Anda di halaman 1dari 2

Struktur Konflik Rakyat dan Perusahaan Kelapa

Sawit Akibat Dukungan Regulasi

Merespons terjadinya konflik antara rakyat dan perusahaan kelapa sawit di Kalimantan Tengah,
pengamat politik Fatma Sunardi menyatakan, struktur konflik terjadi karena ada regulasi yang
menjadikan rakyat berhadapan dengan perusahaan swasta yang mengembangkan budidaya kelapa
sawit.

“Ini karena ekspansi atau pengembangan sawit pasti aktornya perusahaan. Apalagi, menurut UU
tentang Perkebunan, yang diizinkan untuk mengurus Hak Guna Usaha (HGU) untuk budidaya
perkebunan di atas 250 hektar, skemanya adalah investasi oleh perusahaan yang dikatakan punya
kelayakan dalam memproses hasil perkebunan Itu otomatis kan perusahaan besar, tidak mungkin
perorangan,” jelasnya dalam acara “Pembukaan Hutan (Kalteng): Perempuan dan Generasi Makin
Sengsara”, Rabu (6-12-2023).

Dukungan Perundangan
Jadi, menurutnya, ekspansi sawit makin masif memang ada dukungan dari perundang-undangan yang
ada sehingga di situlah nanti ada titik konfliknya.

“UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang kemudian diturunkan menjadi Peraturan
Pemerintah Nomor 18 tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun,
dan Pendaftaran Tanah menegaskan, tanah yang belum bersertifikat sebagai tanah negara. Jadi,
masyarakat adat yang hidup di dalam hutan atau masyarakat lokal yang sudah mengelola lahan
sawitnya turun-temurun, tetapi tidak bersertifikat, itu dianggap sebagai tanah negara,” ungkapnya.

Ia menerangkan, proses HGU dengan luas di atas 250 hektar dilakukan Negara dalam hal ini
Kementerian ATR dengan melepaskan dulu tanah negara—yang dalam bahasa mereka, tanah telantar
—kepada perusahaan.

“Padahal, bisa jadi di dalam tanah yang sudah diterbitkan HGU itu sudah ada masyarakat adat yang
hidup di dalamnya atau masyarakat lokal yang juga sudah bercocok tanam di situ. Nah, double claim
(klaim ganda-red.) inilah yang kemudian menjadi penyulut konflik,” ujarnya.

Namun, ucapnya, yang punya kekuatan untuk kemudian mengelola tanah menjadi lahan perkebunan
adalah perusahaan, bukan rakyat karena dianggap bukan miliknya menurut perundangan-undangan.
“Ini yang ke depan akan makin runcing,” cetusnya.
Ia mengutip dari buku “Kehampaan Hak Masyarakat Versus Perusahaan Sawit di Indonesia” yang
merupakan hasil penelitian 150 kasus konflik lahan di empat provinsi sentra pengembangan sawit,
yaitu Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Riau, dan Sumatera Barat, 99 kasusnya memang
perusahaan sawit itu mengambil—jadi tanpa izin—, kemudian 67% dari perusahaan sawit itu tidak
mau membayar kompensasi atas lahannya.

“Penelitan ini dari empat provinsi sentrra sawit, sedangkan provinsi-provinsi pengembangan sawit
lain ada sekitar 15 atau 20 provinsi yang “wajahnya” akan sama,” urainya.

Menguntungkan Korporasi
Jadi, ulasnya, dari ekspansi sawit ini bisa dikatakan pihak yang paling diuntungkan pasti korporasi.
“Kementerian Perekonomian, bahkan Menko Airlangga Hartanto mengatakan bahwa pemerintah
menyiapkan peta jalan atau roadmap hilirisasi industri sawit, bahkan mengeluarkan Inpres No. 6
Tahun 2019 tentang Rencana Aksi Nasional Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Tahun 2019—
2024. Ekspansi sawit ini dikelola dengan kata-kata yang membius, seperti ‘berkelanjutan’. Padahal,
maksudnya ya tetap dilanjutkan ekspansi sawitnya, meskipun nanti ada konflik berkepanjangan,”
sindirnya.

Menurutnya, ini terjadi tidak lain karena ada keuntungan luar biasa. “Dalam perdagangan
internasional, harga komoditas sawit itu berlipat-lipat. Akhirnya Indonesia tergiur dan pemerintah
memfasilitasi investasi. Terlebih, pemerintah sendiri membutuhkan investasi untuk menggenjot
pertumbuhan ekonomi sebagaimana desain pembangunan ekonomi kapitalisme yang diadopsi oleh
Indonesia yang bertemu dengan perdagangan global,” jelasnya.

Para investor atau pemilik modal itu pun berbondong-bondong lari ke Indonesia, imbuhnya,
kemudian berkolaborasi dengan pemerintah lokal dalam hal ini pemerintah di Indonesia, untuk
memudahkan regulasi ekspansi lahan sawit.

“Ditambah lagi, dalam sistem demokrasi ada hubungan erat ketika para penguasa ini—baik legislatif
maupun eksekutif—akan melakukan pemilu sehingga butuh dana untuk kampanye. Nah, di situlah
para pengusaha-pengusaha sawit ini menjadi penyandang dana kampanyenya,” ungkapnya.
[MNews/Ruh]

Anda mungkin juga menyukai