Anda di halaman 1dari 20

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Pembinaan Keagamaan

1. Definisi Pembinaan

Kata pembinaan berasal dari bahasa Arab “bina” artinya bangunan. Setelah
dibakukan kedalam bahasa Indonesia, jika diberi awalan “pe-“ dan akhiran “an”
menjadi pembinaan yang mempunyai arti pembaruan, penyempurnaan usaha,
tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara berdaya guna dan berhasil guna untuk
memperoleh hasil yang lebih baik.1

Pembinaan berasal dari kata dasar “bina” yang berarti bangun, bimbing.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia pembinaan adalah proses, cara, perbuatan
membina, pembaharuan, penyempurnaan, usaha, tindakan dan kegiatan yang
dilakukan secara efesien dan efektif untuk memperoleh hasil yang lebih baik.
Pembinaan menjadikan manusia dapat berubah lebih baik dalam kehidupan sehari-
hari.2

Pembinaan secara terminologi adalah suatu upaya atau usaha kegiatan yang
terus menerus untuk mempelajari, meningkatkan, menyempurnakan, mengarahkan,
mengembangkan kemampuan untuk mencapai tujuan agar sasaran pembinaan
mampu menghayati dan mengamalkan ajaran Islam sebagai suatu pola kehidupan
sehari-hari yang baik dalam kehidupan pribadi, keluarga, maupun kehidupan sosial
di masyarakat.3

Pengertian pembinaan hampir sama dengan bimbingan dan penyuluhan.


Bimbingan secara harfiah dapat diartikan sebagai memajukan, memberi jalan atau
menuntun orang lain kearah tujuan yang bermanfaat bagi kehidupannya di masa
kini dan masa yang akan datang. Penyuluhan juga dapat disebut sebagai suatu

1
Alwi Hasan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 2003), 134
2
Tim Penyusun Kamus pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2005). Hal
152.
3
. M. Arifin, Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama, (Jakarta : Bulan Bintang, 2008), 114)
proses membantu individu melalui usahanya sendiri untuk menemukan dan
mengembangkan kemampuannya agar memperoleh kebahagiaan pribadi dan
kemanfaatan sosial.4

Jadi dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pembinaan


adalah suatu bentuk dan proses seseornag untuk menjadi manusia yang lebih baik
dan bisa mengaktualisasikan dirinya di dalam lingkungan keluarga dan masyarakat.

Fungsi pokok pembinaan mencakup tiga hal, yaitu:5

a) Penyampaian informasi dan pengetahuan.

b) Perubahan dan pengembangan sikap.

c) Latihan dan pengembangan kecakapan serta keterampilan6

Dari uraian di atas tentang pengertian pembinaan bahwa pembinaan merupakan


hal yang sangat penting untuk setiap manusia agar berubah menjadi manusia yang
lebih baik dari segi sikap, tingkah laku dan berbagai keterampilan lainnya.

Keagamaan berasal dari kata agama yaitu kebutuhan jiwa (psikis) manusia yang
mengatur dan mengendalikan sikap, pandangan, kelakuan, dan cara menghadapi
tiap-tiap masalah7. Dalam pengertian lain agama diartikan perilaku umat bagi umat
manusia yang sudah di tentukan dan di komunikasikan oleh Allāh melalui utusan-
utusan, rasul-rasul atau nabi-nabi.

Secara etimologi, kata agama berarti percaya atau kepercayaan, sedangkan


menurut terminologi pendapat dari Quraih Shihab dalam bukunya “Membumikan
Al-Qur’an”, bahwa agama adalah sebagai hubungan antara makhluk dengan

4
Syekh, Nurjati. (2020), "Pembinaan Keagamaan dan Perilaku Keagamaan". Artikel Pendidikan, hlm. 17.
sc.syekhnurjati.ac.id https://sc.syekhnurjati.ac.id (Di akses pada tanggal 8 Juni 2023).
5
Ibid, hlm. 18.
6
Mangundharjana, 1995: 18.
7
Zakiyah Darajat. Ilmu Jiwa Agama. Hlm. 23
kholiknya, hubungan ini terwujud dalam sikap batin serta tampak pada ibadah yang
dilakukannya, dan tercermin pula dalam sikap kesehariannya.8

Secara eksplisit yang dimaksud keagamaan sendiri adalah penghayatan iman


atau praktik-praktik yang memadukan pengalaman iman dengan unsur-unsur yang
sebenarnya asing baginya. Pendapat lain mengatakan bahwa keagamaan merupakan
suatu sistem creda (keyakinan) atas adanya yang mutlak itu, serta sistem norma
(tata kaidah) yang mengatur dengan hubungan manusia dengan manusia dan alam
lainnya, sesuai dan sejalan dengan tata keimanan dan tata peribadatan yang
dimaksud9.

Maka pendapat-pendapat di atas dapat diketahui bahwa agama adalah aturan-


aturan yang bersumber dari Allāh Subhānahu wa ta'alā melalui utusan, Rasul dan
Nabi agar manusia dapat mengendalikan hawa nafsu untuk mencapai kebahagiaan
dunia dan akhirat. Sedangkan pengertian keagamaan menurut peneliti adalah
fenomena sosial yang mengatur hubungan vertikal yakni hubungan manusia dengan
Allāh Subhānahu wa ta'alā, serta hubungan horizontal yakni manusia dengan
manusia, dan manusia dengan alam sekitar sesuai dengan tata kehidupan yang
mencakup keimanan, norma agama atau religi. Islam memiliki enam aspek yaitu,
keimanan kepada Allāh Subhānahu wa ta'alā, iman kepada para malaikat-Nya, iman
kepada kitab-kitab-Nya, iman kepada Rasul-Nya, iman pada hari akhir, dan iman
Qada’ dan Qadar.

Menurut Arifin dalam bukunya “Ilmu Pendidikan Islam” mengatakan bahwa


pembinaan/bimbingan dan penyuluhan agama adalah segala kegiatan yang
dilakukan oleh seseorang dalam rangka memberikan bantuan kepada orang lain
yang mengalami kesulitan-kesulitan ruhaniyah dalam lingkungan hidupnya agar
orang tersebut mampu mengatasinya sendiri10.

Untuk dapat melihat baik atau tidaknya keagamaan seseorang, dapat dilihat dari
kematangan agamanya. Kematangan agama terlihat dari kemampuan seseorang

8
Quraish Sihab. Membumikan Al-Qur’an. (Bandung : Mizan). 1994, 210)
9
Endang Syaifudin Anshari. Pendidikan Anak Dalam Islam. (Jakarta: Pustaka Amani). 1980, 33.
10
M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam....., 25
untuk memahami, mengaplikasikannya dikehidupan sehari-hari, di sekolah maupun
di luar sekolah. Keberagaman dalam Islam bukan hanya diwujudkan dalam bentuk
ibadah ritual saja, tetapi juga dalam aktifitas lainnya.

Islam mendorong untuk ibadah secarah menyeluruh, maksudnya adalah ibadah


dalam sikap, dalam berbicara, dalam keadaan apapun islam telah mengajarkannya.
Untuk memahami Islam dan umat Islam konsep yang dibuat adalah konsep yang
mampu memahami beragam dimensi atau situasi dalam berislam.11

2. Tujuan Pembinaan Keagamaan

Sejak lahir manusia telah dibekali fitrah keagamaan, sejak ruh manusia itu
berada di Lauh Al-Mahfudz, telah terjadi komunikasi dengan Allāh, bahwa
manusia mengikuti Allāh sebagai Tuhannya. Mengenai hal ini AllāhSubhānahu wa
ta'alā berfirman dalam QS. Al-A'rāf : 172, sebagai berikut:

ُ ‫ﻋٰﻠٓﻰ ا َْﻧﻔُِﺴِﮭْۚﻢ ا َﻟَْﺴ‬


‫ﺖ ﺑَِﺮﺑُِّﻜْۗﻢ ﻗَﺎﻟُْﻮا ﺑَٰﻠۛﻰ‬ َ ‫ظُﮭْﻮِرِھْﻢ ذُِّرﯾﱠﺘ َُﮭْﻢ َوا َْﺷَﮭﺪَُھْﻢ‬ُ ‫َواِْذ ا ََﺧﺬَ َرﺑﱡَﻚ ِﻣْۢﻦ ﺑَﻨِ ْٓﻲ ٰادََم ِﻣْﻦ‬
‫ﻋْﻦ ٰھﺬَا ٰﻏِﻔِﻠْﯿَۙﻦ‬ َ ‫ﺷِﮭْﺪﻧَﺎ ۛا َْن ﺗ َﻘُْﻮﻟُْﻮا ﯾَْﻮَم اْﻟِﻘٰﯿَﻤِﺔ اِﻧﱠﺎ ُﻛﻨﱠﺎ‬
َ

Artinya : "Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi (tulang


belakang) anak cucu Adam keturunan mereka dan Allah
mengambilkesaksian terhadap roh mereka (seraya berfirman), “Bukankah
Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami),
kami bersaksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat
kamu tidak mengatakan,“Sesungguhnya ketika itu kami lengah terhadap
ini".12

Keadaan fitrah bukan berarti manusia dilahirkan dalam keadaan kosong tanpa
bekal apapun. Akan tetapi fitrah yang dimaksudkan di sini adalah lahir dengan
berbekal potensi keagamaan. Fitrah ini baru berfungsi kemudian hari melalu proses
bimbingan dan latihan setelah itu tahap kematangan. Tanda-tanda keagamaan

11
Ancok dan Surosa. Psikologi, Pekerjaan Sosial dan Ilmu Kesejahteraan Sosial (dasardasar Pemikiran).
(PT. Raja Grafindo Persada : Jakarta). 2005, 80
12
Via Al-Qur'an Indonesia https://quran-id.com (Di akses pada tanggal 8 Juni 2023).
tumbuh terjalin secara integral dengan perkembangan fungsi-fungsi kejiwaan
lainnya.13

Dalam konteks kehidupan beragama pembinaan keagamaan merupakan usaha


yang dilakukan untuk menumbuhkan kesadaran, memelihara secara terus-menerus
terhadap tatanan nilai agama agar perilaku hidupnya senantiasa pada norma-norma
yang ada dalam tatanan.14

Maksud diadakannya pembinaan keagamaan atau dengan kata lain pembina


kehidupan moral manusia dan penghayatan keagamaan dalam kehidupan seseorang
bukan sekedar mempercayai akidah dan pelaksanaan tata upacara keagamaannya
saja, tetapi merupakan usaha yang terus-menerus menyempurnakan diri pribadi
dalam hubungan vertikal kepada Tuhan dan horizontal kepada sesama makhluk dan
alam sekitar, sehingga mewujudkan keselarasan dan keseimbangan hidup menurut
fitrah kejadiannya.

Sedangkan ada pendapat lain mengenai tujuan pembinaan keagamaan yang


dijabarkan secara operasional:15

1) Merperkuat ketakwaan dan amal keagamaan di dalam diri.

2) Terwujudnya sikap masyarakat yang konstruktif dan responsif terhadap


gagasan-gagasan pembangunan.

3) Mempertahankan mayarakat dan mengamalkan pancasila dan membudayakan


P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila).

4) Memperkuat komitmen bangsa Indonesia, mengikis habis sebabsebab dan


kemungkinan, timbul serta berkembangnya steisme, komunisme, kemusyrikan.

5) Menumbuhkan sikap mental yang didasar oleh rohman dan rohim Allāh,
pergaulan yang rukun dan serasi.

13
Jalaluddin. Psikologi Agama. (Rajwali Press: Jakarta). 2000, 65
14
Ramayulis. Ilmu Pendidikan Islam. (Jakarta: Kalam Mulia). 2006, 25.
15
Ibid, hlm. 45.
6) Tumbuhnya kegairahan dan kebanggaan hidup beragama dan mengenali
motivasi keagamaan untuk lebih mendorong kemajuan gerak pembangunan
bangsa Indonesia.
Uraian di atas menunjukkan bahwa pembinaan keagamaan tidak dapat terlepas
dari tujuan hidup manusia menurut syariat Islam yaitu untuk mengabdi kepada
Allāh Subhānahu wa ta'alā dan memperoleh kebahagiaan hidup di dunia maupun
di akhirat.

3. Program Metode Pembinaan Keagamaan di Sekolah

Sebagaimana dijelaskan bahwa dalam arti yang luas pembinaan keagamaan


merupakan bagian daripada dakwah, karena pengertian dakwah dapat ditinjau dari
2 segi, yakni segi pembinaan dan segi pengembangan. Oleh karena itu metode yang
dapat digunakan dalam pelaksanaan program pembinaan keagamaan tidak beda
jauh dengan metode dakwah antara lain:16

b) Suri Tauladan

Pendidik adalah objek langsung bagi pembina terdidik seperti apa yang
dikatakan Amru bin ‘Utbah kepada pendidik anaknya: “Agar anaknya menjadi
lebih baik, terlebih dahulu anda memperbaiki diri anda sendiri, karena
pandangan mata mereka terpakau pada pandangan mata anda, jika pandangan
mereka baik karena sesuai dengan apa yang kanda perbuat, dan jika jelek itu
karena anda meninggalkannya”.

c) Melalui nasehat

Pemberi nasehat dari orang berwibawa dan penuh cinta kasih akan menjadikan
orang lain menerima dengan senang hati apa yang disampaikan pembimbing
dimana dalam nasehat itu nilai-nilai kebaikan yang harus diikuti dan keburukan
yang harus ditinggalkan dapat disampaikan.

16
Asmuni Syukir. Dasar-dasar Strategi Dakwah Islam. (Surabaya: Al-Ikhlas). 1983, 20.
d) Melaui cerita

Pemberian cerita dengan tokoh yang terpuji akan mendorong kita untuk
menirunya. Tugas pembina keagamaan mengarahkan mana yang harus ditiru dan
mana yang harus ditinggalkan.

e) Melaui Pembiasaan dan Pengalaman yang Konkrit

Pembinaan seperti ini diperlukan adanya latihan secara rutin ataupun bertahap,
dengan perbuatan baik secara langsung mempraktekkan hal-hal yang boleh
dilakukan dan yang harus ditinggalkan, karena itu akan diingatnya hingga usia
dewasa.

Menurut Daradjat dari bukunya yang berjudul “Pendidikan Agama dalam


Pembinaan Mental”, mengatakan bahwa dalam metode pembinaan mental keagaman
meliputi beberapa aspek diantaranya:17

a) Melaui proses pendidikan

Pembinaan moral keagamaan yang melalui proses pendidikan itu harus terjadi
sesuai dengan psikologis dan pedagogis dalam tiga lembaga pendidikan, yaitu
rumah tangga, sekolah, dan manyarakat. Pembinaan moral keagaamaan harus
diberikan kepada anak sejak lahir, kemudian remaja dan sampai tua. Sehingga
diharapkan kebiasaan-kebiasan yang dilakukan tertanam dari orang tua dan di
pupuk oleh guru di sekolah dan ditambahi dengan lingkungan sekitarnya.

b) Melalui proses pembinaan kembali


Di dalam diri manusia terdapat beberapa perbedaan dalam menanamkan ilmu
agamanya, mengakibatkan apa yang telah dipahami kabur, lantaran kebutuhan
yang kurang terpenuhi di dalam batin maupun psikisnya yang kemudian menjadi
konflik batin. Oleh karena itu, pembinaan kembali harus dilakukan intensif, dan
sebagai pembina harus siap sedia untuk memberikan bantuan, pertolongan dan
sebagainya.

17
Daradjat. Pendidikan Agama Dalam Pembinaan Mental. (Jakarta: Bulan Bintang). 1982, 72.
Pada penelitian ini, peneliti menyesuaikan dengan metode yang digunakan
dalam pelaksanaan program pembinaan keagamaan di SMPN 33 Bandung, yakni
dilakukan melalui proses pendidikan dan pembiasaan. Metode ini juga berhubungan
dengan orang tua, pendidik juga lingkungan sekitar untuk menunjang dalam
pembinaan yang telah dilakukan di sekolah.

Sehubungan pelaksanaan program pembinaan keagamaan di SMPN 33 Bandung


dapat diimplementasikan untuk menguatkan etika bermedia sosial siswa. Melalui
proses pendidikan, dilakukan saat proses pembelajaran berlangsung dengan
mengaitkan salah satu materi pembelajaran, seperti akhlak dalam pembelajaran
pendidikan agama Islam. Lalu dikolaborasikan dengan etika bermedia sosial.
Kemudian melalui program pembiasaan, yang mana sekolah di SMPN 33 Bandung
selalu merutinkan siswa-siswi nya untuk mengikuti pembinaan keagamaan yang
dilakukan pada hari Rabu dan Jum'at. Program pembinaan keagamaan tersebut bisa
dibawakan dengan tema menguatkan etika bermedia sosial siswa, melalui pembinaan
ceramah dan nasehat-nasehat. Demikian, dengan adanya program pembinaan
keagamaan diharapkan mampu menguatkan etika bermedia sosial siswa.

B. Etika Bermedia Sosial

1. Pengertian Etika Bermedia Sosial

Etika berasal dari bahasa Yunani kuno “etos” dan “etha”. Etos merupakan
kata bentuk tunggal yang memiliki arti kebiasaan-kebiasaan tingkah laku
manusia, adat, akhlak, watak, perasaan sikap dan cara berpikir. Sedangkan etha
merupakan bentuk jamak yang mengandung arti adat kebiasaan. Sehingga
berdasarkan dasar kata tersebut, etika adalah ilmu yang mempelajari tentang adat
kebiasaan.18

18
Asmawati Burhan, Buku Ajar Etika Umum, (Yogyakarta, Penerbit Deepublish, 2019), hal. 3
Secara etimologi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) etika dapat
diartikan dalam tiga aspek, yaitu:19

a) Ilmu tentang hal baik dan buruk, serta tentang hak dan kewajiban moral.

b) Kumpulan nilai atau asas yang berhubungan dengan akhlak.

c) Nilai yang benar atau salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.

Namun beberapa ahli berbeda dalam mendefinisikan etika secara istilah. Di


antaranya:20

a) Sidi Gazalba mengartikan bahwasanya etika adalah teori tentang laku


perbuatan manusia, dipandang dari nilai baik dan buruk, sejauh yang
dapat ditentukan oleh akal.

b) Ahmad Amin mengartikan etika adalah suatu pengetahuan yang


menjelaskan baik dan buruk, yang menerangkan apa yang seharusnya
dilakukan orang kepada orang lain, menyatakan tujuan yang harus dituju
dalam perbuatan mereka dan menunjukan jalan untuk melakukan apa
yang harus diperbuat.

c) Ki Hajar Dewantara berpendapat bahwa etika adalah ilmu pengetahuan


yang mempelajari soal baik dan buruk dalam hidup manusia secara
keseluruhan, utamanya mengenai pergerakan pikiran, rasa dan perasaan
hingga tercapainya tujuan dalam suatu perbuatan.21

Dengan demikian etika merupakan teori tentang apa yang baik dan buruk
yang berkenaan dengan perilaku manusia yang didasarkan pada ketentuan akal

19
Tim Penyusun Kamus pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008).
Hal 402.
20
Abdul Malik Karim Amrullah, Etika Hamka Konstruksi Etik Berbasis Rasional-Religius, (Yogyakarta:
Penerbit LKiS, 2010), hal. 34-35.
21
Ki Hajar Dewantara, Bagian Pertama Pendidikan, (Yogyakarta: Taman Siswa, 1966), hal. 138
manusia. Persoalan etika muncul ketika moralitas seseorang ataupun masyarakat
terkikis krisis.22

Definisi media secara sederhana dapat diartikan sebagai saluran komunikasi.


Setiap definisi media yang ada mengarahkan kepada hal yang sama, yaitu ketika
mendengar kata media, maka yang terlintas dalam pikiran adalah sarana dan
teknologinya. Majalah merupakan representasi dari media cetak, kemudian
televisi yang merupakan representasi dari media elektronik, dan internet
merupakan representasi dari media online.23

Sosial merupakan sifat alamiah yang ada dalam diri manusia, yaitu adanya
saling kerjasama antara satu dengan yang lainnya. Sekalipun terdapat orang yang
pendiam, acuh serta jarang berinteraksi, akan tetapi secara alamiah seseorang
tersebut tetap melakukan aktivitas sosial, yaitu bekerja sama. Ketika ingin
makan, dia bekerja sama dengan orang lain dengan cara memberikan uang
kepada pemilik makanan sehingga orang tersebut bisa makan, pemilik makanan
pun memberikan makanannya agar mendapatkan uang supaya keperluan
hidupnya terpenuhi.24

Media sosial adalah sebuah tempat yang dapat menghubungkan setiap orang
yang tergabung dalam media sosial yang sama untuk saling berkomunikasi dan
berbagi informasi. Pengguna media sosial bisa berkomunikasi dengan melihat
keadaan lawan bicaranya secara langsung tanpa harus bertemu, berbagi pesan
berupa teks, gambar bahkan video dalam waktu yang cepat dan tak terbatas.

Dalam operasionalnya, media sosial menggunakan jaringan internet sebagai


penghubung antara pihak satu dengan yang lainnya. Lewat internet para
penggunanya dapat membuat dan membagikan konten berupa blog, jejaring
sosial, media sharing serta dapat mengajak siapa saja untuk memberikan

22
Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, Tafsir al-Quran Tematik Etika Berkeluarga,
Bermasyarakat dan Berpolitik, (Jakarta; Lajnah Pentashih Mushaf al-Quran, 2009), hal 7.
23
Ruli Nasrullah, MEDIA SOSIAL: Perspektif Komunikasi, Budaya dan Sosioteknologi (Bandung:
Simbiosa Rekatama Media, 2015), hal 3.
24
Ibid, hal. 7-8.
feedback secara terbuka dengan mengirim komentar atas konten yang telah
dibagikan.25

Berdasarkan penjelasan tentang etika dan media sosial yang telah


dipaparkan, penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa etika bermedia sosial
adalah sebuah tuntunan perilaku, sikap atau tindakan seseorang di media sosial
yang tentunya mempertimbangkan nilai baik dan buruknya. Seperti halnya,
jangan menggunakan kata kasar, provokatif, ataupun jangan memposting artikel
atau status yang bohong, jangan mencopy paste artikel atau gambar yang
mempunyai hak cipta, serta memberikan komentar yang relevan.

2. Tujuan Etika Bermedia Sosial

Seiring dengan berjalannya waktu maka teknologi juga semakin


berkembang pesat. Saat ini hampir sebagian besar orang bisa saling berbagi
informasi serta berkomunikasi secara langsung dengan menggunakan media
sosial sebab dengan internet maka mereka lebih bisa menghemat waktu dan
biaya. Dalam penggunaannya, tentu diberikan kebebasan agar bisa
berkomunikasi dengan siapa saja. Namun yang sering di salah artikan di sini
adalah bebas bukan berarti tanpa etika. Tidak sedikit permasalahan sosial
yang terjadi akibat kurangnya kesadaran para pengguna dalam beretika di
media sosial.26

Etika bermedia sosial dalam implementasinya antara lain dapat diketahui


dari komunikasi yang santun. Hal ini merupakan juga cerminan dari
kesantunan kepribadian setiap individu. Komunikasi diibaratkan seperti urat
nadi penghubung kehidupan, sebagai salah satu ekspresi dari karakter, sifat
atau tabiat seseorang untuk saling berinteraksi, mengidentifikasikan diri
serta bekerja sama. Setiap individu hanya bisa saling mengerti dan
memahami apa yang dipikirkan, dirasakan dan dikehendaki orang melalui

25
Barito Mulyo Ratmono Budi Gunawan, Kebohongan di Dunia Maya : Memahami Teori dan Praktik-
Praktiknya di Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia, 2018), hal. 26.
2626
https://zahiraccounting.com/id/blog/tujuan-etika-dalam-media-sosial/ (Di akses pada tanggal 8 Juni
2023).
komunikasi yang diekspresikan dengan menggunakan berbagai saluran, baik
verbal maupun non verbal. Pesan yang ingin disampaikan melalui media
sosial, bisa berdampak positif bisa juga sebaliknya. Media sosial akan lebih
bernilai positif, jika para pengguna media sosial mengetahui dan menguasai
teknik bermedia sosial yang baik, dan beretika.27

Menurut Mufid dari bukunya yang berjudul "Filsafat dan Etika


Komunikasi" mengatakan bahwa ada beberapa tujuan etika bermedia sosial,
yakni diantaranya:28

1) Untuk menumbuhkan rasa tanggung jawab dan bijak dalam


menggunakan jejaring sosial,

2) Membangun relasi yang baik,

3) Mencerminkan kesantunan kepribadian pengguna media sosial,

4) Untuk menghindari kebiasaan jelek di dunia nyata akan terbawa di dunia


maya,

5) Membantu membangun konsistensi perilaku dalam bermedia sosial.

Berdasarkan uraian diatas mengenai tujuan etika bermedia sosial, perlunya


pengetahuan yang lebih aplikatif tentang etika bermedia sosial, karena media sosial
yang terus berkelanjutan melihat kemajuan teknologi dan informasi sangat pesat.
Untuk mengoptimalkan etika bermedia sosial, dianjurkan agar setiap lembaga
khususnya sekolah dapat meberikan pengajaran bagaimana bermedia sosial yang
beretika, baik dan benar melihat kemajuan jaman yang mana setiap anak atau
siswa-siswi sekarang menggunakan media sosial dalam berkomunikasi dengan
siapa saja dimanapun mereka berada dan kapan pun mereka ingin berkomunikasi.
Oleh karena itu, pengetahuan mengenai etika bermedia sosial menjadi sangat
penting.

27
Manik, Ketut. 2020, "Etika Komunikasi di Media Sosial". Jurnal Ilmiah Ilmu Agama dan Sosial
Budaya: Widya Duta. Vol. 15, No. 1. Hlm. 95
28
Mufid, M. 2009. Etika dan Filsafat Komunikasi. Jakarta: Kencana…,
3. Bentuk-bentuk Etika Bermedia Sosial

Perkembangan pesat teknologi informasi dan komunikasi telah


mengubah gaya hidup manusia. Jejaring sosial, seperti media sosial, sudah
mendominasi komunikasi di dunia maya. Media sosial memberi kemudahan
dalam berkomunikasi tanpa terhalang ruang dan waktu untuk menjalin
pertemanan atau sekadar bertukar informasi. Keberadaan media sosial
menggerakkan semua pengguna untuk bereaksi memberi umpan balik
secara terang-terangan, mengomentari, dan membagikan informasi dalam
waktu yang cepat dan tidak terbatas.29

Penggunaan media sosial yang begitu bebas dan terbuka berdampak


negatif bagi penggunanya. Misalnya, pengguna tidak selektif atas konten
yang pantas atau tidak pantas untuk disampaikan dan disebarluaskan. Selain
itu, penggunaan bahasa di media sosial sudah menyimpang dari kaidah-
kaidah bahasa 30 . Ini menunjukkan bahwa sepertinya tidak ada koridor-
koridor yang ketat dalam berkomunikasi di media sosial jikapun ada, hal itu
tidak diperhatikan. Akibatnya, banyak terjadi pelanggaran tata krama dalam
berkomunikasi di media sosial.31

Media sosial dan internet telah menimbulkan masalah pertentangan nilai


etis dan moral. Etika di media sosial dikesampingkan karena keleluasaan
yang difasilitasi media sosial sebagai ruang untuk berinteraksi dan
berkomunikasi. Dengan media sosial, pengguna dengan mudah mencari atau
menambah teman, menginformasikan sesuatu, mengemukakan perasaan
atau ide, mengungkapkan rasa atau emosi ke dalam kata-kata, gambar, atau
foto, bahkan meneruskan berita. Keleluasaan ruang untuk berbagi ini tidak
jarang menyebabkan ujaran yang menyinggung perasaan, menyakiti secara

29
Fahrimal, Y. (2018). Netiquette: Etika jejaring sosial generasi milenial dalam media sosial. Jurnal
Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan, 22 (1), 69.
30
(Maulidi, A. (2015). Kesantunan berbahasa pada media jejaring sosial Facebook. E-Journal
Bahasantodea, 3 (4), 42–49.
31
Syaeba, M. (2016). Etika komunikasi media sosial Facebook (Studi eksplorasi terhadap tindakan
bullying bagi mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Pemerintahan Universitas Al Asyariah. MITZAL,
Jurnal Ilmu Pemerintahan & Ilmu Komunikasi, 1(1), 17–18.
tidak langsung, membully, baik kepada mitra bicara maupun pihak di luar
mitra bicara. Inilah yang dikatakan dewasa ini telah terjadi krisis etika.32

Arus di media sosial seperti dalam kehidupan nyata tidak luput dari
pentingnya menjunjung tinggi etika bermedia sosial. Kebebasan di media
sosial bukanlah kebebasan tanpa batas. Sebaliknya, perlu tetap
memperhatikan nilai, norma, dan aturan kemanusiaan layaknya berinteraksi
di dunia nyata. Etika bukan sekadar tuturan yang dituliskan, melainkan juga
ada maksud baik yang dinyatakan dengan kesabaran dan empati dalam
berkomunikasi sehingga menciptakan keharmonisan berkomunikasi, saling
menghargai, saling mendukung, dan saling menghormati di antara sesama
pengguna media sosial.33

Berdasarkan etika menggunakan media sosial yang baik menurut Mursito


ada beberapa bentuk mengenai etika yang baik dalam menggunakan media
sosial, yakni sebagai berikut:

a) Tidak Menggunakan Kata-Kata Kasar

Penggunaan kata kasar di media sosial dapat digolongkan sebagai tindak


kekerasan secara verbal karena dapat menyebabkan perasaan seseorang
terluka. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata kasar masuk dalam
kategori sarkasme yang berarti perkataan pedas yang digunakan untuk
menyakiti hati orang lain, cemoohan atau ejekan kasar.

Bahasa kasar adalah bentuk ungkapan untuk menistakan orang lain


dengan menggunakan kata-kata tidak senonoh seperti umpatan,
penghinaan, caci-maki dan sebagainya. Penggunaan bahasa kasar dapat

32
Astajaya, I. K. M. (2020). Etika komunikasi di media sosial. Widya Duta, 15 (1), 81–82.
33
Sri Hafsari, dkk.., 2022. "Bentuk-bentuk Etika Bermedia Sosial Generasi Milenial". Jakarta: Jurnal
Komunikasi. Vol. 16, No. 2, hlm. 130), P-ISSN: 1907-848X, E-ISSN: 2548-7647.
di golongkan sebagai tindak kekerasan secara verbal karena dapat
menyebabkan orang lain merasa terluka.34

Ada beberapa kelompok penggunaan kata kasar yakni, (1) Penggunakan


kata kasar dengan referensi bentuk fisik: ‘gendut’, ‘pendek’, ‘bulat’,
‘hitam’, ‘jelek’ ‘tonggos atau gigi maju’, ‘mata besar’, ‘ceking atau
kurus’, ‘pincang’. (2) Penggunaan kata kasar dengan referensi keadaan
mental yakni: ‘bodoh’, ‘gila’, ‘dasar stres’, ‘goblok’. (3) Referensi kata
kasar dalam bentuk bagian tubuh; ‘menyebut kata yang berhubungan
dengan alat kelamin. (4) Kata kasar dalam bentuk binatang yakni:
‘monyet’, ‘babi’, ‘anjing’, dan jenis hewan lainnya. (5) Dalam bentuk
pekerjaan yakni: ‘pemulung’, ‘pelacur’, ‘buruh’ dan (6) Referansi kata
kasar dalam bentuk makhluk halus: ‘setan’. (7) Penggunaan kata kasar
daerah seperti: bangsat, bacot, kimak, jancuk dan sebagainya.

b) Provokatif

Menurut Wikipedia provokatif sama sifatnya dengan memprovokasi


yang berarti bertindak sesuatu hal yang bersifat menghasut atau
pancingan, perbuatan yang dilakukan untuk memicu kemarahan.
Tindakan provokasi biasanya dilakukan untuk menghasut,
membangkitkan kemarahan yang dilakukan melalui media sosial agar
dapat tersampaikan secara cepat dan dapat mengundang pertumpahan
darah. Biasanya dapat ditemukan pada kegiatan politik dan juga untuk
memecah belahkan suatu bangsa. Akibat yang di timbulkan dari orang-
orang yang terpancing postingan yang provokatif seperti terjadinya
perkelahian atau tawuran antar sekelompok orang maupun organisasi
bahkan dapat menimbulkan perkelahian antar golongan agama, suku dan
juga ras atau yang lebih besar bisa menimbulkan peperangan antar
negara. Itu merupakan dampak negatif yang di timbulkan dari provokatif
namun sifat provokatif mempunyai dampak positif seperti yang

34
Rosidin, Odin. 2010. “Kajian Bentuk, Kategori, dan Sumber Makian Serta Alasan Penggunaan Makian
Oleh Mahasiswa”. Tesis:FPIB. Universitas Indonesia.
dilakukan oleh motivator-motivator yang menyebarkan tulisan maupun
foto atau video provokatif agar khalayak luas mendapatkan sebuah
motivasi yang positif dalam menjalani kehidupannya.35

c) Unsur SARA

SARA merupakan dasar pemikiran sentimen terhadap tindakan ataupun


pandangan secara verbal maupun nonverbal mengenai identitas diri yang
menyangkut golongan, agama, keturunan, kesukuan dan juga kebangsaan.
Di Indonesia isu SARA merupakan hal yang sensitif bagi masyarakatnya.
Isu SARA (suku, agama, ras dan antar golongan) bisa menjadi ancaman
besar terutama pada tahun politik yang dapat memecah belahkan
masyarakat Indonesia yang bersifat majemuk.

Menurut liputan6.com SARA terbagi menjadi tiga kategori, yakni: (1)


individual yaitu tindakan SARA yang dilakukan secara individu ataupun
golongan yang bersifat menyerang, mendiskriminasi, menghina
golongan lainnya ataupun melecehkan; (2) institusional yaitu tindakan
yang dilakukan oleh suatu institusi atau pemerintah melalui aturan-aturan
yang bersifat diskriminatif bagi suatu golongan; (3) culture yaitu
penyebaran tradisi atau ide-ide yang bersifat diskriminatif antar
golongan.36

d) Memiliki Muatan Melanggar Kesusilaan

Di dalam UU ITE sendiri tidak di jelaskan mengenai unsur apa saja yang
dapat masuk dalam kategori pelanggaran kesusilaan sehingga
menimbulkan beragam penafsiran. Kejahatan kesusilaan juga diatur pada
Bab XIV KUHP, tetapi tidak diaturnya definisi mengenai kesusilaan.
Namun kesusilaan sering dikaitkan dengan pornografi. Pornografi sendiri
diatur dalam Undang-Undang Nomor. 44 Tahun 2008 (UU Pornografi).

35
https://id.wiktionary.org/wiki/provokasi (Di akses pada tanggal 8 Juni 2023).
36
https://www.liputan6.com/citizen6/read/3869107/sara-adalah-isu-sensitif-berikut-arti-dan-
penjelasannya. (Di akses pada tanggal 9 Juni 2023).
Menurut Undang-Undang Nomor. 44 Tahun 2008 Pasal 1 Ayat 1
pornografi adalah bentuk seksualitas yang di bentuk manusia dalam
bentuk sketsa, gambar, foto, ilustrasi, tulisan, suara, bunyi, gambar
bergerak, animasi, kartun, percakapan, syair, gerak tubuh atau bentuk
pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi
dan/atau pertunjukkan di muka umum, yang dapat membangkitkan hasrat
seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan masyarakat.37

Adapun menurut Nazaruddin dikutip dari jurnalnya yang berjudul "Etika


Komunikasi Islami di Media Sosial Dalam Perspektif Al-Qur'an", ada
dua macam bentuk etika bermedia sosial, diantaranya sebagai berikut:

1) Etika Berkomunikasi

Dalam perspektif agama Islam, komunikasi merupakan bagian yang


tak terpisahkan dalam kehidupan manusia karena segala gerak langkah
kita selalu disertai dengan komunikasi. Komunikasi yang dimaksud
adalah komunikasi yang islami, yaitu komunikasi ber-akhlak Al-
Karimah atau beretika. Komunikasi yang berakhlak Al-karimah atau
beretika berarti komunikasi yang bersumber kepada Al-Quran dan
hadits (sunah Nabi)38. Didalam Al-Qur'an disebutkan mengenai etika
berkomunikasi di QS. Al-Hujurāt : 11:

‫ﺴﻰ ا َْن ﯾﱠُﻜﱠﻦ‬ َ ‫ﺴۤﺎٍء‬


ٰٓ ‫ﻋ‬ َ ِّ‫ﺴۤﺎٌء ِّﻣْﻦ ﻧ‬َ ِ‫ﺴﻰ ا َْن ﯾﱠُﻜْﻮﻧُْﻮا َﺧْﯿًﺮا ِّﻣْﻨُﮭْﻢ َوَﻻ ﻧ‬ َ ‫ٰﯾٓﺎ َﯾﱡَﮭﺎ اﻟﱠِﺬْﯾَﻦ ٰاَﻣﻨُْﻮا َﻻ ﯾَْﺴَﺨْﺮ ﻗَْﻮٌم ِّﻣْﻦ ﻗَْﻮٍم‬
ٰٓ ‫ﻋ‬
ْ ُ ‫ﺴْﻮُق ﺑَْﻌﺪَ ا ْ ِﻻْﯾَﻤﺎِۚن َوَﻣْﻦ ﻟﱠْﻢ ﯾَﺘ‬
‫ﺐ‬ ُ ُ‫ﺲ اِﻻْﺳُﻢ اْﻟﻔ‬ َ ْ ‫ب ﺑ ِﺌ‬ َ ُ‫َﺧْﯿًﺮا ِّﻣْﻨُﮭۚﱠﻦ َوَﻻ ﺗ َْﻠِﻤُﺰ ْٓوا ا َْﻧﻔ‬
ِ ۗ ‫ﺴُﻜْﻢ َوَﻻ ﺗ َﻨَﺎﺑَُﺰْوا ﺑِﺎْﻻَْﻟﻘَﺎ‬
‫ﻈِﻠُﻤْﻮَن‬ ‫ﯨَﻚ ُھُﻢ اﻟ ﱣ‬l‫ﻓَﺎ ُو ٰۤﻟ‬

Artinya: Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-


olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-
olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan
pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain

37
Hariyanti, Fitri. 2020, "Etika Komunikasi Media Sosial di Facebook", Skripsi: Universitas Islam Riau.
Hlm. 27.
38
Nur Marwah, 2020. "Etika Komunikasi Islam". Makassar: UIN Alauddin, Jurnal Komunikasi. Hlm. 2.
(karena) boleh jadi perempuan (yang diperolok-olokkan) lebih baik
dari perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling
mencela satu sama lain dan janganlah saling memanggil dengan gelar-
gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang
buruk (fasik) setelah beriman. Dan barangsiapa tidak bertobat, maka
mereka itulah orang-orang yang zalim.39

Ayat diatas merupakan peringatan yang halus dari Allah, bahwa mengejek,
mengolok-olok dan menghina dalam berkomunikasi adalah suatu perbuatan yang tidak
pantas dilakukan oleh orang yang beriman. Sebab orang yang beriman akan banyak
muhasabah tentang dirinya sendiri. Sehingga dia tahu segala kekurangan yang ada
pada dirinya.

Di ayat tersebut juga menjelaskan tuntunan agar persaudaraan tetap terjaga.


Ketika saat berkomunikasi hendaknya selalu memperhatikan dan berhati-hati serta
memikirkan terlebih dahulu terhadap apa yang akan diucapkan. Kemudian
menggunakan bahasa dan tutur kata yang baik, tidak menghina sesama dan menjauhi
fitnah.40

2) Etika Menerima dan Menyebarkan Informasi

Dalam aktivitas bermedia sosial, tentu adanya aktivitas penerimaan dan


penyampaian pesan. Seiring dengan perkembangan teknologi informasi saat ini,
tentu melalui jaringan internet dalam media sosial, kita sangat mudah
menemukan atau menerima informasi tanpa terhalang jarak dan waktu. Untuk itu
perlu adanya filtrasi dalam menerima informasi agar kita terhindar dari hal-hal
yang merugikan, baik kerugian untuk diri sendiri maupun terhadap orang lain.

Untuk mencapai ketepatan data maupun fakta sebagai bahan informasi yang
akan disampaikan kepada orang lain atau masyarakat luas di media sosial, maka
diperlukan terlebih dahulu pemeriksaan secara seksama oleh komunikator. Hal
ini penting karena banyak masyarakat khususnya di daerah pedesaan

39
Via Al-Qur'an Indonesia https://quran-id.com (Di akses pada tanggal 9 Juni 2023).
40
Abdul Malik Abdul Karim Amrullah, Tafsir Al-Azhar, Jilid 9, hal 6827.
mempercayai informasi begitu saja sebagai sebuah kebenaran tanpa cermat dan
jeli. Dalam hal ini Al-Qur'an memberikan perintah Tabayyun (teliti dan jeli)
dalam menerima informasi, sebagaimana firman Allāh Subhānahu wa ta'alā
dalam QS. Al-Hujurāt : 6, sebagai berikut:41

ُZ َ 2َ َُ & Q َ ُ ْ & ٓ ُ َ َ َ ٌۢ َ < 9 ْ ٓ ُ 2 - &ٓ


‫ َﻣﺎ ﻓَﻌﻠﺘْﻢ‬W‫ُﺤْﻮا ﻋ‬Eِ‫َﺠَﻬﺎﻟٍﺔ ﻓﺘْﺼ‬Rِ ‫ُﺒْﻮا ﻗْﻮًﻣﺎ‬Mْ‫ﱠﻴﻨْﻮا ان ﺗِﺼ‬Hَ‫ٍﺎ ﻓﺘ‬EَD‫ٰ"ﺎﱡﻳَﻬﺎ اﻟِﺬْﻳَﻦ اَﻣﻨْﻮا ِان َﺟﺎَء;ْﻢ ﻓﺎِﺳﻖ ِﺑ‬
] َ_ ْ ‫ٰﻧﺪﻣ‬
^ِ ِ

Artinya: Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik


datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar
kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan),
yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu.

Penjelasan ayat diatas, menurut Tafsir Ibnu Katsir, ayat ini merupakan perintah
tegas dari Allāh Subhānahu wa ta'alā terhadap kaum mukmin untuk selalu bersikap
teliti terhadap berita atau informasi yang diperoleh dari orang fasik, hendaklah
bersikap hati-hati dalam menerima informasi tersebut, jangan dengan mudahnya
menerima informasi begitu saja tanpa mencari tahu kebenaran informasi, apalagi
sampai menyebarkan informasi tersebut. Jika informasi yang disebarkan tidak
memiliki kebenaran dan kemashlatan maka akan muncul kemudharatan yang
menimbulkan penyesalan, dan orang yang lalai atau tidak teliti dengan menyebarkan
informasi tanpa tahu kebenarannya maka dianggap sama dengan mengikuti jejak
orang fasik tersebut.42

Ayat ini juga salah satu dasar tuntunan yang sangat logis bagi penerimaan dan
pengamalan suatu berita. Apabila menerima informasi atau berita dari orang fasik,
yakni telitilah kebenaran informasinya dengan berbagai cara. Kehidupan manusia
dan interaksinya haruslah didasarkan hal-hal yang diketahui dan jelas. Manusia
sendiri tidak dapat menjangkau seluruh informasi. Karena itu, ia membutuhkan pihak
lain. Pihak lain itu ada yang jujur dan memiliki integritas sehingga hanya

41
Joko Susanto ―Etika Komunikasi Islami ǁ Waraqat : Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman 1, no. 1 (19
September 2020): 24, https://doi.org/10.51590/waraqat.v1i1.28. Hal. 20.
42
Abu Al-Fida Ismail bin Umar bin Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 7, hal 476.
menyampaikan hal-hal yang benar, dan ada pula sebaliknya. Karena itu pula berita
harus disaring/koreksi kebenaranya agar tidak salah langkah dalam menanggapi
informasi/berita. Penekanan pada kata fasik disini bukan pada semua penyampai
berita, akan tetapi perlu dikondisikan jika dalam suatu masyarakat sudah sulit untuk
dilacak manakah orang yang fasik dan mana yang bukan fasik, maka ketika itu berita
apapun yang bersifat penting tidak boleh diterima begitu saja tanpa chek and recheck
terlebih dahulun kebenaran dan sumber kebenarannya.43

Melalui uraian tersebut penulis berpendapat, jika kita lihat realitas saat ini,
aktivitas komunikasi di Indonesia melalui jaringan internet sangat banyak dilakukan
oleh masyarakat, tentu hal ini menjadi tempat maraknya berita hoax, hate speech,
isu-isu SARA yang berpotensi terhadap kerusakan sosial. Oleh karena itu, ayat ini
merupakan petunjuk yang jelas dalam melakukan aktivitas komunikasi khusunya di
media sosial agar kita bisa mencegah dan mengurangi maraknya perkembangan
berita hoax di Indonesia.

Berdasarkan penjelasan diatas, maka sangatlah penting diadakan sebuah


pembinaan keagamaan dalam menguatkan etika bermedia sosial, terutama bagi siswa
dilingkungan sekolah. Karena di samping perkembangan teknologi menjadi salah
satu faktor yang mempengaruhi lingkungan juga memberikan andil yang cukup besar
terhadap terkikisnya moral/etika atau akhlak siswa.

Pentingnya pelaksanaan pembinaan keagamaan dalam menguatkan etika


bermedia sosial, karena beberapa alasan, yaitu tertanamkan pada diri siswa,
diharapkan timbul rasa bertanggung jawab dan bijak dalam menggunakan jejaring
sosial. Selain itu, apabila siswa menggunakan sosial medianya dengan penerapan
etika yang baik, maka beragam informasi yang disajikannya juga akan bernilai baik.

43
Nazaruddin, Alfiansyah.."Etika Komunikasi Islami di Media Sosial Dalam Perspektif Alquran dan
Pengaruhnyaa Terhadap Keutuhan Negara". Jurnal Peurawi: Media Kajian Komunikasi Islam. Vol. No.
Tahun 20, hlm. 84. EISSN: 2598-6031 - ISSN: 2598-6023.

Anda mungkin juga menyukai