Anda di halaman 1dari 12

KETIDAKPATUHAN PASIEN YANG MENDERITA PENYAKIT

KRONIS DALAM PENGOBATAN

Mata Kuliah : Farmakologi

Dosen Pengampu : Lingga Kusuma W.,S.kep.,Ns.,M.Kes

1. Efiana Mariska Hidayati(2211B0001)


2. Selviani Yovita Mau(2211B0034)
3. Leonardo Siki(2211B0041)
4. Goreti Tendu(2211B0044)
5. Fitria Putri Maulana(2211B0046)
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI..............................................................................................2
BAB I.........................................................................................................................3

1.1 LATAR BELAKANG.........................................................................................3

1.2 RUMUSAN MASALAH.....................................................................................3

BAB II .......................................................................................................................4

3.1 PENGERTIAN PENYAKIT KRONIS................................................................4

BAB III.......................................................................................................................5

3.2 KETIDAKPATUHAN MINUM OBAT..............................................................5

3.3 TEORI..................................................................................................................6

3.4 PENYEBAB ........................................................................................................6

3.5 PERAN TENAGA KSEHATAN.........................................................................8

3.7 BAGAIMANA MENILAI KEPATUHAN MINUM OBAT.............................9

3.8 UPAYA PENINGKATAN KEPATUHAN MINUM OBAT..............................9

BAB IV......................................................................................................................11

4.1 KESIMPULAN....................................................................................................11

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................12
BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Terdapat beberapa terminology yang menyangkut kepatuhan dalam mengkonsumsi obat, seperti yang
dikemukakan oleh Horne (2006), yaitu: compliance, adherence dan concordance. National Council on
Patient Informations & Educations menambahkan satu istilah lagi, yaitu persistence. Menurut National
Council on Patient Informations & Educations, perbedaan terminologi tersebut berkaitan dengan
perbedaan cara pandang dalam hal hubungan antara pasien dan penyedia jasa kesehatan (dokter),
termasuk terjadi kebingungan dalam hal bahasa untuk menggambarkan perilaku mengkonsumsi obat
yang diputuskan oleh pasien. Lutfey & Wishner (1999) mengemukakan konsep compliance dalam
konteks medis, sebagai tingkatan yang menunjukkan perilaku pasien dalam mentaati atau megikuti
prosedur atau saran ahli medis. Horne (2006) mengemukakan compliance sebagai ketaatan pasien dalam
mengkonsumsi obat sesuai dengan saran pemberi resep (dokter). Horne, dkk. (2005) sebelumnya
mengemukakan bahwa istilah compliance menunjukkan posisi pasien yang cenderung lemah karena
kurangnya keterlibatan pasien dalam pengambilan keputusan mengenai obat yang dikonsumsi. Dalam
pengertian persistence, pasien menunjukkan perilaku yang secara kontinyu/rutin mengkonsumsi obat,
yang dimulai dari resep pertama sampai resep berikutnya, dan seterusnya

Rumusan Masalah
Beberapa dampak ketidakpatuhan pasien dalam mengkonsumsi obat antara lain dikemukakan oleh
yaitu: terjadinya efek samping obat yang dapat merugikan kesehatan pasien, membengkaknya biaya
pengobatan dan rumah sakit. Selain hal tersebut, pasien juga dapat mengalami resistensi terhadap obat
tertentu. Ada sebagian obat yang bila penggunaannya berhenti sebelum batas waktu yang ditentukan
justru dapat berakibat harus diulang lagi dari awal. Untuk penyakit HIV/AIDS, ketidakpatuhan dapat
berakibat pada penekanan virus menjadi tidak sempurna, infeksi terus berlanjut, munculnya jenis virus
yang resisten, dan pilihan pengobatan di masa datang menjadi terbatas. Contoh lain pada penyakit TBC,
ketidakpatuhan dalam minum obat yang seharusnya diminum secara berturut-turut selama enam bulan,
dapat berakibat penderita TBC harus mengulang pengobatan lagi dari awal meskipun pasien sudah
minum selama 1 – 2 minggu berturut-turut. Hal tersebut tentu saja akan memakan waktu dan biaya
yang lebih banyak lagi dan kesembuhan pasien menjadi terhambat/lebih lama. Pada kasus hipertensi,
kepatuhan minum obat juga akan menurunkan risiko kematian, risiko kerusakan organ penting tubuh
dan risiko penyakit jantung. Berdasarkan hal tersebut, beberapa penelitian menunjukkan bahwa agar
kasiat obat dapat meningkatkan tingkat kesembuhan pasien secara signifikan, tingkat kepatuhan dalam
mengkonsumsi obat oleh pasien harus minimal 80% (Schaffer, dkk, 2004), bahkan untuk penyakit
tertentu, misalnya pasien yang terkena infeksi HIV/AIDS, tingkat kepatuhan dalam mengkonsumsi
obat minimal 90%, sedangkan untuk penyakit leukimia harus minimal 95% (Malbasa, dkk., 2007).
BAB II

TIJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Penyakit Kronis


Penyakit kronis adalah gangguan atau penyakit yang berlangsung lama
(berbilang bulan atau tahun), contohnya hipertensi, diabetes melitus, kusta, epilepsi,
TBC, AIDS, leukimia, dan sebagainya. Agar proses kesembuhan pasien yang
menderita penyakit kronis cepat terwujud, kerja sama antara pasien dan keluarganya
dengan penyedia layanan kesehatan, khususnya dokter harus terjalin dengan baik.

Berdasarkan beberapa penelitian sebelumnya, misalnya penelitian Schaffer,


dkk. (2004), Malbasa, dkk. (2007), Hayers, dkk.(2009) menunjukkan bahwa pada
berbagai penyakit kronis, pasien yang tergolong tidak patuh dalam mengkonsumsi
obat lebih dari 50 %, bahkan dalam penelitian Jarbose mennyatakan bahwa pasien
yang tidak patuh pada akhirnya akan diikuti dengan berhentinya pasien untuk
mengkonsumsi obat. Ketidakpatuhan minum obat dapat dilihat terkait dengan dosis,
cara minum obat, waktu minum obat dan periode minum obat yang tidak sesuai
dengan aturan. Jenis-jenis ketidakpatuhan meliputi ketidakpatuhan yang disengaja
(intentional non compliance) dan ketidakpatuhan yang tidak disengaja (unintentional
non compliance).

Ada sebagian obat yang bila penggunaannya berhenti sebelum batas waktu
yang ditentukan justru dapat berakibat harus diulang lagi dari awal. Untuk penyakit
HIV/AIDS, ketidakpatuhan dapat berakibat pada penekanan virus menjadi tidak
sempurna, infeksi terus berlanjut, munculnya jenis virus yang resisten, dan pilihan
pengobatan di masa datang menjadi terbatas. Contoh lain pada penyakit TBC,
ketidakpatuhan dalam minum obat yang seharusnya diminum secara berturut-turut
selama enam bulan, dapat berakibat penderita TBC harus mengulang pengobatan lagi
dari awal meskipun pasien sudah minum selama 1– 2 minggu berturut-turut. Hal
tersebut tentu saja akan memakan waktu dan biaya yang lebih banyak lagi dan
kesembuhan pasien menjadi terhambat/lebih lama. Pada kasus hipertensi, kepatuhan
minum obat juga akan menurunkan risiko kematian, risiko kerusakan organ penting
tubuh dan risiko penyakit jantung. Berdasarkan hal tersebut, beberapa penelitian
menunjukkan bahwa agar kasiat obat dapat meningkatkan tingkat kesembuhan
pasien secara signifikan, tingkat kepatuhan dalam mengkonsumsi obat oleh pasien
harus minimal 80% (Schaffer, dkk, 2004), bahkan untuk penyakit tertentu, misalnya
pasien yang terkena infeksi HIV/AIDS, tingkat kepatuhan dalam mengkonsumsi obat
minimal 90%, sedangkan untuk penyakit leukimia harus minimal 95% (Malbasa,
dkk., 2007). Kepatuhan dalam mengkonsumsi obat merupakan aspek utama dalam
penanganan penyakit-penyakit kronis. Memperhatikan kondisi tersebut di atas,
kepatuhan dalam mengkonsumsi obat harian menjadi focus dalam mencapai derajat
kesehatan pasien, dalam hal ini perilaku ini dapat dilihat dari sejauhmana pasien
mengikuti atau mentaati perencanaan pengobatan yang telah disepakati oleh pasien
dan profesional medis untuk menghasilkan sasaran-sasaran terapiutik (Frain, dkk.,
2009).
BAB II

PEMBAHASAN

A. Ketidakpatuhan dalam Mengonsumsi Obat

Ketidakpatuhan minum obat didefinisikan sebagai kegagalan pasien,


baik yang disengaja maupun tidak disengaja, dalam menggunakan obat
sebagaimana diresepkan. Penelitian menunjukkan bahwa sekitar 40% pasien
tidak patuh terhadap pengobatan. Persentase ketidakpatuhan bahkan dapat
mencapai 70% jika aturan atau jadwal penggunaan obat dikombinasikan
dengan modalitas pengobatan lain ataupun perubahan gaya hidup.

Ketidakpatuhan minum obat dapat menyebabkan efektivitas terapi


menjadi berkurang sehingga berpotensi memperburuk kondisi pasien,
meningkatkan risiko kekambuhan dan komplikasi penyakit, penurunan
kualitas hidup, serta peningkatan biaya perawatan. Pada beberapa kasus,
ketidakpatuhan minum obat bahkan dapat berdampak fatal, hingga
menyebabkan kematian. Menurut National Community Pharmacists
Association (NCPA) di Amerika Serikat, ketidakpatuhan minum obat akan
mengancam kesehatan pasien dan menambah beban biayakesehatan. Di
Amerika Serikat, ketidakpatuhan terhadap pengobatan menyebabkan 125.000
kematian setiap tahunnya dan meningkatkan biaya perawatan di rumah sakit
sebesar 10-25%.

Tak jarang, satu pasien membutuhkan lebih dari satu obat untuk
mengatasi penyakit yang dideritanya. Apalagi jika menderita 2-3 penyakit
sekaligus, tentu semakin banyak obat yang harus diminum. Hal ini banyak
dijumpai pada pasien usia lanjut, yang sebagian mulai mengalami penurunan
fungsi kognitif yang salah satunya ditandai dengan mudah lupa.

Ada sebagian obat yang bila penggunaannya berhenti sebelum batas waktu
yang ditentukan justru dapat berakibat harus diulang lagi dari awal. Untuk penyakit
HIV/AIDS, ketidakpatuhan dapat berakibat pada penekanan virus menjadi tidak
sempurna, infeksi terus berlanjut, munculnya jenis virus yang resisten, dan pilihan
pengobatan di masa datang menjadi terbatas. Contoh lain pada penyakit TBC,
ketidakpatuhan dalam minum obat yang seharusnya diminum secara berturut-turut
selama enam bulan, dapat berakibat penderita TBC harus mengulang pengobatan lagi
dari awal meskipun pasien sudah minum selama 1– 2 minggu berturut-turut. Hal
tersebut tentu saja akan memakan waktu dan biaya yang lebih banyak lagi dan
kesembuhan pasien menjadi terhambat/lebih lama. Pada kasus hipertensi, kepatuhan
minum obat juga akan menurunkan risiko kematian, risiko kerusakan organ penting
tubuh dan risiko penyakit jantung. Berdasarkan hal tersebut, beberapa penelitian
menunjukkan bahwa agar kasiat obat dapat meningkatkan tingkat kesembuhan
pasien secara signifikan, tingkat kepatuhan dalam mengkonsumsi obat oleh pasien
harus minimal 80% (Schaffer, dkk, 2004), bahkan untuk penyakit tertentu, misalnya
pasien yang terkena infeksi HIV/AIDS, tingkat kepatuhan dalam mengkonsumsi obat
minimal 90%, sedangkan untuk penyakit leukimia harus minimal 95% (Malbasa,
dkk., 2007). Kepatuhan dalam mengkonsumsi obat merupakan aspek utama dalam
penanganan penyakit-penyakit kronis. Memperhatikan kondisi tersebut di atas,
kepatuhan dalam mengkonsumsi obat harian menjadi focus dalam mencapai derajat
kesehatan pasien, dalam hal ini perilaku ini dapat dilihat dari sejauhmana pasien
mengikuti atau mentaati perencanaan pengobatan yang telah disepakati oleh pasien
dan profesional medis untuk menghasilkan sasaran-sasaran terapiutik (Frain, dkk.,
2009).

B. Teori Munculnya Ketidakpatuhan dalam Mengkonsumsi Obat

Model of Adherence Morgan & Horne (2005) mengemukakan model


Unintentiona Nonadherence&Intentional Nonadherence. Unintentional
Nonadherence mengacu pada hambatan pasien dalam proses pengobatan.
Hambatan-hambatan dapat muncul dari kapasitas dan keterbatasan-keterbatasan
sumbersumber dari pasien, meliputi defisiensi memori (misal: lupa instruksi atau
lupa untuk berobat), ketrampilan (misal: kesulitan dalam membuka
kemasan/penutup obat atau menggunakan peralatan dalam berobat seperti jarum
suntik dan penghisap), pengetahuan (misal: tidak menyadari akan kebutuhan untuk
minum obat secara teratur) atau kesulitan-kesulitan dengan rutinitas-rutinitas
normal harian. Intentional Nonadherence menggambarkan cara pasien yang terlibat
dalam pengambilan keputusan dalam pengobatan. Pada proses ini tindakan rasional
berasal dari keyakinan-keyakinan, kondisi-kondisi, prioritas-prioritas, pilihan-
pilihan, dan latihan-latihan, meskipun persepsi dan tindakan berbeda antara harapan
dalam pengobatan dan rasionalitasnya. Barber (2002) lebih lanjut menjelaskan
bahwa melalui Theory of Human Error dalam organisasi, tindakan unintentional
dan intentional dari pasien, faktor- lokal/internal dan eksternal/organisasional
sebagai penyebab adherence dan nonadherence.

C. Penyebab Ketidakpatuhan Minum Obat

Terdapat beragam faktor yang dapat menyebabkan pasien tidak patuh


minum obat. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengategorikan alasan
potensial ketidakpatuhan pengobatan menjadi 5 kelompok besar, meliputi
faktor pasien, kondisi penyakit, faktor terapi (temasuk kompleksitas
pengobatan dan efek samping), faktor sosial ekonomi, serta faktor yang
berhubungan dengan sistem kesehatan.

Berikut ini beberapa alasan yang sering menyebabkan ketidakpatuhan


minum obat:

a. Kurangnya pengetahuan pasien mengenai obat dan penyakitnya


Faktor terkait profesi kesehatan, terkait pasien dan terkait system
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pengetahuan pasien tentang obat
yang dibagikan. Perilaku dokter yang tidak professional, beban kerja staf
yang meningkat, waktu dan perhatian yang tidak memadai yang diberikan
oleh professional kesehatan kepada pasien, pasien buta huruf, kurangnya label
khusus pada obat-obatan untukpasien buta huruf dan tidak adanya apoteker
dirumah sakit, adalah masalah utama yang teridentifikasi dalam sebuah
penelitian. Studi menunjukkan perlunya pendidikan dan konseling pasien
yang tepat sehubungan dengan obat-obatan, koordinasi yang lebih baik antara
staf rumah sakit, dan penyediaaan beberapa fasilitas terkait system dasar yang
sangat penting untuk meningkatkan pengetahuan dan kepatuhan pasien
terhadap rejimen pengobatan mereka.

b. Faktor Kognitif (lupa)

Asupan obat obat kronis seringkali memerlukan pengonsumsian setiap


hari dan teratur yang membutuhkan tingkat fungsi kognitif tertentu, seperti
rentang perhatian yang baik dan memori kerja. Gangguan kognitif dapat
berdampak negative pada kepatuhan minum obat pada pasien usia lanjut.
Pasien lanjut usia dengan penyakit kronis cenderung menunjukkan kepatuhan
yangburuk dibandingkan dengan pasien yang lebih muda. Dokter yang
terlibat dengan perawatan geriatric harus memantau fungsi kognitif pasien
dan kepatuhan pengbatan.dan jika seorang pasien menunjukkan gangguan
kognitif, dokter perlu mendidik pasien dan perawat tentang pentingnya
kepatuhan yang tepat, dan mempertimbangkan iinterensi yang tepat untuk
mengoptimalkan fungsi kognitif pasien usia lanjut.

c. Menerima Banyak Jenis Obat

Banyak pasien yang malas minum obat meski menyadari


konsekuensinya diakibatkan karna harus mengonsumsi banyak jenis obat
dalam sehari

d. Ketidakpercayaan Pasien terhadap Dokter

Rasa tidak percaya pada dokter atau sistem kesehatan dapat ditemukan
di semua kelompok sosiodemografi. Fenomena ini semakin memburuk
dengan meningkatnya akses informasi kesehatan yang keliru, kasus-kasus
malpraktik, serta panduan pelayanan kesehatan baru yang bertolak belakang
dengan panduan sebelumnya.

Selain itu, sebuah studi oleh Grande el al menemukan bahwa 55%


pasien meyakini dokternya menerima gratifikasi dari perusahaan farmasi,
sehingga dokter dianggap bias dalam meresepkan obat demi kepentingan
sosioekonominya sendiri. Turunnya kepercayaan pasien kepada dokter akibat
relasi dokter dengan perusahaan farmasi ini ikut berperan dalam
ketidakpatuhan pasien mengonsumsi obat.
e. Perfensi pasien yang Berbeda dari Dokter tentang Penyakitnya

Pasien mungkin memiliki pandangan atau preferensi yang berbeda


dengan tenaga kesehatan. Misalnya, pasien bisa saja merasa kematian akibat
serangan jantung lebih baik daripada akibat penyakit lain yang
progresivitasnya lebih lambat, sehingga pasien tidak termotivasi untuk
mengonsumsi obat preventif infark miokard tiap hari. Beberapa pasien juga
memiliki keyakinan bahwa penyakit maupun kesembuhan adalah suatu takdir,
sehingga pasien tersebut tidak berminat mengonsumsi obat secara rutin

f. Mengalami Efek Samping Obat

Beberapa obat memiliki efek samping yang berbeda-beda, beberapa pasien


tidak patuh minum obat karena tidak menginginkan efek samping yang terjadi.
Setiap obat memiliki kemungkinan untuk menyebabkan efek samping. Efek samping
obat merupakan hasil interaksi yang kompleks antara molekul obat dengan tempat
kerjanya yang spesifik dalam sistem biologik tubuh.

Pengertian efek samping adalah setiap efek yang tidak dikehendaki yang
merugikan atau membahayakan pasien dari suatu pengobatan. Efek samping tidak
mungkin dihindari/ dihilangkan sama sekali, tetapi dapat ditekan atau dicegah
seminimal mungkin dengan menghindari factor-faktor resiko yang sebagian besar
sudah diketahui.

D. Peran Tenaga Kesehatan terhadap Kepatuhan Pasien Mengonsumsi Obat

Sebagian besar dokter tidak menyadari bahwa pasien tidak patuh


mengonsumsi obat. Penelitian oleh Lapane et al menunjukkan bahwa tenaga
kesehatan memperkirakan hanya 9% dari total pasien menyembunyikan
ketidakinginannya untuk melanjutkan resep obat mereka. Padahal, pada
kenyataannya, sekitar 83% pasien melakukan hal tersebut.

Keengganan mengungkapkan perilaku konsumsi obat disebabkan oleh


banyak faktor, terutama rasa takut akan reaksi tenaga kesehatan jika mengetahui
perilaku tersebut. Tenaga kesehatan sering merespons secara emosional saat
mengetahui, seperti marah karena instruksinya tidak diikuti, putus asa karena pasien
tidak mendengarkan nasihatnya, merasa dibohongi, atau frustasi karena telah salah
meningkatkan dosis obat berdasarkan informasi keliru dari pasien.

Dokter juga sering tidak melakukan komunikasi informasi penting mengenai


obat yang dikonsumsi, seperti durasi terapi dan efek samping. Sebagian dokter
menghindari pertemuan tatap muka yang lebih lama dengan pasien atau tidak
terbiasa memberitakan berita buruk. Selain itu, polifarmasi dan frekuensi kunjungan
yang banyak untuk mengambil obat juga berperan dalam ketidakpatuhan pasien.
E. Bagaimana Menilai Kepatuhan Pasien Mengonsumsi Obat

Percakapan pertama antara dokter dan pasien mengenai suatu terapi baru
merupakan kesempatan emas untuk mengomunikasikan informasi mengenai obat
dan menggali pandangan pasien yang mungkin memengaruhi perilaku konsumsi
obatnya. Pasien cenderung untuk mematuhi regimen obat apabila dilibatkan dalam
diskusi dan proses pengambilan keputusan.

Pada setiap kunjungan berikutnya, pasien dapat diminta untuk membawa


semua obat yang sedang dikonsumsi. Dokter dan pasien bersama-sama
mendiskusikan masing-masing obat yang ada. Pasien juga didorong untuk
menanyakan kondisinya sendiri melalui tiga pertanyaan:

“Apa masalah utama saya?”

“Apa yang harus saya lakukan?”

“Mengapa saya perlu melakukan ini?”

Upaya menilai perilaku pasien dalam mengonsumsi obat merupakan proses


yang sulit. Terdapat beberapa metode yang dikembangkan, tetapi belum ada yang
memuaskan. Contoh metode tersebut adalah pelaporan mandiri dengan alat ukur
seperti Morisky scale, MAR-scale, atau Tool for Adherence Behavior Screening
(TABS), dan metode lain seperti evaluasi data pengambilan obat di fasilitas
kesehatan. Kombinasi beberapa metode biasanya diperlukan untuk mengidentifikasi
ketidakpatuhan.

Perawat perlu memperhatikan tanda-tanda ketidakpatuhan mengonsumsi


obat, seperti perhitungan jumlah pil yang tidak sesuai, missed refills, peningkatan
terapi tanpa perbaikan kondisi klinis, kondisi depresi pada pasien, atau penggunaan
pengobatan alternatif. Lingkungan yang tidak menghakimi memungkinkan pasien
untuk lebih terbuka mengenai perilaku konsumsi obat.

F. Upaya Peningkatan Kepatuhan Pasien Mengonsumsi Obat

Setelah ketidakpatuhan berhasil diidentifikasi, tenaga kesehatan perlu


mengapresiasi kejujuran pasien. Solusi harus dipersonalisasi sesuai masing-masing
pasien. Misalnya, untuk pasien yang lebih menyukai obat herbal, dapat dijelaskan
bahwa metformin berasal dari bunga lila Prancis. Pasien tertentu juga merasa lebih
percaya dengan staf kesehatan yang telah lama dikenal, sehingga komunikasi bisa
dilakukan oleh staf kepercayaan pasien tersebut.

Selain intervensi pada pasien dan tenaga kesehatan, intervensi pada sistem
kesehatan juga dapat meningkatkan kepatuhan pasien mengonsumsi obat, seperti
simplifikasi regimen obat melalui diskusi seluruh dokter penanggung jawab pasien,
pengambilan obat yang dipermudah, dan penurunan biaya obat. Regimen obat dapat
diberikan untuk durasi 90 hari dengan akses yang dipermudah, seperti pengiriman ke
rumah pasien. Selain itu, saat ini teknologi sudah berkembang, sehingga pelayanan
kesehatan menjadi lebih mudah dijangkau dan pemantauan kepatuhan pengobatan
juga menjadi lebih mudah.[
BAB IV

PENUTUP

Kesimpulan

Kepatuhan pasien mengonsumsi obat dapat mencegah dan menunda


progresivitas penyakit, mengurangi frekuensi hospitalisasi, dan mengurangi beban
biaya kesehatan. Ketidakpatuhan pasien dapat disebabkan karena ketidakpercayaan
terhadap dokter atau sistem kesehatan, preferensi pribadi tentang penyakit, pengaruh
eksternal, literasi yang rendah, kelalaian, dan faktor sosioekonomi pasien.

Perawat perlu mengomunikasikan manfaat dan risiko obat dengan


informatif, serta menciptakan lingkungan yang tidak menghakimi agar pasien lebih
terbuka untuk mendiskusikan perilaku konsumsi obatnya. Pasien cenderung untuk
mematuhi regimen obat apabila dilibatkan dalam diskusi dan proses pengambilan
keputusan.

DAFTAR PUSTAKA

Budiman dan Riyanto, A. (2013). Kapita Selekta Kuesioner Pengetahuan dan Sikap dalam
Penelitian Kesehatan. Jakarta: Penerbit Salemba Medik

BPOM. (2018). Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan RI Nomor 4 Tahun 2018
tentang Pengelolaan Obat, Bahan Obat, Narkotika, Psikotropika dan
Prekursor Farmasi di Fasilitas Pelayanan Kefarmasian. BPOM, Jakarta
Pemenkes RI (2011) Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik Kementrian Kesehatan RI.
Jakarta

Lailatushifah, Siti. ''Kepatuhan pasien yang menderita penyakit kronis'' fpsi.mercubuana-


yogya.ac.id. diakses pada minggu 28 Mei 2023. https://fpsi.mercubuana-
yogya.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/Noor-Kepatuhan...pdf

Kurniawati, L.H. (2019). Hubungan Pengetahuan Masyarakat terhadap Perilaku Penggunaan


Antibiotik: Studi Kasus pada Konsumen Apotek-Apotek di Kecamatan
Glagah Kabupaten Lamongan. Skripsi. Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan. Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim. Malang

World Health Organization (WHO). (2021). Antibiotic. Resisrance, Diakses dari:


https://www.who.int/news-room/factsheets/detail/antibiotic-resistance

Pujasari, Ajeng. Setyawan, Henry. Udiyono, Ari. ''FAKTOR – FAKTOR INTERNAL


KETIDAKPATUHAN PENGOBATAN HIPERTENSI DI PUSKESMAS
KEDUNGMUNDU KOTA SEMARANG'' www.ejournal3.undip.ac.id .
Diakses pada minggu 28 Mei 2023.
https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/jkm/arti cle/download/12098/11750

Nursalam . Asuhan Keperawatan pada Pasien Terinfeksi HIV/AIDS. Jakarta: Salemba


Medika, 2007.

Ariyani, H. Hendera. Fitria ,A. Gajali, M. Nurmeidina, R. Anshari, Muhammmad. Akrom.


PANDUAN KONSELING APOTEKER PASIEN HIPERTENSI. Kalimantan
Selatan: MBUnivPress, 2021

Anda mungkin juga menyukai