Syarat-syarat ilmu.
Suatu pengetahuan dapat dikategorikan sebagai ilmu apabila memenuhi tiga unsure
pokok sebagai berikut:
1. Ontologi artinya bidang studi yang bersangkutan memiliki obyek studi yang jelas. Obyek
studi sebuah ilmu ada dua yaitu obyek material dan obyek formal.
2. Epistimologi artinya bidang studi yang bersangkutan memiliki metode kerja yag jelas. Ada
tiga metode kerja suatu bidang studi yaitu metode deduksi, induksi dan edukasi.
3. Aksiologi artinya bidang studi yang bersangkutan memiliki nilai guna atau
kemanfaatannya. Bidang studi tersebut dapat menunjukkan nilai-nilai teoritis,hukum—
hukum, generalisasi, kecenderungan umum, konsep-konsep, dan kesimpulan-kesimpulan
logis, sistematis dan koheren.
Islam dan Seni
Seni adalah ekspresi ruh yang mengandung dan mengungkap keindahan. Syair,
nyanyian, tarian, dan peragaan di pentas, lukisan atau pahatan, semuanya adalah seni, selama
terpenuhi unsur keindahan.
Tidak mudah mendefinisikan keindahan. Kendati nalar meletakkan syarat dan ukuran,
tetapi bukan nalar itu yang menetapkannya. Ukuran dan syarat itu bersumber dari dalam diri
manusia atau masyarakat. Allah swt. menganugerahkan manusia rasa bagaikan reciever yang
peka sehingga dengan mudah seseorang menangkap, merasakan, dan menyambutnya. Itulah
salah satu fitrah yang dianugerahkan Allah kepada manusia.
Seni adalah keindahan, ia dapat tampil dalam beragam bentuk dan cara. Apa pun
bentuk dan caranya, selama arah yang ditujunya mengantar manusia ke nilai-nilai luhur, maka
ia adalah seni Islami. Karena itu, Islam dapat menerima aneka ekspresi keindahan selama tidak
bertentangan dengan nilai-nilai al-Khair dan al-Ma’ruf , (baik yang bermanfaat) yakni nilai-nilai
universal yang diajarkan Islam serta nilai lokal dan temporal yang sejalan dengan budaya
masyarakat selama tidak bertentangan dengan al-Khair tersebut. “Allah Maha-indah
menyukai keindahan,” sabda Rasul saw. Dia menganugerahi manusia fitrah menyenangi
keindahan. Karena itu, mustahil seni dilarang-Nya, kecuali jika ada unsur luar yang menyertai
seni itu. Siapa yang tidak tergerak hatinya di musim bunga dengan kembang-kembangnya atau
oleh alat musik dengan getaran nadanya, maka fitrahnya telah mengidap penyakit parah yang
sulit diobati. Demikian kata al-Ghazaly.
Dari sini setiap karya, karsa, dan rasa yang mengantar kepada peningkatan, bukan saja
diizinkan-Nya, tetapi direstui dan didorong-Nya, sebaliknya semua yang mengantar ke selera
rendah dibenci dan dikutuk-Nya. Siapa pun yang mempertemukan secara indah wujud ini
dengan Tuhan, maka upayanya itu adalah seni Islami. Yang tidak mempertemukannya bukanlah
seni Islami. “Art for Art” tidak dikenal oleh kamus ajaran Islam karena bagi seorang Muslim,
seluruh gerak dan diamnya harus diarahkan kepada-Nya, “Shalatku, ibadahku, hidup dan
matiku adalah untuk Allah swt.” (Surat al-An’âm ayat 162).
Setiap seniman, bahkan siapa pun yang jujur dengan profesinya, pasti memiliki
pandangan hidup menyangkut manusia, alam, dan kehidupan. Pandangan itu bisa luas dan
langgeng, bisa juga terbatas wilayah dan masanya. Seni Islami menuntut seniman untuk
memandang alam ini tidak terbatas pada sisi materialnya atau hanya di sini dan sekarang, tetapi
jauh ke sana, bersama “ruh kehidupan” yang menyertainya—kendati sesuatu itu tidak
bernyawa—lalu pada akhirnya bergerak mengarah dan bertemu dengan Sang Pencipta. Langit
dan bumi serta segala isinya dalam pandangan kitab suci al-Qur’an amat indah, seimbang, dan
serasi serta hidup, bahkan bertasbih memuji dan mengarah kepada-Nya (Surat al-Isrâ’ ayat 44).
Bukit Uhud dilukiskan oleh Nabi saw. sebagai mencintai kita dan kita pun mencintainya.
Banyak yang menyalahpahami sikap Islam terhadap seni atau paling tidak
mempersempit ruang lingkup yang dibenarkan agama ini, padahal ruang lingkupnya amat luas.
Bermula dalam bentuk mengekspresikan keindahan lahiriah manusia—pakaian, penampilan,
cara dan susunan tuturnya—hingga keindahan batin melalui kepekaan rasa yang melahirkan
budi pekerti dan interaksi harmonis. Setiap agama memunyai keindahan dan keindahan Islam
adalah pada budi pekertinya. Keindahan yang diajarkan serta dianjurkan untuk diekspresikan
adalah yang lahir dari rasa yang suci, jiwa yang bersih serta akal yang cerdas guna menonjolkan
keindahan ciptaan Allah atau kebesaran Kuasa-Nya.
Memang sebagian di antara ekspresi keindahan yang kita kenal dewasa ini belum
terjamah pada masa Nabi Muhammad saw. dan sahabat-sahabat beliau atau bahkan terlarang
akibat kondisi-kondisi tertentu ketika itu. Sebagai contoh, seni pahat. Dahulu “seni” ini secara
tegas terlarang karena ia dijadikan sarana ibadah kepada selain Allah. Jika pahatan itu tidak
mengarah kepada penyembahan selain Allah, tetapi merupakan ekspresi keindahan, maka ia
boleh-boleh saja. Bukankah—kata ulama—Nabi Sulaiman pun memerintahkan untuk membuat
antara lain patung-patung (Surat Saba’ ayat 13) yang tentunya bukan untuk disembah, tetapi
antara lain untuk dinikmati keindahannya.
Benar bahwa ada riwayat-riwayat yang menyatakan bahwa “Malaikat tidak masuk ke
satu rumah bila di dalamnya terdapat patung,” tetapi itu bila patung tersebut disembah,
atau melanggar sopan santun atau mengundang selera rendah. Menikmati keindahan adalah
fitrah manusia secara universal, sedang Islam adalah agama universal yang
bertujuan membangun peradaban. Kebenaran, kebaikan, dan keindahan adalah tiga unsur
mutlak bagi satu peradaban. Mencari yang benar menghasilkan ilmu, menampilkan kebaikan
mencerminkan moral, dan mengekspresikan keindahan melahirkan seni. Namun, ketiganya
tidak berarti jika tidak ada yang menggali, menampilkan, dan mengeksperesikannya.
Selanjutnya perlu dicatat bahwa peradaban tidak dapat dibangun dengan mengabaikan
hasil positif yang telah dicapai oleh siapa pun pada masa lalu. Karena itu, dari mana pun sumber
kebenaran, maka Islam menerimanya. “Hikmah adalah milik orang mukmin; di mana pun ia
temukan, maka ia lebih berhak mengambilnya. Kenalilah kebenaran pada ide, bukan pada
pencetusnya,” demikian beberapa ungkapan populer yang dikenal dalam literatur Islam. Prinsip
di atas berlaku juga menyangkut keindahan dan kebaikan. Di mana atau siapa pun yang
mencetuskan atau mengeksperesikannya, selama sejalan/tidak bertentangan dengan nilai-nilai
yang dibenarkan Islam, maka itu dapat saja diterima, tanpa harus mempertimbangkan agama,
bangsa, atau ras pencetusnya.
Seni Islami tidak harus berbicara tentang Islam atau hanya dalam bentuk kaligrafi ayat-
ayat al-Qur’an. Lalu, yang pasti seni Islami bukan sekadar nasihat langsung atau anjuran
mengikuti kebajikan. Ia adalah ekspresi keindahan tentang alam, kehidupan dan manusia yang
sejalan dengan nilai-nilai Islam. Seni Islam adalah yang mempertemukan keindahan dengan
hak/kebenaran. Karya indah yang menggambarkan sukses perjuangan Nabi Muhammad saw.,
tetapi dilukiskan sebagai buah kegeniusan beliau terlepas dari bantuan Allah, karya itu bila
dilukiskan demikian tidak dapat dinilai sebagai seni Islami. Sebaliknya, mengekspresikan
keindahan yang ditemukan pada ternak ketika kembali ke kandang dan ketika melepaskannya
ke tempat penggembalaan, sebagaimana diungkapkan oleh Surat an-Nahl ayat 6, dapat
merupakan seni Islami selama mengundang keagungan Allah. Boleh jadi ada yang menduga
bahwa Islam tidak merestui seni, pandangan itu keliru. Memang Islam tidak menyetujui seni
yang terlepas dari nilai-nilai Islami atau yang melukiskan kelemahan manusia dengan tujuan
mengundang tepuk tangan dan membangkitkan selera rendah. Demikian, wa Allâh A’lam.