Bab Ii Tinjauan Teoritis A. Pembinaan Keagamaan
Bab Ii Tinjauan Teoritis A. Pembinaan Keagamaan
TINJAUAN TEORITIS
A. Pembinaan Keagamaan
1. Definisi Pembinaan
Kata pembinaan berasal dari bahasa Arab “bina” artinya bangunan. Setelah
dibakukan kedalam bahasa Indonesia, jika diberi awalan “pe-“ dan akhiran “an”
menjadi pembinaan yang mempunyai arti pembaruan, penyempurnaan usaha,
tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara berdaya guna dan berhasil guna untuk
memperoleh hasil yang lebih baik.1
Pembinaan berasal dari kata dasar “bina” yang berarti bangun, bimbing.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia pembinaan adalah proses, cara, perbuatan
membina, pembaharuan, penyempurnaan, usaha, tindakan dan kegiatan yang
dilakukan secara efesien dan efektif untuk memperoleh hasil yang lebih baik.
Pembinaan menjadikan manusia dapat berubah lebih baik dalam kehidupan sehari-
hari.2
Pembinaan secara terminologi adalah suatu upaya atau usaha kegiatan yang
terus menerus untuk mempelajari, meningkatkan, menyempurnakan, mengarahkan,
mengembangkan kemampuan untuk mencapai tujuan agar sasaran pembinaan
mampu menghayati dan mengamalkan ajaran Islam sebagai suatu pola kehidupan
sehari-hari yang baik dalam kehidupan pribadi, keluarga, maupun kehidupan sosial
di masyarakat.3
1
Alwi Hasan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 2003), 134
2
Tim Penyusun Kamus pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2005). Hal
152.
3
. M. Arifin, Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama, (Jakarta : Bulan Bintang, 2008), 114)
proses membantu individu melalui usahanya sendiri untuk menemukan dan
mengembangkan kemampuannya agar memperoleh kebahagiaan pribadi dan
kemanfaatan sosial.4
Keagamaan berasal dari kata agama yaitu kebutuhan jiwa (psikis) manusia yang
mengatur dan mengendalikan sikap, pandangan, kelakuan, dan cara menghadapi
tiap-tiap masalah7. Dalam pengertian lain agama diartikan perilaku umat bagi umat
manusia yang sudah di tentukan dan di komunikasikan oleh Allāh melalui utusan-
utusan, rasul-rasul atau nabi-nabi.
4
Syekh, Nurjati. (2020), "Pembinaan Keagamaan dan Perilaku Keagamaan". Artikel Pendidikan, hlm. 17.
sc.syekhnurjati.ac.id https://sc.syekhnurjati.ac.id (Di akses pada tanggal 8 Juni 2023).
5
Ibid, hlm. 18.
6
Mangundharjana, 1995: 18.
7
Zakiyah Darajat. Ilmu Jiwa Agama. Hlm. 23
kholiknya, hubungan ini terwujud dalam sikap batin serta tampak pada ibadah yang
dilakukannya, dan tercermin pula dalam sikap kesehariannya.8
Untuk dapat melihat baik atau tidaknya keagamaan seseorang, dapat dilihat dari
kematangan agamanya. Kematangan agama terlihat dari kemampuan seseorang
8
Quraish Sihab. Membumikan Al-Qur’an. (Bandung : Mizan). 1994, 210)
9
Endang Syaifudin Anshari. Pendidikan Anak Dalam Islam. (Jakarta: Pustaka Amani). 1980, 33.
10
M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam....., 25
untuk memahami, mengaplikasikannya dikehidupan sehari-hari, di sekolah maupun
di luar sekolah. Keberagaman dalam Islam bukan hanya diwujudkan dalam bentuk
ibadah ritual saja, tetapi juga dalam aktifitas lainnya.
Sejak lahir manusia telah dibekali fitrah keagamaan, sejak ruh manusia itu
berada di Lauh Al-Mahfudz, telah terjadi komunikasi dengan Allāh, bahwa
manusia mengikuti Allāh sebagai Tuhannya. Mengenai hal ini AllāhSubhānahu wa
ta'alā berfirman dalam QS. Al-A'rāf : 172, sebagai berikut:
Keadaan fitrah bukan berarti manusia dilahirkan dalam keadaan kosong tanpa
bekal apapun. Akan tetapi fitrah yang dimaksudkan di sini adalah lahir dengan
berbekal potensi keagamaan. Fitrah ini baru berfungsi kemudian hari melalu proses
bimbingan dan latihan setelah itu tahap kematangan. Tanda-tanda keagamaan
11
Ancok dan Surosa. Psikologi, Pekerjaan Sosial dan Ilmu Kesejahteraan Sosial (dasardasar Pemikiran).
(PT. Raja Grafindo Persada : Jakarta). 2005, 80
12
Via Al-Qur'an Indonesia https://quran-id.com (Di akses pada tanggal 8 Juni 2023).
tumbuh terjalin secara integral dengan perkembangan fungsi-fungsi kejiwaan
lainnya.13
5) Menumbuhkan sikap mental yang didasar oleh rohman dan rohim Allāh,
pergaulan yang rukun dan serasi.
13
Jalaluddin. Psikologi Agama. (Rajwali Press: Jakarta). 2000, 65
14
Ramayulis. Ilmu Pendidikan Islam. (Jakarta: Kalam Mulia). 2006, 25.
15
Ibid, hlm. 45.
6) Tumbuhnya kegairahan dan kebanggaan hidup beragama dan mengenali
motivasi keagamaan untuk lebih mendorong kemajuan gerak pembangunan
bangsa Indonesia.
Uraian di atas menunjukkan bahwa pembinaan keagamaan tidak dapat terlepas
dari tujuan hidup manusia menurut syariat Islam yaitu untuk mengabdi kepada
Allāh Subhānahu wa ta'alā dan memperoleh kebahagiaan hidup di dunia maupun
di akhirat.
b) Suri Tauladan
Pendidik adalah objek langsung bagi pembina terdidik seperti apa yang
dikatakan Amru bin ‘Utbah kepada pendidik anaknya: “Agar anaknya menjadi
lebih baik, terlebih dahulu anda memperbaiki diri anda sendiri, karena
pandangan mata mereka terpakau pada pandangan mata anda, jika pandangan
mereka baik karena sesuai dengan apa yang kanda perbuat, dan jika jelek itu
karena anda meninggalkannya”.
c) Melalui nasehat
Pemberi nasehat dari orang berwibawa dan penuh cinta kasih akan menjadikan
orang lain menerima dengan senang hati apa yang disampaikan pembimbing
dimana dalam nasehat itu nilai-nilai kebaikan yang harus diikuti dan keburukan
yang harus ditinggalkan dapat disampaikan.
16
Asmuni Syukir. Dasar-dasar Strategi Dakwah Islam. (Surabaya: Al-Ikhlas). 1983, 20.
d) Melaui cerita
Pemberian cerita dengan tokoh yang terpuji akan mendorong kita untuk
menirunya. Tugas pembina keagamaan mengarahkan mana yang harus ditiru dan
mana yang harus ditinggalkan.
Pembinaan seperti ini diperlukan adanya latihan secara rutin ataupun bertahap,
dengan perbuatan baik secara langsung mempraktekkan hal-hal yang boleh
dilakukan dan yang harus ditinggalkan, karena itu akan diingatnya hingga usia
dewasa.
Pembinaan moral keagamaan yang melalui proses pendidikan itu harus terjadi
sesuai dengan psikologis dan pedagogis dalam tiga lembaga pendidikan, yaitu
rumah tangga, sekolah, dan manyarakat. Pembinaan moral keagaamaan harus
diberikan kepada anak sejak lahir, kemudian remaja dan sampai tua. Sehingga
diharapkan kebiasaan-kebiasan yang dilakukan tertanam dari orang tua dan di
pupuk oleh guru di sekolah dan ditambahi dengan lingkungan sekitarnya.
17
Daradjat. Pendidikan Agama Dalam Pembinaan Mental. (Jakarta: Bulan Bintang). 1982, 72.
Pada penelitian ini, peneliti menyesuaikan dengan metode yang digunakan
dalam pelaksanaan program pembinaan keagamaan di SMPN 33 Bandung, yakni
dilakukan melalui proses pendidikan dan pembiasaan. Metode ini juga berhubungan
dengan orang tua, pendidik juga lingkungan sekitar untuk menunjang dalam
pembinaan yang telah dilakukan di sekolah.
Etika berasal dari bahasa Yunani kuno “etos” dan “etha”. Etos merupakan
kata bentuk tunggal yang memiliki arti kebiasaan-kebiasaan tingkah laku
manusia, adat, akhlak, watak, perasaan sikap dan cara berpikir. Sedangkan etha
merupakan bentuk jamak yang mengandung arti adat kebiasaan. Sehingga
berdasarkan dasar kata tersebut, etika adalah ilmu yang mempelajari tentang adat
kebiasaan.18
18
Asmawati Burhan, Buku Ajar Etika Umum, (Yogyakarta, Penerbit Deepublish, 2019), hal. 3
Secara etimologi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) etika dapat
diartikan dalam tiga aspek, yaitu:19
a) Ilmu tentang hal baik dan buruk, serta tentang hak dan kewajiban moral.
c) Nilai yang benar atau salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Dengan demikian etika merupakan teori tentang apa yang baik dan buruk
yang berkenaan dengan perilaku manusia yang didasarkan pada ketentuan akal
19
Tim Penyusun Kamus pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008).
Hal 402.
20
Abdul Malik Karim Amrullah, Etika Hamka Konstruksi Etik Berbasis Rasional-Religius, (Yogyakarta:
Penerbit LKiS, 2010), hal. 34-35.
21
Ki Hajar Dewantara, Bagian Pertama Pendidikan, (Yogyakarta: Taman Siswa, 1966), hal. 138
manusia. Persoalan etika muncul ketika moralitas seseorang ataupun masyarakat
terkikis krisis.22
Sosial merupakan sifat alamiah yang ada dalam diri manusia, yaitu adanya
saling kerjasama antara satu dengan yang lainnya. Sekalipun terdapat orang yang
pendiam, acuh serta jarang berinteraksi, akan tetapi secara alamiah seseorang
tersebut tetap melakukan aktivitas sosial, yaitu bekerja sama. Ketika ingin
makan, dia bekerja sama dengan orang lain dengan cara memberikan uang
kepada pemilik makanan sehingga orang tersebut bisa makan, pemilik makanan
pun memberikan makanannya agar mendapatkan uang supaya keperluan
hidupnya terpenuhi.24
Media sosial adalah sebuah tempat yang dapat menghubungkan setiap orang
yang tergabung dalam media sosial yang sama untuk saling berkomunikasi dan
berbagi informasi. Pengguna media sosial bisa berkomunikasi dengan melihat
keadaan lawan bicaranya secara langsung tanpa harus bertemu, berbagi pesan
berupa teks, gambar bahkan video dalam waktu yang cepat dan tak terbatas.
22
Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, Tafsir al-Quran Tematik Etika Berkeluarga,
Bermasyarakat dan Berpolitik, (Jakarta; Lajnah Pentashih Mushaf al-Quran, 2009), hal 7.
23
Ruli Nasrullah, MEDIA SOSIAL: Perspektif Komunikasi, Budaya dan Sosioteknologi (Bandung:
Simbiosa Rekatama Media, 2015), hal 3.
24
Ibid, hal. 7-8.
feedback secara terbuka dengan mengirim komentar atas konten yang telah
dibagikan.25
25
Barito Mulyo Ratmono Budi Gunawan, Kebohongan di Dunia Maya : Memahami Teori dan Praktik-
Praktiknya di Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia, 2018), hal. 26.
2626
https://zahiraccounting.com/id/blog/tujuan-etika-dalam-media-sosial/ (Di akses pada tanggal 8 Juni
2023).
komunikasi yang diekspresikan dengan menggunakan berbagai saluran, baik
verbal maupun non verbal. Pesan yang ingin disampaikan melalui media
sosial, bisa berdampak positif bisa juga sebaliknya. Media sosial akan lebih
bernilai positif, jika para pengguna media sosial mengetahui dan menguasai
teknik bermedia sosial yang baik, dan beretika.27
27
Manik, Ketut. 2020, "Etika Komunikasi di Media Sosial". Jurnal Ilmiah Ilmu Agama dan Sosial
Budaya: Widya Duta. Vol. 15, No. 1. Hlm. 95
28
Mufid, M. 2009. Etika dan Filsafat Komunikasi. Jakarta: Kencana…,
3. Bentuk-bentuk Etika Bermedia Sosial
29
Fahrimal, Y. (2018). Netiquette: Etika jejaring sosial generasi milenial dalam media sosial. Jurnal
Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan, 22 (1), 69.
30
(Maulidi, A. (2015). Kesantunan berbahasa pada media jejaring sosial Facebook. E-Journal
Bahasantodea, 3 (4), 42–49.
31
Syaeba, M. (2016). Etika komunikasi media sosial Facebook (Studi eksplorasi terhadap tindakan
bullying bagi mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Pemerintahan Universitas Al Asyariah. MITZAL,
Jurnal Ilmu Pemerintahan & Ilmu Komunikasi, 1(1), 17–18.
tidak langsung, membully, baik kepada mitra bicara maupun pihak di luar
mitra bicara. Inilah yang dikatakan dewasa ini telah terjadi krisis etika.32
Arus di media sosial seperti dalam kehidupan nyata tidak luput dari
pentingnya menjunjung tinggi etika bermedia sosial. Kebebasan di media
sosial bukanlah kebebasan tanpa batas. Sebaliknya, perlu tetap
memperhatikan nilai, norma, dan aturan kemanusiaan layaknya berinteraksi
di dunia nyata. Etika bukan sekadar tuturan yang dituliskan, melainkan juga
ada maksud baik yang dinyatakan dengan kesabaran dan empati dalam
berkomunikasi sehingga menciptakan keharmonisan berkomunikasi, saling
menghargai, saling mendukung, dan saling menghormati di antara sesama
pengguna media sosial.33
32
Astajaya, I. K. M. (2020). Etika komunikasi di media sosial. Widya Duta, 15 (1), 81–82.
33
Sri Hafsari, dkk.., 2022. "Bentuk-bentuk Etika Bermedia Sosial Generasi Milenial". Jakarta: Jurnal
Komunikasi. Vol. 16, No. 2, hlm. 130), P-ISSN: 1907-848X, E-ISSN: 2548-7647.
di golongkan sebagai tindak kekerasan secara verbal karena dapat
menyebabkan orang lain merasa terluka.34
b) Provokatif
34
Rosidin, Odin. 2010. “Kajian Bentuk, Kategori, dan Sumber Makian Serta Alasan Penggunaan Makian
Oleh Mahasiswa”. Tesis:FPIB. Universitas Indonesia.
dilakukan oleh motivator-motivator yang menyebarkan tulisan maupun
foto atau video provokatif agar khalayak luas mendapatkan sebuah
motivasi yang positif dalam menjalani kehidupannya.35
c) Unsur SARA
Di dalam UU ITE sendiri tidak di jelaskan mengenai unsur apa saja yang
dapat masuk dalam kategori pelanggaran kesusilaan sehingga
menimbulkan beragam penafsiran. Kejahatan kesusilaan juga diatur pada
Bab XIV KUHP, tetapi tidak diaturnya definisi mengenai kesusilaan.
Namun kesusilaan sering dikaitkan dengan pornografi. Pornografi sendiri
diatur dalam Undang-Undang Nomor. 44 Tahun 2008 (UU Pornografi).
35
https://id.wiktionary.org/wiki/provokasi (Di akses pada tanggal 8 Juni 2023).
36
https://www.liputan6.com/citizen6/read/3869107/sara-adalah-isu-sensitif-berikut-arti-dan-
penjelasannya. (Di akses pada tanggal 9 Juni 2023).
Menurut Undang-Undang Nomor. 44 Tahun 2008 Pasal 1 Ayat 1
pornografi adalah bentuk seksualitas yang di bentuk manusia dalam
bentuk sketsa, gambar, foto, ilustrasi, tulisan, suara, bunyi, gambar
bergerak, animasi, kartun, percakapan, syair, gerak tubuh atau bentuk
pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi
dan/atau pertunjukkan di muka umum, yang dapat membangkitkan hasrat
seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan masyarakat.37
1) Etika Berkomunikasi
37
Hariyanti, Fitri. 2020, "Etika Komunikasi Media Sosial di Facebook", Skripsi: Universitas Islam Riau.
Hlm. 27.
38
Nur Marwah, 2020. "Etika Komunikasi Islam". Makassar: UIN Alauddin, Jurnal Komunikasi. Hlm. 2.
(karena) boleh jadi perempuan (yang diperolok-olokkan) lebih baik
dari perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling
mencela satu sama lain dan janganlah saling memanggil dengan gelar-
gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang
buruk (fasik) setelah beriman. Dan barangsiapa tidak bertobat, maka
mereka itulah orang-orang yang zalim.39
Ayat diatas merupakan peringatan yang halus dari Allah, bahwa mengejek,
mengolok-olok dan menghina dalam berkomunikasi adalah suatu perbuatan yang tidak
pantas dilakukan oleh orang yang beriman. Sebab orang yang beriman akan banyak
muhasabah tentang dirinya sendiri. Sehingga dia tahu segala kekurangan yang ada
pada dirinya.
Untuk mencapai ketepatan data maupun fakta sebagai bahan informasi yang
akan disampaikan kepada orang lain atau masyarakat luas di media sosial, maka
diperlukan terlebih dahulu pemeriksaan secara seksama oleh komunikator. Hal
ini penting karena banyak masyarakat khususnya di daerah pedesaan
39
Via Al-Qur'an Indonesia https://quran-id.com (Di akses pada tanggal 9 Juni 2023).
40
Abdul Malik Abdul Karim Amrullah, Tafsir Al-Azhar, Jilid 9, hal 6827.
mempercayai informasi begitu saja sebagai sebuah kebenaran tanpa cermat dan
jeli. Dalam hal ini Al-Qur'an memberikan perintah Tabayyun (teliti dan jeli)
dalam menerima informasi, sebagaimana firman Allāh Subhānahu wa ta'alā
dalam QS. Al-Hujurāt : 6, sebagai berikut:41
Penjelasan ayat diatas, menurut Tafsir Ibnu Katsir, ayat ini merupakan perintah
tegas dari Allāh Subhānahu wa ta'alā terhadap kaum mukmin untuk selalu bersikap
teliti terhadap berita atau informasi yang diperoleh dari orang fasik, hendaklah
bersikap hati-hati dalam menerima informasi tersebut, jangan dengan mudahnya
menerima informasi begitu saja tanpa mencari tahu kebenaran informasi, apalagi
sampai menyebarkan informasi tersebut. Jika informasi yang disebarkan tidak
memiliki kebenaran dan kemashlatan maka akan muncul kemudharatan yang
menimbulkan penyesalan, dan orang yang lalai atau tidak teliti dengan menyebarkan
informasi tanpa tahu kebenarannya maka dianggap sama dengan mengikuti jejak
orang fasik tersebut.42
Ayat ini juga salah satu dasar tuntunan yang sangat logis bagi penerimaan dan
pengamalan suatu berita. Apabila menerima informasi atau berita dari orang fasik,
yakni telitilah kebenaran informasinya dengan berbagai cara. Kehidupan manusia
dan interaksinya haruslah didasarkan hal-hal yang diketahui dan jelas. Manusia
sendiri tidak dapat menjangkau seluruh informasi. Karena itu, ia membutuhkan pihak
lain. Pihak lain itu ada yang jujur dan memiliki integritas sehingga hanya
41
Joko Susanto ―Etika Komunikasi Islami ǁ Waraqat : Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman 1, no. 1 (19
September 2020): 24, https://doi.org/10.51590/waraqat.v1i1.28. Hal. 20.
42
Abu Al-Fida Ismail bin Umar bin Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 7, hal 476.
menyampaikan hal-hal yang benar, dan ada pula sebaliknya. Karena itu pula berita
harus disaring/koreksi kebenaranya agar tidak salah langkah dalam menanggapi
informasi/berita. Penekanan pada kata fasik disini bukan pada semua penyampai
berita, akan tetapi perlu dikondisikan jika dalam suatu masyarakat sudah sulit untuk
dilacak manakah orang yang fasik dan mana yang bukan fasik, maka ketika itu berita
apapun yang bersifat penting tidak boleh diterima begitu saja tanpa chek and recheck
terlebih dahulun kebenaran dan sumber kebenarannya.43
Melalui uraian tersebut penulis berpendapat, jika kita lihat realitas saat ini,
aktivitas komunikasi di Indonesia melalui jaringan internet sangat banyak dilakukan
oleh masyarakat, tentu hal ini menjadi tempat maraknya berita hoax, hate speech,
isu-isu SARA yang berpotensi terhadap kerusakan sosial. Oleh karena itu, ayat ini
merupakan petunjuk yang jelas dalam melakukan aktivitas komunikasi khusunya di
media sosial agar kita bisa mencegah dan mengurangi maraknya perkembangan
berita hoax di Indonesia.
43
Nazaruddin, Alfiansyah.."Etika Komunikasi Islami di Media Sosial Dalam Perspektif Alquran dan
Pengaruhnyaa Terhadap Keutuhan Negara". Jurnal Peurawi: Media Kajian Komunikasi Islam. Vol. No.
Tahun 20, hlm. 84. EISSN: 2598-6031 - ISSN: 2598-6023.