e-ISSN : 2548-1398
Vol. 7, Special Issue No. 1, Januari 2022
Abstrak
Pendahuluan. Berbagai efek obat yang berlawanan dapat terjadi pada mukosa
rongga mulut, dan hal ini tampak klinis sebagai dareah kemerahan,
hiperkeratinisasi, pigmentasi, ulserasi, vesikula atau bula dari berbagai variasi
intensitas. Kandidiasis oral adalah infeksi oportunistik yang paling lazim yang
menyerang mukosa oral. Pada kebanyakan kasus, lesi disebabkan oleh ragi
C.albicans. Tinjauan kasus. Seorang bapak 39 tahun, tanggal 12 Oktober 2016,
datang ke dokter gigi spesialis Penyakit Mulut dengan keluhan adanya lapisan putih
pada pipi bagian dalam kanan kiri, sejak 1 bulan, terkadang perih, tidak dapat
dibersihkan. Diskusi dari anamnesis diketahui bapak ini perokok berat Sekitar
setahun terakhir sering sakit dan minum antibiotic sendiri. Terakhir menyadari
adanya lapisan putih yang tidak sembuh, menjadikannya sangat khawatir.
Pemeriksaan klinis EO, menandakan adanya keradangan kronis. IO, OH cukup,
kecuali kemerahan pada palatum dan bercak putih pada mukosa bukal kanan kiri
yang cukup luas , tidak dapat dikerok dan perih. Dilakukan pemeriksaan penunjang,
darah lengkap, HIV dan skrabing. Penatalaksanaan dengan antijamur, suportif dan
konseling. Hasil darah lengkap normal, HIV (-) dan kandidiasis oral. Hasil
konseling menjadikan percaya diri, keluhan perih hilang. Kesimpulan. Pemakaian
antibiotika yang tidak adekwat, dengan jangka waktuyang lama mengakibatkan
timbulnya “antibiotika sore mouth”. Dengan penatalaksanaan yang tepat, seminggu
secara klinis, sudah terjadi kesembuhan.
Abstract
Introduction. A variety of adverse drug reaction effect the oral mucosa and these
appear clinically as areas of erythema, hyperkeratosis, pigmentations, ulcerations,
vesicle or bulla formation, of varying intensity. Oral candidiasis is the most
prevalent opportunistic infection affecting the oral mucosa. In the fast majority of
the cases, the lesions are caused by the yeast Candida albicans. Overview of the
case. A young man, by the age of 39, came to Oral Medicinist at October the 12th,
2016 , with a complained of white patches on both of his check, since this last moth,
sometimes pain and didn’t wiped off. Discussion. By the anamnesis was known that
this man is a heavy smoker.Since this last year he feels unhealthy, and always take
antibiotic . The last experience was the white patches that didn’t cured, that made
him very anxiety. The clinical examination showed that there was a chronic
How to cite: Nafi’ah. et al. (2022) Antibiotik Sore Mouth. Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia, 7(1).
E-ISSN: 2548-1398
Published by: Ridwan Institute
Antibiotik Sore Mouth
Pendahuluan
Berbagai efek obat yang berlawanan dapat terjadi pada mukosa rongga mulut, dan
hal ini tampak klinis sebagai daerah kemerahan, hiperkeratinisasi, pigmentasi, ulserasi,
vesikula atau bula dari berbagai intensitas. Biasanya mereka membentuk reaksi yang
lebih umum dengan gambaran lesi pada kulit dan sistemiknya juga tampak (DK, 1999).
Pada umumnya bila mukosa menjadi tebal maka akan menjadi putih. Dengan alas
an ini, bercak putih merupakan organ akhir akibat perbedaan yang luas dari proses
penyakit, antara lain, tumbuh kembang (perkembangan), herediter, infeksi, trauma
(friksi, merokok), penyakit kulit, idiopatik atau lainnya (Wray D, Lowe GDO, Dagg JH,
2003).
Kandidiasis oral adalah infeksi oportunistik yang paling lazim yang menyerang
mukos oral. Pada kebanyakan kasus, lesi disebabkan oleh ragi (yeast) C albicans.
Patogenesisnya belum diketahui dengan pasti, akan tetapi sejumlah factor predisposisi
memiliki kapasitas untuk mengubah Candida dari flora komensal normal (fase saprofit)
ke organism patogenik (fase parasitic). Kebanyakan infeksi Candida hanya menyerang
epitel mukosa berlapis, akan tetapi infeksi sistemik yang jarang, mungkin dapat
mengakibatkan keadaan yang fatal (Greenberg MS and Glick M, 2008).
Dari hasil penelitian pada mukosa mulut tikus Wistar yang dipapar dengan asap
rokok dan diinduksi C albican selama 12 minggu, terjadi peningkatan keratin pada
lapisan epitelnya. Kedua komponen tersebut juga berpengaruh terhadap hyperplasia
dan dysplasia epitel mukosa.
Kemampuan C.albicans untuk dapat menyebabkan terjadinya dysplasia tergantung
pada ketidakseimbangan antara factor virulensi C.albicans dengan pertahananhost
(Syamsulina Revianti, 2016). Candida dapat menghasilkan senyawa karsinogenik,
seperti nitrosamine, N-nitrosobenzylmethylamine. Candida memiliki potensinitrosasi
yang tinggi, ditandai dengan pengendapan precursor seperti nitrosamin, ke lapisan epitel
yang lebih dalam, sehingga dapat menyebabkan perubahan ke arah prakanker. Senyawa
karsinogenik tersebut kemudian dapat berikatan dengan DNA yang menyebabkan
terjadinya kesalahan “coding” dan penyimpangan replikasi DNA, sehingga
menghasilkan pembentukan onkogen dan perkembangan kearah keganasan atau kanker.
Hal ini menunjukkan bahwa C.albicans memainkan peran kunci dalam pengembangan
dysplasia epitel (Syamsulina Revianti, 2016).
Bercak putih merupakan gambaran klinis yang paling utama, oleh karena hal ini
sudah diteliti sejak lebih dari seabad, bahwa karsinoma lebih cenderung timbul pada
bercak putih yang ada sebelumnya.Beberapa bercak putih tidak pra ganas, sedangkan
lainnya memiliki resiko tinggi, yang mengakibatkan deferensiasi mereka sangat penting
(Wray D, Lowe GDO, Dagg JH, 2003) (Laskaris G, 2005), (Langlais, Miller, & Nield-
Gehrig, 2013).
Lesi pra ganas di definisikan sebagai: “perubahan morfologi jaringan, sehingga
kanker lebih suka dapat terjadi, sibandingak dengan pada sisi yang berlawanan”
sedangkan kondisi pra ganas didefinisikan sebagai “keadaan umum yang berhubungan
dengan peningkatan resikokeganasan yang signifikan” Contoh lesi praganas:
leukoplakia, eritroplakia, discoid lupus eritematosus, diskeratosiskongenital, kronik
hiperplasik kandidiasis, lichen planus dan imunosupresi kronik. Contoh kondisi pra
ganas; oral submukous fibrosis, disfagia siderofenik dan sifilis (Wray D, Lowe GDO,
Dagg JH, 2003), (Talley & O’Connor, 2013).
Pada umumnya, dalam rangka untuk mengerti betul secara utuh, sebanyak
mungkin, tentang bercak putih, diperlukan untuk membiopsinya, dalam rangka
menetukan karakter asal lesi, dan untuk mendapatkan derajad dysplasia epitel 2,6,7.
Keparahan di dapatkan berdasarkan gambaran dysplasia epitel secara individual, juga
pada derajat keterlibatan epitel. Displasia ringan terbatas pada sepertiga paling bawah
epitel dan displasis parah mengenai seluruh ketebalan epitel (Wray D, Lowe GDO,
Dagg JH, 2003), (Laskaris G, 2005), (Langlais et al., 2013).
Metode Penelitian
TINJAUAN KASUS
Seorang Bapak perokok berat usia 39 tahun, pada tanggal 12 Oktober 2016,
datang ke Dokter Gigi Spesialis penyakit Mulut dengan keluhan adanya bercak putih
pada keduan pipi bagian dalamnya. Keadaan ini disadari sejak sebulan terakhir,
terkadang perih dan tidak dapat dibersihkan. Dari anamnesis dapat digali kenyataan,
bahwa Bapak ini terbiasa minum antibiotic, bila merasa tidak enak badan, menurut
kemauannya sendiri. Dapat diketahui juga pernah terjadi keradangan pada
genitalnya.Selama bulan September disadari adanya bercak putih pada pipi bagian
dalam. Tidak dapat dibersihkan dan terkadang perih. Dua minggu terakhir tenggorokan
sakit, munum antibiotik lagi, sudah sembuh.
Pada pemeriksaan klinis ditemukan adanya limfadenitis kronis. Oral higienenya
bagus, ada kemerahan pada palatum durum batas difus, terkadang perih. Pada mukosa
bukal bilateral,ada bercak putih, sekitar 3 cm2, batas ada yg jelas ada yang difus,
permukaan tidak halus, tidak dapat dikerok, terkadang perih.
Pasien dikonsulkan untuk pemeriksaan darah lengkap, HIV dan kerokan dorsum
lidah.
Penatalaksanaan yang diberikan, obat anti jamur, suportif dan konseling.
Tgl 13 Oktober datang dengan hasil pemerksaan HIV, ternyata negative. Hasil
kerokan dorsum lidah : oral candidiasis. Dilakukan konseling juga.
Tgl 15 Oktober kontrol dan konseling. Didapatkan cerita bahwa pulang dari
kontrol kemarin, terserang radang pada pipi kanan. Geligi bagus, diduga parotitis. Tidak
minum antibiotic, sudah sembuh sendiri.
Tgl 18 Oktober kontrol lagi, palatum sudah normal, bercak putih pada pipi sudah
sembuh , mukosa normal, tidak ada keluhan perih.
Didukung dengan hasil pemeriksaan laboratories, maka pemberian anti jamur sangat
efektif. Lesi klinis hilang. Bercak putih sembuh.
Kesimpulan
Adanya keradangan yang terjadi pada beberapa bagian tubuh, dengan adanya
pengertian yang tidak memadai tentang penggunaan antibiotika (anti radang) akan
memicu keadaan resistensi bagi mikroorganisme. Ekosistem mikroorganisme rongga
mulut menjadi terganggu, sehingga jamur lebih leluasa berkembang biak.
Dengan factor predisposisi merokok dengan intensitas tinggi dan jangka waktu
lama, memudahkan terjadinya keradangan jamur yang kronis. Jamur C.albicans
merupakan organism komensal rongga mulut yang mempunyai sifat oportunistik
pathogen.
Pemakaian antibiotika dalam jangka waktu lama (lebih dari 3 bulan), dengan dosis
yang tidak terkontrol, disertai paparan komponen karsinogenik dalam asap dan panas
rokok, maka sangat mudah menimbulkan kelainan dalam rongga mulut yang lazim
disebut sebagai “antibiotik sore mouth“.
Dengan penatalaksanaan yang tepat dan cepat, proses kesembuhan dapat terlihat
secara klinis dalam waktu singkat.
BIBLIOGRAFI
DK, Jones JH and Mason. (1999). Oral Manifestation of Systemic Disease. Tokyo. P.
Google Scholar
Scully C. 2008. Oral and Maxillofacial Medicine, The Basis of Diagnosis and
Treatment. Churchill Livingstone Elsevier, Toronto,p.193. Google Scholar
Langlais, Robert P., Miller, Craig S., & Nield-Gehrig, Jill S. (2013). Atlas berwarna lesi
mulut yang sering ditemukan. Jakarta: EGC, 68. Google Scholar
Wray D, Lowe GDO, Dagg JH, Felix DH and Scully C. 2003. (2003). Text Book of
General and Oral Medicine. Churchill Livingstone, Toronto, p. 267–270.
Copyright holder:
Nafi’ah, Isidora Karsini Soewondo, Kharinna Widowati (2022)