Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM KIMIA ANORGANIK

KEKUATAN LIGAN AMONIA DAN AIR PADA KOMPLEKS NI (II) DAN CU (II)

Disusun Oleh:
Amalia Khusnul Fadhilah (K3322009)

Dosen Pengampu :
Dr. rer.nat Wirawan Ciptonugroho, S.T., M.S

Asisten:
Suwiji lestari (K3321068)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2023
ABSTRAK

Percobaan ini berjudul Kekuatan Ligan Ammonia dan Air pada Kompleks Ni (II) dan
Cu (II) dengan tujuan untuk mempelajari perbedaan kekuatan medan ligan antara ligan
ammonia dan air.

Penentuan kekuatan ligan ammonia dan air pada kompleks Ni (II) dan Cu (II)
didasarkan dengan menggunakan senyawa koordinasi atau kompleks . Senyawa kompleks
tersusun atas atom pusat dari ligan-ligan yang mengelilingi dalam bentuk geometri tertentu.
Ligan yang berbeda akan berinteraksi dengan orbital d pada ion logam pusat. Percobaan ini
dilakukan berdasarkan kompleks Ni (II) dan kompleks Cu (II).

Pada percobaan ini didapatkan hasil bahwa kompleks Ni (II) sudah sesuai dengan teori,
karena ligan NH3 lebih kuat dibandingkan dengan ligan H2O sehingga menghasilkan serapan
panjang gelombang yaitu λNH3 > λH2O. Untuk kompleks Cu (II) terdapat ketidaksesuaian teori
dalam penentuan ligan. Dalam penentuan ligan, jika λ semakin pendek, maka energi akan
semakin tinggi. Selain itu, kompleks Ni dan Cu akan menghasilkan warna yang berbeda-beda
saat penambahan H2O atau NH3. Perubahan warna ini terjadi secara reversible.

Kata kunci : Ligan, Ammonia, Air, Kompleks Ni (II), Kompleks Cu (II)


BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Judul

Kekuatan Ligan Ammonia dan Air pada Kompleks Ni (II) dan Cu (II)

1.2. Tujuan

Mempelajari perbedaan kekuatan medan ligan antara ligan ammonia dan air.

1.3. Landasan Teori

Senyawa kompleks adalah senyawa yang tersusun atas ion logam pusat, dengan satu
atau lebih ligan yang menyumbangkan pasangan elektron bebasnya kepada ion logam pusat
(Male, Y, 2013). Ion logam atau logam pusat merupakan bagian dari senyawa kompleks yang
terletak pada pusat sebagai penerima pasangan elektron sehingga disebut juga asam lewis yang
berupa logam. Ligan merupakan atom atau ion sebagai bagian dari senyawa kompleks yang
terletak di luar sebagai pemberi pasangan elektron atau disebut basa lewis (Chang, R, 2004)

Ikatan kovalen koordinasi adalah ikatan yang terjadi antara atom pusat dengan ligan,
dimana senyawa elektron yang digunakan untuk membentuk ikatan berdasar dari ligan-ligan
(Effendy, 2006). Ikatan kovalen koordinasi dalam senyawa kompleks terjadi karena donasi
pasangan elektron dari ligan ke dalam orbital kosong ion pusat (Hermawati, E.S, dkk, 2016).
Atom pusat memiliki karakteristik sebagai bilangan koordinasi yang menunjukkan jumlah
ligan dan dapat membentuk kompleks stabil dengan satu atom pusat. Sebagian besar, ligan
adalah anion atau molekul netral yang merupakan pendonor elektron (Nugroho, A, 2015).

Ion unsur transisi dapat mengikat ion atau molekul netral yang memiliki elektron bebas
atau ligan dengan ikatan kovalen koordinasi yang membentuk suatu ion kompleks. Jika suatu
ion kompleks dikenai energi dalam bentuk cahaya, maka elektron pada orbital yang lebih
rendah energinya dapat tereksitasi ke orbital yang lebih tinggi energinya. Adanya penyerapan
cahaya yang energinya sama dengan 𝛥o, maka semakin kecil energi yang dibutuhkan pada
eksitasi tersebut. Hal ini disebabkan cahaya bergantung pada λnya. Dimana semakin pendek λ,
maka energi akan semakin tinggi. Cahaya tampak terdiri dari cahaya radiasi yang memiliki
panjang λ yaitu 400-700 nm. Jika sinar tampak diserap oleh suatu larutan atau zat padat, maka
dapat menghasilkan warna tertentu. Semakin kecil λ, maka cahaya yang diserap akan
semakin besar harga dari ∆o serta semakin kuat ikatan ion pusat dan ligan.
adapun urutan dari kekuatan ligan. Adapun urutan dari kekuatan ligan dari yang
terkecil adalah Br- < Cl- < CN3- < H2O < NO2- (Vogel, 1985). Maka dari itu, ligan juga dapat
diartikan sebagai molekul sederhana.

Ligan-ligan dalam senyawa koordinasi dapat dibedakan atas monodentat, bidentat,


tridentat, dan polidentat (Fitriani dkk, 2021). Berdasarkan ligan yang diikat oleh atom pusat
dalam ion kompleks terdiri dari dua jenis antara lain:

1. Ion kompleks positif


Terbentuk jika ion logam transisi (atom pusat) berikatan dengan ligan yang merupakan
molekul netral, seperti H2O dan NH3 sehingga ion kompleks yang terbentuk bermuatan
positif.

2. Ion kompleks negatif

Terbentuk jika ion logam transisi (atom pusat) berikatan dengan ligan yang merupakan
ion negatif.

Ligan yang berbeda berinteraksi secara berbeda dengan orbital-orbital d ion logam
pusat. Δo, merupakan ukuran interaksi yang dapat membedakan kompleks-kompleks yang
berbeda dari ion logam. Contohnya telah diteliti kepada bahwa Δo umumnya bertambah
menurut urutan Cl- < H2O < NH3 < CN- , ini merupakan ukuran spektrokimia sejumlah ligan.
Jika Δo bertambah, absorpsi maksimum akan memiliki panjang gelombang yang lebih pendek.
Sesuai bertambahnya energi orbital dx, dyz atau dxz. Semakin pendek absorpsi maksimum
panjang gelombang, semakin besar perbedaan energi antara tingkat energi awal dan akhir.
Kelima orbital d dalam ion logam terbentuk gas mempunyai tingkat energi yang sama karena
mempunyai kesamaan kemungkinan yang sama untuk mendapatkan elektron dalam kelima
orbital tersebut (Tim Dosen Kimia Anorganik, 2023). Hubungan antara energi dan panjang
gelombang dapat dapat dijelaskan oleh hukum Planck yang secara matematis sebagai berikut:
ℎ.𝐸
𝐸 =
𝐸

ket : E = Energi c = Kecepatan cahaya

h = Tetapan Planck λ = Panjang gelombang

Berdasarkan rumus matematis di atas, energi berbanding terbalik dengan panjang


gelombang. Pengukuran panjang gelombang masing-masing ligan yaitu menggunakan
spektrofotometri uv-vis, yang merupakan anggota teknis yang menggunakan sumber radiasi
elektromagnetik atau ROM ultraviolet dekat (190 - 350 nm) dan sinar tampak (350 - 780 nm)
dengan memakai instrumen spektrokopi dengan prinsip adsorpsi )menangkap dan
memindahkan energi). Adapun parameter yang diperoleh dari spektrofotometer uv-vis yaitu
harga panjang gelombang maksimum dan adsorpsi (A) dari senyawa yang dianalisis.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kestabilan kompleks yaitu besar dan muatan ligan,
sifat basa, faktor geometri ligan, serta ukuran ligan. Ditinjau dari muatan ligannya, maka ion
logam dengan muatan yang lebih besar akan menghasilkan harga Δo yang lebih besar pula
karena lebih mudah mempolarisasikan elektron yang terdapat dalam ligan. Ukuran muatan
logam mempengaruhi harga Δo seperti harga Δo untuk [Fe(NH3)6)4+] lebih besar daripada harga
untuk [Nb(NH3)6]4+ sehingga dapat disimpulkan bahwa semakin besar ukuran ion, maka
semakin besar harga Δo (Syarifudin, 1990).

A. Kompleks Ni (II)

Jika kristal Ni(NO3)2 dilarutkan dalam air, maka zat tersebut terionisasi menghasilkan
ion kompleks [Ni(H2O)6]2+. Molekul air yang terkoordinasi (disebut ligan) dalam
kesetimbangan dinamik dengan molekul air yang tidak terkoordinasi (molekul air yang bebas).
Enam molekul air yang terkoordinasi dapat digantikan oleh ligan-ligan lain dalam larutan yang
dapat terikat lebih kuat. Sebagai contoh penukaran H2O dan NH3.

Dengan adanya kelebihan NH3 dalam penukaran ini akan menghasilkan ion kompleks
[Ni(H2O)6]2+.perubahan warna larutan kompleks [Ni(H2O)6]2+ dari hijau ke biru menunjukkan
adanya perubahan kimia. Warna karakteristik ion nikel dan ion logam transisi lain (ion-ion
dengan tingkat elektron d terisi sebagian) diterangkan dengan istilah energi relatif elektron
dalam tingkat elektron d yang terisi sebagian (Tim Dosen Kimia Anorganik, 2023).

B. Kompleks Cu (II)

Ion Cu2+ dalam air berupa kompleks [Cu(H2O)6]2+. Molekul amonia (NH3) dapat
mengganti kedudukan H2O sebagai ligan sehingga warna kompleks yang berbeda.
Dalam teori medan kristal, ligan-ligan direduksi menjadi titik yang bermuatan. Interaksi
muatan-muatan titik ini dengan elektron dalam orbital d ion logam akan menaikkan
energi semua orbital d, tetapi mereka tidak lagi memiliki energi yang sama. Elektron -
elektron dalam orbital dzz dan dxz-ya akan mengalami interaksi yang lebih besar
dengan muatan-muatan ligan yang mendekatinya daripada elektron-elektron dalam
orbital dxy, dxz, dyz. Pertimbangan simetris juga menghasilkan kesimpulan yang sama
terhadap orbital orbital d lainnya (Tim Dosen Anorganik, 2023).

Pola pemisahan tersebut berlaku untuk semua ion kompleks yang terkoordinasi
secara oktahedral. Delta o didefinisikan sebagai 10 Dq menunjukkan perbedaan energi
antara 3 orbital setingkat dxy, dyz, dyz dengan 2 orbital setingkat dxz-yz, dzz (Tim
Dosen Kimia Anorganik, 2023).

Spektrum oktahedral [Ti(H2O)6]3+ dengan elektron d tunggal dapat ditemukan


dalam salah satu orbital dxy, dyz, dyz. Pada absorpsi suatu photon ekivalen energi
dengan Δo, elektron dalam salah satu orbital d dengan energi lebih rendah akan
dinaikkan ke orbital d dengan energi lebih tinggi dxz-yz atau dzz. Suatu harga yang
khas suatu Δo, perbedaan energi antara dua tingkat energi dalam gambar 1 adalah 5,8
* 10 4 kalori/mol (frekuensi 20.300 cm-1).

Ini sesuai dengan radiasi sebesar 6,1 * 1014 Hz atau panjang gelombang 490 nm.
Besarnya 10 Dq tersebut dipengaruhi oleh jenis ion logam, bilangan oksidasi dan ligan
yang terlibat. Transisi elektronik energi pertama ke tingkat energi yang lain jatuh pada
daerah sinar tampak atau spektrum elektromagnetik. Warna yang nampak adalah
komplemen warna cahaya yang diserap, sebagai contoh kompleks [Ti(H 2O)6]3+
berwarna violet berarti warna yang diserap adalah komplemen warna violet yaitu hijau
kekuningan. Hubungan antara daerah panjang gelombang yang diabsorpsi dan warna
yang diserap dan warna komplemennya. Berikut hubungan antara daerah panjang
gelombang yang diserap dan warna komplemennya (Tim Dosen Kimia Anorganik,
2023):

λ(nm) Warna Warna Komplemen

380 - 435 Violet (merah kebiruan) hijau kekuningan

435- 480 biru kuning


480 - 490 biru kehijauan orange (kuning - merah)

490 - 500 hijau kebiruan merah

500 - 560 hijau ungu (campuran merah dan


biru)

560 - 580 hijau kekuningan violet

580 - 595 kuning biru

595 - 650 orange biru kehijauan

650 - 780 merah hijau kebiruan

BAB 2
METODE
1. ALAT DAN BAHAN

Alat Bahan

Gelas ukur 250 ml (1) Larutan Ni 2+ 0,1 M

Tabung reaksi vial (2) Aquades

Pipet tetes (1) Larutan NH3 6M

Gelas ukur 10 ml (1) Larutan Cu 2+ 0,1 M

Rak tabung (1) NH3 1 M

Spektrofotometer (1)

Gelas beker (1)

2. PROSEDUR KERJA
a. Kompleks Ni(II)
Tabung reaksi 1
7,5 ml Ni2+ 0,1 M dalam tb rx\

Bilas gelas ukur dgn 5 ml akuades\

Masukkan air bilasan ke dlm tb rx

Ukur absorbansi larutan dgn spektro UV Vis (lamda = 350-900 nm)

Tabung reaksi 2

7,5 ml Ni2+ 0,1 M ke tb rx

Bilas gelas ukur dgn 5 ml NH3 6 M

Masukkan air bilasan dalam tb rx

Ukur absorbansi dgn spektro UV Vis (lamda = 350-900 nm)

2. Kompleks Cu (II)
Tabung reaksi 1

2 ml Cu 0,1 M + akuades sampai batas labu ukur 10 ml

Ukur absorbansi dgn spektro UV Vis (lamda = 500-950 nm

Tabung reaksi 2

2 ml Cu 0,1 M + 5 ml NH3 + akuades sampai batas labu ukur 10 ml

Ukur absorbansi dgn spektro UV Vis (lamda = 500-950 nm)

Tabung reaksi 3
2 ml Cu 0,1 M + 2,5 ml NH3 + akuades sampai batas labu ukur 10 ml

Ukur absorbansi dgn spektro UV Vis (lamda = 500-950 nm

3. DATA PENGAMATAN
a. Kompleks Ni (II)
Tabung Warna λ (nm) A
reaksi

Ni2+ Hijau

H2O Tidak
berwarna

Ni2+ + H2O Bening 719,00 0,1196


kehijauan
394,60 0,2970

NH3 Tidak
berwarna

Ni+NH3 Biru 497,50 0,0573

b. Kompleks Cu (II)

Tabung reaksi Warna λ (nm) A

Cu + H2O Bening

605.70 0.3730
Cu + 5 mL NH3 + H2O Biru tua pudar

Cu + 2.5 mL NH3 + H2O Biru pudar 606.00 0.3099


BAB 3

DISKUSI DAN HASIL

1. Ni(II)
Prinsip kerja pada percobaan ini terbagi menjadi dua jenis, yaitu kompleks Ni
(II) dan kompleks Cu (II). Pada kompleks Ni (II) dibagi menjadi dua tabung. Prinsip
kerja pada tabung I adalah yang pertama, memasukkan 7,5 ml Ni2+ 0,1 M dalam tabung
reaksi. Kedua, membilas gelas ukur dengan 5 ml aquades. Terakhir, mengukur
absorbansi larutan dengan spektro UV-Vis (λ = 350-900 nm). Pada tabung reaksi II
yang pertama adalah, memasukkan 7,5 ml Ni2+ 0,1 M ke tabung reaksi. Kedua,
membilas gelas ukur dengan 5 ml NH3 6 M. Ketiga, memasukkan air bilasan dalam
tabung reaksi. Terakhir, mengukur absorbansi dengan spektro UV-Vis ( λ = 350-900
nm).
Pada percobaan ini larutan Ni berwarna hijau. Setelah direaksikan dengan
akuades warna berubah menjadi bening kehijauan. Seementara itu, ketika Ni
direaksikan dengan NH3 larutan menjadi biru.

Tabung Warna λ (nm) A


reaksi

Ni2+ Hijau

H2O Tidak
berwarna

Ni2+ + H2O Bening 719,00 0,1196


kehijauan
394,60 0,2970

NH3 Tidak
berwarna

Ni2++NH3 Biru 497,50 0,0573


Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa semakin pendek λ, maka
absorbansi akan semakin besar, begitupun pada energinya (kekuatan ligan). Kekuatan
ligan dapat diperoleh melalui perbandingan-perbandingan absorbansi pada larutan yang
digunakan. Berikut perbandingan antara NH3 dan H2O:

[Ni(H2O)6]2+ => A max : 0,2970 dan λ = 394,60

[Ni(NH3)6]2+ => A max : 0,0573 dan λ = 497,30

Dari perbandingan tersebut, dapat dilihat bahwa nilai absorbansi NH3 lebih
besar dibandingkan absorbansi H2O. Hal tersebut ditandai oleh λ yang semakin pendek,
sehingga dapat dikatakan bahwa ligan NH3 lebih kuat daripada H2O (A [Ni(H2O)6]2+<
A[Ni(NH3)6]2+ dan Δo H2O < Δo NH3). Oleh karena itu, percobaan sudah sesuai dengan
teori karena Δo semakin bertambah. Pertambahan Δo dapat dilihat pada urutannya yaitu
Br-<Cl-<CN3 -<H2O< NH3 < NO2 - (Vogel, 1985). Adanya penambahan H2O dan NH3
sebagai ligan serta Ni2+ sebagai atom pusat. Ligan NH3 dapat menggantikan ligan H2O
yang berikatan dengan ion kompleks Ni(II). Salah satu reaksinya adalah [Ni(H 2O)6]2+
+NH3 => [Ni(H2O)5NH3]2+
Semakin kecil λ yang diserap, maka semakin besar kekuatan ligan. Maka dari
itu, percobaan ini sesuai dengan teori, di mana berdasarkan percobaan diperoleh λ Ni2+
+ H2O < λNi2+ + NH3. Adapun reaksi pada percobaan ini, yaitu:
Ni + 6H2O ↔ [Ni(H2O)6]2+
Ni + 6NH3 ↔ [Ni(NH3)6]2+
[Ni(H2O)6]2+ + 6NH3 ↔ [Ni(NH3)6]2+ + 6H2O
Adapun fungsi penambahan zat pada percobaan ini:
2+
a) Ni sebagai atom pusat
b) H2O sebagai pembentuk ligan H2O pada kompleks [Ni(H2O)6]2+
c) NH3 sebagai pembentuk ligan NH3 pada kompleks [Ni(NH3)6]2+

2. Cu(II)

Prinsip kerja pada percobaan ini adalah menyiapkan 4 buah labu ukur 10 mL
untuk membuat ion Cu2+ 0.02 M dalam pelarut air 50:50 campuran air dan larutan
Amonia 1M serta 75:25 campuran air dan larutan Amonia. Larutan ion Cu 2+ 0.02M
dalam larutan air dibuat dengan memindahkan 20 mL larutan Cu2+ 0.1 M ke dalam labu
ukur 10 mL dan mengencerkan dengan air hingga larut. Larutan Cu2+ 0.02 M dalam
50:50 campuran air dan Amonia dibuat dengan memindahkan 2.0 mL larutan Cu 2+ 0.1
M ke dalam labu ukur 10 mL dan mengencerkan dengan air hingga larut. Larutan Cu 2+
dalam 75:25 campuran air dan Amonia dibuat dengan memindahkan 20 mL larutan
Cu2+ 0.1 M ke dalam labu ukur 10 mL dan mengencerkan dengan 2.5 mL larutan
Amonia, kemudian melarutkan dengan air hingga larut. Selanjutnya, mengamati
serapan ketiga larutan menggunakan spektrofotometer dengan air sebagai blankernya
pada X = 600-800 nm dengan interval 5 nm. Terakhir, membandingkan kekuatan ligan
antara air dan Amonia dalam ion kompleks [Cu(H2O)4]2+ dan [Cu(NH3)4]2+.

Dari hasil percobaan, didapatkan data sebagai berikut:

Tabung reaksi Warna λ (nm) A

Cu + H2O Bening

605.70 0.3730
Cu + 5 mL NH3 + H2O Biru tua pudar

Cu + 2.5 mL NH3 + H2O Biru pudar 606.00 0.3099

Berdasarkan data yang diperoleh, dapat diketahui bahwa semakin besar λ maka
absorbansinya semakin pendek, atau dapat dikatakan bahwa semakin kecil λ, nilai
absorbansinya semakin besar. Maka, percobaan ini sudah sesuai teori, dimana menurut
teori semakin pendek λ, maka nilai absorbansinya semakin besar, begitupun dengan
energinya (Vogel, 1985).

Berikut merupakan nilai absorbansi maksimum dari masing-masing kompleks:


[Cu(H2O)4]2+
[Cu(H2O)2(NH3)4]2+ → Amax = 605.70 dan λ = 0.3730
[Cu(H2O)4(NH3)2]2+ → Amax = 606.00 dan λ = 0.3099

Berdasarkan nilai absorbansinya, maka urutan Amax dari yang terbesar adalah
[Cu(H2O)4(NH3)2]2+ > [Cu(H2O)2(NH3)4]2+ atau dapat dikatakan bahwa ligan NH3 >
ligan H2O, maka percobaan tersebut belum sesuai dengan teori. Menurut, teori urutan
Amax adalah Br - > Cl- > CN3- > H2O > NH3 > NO3-. Pada pengamatan absorbansi
kompleks [Cu(H2O)4]2+ tidak menunjukkan hasil. Ketidaksesuaian pada percobaan ini
disebabkan oleh terurainya larutan terhadap cahaya, zat telah terkontaminasi, NH 3 lebih
banyak pada ion kompleks [Cu(H2O)2(NH3)4]2+.

Reaksi yang terjadi adalah:


1. Larutan I
Cu2+ + 6H2O ↔ [Cu(H2O)4]2+
2. Larutan II
Cu2+ + 2H2O + 4NH3 ↔ [Cu(H2O)2(NH3)4]2+
3. Larutan III
Cu2+ + 4H2O + 2NH3 ↔ [Cu(H2O)4(NH3)2]2+

Fungsi penambahan zat:


1. Cu sebagai atom pusat
2. H2O sebagai pengikat atom pusat dan membentuk ligan H2O
3. NH3 sebagai pembentuk ligan NH3 yang berkaitan dengan atom pusat
BAB 4
KESIMPULAN
1. Prinsip dasar percobaan ini adalah menggunakan senyawa koordinasi atau kompleks.
2. Senyawa kompleks merupakan senyawa yang tersusun atas ion logam pusat dengan
satu atau lebih ligan yang menyumbangkan pasangan elektron bebasnya kepada ion
logam pusat.
3. Ion atau logam besar adalah bagian dari senyawa kompleks yang terletak pada pusat
sebagai penerima pasangan elektron sehingga disebut asam lewis yang berupa logam.
4. Ligan merupakan atom atau ion sebagai bagian dari senyawa kompleks yang terletak
di luar sebagai pemberi pasangan elektron atau disebut basa lewis.
5. Ikatan kovalen koordinasi adalah ikatan yang terjadi antara atom pusat dengan ligan
di mana semua elektron-elektron yang digunakan untuk membentuk ikatan
berdasarkan dari liga-ligan.
6. Ion kompleks terbagi menjadi dua jenis yaitu ion kompleks positif dan ion kompleks
negatif.
7. Urutan kekuatan ligan dari yang terkecil Br - < Cl- < CN3- < H2O < NO3-
8. Berikut adalah hasil dari kesesuaian teori pada percobaan ini:
a. Kompleks Ni (II)

Ni2+ + H2O Ni+NH3

λ (nm) A λ (nm) A

719,00 0,1196 497,50 0,0573

394,60 0,2970

Sesuai teori Sesuai teori

b. Kompleks Cu (II)
Cu + H2O Cu + 5 mL NH3 + H2O Cu + 2.5 mL NH3 + H2O

λ (nm) A λ (nm) A λ (nm) A

605.70 0.3730 606.00 0.3099

Tidak sesuai teori Tidak sesuai teori Tidak sesuai teori


BAB 5

DAFTAR PUSTAKA

Chang, Raymond.(2003). Kimia Dasar. Jakarta : Erlangga


Farida, NT,dkk.(20130. Sintesis dan Karakteristik Kompleks Ni(ll)-EDTA dan Ni(ii)-
Sulfanilemid. Chem Info, 1 (1) : 354-361.
Lestari, I dan Sanova, A. (2014). Sintesis dan KarakterisasiSenyawa Kompleks
Logam Kadmium (ll) dengan Logam Kufperon. Jurnal Penelitian Universitas
Jambi. Seri Sains, 16 (l).
Male, Yusthinus. (2013). Sintesis Senyawa Kompleks Berinti Ganda : Jurnal Ind. I
Chemter, 1(2), 55-63.
Nugroho, Agung. (2015). Konsep Dasar Kimia Koordinasi. Yogyakarta. Depikbud.
Rissyelly, Hesse. (2010). Teori Isolasi Elusidasi dan Uji Reaktivasi Kandungan Kimia
yang Terdapat Pada Chalypylium Canium. Jurnal Ilmu Kimia dan Terapan,
2(1), 177-185.
Tim Dosen Kimia Anorganik. (2023). Petunjuk Praktikum Kimia Anorganik.
Surakarta : Laboratorium Kimia FKIP UNS.
Vogel . (1985). Analisis Kimia Anorganik Kualitatif. Jakarta : PT. Kalman Media.
BAB 6
LAMPIRAN

Laporan Sementara
FOTO BAHAN
Hasil Spektrofotometri

Anda mungkin juga menyukai