Anda di halaman 1dari 3

“Merespon Catcalling Melalui Perspektif Psikologi”

Oleh: Nuraini Safitri

Kata pelecehan seksual sudah tak asing lagi didengar. Pelecehan seksual atau yang dalam
bahasa inggris lebih dikenal sebagai sexual harasshment adalah suatu fenomena dimana
segala bentu perilaku baik itu verbal ataupun fisik yang mengacu pada perilaku seksual yang
tidak diinginkan. Pelecehan seksual biasanya dilakukan secara eksplisit ataupun implisit
sehingga membuat seseorang atau korbannya merasa tersinggung, terhina, bahkan
terintimidasi di dalam lingkungannya sendiri. Pelecehan seksual tidak memandang usia,
gender, serta status pendidikannya itu sendiri. Berdasarkan data CATAHU Komnas
Perempuan Tahun 2022, terdapat 338.496 kasus terjadi di tahun 2020 dan meningkat
sebanyak 50% pada tahun 2021. Dengan jumlah angka yang besar dan meningkat pada setiap
tahunnya, tidak dapat dipungkiri lagi bahwa kasus pelecehan seksual amatlah penting untuk
diperhatikan. Pasalnya, korban yang mengalami pelecehan seksual rata-rata kesehatan
psikisnya akan terganggu sehingga korban menjadi trauma dan sulit untuk menjalankan
kehidupan sehari-harinya.

Menurut psikolog klinis dewasa, Tiara Puspita, M. Psi. yang dikutip dari Kompas.com
menyatakan bahwa pelecehan seksual mempunyai lima tingkatan, antara lain: (1) pelecehan
gender, yakni komentar cabul atau humor tentang seks dari gender tertentu ke gender
lainnya; (2) perilaku menggoda, berupa kalimat ajakan yang berkonten seksual, seperti ajakan
kencan yang terus-menerus dilakukan meskipun sudah ditolak berkali-kali, sehingga
cenderung memaksa; (3) penyuapan seksual, adanya iming-iming imbalan agar calon korban
tertarik dan mau untuk melakukan ajakan si pelaku; (4) pemaksaan seksual, dapat terjadi
ketika si pelaku memaksa korban untuk melakukan tindakan seksual, dimana jika korban
menolak untuk melakukan hal tersebut, maka si pelaku akan mengancam hingga merugikan
korban; dan (5) pelanggaran seksual, yaitu dengan menyentuh, meraba, serta memegang
bagian tubuh seseorang secara paksa tanpa adanya consent atau persetujuan dari orang
tersebut.

Selain itu, pelecehan seksual memiliki bentuk perilaku yang beragam, mulai dari pelecehan
secara fisik yang berupa sentuhan pada pakaian atau tubuh seseorang hingga dapat
melakukan assaulting (menyentuh tanpa persetujuan dan tidak diinginkan). Berlanjut pada
pelecehan secara verbal, yakni dengan berkomentar mengenai penampilan seseorang,
berbicara mengenai seks yang dapat menyinggung lawan bicara, menyebarkan rumor tentang
kehidupan pribadi seseorang atau pernyataan seksis yang meremehkan salah satu gender.
Hingga pelecehan secara visual, seperti menatap dan memperhatikan tubuh seseorang dari
atas sampai bawah serta mengirimkan foto atau video berbasis seks yang tidak diinginkan.

Diantara bentuk perilaku pelecehan seksual, kasus yang paling sering ditemukan adalah
bentuk pelecehan seksual secara verbal seperti, catcalling. Definisi catcalling ialah suatu
perbuatan yang dilakukan di ruang publik dengan memberikan kata-kata tidak senonoh
kepada seseorang. Korban dari catcalling itu sendiri biasanya adalah perempuan, tetapi tidak
menutup kemungkinan bahwa yang menjadi korban adalah laki-laki. University of Missouri-
Kansas City dalam Gramedia.com menyatakan bahwa catcalling dapat dilakukan dengan
berbagai macam cara, contohnya seperti, siulan yang dibuat oleh si pelaku dengan nada
menggoda yang ditujukan kepada korban. Akibatnya, korban dapat mengalami depresi
bahkan sampai mengalami gangguan mental seperti, PTSD (Post Traumatic Stress Disorder)
atau kondisi masalah mental yang terjadi karena seseorang mengalami kejadian yang
traumatis.

Untuk menghindari atau bahkan menaggulangi terjadinya hal tersebut, merespon catcalling
dapat dilakukan dengan beberapa cara, diantaranya: (1) menghindari atau melawan, jika
berada disituasi dan kondisi yang terbilang cukup aman, maka sebaiknya melawan, tetapi,
jika sebaliknya, maka disarankan untuk menghindar; (2) berani tunjukkan rasa
ketidaknyamanan, dengan cara menatap catcaller sambil menunjukkan gestur penolakan,
atau bahkan menegur catcaller secara langsung untuk membuat efek jera; (3) beranikan diri
untuk minta tolong, seperti, melapor kepada pihak berwajib dan menceritakannya kepada
orang yang dapat dipercaya; dan (4) hindari gerombolan laki-laki, meskipun catcalling dapat
dilakukan oleh siapa saja, tetapi kebanyakan pelaku pelecehan seksual tersebut adalah laki-
laki, maka dari itu, hindarilah gerombolan laki-laki jika sedang berjalan sendirian dan
disarankan untuk mencari rute lain.

Meski kerap dianggap remeh, kasus catcalling tidak boleh dibiarkan begitu saja. Karena
dapat memicu tindakan pelecehan seksual yang lebih merujuk pada kekerasan seksual.
Budaya catcalling harus diubah, pelaku harus mengerti dan mengakui bahwa hal yang
mereka lakukan itu salah. Bahwa apa yang mereka lakukan itu akan menimbulkan dampak
yang serius bagi si korban. Maka dari itu, sangat disayangkan bahwa di Indonesia belum ada
Undang-Undang khusus tentang catcalling. Padahal, hal ini sangat penting untuk melindungi
korban dari ketidakadilan, juga bagi kesehatan mental si korban. Pesan terakhir bagi para
korban catcalling untuk lebih berani speak up dan bertindak. Hal ini bertujuan untuk
membangun kesadaran yang lebih luas lagi mengenai bahaya catcalling.

Anda mungkin juga menyukai