Anda di halaman 1dari 1

Bukannya aku mau mengeluh.

Tetapi kalau terus menjalani hidup macam ini, siapa pun mungkin tak akan
sanggup. Aku harus bangun pagi-pagi sekali, pergi bekerja, pulang, istirahat, lalu bangun lagi. Begitu dan begitu
terus, selama hampir dua belas jam setiap hari, enam hari di setiap minggu.
Jangan tanya tentang hari liburku. Percayalah, satu hari libur dalam seminggu itu, bagiku, bukanlah hari yang
menyenangkan. Biasanya di saat itu, tubuhku masih terasa lelah akibat pekerjaan di hari sebelumnya. Dan ketika
rasa lelah itu mulai membaik, hari sudah terlanjur malam. Apa yang bisa kulakukan di waktu segitu selain tidur?
Pekerjaanku, meski berat, bukanlah pekerjaan yang bergaji besar. Hanya dua setengah juta rupiah. Memang, gaji
segitu bisa saja lebih dari cukup bagi "segelintir" orang. Namun bagi orang yang musti mengurusi dua adik
sepertiku, cukup buat makan sehari-hari saja sudah untung rasanya. Belum lagi kalau harus memikirkan cicilan
ini-itu setiap bulan.
Enggan rasanya untuk memberi tahu tentang jenis pekerjaanku yang tak seberapa itu. Dan kurasa, tak mungkin
ada yang bakal penasaran, bukan?
Ada yang bilang kalau pekerjaan yang menguras otak itu lebih berat dari yang menguras fisik. Tetapi, bagaimana
dengan pekerjaan yang menguras keduanya? Itulah yang hampir setiap hari kulakukan.
Sebagai kepala gudang—akhirnya kusebut juga jenis pekerjaanku, mencatat keluar masuknya barang itu
bukanlah hal yang baru. Namun apa jadinya kalau, yang katanya kepala gudang, juga mengangkat semua
barang-barang itu?
Belum lagi jika harus mengecek semuanya dengan super teliti—tak ada barang yang boleh lepas dari catatan.
Dan bukan hanya itu, aku pun harus memikirkan barang apa lagi yang musti dibeli, berapa jumlahnya, hingga
tawar menawar kalau ada barang jenis baru. Hal-hal semacam itulah yang menguras fisik dan pikiranku selama
bekerja.

Memang, yang namanya pekerjaan itu, katanya, haruslah disyukuri. Tetapi yang jadi masalah bukan itu, bukan.
Aku bukannya tidak mau bersyukur. Aku cuma mengeluh, itu saja. Dan hanya ada satu hal yang membuatku
begitu. Semua karena satu barang sialan itu. Barang yang dicuri itu!
Ironisnya, yang kumaksud itu bukanlah barang yang biasa kuurus. Aku tak tahu apa isinya, yang jelas, kotak
penyimpannya begitu indah dan terlihat antik. Di sisi luarnyanya terdapat semacam ukiran yang, dugaanku,
mempunyai arti khusus. Kata bosku, yang ada di dalam kotak itu lebih berharga dari nyawanya sendiri. Dan
karenanya, nyawaku kini terancam.

Anda mungkin juga menyukai