Anda di halaman 1dari 4

Serupa tapi tak sama, Konstitusi dan Undang-Undang Dasar

Istilah kata konstitusi muncul pertama kali dalam bahasa Prancis yakni “constituer”,
yang berarti menetapkan atau membentuk. Pemakaian istilah konstitusi diartikan sebagai
pembentukan suatu negara atau menyusun dan menyatakan suatu negara telah berdiri.
(Projodikoro, 1989: 10). Pengertian serupa disampaikan dalam bahasa latin, konstitusi
merupakan gabungan dari dua kata, yaitu “cume” dan “statuere”. Cume merupakan sebuah
preposisi yang berarti “bersama dengan”, sedangkan Statuere berasal dari kata sta
kemudian membentuk kata kerja pokok stare yang berarti berdiri. Dari kata stare inilah, kata
statuere mempunyai arti “membuat sesuatu agar berdiri atau mendirikan/menetapkan”.
Dengan demikian, bentuk tunggal (constitutio) berarti menetapkan sesuatu secara bersama-
sama dan bentuk jamak (constitutiones) berarti segala sesuatu ditetapkan (Soetoprawiro,
1987: 28-29). Dalam literatur bahasa inggris, istilah konstitusi disebut sebagai “Constitution”
memiliki arti yang lebih luas dari pada Undang-Undang Dasar secara praktinya, tetapi ada
pula yang memberikan penyamaan antara konstitusi dengan Undang-Undang Dasar.

Undang-Undang Dasar sendiri berasal dari bahasa Belanda yaitu “Gronwet”. Kata
wet yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti “undang-undang”, sedangkan kata
grond memiliki arti “tanah/dasar” (Thaib, dkk, 2015: 6-7). Secara pendefinisian, Undang-
Undang Dasar dapat diartikan sebagai acuan dasar mengenai peraturan negara dan sebagai
sebuah landasan hukum bagi suatu negara. Undang-Undang Dasar sebagai landasan hukum,
dibentuk untuk mengatur seluruh aktivitas sebuah negara sehingga seluruh warga negara
yang berada di dalamnya wajib mematuhi undang-undang dasar yang berlaku (Fai, 2023).
Undang-Undang Dasar juga berfungsi untuk menentukan cara-cara bagaimana pusat-pusat
kekuasaan dapat bekerja sama satu sama lain serta merekam hubungan-hubungan
kekuasaan dalam suatu negara.

Melihat kedua pengertian di atas, antara konstitusi dan Undang-Undang Dasar maka
tidak salah apabila Sri Soemantri dalam disertasinya mengatakan bahwa konstitusi dan
undang-undang dasar adalah sama. Penyamaan keduanya bukanlah tanpa alasan, sebab hal
ini sesuai dengan praktik ketatanegaraan yang dijalankan di sebagian besar negara-negara
dunia termasuk di Indonesia (Soemantri, 1987: 1). Penyamaan pengertian antara konstitusi
dengan Undang-Undang Dasar sudah lama dimulai, sejak Oliver Cromwell (Lord protector
Republik Inggris 1649-1660) yang menamakan Undang-Undang Dasar itu sebagai Instrument
of Government, yaitu bahwa Undang-Undang Dasar dibuat sebagai pegangan negara untuk
memerintah atau menjalankan praktik ketatanegaraan dan disinilah timbul identifikasi dari
pengertian Konstitusi dan Undang-Undang Dasar (Thaib, dkk, 2015: 8).

Adapun tokoh penganut paham yang secara tegas menyamakan pengertian


konstitusi dengan Undang-Undang Dasar adalah C.F Strong dan James Bryce. Pendapat
James Bryce yang dikutip oleh C.F Strong dalam buknya: Modern Political Constitutions
menyatakan bahwa konstitusi merupakan “suatu kerangka masyarakat politik, dapat
diorganisir melalui dan berdasarkan undang-undang apabila hukum telah membentuk
lembaga-lembaga permanen yang mempunyai fungsi-fungsi dan hak-hak yang pasti diakui”
(Strong, 1966: 11). Strong mengartikan konstitusi dalam konteks negara yang
diorganisasikan melalui aturan hukum dapat menetapkan 3 hal: pertama, pengaturan
mengenai pendirian lembag-lembaga. Kedua, fungsi dari alat-alat kelengkapan negara, dan
terakhir adalah hak-hak tertentu tang telah ditetapkan. Kemudian, Strong menambahkan
bahwa kontitusi dapat juga diartikan sebagai sekumpulan asas yang menyelenggarakan
kekuasaan pemerintahan (dalam arti luas), hak-hak yang diperintah, dan hubungan antara
pemerintah dan yang diperintah (Thaib, dkk, 2015: 11).

Menurut E.C.S Wade dalam bukunya Constitutional Law, ikut memberikan


pengertian tentang Undang-undang Dasar yakni, naskah yang memaparkan rangka dan
tugas-tugas pokok dari badan-badan pemerintah suatu negara dan menentukan pokok-
pokok cara kerja badan-badan tersebut. Dari pengertian yang disampaikan oleh Wade, pada
pokoknya dasar setiap sistem pemerintahan diatur dalam suatu Undang-Udang Dasar
(Wade & Philips, 1965). Bagi mereka yang memandang negara dari sudut kekuasaan dan
menganggapnya sebagai organisai kekuasaan, maka Undang-Undang Dasar dapat diartikan
sebagai lemabaga atau kumpulan asas yang menetapkan bagaimana kekuasaan dibagi
kedalam beberapa lemabaga kenegaraan, seperti konsep Trias Politica.

Pendapat berbeda kemudian disampaikan oleh Herman Heller yang menyimpulkan


bahwa pemberian pengertian Undang-Undang Dasar harus dihubungkan pula dengan
pengertian konstitusi, sehingga Undang-Undang Dasar dapat diartikan sebagai bagian dari
pengertian konstitusi atau konstitsui tertulis saja. Meskipun demikian, pengertian konstitusi
tidak hanya bersifat yuridis saja, melainkan memiliki arti logis dan politis. Dari sudut
pandang sosiologis dan politis, Lassalle meyakini bahwa konstitusi sebenarnya mengandung
pengertian yang lebih luas dari sekedar Undang-Undang Dasar saja. Namun dalam
pengertian yuridis, Lassalle juga setuju dengan pemahaman kodifikasi yang menyamakan
konstiitusi dengan Undang-Undang Dasar (Busroh & Busroh, 1991: 73).

Dalam dunia politik, pengertian konstitusi paling tidak harus memnuhi dua
pengertian, sebagaimana yang dikemukakan oleh K.C Wheare dalam bukunya Modern
Constitutions: Pertama, dipergunakan dalam arti luas sebagai sistem pemerintahan dari
suatu negara dan merupakan himpunan peraturan yang mendasari serta mengatur
pemerintahan dalam menyelenggarakan tugas-tugasnya. Kedua, dalam pengertian yang
lebih sempit diartikan sebagai sekumpulan peraturan yang legal dalam lapangan
ketatanegaraan suatu negara yang dimuat dalam “suatu dokumen” atau “beberapa
dokumen” yang terkait satu sama lain. Disini, Wheare mengartikan bahwa konstitusi sebagai
sekumpulan aturan untuk menyelenggarakan negara (aspek yang sangat luas), dalam arti
yang lain konstitusi sama halnya dengan dokumen yang memuat praktik ketatanegaraan
(K.C Wheare, 1975: 1).

Mencermati dikotomi antara istiah constitution (konstitusi) dengan gronwet Undang-


Undang Dasar di atas, L.J Van Apeldoorn telah membedakan secara jelas di antara
keduanya. Gronwet merupakan bagian tertulis dari konstitusi, sedangkan constitution
(konstiitusi) memuat seluruh kaidah-kaidah atau aturan-aturan baik yang tertulis maupun
tidak tertulis yang mengikat setiap warga negara dan digunakan untuk mengatur dan
menyelenggarakan negara. Van Apeldoorn, secara tegas membedakan antara konstitusi
dengan Undang-Undang Dasar dalam sudut pandang ruang lingkupnya (Thaib, dkk, 2015: 7).

Berangkat dari pendapat beberapa ahli tentang pengertian konstitusi dan Undang-
Undang Dasar diatas, dapat disimpulkan bahwa keduanya memiliki arti yang berbeda atau
sama, bergantung pada sudut pandang yang dipilih untuk mendefinisikannya. Dalam sudut
pandang yang lebih luas, konstitusi merupakan keseluruhan kaidah atau aturan yang tertulis
maupun tidak tertulis dan bersifat mengikat seluruh warga negara untuk mengatur dan
menyelenggarakan negara. Pengertian ini memberikan pandangan bahwa konstitusi tidak
hanya sebatas “dokumen” semata. Sedangkan dalam arti sempit, konstitusi diartikan
sebagai kumpulan aturan legal atau “dokumen hukum” semata untuk menyelenggarakan
negara. Pengertian ini menjelaskan bahwa konstitusi sama halnya dengan Undang -Undang
Dasar sebagai konstitusi tertulis dan aturan tertinggi dalam sebuah negara.

Anda mungkin juga menyukai