Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Jika berbicara tentang makanan, banyak dari kita berbicara tentang
asupan untuk mengisi perut yang bertujuan untuk pemenuhan gizi dan energi
bagi tubuh. Padahal pembahasan makanan tidak selalu tentang perut, karena
banyak sekali hal yang dapat dibahas dalam menghadirkan suatu makanan.
seperti tentang bagaimana proses adanya makanan tradisisonal, tujuan
dihadirkannya makanan, makna dan fungsi makanan tersebut, dan banyak hal
yang dapat dibahas tergantung dari sudut mana menilai dan mengamati suatu
makanan.
Makanan dapat hadir disengaja atau tidak, pada kenyataannya orangtua
kita telah mewariskan makanan sebagai warisan budaya yang harus
dipertahankan dan dikembangkan yang diturunkan baik melalui lisan maupun
tulisan. seperti jenis makanan, cara mengolah makanan, cara menyajikan
makanan, cara mengkonsumsi makanan dengan cara-cara yang dipercaya
dapat menghadirkan keberkahan dari Sang Pencipta alam semesta. Makanan
dapat dihadirkan dalam sebuah ritual dengan tujuan dan fungsinya tersendiri.
menghadirkan makanan dalam sebuah ritual keagamaan masih banyak
ditemukan pada orang-orang disekitar kita. Ritual dan makanan adalah dua
unsur yang tidak dapat dipisahkan karena saling berhubungan dan
membutuhkan.1
Di Indonesia khusunya Banten pasti memiliki ciri khas dan keunikan
tersendiri dalam melaksanakan ritual, terutama ritual peralihan mulai dari
kehamilan, lahiran, kanak-kanak, remaja, dewasa, menikah, sakit, pengobatan
lalu meningggal sampai pada proses pemakamannya. Ritual yang menandai
perubahan dan pergantian kondisi atau siklus hidup seseorang yang pasti
datang dan tidak akan terlewatkan. dalam disiplin ilmu antropolgi disebut rites
of passage.2

1
M.A Tihami, Ritual Dan Simbolisasi Agama Dalam Budaya Kuliner Masyarakat
Banten, (LP2M Institut Agama Islam Negeri Sultan Maulana Hasanudin Banten, 2016),P.68
2
Ayatullah Humaeni, “Rites of Passages (Ritus Peralihan masyarakat Banten)”, (Laporan
Penelitian), LP2M IAIN SMH Banten, 2015). p. 25

1
2

Perayaan Ritus siklus hidup menjadi bagian terpenting dalam


perjalanan kehidupan seseorang. Tentu agama menjadi landasan utama dalam
pelaksanaan ritus peralihan yang memiliki makna dan fungsi dalam setiap
perayaannya. Seperti makna kebersamaan, status sosial dan solidaritas sosial
dan makna-makna lain yang terkandung didalamnya. Perbedaan motif, bentuk,
dan makna ritus pada masing-masing budaya dan komunitas tergantung pada
konteks sosial budaya dimana ritus itu dilahirkan dan dilestarikan.3
Dalam buku Rites Of Passage “ Memahami Makna Budaya Dalam
Ritual Peralihan Masyarakat Banten” (2015) karya Ayatullah Humaeni.
Arnold Van Gennep menyatakan:
“konsep Rites Of Passage adalah sebagai bagian dari upaya
mengklarifikasi praktik-praktik dan upacara-upacara yang ritualisasi
sehingga budaya berkembang untuk membentuk dan merumuskan tentang
satu fase yang ditinggalkan dan masuk pada fase berikutnya”.4
Maksud dari pernyataan Arnold Van Gennev adalah Rites Of Passage
merupakan ritual yang dijalankan secara turun temurun untuk merayakan
setiap proses peralihan manusia dari lahir sampai meninggal dengan harapan
bahwa apa yang telah dilakukan dapat menghadirkan rasa syukur dan
keselamatan agar dapat menjalankan fase kehidupan yang selanjutnya dengan
baik.
Pada sebuah acara ritual peralihan, salah satu pendukung kesuksesan
acara adalah makanan. Makanan menjadi pokok utama dalam pelaksanaanya.
Karena makanan bukan hanya sekedar kebutuhan untuk melebur rasa lapar
atau penambah gizi akan tetapi makanan juga terkait erat dengan kebudayaan
yang mempunyai makna dan fungsinya tersendiri. Makanan tidak akan
memiliki makna apabila tidak dilihat dari kebudayaannya atau jaringan
interaksi sosialnya.5
Menurut Koentjaraningrat, ada tiga wujud kebudayaan, yakni: (1) ide, gagasan,
nilai, atau norma, (2) aktifitas atau pola tindakan manusia dalam masyarakat, dan
(3) benda-benda hasil karya manusia.15 Ide, gagasan, nilai atau norma sebagai

3
Ayatullah Humaeni, “Rites of Passages................ p. 33
4
Ayatullah Humaeni, “Rites of Passages................ p. 52
5
Yevita Nurti,” Kajian Makanan Dalam Perspektif Antropologi”: Jurnal Antropologi: Isu-Isu Sosial
Budaya, Vol. 19 No.1 (Juni, 2017), P.1.
3

wujud pertama kebudayaan berbentuk abstrak. Ide, gagasan, nilai atau norma
sebagai suatu “pikiran masyarakat” berkembang saling terkait satu sama lain
sebagai suatu sistem kultural yang disebut “adat istiadat”. Sementara itu, wujud
kebudayaan yang kedua merupakan sistem sosial yakni aktivitas atau tindakan
manusia yang membentuk pola-pola perilaku masyarakat yang dilandasi oleh adat
istiadat. Sistem sosial ini berwujud konkret sehingga bisa diamati di dalam
keseharian kegiatan masyarakat. Wujud kebudayaan yang ketiga adalah benda-
benda fisik yang sifatnya konkret berupa benda-benda dari segala hasil ciptaan,
karya, tindakan, aktivitas, atau perbuatan manusia dalam masyarakat. Ketiga
wujud kebudayaan itu tidak terpisah satu sama lain.
Berdasarkan gagasan Koentjaraningrat itu, kita dapat menyimpulkan
bahwa di balik makanan sebagai produk budaya, ada sistem sosial berupa aktivitas
yang membentuk pola-pola perilaku dalam masyarakat maupun sistem kultural
berupa ide, gagasan, atau nilai yang menjiwai hidup masyarakat. Makanan sebagai
hasil karya konkret dalam budaya tidak dapat dipisahkan dari aktivitas makan
maupun nilai-nilai filosofis yang mendasarinya di dalam masyarakat.
Georg Simmel, seorang sosiolog Jerman, menyatakan bahwa makan
berdimensi individual sekaligus komunal. Di satu sisi, makan adalah urusan
individual, artinya proses makan adalah proses sekali jadi, sehingga makanan
tertentu yang dimakan secara eksklusif oleh seseorang ke dalam tubuhnya tidak
dapat dimakan kembali oleh orang lain. Makan bersifat egoistik karena setiap
manusia memakan makanannya sendiri-sendiri, dan tidak dapat memakan
makanan yang ada dalam tubuh orang lain.. Ketika makanan yang sama dibagi-
bagikan dan dimakan bersama-sama dengan orang lain, makan tidak lagi disadari
sebagai aktivitas egoistik. Dalam peristiwa makan bersama, persaudaraan,
solidaritas, rasa senasib sepenanggungan sebagai sesama anggota komunitas
melampaui egoisme diri. Makanan mempersatukan orang dalam satu identitas
bersama.
Makanan pada sebuah pelaksaan ritual peralihan (salah satunya kematian)
menjadi objek terpenting didalamnya, namun seringkali terabaikan dalam kajian
penelitian. Hubungan manusia dengan makanan tidak hanya terkait tentang urusan
4

dasar seperti memuaskan rasa lapar atau pemenuhan gizi. Lebih dari itu manusia
menggunakan makanan dengan banyak tujuan yang berbeda. Ritual yang
melibatkan makanan tidak hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan biologis
manusia akan tetapi menjadi bukti dari sikap religius seseorang terhadap
Tuhannya. Karena menghadirkan makanan dalam ritual dan kegiatan keagamaan
dipercaya dapat menghadirkan keberkahan tertenu. 6
Pada masyarkat Banten terdapat makanan khas yang dibuat dan
disajikan dengan melakukan ritual seperti kueh pitung rupa (makanan tujuh
rupa) dalam perayaan ritus kematian di Gunungsari Serang Banten. Kueh
pitung rupa merupakan makanan yang didalamnya terdapat tujuh jenis
makanan yang hadir pada pelaksanaan acara tujuharian orang meninggal.
Kueh pitung rupa disajikan sebagai sedekah yang diniatkan untuk orang yang
sudah meninggal. kueh pitung rupa memiliki makna dan fungsinya bagi
masyarakat Gunungsari. Pada pelaksanaanya seorang tokoh agama dan
masyarakat akan membaca doa-doa tertentu baik yang disediakan untuk
upacara khusus maupun keseharian. Doa-doa yang dibaca merupakan doa
yang diambil dari Al-Qur’an sebagai pedoman masyarakat Banten khususnya
Gunungsari yang mayoritas beragama Islam.7
Dalam kajian antropologi, makanan merupakan bagian dari konsep
kebudayaan. Maka makanan bukan semata-mata sebagai bahan produksi
pemenuhan gizi dalam tubuh, melainkan bagian dari mempertahankan
kebudayaan.8 Makanan juga dapat terikat pada hubungan sosial, ide-ide
kultur, ekspresi diri, menjadi sebuah ukuran pertukaran sosial, pembangkit
ekonomi dan kesehatan. Makanan khas juga dipengaruhi oleh perbedaan
sejarah dan letak geografis daerah asalnya. makanan berperan besar dalam
membentuk ikatan sosial, sehingga makanan berdimensi komunal. Ketika

6
U.J. Adam,A.Y. Dkk,” Sesajen Sebagai Nilai Hidup Bermasyarakat Di Kampung
Cipicung Girang Kota Bandung”. Indonesian Journal Of Sociology, Education, And
Development,Vol. 1. No.1 (Januari-Juni 2019). P 26
7
M.A Tihami, Ritual Dan Simbolisasi Agama Dalam Budaya Kuliner Masyarakat
Banten.........P.13-14
8
T.O. Ihroni, Pokok-Pokok Antropologi Budaya ( Jakarta : Yayasan Obor, 2006) P. 35
5

makanan dinikmati bersama-sama dengan orang lain, muncul ikatan


emosional di antara orang-orang yang makan makanan yang sama.9
Makanan juga dapat menjadi kunci dalam pelaksanaan sebuah ritual
tertentu yang memiliki nilai sakral bagi masyarakt yang mempercayainya.
Ritual ini dilakukan oleh masyarakat guna mencapai suatu keinginan atau
tujuan tertentu. Makanan tersebut bisa disebut sesajen apabila dipersembahkan
untuk roh, hal ghaib dan dilakukan ditempat keramat. Tetapi ada juga sebagian
yang menganggap bahwa makanan yang dipersembahkan merupakan sedekah
agar mendapat pahala dari sang pencipta seperti ajaran yang diajarkan oleh
agama agama langit(Islam, Kristen,Hindu, Yahudi, Nasrani) melalui para
utusannya.10
Maka, di balik proses makan atau makanan dalam suatu komunitas,
terdapat berbagai kearifan atau filosofi hidup yang menjiwai komunitas
tersebut, misalnya: solidaritas, keramahan, tenggang rasa, semangat berbagi,
hormat kepada manusia lain, dan lain-lain.
Jika menilik makanan tradisional (makanan warisan leluhur) di
nusantara, kita menemukan bahwa makanan seringkali dikaitkan dengan ritual
social maupun spiritual tertentu. Makanan tradisional menjadi pelengkap
dalam upacara sosial dan keagamaan, khususnya berkenaan dengan peristiwa-
peristiwa besar dalam kehidupan: kelahiran, perkawinan, atau kematian.
Dalam berbagai jenis makanan tradisional bukan hanya menjadi
identitas kultural masyarakat Banten saja, tapi juga menjadi pembeda budaya
antar satu komunitas dengan komunitas yang lain, satu desa dengan desa yang
lain, satu kecamatan dengan kecamatan yang lain, satu kabupaten dengan
kabupaten yang lain dalam wilayah provinsi Banten. Tentu juga ini menjadi
identitas kultural yang membedakan kuliner Banten dengan kuliner dari
provinsi lain yang lebih luas.11
Sebagai wilayah yang memiliki sejarah panjang Banten tentu
memiliki makanan khas yang ada pada pelaksanaan ritual, terutama ritual
9
Rudi Setiawan,” Memaknai Kuliner Tradisional Dinusantara: Sebuah Tinjauan Etis”:
Jurnal Respons( Ppe-Unika Atma Jaya, Jakarta) Vol.21 No. 01 (2016), P . 122
10
Ayatullah Humaeni,” Ritual, Kepercayaan Lokal Dan Identitas Budaya Masyarakat
Ciomas Banten”jurnal el Harakah, Vol.17 No.2 (2015). P 162
11
M.A Tihami, Ritual dan Simbolisasi Agama dalam Budaya Kuliner Masyarakat
Banten,....p.123-124
6

kematian yang ada di Gunungsari Kabupaten Serang. Makanan tersebut


bernama Kueh Pitung Rupa yang terdiri dari tujuh jenis kue (Gemblong,
Pasung, Opak, Rengginang, Surbaha,Jejorong Putih,Lemper) yang memiliki
nilai dan makna tersendiri dalam ritual kematian di Gunungsari yang syarat
akan nilai dan makna apabila dikaji lebih mendalam.
Studi ini bermaksud melakukan penelitian terhadap makanan Kueh
Pitung Rupa pada ritus kematian yang ada di Gunungsari. Tidak hanya
mengangkat kajian sosial akan tetapi lebih kepada kajian antropologi agar
memperjelas identitasnya sebagai warisan budaya masyarakat Gunungsari
Serang Banten yang merupakan bagian penting dari sistem upacara religi.
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, penulis tertarik untuk
mengkaji Kueh Pitung Rupa dalam sebuah penelitian dengan judul: Kueh
Pitung Rupa dalam ritus kematian di Gunungsari Serang Banten.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan latar belakang diatas, penulis membuat
perumusan masalah sebagai beriku:
1. Bagaimana Asal-Usul Kueh Pitung Rupa Dalam Ritus Kematian
Di Gunungsari Serang Banten ?
2. Bagaimana Proses Ritual Kueh Pitung Rupa Dalam Ritus
Kemaatian Di Gunugsari Serang Banten ?
3. Bagaimana Fungsi Dan Makna Kueh Pitung Rupa Dalam Ritus
Kematian Di Gunungsari ?

C. Tujuan penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk terwujudnya deskripsi yang dapat
menjelaskan tentang:
1. Asal-Usul Kueh Pitung Rupa Dalam Ritus Kematian Di
Gunungsari Serang Banten.
2. Proses Ritual Kueh Pitung Rupa Dalam Ritus Kematian Di
Gunugsari Serang Banten.
3. Fungsi Dan Makna Kueh Pitung Rupa Dalam Ritus Kematian Di
Gunungsari.
7

D. Tinjauan Pustaka
Penelitian tentang makanan tradisional dan ritus peralihan tentu sudah
banyak dikaji di Indinesia, baik oleh para ahli maupun para akademisi. Hal ini
menunjukan bahwa banyak sekali budaya yang membahas tentang ritus
peralihan (kematian) dan makanan tradisional yang ada dan digunakan pada
acara ritus peralihan salah satunya ritual kematian. Di Indonesia sendiri kajian
tentang ritus peralihan yang populer salah satunya adalah kajian yang telah
dilakukan oleh Koentjaraningrat dalam bukunya yang berjudul “ Ritus
Peralihan Di Indonesia” yang banyak memuat tentang ragam tradisi ritual
peralihan yang ada pada masyarakat Indonesia, ritual peralihan yang tentu
didasarkan pada asas religi atau kepercayaaan pada masing-masing kelompok
di daerah tertentu.12
Pada Ritual peralihan, salah satunya ritual kematian pasti menghadirkan
makanan tradisional sebagai pelengkap pada pelaksaanan ritual. Makanan
memiliki peran khusus dalam proses pelaksaan ritual. Tentu makanan menjadi
persembahan yang memiliki makna dan fungsinya tersendiri. Bahkan menjadi
benda yang wajib hadir dalam ritual peralihan khususnya ritual kematian.
Pada jurnal Antropolgi ; isu-isu sosial budaya, yang berjudul Kajian
Makanan Dalam Prespektif Antopologi yang terbit pada tanggal 10 juni 2017.
Vol. 19: menjelaskan bahwa makanan dengan pengesahan budaya berarti akan
berkaitan dengan kepercayaan, aturan, pantangan, teknologi dan sebagainya
yang tumbuh dan berkembang dalam sekelompok masyarakat sebagai simbol-
simbol tertentu yang akan melahirkan makna-makna tertentu dalam aktifitas
sosial dan keagamaan. Hal ini menunjukan bahwa pentingnya makanan
sebagai identitas suatu masyarakat budaya.
Di Banten Ada beberapa buku yang memuat kajian tentang makanan
tradisional yang hadir dan digunakan dalam sebuah ritual peralihan khususnya
ritual kematian. Dan dikaji melalui aspek antropologi budaya dan antropologi
Agama, Buku-buku tersebut saya jadikan sebagai sumber dalam kajian
penelitian ini, diantaranya adalah sebagai berikut;

12
Koentjaraningrat, Ritus Peralihan Di Indonesia. (Jakarta: Balai Pustaka, 1993) P. 11-13
8

1. Karya Ayatullah Humaeni, Dosen UIN Sultan Maulana Hasanuddin


Banten yang menulis tentang “ Rites Of Passage: Memahami Budaya
Dalam Ritual Peralihan Masyarakat Banten” (2015).
Ayatullah Humaeni dalam bukunya membahas tentang Rites Of
Passage, yakni ritus peralihan seseorang mulai dari dalam kandungan
hingga akhir hayatnya. Dalam buku ini juga menjelaskan tentang
Kosep dasar ritus menurut para ahli. Jenis-jenis ritual peralihan yang
sering atau banyak ditemui di Banten. Makna dan fungsi ritual
peralihan bagi masyarakat yang menjalankan.
Buku “rites of passage: Memahami Budaya Dalam Ritual
Peralihan Masyarakat Banten” juga menjelaskan proses tentang
pelaksanaan ritual peralihan yang ada pada masyarakat Banten.
Apalagi masyarakat Banten dengan sifat religinya, maka suatu ritual
atau adat tradisi dilaksanakan bersamaan dengan kegiatan keagamaan.
Contohnya seperti proses tujuh bulanan pada seorang wanita hamil.
Di Banten pelaksanaan tujuh bulanan, mitung wulan, ngerujaki,
rurujakan dengan membuat rujak atau petisan, nasi kuning dengan
berbagai lauknya sebagai pelengkap acara ritual. Bahkan masyarakat
percaya jika rujak/ petisnya manis makan sijabang bayi yang
dikandung berjenis kelamin peremuan, akan tetapi jika rasanya pedas
atau hambar maka si jabang bayi berjenis kelamin laki-laki. Pada
siang hari biasanya menjajakan petis atau rujak tersebut keliling
kampung. Rujak akan dijual denga membayar seikhlasnya. Dan uang
yang didapat akan disimpan untuk sijabang bayi di kemudian hari.
Dan akhir dari proses tujuhbulanan adalah riungan yang biasanya
dilakukan oleh kaum laki-laki, acara ritual keagmaan biasanya diisi
dengan Yasinan, membaca doa, sholawat kepada Nabi. Dengan
mengaharap keselamatan, keberkahahan dan Ridha Allah
Subahanawata’ala. Pada akhir dari doa bersama maka orang-orang
yang hadir akan dibawakan berkat atau besek sebagai ucapan
9

terimakasih dan sedekah, berbagi kebahagiaan. Dan acara keagamaaan


di Banten sering disebut dengan “selametan”. 13
2. Karya M.A Tihami, Guru Besar UIN Sultan Maulana Hasanuddin
Banten ini membahasa tentang “Ritual dan Simbolisasi Agama dalam
Budaya Kuliner Masyarakat Banten” (2016) .
Buku“Ritual dan Simbolisasi Agama dalam Budaya Kuliner
Masyarakat Banten” banyak membahas tentang simbolisasi makanan
dalam acara selamten yang ada di Banten seperti: makanan dalam
ruwat rumah, makanan ritus peralihan, makanan dalam ruwat laut, dan
makanan dalam ruwat bumi. Makanan sebagai simbol wujud atas
syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam buku ini juga membahas tentang makanan sebagai identitas
kultural yang memiliki tiga point penting seperti: a. Food as religius
identity ( makanan dan hidangan keluarga memainkan peran penting
dalam menjaga identitas religius). b. Food as social power (makanan
juga simbol atas status sosial). c. Culture versus nature: the meaning
of meat (sepanjang peradaban manusia, makan daging merupakan
peradaban manusia tertinggi, beradab ditandai dengan teknologi
berburu yang tinggi. Dan darah menyimbolkan kuasa atas alam). Dari
hal tersebut kita dapat menyimpilan bahwa makanan memiliki kuasa
atas perjalanan kehidupan seseorang bahkan bisa jadi sebagai penentu
atas kepercayaannya.
Buku ini juga membahas tentang berbagai jenis makanan tradision
yang ada di Banten seperti nasi samin, nasi syeh, angen lada, apem
cimanuk, rabeg, grem asem, jejorong, ketan bintul, gemblong, pasung,
opak, rengginang, lemper dan masih banyak lainnya, tentu makanan
tersebut memiliki fungsi dan makna tersendiri jika hadir dalam acara
ruwatan atau selamten yang tidak lepas dari peran agama itu sendiri,
bahkan dalam buku ini menyebutkan al-quran sebagai landasan dalan
pelaksanaan selamten tersebut.

13
M.A Tihami, Ritual dan Simbolisasi Agama dalam Budaya Kuliner Masyarakat
Banten,....133
10

3. Buku yang berjudul; Sesajen Menelusuri Makna Dan Tradisi


Masyarakat Muslim Banten Dan Masyarakat Hindu Bali ( 2018),
Karya Eneng Purwanti Dkk, yang membahas tentang kajian teoiritis
tentang sesajen yang ada pada acara ruwatan di Banten maupun di
Bali, tentang simbol, makna dan fungsi sesajen. Sesajen bukan hanya
menyuguhkan makanan tetapi ada juga bunga-bunga berbagai jenis,
air suci, menyan, hewan khusus dan benda-benda yang dianggap dapat
diterim oleh Sang Maha Pencipta dan pemilik semesta alam. Bahkan
di bali sesajen dipersembahkan untuk ruh-ruh para leluhur dan dewa.
Buku “ juga Sesajen Menelusuri Makna Dan Tradisi Masyarakat
Muslim Banten Dan Masyarakat Hindu Bali” menjelaskan perbedaan
antara masyarakat Banten dan Bali dalam melaksanankan ruwatan,
dan selametan dalam ritual peralihan. Khususnya ritual peralihan
kematian beserta makanan yang disajikan dalam acara tersebut.
Karya-karya diatas merupakan kajian antropologi yang fokus
membahas tentang selametan, ritus peralihan dan makanan tradisional Banten,
kajian yang menggunakan pendekatan etnografi. Banten memiliki kekayaan
yang banyak pada bidang budaya termasuk makanan dalam sebuah acara ritual
yang sakral. Tentu makanan dapat komponen terpenting dalam pelaksanaan
ritual. Bahkan mungkin tidak hanya di Banten, di Daerah lain pun memiliki
banyak ritual yang menggunkan makanan sebagai komponen terpenting dalam
ritual peralihan termasuk tentang ritual kematian. sebuah tradisi pasti
mempunyai kesamaan entah isi dari ritualnya, makanan yang disajikan atau
maksud dan tujuan ritual diadakan, tetapi untuk memaknai makanan tersebut
jelas berbeda. Karena setiap daerah tentu memiliki nilai dan pemaknaan
tersendiri terhadap ritual dijalankan.
[

E. Kerangka Pemikiran
Ritual dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai ‘tata
cara dalam upacara keagamaan dan ritual adalah berkenaan dengan ritus; dan
hal ihwal ritus’.14Ritual merupakan tata cara dalam upacara atau suatu
perbuatan keramat yang dilakukan oleh sekelompok umat beragama, yang
ditandai dengan adanya berbagai macam unsur dan komponen, yaitu adanya
14
Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Pembinaan
Pengembangan Bahasa, Balai Pustaka, 1990), pp.883-884.
11

waktu, tempat-tempat dimana upacara dilakukan, alat-alat dalam upacara,


serta orang-orang yang menjalankan upacara.15
Ritus adalah alat manusia religius untuk melakukan perubahan yang
juga dikatakan sebagai simbolis agama atau ritual yang merupakan “agama
dan tindakan”.16 Ritual keagamaan yang dilakukan oleh masyarakat umumnya
berdasarkan atas kepercayaan dan tradisi lokal masyarakat setempat.
Kepercayaan seperti inilah yang mendorong manusia untuk melakukan
berbagai perbuatan atau tindakan yang bertujuan mencari hubungan dengan
dunia gaib penguasa alam melalui ritual-ritual, baik ritual keagamaan
(religious ceremonies) maupun ritual-ritual adat lainnya yang dirasakan oleh
masyarakat sebagai saat-saat genting, yang bisa membawa bahaya gaib,
kesengsaraan dan penyakit kepada manusia maupun tanaman.17
Salah satu komponen penting dalam sistem religi adalah ritus dan
upacara. Sistem ritus dan upacara dalam suatu religi berwujud aktivitas dan
tindakan manusia dalam melaksanakan kebaktiannya terhadap Tuhan, dewa-
dewa, roh nenek moyang, atau makhluk halus lainnya, dan dalam usahanya
untuk berkomunikasi dengan Tuhan dan penghuni dunia gaib lainnya. Ritus
atau upacara religi biasanya berlangsung berulang-ulang, baik setiap hari,
setiap musim, atau kadang-kadang saja. Suatu ritus atau upacara religi
biasanya terdiri dari suatu kombinasi yang merangkaikan satu-dua atau
beberapa tindakan, seperti berdoa, bersujud, bersaji, berkorban, makan
bersama, menari dan menyanyi, berprosesi, berseni-drama suci, berpuasa,
intoxikasi, bertapa, dan bersemedi.
Menurut Wirano, makanan tradisional adalah makanan yang lekat
dengan tradisi setempat. Sementara itu Hadisantosa (1993), mendefinisikan
pangan tradisional sebagai makanan yang dikonsumsi oleh golongan etnik dan
wilayah spesifik, diolah berdasarkan resep yang secara turun temurun. Bahan
yang digunakan berasal dari daerah setempat dan makanan yang dihasilkan
juga sesuai dengan selera masyarakat.18
15
Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial (Jakarta: Dian Rakyat, 1985),
p.56.
16
Adeng Muchtar Ghazali, Antropologi Agama (Bandung: Alfabeta, 2011), p.50.
17
Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, ( Jakarta: Dian Rakyat, 1985),
pp.243-246.
18
Dikutip dari F.G. Wirano, (ed.), Kumpulan Makanan, Tradisional I (Jakarta: Pusat
Kajian Makanan Tradisional Perguruan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1999),1
dalam buku M.A. Tihami, Ritual dan Simbolisasi Agama dalam Budaya Kuliner Mayarakat
12

Sedangkan makanan pada pelaksanaan ritual seringkali disebut sesajen


atau sajen atau sesaji. Istilah sesaji menurut asal usul katanya berasal dari kata
saji yakni menyajikan, artinya dihidangkan, makanan yang disajikan untuk
mahluk-makhluk halus sebagai ungkapan rasa kepercayaan manusia, yang
hadir sebagai simbol semangat atau spiritualisme.
Sesaji merupakan aktualisasi dari pikiran, keinginan dan perasaan
pelaku untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan. Sesaji memiliki makna
simbolik tertentu sebagai media untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan
Yang Maha Esa dan arwah para leluhur.19 Sesaji juga berfungsi sebagai bentuk
ucapan rasa syukur dan merupakan usaha agar prosesi berjalan dengan lancar.
Disamping itu semua unsur sajian pada hakikatnya satu demi satu dari aspek
namanya, bentuknya, sifatnya, atau warnanya mengandung makna dan
harapan tertentu. 20

F. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan metode penelitian
kebudayaan dengan menggunakan pendekatan antropologis. Kata kebudayaan,
berasal dari terjemahan kata kultur. Kata kultur dalam bahasa latin yang
berarti cultura artinya memelihara dan mengerjakan. Dalam hal ini cakupan
kebudayaan menjadi sangat luas. Oleh karena itu, konsep kebudayaan itu
sendiri menjadi beragam. Menurut Kroeber dan Kluckhohn yang dikutip
Suwardi Endraswara, menggolongkan definisi kebudayaan menjadi tujuh hal.
Pertama, kebudayaan sebagai keseluruhan manusia yang kompleks. Kedua,
menekankan sejarah kebudayaan yang memandang kebudayaan sebagai
warisan tradisi. Ketiga, menekanakan kebudayaan yang bersifat normatif.
Keempat, pendekatan kebudayaan dari aspek pesikologis. Kelima, kebudayaan
sebagai struktur yang membicarakan pola-pola dan organisasi kebudayaan.
Keenam, kebudayaan sebagai hasil perbuatan atau kecerdasan. Ketujuh,
definisi kebudayaan yang tidak lengkap dan kurang bersistem.21

Banten.
19
Eneng purwanti dkk, sesajen: menelusuri makna dan akar tradisi sesajen masyarakat
muslim banten dan masyrakat hindu bali (serang: LP2MUIN SMH BANTEN, 2018)p. 33
20
Koentjaraningrat, Ritus Peralihan Di Indonesia. (Jakarta: Balai Pustaka, 1993) P. 124-
125
21
Suawardi Endraswara, Metodologi Penelitian Kebudayaan, (Yogyakarta, Gadjah Mada
University Press, 2012), P. 1.
13

Ethnografi, menurut James P. Spradley, merupakan pekerjaan


mendeskripsikan suatu kebudayaan. Tujuan utama etnografi adalah untuk
memahami suatu pandangan hidup dari sudut pandang penduduk asli,
sebagaimana dikemukakan oleh Bronislaw Malinowski, bahwa tujuan
etnografi adalah ‘memahami sudut pandang penduduk asli, hubungannya
dengan kehidupan, untuk mendapatkan pandangannya mengenai dunianya”.22
Selanjutnya, Spradley berpendapat bahwa etnografi bermakna untuk
membangun suatu pengertian yang sistemik mengenai semua kebudayaan
manusia dari perspektif orang yang telah mempelajari kebudayaan itu.23
Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah dengan
menggunakan teknik–teknik berikut ini:
1. Penentuan lokasi penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti memilih tentang Kueh Pitung Rupa
dalam ritus kematian di Gunungsari Serang Banten. Memilih lokasi
penelitian di kampung Bojong Desa Kaduagung Kecamatan Gunungsari
Serang Banten merupakan hal yang menarik untuk dibahas. Mengingat
adanya perbedaan dalam memaknai makanan pada sebuh ritus kematian dari
masyarakat di Banten pada umumnya. Pelaksanaan ritual ini hampir setiap
elemen masyarakat mengadakanya, hanya saja ada beberapa hal yang
berbeda dalam melakukan ritual kematian. masyarakat Gunungsari misalnya
yang memiliki kueh pitung rupa dalam ritual kematiannya seperti
tujuhariannya.
2. Teknik pengumpulkan data
Dalam penelitian kebudayaan adalah kegiatan mengumpulkan data
penelitian sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Kelancaran
pengumpulan data bergantung pada peneliti, terutama persiapan-persiapan
yang seharusnya dilakukan.
Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah dengan
menggunakan teknik – teknik berikut ini:
a. Kajian kepustakaan
Kajian kepustakaan digunakan untuk mengumpulkan teori –teori yang
akan digunakan sebagai landasan dalam mengkaji masalah inti dalam

22
James P. Spradley, Metode Etnografi 2nd Ed., Terj. Misbah Zulfa Elizabeth,
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 2007), Pp.3-4.
23
James P. Spradley, Metode Etnografi…, p.13.
14

penelitian ini, juga untuk mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya


tentang fenomena-fenomena yang relevan dengan fokus kajian ini untuk
menjadi bahan rujukan dan sebagai bahan perbandingan.
b. Pengamatan Terlibat (Participant Observation)
Participant Observation atau pengamatan terlibat dilakukan untuk
melihat fenomena sosial yang terjadi pada kehidupan sehari-hari dari
masyarakat, terutama objek yang akan diteliti. Dalam hal ini, peneliti akan
mencoba mengamati bagaimana konsepsi, perilaku, dan sikap masyarakat
terhadap keberadaan tradisi kueh pitung rupa dalam ritus kematian di
Gunungsari Serang Banten. Oleh karena itu, pengamatan terlibat (Participant
Observation) menjadi tehnik penelitian yang penting dalam penelitian
kualitatif ini, untuk dapat memperoleh informasi yang lengkap tentang
konsepsi dan praktik ritual kueh pitung rupa dalam ritus kematian di
Gunungsari Serang Banten.
c. Wawancara Mendalam (In-Depth Interview)
Wawancara dilakukan untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan
untuk melengkapi hasil pengamatan. Apabila dari hasil pengamatan tidak
terlalu banyak didapatkan informasi, maka wawancara mendalam (In-Depth
Interview) akan dilakukan agar penggalian informasi tentang ide-ide,
gagasan-gagasan, nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan
masyarakat Gunungsari, para ibu-ibu sepuh, tokoh agama dan lainnya yang
berkaitan dengan inti permasalahan ini. Dan wawancara diusahakan bersifat
rilex, sehingga informan bisa memberikan informasi sebanyak-banyaknya
secara bebas.

G. Sistematika Pembahasan
Sistematika dalam penelitian ini disusun menjadi lima bab, setiap bab
terdiri dari beberapa sub bab. Adapun sistematika penulisannyaadalah sebagai
berikut:
Bab I Pendahuluan Meliputi: Latar Belakang Masalah, perumusan
Masalah, Tujuan Penelitian, Kajian Pustaka, Kerangka Teori, Metode
Penelitian dan Sistematika Pembahasan.
Bab II Asal Usul Kueh Pitung Rupa Dalam Ritus Kematian Di
Gunungsari Serang Banten Meliputi : Gambaran Umum Lokasi Penelitian,
15

Kondisi Sosial Budaya Masyarakat Gunungsari, Awal Mula Keberadaan Kueh


Pitung Rupa Dalam Ritus Kematian Di Gunungsari
Bab III Poses Ritual Kueh Pitung Rupa Dalam Ritus Kematian Di
Gunungsari Serang Banten Meliputi; Penyajian Kueh Pitung Rupa,
Perkembangan Kueh Pitung Rupa Di Gunungsari. Komposisi Sajian Kueh
Pitung Rupa Dalam Suguhan Rituas Kematian Di Gunungsari Serang Banten.
Bab IV Fungsi Dan Makna Kueh Pitung Rupa Dalam Ritus Kematian
Di Gunungsari Serang Banten Meliputi: Fungsi Kueh Pitung Rupa Dalam
Ritus Kematian Di Gunungsari Serang Banten, Makna Kueh Pitung Rupa
Dalam Ritus Kematian Bagi Masyarakat Gunungsari. Tabu Dan Mitos Dalam
Ritus Kematian Di Gunungsari Serang Banten.
BAB V Penutup Meliputi Kesimpulan Dan Saran.

Anda mungkin juga menyukai