Anda di halaman 1dari 3

NAMA : RIO FAJAR IBRA

NPM : 71210111044
MATKUL : HUKUM AGRARIA
KELAS : IV-B
HAL : 108-110

PEMAHAMAN GADAI TANAH DALAM MASYARAKAT PEDESAAN

TELAH BERUBAH

bahwa yurisprudensi itu sebagai aturan tentang gadai tanah di Indonesia.

Pada saat inipun Keputusan Pengadilan masih dapat dilihat antara lain yakni: Keputusan Mahkamah
Agung tanggal 15 Januari 1958, antara Masoed dan Chamdanah versus Astroredjo, dengan
ketetapannya No.11K/Sip/57, dengan putusan bahwa Gadai tanah di Jawa Timur dilakukan oleh Lurah
Desa selaku pemberi gadai dapat dianggap memenuhi syarat, bahwa gadai tanah itu diadakan di muka
Lurah Desa. Meskipun waktu untuk menebus kembali sudah lewat, namun kepada pemberi gadai oleh
Pengadilan diberi waktu lagi selama tiga bulan. Uang tebusan ditetapkan dengan cara menilai harga
uang pada waktu memberi gadai dengan harga emas sebagai ukuran dan pembagian risiko atas
perobahan harga uang fifty-fifty antara kedua belah pihak.

Dengan duduk perkara, bahwa sekarang penggugat- penggugat untuk kasasi sebagai penggugat-
penggugat asli telah menggugat sekarang tergugat dalam kasasi sebagai tergugat asli di tingkat pertama
dan menuntut supaya yang belakangan ini dihukum untuk keluar dari sawah sengketa dengan siapa saja
yang menguasai sawah tersebut dengan hak yang diperoleh dari tergugat dan selanjutnya menyerahkan
kembali kepada penggugat; Bahwa di Pengadilan Negeri di Djombang tuntutan tersebut telah
dikabulkan, dengan putusannya tanggal 25 September 1953 No.153/1951, yang di tingkat banding telah
dibatalkan, dengan putusan Pengadilan Tinggi di Surabaya tertanggal 24 juli 1956 No.342/1953 Pdt.
Dasar pertimbangan bahwa sesudah putusan akhir ini diberitahukan kepada kedua belah pihak masing-
masing pada tanggal 22 dan 27 Nopember 1956, terhadapnya oleh tergugat-pembanding telah
dimajukan permohonan untuk pemeriksaan kasasi, yang dengan perantaraan kuasanya telah
memajukan permohonannya pada tanggal 28 Nopember 1956 secara lisan, diikuti oleh pemasukan
memorinya pada tanggal 6 Desember 1956.

Dengan mengutarakan pertimbangan hukum, bahwa permohonan kasasi beserta alasan-alasannya


(memori kasasi) telah dimasukkan dalam tenggang dan dengan cara yang ditentukan dalam undang-
undang dan oleh karena itu dapat diterima. Bahwa sebagai keberatan telah dikemukakan oleh
penggugat-penggugat untuk kasasi:
1. bahwa tidak ada hukum Adat buat desa bersangkutan yang menghendaki pembelian tanah
harus dilakukan dengan persetujuan atau dengan setahunya Lurah Desa;
2. bahwa in casu yang menjual tanah (sawah) adalah Lurah Desa yang bersangkutan sendiri. Maka
menimbang dengan keberatan-keberatan tersebut, bahwa lepas dari pertanyaan apakah
perantaraan Kepala Desa mengenai pemindahan hak tanah ke tangan orang lain juga buat Jawa
Timur merupakan suatu syarat esensial.

Selanjutnya Mahkamah Agung mengambil pertimbangan hukum tentang keberatan-keberatan ini,


bahwa lepas dari pertanyaan apakah perantaraan Kepala Desa mengenai pemindahan hak tanah ke
tangan orang lain juga buat Jawa Timur merupakan syarat esensial. Satu perjanjian yang hanya
diselesaikan menurut keadaan struktural dari masyarakat bersangkutan seperti kepentingan desa
terhadap tanah-tanah di daerahnya. Pertanggungan jawab pemerintah desa terhadap anak-anak
buahnya, yang disatu tempat berlainan dengan tempat lain, berhubung dengan jauh atau tidaknya
kemajuan individual dari para anggotanya, keadaan tanahnya sendiri. Bahwa alasan putusan Pengadilan
Tinggi tersebut tidak dapat dibenarkan dari surat notaris yang menyebut dalam putusannya, dikatakan
bahwa tergugat dalam kasasi (dahulu tergugat) adalah Lurah dari desa oleh sebab itu putusan itu patut
dibatalkan; Pertimbangan Mahkamah Agung sebagai akibat dari pembatalan itu harus meninjau
perkaranya sekarang sebagai Hakim banding; bahwa dari surat notaris bersangkutan nyata, bahwa
sebenarnya yang dilakukan antara

kedua pihak waktu itu ialah penggadaian dua sawah bersangkutan dengan perjanjian. Bahwa sawahnya
tinggal di tangan pemberi gadai sebagai pemaroh, juga bahwa bila yang memberi gadai yang diberi hak
untuk menebusnya kembali tidak melakukan haknya itu dalam lima tahun, maka hilanglah haknya itu
dan dengan demikian kedua sawahnya menjadi milik penerima gadai; bahwa dahulu tergugat tidak mau
sawah-sawah bersangkutan oleh karenanya ia betul telah meminjam uang f.1000,- dari seorang
bernama Haji Ilyas sawah-sawah tersebut sebagai jaminannya untuk pelunasan hutangnya, tapi ini telah
dibayar lunas; bahwa dahulu tergugat tidak berhasil membuktikan perlawanannya, oleh karena mana
gugat a quo dapat dikabulkan; dan menurut hukum adat walaupun waktu untuk menebus kembali
sawah tersebut seperti dijanjikan sudah lama lewat, kepada pemberi gadai.

Tentulah kalau dicermati aturan itu hanya sekedar menertibkan waktu untuk menghabiskan praktek
gadai tanah yang sudah terjadi saja. Pengaruh seperti ini juga akan berakibat pada masyarakat, yakni
penggunaan gadai itu akan dielakkan oleh masyarakat dari aturan-aturan yang ada, namun secara diam-
diam masih saja dijumpai dalam masyarakat desa. Keadaan seperti ini, memang sejalan dengan apa yang
disebutkan A.A.G.Peters bahwa "di kelompok-kelompok sosial tradisional hubungan antara orang-orang
yang sama statusnya saja, dalam waktu yang sama akan mengalami kekaburan secara fungsional".
Artinya sipelaku gadai dalam kelompok 130 masyarakat tersebut akan mempengaruhi dan ikut
membuat makna gadai itu semakin hari semakin mengalami perubahan. Apalagi sebagai pranata yang
tidak mendapat dukungan formal maka kelak gadai tanah hanya meninggalkan pusaka permasalahan
pertanahan kepada ahli waris para pihak. Sementara gadai tanah yang berlangsung terus sampai kini
ANALISIS

Menurut dari hasil analisis saya dapat di simpulkan, dari penjelasan di atas membahas kasus pengadilan
terkait penjualan tanah di sebuah desa di Jawa Timur. Pengadilan menemukan bahwa tidak ada hukum
adat yang mensyaratkan persetujuan kepala desa untuk pembelian tanah, dan bahwa penjualnya
sebenarnya adalah kepala desa itu sendiri. Pengadilan juga mempertimbangkan tanggung jawab
pemerintah desa terhadap anggotanya, dan pentingnya menjunjung tinggi praktik dan adat istiadat
tradisional. Namun, pengadilan akhirnya menemukan bahwa penjualan tersebut sebenarnya adalah
perjanjian hipotek, dan bahwa tanah tersebut tetap menjadi milik pemilik aslinya sampai hipotek
tersebut lunas. Yang menyoroti kompleksitas kepemilikan tanah dan praktik tradisional di masyarakat
pedesaan, dan tantangan untuk merekonsiliasi praktik ini dengan sistem hukum modern.

Anda mungkin juga menyukai