PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Jika berbicara tentang makanan, banyak dari kita berbicara tentang
asupan untuk mengisi perut yang bertujuan untuk pemenuhan gizi dan energi
bagi tubuh. Padahal pembahasan makanan tidak selalu tentang perut, karena
banyak sekali hal yang dapat dibahas dalam menghadirkan suatu makanan.
seperti tentang bagaimana proses adanya makanan tradisisonal, tujuan
dihadirkannya makanan, makna dan fungsi makanan tersebut, dan banyak hal
yang dapat dibahas tergantung dari sudut mana menilai dan mengamati suatu
makanan.
Makanan dapat hadir disengaja atau tidak, pada kenyataannya orangtua
kita telah mewariskan makanan sebagai warisan budaya yang harus
dipertahankan dan dikembangkan yang diturunkan baik melalui lisan maupun
tulisan. seperti jenis makanan, cara mengolah makanan, cara menyajikan
makanan, cara mengkonsumsi makanan dengan cara-cara yang dipercaya
dapat menghadirkan keberkahan dari Sang Pencipta alam semesta. Makanan
dapat dihadirkan dalam sebuah ritual dengan tujuan dan fungsinya tersendiri.
menghadirkan makanan dalam sebuah ritual keagamaan masih banyak
ditemukan pada orang-orang disekitar kita. Ritual dan makanan adalah dua
unsur yang tidak dapat dipisahkan karena saling berhubungan dan
membutuhkan.1
Di Indonesia khusunya Banten pasti memiliki ciri khas dan keunikan
tersendiri dalam melaksanakan ritual, terutama ritual peralihan mulai dari
kehamilan, lahiran, kanak-kanak, remaja, dewasa, menikah, sakit, pengobatan
lalu meningggal sampai pada proses pemakamannya. Ritual yang menandai
perubahan dan pergantian kondisi atau siklus hidup seseorang yang pasti
datang dan tidak akan terlewatkan. dalam disiplin ilmu antropolgi disebut rites
of passage.2
1
M.A Tihami, Ritual Dan Simbolisasi Agama Dalam Budaya Kuliner Masyarakat
Banten, (LP2M Institut Agama Islam Negeri Sultan Maulana Hasanudin Banten, 2016),P.68
2
Ayatullah Humaeni, “Rites of Passages (Ritus Peralihan masyarakat Banten)”, (Laporan
Penelitian), LP2M IAIN SMH Banten, 2015). p. 25
1
2
3
Ayatullah Humaeni, “Rites of Passages................ p. 33
4
Ayatullah Humaeni, “Rites of Passages................ p. 52
5
Yevita Nurti,” Kajian Makanan Dalam Perspektif Antropologi”: Jurnal Antropologi: Isu-Isu Sosial
Budaya, Vol. 19 No.1 (Juni, 2017), P.1.
3
wujud pertama kebudayaan berbentuk abstrak. Ide, gagasan, nilai atau norma
sebagai suatu “pikiran masyarakat” berkembang saling terkait satu sama lain
sebagai suatu sistem kultural yang disebut “adat istiadat”. Sementara itu, wujud
kebudayaan yang kedua merupakan sistem sosial yakni aktivitas atau tindakan
manusia yang membentuk pola-pola perilaku masyarakat yang dilandasi oleh adat
istiadat. Sistem sosial ini berwujud konkret sehingga bisa diamati di dalam
keseharian kegiatan masyarakat. Wujud kebudayaan yang ketiga adalah benda-
benda fisik yang sifatnya konkret berupa benda-benda dari segala hasil ciptaan,
karya, tindakan, aktivitas, atau perbuatan manusia dalam masyarakat. Ketiga
wujud kebudayaan itu tidak terpisah satu sama lain.
Berdasarkan gagasan Koentjaraningrat itu, kita dapat menyimpulkan
bahwa di balik makanan sebagai produk budaya, ada sistem sosial berupa aktivitas
yang membentuk pola-pola perilaku dalam masyarakat maupun sistem kultural
berupa ide, gagasan, atau nilai yang menjiwai hidup masyarakat. Makanan sebagai
hasil karya konkret dalam budaya tidak dapat dipisahkan dari aktivitas makan
maupun nilai-nilai filosofis yang mendasarinya di dalam masyarakat.
Georg Simmel, seorang sosiolog Jerman, menyatakan bahwa makan
berdimensi individual sekaligus komunal. Di satu sisi, makan adalah urusan
individual, artinya proses makan adalah proses sekali jadi, sehingga makanan
tertentu yang dimakan secara eksklusif oleh seseorang ke dalam tubuhnya tidak
dapat dimakan kembali oleh orang lain. Makan bersifat egoistik karena setiap
manusia memakan makanannya sendiri-sendiri, dan tidak dapat memakan
makanan yang ada dalam tubuh orang lain.. Ketika makanan yang sama dibagi-
bagikan dan dimakan bersama-sama dengan orang lain, makan tidak lagi disadari
sebagai aktivitas egoistik. Dalam peristiwa makan bersama, persaudaraan,
solidaritas, rasa senasib sepenanggungan sebagai sesama anggota komunitas
melampaui egoisme diri. Makanan mempersatukan orang dalam satu identitas
bersama.
Makanan pada sebuah pelaksaan ritual peralihan (salah satunya kematian)
menjadi objek terpenting didalamnya, namun seringkali terabaikan dalam kajian
penelitian. Hubungan manusia dengan makanan tidak hanya terkait tentang urusan
4
dasar seperti memuaskan rasa lapar atau pemenuhan gizi. Lebih dari itu manusia
menggunakan makanan dengan banyak tujuan yang berbeda. Ritual yang
melibatkan makanan tidak hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan biologis
manusia akan tetapi menjadi bukti dari sikap religius seseorang terhadap
Tuhannya. Karena menghadirkan makanan dalam ritual dan kegiatan keagamaan
dipercaya dapat menghadirkan keberkahan tertenu. 6
Pada masyarkat Banten terdapat makanan khas yang dibuat dan
disajikan dengan melakukan ritual seperti kueh pitung rupa (makanan tujuh
rupa) dalam perayaan ritus kematian di Gunungsari Serang Banten. Kueh
pitung rupa merupakan makanan yang didalamnya terdapat tujuh jenis
makanan yang hadir pada pelaksanaan acara tujuharian orang meninggal.
Kueh pitung rupa disajikan sebagai sedekah yang diniatkan untuk orang yang
sudah meninggal. kueh pitung rupa memiliki makna dan fungsinya bagi
masyarakat Gunungsari. Pada pelaksanaanya seorang tokoh agama dan
masyarakat akan membaca doa-doa tertentu baik yang disediakan untuk
upacara khusus maupun keseharian. Doa-doa yang dibaca merupakan doa
yang diambil dari Al-Qur’an sebagai pedoman masyarakat Banten khususnya
Gunungsari yang mayoritas beragama Islam.7
Dalam kajian antropologi, makanan merupakan bagian dari konsep
kebudayaan. Maka makanan bukan semata-mata sebagai bahan produksi
pemenuhan gizi dalam tubuh, melainkan bagian dari mempertahankan
kebudayaan.8 Makanan juga dapat terikat pada hubungan sosial, ide-ide
kultur, ekspresi diri, menjadi sebuah ukuran pertukaran sosial, pembangkit
ekonomi dan kesehatan. Makanan khas juga dipengaruhi oleh perbedaan
sejarah dan letak geografis daerah asalnya. makanan berperan besar dalam
membentuk ikatan sosial, sehingga makanan berdimensi komunal. Ketika
6
U.J. Adam,A.Y. Dkk,” Sesajen Sebagai Nilai Hidup Bermasyarakat Di Kampung
Cipicung Girang Kota Bandung”. Indonesian Journal Of Sociology, Education, And
Development,Vol. 1. No.1 (Januari-Juni 2019). P 26
7
M.A Tihami, Ritual Dan Simbolisasi Agama Dalam Budaya Kuliner Masyarakat
Banten.........P.13-14
8
T.O. Ihroni, Pokok-Pokok Antropologi Budaya ( Jakarta : Yayasan Obor, 2006) P. 35
5
C. Tujuan penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk terwujudnya deskripsi yang dapat
menjelaskan tentang:
1. Asal-Usul Kueh Pitung Rupa Dalam Ritus Kematian Di
Gunungsari Serang Banten.
2. Proses Ritual Kueh Pitung Rupa Dalam Ritus Kematian Di
Gunugsari Serang Banten.
3. Fungsi Dan Makna Kueh Pitung Rupa Dalam Ritus Kematian Di
Gunungsari.
7
D. Tinjauan Pustaka
Penelitian tentang makanan tradisional dan ritus peralihan tentu sudah
banyak dikaji di Indinesia, baik oleh para ahli maupun para akademisi. Hal ini
menunjukan bahwa banyak sekali budaya yang membahas tentang ritus
peralihan (kematian) dan makanan tradisional yang ada dan digunakan pada
acara ritus peralihan salah satunya ritual kematian. Di Indonesia sendiri kajian
tentang ritus peralihan yang populer salah satunya adalah kajian yang telah
dilakukan oleh Koentjaraningrat dalam bukunya yang berjudul “ Ritus
Peralihan Di Indonesia” yang banyak memuat tentang ragam tradisi ritual
peralihan yang ada pada masyarakat Indonesia, ritual peralihan yang tentu
didasarkan pada asas religi atau kepercayaaan pada masing-masing kelompok
di daerah tertentu.12
Pada Ritual peralihan, salah satunya ritual kematian pasti menghadirkan
makanan tradisional sebagai pelengkap pada pelaksaanan ritual. Makanan
memiliki peran khusus dalam proses pelaksaan ritual. Tentu makanan menjadi
persembahan yang memiliki makna dan fungsinya tersendiri. Bahkan menjadi
benda yang wajib hadir dalam ritual peralihan khususnya ritual kematian.
Pada jurnal Antropolgi ; isu-isu sosial budaya, yang berjudul Kajian
Makanan Dalam Prespektif Antopologi yang terbit pada tanggal 10 juni 2017.
Vol. 19: menjelaskan bahwa makanan dengan pengesahan budaya berarti akan
berkaitan dengan kepercayaan, aturan, pantangan, teknologi dan sebagainya
yang tumbuh dan berkembang dalam sekelompok masyarakat sebagai simbol-
simbol tertentu yang akan melahirkan makna-makna tertentu dalam aktifitas
sosial dan keagamaan. Hal ini menunjukan bahwa pentingnya makanan
sebagai identitas suatu masyarakat budaya.
Di Banten Ada beberapa buku yang memuat kajian tentang makanan
tradisional yang hadir dan digunakan dalam sebuah ritual peralihan khususnya
ritual kematian. Dan dikaji melalui aspek antropologi budaya dan antropologi
Agama, Buku-buku tersebut saya jadikan sebagai sumber dalam kajian
penelitian ini, diantaranya adalah sebagai berikut;
12
Koentjaraningrat, Ritus Peralihan Di Indonesia. (Jakarta: Balai Pustaka, 1993) P. 11-13
8
13
M.A Tihami, Ritual dan Simbolisasi Agama dalam Budaya Kuliner Masyarakat
Banten,....133
10
E. Kerangka Pemikiran
Ritual dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai ‘tata
cara dalam upacara keagamaan dan ritual adalah berkenaan dengan ritus; dan
hal ihwal ritus’.14Ritual merupakan tata cara dalam upacara atau suatu
perbuatan keramat yang dilakukan oleh sekelompok umat beragama, yang
ditandai dengan adanya berbagai macam unsur dan komponen, yaitu adanya
14
Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Pembinaan
Pengembangan Bahasa, Balai Pustaka, 1990), pp.883-884.
11
F. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan metode penelitian
kebudayaan dengan menggunakan pendekatan antropologis. Kata kebudayaan,
berasal dari terjemahan kata kultur. Kata kultur dalam bahasa latin yang
berarti cultura artinya memelihara dan mengerjakan. Dalam hal ini cakupan
kebudayaan menjadi sangat luas. Oleh karena itu, konsep kebudayaan itu
sendiri menjadi beragam. Menurut Kroeber dan Kluckhohn yang dikutip
Suwardi Endraswara, menggolongkan definisi kebudayaan menjadi tujuh hal.
Pertama, kebudayaan sebagai keseluruhan manusia yang kompleks. Kedua,
menekankan sejarah kebudayaan yang memandang kebudayaan sebagai
warisan tradisi. Ketiga, menekanakan kebudayaan yang bersifat normatif.
Keempat, pendekatan kebudayaan dari aspek pesikologis. Kelima, kebudayaan
sebagai struktur yang membicarakan pola-pola dan organisasi kebudayaan.
Keenam, kebudayaan sebagai hasil perbuatan atau kecerdasan. Ketujuh,
definisi kebudayaan yang tidak lengkap dan kurang bersistem.21
Banten.
19
Eneng purwanti dkk, sesajen: menelusuri makna dan akar tradisi sesajen masyarakat
muslim banten dan masyrakat hindu bali (serang: LP2MUIN SMH BANTEN, 2018)p. 33
20
Koentjaraningrat, Ritus Peralihan Di Indonesia. (Jakarta: Balai Pustaka, 1993) P. 124-
125
21
Suawardi Endraswara, Metodologi Penelitian Kebudayaan, (Yogyakarta, Gadjah Mada
University Press, 2012), P. 1.
13
22
James P. Spradley, Metode Etnografi 2nd Ed., Terj. Misbah Zulfa Elizabeth,
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 2007), Pp.3-4.
23
James P. Spradley, Metode Etnografi…, p.13.
14
G. Sistematika Pembahasan
Sistematika dalam penelitian ini disusun menjadi lima bab, setiap bab
terdiri dari beberapa sub bab. Adapun sistematika penulisannyaadalah sebagai
berikut:
Bab I Pendahuluan Meliputi: Latar Belakang Masalah, perumusan
Masalah, Tujuan Penelitian, Kajian Pustaka, Kerangka Teori, Metode
Penelitian dan Sistematika Pembahasan.
Bab II Asal Usul Kueh Pitung Rupa Dalam Ritus Kematian Di
Gunungsari Serang Banten Meliputi : Gambaran Umum Lokasi Penelitian,
15