Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN KASUS

ABSES SUBMANDIBULA

Diajukan untuk memenuhi syarat dalam melengkapi


Program Internsip Dokter Gigi

Oleh :
drg. Maula Diba Rizki

Pembimbing :
drg. Fadhilla Putri Afiandi

RSU Universitas Andalas


2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan ”Abses
Mandibula” untuk memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan program
internsip dokter gigi.
Dalam penulisan laporan kasus ini penulis menyadari, bahwa semua
proses yang telah dilalui tidak lepas dari bimbingan drg. Fadhilla Putri Afiandi
selaku dokter gigi pendamping, bantuan, dan dorongan yang telah diberikan
berbagai pihak lainnya. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang telah membantu.
Penulis juga menyadari bahwa laporan kasus ini belum sempurna
sebagaimana mestinya, baik dari segi ilmiah maupun dari segi tata bahasanya,
karena itu kritik dan saran sangat penulis harapkan dari pembaca.
Akhir kata penulis mengharapkan Allah SWT melimpahkan berkah-Nya
kepada kita semua dan semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat serta dapat
memberikan sumbangan pemikiran yang berguna bagi semua pihak yang
memerlukan.

Penulis
PROGRAM INTERNSIP DOKTER GIGI

HALAMAN PENGESAHAN

Telah didiskusikan laporan yang berjudul “Abses Submandibula” guna


melengkapi persyaratan Program Internsip Dokter Gigi

Padang, 26 April 2023

Menyetujui,
Dokter Gigi Pendamping

(drg. Fadhilla Putri Afiandi)


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Abses di ruang submandibula adalah salah satu abses leher dalam yang sering
ditemukan. Ruang submandibula merupakan suatu ruang potensial pada leher
yang terdiri dari ruang sublingual dan submaksila yang dipisahkan oleh otot

milohioid. Selain disebabkan oleh infeksi gigi, infeksi di ruang submandibula


bisa disebabkan oleh sialadenitis kelenjar submandibula, limfadenitis, trauma
atau pembedahan dan bisa juga sebagai kelanjutan infeksi ruang leher dalam
lain. Penyebab infeksi dapat disebabkan oleh kuman aerob, anaerob atau
campuran. Infeksi di ruang submandibula biasanya ditandai dengan
pembengkakan di bawah rahang, baik unilateral atau bilateral.

Abses leher dalam didefinisikan sebagai kumpulan nanah setempat yang


terbentuk dalam ruang potensial diantara fasia leher dalam akibat dari
kerusakan jaringan yang merupakan penjalaran infeksi dari berbagai sumber,
seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah dan leher. Pada
saat ini infeksi tonsil merupakan penyebab utama pada anak-anak, sedangkan
pada orang dewasa infeksi terutama bersumber dari gigi atau odontogenik.

Dalam beberapa abad terakhir, diagnosis dan pengobatan infeksi leher dalam
merupakan suatu tantangan baik bagi dokter maupun ahli bedah. Disamping
struktur yang kompleks dan lokasi yang dalam pada region leher,
menyebabkan diagnosis dan pengobatan cukup sulit. Infeksi ini merupakan

masalah kesehatan dengan morbiditas dan mortalitas yang cukup signifikan.


Meskipun penggunaan antibiotik telah menurunkan angka kematian akibat
abses leher dalam namun abses leher dalam masih merupakan masalah yang
serius dan menimbulkan komplikasi yang dapat mengancam nyawa.
BAB 2
LAPORAN KASUS

Seorang laki-laki berusia 21 tahun datang ke Poli Gigi RS Universitas


Andalas dengan keluhan nyeri bengkak pada pipi kirinya. Pasien mengatakan
bahwa pipinya semakin membengkak dalam waktu 1 minggu sehingga pasien
kesulitan dalam makan dan bernafas . Pemeriksaan ekstra oral wajah asimetris.
Pemeriksaan intra oral, fluktuasi (+)

Identitas Pasien
Nama : Megi Prasetio
Umur : 21tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Suku / Ras : -
Agama : Islam
Pekerjaan : Tidak Bekerja
Status : Belum Kawin
Alamat Rumah : Koto Tangah

Anamnesis
1. Keluhan Utama
Pasien datang ke Poli Gigi RS Universitas Andalas dengan keluhan nyeri
bengkak pada pipi kirinya. Pasien mengatakan bahwa pipinya semakin
membengkak dalam waktu 1 minggu sehingga pasien kesulitan dalam makan dan
bernafas . Pemeriksaan ekstra oral wajah asimetris. Pemeriksaan intra oral,
fluktuasi (+)
2. Riwayat Penyakit Saat Ini
Tidak ada
3. Riwayat Perawatan Gigi dan Mulut
Tidak ada
4. Riwayat Penyakit Sistemik
a. Golongan Darah : Tidak diketahui
b. Penyakit Jantung : Tidak Ada
c. Diabetes : Tidak Ada
d. Kelainan darah : Tidak Ada
e. Hepatitis : Tidak Ada
f. Penyakit Gastrointestinal : Tidak Ada
g. Alergi obat-obatan : Tidak Ada
h. Alergi makanan : Tidak Ada
5. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada
6. Riwayat Sosial
Pasien merokok
7. Pemeriksaan Objektif
a. Kesadaran Umum
Kesadaran : Kompos Mentis
b. Tanda-tanda vital
Tekanan darah : 121/ 76 mmHg
Nadi : 87 x / menit
Suhu : 36,60C
Respirasi : 26x / menit
8. Pemeriksaan Ekstra Oral
a. Kelenjar getah bening
Submandibula : Udem
Submental : Normal
Servikal : Normal
b. TMJ : Normal
c. Wajah : Asimetris
d. Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
e. Sirkum Oral : Normal
f. Bibir : Normal
9. Pemeriksaan Intra Oral
a. Mukosa labial : Normal
b. Frenulum : Normal
c. Lidah : Normal
d. Mukosa bukal : Normal
e. Dasar mulut : Normal
f. Palatum : Normal
g. Gingiva : Normal
h. Jaringan periodontal : Normal
i. Kelenjar saliva : Normal
j. Uvula : Normal
k. Tonsil : Normal

10. Pemeriksaan Penunjang


Ronsen Panoramik
11. Diagnosis
Diagnosis klinis : Abses Submandibula
12. Perawatan : Insisi Abses
13. Prognosis :
Dubia
BAB 3
PEMBAHASAN

3.1 Abses Submandibula

Abses submandibula adalah suatu peradangan yang disertai pembentukan


pus pada daerah submandibula. Keadaan ini merupakan salah satu infeksi pada
leher bagian dalam. Pada umumnya sumber infeksi pada ruang submandibula
berasal dari proses infeksi dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjar limfe
submandibula. Mungkin juga kelanjutan infeksi dari ruang leher dalam lain.Abses
submandibula sudah semakin jarang dijumpai, hal ini disebabkan penggunaan
antibiotik yang luas dan kesehatan mulut yang meningkat.Rana dkk dalam
menimbulkan kematian. penelitiannya menyatakan bahwa diantara abses leher
dalam, abses submandibula merupakan abses leher dalam yang paling sering
terjadi (60%), diikuti oleh abses parafaring (16%), abses parotis (6%) dan abses
retrofaring (4%).

Pada penelitian yang dilakukan oleh Paolo Rizzo ditemukan bahwa


penderita abses submandibula berusia antara 12 sampai 96 tahun dengan rata-rata
usia sekitar 57 tahun. Angka kejadian abses submandibula lebih banyak

1
ditemukan pada laki-laki (51,9%) dibanding perempuan (48,1%). Hal ini sesuai
dengan hasil penelitian secara retrospektif dibagian Rekam Medik RSU Prof. DR.
R. D. Kandaou, Manado, didapati jumlah penderita Abses Submandibula yang
datang di bagian poli bedah, IRD Bedah dan Irna A Rumah Sakit Umum Prof.
DR. R. D. Kandaou Manado, pada periode juni 2009 sampai juli 2012 adalah 39
orang.

Diantara penderita-penderita Abses Submandibula didapatkan bahwa


mayoritas penderita abses Submandibula adalah pria dengan presentasi 53%
dibandingkan dengan wanita yang hanya mencapai 43%. Selain pada pria
presentasi penderita Abses Submandibula terbanyak juga terdapat pada kelompok
umur >50 tahun mencapai 33%. Berdasarkan penelitan Abses submandibula ini
didapatkan juga pada anak-anak dengan usia termuda 1 tahun dan yang tertua
pada umur 70 tahun,oleh karena itu tidak ada batasan umur pada abses
submandibula, seperti yang diungkapkan oleh Sakaguchi bahwa Abses
Submandibula dapat ditemui dari umur 1-81 tahun.

2.3 Etiologi

Abses submandibula merupakan salah satu abses odontogenik yang cukup


sering ditemui, khususnya di masa pancaroba saat daya tahan tubuh manusia
relatif menurun sehingga tubuh tidak mampu melawan bakteri Abses ini berasal
dari gigi premolar atau molar rahang bawah.yang meluas ke arah lingual di bawah
m. Mylohyoid.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Paolo Rizzo, penyebab tersering


abses submandibula adalah infeksi pada gigi (46,9%). Selain disebabkan oleh
infeksi gigi, infeksi di ruang submandibula bisa disebabkan oleh sialadenitis
kelenjar submandibula, limfadenitis, trauma, atau pembedahan dan bisa juga
sebagai kelanjutan infeksi ruang leher dalam lain. Penyebab infeksi dapat
disebabkan oleh kuman aerob, anaerob atau campuran.
Sumber infeksi dari abses leher dalam pada orang dewasa dan anak-anakterdapat
perbedaan yaitu pada orang dewasa sumber infeksi biasanya berasal dari gigi dan
kelenjar ludah sedangkan pada anak-anak penyebaran infeksi ke ruang leher
dalam terutama berasal dari infeksi dari daerah tonsil dan faring.

Higiene orodental yang buruk merupakan faktor predisposisi terjadinya


abses submandibula. Faktor predisposisi yang lainnya adalah adanya penyakit
sistemik seperti diabetes melitus dan penyakit imunodefisiensi karena penyakit-
penyakit tersebut yang dapat mempermudah perkembangan bakteri serta
penyebaran infeksi.

Pada penelitan yang dilakukan oleh Rana dkk pada tahun 2009 sampai
dengan tahun 2010 didapatkan penyebab tersering terjadinya abses leher dalam

adalah infeksi yang berasal dari gigi (48%), diikuti oleh infeksi pada tonsil (14%).
Pada era preantibiotik , organisme yang paling sering terisolasi dari leher dalam
abses ruang leher dalam adalah Staphylococcus aureus. Sejak diperkenalkannya
antibiotik , streptokokus aerob dan non-streptokokus anaerob menjadi agen
penyebab infeksi leher dalam, Tetapi kebanyakan infeksi leher dalam bersifat

8
polimikrobial. Organisme penyebab yang paling umum ditemukan dari hasil
kultur adalah Streptokokus viridians, Stafilokokus epidermidis,
Stafilokokus aureus, Streptokokus β hemolitikus, Bacteroides, fusobacterium,
spesies Peptostreptokokus, Neisseria, Klebsiella pneumoniae dan pseudomonas.

Pada abses submandibula yang bersumber dari infeksi gigi, bakteri yang

paling sering ditemukan adalah grup Streptokokus dan bakteri anaerob. Jenis
streptokokus yang paling sering ditemukan pada penderita abses submandibula
yang disebabkan oleh infeksi gigi adalah Streptokokus viridians sedangkan pada
abses submandibula yang tidak disebabkan oleh infeksi gigi, kuman yang paling

sering ditemukan adalah Stafilokokus aureus. Klebsiella pneumoniae merupakan


bakteri aerob gram negatif yang paling banyak ditemukan pada pasien diabetes
melitus.

2.4 Patogenesis

Abses adalah kumpulan pus yang terletak dalam satu kantung yang
terbentuk dalam jaringan yang disebabkan oleh suatu proses infeksi oleh bakteri,
parasit atau benda asing lainnya. Abses merupakan reaksi pertahanan yang
bertujuan mencegah agen-agen infeksi menyebar ke bagian tubuh lainnya. Pus itu
sendiri merupakan suatu kumpulan sel-sel jaringan lokal yang mati, sel-sel darah
putih, organisme penyebab infeksi atau benda- benda asing dan racun yang
dihasilkan oleh organisme dan sel-sel darah.

Bakteri yang masuk kedalam jaringan yang sehat dapat menyebabkan


terjadinya infeksi. Sebagian sel mati dan hancur, meninggalkan rongga yang berisi
jaringan dan se- sel yang terinfeksi. Sel-sel darah putih yang merupakan
pertahanan tubuh dalam melawan infeksi, bergerak kedalam rongga tersebut dan
setelah menelan bakteri maka sel darah putih akan mati. Sel darah putih yang mati
inilah yang membentuk pus dan mengisi rongga tersebut. Adanya penimbunan
pus ini menyebabkan jaringan disekitarnya akan terdorong dan tumbuh di
sekeliling abses menjadi dinding pembatas.

Infeksi ruang leher dalam dapat terjadi melalui beberapa cara yaitu
limfogen, hematogen, perkontinuitatum dan infeksi langsung. Beratnya infeksi
tergantung dari virulensi kuman, daya tahan tubuh dan lokasi anatomi. Ruang
submandibula terletak diantara otot dan kulit milohyoid yang memiliki batas
posterior yang terbuka sehingga berhubungan dengan ruang di dekatnya. Saat
ruang submandibula mengalami infeksi, pembengkakan dimulai pada batas
inferior lateral dari mandibula dan meluas ke medial menuju area digastrikus dan
ke posterior menuju tulang hyoid.

Beberapa penelitian melaporkan bahwa infeksi gigi atau odontogenik


merupakan penyebab terbanyak dari abses submandibula. Infeksi gigi dapat
mengenai pulpa dan periodontal. Penyebaran infeksi dapat meluas melalui
foramen apikal gigi ke daerah sekitarnya. Pada infeksi odontogenik
perkembangan infeksi dapat terjadi antara satu hari sampai tiga minggu. Infeksi
dari submandibula dapat meluas ke ruang mastikator kemudian ke parafaring.
Perluasan infeksi ke parafaring juga dapat langsung dari ruang submandibula.

Selanjutnya infeksi dapat menjalar ke daerah potensial lainnya.


Infeksi yang bersumber dari gigi dapat menyebar melalui jaringan ikat, pembuluh
darah, dan pembuluh limfe. Yang paling sering terjadi adalah perkontinuitatum
karena adanya celah atau ruang diantara jaringan yang berpotensi sebagai tempat
berkumpulnya pus. Perjalanan infeksi pada rahang atas dapat membentuk abses
palatal, abses submukosa, abses gingiva, thrombosis sinus kavernosus, abses
labial, dan abses fasial. Perjalanan infeksi pada rahang bawah dapat membentuk
abses sublingual, submental, abses submandibula, abses submaseter, dan angina
Ludovici. Ujung akar molar kedua dan ketiga terletak di belakang bawah linea
milohioid yang terletak di aspek dalam mandibula, sehingga jika molar kedua atau
ketiga terinfeksi dan membentuk abses, pusnya akan menyebar ke ruang
submandibula dan dapat meluas ke ruang parafaring.

2.5 Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan


pemeriksaan penunjang. Gejala yang paling umum adalah demam, nyeri dan
pembengkakan di bawah rahang pada satu atau kedua sisi yang dirasakan
nyeri. .Lamanya gejala ini bervariasi antara 12 jam sampai 28 hari dengan rata-
rata 5 hari. Gejala lain yang dapat timbul adalah perubahan suara, odinofagia,
disfagia dan trismus. Pasien dapat menjadi dehidrasi karena kurangnya asupan
nutrisi dan cairan.Pada anamnesis perlu ditanyakan riwayat sakit gigi, faktor
predisposisi seperti diabetes melitus, imunodefisiensi, riwayat penyalahgunaan

.
obat dan terapi yang telah diberikan kepada pasien Gejala dapat bervariasi
tergantung dari progresivitas penyakit. Abses leher dalam yang berat dapat
menimbulkan gejala lain yang merupakan manifestasi dari komplikasi abses leher
dalam seperti gangguan jalan napas, syok septik dan mediastinitis.

Dari anamnesa juga ditanyakan adanya riwayat penyakit infeksi lain yang
dapat menjadi sumber infeksi dari abses submandibula diantaranya adalah infeksi
gigi, dasar mulut, faring, kelenjar limfe submandibula, adanya trauma serta

kelanjutan infeksi dari ruang leher dalam lainnya. Adanya faktor predisposisi dari
abses submandibula yaitu higiene orodental yang buruk, diabetes melitus serta
adanya penyakit imunodefisiensi dapat diperoleh juga dari anamnesa.Rana dkk
menyatakan bahwa gejala berupa bengkak dan nyeri merupakan keluhan utama
sebagian besar dari abses leher dalam. Dari 50 pasien abses leher dalam sebanyak
96% pasien mengeluh adanya pembengkakan, sebanyak 92% pasien mengeluh
nyeri dan 66% pasien mengeluh demam.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Paolo Rizzo pada tahun 1998-
2006 di Rumah Sakit Treviso, Italia, gejala klinis yang sering terjadi pada pasien
dengan abses submandibula adalah prmbengkakan pada leher (98,8%) dan sulit
menelan (35,8%). Gejala lain yang sering ditemukan adalah 23,5% pasien
mengeluh demam, 24,7% mengeluh nyeri dan 17,3% pasien mengeluh adanya
trismus.

Pada pemeriksaan fisik infeksi di ruang submandibula biasanya ditandai


dengan pembengkakan di bawah rahang, baik unilateral atau bilateral yang nyeri
tekan, hiperemi dan berfluktuasi. Pembengkakan di bawah rahang dapat juga
disertai dengan pembengkakan di bawah lidah serta adanya trismus.Terdapat

adanya pus pada aspirasi yang dilakukan di tempat pembengkakan tersebut. Pada
pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan lekositosis. Pemeriksaan lekosit
secara serial merupakan cara yang baik untuk menilai respons terapi.
Pemeriksaan glukosa darah diperlukan untuk mencari faktor predisposisi.
Pemeriksaan elektrolit darah diperlukan untuk menilai keseimbangan elektrolit

yang mungkin terjadi akibat gangguan asupan cairan dan nutrisi. Pada abses leher
dalam harus dilakukan pemeriksaan kultur bakteri dan uji sensitivitas terhadap

antibiotika. Aspirasi pus untuk kultur dan uji sensitivitas harus dilakukan sebelum

pemberian antibiotika secara empiris. Sedapat mungkin dilakukan kultur aerob


dan anaerob. Pus dari aspirasi akan memberikan hasil kultur yang paling akurat.
Hasil kultur yang negatif dapat memberi kesan bahwa penyebab abses leher dalam

adalah infeksi oleh bakteri anaerob.

Foto panoramik digunakan untuk menilai posisi gigi dan adanya abses
pada gigi. Pemeriksaan ini dilakukan terutama pada kasus abses leher dalam yang

diduga sumber infeksinya berasal dari gigi. Pemeriksaan foto polos jaringan lunak
leher posisi anteroposterior dan lateral dapat digunakan untuk mendiagnosa
adanya proses infeksi di ruang leher dalam dengan adanya udara di daerah
subkutan, adanya pembengkakan, gambaran cairan di daerah jaringan lunak serta

adanya penyempitan di saluran nafas akibat pendorongan trakea. Pemeriksaan


foto polos dada dilakukan untuk mengetahui adanya komplikasi dengan
didapatkannya gambaran pneumotoraks serta pneumomediastinum yang

merupakan indikator pembentukan abses yang berasal dari leher dalam. Jika hasil
pemeriksaan foto polos jaringan lunak menunjukkan kecurigaan abses leher
dalam, maka idealnya dilakukan pemeriksaan Computed Tomography scan atau
CT scan dengan kontras yang merupakan standar untuk evaluasi infeksi leher
dalam. Pemeriksaan ini dapat menentukan lokasi dan perluasan abses, adanya
pelebaran mediastinum akibat mediastinitis, adanya edema paru serta

pneumomediastinum akibat komplikasi. Pada CT scan dengan kontras akan


terlihat abses berupa daerah hipodens yang berkapsul, dapat disertai udara di
dalamnya, dan edema jaringan sekitarnya. CT scan memiliki sensitifitas 90% dan
spesifisitas 60%.Pemeriksaan penunjang lainnya adalah Magnetic Resonance
Imaging atau MRI yang dapat mengetahui lokasi abses, perluasan dan sumber
infeksi, sedangkan Ultrasonografi atau USG adalah pemeriksaan penunjang
diagnostik yang tidak invasif dan relatif lebih murah dibandingkan CT scan serta
dapat menilai lokasi dan perluasan abses.

2.6 Diagnosis Banding

Diagnosis banding dari abses submandibula adalah limfadenitis, abses


submaseter, abses bukal, sialodenitis dan neoplasma di daerah leher.

2.7 Penatalaksanaan

Penilaian keadaan umum pasien penting dalam penatalaksanaan abses


leher dalam. Prioritas utama adalah stabilisasi jalan napas, pernafasan dan
sirkulasi. Karena abses leher dalam memiliki potensi untuk mengancam nyawa
maka pasien harus dirawat di rumah sakit. Penatalaksanaan abses submandibula
dapat dilakukan dengan memberikan terapi antibiotik yang adekuat dan drainase
abses.Drainase abses dapat dilakukan dengan aspirasi abses yang kemudian
dilanjutkan dengan insisi dan eksplorasi, tergantung pada luasnya abses dan

komplikasi yang ditimbulkannya. Evakuasi abses dapat dilakukan dengan anestesi

lokal maupun dengan anestesi umum. Insisi abses submandibula untuk drainase
dibuat pada tempat yang paling berfluktuasi atau setinggi os hyoid, tergantung
letak dan luas abses. Insisi tersebut sedapat mungkin sejajar dengan garis lipatan
kulit alamiah menembus jaringan subkutan, muskulus platisma sampai ke fasia
servikal profunda. Diseseksi tumpul dengan hemostat dilakukan sampai ke dalam
rongga abses dan kemudian dilakukan drainase abses. Setelah itu rongga abses

diirigasi dengan larutan garam fisiologis dan dipasang drain. Perlu diperhatikan,
dalam 4 sampai 8 jam pertama sebaiknya dilakukan observasi dan
penatalaksanaan awal dengan pemberian antibiotik intravena dan hidrasi. Hal ini
dilakukan sambil mengawasi perkembangan keadaan pasien jika diperlukan
sebaiknya dilakukan drainase. Perkembangan gejala yang menunjukkan perlunya
dilakukan drainase adalah apabila terjadi demam persisten, nyeri, bengkak dan
peningkatan WBC (white blood cell). Indikasi lainnya untuk dilakukan drainase
meliputi potensi kompromi jalan napas, kondisi kritis karena komplikasi atau
septikemia, dan melibatkan beberapa ruang. Drainase dapat dilakukan melalui
berbagai pendekatan termasuk drainase transoral, dan aspirasi jarum. Setelah
mengakses rongga , sampel pus atau jaringan debridement harus dikumpulkan

untuk kultur dan sensitivitas . Pilihan antibiotika ini tergantung pada bakteri
penyebabnya yang didasarkan atas hasil kultur dan uji sensitivitas terhadap

antibiotika. Namun demikian antibiotika empiris intravena harus diberikan segera


setelah mengambil spesimen kultur tanpa menunggu hasil kultur tersebut.
Umumnya sebelum didapatkan hasil kultur, pasien diberikan antibiotik intravena

dosis tinggi untuk kuman aerob dan anaerob. Beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam pemilihan antibiotika adalah efektifitas obat terhadap kuman
target, risiko peningkatan resistensi kuman minimal, toksisitas obat rendah,

stabilitas tinggi dan masa kerja yang lebih lama. Bakteri penyebab abses leher
dalam umumnya adalah polimikroba termasuk bakteri aerob dan anaerob. Oleh
karena itu terapi antibiotik empiris yang harus diberikan sebaiknya yang dapat
bekerja pada bakteri aerob dan anaerob. Lebih dari dua pertiga infeksi leher dalam
disebabkan oleh bakteri yang menghasilkan beta laktamase. Antimikroba yang
paling efektif adalah kombinasi dari penisilin dan antibiotik yang resisten
terhadap beta laktamase inhibitor ( amoksisilin / klavulanat, tikarsilin / klavulanat,
piperacillin / Tazobactam ), cefoxitin, carbapenem, atau klindamisin .Pemberian
makrolid atau ketolides ditambah metronidazol dapat dipertimbangkan pada

pasien yang alergi amoksisilin. Pada penelitian yang dilakukan oleh Shih-Wei
Yang dkk pada tahun 2001 sampai dengan tahun 2006 mengenai cakupan
spektrum kerja antimikroba yang berbeda pada hasil kultur bakteri aerob dan
anaerob dari 89 pasien dengan hasil kultur positif, didapatkan kombinasi dari
seftriakson dan klindamisin, seftriakson dan metronidazol, atau penisilin G dan
gentamisin dan klindamisin merupakan terapi antibiotika yang disarankan untuk
penatalaksanaan abses leher dalam.

2.8 Komplikasi

Komplikasi abses submandibula terjadi akibat keterlambatan diagnosis dan


penatalaksanaan serta terapi yang tidak tepat dan adekuat. Komplikasi yang dapat
terjadi adalah obstruksi jalan nafas, osteomielitis mandibula, penyebaran infeksi
ke ruang leher dalam di dekatnya, mediastinitis serta sepsis yang menyebabkan
semakin sulitnya penanganan dan bahkan dapat menyebabkan terjadinya

kematian. Pada era antibiotik modern, telah dilaporkan angka kematian akibat
komplikasi dari abses submandibula mencapai 40%.
Salah satu penyebaran infeksi pada abses submandibula yang dapat terjadi adalah
ke ruang submental. Ruang ini adalah ruang fasia kepala dan leher yang
merupakan ruang potensial terletak antara otot milohioid superior , otot platisma
inferior, terletak digaris tengah bawah dagu . Ruang ini terletak tepat di wilayah
segitiga submental , bagian dari segitiga anterior leher. Abses dari gigi molar
mandibula kedua dan ketiga dapat melubangi mandibula dan menyebar ke dalam
ruang submandibula dan submental.

2.9 Prognosis

Sejak ditemukan antibiotik, kejadian komplikasi terkait dengan abses leher dalam
telah menurun selama dekade terakhir. Diagnosis dini , manajemen agresif dengan
bedah intervensi dan manajemen jalan napas yang tepat dapat mengurangi
komplikasi dan kematian yang terkait dengan abses leher dalam termasuk abses
submandibula. Prognosis yang cukup baik didapatkan pada penelitian yang
dilakukan di Departemen THT-KL RSHS Bandung periode Januari 2012-
Desember 2012 yang memperlihatkan kondisi pasien saat pulang dengan
perbaikan sebanyak 71%.
BAB 4
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Abses Submandibula pada orang dewasa diakibatkan oleh infeksi terutama
bersumber dari gigi atau odontogenic, pada kasus dijelaskan bahwa abses
mandibula pada pasien yang disebabkan oleh nekrosis pulpa pada gigi 36 .
dilakukan insisi drainase dan ektraksi gigi 36 serta tracheotomy dikarenakan abses
submandibula menganggu jalan nafas pada pasien . prognosis baik nyeri post
operasi (-).
DAFTAR PUSTAKA

1. Young DA, Nový BB, Zeller GG, Hale R, Hart TC, Truelove EL. The
American Dental Association Caries Classification System for clinical
practice: a report of the American Dental Association Council on
Scientific Affairs. J Am Dent Assoc. 2015 Feb;146(2):79-86. doi:
10.1016/j.adaj.2014.11.018. Erratum in: J Am Dent Assoc. 2015
Jun ;146(6):364-5. PMID: 25637205.
2. Freedman JA. Contemporary Esthetic Dentistry. United States of America.
Elsevier Mosby 2012.
3. Srivastava K, Tikku T, Khanna R, Sachan K. Risk factors and
management of white spot lesions in orthodontics. J Orthod Sci. 2013
Apr;2(2):43-9. doi: 10.4103/2278-0203.115081. PMID: 24987641;
PMCID: PMC4072374.
4. Kidd E. Essentials of dental caries 3rd ed. Oxford University Press 2005.
5. Leman MA. Class IV direct composite restoration: a case report. PDGI
Makassar. Vol. 1 No. 5 (2012): Vol 1 No 5, Oktober 2012.
DOI: https://doi.org/10.35856/mdj.v1i5.71.
6. Dewiyani S. Restorasi gigi anterior menggunakan teknik direct komposit
(Kajian Pustaka). JITEKGI 2017, 13 (2) : 5-9.
7. Goyal R, Mittal R, Goyal N, Gupta S, Bogra P. Restorative technique for
class IV direct composite restoration. IP Ann Prosthodont Restor Dent
2021;7(1):59-63.
8. Abu-Hussein Muhamad et al.(2019), Restoring Fractured Anterior Tooth
Using Direct Composite Restoration: A Case Report. Global Journal of
Dental Sciences. Volume 1 Issue 1 (January 2019).
9. Nugrohowati CW, Hadriyanto W, Nugraheni T. Direct composite resin
restoration of anterior maxillary teeth and esthetic smile design: A case
report. J Dent Indones. 2020; 27(2):103-108
10. Kidd E, Fejerskov O. Dental Caries, The disease and clinical management
2nd ed. UK Blackwell Munksgard Publisher 2008.
11. Singh, P., Sehgal, P. G.V Black dental caries classification and preparation
technique using optimal CNN-LSTM classifier. Multimed Tools Appl 80,
5255–5272 (2021). https://doi.org/10.1007/s11042-020-09891-6
12. Peyton JH. Treatment of a Class IV Anterior Fracture Conservative direct
composite restoration. Dentistrytoday.com; November 2017.
13. Muhamad, D.A., Azzaldeen, D.A., & Mai, D.A. (2016). Esthetics of Class
IV Restorations with Composite Resins. IOSR Journal of Dental and
Medical Sciences (IOSR-JDMS). Volume 15, Issue 1 Ver. II (Jan. 2016),
PP 61-66.
14. Romero MF, Haddock FJ, Freites AG, Brackett WW, Brackett MG.
Restorative Technique Selection in Class IV Direct Composite
Restorations: A Simplified Method. Oper Dent. 2016 May-Jun;41(3):243-
8. doi: 10.2341/15-158-T. Epub 2016 Feb 26. PMID: 26919082.
15. RAMÍREZ J., 2021: Esthetic Anterior Resin Restorations: To Bevel
Enamel or Not?.-ODOVTOS-Int. J. Dental Sc., 23-1 (January-April): 13-
17.

Anda mungkin juga menyukai