Anda di halaman 1dari 11

ANALISIS HADIS SHAHIH SERTA URGENSINYA SEBAGAI DALIL

BAGI UMAT ISLAM DI ERA MODERN


Muhammad Ali Wafa1, Mumtazah Irsyady2, Rangga Septian3
Hukum Keluarga Islam, Fakultas Syariah, IAIN Syekh Nurjati Cirebon
Email: muhaliwafa07@gmail.com1, lubabahmumtazahirsyady@gmail.com 2,
ranggaseptian32@gmail.com3

ABSTRAK
Hadis merupakan ajaran yang bersumber dari Nabi yang mempunyai fungsi sebagai bayan
atau penjelas sekaligus penguat ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat global. Namun dari fungsi
tersebut terdapat beberapa kelompok yang mengingkari hadis sebagai sumber kebenaran
karena sepanjang sejarah terdapat kodifikasi hadis yang rentan atas kepentingan pribadi
dan terdapat kejadian pemalsuan hadis. Lalu bagaimanakah posisi hadis shahih sebagai
sumber kebenaran dalam penetapan hukum Islam. Hasil pembahasannya adalah Hadis
shahih dibagi menjadi dua yakni hadis shahih lidzatihi dan lighairihi, yang mana hadis
shahih mempunyai beberapa unsur yakni ittishal sanad, tidak ada illat, perawinya tsiqah,
dhabit dan adil serta tidak adanya syadz dalam hadis tersebut. Kehujahan hadis shahih
dalam penetapan hukum bisa dilihat dari adanya fungsi hadis terhadap al-Qur’an yang
merupakan bayan atau penjelas dari al-Qur’an yang bersifat global sehingga perlu adanya
hadis shahih yang didahulukan dalam menjelaskan al-Qur’an sekaligus al-Qur’an dijadikan
sebagai sumber utama dalam penetapan hukum maka secara otomatis hadis shahih pun
termasuk di dalamnya
Kata Kunci: Hadis, Hadis Shahih, Sumber Hujjah.

PENDAHULUAN
Agama Islam merupakan agama rahmatan lil alamin yang mempunyai dua sumber
utama dalam kebenaran berpikir maupun bertindak yakni al-Qur’an dan hadis yang semuanya
dibawa dan diajarkan oleh Nabi kepada umatnya (Nabila & Hayyi, 2019) Disamping adanya
beberapa kelompok yang mengingkari hadis sebagai sumber kedua dalam ajaran Islam,
namun secara fungsi hadis mempunyai posisi yang penting dalam memberikan penjelasan
terhadap al-Qur’an yang bersifat universal secara bahasa yang dibawakan (Zulkifli, 2018)
Posisi hadis sendiri terhadap al-Qur’an adalah bayan yang mempunyai arti sebagai penjelas

1
atas firman-firman Allah baik itu secara perbuatan, penjabaran lisan atau mungkin ketetapan
yang dilakukan oleh Nabi. (Burhanudin, 2019)
Dalam hadis sendiri terdapat beberapa bagian secara kualitas maupun kuantitas yakni
dibuktikan adanya hadis mutawatir yang terkenal dengan banyaknya periwayat ini dilihat
secara kuantitas, namun dalam kualitas sendiri terdapat hadis shahih yang lengkap dengan
berbagai persyaratan yang disusun oleh para ulama hadis (Ranuwijaya, 2012) Namun
walaupun demikian, hadis mempunyai permasalahan panjang semenjak zaman sahabat Nabi
sampai pada zaman sekarang baik itu karena perpolitikan, keegoisan kelompok, maupun hal-
hal yang bersifat doktrin-doktrin yang tidak sesuai dengan pemikiran dari kelompok tersebut
(Ali & H, 2019), sehingga banyak sekali problematika di dalamnya.
METODE PENELITIAN
Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library)
atau latihan-latihan yang dilakukan secara metodis untuk mengumpulkan, mengolah, dan
menyelesaikan informasi untuk menemukan jawaban atas permasalahan yang diteliti dengan
mengambil sumber dari buku, catatan harian, artikel, majalah dan berbagai sumber yang sah
secara logika. (Khatibah, 2011). Sehingga penelitian ini bisa dilaksankaan secara terarah dan
sistematis.
Selain itu, penelitian menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif atau
menyajikan data dalam bentuk mentahnya tanpa ada pengolahan atau perlakuan lain yang
dimaksudkan untuk mengungkap dan memperjelas suatu fenomena yang terjadi atau
menyajikan gambaran lengkap tentang suatu peristiwa. (Fadli, 2021) Selain itu, metode
penelitian kualitatif lebih menekankan pada aspek pemahaman mendalam terhadap suatu
masalah dibandingkan dengan menggeneralisasi masalah. (Rusandi & Muhammad Rusli,
2021). Sehingga secara pemahaman pun akan lebih mendalam dikarenakan diambil dari
beberapa sumber data yang dapat dipertanggungjawabkan dan dilakukan secara mendalam
dengan penelitian kualitatif deskripsi analisis.
PEMBAHASAN
1. Hadis: Pengertian, Fungsi dan Kedudukannya.
Secara bahasa, hadis mempunyai banyak istilah seperti dalam pandangan Ibn
Manzur kata al-hadis merupakan bentuk jamaknya dari mufrad al-ahdis, al-ahditsan
dan antonym dari qadim yang bermakna dahulu, sedangkan hadis bermakna yang
baru, atau pun dekat (akhbar) atau bisa juga hal yang bersumber dari Nabi saw.
(Darmalaksana, 2017) Selain itu secara literal, hadis bisa dianggap sebagai jalan, baik
itu kepada jalan yang baik maupun yang buruk namun penisbatan jalan ini bersifat

2
umum dan dalam kebahasaan. Adapun secara terminologis, hadis adalah perkataan,
perbuatan dan ketetapan dari Nabi saw baik setelah diangkat menjadi Rasul ataupun
sebelumnya. (Farida, 2015) Sedangkan menurut beberapa ulama dalam
mendefinisikan hadis sangatlah beragam tergantung dari latarbelakang keilmuannya,
diantaranya adalah:
Dalam pandangan ulama Sunni menyatakan bahwa hadis mempunyai arti
sesuai yang bersumber dari Nabi secara ucapan, tingkah laku, persetujuan, dan
penampilannya dalam kehidupan sehari-hari dan juga akhlaknya. Sedangkan ulama
ushuluyyin menyatakan bahwa hadis adalah sesuatu yang bersandar kepada Nabi
berupa sabda Nabi, kehidupan sehari-hari atau perbuatannya serta persetujuan Nabi
yang dijadikan sebagai hukum.(Nirwana, 2017) Selain itu, dalam hadis pun terdapat
perbedaan dalam kategori hadis, sunnah, akhbar dan juga atsar. Jika sunnah diartikan
sebagai sesuatu yang diucapkan dan diperbuat oleh Nabi di hadapan para sahabat dan
dilakukan secara istiqomah oleh para sahabat dan seterusnya (Sawaluddin, 2017)
Sedangkan khabar mempunyai arti berita yang tersampaikan oleh seseorang dan jika
atsar adalah sisa dari sesuatu atau jejak, bisa dimaknai dengan doa yang diucapkan
oleh Nabi. (Abdussahid & Kaharuddin, 2018)
Nabi Muhammad merupakan nabi terakhir yang segala perbuatan atau
apapun yang dilakukannya merupakan contoh dan pedoman bagi umat Islam dan itu
bukan dari pribadi Rasulnya sendiri melainkan atas perintah dari Allah swt
.(Makhfud, 2017) Terlebih jika berbicara mengenai hadis, di dalamnya terdapat fungsi
terhadap al-Qur’an, diantaranya adalah:
Bayan Taqrir, Pada fungsi ini memiliki arti mempertegas, menguatkan atau
mendukung hal-hal yang telah dijelaskan dalam al-Qur’an sehingga hadis akan
memberikan penjelasan kembali terkait isi kandungan secara terperinci. Namun,
fungsi ini sering disebut baying al-Tawkid (penguat), Bayan al-Itsbat (penetapan).
(Jayadi, 2011) Selain itu, dalam poin ini hadis bertugas menegakkan kembali atas apa-
apa yang diperintahkan oleh Al-Qur’an sehingga dari hadis maupun al-Qur’an secara
redaksi dan pembahasan akan terlihat persamaannya. (Jaya, 2020)
Bayan Tafsir, Bayan Tafsir ini berfokus terhadap ungkapan dari al-Qur’an
yang tidak mudah dimengerti. (Jayadi, 2011) Yang di didalamnya terbagi menjadi 3
yakni: Pertama, Tafshil ayat mujmal. Maksudnya adalah merincikan secara akurat
melalui hadis mengenai ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki arti yang bersifat global
sehingga butuh penjelasan secara mendalam. (Channa, 2011). Kedua, Tabyin al-

3
Mustarak. Bermakna menjelaskan dan memberikan makna atas ayat al-Qur’an yang
maknanya dua atau ganda. Seperti al-Baqarah ayat 228 yang berbicara tentang lafadz
quru’ yang kata plural dari qar’in yang kedua term tersebut terdapat arti ganda yakni
suci dan juga haid sehingga butuh adanya penjelasan dari al-hadis. (Fikri, 2015).
Ketiga, Takhsih al-Am. Maksudnya ialah mengkhususkan atas ayat-ayat al-Qur’an
yang masih bersifat umum karena keglobalan dari al-Qur’an sendiri sehingga butuh
pengkhususan makna. Seperti dalam an-Nisa ayat 11 yang memberikan makna
tentang warisan beserta aturan-aturannya tetapi masih bersifat global sehingga
dijelaskan kembali dari hadis Nabi mengenai orang yang membunuh tak akan bisa
mendapatkan warisan. (Asriady, 2019)
Bayan Tasyri’, bermakna menetapkan suatu hukum yang belum ada dalam al-
Qur’an atau hanya terdapat ajaran (ashl) nya saja. Banyak sekali doktrin-doktrin
diluar yang mengatakan bahwa Nabi membuat hukum baru tapi sesungguhnya ini
adalah bentuk perluasan makna terhadap apa yang diajarkan oleh al-Qur’an.
(Kurniawan et al., 2021)
Selain itu, al-qur’an pun mempunyai kedudukan tersendiri dalam al-Qur’an
yang diambil dari sumber-sumber literature keislaman, yakni:
a) Bersumber dari Al-Qur’an
Dalam al-Qur’an ada beberapa ayat yang memberikan perintah untuk
beriman kepada Nabi sebagai bentuk bahwa apa-apa yang dilakukan oleh Nabi
dalam bentuk apapun adalah sumber kebenaran, buktinya yang terdapat dalam
al-Imran ayat 17 (Sulidar, 2013)
Ucapkan! Taatilah Allah dan Rasul-Nya; jika Anda menolak mereka, maka
Allah tidak menyukai orang-orang yang menolak Dia.
b) Dari hadis sendiri
Selain ayat al-Qur’an, ada pula hadis Nabi yang menjelaskan serupa
tentang ketaatan kepada Nabi seperti yang diriwayatkan oleh Abu Daud, yakni
(Ranuwijaya, 2012):
…Hendaknya kau pegang erat pelajaranku dan pelajaran Khulafaurrasyidin
yang terarah, kekeh (pegang teguh) dengan gerahammu…
c) Ijma’ Sahabat
Ketika nabi masih hidup, banyak para sahabat yang membuat peraturan
namun disesuaikan dari ajaran Nabi seperti halnya Umar bin Khattab ketika
mencium hajar aswad dan berkata (Yasid, 2011):

4
"Aku tahu kau batu," katanya. Seandainya saya tidak melihat Rasulullah.
menciummu, aku pun tidak akan mencium.
Hal ini membuktikan akan ketundukan dari sahabat Nabi dan membuat
kesepakatan tetapi atas dasar sunnah Nabi.
Dengan itu, hadis mempunyai fungsi serta kedudukan yang sangat subtansial dan juga
urgent sekali dalam memberikan makna terhadap al-Qur’an.
2. Hadis Shahih: Karakteristik dan Pembagian.
Secara definisi dari hadis shahih, menurut bahasa shahih berasal dari kata
shahha, suhhan yang mempunyai arti sehat, selamat, benar, sah dan juga tidak salah
(Munawar, 2017). Adapun secara istilah, hadis shahih dapat dilihat dari berbagai
pendapat para ulama yang kemudian terbentuk dalam karaktristik dari hadis shahih,
yang mana terdapat dalam kitab-kitab musthalah hadis, seperti dari beberapa pendapat
ulama yang berbicara mengenai hadis shahih, yakni:
Menurut As-Suyuthi misalkan bahwa hadis bisa dikatakan shahih jika memuat
sanad yang tersambung, diriwayatkan oleh rawi yang adil dan dhabit, tidak adanya
kejanggalan dan kecacatan dalam matannya. (Rofi’i, 2018) Sedangkan menurut
Muhyidin An-Nawawi menyatakan bahwa hadis shahih adalah sanadnya tidak
terputus melainkan tersambung dan diriwayatkan oleh rawi-rawi yang terpercaya, dan
juga adil serta secara matan tidak adanya kejanggalan di dalamnya serta tak ada cacat.
(Falabiba, 2019)
Jika dilihat dari dua karakteristik hadis shahih yang dipaparkan oleh para
ulama maka keduanya sama saja dan mempunyai kesepakatan yang serupa sehingga
tidak adanya pertentangan di dalamnya terkait kriteria dari hadis shahih itu sendiri.
Namun dalam teori al-Hakim misalkan ketika mensifati hadis shahih yakni hadis yang
diriwayatkan dari Rasul oleh sahabat yang bukan jahalah atau bodoh, kemudian
diriwayatkan lagi oleh dua tabi’in yang bersifat adil dan diterima oleh ahli hadis
sampai masa al-Hakim. (Fauzan, 2018). Beliau hanya mencakup hadis shahih jika
meliputi dari ketersambungan sanad yang jelas dan terhindar dari hal-hal yang dapat
mengugurkan dari hadis shahih dan titik tekannya adalah pada “diterima oleh 2 tabi’in
yang adil”, penambahan tersebut merupakan ciri dari al-Hakim.
Sedangkan berbeda dari pandangan Ibnu Shalah bahwa ketika al-Hakim
mensyaratkan dalam hadis shahih harus muttabi’ atau terdapat 2 tabi’in, sedangkan
Ibnu Shalah sendiri tidak mensyaratkan hal tersebut dan hanya bersifat umum tentang
kriteria dari hadis shahih seperti yang diungkapkan oleh Imam As-Suyuthi.

5
(Sugitanata, 2021) namun secara lebih lengkapnya bahwa keduanya tidak
memberikan perbedaan yang cukup berpengaruh terhadap kehujahan hadis shahih.
Dalam persyaratan hadis shahih, diantaranya adalah:
1) Ketersambungan Sanad
Yang dimaksud dengan ketersambungan sanad adalah sanadnya
menyambung dimulai dari mukharij hadis sampai pada periwayat
pertama yang bertemu langsung dengan Nabi, dan hal ini bisa
diketahui dengan system guru murid dalam takhrij hadis.(Yusuf, 2015)
2) Periwayat Adil
Terdapat perbedaan para ulama terkait ini, ada yang
menyatakan bahwa adil adalah orang yg istiqomah dalam beragama,
baik akhlaknya, tidak fasik dan tidak melakukan cacat muruah.
Namun ada yang menyatakan bahwa adil adalah ketika beragama
Islam, tidak berbuat bid’ah dan tidak berbuat maksiat. (Arifin, 2014)
Tetapi dari pemaparan hemat diatas, bahwa semuanya dalam menjaga
kehormatan dari perawi sehingga terhindar dari hal-hal negative yang
dapat merusak kepercayaan dari sifat adilnya perawi.
3) Perawi yang Dhabit
Ibnu Hajar al-Ashqolani menyatakan bahwa perawi yang
dhabit adalah perawi yang hafalannya kuat terhadap apa yang ia
dengar dan juga lihat, sehingga mampu menyampaikan hafalan
tersebut pada saat dibutuhkan. (Idris & Siagian, 2018)
4) Terhindar dari syadz
Maksud dari syadz yakni adanya kejanggalan atau kerancuan
atau adanya ketidaksesuaian dengan riwayat lain yang lebih tinggi
derajatnya.
5) Terhindar dari illat
Maksud dari illat yakni cacat, yang bisa dilihat dari periwayat
yang sendiri, bertentangan dengan yang lain dan juga bertentangan
dengan al-Qur’an. (Maulana, 2018)
Dalam hadis shahih pun terdapat dua bagian yakni hadis shahih lidzatihi dan juga
hadis shahih lighairihi. Adapun hadis shahih lidzatihi adalah serupa dengan kriteria
dari hadis shahih pada umumnya, atau hadis yang dilengkapi dengan sifat-sifat
seperti kedhabitan dan keadilan perawi, ketersambungan sanad serta tidak adanya

6
kecacatan dan kejanggalan dalam matan (Sarbabun, 2018) Sedangkan jika hadis
lighairihi adalah adanya pembantu dari riwayat lain secara matan atau pun sanad
terhadap satu riwayat yang terdapat sedikit tidak sesuai dalam kriteria hadis shahih,
namun karena ada penguat dari riwayat lain maka hadis tersebut menjadi shahih
lighairhi.(Najib, 2014)
Dalam penentuan kualitas hadis pun terdapat berbagai problematika dari beberapa
ulama yang ada (Mujibatun, 2014), namun hal tersebut mempunyai penyebabnya
yakni:
a) Problem penerapan tajrih dan ta’dil
Dalam hal ini terdapat perbedaan dalam penerimaan sebuah hadis yang
dilingkupi dalam keilmuan jarh wa ta’dil yakni seperti diterimanya tarjih dan
ta’dil jika diketahui sifat-sifatnya, lalu tidak diterima tajrih dan ta’dil kecuali
dikethuai sebab-sebabnya, lalu diterima tajrih walaupun tidak diketahui sebab-
sebabnya, dan ada juga yang menerima ta’dil dengan tidak menyebut sebab
tapi tidak diterima tajrihnya. (Tasbih, 2016)
b) Pertentangan antara tajrih dan ta’dil
Menurut ulama fuqaha bahwa tajrih harus didahulukan daripada ta’dil,
namun menurut ulama malikiyyah menyatakan bahwa tajrih bisa diterima jika
telah nyata sesuatu itu diketahui oleh pentajrih.
c) Kehujahan Hadis Mauquf: hadis yang disandarkan kepada para sahabat.
3. Kehujahan Hadis Shahih Sebagai Sumber Hukum Islam
Dalam sumber keislaman mempunyai dua yakni al-Qur’an dan hadis, selain
itu diyakini oleh para ulama bahwa hadis merupakan sumber kedua setelah al-Qur’an
dalam menjalani kegiatan sehari-hari sehingga bisa dianggap sebagai ibadah. Dalam
pandangan para ulama terutama ulama madhzab seperti halnya Imam Malik yang
menggunakan hadis shahih, hadis mutawatir, namun bukan hanya dua itu saja tetapi
Imam Malik menggunakan hadis masyhur, mursal, ahad namun dengan syarat tidak
bertentangan dengan amalan ulama madinah. (Hidayat & Sumarna, 2019)
Berbeda dengan Imam Abu Hanifah yang menjadikan hadis sebagai hujjah
dalam penetapan hukum, apalagi jika hadis shahih dan mutawatir namun terdapat
perbedaan dalam penetapan hadis sebagai hujjah jika dibandingkan dengan Imam
Malik yakni jika Imam Abu Hanifah menjadikan hadis sebagai sumber hukum jika
diriwayatkan oleh orang-orang yang terpercaya dan khusus hadis ahad disyaratkan

7
tidak bertentangan dengan kaidah para ulama yang disepakati dalam ijma’, dan hadis
mursal diterima jika tidak bertentangan dengan al-Qur’an. (Muzayyin, 2017)
Dalam penjelasan diatas baik hadis berfungsi terhadap al-Qur’an sebagai
bayan dan juga pemaparan dari para ulama madzhab tentunya ketika menentukan
suatu hukum fiqih harus mencari dulu data-data yang bersumber terpercaya dan dapat
dipertanggung jawabkan, salah satunya adalah hadis.
Selain itu terdapat kitab-kitab hadis yang dijadikan sebagai referensi dalam
mencari data atau penjelas dari al-Qur’an seperti halnya Kitab Hadis Shahih Bukhari
dan Muslim yang secara tingkatan kedua hadis tersebut masuk dalam kategori kitab
hadis terpercaya yang memuat ribuan hadis shahih, adapun secara tingkatan Kitab
Hadis Bukhari berada dalam tingkatan pertama, dan keduanya adalah Kitab Shahih
Muslim (Wahab, 2019). Terlebih dua kitab hadis ini dijadikan sebagai patokan dalam
mencari hadis di Indonesia yang dibuktikan dengan banyaknya kemajuan digitalisasi
hadis yang dijadikan sebagai sarana mempermudah dalam mengkritik hadis, dan dua
sumber kitab hadis tersebut setelah ditelaah ternyata mempunyai keunggulan
dibandingkan dengan kitab-kitab hadis yang lain.
KESIMPULAN
Hadis berisi tentang sabda Nabi yang berbentuk ucapan, perbuatan, ketetapan maupun
ihwal Nabi saw dihadapan para sahabat. Hadis mempunyai beberapa kriteria baik secara
kuantitas maupun kualitas, dan hadis shahih merupakan hadis yang bersifat kualitas dan
menduduki posisi pertama dalam sifat kualitas tersebut.
Hadis shahih dibagi menjadi dua yakni hadis shahih lidzatihi dan lighairihi, yang
mana hadis shahih mempunyai beberapa unsur yakni ittishal sanad, tidak ada illat,
perawinya tsiqah, dhabit dan adil serta tidak adanya syadz dalam hadis tersebut. Kehujahan
hadis shahih dalam penetapan hukum bisa dilihat dari adanya fungsi hadis terhadap al-Qur’an
yang merupakan bayan atau penjelas dari al-Qur’an yang bersifat global sehingga perlu
adanya hadis shahih yang didahulukan dalam menjelaskan al-Qur’an sekaligus al-Qur’an
dijadikan sebagai sumber utama dalam penetapan hukum maka secara otomatis hadis shahih
pun termasuk di dalamnya.
REFERENSI

Abdussahid, & Kaharuddin. (2018). Hadis Sebagai Sumber Hukum Islam. Tajdid: Jurnal
Pemikiran Keislaman, 2(2).

8
Ali, M., & H, D. (2019). Peran Hadits Sebagai Sumber Ajaran Agama, Dalil-Dalil
Kehujjahan Hadits Dan Fungsi Hadits Terhadap Alquran. Jurnal Pendidikan Dan Studi
Islam, 5(1).

Arifin, T. (2014). Ulumul Hadits. Jurnal Ulumul Hadist, 211.

Asriady, M. (2019). Metode Pemahaman Hadis. Ekspose: Jurnal Penelitian Hukum Dan
Pendidikan, 16(1).

Burhanudin, A. (2019). Periwayatan Hadis Dengan Makna Menurut Muhadditsin. Ummul


Qura: Jurnal Institut Pesantren Sunan Drajat (INSUD) Lamongan, 4, 32–44.

Channa, L. (2011). Memahami Makna Hadis Secara Tekstual dan Kontekstual. Ulumuna:
Jurnal Studi Keislaman, 4(1).

Darmalaksana, W. (2017). Paradigma Pemikiran Hadis. JAQFI, Vol 2 No 1.

Fadli, M. R. (2021). Memahami Desain Metode Penelitian Kualitatif. Humanika, 21(1).

Falabiba, N. E. (2019). Teori Pemahaman Hadits Hasan. Jurnal Ilmu Kewahyuan, 2.

Farida, U. (2015). Diskursus sunnah sebagai sumber hukum islam. Jurnal Pemikiran Hukum
Dan Hukum Islam, 6(1).

Fauzan, A. (2018). Studi Komparatif Teori Ilmu Hadis Al-Hakim Al-Naisaburiy Dan Ibnu
Shalah. EL-AFKAR : Jurnal Pemikiran Keislaman Dan Tafsir Hadis, 7(1), 51.

Fikri, H. K. (2015). Fungsi Hadis Terhadap Al-Qur’an. Tasamuh, 12(2).

Hidayat, T., & Sumarna, E. (2019). Kehujjahan Hadis Menurut Imam Empat Mazhab (Studi
Analisa Terhadap Metode Penyusunan Al-Kutub Al-Sittah). Religia, 22(1).

Idris, M., & Siagian, T. N. (2018). METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA


KONTEMPORER NON-AHLI HADIS (Studi Komparatif Antara Persepsi Muhammad
Al-Ghazali Dan Pendapat Yusuf Al-Qardhawi). ISLAM TRANSFORMATIF : Journal of
Islamic Studies, 2(2).

Jaya, S. A. F. (2020). Al-Qur’an Dan Hadis Sebagai Sumber Hukum Islam. Jurnal Indo-
Islamika, 9(2).

9
Jayadi, M. (2011). Kedudukan Dan Fungsi Hadis Dalam Islam. Jurnal Adabiyah, 10(2).

Khatibah. (2011). Penelitian Kepustkaan. Iqra, 05(01).

Kurniawan, G. P., Shalikhah, S. Z., Shofiat, H., Azizah, N. N., & Mahmud Mochtar. (2021).
Urgensi Kedudukan Hadis Terhadap Al-Qur’an. Jurnal Tana Mana, 2(1).

Makhfud, M. (2017). Meninjau Ulang Signifikansi Kedudukan Hadits dan Ingkar al Sunnah.
Jurnal Pemikiran Keislaman, 28(1).

Maulana, I. (2018). Hadis shahih dan Syarat-syaratnya Imron Maulana. Stain Pamekasan,
October.

Mujibatun, S. (2014). Paradigma Ulama Dalam Menentukan Kualitas Hadis dan Implikasinya
Dalam Kehidupan Umat Islam. Jurnal Studi Keislaman, 14(1).

Munawar, S. A. H. Al. (2017). Penggunaan dan Penyalahgunaan Hadis dalam Kehidupan.


Ushuluna: Jurnal Ilmu Ushuluddin, 3(02).

Muzayyin, A. (2017). Kualitas Hadis Ditentukan Oleh Kualitas Terendah Rawi Dalam Sanad.
Jurnal Al-Muta’aliyah STAI Darul Kamal NW Kembang Kerang, I(1),

Nabila, D. Fi., & Hayyi, A. (2019). Dampak Globalisasi terhadap Pendidikan Islam di
Indonesia. Jurnal Pemikiran Dan Ilmu Keislaman, 2(2).

Najib, M. (2014). I’lal Hadis. Adliya, 8(1).

Nirwana, D. (2017). Rekonsepsi Hadits dalam Wacana Studi Islam. Edu-Islamia, 8(2).

Ranuwijaya, U. (2012). Sekali Lagi Tentang Kedudukan dan Fungsi Hadis. In Al-Ahkam
(Vol. 6, Issue 2).

Rofi’i, M. A. (2018). Kriteria Hadis Sahih Menurut Ahmad Ibn Muhammad Ibn Al-Siddiq
Al-Ghumari. Tesis: UIN SUNAN AMPEL.

Rusandi, & Muhammad Rusli. (2021). Merancang Penelitian Kualitatif Dasar/Deskriptif dan
Studi Kasus. Al-Ubudiyah: Jurnal Pendidikan Dan Studi Islam, 2(1), 48–60.

Sarbabun. (2018). Macam-macam Hadis dari Segi Kualitasnya. Jurnal Academia, 7.

10
Sawaluddin, S. (2017). Kontroversi Pemahaman Hadis T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy Dengan
Jumhur Ulama. AT-TAHDIS: Journal of Hadith Studies, 1(1),

Sugitanata, A. (2021). Anasir Dan Klasifikasi Hadits Dari Segi Kuantitas Dan Kualitas.
Jurnah Hikmah, 8(1).

Sulidar. (2013). Urgensi Kedudukan Hadis Terhadap Alquran Dan Kehujjahannya Dalam
Ajaran Islam. Analytica IIlamica, 2(2).

Tasbih. (2016). Urgensi Pemahaman Kontekstual Hadis ( Refleksi terhadap Wacana Islam
Nusantara ). Al-Ulum, 16(1).

Wahab, F. (2019). Kedudukan Hadis Dalam Penetapan Hukum. Akhwal Syakhsiyah, 2(2).

Yasid, A. (2011). Hubungan Simbiotik al-Qur’an dan al-Hadits dalam Membentuk Diktum-
Diktum Hukum. Tsaqafah, 7(1).

Yusuf, N. (2015). Hadis Sebagai Sumber Hukum Islam (Telaah Terhadap Penetapan
Kesahihan Hadis Sebagai Sumber Hukum Menurut Syafi’iy). Potret Pemikiran, 19(1).

Zulkifli, R. (2018). Moderasi Pemahaman Hadis dalam Hukum Islam Menurut Al-
Qaradhawi. El-Buhuth: Borneo Journal of Islamic Studies, 1(1), 41–55.

11

Anda mungkin juga menyukai