Anda di halaman 1dari 6

M A T E R I XIII

ILMU PENGETAHUAN, TEKNOLOGI, DAN SENI


(IPTEKS) DALAM ISLAM
Dalam materi ini dijelaskan tentang:
1. Konsep Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Seni (IPTEKS)
2. Iman , Ilmu, Seni, Teknologi dan Amal Sebagai Kesatuan

1. KONSEP ILMU PENGETAHUAN, TEKNOLOGI DAN SENI (IPTEKS)


Ilmu adalah pengetahuan yang jelas tentang sesuatu, sudah diklasifikasi, diorganisasi,
disistimatisasi, dan diinterpertasi, menghasilkan kebenaran obyektif, sudah diuji kebenarannya,
dan dapat diuji ulang secara ilmiah.
Secara etimologis, kata ilmu berarti kejelasan, karena itu segala yang terbentuk dari akar
katanya mempunyai ciri kejelasan. Kata ilmu dengan berbagai bentuknya terulang sebanyak
854 kali dalam Al-Qur'an. Kata ini digunakan dalam arti proses pencapaian pengetahuan dan
obyek pengetahuan. Setiap ilmu membatasi diri pada salah satu bidang kajian. Oleh sebab itu
setiap orang yang memperdalam ilmu-ilmu tertentu disebut sebagai spesialis.
Tekhnologi merupakan salah satu budaya sebagai hasil penerapan paraktis dari ilmu
pengetahuan. Teknolgi dapat membawa dampak positif berupa kemajuan dan kesejahteraan
bagi manusia, tetapi juga sebaliknya dapat membawa dampak negatif berupa ketimpangan-
ketimpangan dalam kehidupan manusia dan alam semesta yang berakibat kehancuran alam
semesta. Oleh sebab itu teknologi bersifat netral, artinya bahwa teknologi dapat digunakan
untuk kemamfaatan sebesar-besarnya atau bisa juga digunakan untuk kehancuran manusia itu
sendiri.
Dalam pemikiran Islam, ada dua sumber ilmu yaitu: 1. wahyu dan 2. akal. Keduanya
tidak boleh dipertentangkan. Manusia diberi kebebasan dalam mengembangkan akalnya
dengan catatan dalam pengembangannya tetap terikat dengan wahyu dan tidak bertentangan
dengan syari'at. Atas dasar itu ilmu terbagi dua bagian yaitu: 1. ilmu yang bersifat
abadi (perennial knowledge), tingkat kebenarannya bersifat mutlak (absolute), karena
bersumber dari wahyu Allah, dan 2. ilmu yang bersifat perolehan (aquired knowledge), tingkat
kebenarannya bersifat nisbi (relative), karena bersumber dari akal pikiran manusia.
Pengetahuan dapat di artikan sebagai hasil tahu manusia terhadap sesuatu objek yang
dihadapi, hasil usaha manusia untuk memahami suatu objek tertentu. Maka , pengetahuan
adalah segala fenomena alam yang dapat dicapai oleh indra manusia . Konsekwensi logis dari
pengetahuan akan melahirkan berbagai pengalaman manusia , akan tetapi pengalaman
manusia ini terkadang kebenarannya tidak mutlak dan perlu diuji lagi.
Kata sains disadur dalam bahasa Indonesia menjadi ilmu pengetahuan , sedangkan
dalam sudut pandang filsafat ilmu, pengetahuan dengan ilmu sangat berbeda maknanya.
Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui manusia melalui tanggapan panca indera
dan instuisi, sedangkan ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang telah diinterpretasi ,
diorganisasi dan disistematisasi sehingga menghasilkan kebenaran obyektif , sudah diuji
kebenarannya dan dapat diuji ulang secara alamiah. Secara etimologis kata ilmu berarti
kejelasan , karena segala yang terbentuk dari akar katanya mempunyai cirri kejelasan (M. Daud
Ali, 1998:69)
Istilah teknologi merupakan produk ilmu pengetahuan. Dalam sudut pandang budaya,
teknologi merupakan salah satu unsur budaya sebagai hasil penerapan praktis dari ilmu
pengetahuan. Meskipun pada dasarnya teknologi juga memiliki karakteristik obyektif dan
netral. Dalam situasi tertentu teknologi tidak netral lagi karena memiliki potensi untuk merusak
dan potensi kekuasaan. Disinilah letak perbedaan ilmu pengetahuan dengan teknologi.
Teknologi dapat membawa dampak positif berupa kemajuan dan kesejahteraan bagi
manusia juga sebaliknya dapat membawa dampak negative berupa ketimpangan-ketimpangan
dalam kehidupan manusia dan lingkungannya yang berakibat kehancuran alam semesta.
Netralitas teknologi dapat digunakan untuk kemanfaatan sebesar-besarnya bagi kehidupan
manusia dan atau digunakan untuk kehancuran manusia itu sendiri. Oleh sebab itu kebenaran
ipteks sangat relatif. Sumber ipteks dalam islam adalah wahyu allah. Ipteks yang islami selalu
mengutamakan kepentingan orang banyak dan kemaslahatan bagi kehidupan manusia. Untuk
itu ipteks dalam pandangan islam tidak bebas nilai. Integrasi ipteks dengan agama merupakan
suatu keniscayaan untuk menghindari terjadinya proses sekularisasi yaitu pemisah
antaradoktrin-doktrin agama dengan pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.
Tujuh factor yang menjadi pendorong bagi kemajuan IPTEK di dunia islam pada abad
yang lalu, antara lain:
1. Kesatuan agama dan budaya agama islam
2. Arabisasi dan peranan bahasa arab
3. Akademi, sekolah, observasi, dan perpustakaa
4. Kebijakan Negara tentang pengembangan IPTEK
5. Perlindungan Negara sangat jelas terhadap para ilmuan dan para insinyur
6. Penelitian, eksperimen dan penemuan baru
7. Perdagangan internasional

Syarat-syarat ilmu.
Suatu pengetahuan dapat dikategorikan sebagai ilmu apabila memenuhi tiga unsure
pokok sebagai berikut:
1. Ontologi artinya bidang studi yang bersangkutan memiliki obyek studi yang jelas. Obyek
studi sebuah ilmu ada dua yaitu obyek material dan obyek formal.
2. Epistimologi artinya bidang studi yang bersangkutan memiliki metode kerja yag jelas. Ada
tiga metode kerja suatu bidang studi yaitu metode deduksi, induksi dan edukasi.
3. Aksiologi artinya bidang studi yang bersangkutan memiliki nilai guna atau
kemanfaatannya. Bidang studi tersebut dapat menunjukkan nilai-nilai teoritis,hukum—
hukum, generalisasi, kecenderungan umum, konsep-konsep, dan kesimpulan-kesimpulan
logis, sistematis dan koheren.
Islam dan Seni
Seni adalah ekspresi ruh yang mengandung dan mengungkap keindahan. Syair,
nyanyian, tarian, dan peragaan di pentas, lukisan atau pahatan, semuanya adalah seni, selama
terpenuhi unsur keindahan.

Tidak mudah mendefinisikan keindahan. Kendati nalar meletakkan syarat dan ukuran,
tetapi bukan nalar itu yang menetapkannya. Ukuran dan syarat itu bersumber dari dalam diri
manusia atau masyarakat. Allah swt. menganugerahkan manusia rasa bagaikan reciever yang
peka sehingga dengan mudah seseorang menangkap, merasakan, dan menyambutnya. Itulah
salah satu fitrah yang dianugerahkan Allah kepada manusia.

Seni adalah keindahan, ia dapat tampil dalam beragam bentuk dan cara. Apa pun
bentuk dan caranya, selama arah yang ditujunya mengantar manusia ke nilai-nilai luhur, maka
ia adalah seni Islami. Karena itu, Islam dapat menerima aneka ekspresi keindahan selama tidak
bertentangan dengan nilai-nilai al-Khair dan al-Ma’ruf , (baik yang bermanfaat) yakni nilai-nilai
universal yang diajarkan Islam serta nilai lokal dan temporal yang sejalan dengan budaya
masyarakat selama tidak bertentangan dengan al-Khair tersebut. “Allah Maha-indah
menyukai keindahan,” sabda Rasul saw. Dia menganugerahi manusia fitrah menyenangi
keindahan. Karena itu, mustahil seni dilarang-Nya, kecuali jika ada unsur luar yang menyertai
seni itu. Siapa yang tidak tergerak hatinya di musim bunga dengan kembang-kembangnya atau
oleh alat musik dengan getaran nadanya, maka fitrahnya telah mengidap penyakit parah yang
sulit diobati. Demikian kata al-Ghazaly.

Dari sini setiap karya, karsa, dan rasa yang mengantar kepada peningkatan, bukan saja
diizinkan-Nya, tetapi direstui dan didorong-Nya, sebaliknya semua yang mengantar ke selera
rendah dibenci dan dikutuk-Nya. Siapa pun yang mempertemukan secara indah wujud ini
dengan Tuhan, maka upayanya itu adalah seni Islami. Yang tidak mempertemukannya bukanlah
seni Islami. “Art for Art” tidak dikenal oleh kamus ajaran Islam karena bagi seorang Muslim,
seluruh gerak dan diamnya harus diarahkan kepada-Nya, “Shalatku, ibadahku, hidup dan
matiku adalah untuk Allah swt.” (Surat al-An’âm ayat 162).

Setiap seniman, bahkan siapa pun yang jujur dengan profesinya, pasti memiliki
pandangan hidup menyangkut manusia, alam, dan kehidupan. Pandangan itu bisa luas dan
langgeng, bisa juga terbatas wilayah dan masanya. Seni Islami menuntut seniman untuk
memandang alam ini tidak terbatas pada sisi materialnya atau hanya di sini dan sekarang, tetapi
jauh ke sana, bersama “ruh kehidupan” yang menyertainya—kendati sesuatu itu tidak
bernyawa—lalu pada akhirnya bergerak mengarah dan bertemu dengan Sang Pencipta. Langit
dan bumi serta segala isinya dalam pandangan kitab suci al-Qur’an amat indah, seimbang, dan
serasi serta hidup, bahkan bertasbih memuji dan mengarah kepada-Nya (Surat al-Isrâ’ ayat 44).
Bukit Uhud dilukiskan oleh Nabi saw. sebagai mencintai kita dan kita pun mencintainya.

Banyak yang menyalahpahami sikap Islam terhadap seni atau paling tidak
mempersempit ruang lingkup yang dibenarkan agama ini, padahal ruang lingkupnya amat luas.
Bermula dalam bentuk mengekspresikan keindahan lahiriah manusia—pakaian, penampilan,
cara dan susunan tuturnya—hingga keindahan batin melalui kepekaan rasa yang melahirkan
budi pekerti dan interaksi harmonis. Setiap agama memunyai keindahan dan keindahan Islam
adalah pada budi pekertinya. Keindahan yang diajarkan serta dianjurkan untuk diekspresikan
adalah yang lahir dari rasa yang suci, jiwa yang bersih serta akal yang cerdas guna menonjolkan
keindahan ciptaan Allah atau kebesaran Kuasa-Nya.

Puluhan ayat-ayat al-Qur’an yang menggugah manusia memandang keindahan yang


terhampar di bumi seperti keindahan terbitnya matahari hingga terbenamnya atau kebun-
kebun yang melahirkan pandangan indah, demikian juga keindahan yang terbentang di langit
dari curahan airnya yang menumbuhkan aneka bunga dan kembang sampai dengan taburan
bintang-bintangnya yang memesona. Kitab suci al-Qur’an menggunakan keindahan bahasa dan
ketelitian makna untuk mengekspresikan keindahan-keindahan itu. Keindahan bahasanya, saat
dibaca, melahirkan apa yang dinamai oleh sementara pakar dengan “Musik al-Qur’an”, yakni
nada dan langgam yang menyentuh pendengarnya, baik dipahami makna ayatnya maupun
tidak. Bukan hanya itu, Nabi Muhammad saw. juga membenarkan nyanyian-nyanyian yang
menggugah hati atau yang menimbulkan semangat. Jangan duga bahwa nyanyian Islami harus
berbahasa al-Qur’an. Lagu-lagu Barat pun dapat merupakan eskpresi keindahan yang sejalan
dengan nilai-nilai Islam, dan sebaliknya tidak jarang lagu-lagu berirama Timur Tengah yang
tidak sejalan dengan nilai-nilai Islam dalam syair atau penampilan penyanyinya.

Memang sebagian di antara ekspresi keindahan yang kita kenal dewasa ini belum
terjamah pada masa Nabi Muhammad saw. dan sahabat-sahabat beliau atau bahkan terlarang
akibat kondisi-kondisi tertentu ketika itu. Sebagai contoh, seni pahat. Dahulu “seni” ini secara
tegas terlarang karena ia dijadikan sarana ibadah kepada selain Allah. Jika pahatan itu tidak
mengarah kepada penyembahan selain Allah, tetapi merupakan ekspresi keindahan, maka ia
boleh-boleh saja. Bukankah—kata ulama—Nabi Sulaiman pun memerintahkan untuk membuat
antara lain patung-patung (Surat Saba’ ayat 13) yang tentunya bukan untuk disembah, tetapi
antara lain untuk dinikmati keindahannya.

Ketika sahabat-sahabat Nabi Muhammad saw. menduduki Mesir, di sana mereka


menemukan aneka patung peninggalan dinasti-dinasti Fir’aun. Mereka tidak
menghancurkannya karena ketika itu, ia tidak disembah tidak juga dikultuskan, bahkan kini
peninggalan-peninggalan tersebut dipelihara dengan amat baik, antara lain untuk menjadi
pelajaran dan renungan bagi yang memandangnya.

Benar bahwa ada riwayat-riwayat yang menyatakan bahwa “Malaikat tidak masuk ke
satu rumah bila di dalamnya terdapat patung,” tetapi itu bila patung tersebut disembah,
atau melanggar sopan santun atau mengundang selera rendah. Menikmati keindahan adalah
fitrah manusia secara universal, sedang Islam adalah agama universal yang
bertujuan membangun peradaban. Kebenaran, kebaikan, dan keindahan adalah tiga unsur
mutlak bagi satu peradaban. Mencari yang benar menghasilkan ilmu, menampilkan kebaikan
mencerminkan moral, dan mengekspresikan keindahan melahirkan seni. Namun, ketiganya
tidak berarti jika tidak ada yang menggali, menampilkan, dan mengeksperesikannya.
Selanjutnya perlu dicatat bahwa peradaban tidak dapat dibangun dengan mengabaikan
hasil positif yang telah dicapai oleh siapa pun pada masa lalu. Karena itu, dari mana pun sumber
kebenaran, maka Islam menerimanya. “Hikmah adalah milik orang mukmin; di mana pun ia
temukan, maka ia lebih berhak mengambilnya. Kenalilah kebenaran pada ide, bukan pada
pencetusnya,” demikian beberapa ungkapan populer yang dikenal dalam literatur Islam. Prinsip
di atas berlaku juga menyangkut keindahan dan kebaikan. Di mana atau siapa pun yang
mencetuskan atau mengeksperesikannya, selama sejalan/tidak bertentangan dengan nilai-nilai
yang dibenarkan Islam, maka itu dapat saja diterima, tanpa harus mempertimbangkan agama,
bangsa, atau ras pencetusnya.

Seni Islami tidak harus berbicara tentang Islam atau hanya dalam bentuk kaligrafi ayat-
ayat al-Qur’an. Lalu, yang pasti seni Islami bukan sekadar nasihat langsung atau anjuran
mengikuti kebajikan. Ia adalah ekspresi keindahan tentang alam, kehidupan dan manusia yang
sejalan dengan nilai-nilai Islam. Seni Islam adalah yang mempertemukan keindahan dengan
hak/kebenaran. Karya indah yang menggambarkan sukses perjuangan Nabi Muhammad saw.,
tetapi dilukiskan sebagai buah kegeniusan beliau terlepas dari bantuan Allah, karya itu bila
dilukiskan demikian tidak dapat dinilai sebagai seni Islami. Sebaliknya, mengekspresikan
keindahan yang ditemukan pada ternak ketika kembali ke kandang dan ketika melepaskannya
ke tempat penggembalaan, sebagaimana diungkapkan oleh Surat an-Nahl ayat 6, dapat
merupakan seni Islami selama mengundang keagungan Allah. Boleh jadi ada yang menduga
bahwa Islam tidak merestui seni, pandangan itu keliru. Memang Islam tidak menyetujui seni
yang terlepas dari nilai-nilai Islami atau yang melukiskan kelemahan manusia dengan tujuan
mengundang tepuk tangan dan membangkitkan selera rendah. Demikian, wa Allâh A’lam.

2. IMAN , ILMU, SENI, TEKNOLOGI DAN AMAL SEBAGAI KESATUAN


Islam merupakan ajaran agama yang landasan pengembangannya adalah iman. Iman
adalah kepercayaan terhadap wujud zat yang maha mutlak yang menjadi tujuan hidup manusia.
Iman merupakan fundamen dalam sistem ajaran islam. Iman merupakan potensi dasar yang
harus di kembangkan dan pengembangannya adalah dalam bentuk amal. Iman tanpa amal
sama saja potensi yang tak dikembangkan.
Di dalam pengetahuan teknologi , dan seni terdapat hubungan yang harmonis dan
dinamis yang terintegrasi ke dalam suatu sistem yang disebut dinul islam, yang terkandung tiga
unsur pokok yaitu akidah, syari’ah dan akhlak. Dengan kata lain ilmu , dan amal sholeh.
Ada tiga inti ajaran islam yaitu iman , syariah , dan akhlak/ikhsan. Ketiga inti ajaran itu
terintegrasi d idalam sebuah sistem ajaran yang disebut dinul islam Dalam Surat Ibrahim ayat
24-25 yang artinya : “tidaklah kamu perhatikan bagaimana allah telah membuat perumpamaan
kalimat yang baik (dinul islam) seperti sebatang pohon yang baik, akarnya kokoh (menghujam
kebumi)dan cabangnya menjulang ke langit. Pohon itu mengeluarkan buahnya setiap musim
dengan seizin Tuhannya,. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia agar
mereka selalu ingat”.
Ayat di atas menggambarkan keutuhan antara iman , ilmu dan amal atau aqidah. Syari’ah dan
akhlak dengan menganalogikan bangunan dinul islam bagaikan sebatang pohon yang baik.
Akarnya menghujam ke bumi , batangnya menjulang tinggi ke langit , cabangnya atau dahannya
rindang, dan buahnya amat lebat.
Islam melihat bahwa IPTEKS dan agama adalah sesuatu yang memiliki kaitan. Sains tidak
dapat dipisahkan dari nilai-nilai keagamaan. Agama menjadi landasan segala prilaku manusia
termasuk di dalam sains dan teknologi . Islam melihat sains sebagai suatu perkara yang amat
penting karena dengan sains dan teknologi manusia dapat :
1. Mengenal tuhannya
2. Menegakkan hakikat kebenaran
3. Membawa manusia kepada sikap tafakkur dan berfikir
4. Membantu manusia memenuhi keperluan material untuk kehidupannya
5. Membantu manusia dalam melaksanakan syariat
6. Menjaga keseimbangan dan keharmonisan alam
Perbuatan baik seseorang tidak akan bernilai amal shaleh apabila perbuatan tersebut tidak
di bangun di atas landasan iman dan takwa. Sama halnya pengembangan ipteks yang lepas dari
keimanan dan ketakwaan , tidak akan bernilai ibadah serta tidak akan menghasilkan
kemaslahatan bagi umat manusia dan alam lingkungannya. Apabila IPTEKS tidak dikembangkan
di atas dasar iman , maka yang akan timbul adalah kerusakan dan kehancuran bagi kehidupan
umat manusia.
Beriman kepada Allah adalah kebutuhan yang sangat mendasar bagi seseorang. Allah
memerintahkan agar ummat manusia beriman kepada-Nya, sebagaimana firman Allah yang
artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman. Tetaplah beriman kepada Allah dan RasulNya
(Muhammad) dan kepada Kitab (Al Qur’an) yang diturunkan kepada RasulNya, serta kitab yang
diturunkan sebelumnya. Barangsiapa ingkar kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-
Nya, Rasul-rasulNya, dan hari kemudian, maka sungguh orang itu telah tersesat sangat jauh.”
(Surat An Nisa ayat 136)
Ayat di atas memberikan penjelasan bahwa Bila kita ingkar kepada Allah, maka akan
mengalami kesesatan yang nyata. Orang yang sesat tidak akan merasakan kebahagiaan dalam
hidup. Oleh karena itu, beriman kepada Allah sesungguhnya adalah untuk kebaikan manusia.

Anda mungkin juga menyukai