Anda di halaman 1dari 1

SANTRI BERPOLITIK, FARDU ‘AIN

Edy Junaidi.

Berbicara peranan santri dalam kancah politik sebenarnya bukan merupakan hal yang baru. Hal ini bisa kita lihat
dari fakta sejarah pada proses persiapan kemerdekaan NKRI yang secara intens menyertakan peran besar para santri dan
kiai yang kemudian dilanjutkan pada masa-masa setelah kemerdekaan. Para santri sekaligus kiai telah mengukir sejarah
efektifitas peran politiknya yang membanggakan di kancah politik nasional mulai era Bung Karno hingga saat ini.
Bahkan Perjuangan non kooperatif dan kooperatif terhadap penjajah Belanda secara politis juga ‘dimainkan’ oleh kaum
santri. Seperti misalnya, KH Abdul Wahid Hasyim yang pernah menjadi bagian dari anggota BPUPKI dan kemudian ikut
mendeklarasikan kemerdekaan RI bersama Bung Karno dan kawan-kawannya. Selain itu, pada tanggal 22 Oktober 1945
Hadlrotus Syeikh KH Hasyim Asy’ari sang pendiri Nahdlatul Ulama, mengeluarkan maklumat Resolusi Jihad, hingga
pecahlah pertempuran 10 November 1945 yang didominasi oleh santri di Surabaya hingga menewaskan Brigadir Jenderal
Mallaby. Lalu kemudian peristiwa ini diabadikan dan dirayakan setiap 10 November sebagai hari Pahlawan Nasional.
Melihat fakta sejarah diatas, maka secara tidak langsung para santri di Indonesia telah menerima wasiat dari para pejuang
untuk terus memperjuangkan keutuhan Republik Indonesia. Mesejahterakan masyarakatnya serta berupaya menjadikan
negara ini menjadi negara yang ‘baldatun toyyibatun wa rabbun ghafur’.
Dengan demikian berkiprahnya santri dalam dunia politik, baik politik elektoral (praktis) maupun politik non
elektoral adalah merupakan sebuah keniscayaan. Bahkan fardu ‘ain, menurut hemat saya. Ini tidak boleh diragukan. Santri
pasti kompeten. Hal ini bisa kita lihat dari pola pendidikan yang diajarkan di pesantren. Pendidikan di pesantren tidak hanya
mendidik para santri untuk cerdas secara intelektual dengan memahami berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Baik itu
pengetahuan agama maupun IPTEK. Di pesantren santri juga dilatih bagaimana ia mempunyai kecerdasan emosi yang baik
ketika nantinya pulang kemasyarakat. Selain itu, yang juga tak kalah penting adalah, santri juga dilatih untuk cerdas dalam
hal spiritual. Artinya, konsep berkehidupan yang ‘hablumminallah’ dan ‘hablumminannas’ santri sudah punya. Tinggal
bagaimana mengaplikasikan kecerdasan ilmu pengetahuannya ke dalam kedua konsep tersebut.
Dalam beberapa kesempatan, penulis sering mendengar orasi politik KH. Mohammad Shalahuddin A. Warits
(masyarakat banyak mengenal beliau dengan panggilan Ra Mamak) beliau sering berujar bahwa “Politik itu comberan,
tugas kita adalah membersihkan kanal-kanalnya.” Artinya, kita tidak bisa menafikan bahwa (peristiwa) politik itu memang
tidak selamanya akan dipandang baik, maupun buruk. Bahkan masyarakat kita (termasuk sebagian santri) tidak sedikit yang
menyatakan ‘alergi’ terhadap politik. Karena (mungkin) sudah sedemikian keruhnya permainan para politisi di dunia
politik. Oleh karena itu, tugas santri sebagai politisi adalah membersihkan kanal-kanal politik itu agar genangan comberan
tidak semakin tercemari oleh berbagai macam kotoran-kotoran politik kepentingan. Dengan kata lain, tujuan utama dari
peran santri dalam dunia politik itu adalah kemaslahatan masyarakat dan bangsa. Bukan sebaliknya, santri malah dijadikan
kendaraan politisi untuk kepentingan politik yang justru berpotensi merusak terhadap bangsa dan negara.
Pada tanggal 21 Januari 2018, KH. Imam Jazuli, Lc. MA, pengasuh pondok pesantren Bina Insan Mulia di Cirebon
bahkan sampai mendirikan sekolah politik yang dibuka khusus para calon-calon legislator yang merupakan santri senior
(alumni) yang telah berkiprah di masyarakat. Titik tekan materi pembelajarannya adalah memberikan kesadaran spiritual,
pembekalan pengetahuan mengenai peta pertarungan politik sekaligus membekali skill dalam mengelola diri secara
branding dan psikologis, sekaligus mempelajari strategi pemenangan yang efektif dan jitu.
Menurut penulis upaya ini merupakan sebuah langkah yang konkrit, mengingat realita yang terjadi selama ini, pesantren
sekaligus dengan para santrinya seolah-olah hanya sekadar dijadikan sebagai pendulang suara setiap lima tahun sekali.
Kritikan-kritikan dan aspirasinya nyaris tidak didengarkan.
Dengan demikian, untuk mewujudkan cita-cita perjuangan para santri terdahulu dalam rangka memajukan bangsa
dan negara Indonesia ini. Santri sudah seharusnya menjadi bagian dari sistem politik negara. Jadikan politik sebagai
instrument untuk memperjuangkan kemaslahatan masyarakat dan bangsa.

Anda mungkin juga menyukai