Anda di halaman 1dari 10

Jurnal

Apa yang Menyebabkan Infeksi Berulang pada Kandidiasis Oral?

Azmi M. G. Darwazeh dan Tamer A. Darwazeh


Journal of Mycology
Volume 2014
diterima: 18 September 2014; disetujui: 13 Desember 2014;
dipublikasi: 28 Desember 2014

disusun untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik


SMF Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok

Disadur Oleh:
Diko Valentino Firmana
132011101091

Pembimbing:
dr. Maria Kwarditawati, Sp. THT

SMF ILMU PENYAKIT TELINGA HIDUNG TENGGOROK


RSD DR. SOEBANDI-FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
JEMBER
2017
Infeksi Candida oral klinis (Kandidiasis) adalah salah satu infeksi mukosa
mulut yang umum dan tata laksananya biasanya mengecewakan baik karena
kegagalan dalam pengobatan atau kejadian berulang. Secara historis, kandidiasis
oral telah ditandai sebagai penyakit orang yang sakit. Ketidakberhasilan tata
laksana kandidiasis oral bisa disebabkan oleh diagnosis yang tidak tepat,
kegagalan mengidentifikasi (atau memeriksa) faktor-faktor pengaruh yang
mendasari, atau pemberian resep antifungal yang tidak akurat. Kegagalan dalam
pengobatan secara tepat pada kandidiasis oral akan mengakibatkan persistensi sel
jamur didalam rongga mulut dan juga infeksi yang berulang. Penyedia perawatan
kesehatan mulut hendaknya menyadari kesulitan-kesulitan tersebut agar bisa
berhasil menangani kandidiasis mulut.

1. Pendahuluan
Kolonisasi Candida oral dan kandidiasis belakangan ini telah mendapat
perhatian lebih dari para penyedia perawatan kesehatan dan peneliti, khususnya
setelah muncul infeksi human immunodeficiency virus (HIV) dan pemakaian
secara meluas antibiotik spektrum luas dan terapi imunosupresan. Genus Candida
meliputi lebih dari 150 spesies yang tersebar luas di lingkungan. Telah diketahui
bahwa mayoritas spesies tidak mampu hidup pada suhu tubuh manusia hal ini
menjelaskan mengapa rongga mulut hanya terkolonisasi oleh sejumlah kecil
spesies Candida.
Spesies Candida merupakan bagian dari flora komensal mulut yang tidak
berbahaya dengan jumlah 2-70% dari populasi umum namun bertanggung jawab
dalam menyebabkan infeksi, jika imun inang menurun baik pada level lokal
maupun sistemik. Candida albicans merupakan spesies yang banyak bertanggung
jawab atas kandidiasis oral yang merupakan infeksi jamur paling umum pada
manusia, khususnya pada anak-anak dan orang lanjut usia. Banyak ditemui
kejadian berulang infeksi Candida beberapa saat setelah pemberian terapi
antifungal, yang menimbulkan rasa frustrasi dan kekecewaan baik bagi dokter
maupun pasien. Sebuah studi memperkirakan sekitar 20% pasien kandidiasis oral
mengalami infeksi yang berulang dan sekitar 30% dari kejadian ulangan tersebut,
isolat yang kedua berbeda dengan yang bertanggung jawab pada infeksi pertama.
Hal ini memunculkan pertanyaan tentang apakah “kejadian ulangan” merupakan
infeksi yang kedua atau karena sel-sel Candida yang “persisten”.
Jika infeksi Candida oral superfisial tidak tertangani dengan baik pada
imunosupresi berat, pasien bisa rentan terhadap penyebaran infeksi pada esofagus
atau candidemia sistemik yang berpotensi mematikan. Oleh karena itu, penting
untuk mendiagnosis infeksi Candida oral secara akurat dan menanganinya secara
tepat guna menghindari kejadian berulang atau penyebaran sistemiknya. Makalah
ini membahas berbagai macam alasan yang memudahkan kejadian ulangan atau
kegagalan perawatan kandidiasis oral.

2. “Karier” versus “Infeksi” pada Kandidiasis oral


“Karier Candida” dideskripsikan sebagai isolasi terbatas terhadap spesies
Candida apapun dari rongga mulut seseorang tanpa adanya tanda-tanda klinis dan
gejala-gejala infeksi. Studi epidemiologis telah menunjukkan bahwa spesies
Candida tertentu dapat mengkolonisasi mulut (dan permukaan-permukaan tubuh
lainnya, seperti kulit, vagina, dan mukosa gastrointestinal) manusia. Spesies yang
umumnya terisolasi adalah Candida albicans, C. glabrata, C. tropicalis, dan C.
krusei dan untuk kasus-kasus tertentu C. lusitaniae, C. dubliniensis, C. kefyr, C.
guilliermondii,C. parapsilosis, danC. Lipolytica. Hanya tiga spesies pertama yang
umumnya terlibat pada infeksi mulut. Candida albicans merupakan spesies yang
paling banyak ditemui pada subyek-subyek dan infeksi kesehatan. Genus Candida
merupakan kelompok fungi yang mirip ragi dan sangat heterogen yang mencolok
sekali bedanya dalam hal komposisi genetis, morfologis, dan biokimiawinya. Hal
ini menerangkan perbedaan-perbedaan dalam hal kemampuannya untuk
memunculkan infeksi. Namun demikian, masih belum jelas mengapa hanya
beberapa individu yang menjadi “pembawa” dan dengan jumlah koloni yang
sangat berubah-ubah, meskipun faktanya spesies Candida secara alamiah tersebar
dimana-mana. Demikian pula, apa yang menentukan spesies tertentu tersebut
mengkolonisasi rongga mulut secara preferensial belum dapat dipastikan secara
tepat.
Pelekatan Candida ke mukosa mulut telah lama diketahui sebagai tahapan
penting dalam proses kolonisasi dan infeksi. Proses pelekatan ini bersifat
kompleks dan multifaktor. Fakta bahwa baik Candida maupun permukaan sel-sel
epitel bermuatan negatif bermakna bahwa terdapat gaya yang saling menolak
yang memperlambat pelekatan keduanya. Namun demikian, terdapat gaya-gaya
lain yang saling menarik, seperti gaya Lifshitz-van der Waals, interaksi hidrofobik,
dan gaya pergerakan Brownian. Gabungan gaya-gaya non-spesifik tersebut akan
menentukan apakah pelekatan non-spesifik antara sel-sel jamur dan epitel akan
terbentuk. Setelah gaya-gaya yang saling menolak teratasi, penyatuan sel-sel
Candida ke dalam sel-sel epitel kemudian terbentuk antara “pelekatan” spesifik
pada permukaan sel fungi dan “ligan” pada permukaan sel epitel. Namun
demikian, kemampuan sel-sel Candida untuk menyatu umumnya tergantung pada
konsentrasi dan spesies/strain. Selain itu, beberapa faktor lingkungan, seperti
saliva dan interaksi dengan flora mikroba yang lain, bisa mempengaruhi pelekatan
ini. Perubahan faktor-faktor tersebut diantara para individu sebagian bisa
menentukan siapa yang akan menjadi pembawa Candida. Setelah penyatuan
Candida oral ke dalam mukosa mulut terbentuk, kemudian kolonisasi dan
pertumbuhannya menjadi persistens bagi organisme di permukaan. Selanjutnya,
infeksi klinis akan terjadi ketika sistem imun menurun baik pada level lokal atau
sistemik yang merupakan faktor risiko (faktor yang mempengaruhi) kandidiasis
oral. Meskipun C. Albicans adalah organisme penyebab sebagian besar
kandidiasis mulut, C. Krusei dapat menyebabkan infeksi pada pasien yang
mengalami gangguan imun berat dan C. Glabrata pada pasien yang menerima
radioterapi. Spesies baru, seperti C. dubliniensis and C. inconspicua, telah ditemui
pada pasien yang terinfeksi HIV.
Dalam praktik klinis, ada dua uji yang diperlukan untuk mendiagnosis
kandidiasis oral. Swab mulut yang diperoleh dari lesi biasanya dikultur pada
medium pilihan, misalnya agar Sabouraud, dan diinkubasi secara aerobik selama
kurang lebih 48 jam. Uji ini digabungkan dengan oral smear test dan mikroskopi
langsung setelah pewarnaan. Warna spesies Candida tidak begitu bagus dengan
hematoxylin dan eosin; oleh karena itu, digunakan pewarnaan dengan periodic
acid-Schiff (PAS), pewarna Gridley, atau Gomori methenamine silver (GMS).
Secara klinis, hal ini sangat diterima bahwa menggabungkan adanya tanda-tanda
klinis yang mengarah pada kandidiasis mulut dengan hasil positif swab mulut dan
oral smear test bisa mengkonfirmasi infeksi Candida secara klinis.

3. Faktor-faktor Yang Berhubungan dengan Kejadian Berulang atau


Pertentangan Kandidiasis Mulut
3.1. Kegagalan untuk Mengidentifikasi Faktor-faktor Pengaruh. Transisi Candida
komensal yang tidak berbahaya menjadi organisme patogen bisa berhubungan
dengan sifat keganasan organisme seperti yang terlihat jelas pada C. Albicans.
Namun demikian, secara umum dapat diterima bahwa faktor-faktor penjamu
memiliki makna kritis yang lebih tinggi dalam perkembangan kondisi penyakit.
Secara historis, hal ini ditemukan oleh ahli kedokteran Yunani kuno Hippokrates
(460-370 BC) yang mendeskripsikan kandidiasis oral sebagai “penyakit orang
sakit.”
Sebuah studi telah menunjukkan bahwa sekitar 30% dokter mengakui
bahwa mereka akan meresepkan nystatin untuk sariawan mulut pada bayi sesuai
permintaan staf keperawatan tanpa memeriksa rongga mulut pasien atau
mengidentifikasi faktor-faktor risiko. Jika diagnosis klinis awalnya benar,
kegagalan untuk menemukan faktor-faktor risiko dapat mengakibatkan kejadian
ulangan infeksi. Dalam hal ini, Gibson et.al. melaporkan 10 pasien yang
menderita kandidiasis oral yang berulang atau yang sulit disembuhkan, pada
pasien yang diabetes melitusnya tidak terdiagnosis.
Kandidiasis hiperplastik kronis secara khusus tampak seperti lesi putih
homogen atau berbintik-bintik yang umumnya berada pada mukosa bukal atau
batas lateral lidah. Kandidiasis ini memiliki hubungan yang kuat dengan aktivitas
merokok selain faktor-faktor risiko lain yang telah diketahui dengan baik.
Kesembuhan menyeluruh tampaknya bergantung pada penghentian aktivitas
merokok selain tindakan-tindakan terapi lainnya.
Beberapa pasien bisa memiliki lebih dari satu faktor pengaruh pada saat
yang bersamaan. Oleh karena itu, keseluruhan bagian dari faktor-faktor pengaruh
hendaknya dipertimbangkan dalam pemeriksaan pasien dengan kandidiasis oral.
Malpraktik yang umumnya terjadi adalah setelah faktor pengaruh teridentifikasi,
dokter gigi yang merawat kemungkinan tidak menindaklanjuti faktor-faktor
lainnya yang bisa mengakibatkan perawatan yang tidak memuaskan dan
keberlanjutan infeksi. Namun demikian, beberapa faktor pengaruh masih sulit
untuk dikendalikan, misalnya, infeksi HIV, keganasan, dan penggunaan secara
terus-menerus obat-obatan imunosupresi seperti pada para penerima transplan
organ atau para pasien dengan penyakit autoimun. Perawatan kandidiasis oral
pada situasi-situasi tersebut memerlukan penggunaan agen-agen antifungal
sistemik (fluconazole atau clotrimazole), yang diikuti oleh terapi antifungal
profilaktik.

3.2. Diagnosis yang Salah. Kandidiasis oral kemungkinan terabaikan. Lidah yang
mengalami erithema atropik yang berhubungan dengan nyeri dan sensasi terbakar
(glossitis atropik) bisa menjadi manifestasi hematinik atau defisiensi nutrisi,
seperti vitamin B12, asam folat, atau defisiensi besi, dan kadangkala bisa dirawat
begitu saja. Tanda-tanda dan gejala-gejala tersebut juga memiliki kemungkinan
yang tinggi menjadi lesi yang diakibatkan Candida (misalnya, acute erythematous
kandidiasis). Dalam hal ini, kesembuhan menyeluruh tidak diharapkan tanpa
pelaksanaan terapi antifungi, selain penatalaksanaan kondisi defisiensi.
Di sisi lain, beberapa lesi mulut yang salah terdiagnosis sebagai
kandidiasis mulut tidak akan berhasil dirawat dengan agen-agen antifungi. Kiat-
Amnuay dan Bouquot melaporkan sebuah kasus keratosis friksional mulut pada
bayi yang disusui (breast-feeding keratosis) yang salah terdiagnosis sebagai
sariawan sehingga tidak responsif terhadap terapi antifungi yang berulang-ulang.
Menurut pengalaman penulis, beberapa dokter gigi meresepkan obat-obatan
antifungi oral untuk penatalaksanaan lesi-lesi non-kandidiasis, seperti geographic
tounge atau aphthous stomatitis stomatitis yang berulang.
Faktor Sistemik Faktor Lokal
Defisiensi Hematinik Gigi palsu
Vit B12 Kebersihan mulut yang kurang
Ferritin Xerostomia
Asam Folat Diet tinggi karbohidrat
Obat Imunosupresive Antibiotik spektrum luas
Penyakit Endokrin Trauma
Diabetes mellitus Perokok berat
Hipotiroid
Hipoparatiroid
Radioterapi/kemoterapi
Penurunan status imun. Contoh: HIV
Usia tua, bayi, hamil

3.3. Pengobatan Candida yang tidak tuntas .Pemberantasan menyeluruh Candida


tidak hanya dari lesi, tapi juga dari penampung infeksi merupakan bagian penting
dalam tata laksana. Sebagai contoh, sumber patogen pada cheilitis angular yang
terkait Candida umumnya di dalam mulut. Sehingga, pemberantasan fungi dari
lesi klinis dengan menggunakan agen-agen antifungi pada sudut-sudut mulut saja
merupakan tata laksana yang tidak memadai.
Telah dibuktikan bahwa, stomatitis pada gigi tiruan yang terkait Candida,
permukaan gigi tiruan merupakan penampung infeksi yang sesuai, dimana sel-sel
ragi terperangkap dalam ketidakteraturan material denture-base atau denture-
relining. Oleh karena itu, memberantas ragi dari mukosa palatum yang
membengkak tanpa melakukan disinfeksi gigi tiruan akan mengakibatkan
kejadian infeksi berulang. Dalam hal ini, makanan dan faktor-faktor terkait gigi
tiruan lainnya hendaknya dipertimbangkan, seperti higienitas gigi tiruan yang baik
dan menahan diri untuk tidak menggunakan gigi tiruan sepanjang hari. Kecuali
pasien paham tentang pemakaian dan higienitas gigi tiruan dan kesesuaian yang
tepat dari gigi tiruan terpelihara, stomatitis akan terulang ketika terapi antifungi
dihentikan.

3.4. Edukasi Pada Pasien tentang Terapi Antifungal yang kurang. Nystatin dan
amphotericin B, obat-obatan antifungi polyene yang pertama kali dikembangkan
pada akhir tahun 1950an, masih menjadi andalan untuk perawatan kandidiasis
oral. Agen-agen tersebut disediakan dalam formula-formula yang berbeda, seperti
pastilles, lozenges, suspension, troches, suppositories, dan coated tablets.
Kurangnya instruksi bagi pasien tentang penggunaan obat bisa mengakibatkan
hasil yang kurang optimal. Sebagai contoh, nystatin dan amphotericin B tidak
diserap dari saluran gastrointestinal jika dikonsumsi secara oral, tapi mereka
bertindak secara topikal. Menelan tablet atau pastilles, bukan menghisap atau
melarutkannya di dalam mulut, tidaklah efektif dalam menangani kandidiasis oral.
Obat-obatan antifungi topikal harus digunakan secara rutin dan untuk
waktu berkepanjangan guna memastikan eliminasi menyeluruh fungi dan
penyembuhan penyakit. Secara klinis, ini merupakan aturan yang diterima secara
luas bahwa pasien harus menggunakan nystatin atau amphotericin B topikal dua
kali yang dibutuhkan untuk penyembuhan tanda-tanda klinis infeksi. Karena
intoleransi rasa terhadap nystatin dan amphotericin B dan periode perawatan yang
relatif berkepanjangan, kepatuhan pasien kepada agen-agen antifungi topikal bisa
terganggu. Tidak memberi instruksi kepada pasien tentang durasi perawatan bisa
mengakibatkan penghentian dini terapi dan kejadian ulangan infeksi yang
berikutnya.

3.5. Candida Biofilm. Candida ada didalam rongga mulut dalam dua bentuk yang
berbeda, sebagai sel-sel planktonik yang mengambang (blastopores,
blastoconidia) dan/atau dalam sebuah biofilm yang tertata. Biofilm didefinisikan
sebagai kumpulan mikroba terstruktur yang terikat pada sebuah permukaan dan
dikelilingi oleh matriks ekstraseluler yang dihasilkan sendiri. Biofilm ditemukan
melekat pada jaringan hidup, seperti permukaan-permukaan mukosa atau pada
permukaan-permukaan abiotik, seperti alat-alat medis, kateter intravaskuler, dan
prostesis oral. Umumnya, biofilm permukaan abiotik C. Albicans berhubungan
dengan peningkatan resistensi obat bila dibandingkan dengan sel-sel planktonik.
Toksisitas yang lebih rendah dari antifungi yang digunakan secara klinis, seperti
amphotericin B dan fluconazole, terhadap sel-sel biofilm disebabkan oleh adsorpsi
obat matriks ekstraseluler dan pembentukan sel-sel “persisten”. Dua komponen
matriks ekstraseluler, yaitu β-glucan dan DNA ekstraseluler, meningkatkan
resistensi biofilm terhadap antifungi. Kebiasaan diet bisa mempengaruhi resistensi
fungi dalam biofilm terhadap agen-agen antifungi karena biofilm pada permukaan
akrilik yang dipaparkan pada gula menunjukkan jumlah Candida yang lebih
tinggi, aktivitas fosfolipase, dan peningkatan produksi substansi matriks
ekstraseluler (aktivitas metabolik). Studi in vivo dan ex vivo telah menunjukkan
bahwa sel-sel Candida planktonik menampilkan sensitivitas yang berubah-ubah
terhadap agen-agen antifungi bila dibandingkan dengan sel-sel yang ada dalam
biofilm. Meskipun C. Albicans biasanya rentan terhadap semua antifungi yang
umumnya digunakan ketika diuji secara in vitro, bentuk biofilmnya sangat resisten
terhadap sebagian besar antifungi.
Direkomendasikan untuk menghindari antifungi azole bagi para pasien
yang menderita infeksi ragi mulut berulang karena risiko pemilihan dan
penambahan strain yang resisten dalam biofilm. Sebaliknya, amphotericin
formulasi lipid dan echinocandin secara khusus menampilkan aktivitas melawan
biofilm yang telah matang.
Biofilm kandidiasis orofaring lebih kompleks daripada biofilm pada
permukaan-permukaan abiotik. Lapisan matriks ekstraseluler dari biofilm yang
pertama berisikan flora bakteri komensal dan komponen-komponen inang, seperti
neutrofil dan keratin dari sel-sel epitel yang mengalami desquamasi. Selain itu,
lapisan matriks ekstraseluler berlimpah pada sel-sel di ujung basal biofilm yang
dekat dengan jaringan mukosa dan pada sel-sel yang menyerang ruangan
submukosa; sehingga diperlukan terapi antifungi jangka panjang.

3.6. Resistensi Candida terhadap Antifungi. Belakangan ini terjadi peningkatan


resistensi pada kandidiasis yang disebabkan oleh spesies non-albicans, terutama
C. glabrata dan C. parapsilosis, terutama dikaitkan dengan kemunculan resistensi
setelah penggunaan secara meluas agen-agen antifungi dalam profilaksis dan
terapi. Tipe resistensi yang diperoleh ini telah dilaporkan pada strain C. albicans
yang bertanggung jawab atas infeksi mulut pada pasien yang positif HIV yang
mendapatkan terapi azole yang berulang. Namun demikian, beberapa fungi,
seperti C. Krusei dan C. glabrata, secara genetis resisten terhadap fluconazole,
begitu juga terhadap azole yang lebih modern, seperti itraconazole, sekarang
digunakan untuk infeksi-infeksi karena spesies-spesies tersebut. Kelas gen
antifungi echinocandin belakangan ini telah muncul sebagai satu alternatif pilihan
untuk polyene dan azole. Oleh karena itu, identifikasi yang akurat terhadap
spesies Candida penyebab melalui kultur dan uji-uji sensitivitas penting untuk
pemilihan terapi antifungi yang tepat.

4. Kesimpulan
Mendapatkan riwayat medis yang lengkap dan melaksanakan pemeriksaan
yang sesuai untuk kasus-kasus kandidiasis oral diharuskan guna keberhasilan tata
laksana. Dokter gigi yang merawat hendaknya memiliki pengetahuan yang luas
tentang tindakan dan indikasi-indikasi serta dosis antifungi. Faktor-faktor
pengaruh tertentu lebih sulit diberantas, jika bukan tidak mungkin, yang
memerlukan terapi antifungi profilaktik. Selain itu, pendidikan pasien tentang
penggunaan terapi antifungi juga penting.

Anda mungkin juga menyukai