DAFTAR ISI..............................................................................................2
BAB I.........................................................................................................................3
BAB II .......................................................................................................................4
BAB III.......................................................................................................................5
3.3 TEORI..................................................................................................................6
BAB IV......................................................................................................................11
4.1 KESIMPULAN....................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................12
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Terdapat beberapa terminology yang menyangkut kepatuhan dalam mengkonsumsi obat, seperti yang
dikemukakan oleh Horne (2006), yaitu: compliance, adherence dan concordance. National Council on
Patient Informations & Educations menambahkan satu istilah lagi, yaitu persistence. Menurut National
Council on Patient Informations & Educations, perbedaan terminologi tersebut berkaitan dengan
perbedaan cara pandang dalam hal hubungan antara pasien dan penyedia jasa kesehatan (dokter),
termasuk terjadi kebingungan dalam hal bahasa untuk menggambarkan perilaku mengkonsumsi obat
yang diputuskan oleh pasien. Lutfey & Wishner (1999) mengemukakan konsep compliance dalam
konteks medis, sebagai tingkatan yang menunjukkan perilaku pasien dalam mentaati atau megikuti
prosedur atau saran ahli medis. Horne (2006) mengemukakan compliance sebagai ketaatan pasien dalam
mengkonsumsi obat sesuai dengan saran pemberi resep (dokter). Horne, dkk. (2005) sebelumnya
mengemukakan bahwa istilah compliance menunjukkan posisi pasien yang cenderung lemah karena
kurangnya keterlibatan pasien dalam pengambilan keputusan mengenai obat yang dikonsumsi. Dalam
pengertian persistence, pasien menunjukkan perilaku yang secara kontinyu/rutin mengkonsumsi obat,
yang dimulai dari resep pertama sampai resep berikutnya, dan seterusnya
Rumusan Masalah
Beberapa dampak ketidakpatuhan pasien dalam mengkonsumsi obat antara lain dikemukakan oleh
yaitu: terjadinya efek samping obat yang dapat merugikan kesehatan pasien, membengkaknya biaya
pengobatan dan rumah sakit. Selain hal tersebut, pasien juga dapat mengalami resistensi terhadap obat
tertentu. Ada sebagian obat yang bila penggunaannya berhenti sebelum batas waktu yang ditentukan
justru dapat berakibat harus diulang lagi dari awal. Untuk penyakit HIV/AIDS, ketidakpatuhan dapat
berakibat pada penekanan virus menjadi tidak sempurna, infeksi terus berlanjut, munculnya jenis virus
yang resisten, dan pilihan pengobatan di masa datang menjadi terbatas. Contoh lain pada penyakit TBC,
ketidakpatuhan dalam minum obat yang seharusnya diminum secara berturut-turut selama enam bulan,
dapat berakibat penderita TBC harus mengulang pengobatan lagi dari awal meskipun pasien sudah
minum selama 1 – 2 minggu berturut-turut. Hal tersebut tentu saja akan memakan waktu dan biaya
yang lebih banyak lagi dan kesembuhan pasien menjadi terhambat/lebih lama. Pada kasus hipertensi,
kepatuhan minum obat juga akan menurunkan risiko kematian, risiko kerusakan organ penting tubuh
dan risiko penyakit jantung. Berdasarkan hal tersebut, beberapa penelitian menunjukkan bahwa agar
kasiat obat dapat meningkatkan tingkat kesembuhan pasien secara signifikan, tingkat kepatuhan dalam
mengkonsumsi obat oleh pasien harus minimal 80% (Schaffer, dkk, 2004), bahkan untuk penyakit
tertentu, misalnya pasien yang terkena infeksi HIV/AIDS, tingkat kepatuhan dalam mengkonsumsi
obat minimal 90%, sedangkan untuk penyakit leukimia harus minimal 95% (Malbasa, dkk., 2007).
BAB II
TIJAUAN PUSTAKA
Ada sebagian obat yang bila penggunaannya berhenti sebelum batas waktu
yang ditentukan justru dapat berakibat harus diulang lagi dari awal. Untuk penyakit
HIV/AIDS, ketidakpatuhan dapat berakibat pada penekanan virus menjadi tidak
sempurna, infeksi terus berlanjut, munculnya jenis virus yang resisten, dan pilihan
pengobatan di masa datang menjadi terbatas. Contoh lain pada penyakit TBC,
ketidakpatuhan dalam minum obat yang seharusnya diminum secara berturut-turut
selama enam bulan, dapat berakibat penderita TBC harus mengulang pengobatan lagi
dari awal meskipun pasien sudah minum selama 1– 2 minggu berturut-turut. Hal
tersebut tentu saja akan memakan waktu dan biaya yang lebih banyak lagi dan
kesembuhan pasien menjadi terhambat/lebih lama. Pada kasus hipertensi, kepatuhan
minum obat juga akan menurunkan risiko kematian, risiko kerusakan organ penting
tubuh dan risiko penyakit jantung. Berdasarkan hal tersebut, beberapa penelitian
menunjukkan bahwa agar kasiat obat dapat meningkatkan tingkat kesembuhan
pasien secara signifikan, tingkat kepatuhan dalam mengkonsumsi obat oleh pasien
harus minimal 80% (Schaffer, dkk, 2004), bahkan untuk penyakit tertentu, misalnya
pasien yang terkena infeksi HIV/AIDS, tingkat kepatuhan dalam mengkonsumsi obat
minimal 90%, sedangkan untuk penyakit leukimia harus minimal 95% (Malbasa,
dkk., 2007). Kepatuhan dalam mengkonsumsi obat merupakan aspek utama dalam
penanganan penyakit-penyakit kronis. Memperhatikan kondisi tersebut di atas,
kepatuhan dalam mengkonsumsi obat harian menjadi focus dalam mencapai derajat
kesehatan pasien, dalam hal ini perilaku ini dapat dilihat dari sejauhmana pasien
mengikuti atau mentaati perencanaan pengobatan yang telah disepakati oleh pasien
dan profesional medis untuk menghasilkan sasaran-sasaran terapiutik (Frain, dkk.,
2009).
BAB II
PEMBAHASAN
Tak jarang, satu pasien membutuhkan lebih dari satu obat untuk
mengatasi penyakit yang dideritanya. Apalagi jika menderita 2-3 penyakit
sekaligus, tentu semakin banyak obat yang harus diminum. Hal ini banyak
dijumpai pada pasien usia lanjut, yang sebagian mulai mengalami penurunan
fungsi kognitif yang salah satunya ditandai dengan mudah lupa.
Ada sebagian obat yang bila penggunaannya berhenti sebelum batas waktu
yang ditentukan justru dapat berakibat harus diulang lagi dari awal. Untuk penyakit
HIV/AIDS, ketidakpatuhan dapat berakibat pada penekanan virus menjadi tidak
sempurna, infeksi terus berlanjut, munculnya jenis virus yang resisten, dan pilihan
pengobatan di masa datang menjadi terbatas. Contoh lain pada penyakit TBC,
ketidakpatuhan dalam minum obat yang seharusnya diminum secara berturut-turut
selama enam bulan, dapat berakibat penderita TBC harus mengulang pengobatan lagi
dari awal meskipun pasien sudah minum selama 1– 2 minggu berturut-turut. Hal
tersebut tentu saja akan memakan waktu dan biaya yang lebih banyak lagi dan
kesembuhan pasien menjadi terhambat/lebih lama. Pada kasus hipertensi, kepatuhan
minum obat juga akan menurunkan risiko kematian, risiko kerusakan organ penting
tubuh dan risiko penyakit jantung. Berdasarkan hal tersebut, beberapa penelitian
menunjukkan bahwa agar kasiat obat dapat meningkatkan tingkat kesembuhan
pasien secara signifikan, tingkat kepatuhan dalam mengkonsumsi obat oleh pasien
harus minimal 80% (Schaffer, dkk, 2004), bahkan untuk penyakit tertentu, misalnya
pasien yang terkena infeksi HIV/AIDS, tingkat kepatuhan dalam mengkonsumsi obat
minimal 90%, sedangkan untuk penyakit leukimia harus minimal 95% (Malbasa,
dkk., 2007). Kepatuhan dalam mengkonsumsi obat merupakan aspek utama dalam
penanganan penyakit-penyakit kronis. Memperhatikan kondisi tersebut di atas,
kepatuhan dalam mengkonsumsi obat harian menjadi focus dalam mencapai derajat
kesehatan pasien, dalam hal ini perilaku ini dapat dilihat dari sejauhmana pasien
mengikuti atau mentaati perencanaan pengobatan yang telah disepakati oleh pasien
dan profesional medis untuk menghasilkan sasaran-sasaran terapiutik (Frain, dkk.,
2009).
Rasa tidak percaya pada dokter atau sistem kesehatan dapat ditemukan
di semua kelompok sosiodemografi. Fenomena ini semakin memburuk
dengan meningkatnya akses informasi kesehatan yang keliru, kasus-kasus
malpraktik, serta panduan pelayanan kesehatan baru yang bertolak belakang
dengan panduan sebelumnya.
Pengertian efek samping adalah setiap efek yang tidak dikehendaki yang
merugikan atau membahayakan pasien dari suatu pengobatan. Efek samping tidak
mungkin dihindari/ dihilangkan sama sekali, tetapi dapat ditekan atau dicegah
seminimal mungkin dengan menghindari factor-faktor resiko yang sebagian besar
sudah diketahui.
Percakapan pertama antara dokter dan pasien mengenai suatu terapi baru
merupakan kesempatan emas untuk mengomunikasikan informasi mengenai obat
dan menggali pandangan pasien yang mungkin memengaruhi perilaku konsumsi
obatnya. Pasien cenderung untuk mematuhi regimen obat apabila dilibatkan dalam
diskusi dan proses pengambilan keputusan.
Selain intervensi pada pasien dan tenaga kesehatan, intervensi pada sistem
kesehatan juga dapat meningkatkan kepatuhan pasien mengonsumsi obat, seperti
simplifikasi regimen obat melalui diskusi seluruh dokter penanggung jawab pasien,
pengambilan obat yang dipermudah, dan penurunan biaya obat. Regimen obat dapat
diberikan untuk durasi 90 hari dengan akses yang dipermudah, seperti pengiriman ke
rumah pasien. Selain itu, saat ini teknologi sudah berkembang, sehingga pelayanan
kesehatan menjadi lebih mudah dijangkau dan pemantauan kepatuhan pengobatan
juga menjadi lebih mudah.[
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
Budiman dan Riyanto, A. (2013). Kapita Selekta Kuesioner Pengetahuan dan Sikap dalam
Penelitian Kesehatan. Jakarta: Penerbit Salemba Medik
BPOM. (2018). Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan RI Nomor 4 Tahun 2018
tentang Pengelolaan Obat, Bahan Obat, Narkotika, Psikotropika dan
Prekursor Farmasi di Fasilitas Pelayanan Kefarmasian. BPOM, Jakarta
Pemenkes RI (2011) Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik Kementrian Kesehatan RI.
Jakarta