Anda di halaman 1dari 12

PENDIDIKAN ANTI KORUPSI DALAM SURAT AL MUTAFFIFIN 1-10

MAKALAH

Disusun Guna Memenuhi Tugas


Mata Kuliah : Tafsir Ayat dan Hadis Pendidikan
Dosen Pengampu : Dr. H.M Syaefuddin, MA

Oleh :
Ahmad Zainuri
NIM : 21300011016

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS WAHID HASYIM
SEMARANG
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena telah
memberikan kekuatan dan kemampuan sehingga makalah ini bisa selesai tepat
pada waktunya. Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk
memenuhi tugas Mata Kuliah tentang Tafsir Ayat dan Hadis Pendidikan.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dan mendukung dalam penyusunan makalah ini.
Penulis sadar makalah ini belum sempurna dan memerlukan berbagai
perbaikan, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat dibutuhkan.
Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca
dan semua pihak.

Kudus, 10 Januari 2022


Daftar Isi

- Halaman depan
- Kata pengantar
- Daftar isi
- Pendahuluan
- Pembahasan, harus mencakup :
 Ayat dan terjemahannya
 Penafsiran ayat tersebut. Minimal dari 5 kitab tafsir
 Temuan konsep/teori pendidikan dari ayat tersebut
 Komparasi temuan tersebut dengan teori-teori pendidikan yang sudah
ada
- Kesimpulan / penutup
PENDIDIKAN ANTI KORUPSI DALAM SURAT AL MUTAFFIFIN 1-10

A. PENDAHULUAN

Korupsi sebagai sebuah perilaku menyimpang dalam kehidupan sosial,


kenegaraan, dan kemasyarakatan telah lama dikaji oleh para ilmuwan hingga
filsuf. Sampai saat ini pemaknaan korupsi tidak akan pernah selesai didefinisikan,
sebab makna korupsi selalu berkembang di setiap zaman, peradaban, serta
wilayah yang berbeda. Rumusan tentang korupsi pun berbeda-beda jika dilihat
dari sudut pandang sosial, politik, hukum, ekonomi, bahkan agama.
Korupsi berasal dari bahasa Latin, Corruptio yang merupakan kata
kerja dari Corruptus, berarti busuk, rusak, tidak jujur, tidak bermoral, dan
dapat disuap.1 Istilah korupsi sudah dikenal pada masa Aristoteles yang diikuti
oleh Machiavelli. Pada masa itu telah dirumusakan sesuatu yang disebut
dengan korupsi moral (moral corruption). 2 Dalam perjalanannya, kata corruptio
diadaptasi ke dalam bahasa Perancis dan Inggris menjadi corruption, bahasa
Belanda menjadi corruptie, serta dalam bahasa Indonesia menjadi korupsi.
Syed Husein Alatas menyimpulkan bahwa inti dari tindakan korupsi ialah
pencurian melalui penipuan dalam situasi yang mengkhianati kepercayaan untuk
kepentingan pribadi semata.3
Di dalam leksikal konsep keislaman, korupsi punya banyak peristilahan.
Di antara istilah yang paling populer untuk menyebut korupsi adalah al-rishwah,
al-suht, dan al-ghûl, dan lainnya. Meski demikian, istilah-istilah tersebut adalah
istilah teknis untuk menerangkan macam-macam penyelewengan yang biasa
dilakukan manusia. Istilah ini sendiri pada dasarnya adalah alat bantu bagi kaum
Muslimin agar tetap fokus pada amanat filosofis tentang keadilan. Bahwa Islam
adalah agama keadilan, sebaliknya, sangat memerangi ketidakadilan. Korupsi
adalah penyelewengan yang secara langsung menantang penegakkan keadilan.
Di dalam al-Qur'an, konsep keadilan bisa ditemui di banyak surat dan ayat.
Salah satunya, di dalam Al Muthaffifin, Ayat ini berisi penegasan dan perintah
untuk meninggalkan kecurangan dalam muamalah baik dalam jual beli,
ketatanegaraan, kemasyarakatan, ketatanegaraan dan mu’amalah lainnya.

1
M. Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, Amzah, Jakarta, 2011, h. 33
2
Albert Hasibuan, Titik Pandang untuk Orde Baru, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta, 1997, h. 342-347
3
Syed Husain Alatas, Korupsi, Sifat dan fungsi, LP3ES, Jakarta, 1987, h.8
B. PEMBAHASAN
1. Ayat, Terjemahan dan Tafsirnya

Ayat Dengan nama Allah, selalu penyayang, sangat


‫ِبْس ِم ِهّٰللا الَّرْح ٰم ِن الَّر ِح ْيِم‬ penyayang.
1. (Kecelakaan besarlah) lafal Wailun merupakan
kalimat yang mengandung makna azab; atau
merupakan nama sebuah lembah di dalam
neraka Jahanam (bagi orang-orang yang
curang.)4
‫َو ۡي ٌل ِّلۡل ُم َطِّفِفۡي َن‬ Makna yang dimaksud dengan tatfif di sini
ialah curang dalam memakai takaran dan
timbangan, yang adakalanya meminta tambah
bila menagih orang lain, atau dengan cara
mengurangi bila ia membayar kepada mereka.
2. Yakni bila mereka menerima takaran dari
‫اَّلِذ ۡي َن ِاَذ ا اۡك َتاُلۡو ا َع َلى‬ orang lain, maka mereka meminta supaya
‫الَّناِس َيۡس َتۡو ُفۡو َن‬ dipenuhi dan diberi tambahan.
3. Yaitu merugikan orang lain dengan
menguranginya.
Hal yang terbaik dalam meng-i'rab ayat ini
hendaknya lafaz kalu dan wazanu dianggap
sebagai fi'il (kata kerja) yang muta'addi.
Dengan demikian, berarti damir hum
berkedudukan dalam mahal nasab sebagai
‫َو ِاَذ ا َك اُلۡو ُهۡم َاْو َّو َز ُنۡو ُهۡم‬ maf’ul-nya. Tetapi sebagian ulama Nahwu
menjadikan damir tersebut sebagai taukid dari
‫ُيۡخ ِس ُر ۡو َؕن‬ damir yang tidak disebutkan dalam lafaz kalu
dan wazanu , sedangkan maf'ul-nya dibuang
karena sudah dapat dimaklumi dari
konteksnya. Keduanya mempunyai makna
yang berdekatan.
Allah Swt. telah memerintahkan kepada
manusia untuk memenuhi takaran dan
timbangan dengan jujur.5
4. ‫َااَل َيُظُّن ُاوٰٓلِٕٮَك َاَّنُهۡم‬ {apakah tidak menyangka mereka itu,
sungguh mereka orang-orang yang
‫َّم ۡب ُع ۡو ُثۡو َن‬ dibangkitkan} :
Kita menyakini dan selalu ingat bahwa kita
adalah orang-orang yang yang akan
dibangkitkan untuk hidup selama-lamanya.
Mempertanggung jawabkan semua yang
telah kita perbuat. Hati diajak untuk
4
Jalaludin Asy Syuyuti, Jalaluddin Al Mahalliy, Makna Jawen Tafsir Jalalain, Kudus:
Mubarokatan Thoyyibah, 2019, hlm. 678
5
M. Abdul Ghaffarm, Terjemah Tafsir Ibn Kasir, Bogor: Pustaka Imam Syafii, 2004,
hlm. 420
banyak mengingat hari kebangkitan sehingga
jasmani ikut berbuat kebaikan.
5. bagi (pada) hari (yang) sangat besar}: Kita
meyakini keagungan hari kebangkitan yang
‫ِلَيۡو ٍم َع ِظ ۡي ٍم‬ tidak seperti hari-hari di dunia, bahkan lebih
dahsyat. Satu harinya di akhirat sama dengan
seribu tahun di dunia.
6. (pada) hari berdiri (bangkit) manusia bagi
pemelihara alam-alam}: Kita mempersiapkan
‫َّيۡو َم َيُقۡو ُم الَّناُس ِلَر ِّب‬ menghadap Tuhan seluruh alam untuk
‫اۡل ٰع َلِم ۡي َؕن‬ mempertanggung jawabkan segala perbuatan
dengan mengagungkan-Nya selama di dunia
ini.6
7. {sungguh tidak, sungguh kitab(nya) orang-
orang durhaka (itu) sungguh dalam sijjiin}:
‫َك ۤاَّل ِاَّن ِكٰت َب اۡل ُفَّجاِر َلِفۡى‬ 1. Kita menghindari curang yaitu tidak mau
dikurangi bagian kita.
‫ِس ِّج ۡي ٍؕن‬ 2. Kita menghindari menjadi golongan orang
yang durhaka, karena seluruh amal jelek
pasti dicatat.
8. Wa maa adrookamaa sijjiin {dan apa
kamu tahu apa (itu) sijjin}: Kita berusaha
‫َو َم ۤا َاۡد ٰر ٮَك َم ا ِس ِّج ۡي ٌؕن‬
keras untuk menghindari mendapati catatan
amal kita pada neraka Sijjin, yaitu dengan
cara berusaha keras menghindari berbuat
maksiat.
9. Kitaabun marquum {yaitu kitab yang ditulis}:
1. Kita berusaha menghindari perbuatan jahat
atau maksiat, sebab pasti dicatat.
‫ِكٰت ٌب َّم ۡر ُقۡو ٌؕم‬ 2. Kita berusaha untuk berbuat amal kebaikan
sebanyak-banyaknya di dunia agar nanti di
akhirat nanti tidak ada catatan didalam kitab
sijjin
10. Waylun yaumaidzin lilmukadzdzibiin
{kecelakaan (pada) hari itu bagi orang-
orang yang mendustakan}:
1. Kita menghindari kecelakaan yang besar,
tidak takut kecelakaan kecil yaitu
kecelakaan dunia.
‫َو ۡي ٌل َّيۡو َم ِٕٮٍذ ِّلۡل ُم َك ِّذ ِبۡي َن‬ 2. Kita takut atas kecelakaan besar yaitu di
akhirat dan tidak takut kecelakaan kecil
yaitu di dunia.
3. Kita menghindari mendustakan Allah
dan hari akhir yaitu melupakan
7
keduanya.
6
M Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Jakarta:
Lentera Hati, hlm 150.
2. Kajian Teori
1. Gambaran Umum Tentang Surah Al-Muthaffifȋn
Surat ini sebagaimana dengan surah-surah yang lain, perhatiannya
tertuju pada perkara aqidah, khususnya masalah kondisi hari kiamat yang
menakutkan. Juga perhatian dengan masalah-masalah akhlak sosial, khususnya,
kecurangan dalam menakar dan menimbang.
Dan dimulai dengan permulaan yang menakutkan, yaitu ancaman atas
orang-orang yang berbuat curang, dengan siksa yang pedih itu, merupakan
ancaman bagi perbuatan curang, yaitu yang curang dalam menakar dan
menimbang dengan sesuatu yang sedikit untuk meringankan. Adapun sesuatu
yang banyak, itu tampak dan ia tidak melakukannya.
Dikisahkan, konon di Yatsrib (Madinah) ada seseorang yang disebut
Abu Juhainah, ia memiliki dua buah timbangan. Yang satunya untuk membeli
sesuatu, ia lebihkan agar saat ia membeli mendapatkan lebih banyak
keuntungan. Dan satunya lagi dia buat sedemikian rupa agar berkurang
timbangannya dari takaran sebenarnya, supaya saat menjual sesuatu ia
mendapat untung banyak dengan cara mengurangi timbangan tersebut.
Dalam Mushaf Usmani, Surah Al-Muthafifȋn berada pada urutan 83.
Akan tetapi dari segi sejarah turunnya ayat, surah ini berada pada urutan ke-68,
setelah Surah Al-Ankabūt dan sebelum Al-Baqarah. Dalam Tafsir Al- Munȋr,
Surah ini punya dua nama yaitu Surah Ath-Thatfȋf dan Surah Al- Muthaffifȋn
(orang-orang yang curang).8
Surah ini terdiri dari 36 ayat, 199 kata dan 780 huruf, diturunkan
antara Makkah dan Madinah (ketika Rasulullah SAW hijrah), menurut
pendapat yang paling masyhur, ayat 29-36 surah ini diturunkan pada tahun ke-
13 kenabian (fase terakhir dakwah Rasulullah Saw. di Makkah). Sebaliknya
ayat 1-28 diturunkan di Madinah.
2. Asbabun Nuzul Surat Al-Mutaffifin
Dalam Hadis Riwayat Imam An- Nasa‟I dan Ibnu Majah disebutkan
bahwa sebab turunnya Surah ini terkait kondisi ketika Nabi Saw. saat hijrah ke
Madinah. Beliau melihat di pasar Madinah para pedagang terbiasa melakukan
penipuan dan kecurangan. Dalam sebuah hadis diceritakan bagaimana beliau
menemukan seorang pedagang yang barang dagangannya di bagian atas terlihat
bagus, namun ketika Rasulullah memasukkan tangan- nya sampai ketengah
hingga bawah ternyata barang dagangan itu busuk. Akhirnya Allah SWT.
menurunkan ayat pertama, kedua, dan ketiga Surah Al-Muthaffifȋn sehingga
orang Madinah tidak berbuat curang lagi dalam menimbang atau menakar
barang dagangannya.9
3. Gambaran Umum Tentang Makna Muthaffifȋn
Pada masa Rasulullah, pedagang tradisional mencuri kecil-kecilan
dengan korupsi timbangan. Pada masa sekarang, selain mengurangi takaran dan
timbangan, para pedagang mencuri dengan teknik yang lebih canggih dan dalam
7
Muhammad Qoyyim Ya‟qub, Tafsir Amaly Juz 30 (IPdI: Jombang), hlm. 53.
8
Tim Tafsir Ilmiah Salman ITB, Tafsir Salman Tafsir Ilmiah Juz Amma.
(Bandung: Mizan Pustaka, 2014), hlm. 179
9
Tim Tafsir Ilmiah Salman ITB, Ibid.
skala yang lebih besar. Praktik-praktik seperti penggelembungan anggaran, mark
up, dan proyek-proyek fiktif, semuanya tergolong perilaku tercela yang
dinamakan tathfȋf. Kecurangan pada dasarnya tidak hanya dalam bidang
ekonomi, tapi dalam semua bidang. Kecurangan adalah simbol kebohongan.
Setiap pembohong berarti telah berbuat curang. Orang yang tidak suka melihat
orang lain memperoleh kesuksesan, berarti ia curang. Orang yang hanya
melihat aib saudaranya dan tidak pernah melihat aib dirinya, ia juga curang.
Begitu pula, orang yang hanya menuntut haknya dan tidak pernah mampu
melaksanakan kewajiban-kewajibannya, ia juga dinilai curang.10
Mereka adalah golongan manusia yang selalu menuntut haknya dari
orang lain, tetapi tidak pernah memenuhi hak orang lain yang mereka
tanggung. Hak mereka yang ada pada orang lain selalu terpenuhi secara
sempurna, sedangkan hak orang lain yang ada padanya selalu kurang. Jika
keputusan hukum berpihak kepada mereka, mereka akan menerimanya dengan
senang hati. Namun sebaliknya apabila merugikan, mereka akan
menolaknya mentah-mentah.
Mereka memiliki standar ganda dalam hukum, perkara, dan hak
mereka dan orang yang mereka sukai selalu benar, selalu bebas,
kehormatannya terlindungi, dan harta bendanya terjaga. Sementara orang lain
selalu salah dan menjadi tertuduh, tidak memiliki hak, kehormatan dan
perlindungan. Jika memutuskan suatu perkara maka kebenaran selalu berada
dipihak mereka. Tetapi bila memutuskan perkara untuk orang lain, maka
mereka sewenang-wenang dan melanggar hak. Jika berdebat dalam suatu
masalah-masalah apa saja maka semua bukti selalu menguatkan posisi mereka,
sedangkan lawan selalu salah, zalim, serta tidak memiliki bukti dan alasan.11
Orang- orang yang berperilaku demikian sangatlah merugi. Allah
melaknatnya dan kelak akan ditimpakan kecelakaan dunia dan akhirat. Imam az-
Zajjaj mengatakan, “Al-Muthaffȋf adalah orang yang mengurangi timbangan atau
takaran sedikit saja”. Kata yang digunakan di sini adalah Muthaffȋf (subyeknya),
perbuatannya Tathfȋf (masdar) dengan wazan taf‟il yang menunjukkan
perbuatan yang dilakukan secara berulang-ulang dalam jangka waktu yang lama.

4. Faktor Penyebab Terjadinya Tathfif (Kecurangan)


Penyebab yang mendorong seseorang untuk melakukan kecurangan
menurut Teori GONE (GONE theory ) yang dikemukakan oleh Jack Bologne
dalam bukunya The Accountant Handbook of Fraud and Commercial Crime
yang disadur oleh BPKP12 dalam bukunya Strategi Pemberantasan Korupsi
Nasional tahun 1999, menjelaskan bahwa faktor-fakor yang menyebabkan
terjadinya kecurangan meliputi Greeds (Keserakahan), Opportunities
(Kesempatan), Needs (Kebutuhan) dan Exposures (Pengungkapan) sangat erat
kaitannya dengan manusia melakukan kolusi dan korupsi.12

10
Khoiruddin, Etika Pelaku Bisnis dalam Perspektif Islam. ASAS, Vol. 7,
No. 1, Januari 2015, hlm. 50
11
Aidh bin Abdullah l-Qarni, NIkmatnya Hidangan Al-Qur‟an. (Jakarta:
Magfirah Pustaka,2005), hlm. 241-242
12
BPKP, Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional, (Jakarta:Puslitbang BPKP,
1999), hlm 20
Faktor-faktor Greeds dan Needs berkaitan dengan individu pelaku
kecurangan (actor), sedangkan faktor-faktor Opportunities dan Exposures
berhubungan dengan korban perbuatan kecurangan (victim).
1. Greeds. Keserakahan (Greeds) berkaitan dengan adanya perilaku serakah yang
secara potensial ada dalam diri setiap orang. Untuk mengendalikan
Keserakahan ini perlu antara lain mendorong pelaksanaan ibadah dengan
benar.
2. Opportunities. Kesempatan (Opportunities) berkaitan dengan keadaan
organisasi/instansi atau masyarakat yang sedemikian rupa sehingga terbuka
kesempatan bagi setiap orang untuk melakukan kecurangan
terhadapnya.Untuk meminimalkan kesempatan orang melakukan kecurangan
perlu antara lain keteladanan dari pimpinan organisasi.
3. Needs. Kebutuhan (Needs) berkaitan dengan faktor-faktor yang dibutuhkan
oleh setiap individu untuk menunjang hidupnya yang wajar.Untuk memenuhi
kebutuhan tersebut perlu pendapatan/gaji yang seimbang dengan kinerja yang
ditunjukkan dalam organisasi.
4. Exposures. Pengungkapan (Exposures) berkaitan dengantindakan atau
konsekuensi yang dihadapi oieh pelaku kecuranganapabila diketahui telah
melakukan kecurangan. Untuk memastikan seseorang melakukan kecurangan
akan menghadapi tindakan yang tegas maka perlu pranata hukum yang jelas
dan tegas.
Berdasarkan teori diatas,suatu perbuatan Korupsi akan dapat muncul
apabila terdapat keadaan G-O-N-E yang cukup untuk melakukan tindakan
korupsi.
3. Nilai Nilai yang ada dalam Surat Muthaffifin ayat 1-20
1. Nilai-Nilai Kejujuran, untuk Pendidikan Antikorupsi
Tujuan Pendidikan Islam tidak hanya berpusat pada penguasaan
konsep-konsep dan keterampilan tapi lebih kepada pendidikan jiwa
dengan tujuan Insan kamil, yang tercermin pada akhlaknya. Sehingga
manusia mampu menjalankan tugasnya sebagai khalifah di muka bumi
dan hamba yang taat kepada Tuhannya. untuk mencapai tujuan tersebut
pendidikan Islam memiliki karakteristik yaitu bertumpu pada landasan
tauhid.13
Atas dasar tauhidlah semua ajaran Islam dibangun. Maka dari
itu nilai tauhid adalah yang utama dan pertama kali ditanamkan
dalam diri anak didik. Jika nilai ini tertanam dengan baik, akan muncul
kualitas-kualitas moral/akhlak mulia yang terakumulasi dalam konsep
taqwa. Sifat- sifat orang bertaqwa adalah konsekuensi logis dari
kemurnian tauhid tersebut. Kedua faktor, taqwa dan akhlak yang mulia yang
menghantarkan seseorang masuk surga.
Dengan kata lain, misi Nabi adalah terbentuknya generasi yang
berkarakter. Misi ini tercapai karena faktor Nabi sendiri sebagai figur yang
pantas diteladani. Untuk mengetahui lebih detail akhlak Nabi adalah dengan
mengkaji isi al-Qur’an.

Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: PT Remaja


13

Rosdakarya, 2004), hm. 50 – 51.


Nilai-nilai kejujuran, tanggung jawab dan kesederhanaan dalam
pendididikan Islam termasuk akhlak terpuji yang merupakan nilai moral.
sedangkan tauhid merupakan landasan moral dan al-Qur’an sebagai
sumber moral. Dengan begitu terdapat keterkaitan yang erat antara Tauhid,
akhlak, dan al-Qur’an dan tidak bisa diantara ketiganya berdiri sendiri.
Dari fakta banyaknya ayat-ayat tentang kejujuran dan
kebohongan, terlihat bahwa kejujuran adalah nilai sentral dalam ajaran Islam,
dan punya keterkaitan dengan nilai-nilai dan konsep lain dalam al-Qur’an.
Kejujuran berkaitan dengan konsep keimanan. Ketidakjujuran
adalah penyebab kerusakan di atas muka bumi dimana pelakunya
mendapatkan laknat Tuhan dan baginya disediakan neraka jahim. Kita harus
selalu berusaha agar termasuk golongan abror (orang-orang baik) karena
amalnya itu benar-benar tersimpan di kitab illiyyin. Kita berusaha beramal
kebaikan saja dan ikhlas karena Allah, sebab pasti dicatat dan tidak akan disia-
siakan sekecil apapun (kitabun marqum).
Dari analisis ayat-ayat tentang kejujuran, dapat ditarik
kesimpulan bahwa kejujuran merupakan karakter yang melekat pada diri
orang-orang mukmin, buah dari keyakinannya akan pengawasan Tuhan
(tauhid). Kejujuran adalah sumber kepercayaan, karena satunya
ucapan dan perbuatan, sebuah karakter yang harus dimiliki oleh
mereka, khususnya yang memegang jabatan/kekuasaan. Jika kejujuran
tidak ada, alamat terjadinya kerusakan di muka bumi akibat korupsi.14
2. Nilai Tanggung Jawab untuk Pendidikan Antikorupsi
Tanggung jawab, amanah, akar katanya sama dengan iman.
Artinya tanggung jawab adalah konsekuensi keimanan seseorang.
Disebut beriman jika betul-betul bisa bertanggungjawab dan bisa
dipercaya.
Pribadi yang amanah adalah buah dari keimanannya (Tauhid). Hal
ini terjadi karena kepercayaan kokoh yang begitu terpatri dalam jiwanya
bahwa Allah swt Maha melihat dan mengawasi apa pun yang
diperbuatnya, dan nanti di akhirat harus mempertanggungjawabkan di
hadapan Tuhannya.15
Termasuk pula dalam hal ini yatu hubungan antara rakyat dengan
pemimpin, terkadang atau malah banyak dijumpai rakyat yang selalu menuntut
haknya agar dipenuhi pemerintah, tetapi kewajibannya sebagai rakyat tidak
diperhatikan, dengan cara selalu melanggar peraturan-peraturan yang dibuat
pemerintah. Demikian juga sebaliknya bisa jadi pemerintah selalu menuntut
hak kepada rakyat dengan mewajibkan mereka untuk membayar ini dan itu,
akan tetapi hak-hak dan kesejahteraan rakyat tidak mereka penuhi.
Demikian juga para pekerja yang mencuri-curi waktu kerjaan, mereka
datang terlambat dalam pekerjaan atau mereka keluar lebih dahulu sebelum
waktu kerja berakhir, namun tatkala menuntut gaji maka mereke menuntut agar
gaji mereka dipenuhi 100 persen.

14
Diakses dari https://pendis.kemenag.go.id/pai/berita-182-kejujuran-adalah-kunci-
kesuksesan.html#informasi_judul, pada tanggal 30 November 2021 Jam 20.19
15
Diakses dari http://www.dakta.com/news/19737/keutamaan-amanah-dalam-kehidupan-
seorang-muslim pada tanggal 30 November 2021 Jam 21.25
Khianat merupakan lawan dari amanah, khianat adalah tidak
menjalankan amanah yang dibebankan pada seseorang. Tanggung jawab
merupakan jaminan tatanan sosial dalam masyarakat berjalan dengan
semestinya.
3. Nilai Kesederhanaan untuk Pendidikan Antikorupsi
Korupsi dilakukan oleh orang yang punya kuasa baik untuk dirinya
maupun kelompok tertentu. Dalam artian, orang yang punya kekuasaan atau
jabatan adalah yang paling potensial melakukan tindakan korupsi.
Pola hidup berlebih-lebihan erat kaitannya dengan tindakan
korupsi, setidaknya pola hidup berlebihan merupakan salah satu
faktor penyebab korupsi yang sulit disembuhkan yaitu kerakusan (greedy).16
Allah mengajarkan kita agar memiliki himmah ‘aliyah yakni semangat
yang tinggi dalam beramal shalih. Jika dia melihat ada orang lain yang beramal
shalih maka dia tidak ingin kalah seakan-akan mengejar ketertinggalan, itulah
hakikatnya perlombaan. Hendaknya tidak merasa cukup dalam masalah agama,
tetapi dia selalu haus untuk meraup sebanyak-banyaknya amal shalih. Berbeda
dalam masalah dunia, kita dianjurkan untuk memiliki sifat qana’ah yaitu
merasa cukup.
Seseorang yang memiliki hati yang qana’ah dan menerima nikmat yang
Allah berikan maka seakan-akan keadaannya seperti raja dunia yaitu sama-
sama bahagia. Dalam masalah dunia hendaknya kita menerima apa yang Allah
berikan. Tetapi dalam masalah akhirat kata Allah hendaknya berlomba-lomba.
Jangan membandingkannya dengan orang yang tidak pernah shalat sama sekali
kemudian mencukupkan bagi dirinya shalat dua kali sehari. Tetapi hendaknya
dia menjadi orang yang berlomba. Jika ada orang yang di depannya dalam
masalah agama, maka dia pun berusaha mengejar orang tersebut. Inilah sikap
yang benar yang seharusnya dimiliki, karena orang-orang yang beriman
terhadap akhirat meyakini bahwa para penghuni surga juga bertingkat-tingkat.
Pola hidup berlebihan, melanggar batas-batas yang ditentukan
oleh Allah. Kita diperbolehkan menikmati karunia Allah dengan syarat
tidak berlebihan (sederhana). Salah satu nilai antisipatif untuk
membendung sikap korupsi yang sangat krusial adalah menerapkan pola
hidup sederhana.

4. KESIMPULAN
Dari analisis ayat-ayat antikorupsi, dapat disimpulkan bahwa orang
beriman yang landasan keyakinannya kokoh (tauhid) akan terpatri dalam
dirinya kejujuran, sinkron antara kata dan perbuatannya, bersikap
transparan dan egaliter. Konsekuensi logis dari keimanannya adalah
tanggung jawab, dapat dipercaya, pantang berkhianat apa pun
konsekuensinya, selalu hidup sederhana, jauh dari pola hidup berfoya- foya.
Dengan demikian nilai-nilai kejujuran, tanggung jawab
dan kesederhanaan sebagai bagian dari nilai- nilai antikorupsi telah dibahas
dalam al- Qur’an dan sejalan dengan nilai-nilai pendidikan antikorupsi

16
Satriya Nugraha, Jurnal Socioscientia, Jurnal Ilmu-ilmu Sosial, Maret 2016, Volume 8
Nomer 1
yang telah ditetapkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan
Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Aidh bin Abdullah A l-Qarni, Nikmatnya Hidangan Al-Qur‟an, Jakarta,


Magfirah Pustaka, 2005)
BPKP, Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional, Jakarta, Puslitbang BPKP,
1999
Diakses dari http://www.dakta.com/news/19737/keutamaan-amanah-dalam-
kehidupan-seorang-muslim pada tanggal 30 November 2021 Jam 10.25
Diakses dari https://pendis.kemenag.go.id/pai/berita-182-kejujuran-adalah-kunci-
kesuksesan.html#informasi_judul, pada tanggal 30 November 2021
Hasibuan, Albert, Titik Pandang untuk Orde Baru, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta, 1997
Husain, Syed, Alatas, Korupsi, Sifat dan Fungsi, LP3ES, Jakarta, 1987
Irfan, M. Nurul, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, Amzah, Jakarta, 2011
Khoiruddin, Etika Pelaku Bisnis dalam Perspektif Islam. ASAS, Vol. 7, No.
1, Januari 2015
Nugraha, Satriya, Jurnal Socioscientia, Jurnal Ilmu-ilmu Sosial, Maret 2016,
Volume 8 Nomer 1
Qoyyim, Muhammad, Ya‟qub, Tafsir Amaly Juz 30 (IPdI: Jombang),
Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2004)
Tim Tafsir Ilmiah Salman ITB, Tafsir Salman Tafsir Ilmiah Juz Amma. (Bandung:
Mizan Pustaka, 2014)

Anda mungkin juga menyukai