary oral

tuberculosis : Report of two cases. Indian Journal of Dental Research. 2006;17(1):41.

22. Sharma CGD, Pradeep AR, Karthikeyan BV. Tuberculosis Clinically Presenting as

Gingival Enlargement: A Case Report. Journal of Contemporary Dental Practice.

2006;7(5):108–14.

23. Prasad P, Bhardwaj M. Primary Tuberculosis of Tonsils: A Case Report. Case Rep

Med. 2012;2012:1–3.

24. Namdev R, Jain M, Jindal A, Bodh M. Tuberculosis of the Cheek: A Rare

Presentation. Journal of Clinical Pediatric Dentistry. 2015 Sep 1;39(5):475–80.

25. Birkent H, Karahatay S, Akcam T, Durmaz A, Ongoru O. Primary parotid

tuberculosis mimicking parotid neoplasm: a case report. J Med Case Rep. 2008 Dec

26;2(1):62.

26. Kapoor S, Singh I, Gandhi S, Gandhi N. Oral manifestations of tuberculosis.

CHRISMED Journal of Health and Research. 2014;1(1):11.

27. Li G, Li F, Zhao HM, Wen HL, Li HC, Li CL, et al. Evaluation of a New IFN-γ

Release Assay for Rapid Diagnosis of Active Tuberculosis in a High-Incidence

Setting. Front Cell Infect Microbiol. 2017 Apr 11;7.


28. Pai M, Denkinger CM, Kik S V., Rangaka MX, Zwerling A, Oxlade O, et al. Gamma

Interferon Release Assays for Detection of Mycobacterium tuberculosis Infection.

Clin Microbiol Rev. 2014 Jan;27(1):3–20.

29. Shah A, Agarwal AK. Diagnostic problems in childhood tuberculosis. Indian Journal

of Tuberculosis. 1997;44:47–9.

30. Gudekar D, Rajpal D, Regmi S, Roy S. Time to diagnosis of tuberculosis and

associated factors in children below 15 years of age registered as new TB cases under

Revised National Tuberculosis Control Program (RNTCP) in Pune city. Int J Health

Sci Res. 2015;5(12):317–25.

31. Sacchettini JC, Rubin EJ, Freundlich JS. Drugs versus bugs: in pursuit of the

persistent predator Mycobacterium tuberculosis. Nat Rev Microbiol. 2008

Jan;6(1):41–52.

32. Spigelman MK. New Tuberculosis Therapeutics: A Growing Pipeline. J Infect Dis.

2007 Jul;196(s1):S28–34.

33. Targeted tuberculin testing and treatment of latent tuberculosis infection. American

Thoracic Society. MMWR Recomm Rep 2000;49:1–51.

34. Marvellini, R. Y., & Izaak, R. P. (2021). Gambaran radiografi foto thorax penderita

tuberculosis pada usia produktif di RSUD Pasar Minggu (Periode Juli 2016 sampai Juli

2017). Jurnal Kedokteran, IX(1), 1219–1223.

35. Astutik, E., Wahyuni, C. U., Manurung, I. F. E., & Ssekalembe, G. (2021). Integrated model

of a family approach and local support in tuberculosis case finding efforts in people with

HIV/AIDS. Kesmas: National Public Health Journal, 16(4), 250–256.


https://doi.org/10.21109/kesmas.v16i4.4955

Anda mungkin juga menyukai