Anda di halaman 1dari 6

Oleh: Muhammad Kusuma.

Isu gender menjadi agenda penting dari semua pihak karena realitas perbedaan gender yang
berimplikasi pada perbedaan status, peran dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan
yang menimbulkan ketidakadilan gender atau diskriminasi maupun penindasan. Ketidakadilan
ini dapat terjadi di berbagai bidang kehidupan, baik dalam wilayah domestik maupun publik,
dalam bidang pendidikan, kesehatan, keamanan, ekonomi, politik, maupun pembangunan secara
lebih luas. Problem ketidakadilan gender ini dalam banyak kasus menjadi isu yang cukup sensitif
dan tidak mudah dipecahkan, terutama ketika terkait dengan doktrin agama, bahkan seolah-olah
mendapatkan legitimasi teologis.[1]

Dalam agama Yahudi, laki-laki mempunyai posisi yang lebih dominan dibandingkan dengan
perempuan. Dominasi ini menciptakan ketidakadilan gender. Ketika suatu perbuatan itu
dilakukan oleh laki-laki, maka dianggap sebagai suatu kebenaran.

A. Bias Gender di dalam Talmud

Dalam tradisi Yahudi, perempuan di satu sisi digambarkan sebagai mahluk yang kuat, baik
dan sopan, seperti: Batsheba sebagai perempuan yang pandai, Deborah seorang nabi perempuan,
Ruth seorang yang terpandang dan Esther seorang juru selamat rakyatnya. Namun, dalam tradisi
Yahudi juga ditemukan ajaran bahwa perempuan merupakan asal mula dosa dan juga melalui
perempuan manusia akan mati. Laki-laki harus bekerja dan perempuan harus melahirkan dalam
kesakitan.[2]

Perempuan yang melahirkan, 33 hari dianggapkotor apabila anaknya laki-laki. Kalau


anaknya perempuan, maka masa tidak sucinya/kotornya menjadi berlipat. Jika telah selesai masa
tidak sucinya, ia harus mencari pendeta untuk membuat penebusan dosa untuknya. Bahkan
dalam Talmud, ada teks doa: “Saya Berterimakasih Pada-Mu Tuhan, Karena Tidak
Menjadikanku Perempuan.”[3]

Gender dalam pandangan Kitab Suci Perjanjian Lama misalnya dalam kaca mata Yahudi
sarat dengan pandangan tentang Allah sebagai Bapa yang mahakuasa, suka marah, menghukum.
Pandangan Allah sebagai Bapa dalam masyarakat Yahudi ini menunjuk pada dominasi laki-laki,
sehingga dasar membuat pranata kehidupan juga atas dasar pandangan laki-laki. Dominasi ini
menciptakan ketidakadilan dalam masyarakat yang menggeser perempuan tanpa disadari oleh
kaum perempuan itu sendiri. Pranata kehidupan yang dibuat atas dasar peran laki-laki dianggap
sebagai suatu kebenaran.

Perbedaan biologis di antara manusia menjadi objek dasar pembuatan pranata kehidupan
(pandangan seksis). Kitab Kejadian, Keluaran, I Raja-raja, II Raja-raja, Yesaya, Yeremia,
Yehezkiel, Hosea, dalam Perjanjian Lama sangat sarat dengan peringatan akan penguasa
sewenang-wenang yang membuat pranata kehidupan tidak manusiawi ini.[4] Dalam pandangan
Yahudi, martabat perempuan sama dengan pembantu. Mereka menganggap perempuan adalah
sumber laknat karena dialah yang menyebabkan adam diusir dari surga.

Dalam Yahudi mempercayai sebuah kepercayaan dasar: bahwa laki-laki dan wanita adalah
ciptaan Tuhan, Pencipta alam semesta. Tetapi, silang sengketa segera muncul sesudah diciptakan
pria pertama Adam, dan wanita pertama, Hawa. Konsepsi Yahudi dalam hal penciptaan Adam &
Hawa iuraikan secara rinci di dalam kitab Perjanjian Lama, Kejadian 2:4-3:24, yang intinya:
Tuhan melarang mereka memakan buah dari pohon terlarang. Ular datang dan membujuk Hawa
untuk memakannya, dan selanjutnya, Hawa membujuk Adam untuk makan bersamanya. Ketika
Tuhan menegur Adam atas apa yang telah dilakukannya tersebut, Adam meletakkan kesalahan
semua kepada Hawa: "Wanita yang kau berikan kepada saya, dia memberi buah tersebut kepada
saya, lalu saya memakannya." Akibatnya Tuhan berkata kepada Hawa: "Saya akan menambah
kesusahan kepadamu pada waktu kamu hamil dan pada waktu kamu melahirkan.Hasratmu hanya
untuk suamimu dan dia akan mengatur kamu."

Kepada Adam, Tuhan berfirman: "Karena kamu mendengarkan apa yang dikatakan isterimu
sehingga kamu mematuhinya dan memakan buah tersebut...saya turunkan kamu kebumi, kamu
akan memakan segala sesuatu yang adadibumi sampai kamu mati..."

Para Pendeta Yahudi telah memberikan sembilan kutukan yang dibebankan kepada wanita
sebagai hasil dosa Adam & Hawa: "Kepada wanita Tuhan memberikan sembilan kutukan dan
kematian; beban berupa darah menstruasi dan darah keperawanan, kehamilan, kelahiran,
membesarkan anak, penutupan kepala dalam dalam berkabung, menjadi budak ang melayani
tuannya, tidak dipercaya kesaksiannya, dan setelah itu semua adalah kematian."[5]

B. Citra Perempuan dalam Tradisi Yahudi

Dalam hukum perkawinan agama Yahudi poligami diharuskan dan jumlahnya tidak
dibatasi, karena tidak terdapat larangan dan batasan untuk itu. Kedudukan seorang istri atau anak
perempuan berdasarkan hukum Yahudi adalah lemah sekali. Seorang wanita yang sudah
dikawinkan, menjadi seolah-olah dibeli oleh suaminya dari bapaknya, dan suaminya menjadi
tuannya. Ia tak ubahnya sebagai anak kecil atau burung patah sayap. Ia tak berhak membeli
ataupun menjual. Semua harta bendanya menjadi milik suaminya. Istri tidak berhak memiliki
apa-apa selain maskawin yang diterimakan kepadanya. Disamping itu, kaum wanita sebagai istri
wajib melakukan semua pekerjaan rumah tangga, baik yang berat maupun ringan. Kewajiban ini
harus dilaksanakan dengan taat.
Seperti halnya juga dalam hukum waris agama Yahudi bahwa anak laki-laki lah yang
merupakan pewaris utama dari orang tuanya. Kalau anak laki-laki ini banyak maka yang tertua
lah yang lebih utama, dan memperoleh warisan dua kali lipat dari bagian saudara-saudara yang
lain. Sedangkan anak perempuan yang belum berumur dua belas tahun tidak berhak menerima
warisan.

Peran perempuan adalah simbol yang mendalam sejauh mana masyarakat Yahudi menerima
atau menolak--modernitas dan westernisasi, artinya dalam masyarakat Yahudi kontemporer
justru perempuan mendapatkan penilaian khusus dengan menjadi sebuah simbol diterima atau
ditolaknya modernitas dan westernisasi.[6]

C. Teologi Feminis dan Rekonstruksi Peran Perempuan Dalam

Kehidupan Masyarakat Yahudi

Menurut Erich Fromm seorang Yahudi, seorang Psikoanalisis Sosial berkebangsaan Jerman
yang juga merupakan anggota Partai Sosialis Amerika era 1950-an, ia menyatakan bahwa
hubungan antara kaum laki-laki dan kaum perempuan adalah hubungan antara sebuah
kelompok yang menang dan yang kalah. Di Amerika Serikat tahun 1949 hal ini dianggap lucu
ketika mengatakan demikian, apalagi di zaman sekarang ini. Karena sudah jelas bisa kita lihat,
kaum perempuan di kota-kota besar tentu saja tidak tampak, tidak merasa, dan tidak bertindak
seperti layaknya kelompok yang kalah. Dia menambahkan kaum perempuan telah menyelesaikan
emansipasinya, dan oleh sebab itu berada sejajar dengan kaum laki-laki, dan membuatnya bisa
tampil.[7]
Tokoh berikutnya ialah Betty Friedan[8]. Ia pernah mengatakan: “Jadi saya pikir pada saat
itu setiap wanita akan bereaksi dengan berbagai cara yang berbeda. Beberapa wanita pada saat
itu tidak akan memasak, sedangkan yang lainnya akan terlibat dialog dengan suami mereka. Di
Seluruh negeri beberapa wanita akan keluar untuk berunjuk rasa. Mereka akan menekan anggota
Kongres Senator agar meluluskan undang-undang yang mempengaruhi peran wanita.“

Kalimat di atas diucapkan Betty Friedan untuk menyambut demo besar-besaran wanita pada
tanggal 26 Agustus 1970 di Amerika Serikat. Friedan adalah seorang tokoh feminis liberal yang
ikut mendirikan dan kemudian diangkat sebagai presiden pertama National Organization for
Woman pada tahun 1966. Ia menjadi pemimpin aksi untuk mendobrak UU di Amerika yang
melarang aborsi dan pengembangan sifat-sifat maskulin oleh wanita.

Daftar Pustaka

Fromm, Erich. Cinta, Seksualitas, dan Matriarki. Yogyakarta: Jalasutra, 2007

Sharma, Arvind (ed.), Perempuan Dalam Agama-agama Dunia, Jakarta: Ditpertais Depag RI-
CIDA- McGill Project, 2002

_______ dan K. Young, Katherine (ed). Fundamentalism and Woman in World Religions. New
York: T & T Clark International, 2008
_______ (ed.), Perempuan Dalam Agama-agama Dunia, h. 247

Swidler, Leonard J. Woman in Judaism: The Status of Woman in Formative Judaism. New
Jersey: Scarecrow Press, 1976

Umar, Nasaruddin. Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an. Bandung: Mizan, 1999

Zubaedah, Siti. Mengurai Problematika Gender dan Agama. Jurnal Studi Gender dan Anak.
Pusat Studi Gender STAIN Purwokerto

Anda mungkin juga menyukai