Di
BOJONEGORO
2023
KATA PENGANTAR
Bismillahirrohmanirrahim……
Puji Syukur kami panjatkan kehadiran Tuhan yang maha esa atas rahmatnya,
karunianya, serta hidayah sehingga kami dapat menyelesaikan makalah dengan
judul ‘’Pancasila dan hubungan nya dengan ajaran islam’’dengan baik. Tidak lupa
sholawat dan salam semoga terlimpahkan kepada nabi Muhammad SAW.
Keluarganya, sahabatnya, dan kepada kita selaku umatnya.
Makalah ini kami buat guna memenuhi tugas kelompok mata kuliah
Pendidikan Pancasila pada prodi Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Syariah dan
Adab Universitas Nahdhotul ulama Sunan Giri Bojonegoro.Kami ucapkan
terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan
makalah ini, khususnya pada ibu dosen Ririn Fauziyah, M. H. I. selaku dosen
mata kuliah Pendidikan pancasila yang telah memberikan tugas ini kepada
kami.dan kami juga menyadari pentingnya sumber bacaan refrensi yang telah
membantu dalam memberikan informasi yang akan menjadi bahan pembuatan
makalah.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka membawa
wawasan serta pengetahuan pembaca mengenai Pancasila dan hubungan nya
ajaran islam. kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam tugas ini terdapat
kekurangan dan jauh dari apa yang kami harapkan. Oleh karna itu, kami harap
adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan dimasa yang akan dating,
mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa sarana yang membangun.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI....................................................................................................iii
BAB 1 PENDAHULUAN...............................................................................1
A. Latar Belakan........................................................................................1
B. Rumusan Masalah.................................................................................4
C. Tujuan...................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................5
A. Simpulan...............................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................17
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kehidupan beragama di Indonesia secara yuridis mempunyai landasan yang
kuat sebagai mana termaktub dalam dasar negara maupun UndangUndang Dasar
1945. Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung prinsip bahwa
bangsa Indonesia adalah bangsa yang beragama atau bukan negara yang
berdasarkan agama tertentu dan bukan pula suatu negara sekuler yang memisahkan
agama dengan urusan negara.
Indonesia memiliki falsafah negara Pancasila yang mengakui tentang
ketuhanan. Oleh karena Pancasila sebagai dasar negara dan merupakan sumber
dari segala sumber hukum, maka apapun aturan atau hukum yang terbentuk harus
mengacu pada nilai-nilai Pancasila. Pengakuan agama atau kepercayaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa, serta jaminan terhadap penduduk yang beragama dan
menjalankan ibadah berdasarkan atas agama atau kepercayaan itu, merupakan ciri
negara berketuhanan Yang Maha Esa, dengan demikian bahwa Indonesia bukan
negara agama, karena tidak berdasarkan agama tertentu, juga bukan negara sekuler
karena tidak memisahkan antara urusan negara dan agama. Tetapi negara
memberikan perlindungan pada semua agama dan aliran kepercayaan. ini berarti
bahwa setiap orang berhak atas kebebasan beragama atau berkepercayaan. Tidak
seorang pun boleh dikenakan pemaksaan yang akan mengganggu kebebasannya
untuk menganut atau memeluk suatu agama atau kepercayaan pilihannya sendiri,
dan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama dan
kepercayaannya.
Berdasarkan pada Pasal 29 UUD 1945 beserta tafsirnya tersebut, pemerintah
berkewajiban mengatur kehidupan beragama di Indonesia. Sebagai pelaksanaan
Pasal 29 (2) UUD 1945 pemerintah mengeluarkan UU No. 1/PNPS/1965 tentang
pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama yang dikukuhkan oleh UU
1
No. 5 Tahun 1969 tentang pernyataan berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan
Presiden sebagai UndangUndang.1
Bentuk keikutsertaan pemerintah dalam persoalan agama adalah dengan
adanya pengakuan terhadap beberapa agama di Indonesia. Pengakuan ini muncul
dalam bentuk keluarnya Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 477/74054/1978
yang antara lain menyebutkan: Agama yang diakui pemerintah, yaitu Islam,
Katolik, Kristen/Protestan, Hindu, Buddha, dan Khong Hu Cu.
Pemerintah juga membentuk dan mengakui lembaga-lembaga seperti MUI,
WALUBI, PGI, KWI, dan HINDU DHARMA. Kelompok-kelompok inilah yang
diberi wewenang mengontrol bentuk-bentuk kegiatan dan tafsir keagamaan di
masyarakat. Kemurnian dan keshahihan tafsir yang benar pada gilirannya akan
dijadikan dalih untuk mengontrol dan mengendalikan sejauh mana praktek-praktek
keagamaan yang dijalankan seorang individu atau kelompok masyarakat
menyimpang atau tidak dari garis-garis pokok ajaran keagamaan atau dikatakan
sebagai induk agama. Dalam APBN maupun APBD tersedia anggaran untuk
urusan keagaaman Banyaknya aturan pemerintah dalam mengatur kehidupan
beragama tersebut menunjukkan seberapa jauh keikutsertaan pemerintah dalam
kehidupan beragama di Indonesia. Keikutsertaan pemerintah dalam urusan agama
mendapat tanggapan dari sejumlah tokoh diantaranya adalah Hatta dan Daliar
Noor. Menurut Hatta masalah agama dan negara harus dipisahkan sedangkan
menurut Daliar Noor berpendapat, bahwa intervensi negara/pemerintah dalam
masalah agama sebatas lingkup administrasi. 2 Pendapat senada dikemukakan oleh
Jazim Hamidi dan M. Husnu Abadi yang menyatakan intervensi negara atau
pemerintah terhadap agama terbatas pada masalah administrasi belaka meliputi:
1
Pasal 1 menyebutkan” setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan,
menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakuakn penafsiran tentang suatu
agama yang di anut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai
kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu; penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok -
pokok ajaran agama”
2
Jazim hamid dan M. Husnu Abadi,Intervensi Negara Terhadap Agama (Yogyakarta, UII Pres,
2001),hlm.5.
2
fasilitas, sarana, dan prasarana. Jadi bukan pada materi agamanya atau dengan kata
lain negara tidak mencampuri dan tidak ingin mencampuri urusan syari’ah dan
ibadah agama-agama di Indonesia.3 Keikutsertaan negara dalam urusan agama
seperti yang terjadi di Indonesia sangat berbeda di negara-negara sekuler di mana
negara dilarang untuk mencampuri urusan agama.
Mengingat kebebasan beragama adalah bagian dari hak asasi, apakah
keikutsertaan negara dalam urusan agama sudah sesuai dengan UUD 1945 dan
apakah keikutsertaan negara dalam urusan agama hanya sekadar memberi jaminan
dan perlindungan terhadap kebebasan memeluk agama dan kepercayaan serta
menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing
atau negara juga melakukan pembinaan terhadap agama dan kepercayaan. Yang
menjadi persoalan adalah apakah pada posisi inilah harus terdapat pembeda yang
dapat dijadikan pegangan sehingga peran negara tidak terlalu jauh memasuki
urusan individu, serta tidak pula memasuki ranah masyarakat. Jika negara telah
memasuki urusan individu, maka hakikat beragama sebagai wujud keyakinan hati
nurani dan kepercayaan individual akan hilang. Di sisi lain, jika negara terlalu jauh
memasuki wilayah masyarakat, maka negara dapat tergelincir menjadi alat
mayoritas yang menindas minoritas. Persoalan yang muncul dalam kaitannya
antara aturan pemerintah dan ajaran agama tersebut seharusnya segera diselesaikan
agar tidak memicu munculnya permasalahan.
B. RUMUSAN MASALAH
3
Ibid
3
1. Apa saja kaidah-kaidah penuntun dalam pembuatan politik hukum
atau kebijakan negara?
2. Apa saja sila-sila yang terkandung didalam ajaran agama islam?
C. Tujuan
1. Mengetahui kaidah-kaidah penuntun dalam pembuatan politik
hukum atau kebijakan negara
2. Bisa memahami sila-sila yang terkandung didalam ajaran agama
islam.
BAB II
4
PEMBAHASAN
5
sejalan dengan banyak nilai yang diajarkan dalam Islam, seperti keadilan,
persatuan, dan kesejahteraan bersama. Meskipun Pancasila bersifat sekuler, ia
menciptakan landasan yang inklusif bagi semua agama, termasuk Islam, untuk
dihormati dan ditegakkan dalam kerangka hukum yang ada. Upaya
harmonisasi antara Pancasila dan ajaran Islam bertujuan untuk membangun
masyarakat yang adil, beradab, dan sejahtera bagi semua warga negara
Indonesia, tanpa merusak nilai-nilai keagamaan yang dimiliki oleh
masyarakat.
6
Pancasila sebagi dasar negara dan falsafah kenegaraan Indonesia
diterima dan ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945. Pancasila merupakan
hasil kesepakatan luhur para pendiri bangsa dalam mendirikan negara
Indonesia yang terdiri dari keanekaragaman suku, ras, agama dan budaya
(Pluralitas). Pancasila yang secara sadar dan sengaja itu ditempatkan dalam
pembukaan UUD 1945 sebagai landasan kefilsafatan yang mendasari dan
menjiwai dalam penyusunan ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang
dasar itu. Dengan demikian, maka Pancasila melandasi kebijakan-kebijakan
dalam penyelenggaraan bernegara dan berbangsa yang dituangkan dalam
politik hukumnya, sejak berlakunya Undang-Undang Dasar tersebut, maka
penyusunan dsan pelaksanaan dari sistem tata hukum Indonesia harus dijiwai
Pancasila.
7
dasar negara republic Indonesia menurut Mahfud, M.D. membawa
konsekuensi diterima dan berlakunya hukum nasional.4 Selanjutnya mneurut
Mahfud M.D dari Pancasila tersebut lahir sekurang-kurangnya empat kaidah
penuntun dalam pembuatan politik hukum atau kebijakan negara lainnya,
yaitu:5
4
Moh Mahfud MD.menjelaskan arti politik hukum adalah legal policy atau arah hukum yang
akan diberlakukan oleh negara untuk mencapai tujuan negara yang bentuknya dapat berupa
pembuatan hukum baru dan pergantian hukum lama. Moh Mahfud MD, Membangun Politik
Hukum, Menegakan Konstitusi, (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia), hlm. 5.
5
Moh. Mahfud. MD, Konstitusi dan Hukum dalam Kontriversi Isu, (Jakarta: Rajawali Pers),
hlm. 26-27.
8
bukan negara penganut paham liberalisme, tetapi secara ideologis
menganut prismatika atau individualism dan kolektivisme dengan titik
berat pada kesejahteraan umum dan keadilan sosial
4. Kebijakan umum dan politik hukum haruslah didasari pada prinsip
toleransi beragama yang berperadaban. Indonesia bukan negara agama
sehingga tidak boleh melahirkan kebijakan atau politik hukum yang
berdasar atau di dominasi oleh satu agama tertentu atau nama apapun;
tetapi Indonesia juga bukan negara sekuler yang hampa agama, sehingga
setiap kebijakan atau politik hukumnya haruslah dijiwai oleh ajaran
berbagai agama-agama yang bertujuan mulia bagi kemanusiaan.
Kedudukan agama sebagai sumber hukum haruslah diartikan sebagai
sumber hukum materiil yakni bahan untuk dijadikan hukum formal.
B. Sila-Sila Pancasila
1. Sila Pertama : Ketuhanan Yang Maha Esa
Banyak kalangan yang menghendaki agama mayoritas-islam-
menjadi dasar negara, tetapi hal itu di tentang oleh kelompok lain yang
menilai bahwa ada hak pemeluk agama lain yang minoritas. Sangat
penting untuk mengakui bahwa ada kelompok minoritas dari
kewarganegaraan sehingga tidak terjadi diskriminasi. Sila pertama ini
ditetapkan sebagai alternatif dari pembentuk islam. Sila pertama ini
menjamin hak-hak pemeluk agama lain, sejauh agama itu diakui oleh
negara.6 Membangun Indonesia merdeka bukan berdasar atas kesamaan
keagamaan, tetapi berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa yang
menganugerahi bangsa Indonesia dengan kemerdekaan.
6
Vickers, Adrian. 2011. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Insan
Madani. hal.181
9
Sila pertama ini memang diakui baik secara langsung maupun
tidak lang-sung adalah cerminan dari ajaran Islam. Tuhan dalam agama
Islam adalah Esa, tidak ada yang menandingi ataupun menyekutui-Nya.
Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung arti bahwa meskipun Indonesia
bukan negara agama, tetapi agama merupakan nilai luhur yang dijunjung
tinggi dalam penyelenggaraan negara. Penduduk yang beragama tentu
memiliki ajaran luhur yang menjadi-kan pemeluknya selalu berada
dalam kebaikan dan kebenaran selama mengi-kuti ajaran agamanya.
Indonesia bukanlah negara sekuler yang tidak mengakui agama dalam
pemerintahannya, dan bukan negara agama yang menjadikan agama
mayoritas sebagai agama negara. Melainkan, sebagai negara berketu-
hanan Yang Maha Esa yang mengakui agama sebagai spirit dalam
penyeleng-garaan negara.
Soekarno menegaskan bahwa kemerdekaan yang dimiliki oleh
Indonesia ini adalah berkah dan rahmat dari Tuhan. Maka dari itu,
prinsip ketuhanan tak bisa lepas dari dasar negara Indonesia. Indonesia
dengan beragam pemeluk agama hendaknya bertuhan secara
berkeadaban, artinya saling menghormati satu sama lain antar pemeluk
agama yang berbeda. Sebagaimana yang diung-kapkannya pada pidato 1
Juni 1945: Prinsip yang kelima hendaknya; Menyusun Indonesia
merdeka de-ngan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Prinsip ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi
masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri.
Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al-Masih. Yang
Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad Saw. Orang Budha
menjalankan ibadahnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi
marilah kita semuanya bertuhan. Hen-daknya negara Indonesia ialah
negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan
cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara
10
kebudayaan, yakni tiada eogisme-agama. Dan hendaknya Negara
Indonesia satu negara yang ber-Tuhan! Marilah kita amalkan, jalankan
agama, baik Islam, maupun Kristen dengan cara berkeadaban. Apakah
cara berkeadaban itu? Ialah hormat menghormati satu sama lain.75
Pada teks pidato yang dibacakan Soekarno di depan BPUPKI ini
menem-patkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila terakhir dan
menempatkan sila Kebangsaan pada sila pertama. Penempatan urutan ini
banyak menyim-pan teka-teki bagi seluruh warga dari dulu hingga
sekarang, bahkan beberapa kalangan menuduh bahwa Soekarno adalah
pemikir sekuler. Bagi kalangan normatif-tekstualis, penempatan sila
Ketuhanan pada urutan terakhir kurang tepat, sila Ketuhanan merupakan
primakausa dari sila-sila lainnya (hal.129).
Terlepas dari itu semua, Hamka Haq–penulis secara lugas
menerangkan dalam bukunya bahwa Soekarno tidak bermaksud
“menyepelekan” urut-urut-an dengan menempatkan sila Ketuhanan pada
sila terakhir. Bila melihat pe-nempatan sila Ketuhanan ini dari sisi kaca
mata filsafat, Bung Karno mema-dang bahwa Ketuhanan merupakan
final cause/ultimate caus yang menjadikan Tuhan merupakan tujuan
akhir dari pengamalan dan pengabdian manusia di dunia.
Mengagungkan Tuhan tidaklah harus menempatkan atau menyebut na-
manya di awal kalimat. Dalam ideologi Islam, menyebut nama Tuhan,
baik di awal maupun di akhir tidaklah menjadi masalah bagi-Nya,
karena semua arah dan tempat adalah milik-Nya. Sebagaimana bunyi
firman-Nya:
7
Pidato Bung Karno di depan Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai tanggal 1 Juni
1945 di Ja-karta. Dalam Hamka Haq. 2011. Pancasila 1 Juni dan Syariat
Islam. Jakarta: RM Books
11
Dialah yang Awal dan yang akhir yang Zhahir dan yang Bathin;
dan dia Maha mengetahui segala sesuatu. (QS. al-Ha-diid [57]: 3).
(Hlm.132).
Keselarasan sila pertama Pancasila dengan syariat Islam terlihat
dalam al-Qur’an yang mengajarkan kepada umatnya untuk selalu
mengesakan Tuhan, seperti dalam Surat al-Baqarah, ayat 163 yang
memiliki arti; “Dan Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Maha Esa .
Tidak ada Tuhan melainkan Dia Yang Maha Murah, lagi Maha
Penyayang”.6 Konsep ini menunjukkan bahwa dasar kehidupan
bernegara rakyat Indonesia adalah ketuhanan. Di dalam Islam, konsep
ini biasa disebut hablum min Allah yang merupakan esensi dari tauhid
berupa hubungan manusia dengan Allah Swt.8
2. Sila Kedua; Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
8
Muttaqien, Sabilul. 2011. Keselarasan Nilai-Nilai Pancasila Dengan Ajaran Islam. Dalam internet
online: http://blog.uin-malang.ac.id/dargombes/indonesia/keselarasan-nilai-nilai-pancasila-dengan-
ajaran-islam/index.html
12
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-
orang yang selalu menegakkan (kebenaran). Karena Allah, menjadi saksi
de-ngan adil dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu
kaum, mendo rong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, ka-
rena adil itu lebih dekat kepada takwa dan bertakwalah kepada Allah,
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS.
Al-Maa’idah [5]: 8).
13
menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat
petunjuk.” (Q.S. Ali Imran [3]: 103).
“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu,
damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua sau-daramu
itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu menda-pat rahmat.”
(Q.S. al-Hujurat [49]: 10).
4. Sila Keempat : Kerakyatan yang Dipimpin Oleh Hikmad Kebijaksanaan
dalam Permusyawaratan dan Perwakilan
Sila keempat Pancasila yang menekankan pentingnya kehidupan
yang di-landasi oleh musyawarah memang selaras dengan nilai luhur
dalam ajaran Islam. Sikap bijak dalam menyelesaikan suatu masalah
adalah dengan ber-musyawarah. Musyawarah merupakan jalan terbaik
dalam mencari solusi dimana masing-masing pihak berdiri sama tinggi
tanpa ada perbedaan. Hasil dari musyawarah pun merupakan
kesepakatan bersama yang harus dijalankan dengan penuh keikhlasan.
Konsep Islam mengenai musyawarah dalam me-nyelesaikan sebuah
permasalahan dikenal dengan nama syuura (musyawarah). Konsep ini
tercermin dalam beberapa surat dalam al-Qur’an, salah satunya da-lam
Surat Ali Imron, ayat 159:
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah
lem-but terhadap mereka. sekiranya kamu bersikap keras lagi
berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.
Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi
mereka, dan ber-musyawarahlah dengan mereka dalam urusan
itu. Kemudian apa-bila kamu tlah membulatkan tekad, Maka
bertawakkallah kepada Al-lah. Sesungguhnya, Allah menyukai
orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (QS. Ali Imron [3]:
159).
14
“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tu-
hannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputus-
kan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka
menafkahkan sebagian dari rezki yang kami berikan kepada
mereka.” (QS. asy-Syuura [42]: 38).
15
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, dimana
sila Ketuhanan Yang Maha Esa, bukanlah negara yang terpisah dari agama,
tetapi juga tidak menyatu dengan agama. Hubungan ideal antara negara
dengan agama dalam negara yang memiliki, prinsip berdasar Ketuhanan Yang
Maha Esa,adalah negara secara aktif dan dinamis membimbing, menyokong,
memelihara, dan mengembangkan agama dan kepercayaan. yang berarti setiap
warga negara bebas berkeyakinan atau memeluk agama dan kepercayaan
sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya. Kebebasan dalam pengertian
ini berarti bahwa Keputusan beragama dan beribadah diletakkan pada domain
privat atau pada Tingkat individu. Dapat juga dikatakan bahwa agama
merupakan persoalan individu dan bukan persoalan negara. Negara dalam
hubungan ini cukup menjamin secara yuridis dan memfasilitasi agar warga
negara dapat menjalankan agama dan beribadah dengan rasa aman, tenteram,
dan damai tanpa ada ganguan dari setiap orang atau sekelompok masyarakat
selama pelaksanaan keyakinan tersebut tidak menimbulkan ganguan
ketertiban dan ketentraman masyarakat, hubungan agama dan negara adalah
saling membutuhkan. Agama membutuhkan negara untuk perkembangan
agamanya dan negara membutuhkan agama untuk peningkatan moral bangsa.
16
DAFTAR PUSTAKA
Daras, Roso. TT. Pidato Bung Karno 1 Juni 1945; Lahirnya Pancasila (ke-1). Dalam
internet online: http://rosodaras.wordpress.com/2010/05/29/pidato-bung-
karno-1-juni-1945-lahirnya-pancasila-ke-1-2/
Haq, Hamka. 2011. Pancasila 1 Juni dan Syariat Islam. Jakarta: RM BooksVickers,
Vickers, Adrian. 2011. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Insan Madani
Syahbana, Ali. 2012. Pancasila dan Keluwesan Ajaran. Dalam internet online:
http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,4-id,40159-lang,id-
c,kolom-t,Pancasila+dan+Keluwesan+Ajaran+Islam-.phpx. Di-akses
tanggal, 22-2-2013.
Kompas. 2013. Pancasila Makin Dibutuhkan Bangsa Ini. Surat Kabar Harian Kom-
pas; Edisi, Minggu, 2 Juni 2013. hal. 1
17